Anda di halaman 1dari 29

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : An. MD
Umur : 12 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Banaran RT4/4 Semarang
Status : Belum Kawin
No. CM : 13.xx.xx
Tanggal Masuk : 6 Agustus 2019
Tanggal Pemeriksaan : 6 Agustus 2019

I.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan tanggal 6 Agustus 2019 di poli THT RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang.

Keluhan Utama : Nyeri pada tenggorokan dan nyeri saat menelan

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan yang hilang timbul sejak ± 2
bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan makanan atau minuman.
Kemudian pasien mengeluhkan badan terasa tidak enak, tidur mendengkur, perasaan tidak
enak pada tenggorokan. Pasien juga sering merasa mudah lelah saat beraktivitas sehari-hari
dan sering merasa sulit berkonsentrasi saat belajar. Sebelumnya pasien sudah pernah
merasakan keluhan yang sama beberapa kali dan dibawa ke puskesmas namun keluhan
tidak berkurang dan kemudian dibawa ke dokter spesialis THT dan disarankan untuk
dilakukan prosedur operasi tonsilektomi. Riwayat saat ini batuk dan adanya gangguan
menelan. Saat pemeriksaan pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga ataupun hidung
dan tidak demam.. Gangguan pendengaran dan gangguan penciuman juga disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sering merasakan keluhan berulang seperti nyeri saat menelan dan perasaan tidak
enak pada tenggorokan disertai dengan batuk, pilek dengan lendir putih dan hidung
tersumbat. Pasien telah berobat ke puskesmas dan diberi obaat, sesaat mereda namun
kemudian timbul kembali. Setelah diperiksa, pasien diberitahukan bahwa amandelnya
membesar dan disarankan untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien mengaku tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini. Riwayat alergi dan
asma pada keluarga disangkal penderita.

Riwayat Alergi :
Riwayat alergi seperti bersin-bersin dan gatal-gatal setelah memakan makanan tertentu
ataupun debu dan konsumsi obat disangkal. Riwayat asma disangkal.

Riwayat pengobatan :
Pasien saat ini tidak menkonsumsi obat-obatan jangka panjang, Pasien mengaku sudah
berobat ke Puskesmas dan sudah mendapatkan obat dari Puskesmas. Biaya pengobatan
menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.

I.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis :
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Berat badan : 48 kg
 Tanda vital :
 Nadi : 72 x/menit
 TD : 110/ 70
 Respirasi : 20 x/menit
Status Lokalis (Telinga, Hidung, Tenggorokan)
a. Kepala dan leher :
 Kepala : normocephale
 Wajah : simetris
 Leher : nyeri pada daerah submandibula
b. Gigi dan Mulut :
 Gigi geligi : normal
 Lidah : bentuk normal, kotor (-), tremor (-)
 Pipi : bengkak (-)

c. Telinga :
Kanan Kiri
Auricula Bentuk normal Bentuk normal
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Pre-auricular Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)

Retro-auricular Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Edema (-) Edema (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)


Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

CAE Serumen (+) Serumen (+)


Eritema (-) Eritema (-)
Furunkel (-) Furunkel (-)
Otorea (-) Otorea (-)
Edema (-) Edema (-)
Corpus alineum (-) Corpus alineum (-)
Discharge (-) Discharge (-)

Membran Intak putih mengkilat Intak putih mengkilat


timpani Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Perforasi (-) Perforasi (-)
Bentuk cekung Bentuk cekung

d. Hidung dan Sinus Paranasal :


Luar Kanan Kiri
Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)

Rhinoskopi anterior Kanan Kiri


Sekret (-) (-)
Mukosa Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konka media Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)

e. Faring :
Orofaring Kanan Kiri
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Dinding faring Granular (-) Granular (-)
Palatum mole Ulkus (-) Ulkus (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Arcus laring Simetris (+) Simetris (+)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Uvula Ditengah
Edema (-)
Tonsil :
- Ukuran T2 T2
- Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
- Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
- Kripte Melebar (+) Melebar (+)
- Detritus (+) (+)

I.4. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

o Pemeriksaan laboratorium (hematologi, GDS, BT, CT, Ureum, Kreeatinin, SGOT,


SGPT)

I.5. RESUME

1) Anamnesa (RPS):
 Nyeri tenggorokan hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu
 Sering batuk
 Badan terasa tidak enak, perasaan tidak enak ditenggorokan dan bau mulut, post
nasal drip (-)
 Tidur mendengkur
 Sulit berkonsentrasi
 Hiposmia (-)
 Epistaksis (-)
 Gangguan telinga (-)
 Otore (-)
 Otofoni (-)
 Otalgia (-)
 Odinofagia (-)
 Halitosis (+)
 Disfagia (-)
 Disfoni (-)
 Nyeri gigi (-)
 Ganggguan pada hidung (-)

2) Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


 Nyeri saat menelan
 Perasaan tidak enak pada tenggorokan disertai dengan batuk, pilek dengan
lendir putih dan hidung tersumbat.
 Riwayat tonsilitis (+)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat ISPA (-)
 Riwayat gigi berlubang (-)

3) Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluhan serupa (-)

4) Riwayat Sosial Ekonomi


Kesan ekonomi cukup, pasien menggunakan BPJS

I.6. Pemeriksaan Objektif


a. Kepala dan Leher : dalam batas normal

b. Telinga : dalam batas normal

c. Hidung :
 Pemeriksaan rutin umum nasal dextra et sinistra
- Konka inferior dan media merah muda, hiperemis (-)
- Mukosa meatus media dan inferior hiperemis (-)
- Sekret (-), hiperemis (-), edem (-)
- Septum deviasi (-), massa/ tumor (-)

d. Tenggorok :
- Tonsila Palatina dextra et sinistra T2-2, hiperemis (+), kripte melebar, detritus
(+)
- Dinding posterior orofaring : hiperemis (-), post nasal drip (-), mukosa pucat (-),
granulasi (-)

I.7. DIAGNOSIS

Tonsilitis Kronis

I.8. DIAGNOSIS BANDING

Abses Peritonsil

I.9. TERAPI

 Terapi Medikamentosa
 Cefixime 100gr/ 12 jam
 Metilprednisolon 4gr/ 8 jam
 OBH sirup 1 sendok/8jam
 Cetirizine 10mg/24jam

 Pembedahan
Tonsilektomi

I.10. Edukasi

 Hindari asap rokok


 Menjaga kebersihan mulut yang baik
 Hindari kelelahan fisik

I.11. KOMPLIKASI
 Rinitis Kronis
 Sinusitis
 Otitis Media secara perkontinuitatum
 Endocarditis
 Arthritis
 Myositis
 Nefritis
BAB II

PEMBAHASAN

Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan :

 Nyeri tenggorokan hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu


 Nyeri saat menelan
 Sering batuk
 Badan terasa tidak enak, perasaan tidak enak ditenggorokan dan bau mulut, post nasal drip
(-)
 Tidur mendengkur
 Sulit berkonsentrasi

An. MD, 12 tahun datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan yang hilang timbul sejak
± 2 bulan yang lalu. Anamnesis dilakukan untuk mencari etiologi, faktor resiko, komplikasi, dan
epidemiologi. Dari anamnesis didapatkan pasien sebagai pelajar dan mengeluhkan nyeri saat
menelan makanan atau minuman. Kemudian pasien mengeluhkan badan terasa tidak enak, tidur
mendengkur, perasaan tidak enak pada tenggorokan. Pasien juga sering merasa mudah lelah saat
beraktivitas sehari-hari dan sering merasa sulit berkonsentrasi saat belajar. Lalu ditegakkan oleh
dokter dengan diagnosis banding adalah tonsillitis kronis.

Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
 Tonsila Palatina dextra et sinistra T2-2, hiperemis (+), kripte melebar, detritus (+)
 Dinding posterior orofaring : hiperemis (-), post nasal drip (-), mukosa pucat (-),
granulasi (-)

Dari pemeriksaan rongga mulut dan faring didapatkan adanya hasil diatas. Berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis sebagai tonsilitis
kronis.
2.1 Latar Belakang

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).
Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada

semua umur, terutama pada anak.1,2 Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri
atau virus, termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-
Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis
adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan

10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3


Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang

berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan antara

nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik.5 Tonsilitis
kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan
terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data
dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi
ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan

submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan

fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1

2.2 Anatomi

2.2.1.Faring

Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong
dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang
sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding faring

terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.7

Gambar 1. Anatomi Faring

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring, dan

laringofaring.7
1. Nasofaringx
Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dandinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat
didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang
miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding
lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan

limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.7

Gambar 2. Pembagian Faring


2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan

kebelakang adalah vertebra servikal.1


Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan
bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah
antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga
posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid
dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke
epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica
mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso

epiglotica mediana disebut vallecula.7


Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra
cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx, tonsil palatina,
fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen

sekum.1
Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus

dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. 7


Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila.
Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah
keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari
fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul

yang sebenarnya.1

Gambar 3. Struktur pada Orofaring

Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal
(adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil
saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil

biasanya melekat pada dasar lidah.1


Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut.
Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang

dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.8


Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang
sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,

sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

Gambar 4. Cincin Waldeyer

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang
tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus

tiroglosus.1

Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena


palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-
pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting
dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan

belakang angulus mandibulae.7


3. Laryngofaring
Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior
larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilage
cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding
anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi permukaan
posterior laringDinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga,
keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa

piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.7

2.3. Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina
yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan
mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan (Colman, 2001). Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,

dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.10

2.4. Epidemiologi
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak.
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika

Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Pada penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis,

sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita.9
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada
bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut
yaitu sebesar 3,8%., prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan
baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama, maka angka ini

merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11


Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-
anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih

sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa
muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang
asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 %
usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % .
Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak

sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9

2.5. Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring
terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama

makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut
yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila

fase resolusi tidak sempurna.13


Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman
yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus
grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen
infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella
catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu
Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus
grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,

Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.9


Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan

obstruksi jalan napas yang akut. 14


Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi

atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14

2.6. Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh

misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di

sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1
2.7. Faktor Predisposisi
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik
maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis
Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan

lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya

keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15

Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1


1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

2.8. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas.

Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.16


Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di

tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga

sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik
berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya

hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17


Gambar 5. Tonsillitis kronik

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak


antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka

gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19


T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 6. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring


Gambar 7. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-
IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
2.9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
• Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari
dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis
Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan
dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora

bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. 20


Bakteri penyebab tonsilitis tersering adalah Grup A streptococcus B hemolitikus. Daerah
tenggorokan banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil mengalami kontaminasi
dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen yang didapatkan dari daerah ini bisa
jadi bukan merupakan bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan kultur dari
permukaan tonsil saja tidak selalu menunjukkan bakteri patogen yang sebenarnya,
sehingga pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan swab jaringan inti tonsil.
Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang
lebih akurat. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil ini dilakukan sesaat setelah tonsilektomi
atau dengan aspirasi jarum halus dengan pasien diberikan narkose lokal terlebih dahulu.
• Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas

menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.20


2.10. Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang
berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada
rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-
gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat

ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17


Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua

gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.17
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan

streptokokus beta hemolitikus.8,17

2.11. Diagnosis Banding


1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu:
umum, local, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak
berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
dan bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada
saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan

dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

Gambar 8. Tonsila Difteri

2. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat,
karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum
pada faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan

faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

Gambar 9. Faringitis

3. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada
daerah faring yang tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar

mandibula yang tidak nyeri tekan.1

4. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis
tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan
odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta

pembesaran kelanjar limfa servikal.1


Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.

2.12. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian

antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral. 1,8 Pemberian
antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis
kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar
kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak dibawah 12 tahun,
golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap
streptococcus.Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih

banyak. 9
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
- Indikasi Tonsilektomi
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
.
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi Indikasi absolut: a) Hiperplasia
tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait dengan cor
pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan
tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang
(Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis
cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada orofacial atau gigi
(mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon

terhadap terapi). h). otitis media recuren atau kronik.8,9,10

2.13. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,

uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1

Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23


a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
Gambar.10 Abses peritonsil
b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah
medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah
rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada
43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus
beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
2.14. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila
penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada
dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi
yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang,

Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
3. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. .
4. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.
5. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
6. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
7. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
8. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran Penelitian :
Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan Setelah
Tonsilektomi.
9. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
10. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid
2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
11. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
12. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
13. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:
Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
14. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.
REFLEKSI KASUS

TONSILITIS KRONIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
RST tk. III Bhakti Wira Tamtama Semarang

Disusun oleh :
Muhammad Indy Bagas Syifa
30101507501

Pembimbing:
dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019

Anda mungkin juga menyukai