Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 19 TAHUN 2014

Disusun oleh: Kelompok L3


Tutor : dr. Citra, Sp.PA

Neneng Rianawati (04121001020)


Alek Febrianka R (04121001039)
Dhita Amanda (04121001046)
Rahmat Darmawantoro (04121001075)
Yudi Kartasasmita (04121001076)
Intan Chairrany (04121001078)
Shabrina Yunita A. (04121001079)
Ridha Rana Atisatya (04121001084)
Divorian Adwiditanra (04121001088)
Citra Indah Sari (04121001089)
Gregorius Abram N. (04121001096)
Giovianto Ryelcius (04121001097)
Asnhy Anggun D. (04121001102)
Namira Firdha K. (04121001104)
Syeba Dinda Hasianna (04121001109)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya lah,
kami dapat menyelesaikan Laporan Sementara Tutorial Skenario B Blok 19 Tahun 2014 ini
dengan baik dan tepat waktu.
Laporan sementara tutorial ini disusun dalam rangka memenuhi tugas blok 19 yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan petunjuk dan
kemudahan dalm penyusunan laporan ini.
2. Pembimbing kami, dr. Citra, Sp.PA yang telah membimbing kami dalam
proses tutorial.
3. Teman-teman yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya
untuk merampungkan tugas tutorial ini dengan baik.
4. Orang tua yang telah menyediakan fasilitas dan materi yang
memudahkan dalam penyusunan laporan ini.

Kami menyadari, tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat kami harapkan agar bermanfaat bagi
revisi tugas ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran selanjutnya dan bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, 28 Agustus 2014

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... 1


Daftar Isi ............................................................................................................... 2
Skenario B Blok 19 2014 ...................................................................................... 3
I. Klarifikasi Istilah ......................................................................................... 3
II. Identifikasi Masalah .................................................................................... 4
III. Analisis Masalah ......................................................................................... 5
IV. Keterkaitan Antar Masalah .......................................................................... 17
V. Hipotesis ...................................................................................................... 17
VI. Sintesis Masalah .......................................................................................... 10
a. Anatomi dan Histologi Mata ................................................................ 24
b. Fisiologi Mata....................................................................................... 41
c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I............................................................. 45
d. Konjungtivitis ....................................................................................... 48
VII. Kerangka Konsep ........................................................................................ 61
VIII. Kesimpulan .................................................................................................. 62
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 63

2
SKENARIO B BLOK 19 TAHUN 2014

Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibuny berobat ke poliklinik. Keluhan kedua mata
sering merah berulang dan terasa gatal. Keluhan terutama dirasakan bila pasien sering
bermain bola pada siang hari.

Riwayat keluarga: ayah pasien menderita penyakit asma.

Pemeriksaan oftalmologi:

VODS: 6/6

TIODS: 15,6mmHg

Palpebra ODS: blefarospasme

Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+), konjungtiva tarsal inferior ODS: Tenang

Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)

Kornea ODS: Horner Trants dots (+) di limbus, infiltrate punctata (-), shield ulcer (-)

BDM , iris, pupil, lensa ODS: Dalam batas normal.

Segmen posterior ODS: Dalam batas normal.

I. Klarifikasi Istilah
Asma : serangan dispneu paroksismal berulang disertai mengi akibat
kontraksi spasmolik bronkus
VODS : visus okuler dekstra sinistra
TIODS : tekanan intra okuler deksta sinistra
Blefarospasme : kontraksi otot involuter yang kuat dan tiba-tiba pada kelopak
mata
Giant Papil : tonjolan atau elevasi kecil yang berbentuk seperti puting yang
besar
Konjungtiva tarsal : membran yang menutupi tarsal, mengandung kelenjar musin
yang bersifat membasahi bola mata, sehingga bola mata mudah
digerakkaan.

3
Konjungtiva bulbi : membran yang menutupi sclera, mengandung kelenjar musin
yang bersifat membasahi bola mata, berhubungan longgar
dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah
digerakkan
Injeksi konjungtiva : melebarnya pembulu darah arteri konjungtiva poterior
Horne Trantats Dots : bintik putih kecil seperti berkapur di limbus konjungtiva pada
konjungtivitis vernal.
Limbus : tepi atau batas (jika di mata: tepi kornea yang menyatu dengan
sklera)
Infiltrrate punctata : menembus sela-sela jaringan atau bahan yang ditandai
titik/lubang
Shield ulcer : luka tertutup
BMD : bilik mata depan

II. Identifikasi Masalah

1. Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibuny berobat ke poliklinik. Keluhan
kedua mata sering merah berulang dan terasa gatal. Keluhan terutama dirasakan bila
pasien sering bermain bola pada siang hari. (Chief complain)
2. Riwayat keluarga: ayah pasien menderita penyakit asma.
3. Pemeriksaan oftalmologi: (Main Problem)
VODS: 6/6
TIODS: 15,6mmHg
Palpebra ODS: blefarospasme
Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+), konjungtiva tarsal inferior ODS:
Tenang
Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)
Kornea ODS: Horner Trants dots (+) di limbus, infiltrate punctata (-), shield ulcer (-)
BDM , iris, pupil, lensa ODS: Dalam batas normal.
Segmen posterior ODS: Dalam batas normal.

4
III. Analisis Masalah

1. Seorang anak laki-laki usia 9 tahun dibawa ibuny berobat ke poliklinik. Keluhan
kedua mata sering merah berulang dan terasa gatal. Keluhan terutama dirasakan bila
pasien sering bermain bola pada siang hari. (Chief complain)
a. Mengapa keluhan dirasakan anak tersebut pada siang hari?
Jawab:
Etiologi vernal keratokonjungtivitis sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Beberapa faktor penyebab diduga adalah alergen serbuk sari, debu, tungau
rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik berupa panas sinar matahari atau
angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau lebih alergen
atau bersama-sama dengan faktor–faktor lain. Kombinasi reaksi hipersensitivitas
tipe I dan IV merupakan dasar terjadinya proses inflamasi pada vernal
keratokonjungtivitis dan timbulnya manifestasi klinis.
Pada kasus ini keluhan dirasakan pada siang hari diduga karena sinar matahari
menjadi faktor penyebab terjadinya reaksi hipersensitivitas pada vernal
keratokonjungtivitis.

b. Bagaimana mekanisme mata merah berulang dan terasa gatal?


Jawab:
Mata merah
Saat benda asing masuk dalam area mata, akan ada sistem pertahanan dari mata.
1. Lapisan epidermis pada konjungtiva
2. Lapisan epithelial

Ketika benda asing tersebut tidak bisa diatasi oleh pertahanan diatas, maka pada
konjungtiva akan terjadi reaksi inflamasi. Leukosit akan meninjau lokasi dan
memperbaikinya, ketika tidak mampu maka leukosit akan memanggil mediator
inflamasi lainnya dengan cara dilatasi pembuluh darah dan terjadi akumulasi
mediator inflamasi sehingga tampak klinis konjungtiva kemerahan pada pasien
ini. Interleukin-4 akan mengaktivasi kembali sel th2 sehingga terjadi posstive
feedback pada proses alergi. Sel th2 jjuga akan mengaktivasi sel B dan
merangsan kembali produksi IgE sehingga proses alergi berlangsung terus
menerus.

5
Mata gatal

Alergen terikat dengan sel mat dan reaksi silang terhadap IgE terjadi,
menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamine dari sel mast, juga
mediator lain; triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrin. Histamin dan bradikinin dengan segrera menstimulasi
nosireseptor dan menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas vaskuler,
kemerahan dan injeksi konjungtiva.

c. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan penyakit yang dialami anak
ini?
Jawab:
Penyakit vernal keratokonjungtivitis ini lebih banyak didapatkan pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 3 : 1. Sebagian besar pasien berusia
antara 3-25 tahun. Pasien pada kasus ini berumur 9 tahun dan berjenis kelamin
laki-laki sehingga mendukung kearah diagnosis dari konjungtivitis vernalis.
Untuk hubungan secara pasti belum diketahui.
Insidens penyakit ini berkisar antara 0,1-0,5%, diantara penyakit mata lainnya
dan meningkat terutama pada musim kemarau.

2. Riwayat keluarga: ayah pasien menderita penyakit asma.


a. Bagaimana hubungan antara riwayat asma ayah dengan keluhan yang dialami
anak tersebut?
Jawab:
Pada konjungtivitis vernal yang tergolong jenis alergi, biasanya memang pasien
memiliki riwayat atopi atau keluarganya. Karena penyakit ini kaitannya ke reaksi
hipersensitvitas tipe I makanya semua berhubungan dengan kemampuan IgE.

b. Bagaimana mekanisme reaksi hipersensitivitas pada vernal keratokonjungtivitis?


Jawab:
Reaksi hipersensitivitas tipeI merupakan dasar utama terjadinya proses
inflamasi pada vernal keratokonungtivitis. Reaksi hipersensitivitastipe I dimulai

6
dengan terbentuknya antibodi IgE spesifikterhadap antigen bila seseorang
terpapar pada antigentersebut. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada
permukaansel mast dan basofil akan menyebabkan terjadinyadegranulasi dan
dilepaskannya mediator-mediator kimiaseperti histamin, slow reacting substance
of anaphylaxis,bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, danfaktor-
faktor agregasi trombosit. Histamin adalahmediator yang berperan penting, yang
mengakibatkanefek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata.Keadaan
ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal,merah, edema, berair, rasa seperti
terbakar dan terdapatsekret yg bersifat mukoid.
Terjadinya reaksihipersensitivitas tipe I fase lambat
mempunyaikarakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigendengan IgE
pada permukaan sel mast, maka mediatorkimia yang terbentuk kemudian akan
dilepaskan sepertihistamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinophil yang
dapat menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva.
Setelah paparandengan alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi
olehlimfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakitsemakin berat,
banyak sel limfosit akan terakumulasi danterjadi sintesis kolagen baru
sehingga timbul nodul-nodulyang besar pada lempeng tarsal.Aktivasi sel
masttidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapidapat juga disebabkan
oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5yang dikeluarkan oleh sel limfosit.Selanjutnya
mediatortersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpamelalui
ikatan alergen IgE.Reaksi hiperreaktivitaskonjungtiva selain disebabkan oleh
rangsangan spesifik,dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, missal
rangsangan panas sinar matahari, angin.

3. Pemeriksaan oftalmologi: (Main Problem)


VODS: 6/6
TIODS: 15,6mmHg
Palpebra ODS: blefarospasme
Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+), konjungtiva tarsal inferior ODS:
Tenang
Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)
Kornea ODS: Horner Trants dots (+) di limbus, infiltrate punctata (-), shield ulcer (-)
7
BDM , iris, pupil, lensa ODS: Dalam batas normal.
Segmen posterior ODS: Dalam batas normal.
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan oftalmologi?
Jawab:

Hasil Pemeriksaan
No Nilai Normal Interpretasi Keterangan
Fisik
1. VODS: 6/6 6/6 Normal
2. TIODS: 10-21 mmHg Normal
15,6mmHg
3. Palpebra ODS: Tidak terjadi Abnormal (spasme
Blefarospasme blefarospasme otot orbikulasris
okuli)

4. Konjungtiva tarsal
superior ODS:
 Giant papil  Papil (-) Abnormal (terjadi
(+) peradangan)
Konjungtiva tarsal
inferior ODS:
 Tenang Normal

5. Konjungtiva bulbi
ODS:
Injeksi Injeksi Abnormal
konjungtiva (+) konjungtiva (peradangan)
(-)

6. Kornea ODS:

8
 Horner Trantas  Horner Abnormal (khas
dots (+) di Trantas konjungtivitis
limbus dots (-) vernalis)
b. B
a Infiltrate  Infiltrate
Normal
g punctata (-) punctata
(-)
a
 Shield ulcer (-)  Shield Normal
i ulcer (-)
m
7. BDM , iris, pupil,
a lensa ODS:
n Dalam batas Normal
a normal.

8. mSegmen posterior
e ODS:
k Dalam batas Normal
normal.
a
n
b. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada:
- Palpebra ODS: blefarospasme?
- Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+)?
- Konjungtiva bulbi ODS: Injeksi konjungtiva (+)?
- Kornea ODS: Horner Trants dots (+) di limbus,?
Jawab:
- Palpebra ODS: blefarospasme
Terpajan allergen (debu, panas)  berkedipberlebihan  rangsangankornea
rangsangan N. V (trigeminus) otakmeneruskanrangsanganke N. VII
kontraksiberlebihanm. orbicularis okuliblefarospasme.

- Konjungtiva tarsal superior ODS: Giant papil (+)


Terpajan antigen/allergen reaksihipersensitivitastipe 1terbentuk antibody
IgEspesifikterhadap antigen IgEberikatandengansel mast dan basophil
pelepasan mediator kimia (histamine, bradikinin, serotonin, factor
agregasitrombosit, leukotriene c4, derivate eosinofil) inflamasi di
jaringankonjunctivahyperplasia akibatproliferasijaringangiant papil
9
- Konjungtivabulbi ODS: Injeksikonjungtiva (+)
Terpajan antigen/allergen reaksihipersensitivitastipe 1 terbentuk
antibody IgEspesifikterhadap antigen IgEberikatandengansel mast dan
basophil pelepasan mediator kimia (histamine) vasodilatasi, eksudasi,
hipersekresipadamatainjeksikonjunctiva (+)

- Kornea ODS: Horner Trants dots (+) di limbus


Terpajan antigen/allergen reaksihipersensitivitastipe 1 terbentuk
antibody IgEspesifikterhadap antigen IgEberikatandengansel mast dan
basophil debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan
limfosit degenerasiepitelkorneaterbentuk

c. Bagaiman teknik pemeriksaan visus pada pasien yang mengalami blefarospasme?


Jawab:
Pada blefarospasme, pasien masih bisa melihat dari celah antar palpebra yang
sempit. Sehingga pemeriksaan visus masih bisa dilakukan.
Selain itu, lapangan pandang pasien menjadi semakin sempit sehingga mata
terfokuskan saat pemeriksaan visus, seperti ketika memicingkan mata.
Namun, pada blefarospasme yg hampir menutup sempurna, pasien harus
membuka matanya secara paksa dengan memakai kedua tangannya dan
dipertahankan selama pemeriksaan visus.

d. Bagaimana teknik pemeriksaan:


- Tekanan intraocular?
- Konjungtiva tarsal?
- Konjungtiva Bulbi ?
- Kornea ?
Jawab:
- Tekanan intraocular
- Tonometri Digital/ Palpasi
Merupakan pengukuran tekanan bola mata dengan jari pemeriksa
Alat : jari telunjuk kedua tangan pemeriksa

10
Teknik :

 Mata ditutup

 Pandangan kedua mata menghadap kebawah

 Jari-jari yang lain bersandar pada dahi dan pipi pasien

 Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian belakang kornea
bergantian

 Satu telunjuk mengimbangi saat telunjuk lain menekan bola mata

Nilai : didapat kesan berapa ringannya bola mata ditekan.


Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut : N : normal, N+1 : agak
tinggi, N+2 : lebih tinggi lagi, N-1 : lebih rendah dari normal dst.

Keuntungan :
cari ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau
sulit

Kekurangan :
Cari ini memerlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat faktor subjektif

- Tonometri Schiotz

Tonometer Schiotz merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan


kornea dengan beban yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Benda yang
ditaruh pada bola mata (kornea) akan menekan bola mata kedalam dan
mendapatkan perlawanan tekanan dari dalam melalui kornea. Keseimbangan
tekanan tergantung beban tonometer.

Alat dan Bahan : Tonometer Schiotz dan anestesi local (pantokain 0.5%)

Teknik :

11
 Pasien diminta rileks dan tidur telentang

 Mata diteteskan pantokain dan ditunggu sampai pasien tidak merasa


perih

 Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan
sampai bola mata tertekan

 Pasien diminta melihat lurus keatas dan telapak tonometer Schiotz


diletakkan pada permukaan kornea tanpa menekannya

 Baca nilai tekanan skala busur schiotz yang berantara 0-15. Apabila
dengan beban 5.5 gr (beban standar) terbaca kurang dari 3 maka
ditambahkan beban 7.5 atau 10 gr.

Nilai : pembacaan skala dikonversikan pada table tonometer schoitz untuk


mengetahui tekanan bola mata dalam mmHg
Pada tekanan lebih dari 20mmHg dicurigai glaucoma, jika lebih dari 25
mmHg pasien menderita glaucoma.

Angk Tekanan bola mata (mmHg) berdasarkan


a masing masing beban
skala 5.5 7.5 10
gr gr gr
3.0 24.4 35.8 50.6
3.5 22.4 33.0 46.9
4.0 20.6 30.4 43.4
4.5 18.9 28.0 40.2
5.0 17.3 25.8 37.2
5.5 15.9 23.8 34.4
6.0 14.6 21.9 31.8
6.5 13.4 20.1 29.4
7.0 12.2 18.5 27.2
7.5 11.2 17.0 25.1
8.0 10.2 15.6 23.1
8.5 9.4 14.3 21.3
9.0 8.5 13.1 19.6

12
9.5 7.8 12.0 18.0
10.0 7.1 10.9 16.5
Kekurangan : tonometer schiotz tidak dapat dipercaya pada penderita myopia
dan penyakit tiroid dibanding dengan tonometer aplanasi karena terdapat
pengaruh kekakuan sclera pada penderita myopia dan tiroid.

- Tonometri Aplanasi/Goldmann
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan tekanan intra ocular dengan
menghilangkan pengaruh kekakuan sclera dengan mendatarkan permukaan
kornea.
Tekanan merupakan tenaga dibagi dengan luas yang ditekan. Untuk mengukur
tekanan mata harus diketahui luas penampang yang ditekan alat sampai kornea
rata dan jumlah tenaga yang diberikan. Pada tonometer Aplanasi Goldmann
jumlah tekanan dibagi penampang dikali 10 dikonversi dalam mmHg tekanan
bola mata. Dengan tonometer aplanasi tidak diperhatikan kekakuan sclera
karena pada tonometer ini pengembangan dalam mata 0.5 mm 3 sehingga tidak
terjadi pengembangan sclera yang berarti. Pada tonometer schiotz , pergerakan
cairan bola mata sebanyak 7-14 mm3 sehingga kekakuan sclera memegang
peranan dalam penghitungan tekanan bola mata

Alat :

 Slit lamp dengan sinar biru

 Tonometer Aplanasi

 Flouresein strip

 Obat anastesi local

Teknik :

 Mata yang akan diperiksa diberi anastesi topical pantocain 0.5%

13
 Pada mata tersebut ditempelkan kertas flouresein yaitu pada daerah
limbus inferior. Sinar oblik warna biru disinarkan dari slit lamp
kedasar telapak prisma tonometer Aplanasi Goldmann

 Pasien diminta duduk dan meletakkan dagunya pada slitlamp dan


dahinya tepat dipenyangganya.

 Pada skala tonometer aplanasi dipasang tombol tekanan 10mmHg

 Telapak prisma aplanasi didekatkan pada kornea perlahan lahan

 Tekanan ditambah sehingga gambar kedua setengah lingkaran pada


kornea yang telah diberi flouresein terlihat bagian luar berhimpit
dengan bagian dalam

 Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang member


gambaran setengah lingkaran yang berhimpit. Tekanan tersebut
merupakan TIO dalam mmHg.

Nilai : dengan tonometer Aplanasi, jika


TIO > 20 mmHg sudah dianggap
menderita glaucoma.

- Tonometri Non-Contact (Air puff)

Prototipe tonometer non contact pertama kali diperkenalkan oleh Grolman


tahun 1970. Tonometer ini mengukur TIO tanpa menyentuh mata. Alat ini

14
menggunakan udara untuk mendatarkan kornea lalu mengukur waktu dan
jumlah energi yang diperlukan untuk mendeformasi kornea. Hasil dari alat ini
sangat bervariasi dan TIO kadang terukur lebih tinggi terutama bila TIO > 20
mmHg, namun alat ini relatif mudah dipakai sehingga dapat digunakan untuk
memeriksa pasien dalam jumlah banyak seperti pada skrining glaukoma. Alat
ini mempunyai kalibrasi internal.

Tonometer non contact memiliki beberapa kelebihan dibandingkan tonometer


yang memerlukan kontak dengan kornea yaitu dapat digunakan pada penderita
dengan aberasi kornea, alergi terhadap obat tetes topikal, infeksi mata dan
baru saja menjalani operasi. Tonometer non contact mengukur TIO dengan
cepat sehingga dapat terjadi variasi tiap kali pengukuran. Jika pengukuran
dilakukan segera setelah mengedip dan saat puncak pulsasi okular atau siklus
respirasi maka hasil pengukuran akan tinggi. Oleh karena itu pengukuran
dengan menggunakan alat ini harus diulang 3 – 4 kali.

Seluruh tonometer non contact menginterpretasi pengukuran bardasarkan


refleksi dari image kornea, karenanya sulit mengukur TIO penderita dengan
permukaan kornea yang abnormal. Selain itu penderita yang tidak dapat
memfiksasi mata dengan baik misalnya nistagmus tidak dapat diukur dengan
alat ini.

Teknik pengukuran dengan menggunakan tonometer non contact sebagai


berikut:

1. Instrumen yang menghadap ke kornea dibersihkan dengan antiseptik


misalnya alkohol
2. Pasien dalam posisi duduk lalu mata melihat ke depan
3. Setelah didapatkan posisi yang tepat (sentral), tombol pengukuran
ditekan
4. Pengukuran diulang beberapa kali
5. Pemeriksa membaca hasil pemeriksaan pada hasil print out

- Konjungtiva Tarsal dan Konjungtiva Bulbi

15
Posisi pasien duduk sama tinggi dengan pemeriksa atau tidur telentang
dengan posisi kepala lurus kedepan. Letakkan ujung ibu jari tangan kanan
pemeriksa pada palpebra inferior kiri dan letakan jari- jari lainnya
sedemikian rupa pada pipi kiri pasien. Tekan dan tariklah ujung ibu jari
kearah inferior.

- Kornea

Untuk menginspeksi kornea dan ruang anterior,


arahkan cahaya senter ke dalam mata klien dari
beberapa sudut sisi. Normalnya, kornea dan ruang
anterior bersih dan transparan. Hitung kedalaman
ruang anterior dari samping dengan menggambarkan jarak antara kornea
dengan iris. Iris harus teriluminasi dengan cahay dari samping. Permukaan
kornea normalnya tampak bercahaya dan terang tanpa adanya jaringan
parut atau ketidakteraturan. Pada klien lansia, arkus senilis (cincin abu-abu
putih di sekeliling tepi kornea) merupakan hal yang normal.

Uji sensitivitas korneal, yang menunjukkan keutuhan fungsi saraf


kranial V (saraf trigemeinus) dengan sedikit mengusapkan kapas di
permukaan kornea. Kelopak di kedua mata harus menutup ketika anda
menyentuh kornea. Gunakan kapas yang berbeda untuk setiap mata untuk
menghindari kontaminasi silang.

16
IV. Keterkaitan Antar Masalah
Anak laki-laki 9 tahun terpajan debu, cahaya, dan panas matahari

Reaksi Hipersensitivitas tipe 1------------------Riwayat asma pada ayah
↓ ↓
Vasodilator Pelepasan histamine oleh sel mast
Kapiler ↓
↓ Gatal
Mata Merah

V. Hipotesis: Seorang anak laki-laki usia 9 tahun menderita vernal


keratokonjungtivitis ODS.
a. Bagaimana diagnosis banding pada kasus ini?
Jawab:
Diagnosis banding pada umumnya tidak sulit, kecuali yang dihadapi penderita
dewasa muda, karena mungkin suatu konjungtivitis atopik. Kelainan mata pada
konjungtivitis atopik berupa kelopak mata yang tebal, likenisasi, konjungtiva
hiperemi dan kemosis disertai papil- papil di konjungtiva tarsalis inferior. Kadang-
kadang papil ini bias besar mirip cobble stone dan dapat dijumpai pada konjungtiva
tarsalis superior. Trantas dot’s juga bias dijumpai pada konjungtivitis atopik
meskipun tidak sesering pada konjungtivitis vernalis.
Selain konjungtivitis atopik, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya Giant
Papillary conjungtivitis pada pemakaian lensa kontak, baik yang hard maupun yang
soft. Gejalanya mulai dengan gatal disertai banyak mucus serta timbulnya atau
ditemukannya papil raksasa di knjungtiva tarsalis superior. Kelainan ini dapat
timbul baik satu minggu sesudah pemakaian lensa kontak maupun setelah lama
pemakaian. Pada kelainan ini tidak ada pengaruh musim. Pemeriksaan sitologi
hanya menunjukkan sedikit eosinofil. Dengan dilepasnya kontak lens, gejala-
gejalanya akan berkurang. Konjungtivitis vernalis kadang- kadang perlu di
diagnosis banding dengan trachoma stadium II yang disertai folikel- folikel yang
besar mirip cobble stone.

b. Bagaimana cara menegakkan diagnosis dan WD pada kasus ini?


17
Jawab:
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, adanya riwayat atopi, dan
pemeriksaan penunjang.
 Gambaran klinis berupa:
- Rasa gatal yang terusmenerus pada mata
- Mata sering berair
- Rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata
- Fotofobia
- Ptosis
- Sekret mata berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning
tua
- Pada konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil cobblestone
yang menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil
- Pada limbus dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang disebut
sebagai trantas dots
 Adanya riwayat atopi pada pasien atau anggota keluarganya
 Pemeriksaan penunjang:
- Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar IgG serum, IgE serum dan
air mata, kadar histamin serum dan air mata meningkat; dan adanya IgE
spesifik.
- Pemeriksaan mikroskopik dari scraping konjungtiva, patognomonik KV bila
dijumpai > 2 sel eosinofil dengan pembesaran lensa objektif 40x.
- Gambaran histopatologik jaringan konjungtiva pada KV dijumpai sel
eosinofil, sel mast dan sel basofil. Selain itu juga terjadi perubahan pada
mikrovaskular dari sel endotel serta ditemukannya deposit jaringan fibrosis,
infiltrasi sel limfosit dan netrofil.
- Hasil uji kulit umumnya positif terhadap alergen tertentu, terutama serbuk
bunga, debu rumah, tungau debu rumah; namun kadang-kadang uji kulit dapat
memberikan hasil yang negatif.

c. Apa definisi dari vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:

18
Suatu peradangan konjungtiva kronik, rekuren bilateral, atopi, yang mengandung
secret mucous sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit ini juga
dikenal sebagai “catarrh musim semi”.

d. Bagaimana etiologi vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Etiologi konjungtivitis vernalis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Namun penyebab konjungtivitis vernalis berkaitan dengan reaksi hipersensitifitas
atau reaksi alergi pada mata terhadap allergen yang ada di udara dan cenderung
kambuh pada musim panas, atau cuaca tertentu dimana antigen (zat yang dapat
memicu respon imun yang menyebabkan produksi antibodisebagai bagian dari
pertahanan tubuh terhadap infeksi dan penyakit.) banyak tersebar misalnya serbuk
sari, debu, tungau debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik berupa panas
sinar matahari atau angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau
lebih alergen atau bersama-sama dengan faktor–faktor lain. Pasien seorang pelajar
dimana lingkungan sangat erat berpengaruh sebagai sumber alergen misalnya saja
debu, serbuk sari dan pajanan sinar matahari.

e. Bagaimana epidemiologi vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:

Pada daerah yang berdebu (Sub Sahara, Afrika) serta daerah tropis. Lebih sering
ditemukan pada musim semi, panas, gugur dibandingkan pada saat musim dingin.

f. Apa saja faktor resiko vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi konjungtivitis vernalis adalah:
- musim kemarau
- lingkungan (tempat tinggal) yang sering terpapar oleh alergen debu
- serbuk sari
- partikel kulit binatang
- umur
- pekerjaan
- status gizi
- cuaca

19
- riwayat penyakit atopik.

g. Bagaimana patofisiologi vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas
tipe I merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV. Pemeriksaan
histopatologik dari lesi di konjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast,
eosinophil dan limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya,
infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akanmembentuk papil raksasa. Penemuan ini
menjelaskan bahwa KV bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I
fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV.Bonini dkk,menemukan
bahwa hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran dalam KV. Faktor lain
yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast. Reaksi
hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik terhadap
antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut.Antibodi IgE berperan sebagai
homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil.Ikatan
antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan
menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-mediator kimia
seperti histamin, slow reacting substance of anaphylaxis,bradikinin, serotonin,
eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin
adalahmediator yang berperan penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi,
eksudasi dan hipersekresi pada mata.Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti
mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg
bersifat mukoid.Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai
karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada
permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan
dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinophil yang dapat
menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas tipe IV,
terjadi karena sel limfosit T yang telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan
suatu antigen tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi
infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan

20
indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan
konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila
penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis
kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi
sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga
disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel
limfosit.Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast
tanpa melalui ikatan alergen IgE.Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain
disebabkan oleh rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non
spesifik, misal rangsangan panas sinar matahari, angin.

h. Apa saja manifestasi klinis vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Pasien umumnya mengeluh tentang gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-
serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi dan kadang-kadang pada pasien
muda juga. Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla
halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering
memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papil raksasa berbentuk poligonal,
dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler. Mungkin terdapat tahi mata
berserabut dan pseudomembran fibrinosa (tandaMaxwell-Lyons).
Sebuah pseudogerontoxon (arcus) sering terlihat pada kornea dekat papilla limbus.
Bintik- bintik Tranta adalah bintik-bintik putih yang terlihat di limbus pada
beberapa pasiendengan konjungtivitis vernalis selama fase aktif dari penyakit
ini.Sering tampak mikropannus pada konjungtivitis vernal palpebra dan
limbus,namun pannus besar jarang dijumpai. Biasanya tidak timbul parut pada
konjungtiva kecuali jika pasien telah menjalani krioterapi, pengangkatan papilla,
iradiasi, atau prosedur lain yang dapat merusak konjungtiva.

i. Bagaimana komplikasi vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
- Blefaritis
- Konjungtivitis stafilokok
- Shield ulcus (ulkus kornea superfisial), terjadi pada vernal konjungtivitis yang
sudah cukup berat dan harus ditangani dengan medikasi (penyuntikan depot
21
kortikosteroid supratarsal) karena terapi standar tidak mampu menangani lesi
kornea ini.

j. Bagaimana prognosis vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya
member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk jangka panjang. steroid
sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit mempengharuhi penyakit
kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat
sangat merugikan. Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus
sedang sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada
manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan pasien. Agaknya
yang paling baik adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang
melakukan ini sangat tertolong bahkan dapat sembuh total.
Karena konjungtivitis alergi umumnya sembuh sendiri, maka prognosisnya
menguntungkan. Komplikasi sangat langka, kornea ulcer atau keratoconus jarang
terjadi. Meskipun konjungtivitis alergi umumnya terulang kembali, penyakit ini
jarang menyebabkan kerugian visual.

k. Bagaimana tata laksana vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Satu- satunya terapi yang dipandang paling efektif untuk pengobatan
konjungtivitis vernalis ini adalah kortikosteroid, baik topical maupun sistemik.
Namun untuk pemakaian dalam dosis besar harus diperhitungkan kemungkinan
timbulnya resiko yang tidak diharapkan.
Untuk Konjungtivitis vernal yang berat, bias diberikan steroid topical
prednisolone fosfat 1%, 6- 8 kali sehari selama satu minggu. Kemudian dilanjutkan
dengan reduksi dosis sampai dosis terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut.
Pada kasus yang lebih parah, bias juga digunakan steroid sistemik seperti
prednisolon asetet, prednisolone fosfat atau deksametason fosfat 2- 3 tablet 4 kali
sehari selama 1-2 minggu. Satu hal yang perlu diingat dalam kaitan dengan
pemakaian preparat steroid adalah gnakan dosis serendah mungkin dan sesingkat
mungkin.Antihistamin, baik local maupun sistemik dapat dipertimbangkan sebagai
plihan lain karena kemampuannya untuk mengurangi rasa gatal yang dialami
22
pasien. Apabila dikombinasi dengan vasokonstriktor, dapat memberikan control
yang memadai pada kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis. Bahkan
menangguhkan pemberian kortikosteroid topical. Satu hal yang tidak disukai dari
pemakaian antihistamin adalah efek samping yang menimbulkan kantuk. Pada
anak- anak, hal ini dapat juga mengganggu aktivitas sehari- hari.
Emedastine adalah antihistamin paling poten yang tersedia di pasaran dengan
kemampuan mencegah sekresi sitokin. Sementara olopatadine merupakan
antihistamin yang berfungsi sebagai inhibitor degranulasi sel mast konjungtiva.
Sodium kromolin 4% terbukti bermanfaat karena kemampuannya sebaga pengganti
steroid bila pasien sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu
mengurangi kebutuhan akan pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai
stabilisator sel masi, mencegah terlepasnya beberapa mediator yang dihasilkan pada
reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat pengikatan IgE terhadap sel
maupun interaksi sel IgE dengan antigen spesifik. Titik tangkapnya, diduga sodium
kromolin memblok kanal kalsium pada membrane sel serta menghambat pelepasan
histamine dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi.Lodoksamid 0,1%
bermanfaat mengurangi infiltrate radang terutama eosinofil dalam konjungtiva.
Levokabastin tetes mata merupakan suatu antihistamin yang spesifik terhadap
konjungtivitis vernalis, dimana symptom konjungtivitis vernalis hilang dalam 14
hari.

l. Apa SKDI dari vernal keratokonjungtivitis ODS?


Jawab:
Kompetensi 3A.

23
VI. Sintesis Masalah
1. Anatomi dan Histologi Mata

Kelopak Mata

Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta


mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan
komea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi
bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata. Dapat
membuka diri untuk memberi jalan masuk sinar kedalam bola mata yang
dibutuhkan untuk penglihatan.Pembasahan dan. pelicinan seluruh permukaan
bola mata terjadi karena pemerataan air mata dan sekresi berbagai kelenjar
sebagai akibat gerakan buka tutup kelopak mata. Kedipan kelopak mata sekaligus
menyingkirkan debu yang masuk.

Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian
belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.

Pada kelopak terdapat bagian-bagian :

- Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat,


kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.

- Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak


atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo
palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M.
orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N. facial M. levator
palpebra, yang berorigo pada anulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus
atas dengan sebagian menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak
bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai

24
sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh n. III, yang berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata.

- Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar
di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.

- Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita
merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.

- Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh
lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas jaringan ikat yang
merupakan jaringan penyokong kelopak dengan kelenjar Meibom (40 bush di
kelopak atas dan 20 pada kelopak bawah).

- Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.

-Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N.V,
sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.

Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan
melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus
okuli. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang mempunyai sel Goblet
yang menghasilkan musin.

Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian


belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Selaput ini mencegah benda-benda asing di dalam mata seperti bulu mata atau
lensa kontak (contact lens), agar tidak tergelincir ke belakang mata. Bersama-
sama dengan kelenjar lacrimal yang memproduksi air mata, selaput ini turut
menjaga agar cornea tidak kering.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

25
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan
dari tarsus.

- Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di


bawahnya.

- Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat


peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan


jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Bola Mata

Bola mata terdiri atas :

- dinding bola mata

- isi bola mata.

Dinding bola mata terdiri atas :

- sklera

- kornea.

Isi bola mata terdiri atas uvea, retina, badan kaca dan lensa.

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga
terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh
3 lapis jaringan, yaitu :

1. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada
mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan
sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk
ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera.
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi
oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada
ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid.

26
Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan
pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam
bola mata. Otot dilatator dipersarafi oleh parasimpatis, sedang sfingter iris dan
otot siliar di persarafi oleh parasimpatis. Otot siliar yang terletak di badan
siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi.

Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata
(akuos humor), yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada
pangkal iris di batas kornea dan sklera.

3. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik
dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina dan
koroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina.
Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin yang
hanya menempel pupil saraf optik, makula dan pars plans. Bila terdapat
jaringan ikat di dalam badan kaca disertai dengan tarikan pada retina, maka
akan robek dan terjadi ablasi retina.

Lensa terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada


badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada
akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah
makula lutea.

Sklera

Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan


pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berjalan dari papil saraf optik
sampai kornea. Sklera sebagai dinding bola mata merupakan jaringan yang kuat,
tidak bening, tidak kenyal dan tebalnya kira-kira 1 mm.

Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vaskular. Sklera mempunyai
kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata.
Dibagian belakang saraf optik menembus sklera dan tempat tersebut disebut

27
kribosa. Bagian luar sklera berwarna putih dan halus dilapisi oleh kapsul Tenon
dan dibagian depan oleh konjungtiva. Diantara stroma sklera dan kapsul Tenon
terdapat episklera. Bagian dalamnya berwarna coklat dan kasar dan dihubungkan
dengan koroid oleh filamen-filamen jaringan ikat yang berpigmen, yang
merupakan dinding luar ruangan suprakoroid.

Kornea

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola
mata sebelah depan dan terdiri atas lapis :

1. Epitel

- Tebalnya 50 pm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal Bering terlihat mitosis sel, dan sel muds ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

28
- Terletak di bawah membran basal epitel komea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi

3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.

4. Membran Descement

- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma komea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

- Bersifat sangat elastik dan berkembang terns seumur hidup, mempunyai tebal 40
µm.

5. Endotel

- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 pm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbul Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.

29
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

Uvea

Walaupun dibicarakan sebagai isi, sesungguhnya uvea merupakan dinding kedua


bola mata yang lunak, terdiri atas 3 bagian, yaitu iris, badan siliar, dan koroid.

Pendarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah
arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal
dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2
pada setiap otot superior, medial inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar
anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis
mayor pada badan siliar. Uvae posterior mendapat perdarahan dari 15 - 20 buah
arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saraf
optik.

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata
dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik, yang menerima 3 akar
saraf di bagian posterior yaitu :

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut
sensoris untuk komea, iris, dan badan siliar.

30
2. Saraf simpatis yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf
simpatis yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan
untuk dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk
mengecilkan pupil.
Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris terdiri
atas bagian pupil dan bagian tepi siliar, dan badan siliar terletak antara iris dan
koroid. Batas antara korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm
temporal dan 7 mm nasal. Di dalam badan siliar terdapat 3 otot akomodasi yaitu
longitudinal, radiar, dan sirkular.1

Ditengah iris terdapat lubang yang dinamakan pupil, yang mengatur banyak
sedikitnya cahaya yang masuk kedalam mata. Iris berpangkal pada badan siliar
dan memisahkan bilik mata depan dengan bilik mata belakang. Permukaan depan
iris warnanya sangat bervariasi dan mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama
sekitar pupil yang disebut kripti.

Badan siliar dimulai dari basis iris kebelakang sampai koroid, yang terdiri atas
otot-otot siliar dan proses siliar. Otot-otot siliar berfungsi untuk akomodasi. Jika
otot-otot ini berkontraksi ia menarik proses siliar dan koroid kedepan dan
kedalam, mengendorkan zonula Zinn sehingga lensa menjadi lebih cembung.

Koroid adalah suatu membran yang berwarna coklat tua, yang letaknya diantara
sklera dan. retina terbentang dari ora serata sampai kepapil saraf optik. Koroid
kaya pembuluh darah dan berfungsi terutama memberi nutrisi kepada retina.

31
Pupil

Pupil merupakan lubang ditengah iris yang mengatur banyak sedikitnya cahaya
yang masuk.

Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis.


Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan orang tua pupil mengecil akibat
rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis.

Pupil waktu tidur kecil , hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan
tidur sesungguhnya. Pupil kecil waktu tidur akibat dari :

1. Berkurangnya rangsangan simpatis


2. Kurang rangsangan hambatan miosis
Bila subkorteks bekerja sempurna maka terjadi miosis. Di waktu bangun korteks
menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan
subkorteks hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan
menjadikan miosis. Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis
pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang
difragmanya dikecilkan.

Sudut bilik mata depan

Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada
bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan
pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam
bola mata sehinga tekanan bola mata meninggi atau glaukoma. Berdekatan dengan
sudut ini didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schelmm, baji sklera, garis
Schwalbe dan jonjot iris.

Sudut filtrasi berbatas dengan akar berhubungan dengan sklera kornea dan disini
ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan
batas belakang sudut filtrasi Berta tempat insersi otot siliar longitudinal. Anyaman
trabekula mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua komponen
yaitu badan siliar dan uvea. Pada sudut fitrasi terdapat garis Schwalbe yang
merupakan akhir perifer endotel dan membran descement, dan kanal Schlemm

32
yang menampung cairan mata keluar ke salurannya. Sudut bilik mata depan
sempit terdapat pada mata berbakat glaukoma sudut tertutup, hipermetropia,
blokade pupil, katarak intumesen, dan sinekia posterior perifer.

Retina

Retina adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas penyebaran
daripada serabut-serabut saraf optik. Letaknya antara badan kaca dan koroid.
Bagian anterior berakhir pada ora serata. Dibagian retina yang letaknya sesuai
dengan sumbu penglihatan terdapat makula lutea (bintik kuning) kira-kira ber-
diameter 1 - 2 mm yang berperan penting untuk tajam penglihatan. Ditengah
makula lutea terdapat bercak mengkilat yang merupakan reflek fovea.

Kira-kira 3 mm kearah nasal kutub belakang bola mata terdapat daerah bulat putih
kemerah-merahan, disebut papil saraf optik, yang ditengahnya agak melekuk
dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina sentral bersama venanya masuk kedalam
bola mata ditengah papil saraf optik. Arteri retina merupakan pembuluh darah
terminal.

Retina terdiri atas lapisan:

1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.

2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.

33
3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang.
Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel
Muller Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral
6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps
sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arch saraf
optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.
Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.1
Batang lebih banyak daripada kerucut, kecuali didaerah makula, dimana kerucut
lebih banyak. Daerah papil saraf optik terutama terdiri atas serabut saraf optik dan
tidak mempunyai daya penglihatan (bintik buta).

Badan kaca

Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara
lensa dengan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata.
Mengandung air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air.
Sesungguhnya fungsi badan kaca sama dengan fungsi cairan mata, yaitu
mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang untuk
meneruskan sinar dari lensa ke retina. Badan kaca melekat pada bagian tertentu
jaringan bola mata. Perlekatan itu terdapat pada bagian yang disebut ora serata,
pars plana, dan papil saraf optik. Kebeningan badan kaca disebabkan tidak
terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya
kekeruhan badan kaca akan memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan
oftalmoskopi.

Struktur badan kaca merupakan anyaman yang bening dengan diantaranya cairan
bening. Badan kaca tidak mempunyai pembuluh darah dan menerima nutrisinya
dari jaringan sekitarnya: koroid, badan siliar dan retina.

34
Lensa mata

Lensa merupakan badan yang bening, bikonveks 5 mm tebalnya dan berdiameter


9 mm pada orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih melengkung
daripada bagian anterior. Kedua permukaan tersebut bertemu pada tepi lensa yang
dinamakan ekuator. Lensa mempunyai kapsul yang bening dan pada ekuator
difiksasi oleh zonula Zinn pada badan siliar. Lensa pada orang dewasa terdiri atas
bagian inti (nukleus) dan bagian tepi (korteks). Nukleus lebih keras daripada
korteks.

Dengan bertambahnya umur, nukleus makin membesar sedang korteks makin


menipis, sehingga akhirnya seluruh lensa mempunyai konsistensi nukleus.

Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu :

- Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk
menjadi cembung

- Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,

- Terletak di tempatnya.

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :

- Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia,

- Keruh atau spa yang disebut katarak,

- Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi.

Lensa orang dewasa di dalam perjalanan hidupnya akan menjadi bertambah besar
dan berat. Fungsi lensa adalah untuk membias cahaya, sehingga difokuskan pada
retina. Peningkatan kekuatan pembiasan lensa disebut akomodasi.

35
Secara histologis, lensa memiliki tiga komponen utama:

1. Kapsul lensa

Lensa dibungkus oleh simpai tebal (10-20 μm), homogen, refraktil, dan kaya akan
karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epithel. Kapsul ini merupakan
suatu membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas kolagen tipe IV
dan glikoprotein. Kapsul lensa paling tebal berada di ekuator (14 μm) dan paling
tipis pada kutub posterior (3 μm). Kapsul lensa bersifat semipermeabel, artinya
sebagian zat dapat melewati lensa dan sebagian lagi tidak.

2. Epitel subkapsular

Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada
permukaan anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah
menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk
serat lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup dengan
terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang terdapat di ekuator lensa. Sel-sel
epitel ini memiliki banyak interdigitasi dengan serat-serat lensa.

3. Serat lensa

Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng.
Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel
subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan menjadi
sangat panjang. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin.

36
Lensa ditahan di tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial yang
disebut zonula, yang satu sisinya tertanam di kapsul lensa dan sisi lainnya pada
badan siliar. Serat zonula serupa dengan miofibril serat elastin. Sistem ini penting
untuk proses akomodasi, yang dapat memfokuskan objek dekat dan jauh dengan
mengubah kecembungan lensa. Bila mata sedang istirahat atau memandang objek
yang jauh, lensa tetap diregangkan oleh zonula pada bidang yang tegak lurus
terhadap sumbu optik. Bila melihat dekat, muskulus siliaris akan berkontraksi, dan
koroid beserta badan siliar akan tertarik ke depan. Ketegangan yang dihasilkan
zonula akan berkurang dan lensa menebal sehingga fokus objek dapat
dipertahankan (Junqueira dan Carneiro, 2004).

Rongga Orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar
orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum
dan zigomatikus.

37
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung.
Dinding lateral orbita membentuk sudut 45 derajat dengan dinding medialnya.

Dinding orbita terdiri atas tulang :

1. Atap atau superior : os.frontal


2. Lateral : os.frontal. os. zigomatik, ala magna os. fenoid
3. Inferior : os. zigomatik, os. maksila, os. palatina
4. Nasal : os. maksila, os. lakrimal, os. etmoid
Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik, arteri,
vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.

Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V),
saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V),
abdusen (VI), dan arteri vena oftalmik.

Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf
infra-orbita dan zigomatik dan arteri infra orbita.

Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.

Rongga orbita tidak mengandung pembuluh atau kelenjar limfa.

Otot Penggerak Mata

38
Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakkan mata
tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot.1 Otot penggerak
mata terdiri atas 6 otot yaitu :

1. Otot Oblik Inferior


Oblik inferior mempunyai origo pada foss lakrimal tulang lakrimal, berinsersi
pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf
okulomotor, bekerja untuk menggerakkan mata keatas, abduksi dan
eksiklotorsi.

2. Otot Oblik Superior


Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenodi di atas
foramen optik, berjalan menuju troklea dan dikatrol batik dan kemudian
berjalan di atas otot rektus superior, yang kemudian berinsersi pada sklera
dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafi saraf ke IV
atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat.

Mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata dengan kerja
utama terjadi bila sumbu aksi dan sumbu penglihatan search atau mata melihat
ke arch nasal. Berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi (primer)
terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi dan insiklotorsi.

Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.

3. Otot Rektus Inferior


Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik
inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang
pada persilangan dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood.

Rektus inferior dipersarafi oleh n. III

Fungsi menggerakkan mata:

- depresi (gerak primer)

- eksoklotorsi (gerak sekunder)

- aduksi (gerak sekunder)

39
Rektus inferior membentuk sudut 23 derajat dengan sumbu penglihatan.

4. Otot Rektus Lateral


Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah
foramen optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan
menggerakkan mata terutama abduksi.

5. Otot Rektus Medius


Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura
saraf optik yang sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila
terdapat neuritis retrobulbar, dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus
medius merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon terpendek.

Menggerakkan mata untuk aduksi (gerak primer).

6. Otot Rektus Superior


Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita
superior beserta lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada
pergerakkan bola mata bila terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi
7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang superior N.III.

Fungsinya menggerakkan mata-elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral :

- aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral

- insiklotorsi

40
2. Fisiologi Mata

A. Proteksi Mata

Mata merupakan organ yang sangat penting lembut dan dilindungi oleh alis mata,
kelopak mata dan kelenjar lakrimal, juga oleh tulang orbital yang tersimpan di
dilam jaringan lemak.

Dalam Kasus ini, yang perlu kita bahas yaitu mengenai. Kelenjar lakrimal.

Kelenjar Lakriml terdiri atas:

1. Kelenjar lakrima, terletak diatas mata pada sisi bagian luar dan menyekresi
cairan lakrimasi ke dalam sakus konjungtiva
2. Dua kanal halus, disebut canaliculi lakrimalis, membentang dari sudut bagian
dalam kelopak mata sampai ke sakus lakrimalis
3. Sakus Lakrimalis, membentang di sudut bagian dalam kelopak mata pada
lekukan tulang lakrimalis
4. Duktus nasolakrimalis, membentang dari sakus lakrimalis sampai kea rah
bawah hidung.

Sistem Lakrimasi

Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular,
dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas
salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan mata kering (Kanski
et al, 2011).

1. Aparatus Lakrimalis

Aparatus atau sistem lakrimalis terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus
ekskretori (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007), yaitu :

1. Aparatus Sekretorius Lakrimalis.

41
Aparatus sekretorius lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar
lakrimal assesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra
(kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem sekresi
terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata
tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada
rangsangan eksternal (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007).

2. Aparatus Ekskretorius Lakrimalis.

Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan


penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi (Sullivan,
2004). Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus kemudian
bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus
superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebeum
ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikulus, terdapat katup Rosenmuller
yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus
lakrimalis, air mata akan diekskresikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang
12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior. Disini juga

Anatomi fisiologi mata, Roger Watson

Setiap berkedip, palpebra menutup mirip retsleting dan menyebarkan air mata
mulai dari lateral. Air mata yang berlebih memenuhi sakus konjungtiva kemudian
bergerak ke medial untuk memasuki sistem ekskresi. Sewaktu kelopak mata mulai
membuka, aparatus ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya.
Saat kelopak mata atas turun, punkta akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan
terjadi setelah kelopak mata atas telah turun setengah bagian . Kontraksi otot

42
orbikularis okuli untuk menutup sempurna kelopak mata akan menimbulkan
tekanan menekan dan mendorong seluruh air mata melewati kanalikuli, sakus
lakrimalis, duktus nasolakrimalis dan meatus inferior. Kanalikuli akan memendek
dan menyempit serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak
seperti memeras. Kemudian setelah dua per tiga bagian kelopak mata akan
berangsur-angsur terbuka, punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian
akan berlangsung sampai kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang
kembali.

Tekanan intraokuler

Tingkat tekanan intraokuler tergantung pada keseimbangan antara produksi dan


eksresi akuos humor. Akuos humor dihasilkan oelh sekresi dan ultrafiltrasi dari
prosesus siliaris ke dalam bilik posterior. Kemudian dibagi menjadi 2 jalur:

1. Jalur trabkular / konvensional


Akueous (90%) menglir melalui pupil untuk memasuki bilik anterior dan
meninggalkan mata terutama melalui jalinan trabekula, kanal Sclemm dan vena
episklera

43
2. Jalur uveosklera / non konvensional
Sebagian kecil akueos (4%) mengalir melalui korpus siliaris ke ruang suprakoroid
dank e dalam sirkulasi vena pada sclera .

44
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Penyakit alergi okuli adalah suatu penyakit alergi pada konjungtiva atau kulit
kelopak mata yang timbul akibat respon imun. Reaksi inflamasi pada penyakit
alergen okuli ditimbulkan oleh Immunoglobulin E (IgE) yang menempel pada sel
mast dan menyebabkan lepasnya mediator- mediator inflamasi. Immunoglobulin E
berperan sebagai mediator utama antara allergen dan sel mast menyebabkan
hipersensitivitas tipe 1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 diawali dengan kontak
alergen dengan antigen presenting cell (APC).Hal ini menyebabkan sel T helper
tipe 2 (Th2) merangsang sel LIMFOSIT B untuk memproduksi IgE. Pada tahap
selanjutnya IgE akan terikat pada permukaan sel mast. Selain itu, sel Th2 juga
merangsang aktivasi eosinofil dan menyebabkan lepasnya granul-granul yang
akan menyebabkan reaksi alergi fase lambat.

Fungsi Histamin dalam tubuh:

1. Dilatasi kapiler, akibatnya

- Menurunnya resistensi perifer

- Menurunnya tekanan darah

2. Meningkatkan permeabilitas kapiler, akibatnya cairan plasma keluar ke ruangan


ekstrasel

3. Menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar

45
4. Aktivasi H1 menyebabkan frekuensi denyut jantung meningkat

5. Aktivasi H2 menyebabkan aritmia pada dosis tinggi

7. Meningkatkan sekresi asam lambung

Fungsi Bradikinin

1. Sebagai vasodilator pada endothelium, menyebabkan penurunan tekanan


darah.
2. Muskulokonstriktor pada otot polos pada bronkus dan lambung
3. Meningkatkan permeabilitas vascular
4. Terlibat dalam mekanisme nyeri
5. Menyebabkan natriuresis
6. Menyebabkan peningkatanan kadar kalsium pada astrosit neokortikal sehingga
melepaskan glutamat

Saat terjadi pajanan ulang dengan alergen, alergen akan terikat pada IgE di
permukaan sel mast dan menginduksi terjadinya influks kalsium. Influks kalsium
akan menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
mengakibatkan lepasnya mediator-mediator inflamasi sehingga timbul reaksi alergi
baik fase cepat (vasodilatasi, spasme otot polos) maupun fase lambat (edema
mukosa, sekresi mukus, infiltrasi lekosit, bronkhospasme).

46
Salah satu produk dari degranulasi sel mast adalah interleukin-4. Interleukin-4 akan
mengaktivasi kembali sel th2 sehingga terjadi posstive feedback pada proses alergi.
Sel th2 jjuga akan mengaktivasi sel B dan merangsan kembali produksi IgE
sehingga proses alergi berlangsung terus menerus. Pemeriksaan IgE dapat menjadi
salah satu hal terpenting untuk mendiagnosa konjungtivitis alergi.

Sebaran data penderita dengan riwayat alergi pada kedua kelompok dilaporkan
bahwa lebih dari 50% penderita memiliki riwayat alergi. Pada literatur dikatakan
bahwa sekitar 50% penderita alergi okuli memiliki riwayat alergi (atopi). Atopi
adalah respon sistem imun humoral terhadap allergen yang melibatkan produksi
allergen- specific IgE. Penderita dengan riwayat alergi (atopi) lebih mudah terjadi
alergi okuli. Hal ini disebabkan oleh adanya riwayat pajanan awal terhadap antigen
spesifik sehingga merangsang produksi IgE. IgE yang diproduksi menempel pada
reseptornya di permukaan sel mast. Pajanan ulang menyebabkan antigen menempel
pada IgE di sel mast dan terjadilah degranulasi sel mast. Pada saat terjadi pajanan
ulang inilah konsentrasi IgE dapat meningkat sampai 10 kali dari konsentrasi IgE
normal

Penyakit alergi okuli ini menurun seiring dengan pertambahan usia, dimana kasus
alergi okuli jarang didapatkan pada penderita usia tua (usia 60 tahun atau lebih).
Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi sel T karena pertambahan usia.
Penurunan fungsi sel T mengakibatkan disregulasi fungsi sel B dan menyebabkan
penurunan produksi IgE. Selain itu ada perbedaan jumlah pada sel limfosit itu
sendiri. Sel limfosit yang berperan pada sistem imun spesifik selular. Secara
spesifik, yang berperan pada imunitas selular adalah sel T CD4+ CD45RO+
“memory phenotype” yang berlebihan dan sedikit jumlah sel T CD4+ CD45RA+
“naïve phenotype” mengakibatkan penurunan kemampuan berespon terhadap
antigen baru dan antigen lama sehingga kasus alergi jarang didapatkan pada usia
tua.

47
4. Konjungtivitis

Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah
penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang
mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia
ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret
purulen kental (Hurwitz, 2009).
Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata
semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical
dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan
infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi
imunosupresif (Therese, 2002).

Pembagian Konjungtivitis
1. Konjungtivitis Bakteri
A. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
bakteri.Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata
merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk: yaitu hiperakut, akut,
subakut dan kronik.
 Konjungtivitis bakteri hiperakut, biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae,
Neisseria kochii dan N meningitidis.
 Konjungtivitis bakteri akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus.
 Konjungtivitis bakteri subakut, penyebab terseringnya adalah H influenza dan
Escherichia coli.
 Konjungtivitis bakterikronik, paling sering terjadi pada konjungtivitis
sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla,
2009).

48
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudianmengenai mata
yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini
biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis
dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).

C. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal sepertistreptococci,
staphylococci dan jenis Corynebacterium.Perubahan pada mekanisme pertahanan
tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan
infeksi klinis.Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya
kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran
darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab
perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik
(Visscher, 2009).
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang
meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah
sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh
lakrimasi dan berkedip.Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme
pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).

D. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi
konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada
kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain,
dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata (AOA,
2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis
bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada
lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal.Gejala yang paling khas
adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun
tidur.(James, 2005).
49
E. Diagnosis
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja
penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang
lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit
menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga
ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi,
riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat
alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak
(Marlin, 2009).

F. Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada
pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis.Parut di konjungtiva
paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal.Hal ini dapat mengurangi komponen
akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa
karena kehilangan sebagian sel goblet.Luka parut juga dapat mengubah bentuk
palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata
dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada
kornea (Vaughan, 2010).

G. Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya.Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh
diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik .Pada
konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas
dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

2. Konjungtivitis Virus
A. Definisi

50
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai
jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat
hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih
lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus
adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex
virus yang paling membahayakan.Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan
oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24),
poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan
dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang
menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang terkontaminasi
(Ilyas, 2008).

C. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis
konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz,
2009).Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada
etiologi.

D. Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya.Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus
biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan
kadang dijumpai pseudomembran.Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea
atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan
(Vaughan & Asbury, 2010).Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga
mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum
lainnya seperti sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV)
yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret
mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.
51
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan
coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing,
hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva
dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).

E. Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu
diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe menurut
penyebabnya.Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik
maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan
lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus (AOA,
2010).Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah
hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri
berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan,
tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan
biaya (Hurwitz, 2009).

F. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis.Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan
kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

G. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya
kornea (Scott, 2010).Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk
meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

3. Konjungtivitis Alergi
A. Definisi

52
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009).Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat
pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar,
2010).

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi
musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis
atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya.Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan
biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai
dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu.Vernal konjungtivitis
sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi
musiman.Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis
atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau
mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).

C. Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-
kategorinya.Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan
keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan
sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering
mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva
tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan
keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa
tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus
yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtivitis
papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal
(Vaughan, 2010).

53
D. Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis
alergi.Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa
gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan
fotofobia (Weissman, 2010).

E. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan
infeksi sekunder (Jatla, 2009).

F. Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal
dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka
pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).

4. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi.Penyakit ini ditandai dengan adanya
bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan
sistem imun yang terganggu.Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides
immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

5. Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis, Loa
loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium,
Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

6. Konjungtivitis kimia atau iritatif


Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan
yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis,

54
seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-gejala berupa
nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka
panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan
pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.
Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan
pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).

7. Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis
juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti
penyakit tiroid, gout dan karsinoid.Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan
oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau
penyebabnya (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan
dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah.(AOA,
2008).

Konjungtivitis Vernalis
Konjungtivitis vernalis merupakan salah satu bentuk proses inflamasi kronik dan
berulang pada mata, umumnya bilateral. Pasien dengan atopi mempunyai risiko
lebih besar untuk menderita KV.Konjungtivitis Vernalis dibedakan atas 3 tipe
yaitu tipe palpebra, tipe limbus atau campuran keduanya.
Prevalensi KV lebih tinggi di daerah tropis seperti Afrika, India, Mediteranian,
Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur Tengah.KV lebih banyak terdapat pada
kulit berwarna dibandingkan kulit putih.Penyakit ini lebih banyak didapatkan
pada laki-laki dengan perbandingan 3 : 1. Sebagian besar pasien berusia antara 3-
25 tahun.
Berdasarkan data rekam medik IKA FKUI/RSCM sejak tahun 1998 – 2003 di
Poliklinik Subbagian Alergi dan Imunologi, terdapat KV sebanyak 22 kasus KV
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 14 : 8. Etiologi KV sampai
saat ini belum diketahui dengan pasti.Beberapa faktor penyebab diduga adalah

55
alergen serbuk sari, debu, tungau debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik
berupa panas sinar matahari atau angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat
disebabkan oleh satu atau lebih alergen atau bersama-sama dengan faktor–faktor
lain.
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas
tipe I merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV. Pemeriksaan
histopatologik dari lesi di konjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast,
eosinophil dan limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya,
infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akanmembentuk papil raksasa. Penemuan
ini menjelaskan bahwa KV bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV.Bonini
dkk,menemukan bahwa hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran
dalam KV. Faktor lain yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel
mast. Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE
spesifik terhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut.Antibodi
IgE berperan sebagai homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan
sel basofil.Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan
basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-
mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of
anaphylaxis,bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-
faktor agregasi trombosit. Histamin adalahmediator yang berperan penting, yang
mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata.Keadaan
ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti
terbakar dan terdapat sekret yg bersifat mukoid.Terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai karakteristik, yaitu dengan adanya
ikatan antara antigen dengan IgE pada permukaan sel mast, maka mediator kimia
yang terbentuk kemudian akan dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan
derivat-derivat eosinophil yang dapat menyebabkan inflamasi di jaringan
konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang
telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu,
sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan
monosit (makrofag) serta menimbulkan

56
indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan
konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila
penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis
kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal.
Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat
juga disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel
limfosit.Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel
mast tanpa melalui ikatan alergen IgE.Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain
disebabkan oleh rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non
spesifik, misal rangsangan panas sinar matahari, angin.
Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terusmenerus pada mata, mata sering
berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di mata.Gejala lainnya
fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna
hijau atau kuning tua.KV dapat terjadi pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau
terjadi bersamaan dengan dominasi pada salah satu tempat tersebut.Pada
konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil cobblestone yang
menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan pada limbus
dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih yang disebut sebagai trantas dots,
yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel eosinofil. Apabila penyakit meluas sampai
kornea, disebut sebagai keratokonjungtivitis vernalis (KKV) dan digolongkan ke
dalam penyakit yang lebih berat, karena dapat menyebabkan penurunan visus.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadarIgG serum, IgE serum dan air
mata, kadar histamin serum dan air mata meningkat; dan adanya IgE
spesifik.Pemeriksaan mikroskopik dari scraping konjungtiva, patognomonik KV
bila dijumpai > 2 sel eosinofil dengan pembesaran lensa objektif 40x.Gambaran
histopatologik jaringan konjungtiva pada KV dijumpai sel eosinofil, sel mast dan
sel basofil. Selain itu juga terjadi perubahan pada mikrovaskular dari sel endotel
sertaditemukannya deposit jaringan fibrosis, infiltrasi sellimfosit dan netrofil.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, adanya riwayat atopi, dan
pemeriksaan penunjang.Hasil uji kulit umumnya positif terhadap alergen tertentu,
terutama serbuk bunga, debu rumah, tungau debu rumah; namun kadang-kadang
uji kulit dapat memberikan hasil yang negatif.
Diagnosis banding KV adalah konjungtivitis alergika musiman,
keratokonjungtivitis atopik, dan giant papillaryconjungtivitis.4,6 Pada
57
konjungtivitis alergi musiman, bersifat akut, mereda saat musim dingin, terdapat
edem konjungtiva, jarang disertai perubahan pada kornea. Pada
keratokonjungtivitis atopik tidak ada perbedaan usia atau jenis kelamin, adanya
sekret yang jernih, letak kelainan lebih sering di palpebra inferior, tidak terdapat
eosinophil pada scraping konjungtiva, Pada giant papillaryconjunctivitis
kelainan juga terdapat di konjungtiva tarsal superior namun dengan ukuran
diameter papila yang lebih dari 0,3 mm, penyebab tersering iritasi mekanik yang
lama terutama karena penggunaan lensa kontak.
Pada umumnya KV dapat sembuh sendiri setelah 2 – 10 tahun.Tujuan
pengobatan pada KV untuk menghilangkan gejala dan menghindari efek
iatrogenic yang serius dari obat yang diberikan (kortikosteroid).Prinsip
pengobatan bersifat konservatif. Tata laksana konjungtivitis vernalis berdasarkan
beratnya gejala dantanda penyakit, yaitu
1. Terapi utama : berupa penghindaran terhadap semua kemungkinan alergen
penyebab.
2. Terapi topical
Pemberian vasokonstriktor topikal dapat mengurangi gejala kemerahan dan edem
pada konjungtiva.Namun pada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan kombinasi obat vasokonstriktor dan antihistamin topikal (vasocon
A) mempunyaiefek yang lebih efektif dibanding pemberian yang terpisah.
Pemberian stabilisator sel mast yaitu natrium kromoglikat 2% atau sodium
kromolyn 4% atau iodoksamid trometamin dapat mencegah degranulasi dan
lepasnya substansi vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan
kortikosteroid topikal. Pemakaian iodoksamid dikatakan mempunyai efek yang
lebih baik dibandingkan dengan natrium kromoglikat 2% maupun sodium
kromolyn 4%.
Pemberian obat antiinflamasi non-steroid topical seperti diklofenak, suprofen,
flubirofen dan ketorolak dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase, namun
saat ini hanya ketorolak yang mendapat rekomendasi dari Food Drug
Administration.Bila obat-obatan topikal seperti antihistamin, vasokonstriktor,
atau sodium kromolyn tidak adekuat maka dapat dipertimbangkan pemberian
kortikosteroidtopikal.Allansmith melaporkan bahwa pemberian terapi “pulse”
dengan deksametason 1% topikal, diberikan tiap 2 jam, 8 kali sehari kemudian
diturunkan secara bertahap selama 1 minggu, dapat mengobati inflamasi pada
58
KV, tetapi bila tidak dalam serangan akut pemberian steroid topikal tidak
diperbolehkan. Saat ini preparat steroid digunakan dengan cara injeksi supratarsal
pada kasus KV yang refrakter. Siklosporin bekerja menghambat aksi interleukin
2 pada limfosit T dan menekan efek sel T dan eosinofil, terbukti bermanfaat
menurunkan gejala dan tanda KV.Terapi untuk kasus berulang yang tidak dapat
diobati dengan natrium kromoglikat atau steroid, diberikan siklosporin topikal
2% dan mitomisin-C topikal 0,01%.
3. Terapi sistemik
Pengobatan dengan antihistamin sistemik bermanfaatuntuk menambah efektivitas
pengobatan topikal.Pemberian aspirin dan indometasin (golongan antiinflamasi
non-steroid) yang bekerja sebagai penghambat enzim siklooksigenase dilaporkan
dapat mengurangi gejala KV.Kortikosteroid sistemik diberikan bila ada indikasi
khusus yaitu inflamasi berat pada kornea dan konjungtiva, bertujuan untuk
mencegah kerusakan jaringan.Pemberian montelukas dilaporkan dapat
mengurangi gejala pada pasien KV yang juga menderita asma atau pada pasien
yang mempunyai risiko terhadap terapi steroid.Namun hal ini masih dalam
perdebatan.Efektivitas pemberian imunoterapi sebagai terapi alergi pada mata
sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan.
4. Terapi suportif
- Desensitisasi dengan alergen inhalan.
- Kompres dingin pada mata dan menggunakan kacamata hitam.
- Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan berguna untuk mencuci mata
- Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke tempat berhawa
dingin.
5. Terapi bedah
Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah otografkonjungtiva dan krio terapi,
namun kelemahan kedua terapi ini dapat menyebabkan terjadinya sikatriks,
trikiasis, defisiensi air mata dan entropion.Keratotomi superfisial dapat dilakukan
untuk reepitelisasi kornea.
Tata laksana yang diberikan pada pasien ini adalahmenghindari penyebab dengan
cara mengurangi frekuensi bermain di luar rumah, menjaga kebersihan
lingkungan, memakai kacamata hitam, diberikan kortikosteroid topikal,
stabilisator sel mast (iodoksamid) topikal, dan terapi sistemik berupa
antihistamin, dan kortikosteroid. Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan
59
apabila sudah termasuk dalam derajat penyakit sedang ke berat.Penggunaan
stabilisator sel mast perlu diberikan dalam jangka panjang (4-6 bulan) untuk
mencegahkekambuhan.
Komplikasi yang timbul dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakitnya atau efek
samping pengobatan yang diberikan. Bila proses penyakit meluas ke kornea,
dapat terjadi parut kornea, astigmatisme, keratokonus, dan kebutaan. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan glaukoma, katarak dan infeksi
bakteri sekunder.
Walaupun penyakit ini termasuk self-limiting, namun bila proses
keratokonjungtivitis tidak dapat teratasi maka prognosisnya menjadi buruk.

60
VII. Kerangka Konsep

Anak 9 tahun terpapar alergen, Riwayat atopi


debu, cahaya, dan suhu keluarga

Terbentuk reaksi alergi


hipersensitivitas tipe I dan IV

Pelepasan Proliferasi Pembentukan Kontraksi


IgE Jaringan debris pada kornea M.Orbicularis
occuli berlebihan

Degranulasi sel Pembentukan Giant Horner trans dot


Blefarospasme
mast Papil

Pengeluaran Bradikinin
histamin dan
prostaglandin
Gatal

Injeksi
konjungtiva

61
VIII. Kesimpulan
Seorang anak berusia 9 tahun dengan riwayat atopi mengalami
keratokonjungtivitis vernal.

62
Daftar Pustaka

Alloyna, D. 2012 .Konjungtivis. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31458/4/


Chapter%20II.pdf (diunduh pada 25 Agustus 2014 pukul 20.05 WIB).

Baratawidjadja, Karnen Garna, Rengganis, Iris. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Budiati, Siti Widyastuti; Siregar, Sjawitri P. 2004.Konjungtivitis Vernalis.


http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-4-5.pdf (diunduh pada 25 Agustus 2014 pukul
21.00 WIB).

Ilyas, S., Konjungtivitis Vernalis dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, Cetakan I, Fakultas
Kedokteran UI, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004

Moehariadi, Hariwati dan Yasmine. 2012. "Perbandingan Konsentrasi IgE Air Mata
Penderita Alergi Okuli dengan Pemberian PemirolastPotassium 0,1% dan Sodium
Cromoglycate 4%". Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27.

Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English Language
edition,EGC,1995.

63

Anda mungkin juga menyukai