WK DENGAN PPOM
EKSASERBASI AKUT DI RUANG RATNA RSUP SANGLAH DENPASAR
TANGGAL 8-9 OKTOBER 2009
OLEH :
2. Epidemiologi/Insiden kasus
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah penderita PPOM.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis, dan emfisema menduduki
peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Penderita PPOM
umumnya penduduk usia pertengahan keatas. Jumlah penderita laki-laki lebih banyak
dari pada wanita, golongan sosial ekonomi rendah lebih tinggi dari pada golongan
sosial ekonomi tinggi, dan daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural.
Faktor-faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut adalah :
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an.
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (kurang dari 60% pada laki-laki di atas 15
tahun)
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota-kota besar dan lokasi industri dan pertambangan
3. Penyebab PPOM
Asap rokok adalah satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting
dibandingkan faktor penyebab lainnya. Pada kandungan asap rokok, banyak
mengandung partikel dan gas beracun yang mengakibatkan respon inflamasi pada
saluran napas. Meskipun begitu, ada faktor-faktor lain yang juga tidak bisa dianggap
remeh, yaitu polusi udara. Polusi udara terbagi menjadi :
a. Polusi dalam ruangan (asap rokok, asap kompor,dll)
b. Polusi luar ruangan (debu jalanan, gas buang kendaraan)
Karakteristik PPOM adalah adanya inflamasi kronik sepanjang jalan napas,
parenkim, dan vaskularisasi dari sistem paru. Pada timbulnya inflamasi, ada dua
kejadian penting pada patogenesis PPOM yaitu ketidakseimbangan antara proteinase
dan antiproteinase pada paru serta bahan oksidative stress. Inflamasi pada paru
disebabkan adanya paparan dari partikel dan gas beracun, terutama asap rokok sebagai
faktor penting yang secara langsung menyebabkan kerusakan paru.
Meskipun belum ada data yang kuat, faktor risiko yang lain selain asap rokok
juga diperkirakan menyebabkan proses yang sama untuk menimbulkan inflamasi paru
pada penyakit PPOM. Inflamasi pada paru akan menimbulkan kerusakan jaringan, yang
manifestasinya adalah timbulnya penyempitan saluran nafas dan fibrosis, destruksi
parenkim, dan hipersekresi mukus.
Secara garis besar, bronkitis kronis ditandai dengan pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, hipertrofi otot polos bronkus akibat fibrosis, kemudian emfisema ditandai
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Obstruksi pada saluran nafas bersifat ireversibel, dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran nafas kecil, yaitu inflamasi, fibrosis, hipertrofi otot polos dan
perubahan- perubahan ini terjadi akibat pembatasan jalan nafas yang hiperresponsive.
4. Klasifikasi PPOM
a. Bronkitis kronis
1. Pengertian
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang
berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut (Bruner &
Suddarth, 2002)
2. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi.
Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan
sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak
lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit
dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi
rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk
bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan.
Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik
yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan
paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan
bronkiektasis.
3. Tanda dan Gejala
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar
Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru
total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat
Gambar skematis anatomi saluran nafas pada Bronchitis Kronis dan Emfisema
b. Bronkiektasis
5. Pengertian
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi
bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran
pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi,
dan pembesaran nodus limfe (Bruner & Suddarth)
6. Patofisiologi
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat
batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus
bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses
paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis
biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling
bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya
menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps
(ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan
jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan
peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi
kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi) dan hipoksemia.
8. Pemeriksaan Penunjang
Bronkografi
Bronkoskopi
CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
c. Emfisema
9. Pengertian
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli (Bruner & Suddarth,
2002)
10. Patofisiologi
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu :
inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan;
kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang,
menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran
gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen.
Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir
penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan
peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan
menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring
kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel
kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal)
adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai,
distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu
untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi
akut dan kronis dengan damikian menetap dalam paru yang mengalami
emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk
dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi
kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan
tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang
adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya
adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi
menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus
meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya.
Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat
kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan
pada dinding dada untuk mengembang.
d. Asma
A. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Bruner
& Suddarth, 2002)
B. Patofisiologi
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-
sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam
jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
non alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang
dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor - dan -adrenergik dari sistem saraf simpatis
terletak dalam bronki. Ketika reseptor adrenergik dirangsang , terjadi
bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor -adrenergik yang
dirangsang. Keseimbangan antara reseptor - dan -adrenergik dikendalikan
terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor –alfa
mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator
kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon
beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan
adalah bahwa penyekatan -adrenergik terjadi pada individu dengan asma.
Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi
dan konstriksi otot polos.
D. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma
Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil).
Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik
AGD : hipoksi selama serangan akut
Fungsi pulmonari :
Biasanya normal
Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun
5. Komplikasi PPOM
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOM adalah :
a. Gagal nafas
Gagal nafas kronik
Pada gagal nafas kronik, hasil analisa gas darah, PO2 < 50mmHg dan PCO2 >
50mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
1) Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
2) Bronkodilator kuat
3) Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas dan tidur
4) Antioksidan
5) Latihan pernafasan dengan pursed lips breathing
Gagal nafas akut
Pada gagal nafas kronik, yang ditandai oleh :
Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam,
dan kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
c. kor pulmonal
ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
6. Penatalaksanaan PPOM
Penatalaksanaan PPOM secara umum bertujuan untuk mencegah eksaserbasi akut
dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum dapat dilakukan dengan
edukasi penderita terdiri dari berhenti merokok, menggunakan obat-obatan yang
adekuat, menghindari polusi udara, mengusahakan latihan jasmani secukupnya, dan
menghindari terjadinya infeksi.
Pada prinsipnya juga, terdapat 4 komponen penatalaksanaan PPOM menurut
WHO 1998, yaitu :
a. Pengkajian dan monitor penyakit
b. Kurangi faktor risiko
c. Terapi PPOK stabil
d. Terapi eksaserbasi akut
Selain edukasi, tentu saja pasien harus diterapi farmakologi. Tujuan utama terapi
farmakologi adalah memperbaiki fungsi parunya (mencegah penurunan VEP), sehingga
keluhan pasien dapat berkurang. Terapi farmakologi yang dipakai adalah pemakaian
bronkodilator baik secara tunggal maupun kombinasi dan jenis antikolinergik, agonis β-
2, dan xantin, yang dapat diberikan dalam berbagai sediaan. Dengan obat ini
diharapkan meningkatkan aliran udara ke dalam paru. Kortikosteroid dapat
dipergunakan untuk menekan inflamasi yang terjadi, biasanya dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Antibiotik, mukolitik, dan ekspektoran dapat
diberikan kepada penderita bila diperlukan. Oksigen diberikan pada keadaan
hipoksemia berat.
Dua hal penting yang sering dibahas adalah penatalaksanaan PPOM secara
khusus, sesuai dengan prinsip dari WHO, yaitu:
a. Penatalaksanaan PPOK stabil
b. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut
Keadaan eksaserbasi akut berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Adapun beberapa gejala eksaserbasi antara lain :
1) Sesak yang bertambah.
2) Produksi sputum yang meningkat.
3) Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen).
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
a. Tipe 1 (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas.
b. Tipe 2 (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas.
c. Tipe 3 (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline.
b. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda : Peningkatan TD, peningkatan frekuensi jantung/takikardi berat,
distritmia, distensi vena leher, warna kulit/membran mukosa
normal/sianosis ; kuku tabuh atau sianosis perifer, pucat dapat
menunjukkan anemia.
c. Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor risiko, perubahan pola hidup.
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan/cairan
Gejala : Mual/muntah, napsu makan buruk (anoreksia), ketidakmampuan
untuk makan karena distres pernapasan, penurunan berat badan
menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronkitis).
Tanda : Turgor kulit buruk, edema dependen, berkeringat, penurunan berat
badan, penurunan masa otot/lemak subkutan (emfisema), palpasi
abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronkitis).
e. Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
f. Pernapasan
Gejala : Napas pendek, sulut bernapas ; dada seperti tertekan, batuk menetap
dengan produksi sputum setiap hari, faktor keluarga atau keturunan,
kebutuhan oksigen yang meningkat pada malam hari.
Tanda : Pernapasan cepat, dapat lambat; fase ekspirasi memanjang,
penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi napas krekels, mengi,
hiperesonan pada area paru, bunyi pekak pada area paru, jari-jari
tabuh (emfisema).
g. Keamanan
Gejala : Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat atau faktor lingkungan,
adanya/berulangnya infeksi, kemerahan/berkeringat (asma)
h. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
i. Interaksi sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan
dukungan terhadap pasangan, penyakit lama atau ketidakmampuan
membaik.
Tanda : Keterbatasan mobilias fisik, kelalaian hubungan dengan anggota
keluarga lain.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekret
bronkial sekunder akibat inflamasi paru yang berulang.
b) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan jaringan paru sekunder
akibat inflamasi paru yang berulang
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
d) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya imunitas, malnutrisi
e) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder akibat hipoksia
jaringan yang kronis
f) Kurang pengetahuan tentang kondisi/tindakan berhubungan dengan kurang
informasi.
3. Intervensi
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekret
bronkial sekunder akibat inflamasi paru yang berulang.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
bersihan jalan napas efektif dengan kriteria evaluasi :
Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/jelas dan tidak
ada suara napas tambahan.
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas yaitu batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan
napas dan/tak dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius
misalnya penyebaran, krekels basah, bunyi napas redup dengan
ekspirasi mengi atau tak adanya bunyi napas.
Kaji frekuensi pernapasan
Rasional : Takipneu biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat
ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya proses
infeksi akut.
Kaji adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan dan penggunaan otot
bantu pernapasan
Rasional : Disfungsi pernapasan adalah variabel yang bergantung pada
tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan
perawatan di rumah sakit.
Berikan posisi yang nyaman pada pasien : peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan
dengan mempergunakan gravitasi.
Hindarkan dari polusi lingkungan misal : asap, debu, bulu bantal
Rasional : Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger
episode akut.
Dorong latihan napas abdomen atau bibir
Rasional : Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan
mengontrol dispneu.
Observasi karakteristik batuk misalnya : menetap, batuk pendek, basah
Rasional : Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien
lansia, sakit akut atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi
duduk tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi dada.
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran.
Berikan air hangat
Rasional : Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : bronkodilator, Xantin, Kromolin,
Steroid oral/IV dan inhalasi, antimikrobial, analgesik
Rasional : Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal,
menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa.
Kolaborasi pemberian humidifikasi tambahan : misal nebuliser ultranik
Rasional : Kelembaban menurunkan kekentalan sekret, mempermudah
pengeluaran dan dapat membantu menurunkan/mencegah
pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
Awasi GDA, foto dada, nadi oksimetri
Rasional : Membuat dasar untuk pengawasan kemajuan/kemunduran proses
penyakit atau komplikasi.
Intervensi :
Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan alat bantu
pernapasan
Rasional : Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan atau
kronisnya proses penyakit.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk
bernapas
Rasional : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi
dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea.
Kaji kulit dan warna membran mukosa
Rasional : Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya
hipoksia.
Dorong mengeluarkan sputum,penghisapan bila diindikasikan
Rasional : Kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil.
Auskulatasi bunyi nafas
Rasional : Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau
area konsolidasi.
Palpasi fremitus
Rasional : Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau
udara terjebak.
Awasi tingkat kesadaran
Rasional : Gelisah atau ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk istirahat atau tidur selama fase akut
Rasional : Selama distres pernapasan berat/akut/refraktori pasien secara
total tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena
hipoksemia dan dispnea.
Awasi TV dan irama jantung
Rasional : Takikardia, distrimia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Awasi GDA dan nadi oksimetri
Rasional : PaCO2 biasanya meningkat dan PaO2 secara umum menurun
sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih
besar.
Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi
Rasional : Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia.
Bahar A. Pengobatan Terbaru Penyakit Obstruksi Paru. Dalam: Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine. Editor: Atmakusuma J, dkk,. Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Penyakit Dalam, FKUI Jakarta: 2003, hal 1-12
Farid M. Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Dalam: Balai Penerbit FKUI Jakarta: 1989,
hal 5-23
Smeltzer, G.Bare, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, volume 1,
Jakarta: EGC
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn.WK DENGAN PPOK EKSASERBASI
AKUT DI RUANG RATNA RSUP SANGLAH DENPASAR
TANGGAL 8-9 OKTOBER 2009
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 Oktober 2009, pukul 08.30 wita di Ruang Ratna
RSUP Sanglah Denpasar dengan teknik wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan
catatan medis pasien.
1. Identitas
Pasien Penanggung
Nama : Tn.WK K.K
Umur : 80 tahun 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Laki-laki
Status Perkawinan : Kawin Kawin
Suku Bangsa : Indonesia Indonesia
Agama : Hindu Hindu
Pendidikan : Tamat SD Tamat SLTA
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Br. Samuan Kangin Ds Carang Sari Petang Badung
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama
a) Saat MRS : Sesak napas
b) Saat Pengkajian : Sesak napas disertai batuk berdahak
2) Alasan MRS dan Perjalanan Penyakit Saat Ini
Klien datang ke RSUP Sanglah tanggal 4 Oktober 2009 dengan keluhan sesak
napas sejak 6 hari sebelum MRS (Tanggal 28-09-2009). Sesak napas
dirasakan saat istirahat maupun beraktivitas. Sesak disertai dengan batuk
berdahak yang sulit dikeluarkan, berwarna kekuningan dan demam. Setelah
dilakukan pemeriksaan di triage klien dikirim ke Ruang Ratna untuk
perawatan selanjutnya.
3) Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasinya
Saat mulai dirasakan keluhan sesak napas, klien mengunakan obat ventolin
inhaler yang didapatkan dari dokter tetapi keluhan tidak berkurang. Saat
keluhan klien meningkat, barulah anak dibawa ke RSUP Sanglah.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Tingkat Kesadaran : Compos mentis
GCS : E = 4, V = 5, M = 6
Tanda-Tanda Vital
Nadi : 88 x/mnt Temp : 36,4 oC
RR : 36 x/mnt TD : 110/70 mmHg
b. Keadaan Fisik
1) Kepala dan Leher
- Kepala : Bentuk simetris, nyeri tekan tidak ada, rambut tipis dan
berwarna putih, kebersihan kepala cukup
- Mata : anemis (-), ikterus (-), pupil isokor, reflek +/+
- Hidung : sektret (-)
- Telinga : nyeri (-), sekret pada telinga (-)
- Gigi & mulut : kebersihan cukup, gigi palsu (+), mukosa mulut
kering
- Leher : pembesaran vena jugularis (-)
2) Dada
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi dinding dada waktu bernafas (-).
Palpasi : Tidak teraba pembesaran di daerah dada
Auskultasi : Suara nafas bronko vesikuler pada dada kanan dan kiri.
Ronchi +/+, wheezing (-). Suara jantung S 1-S2 tunggal regular,
murmur (-)
3) Payudara dan Ketiak
Payudara bentuk simetris, nyeri tekan tidak ada, persebaran rambut ketiak
merata, benjolan tidak ada.
4) Abdomen
Bentuk simetris, benjolan tidak ada, nyeri tekan (-), peristaltik usus normal
yaitu 8 x/menit.
5) Genetalia
Bentuk normal, kebersihan cukup
6) Integumen
Warna kulit sawo matang, kebersihan cukup.
7) Ekstremitas
Atas
Pergerakan tangan kiri & kanan terkoordinasi, bengkak/oedema tidak ada,
ekstremitas hangat, CRT < 2 detik
Bawah
Pergerakan kedua kaki terkoordinasi, oedema tidak ada, ekstremitas
hangat, CRT < 2 detik
8) Pemeriksaan neurologis
Status mental dan emosi
Status mental baik, agitasi (-), perhatian baik, kemampuan bahasa baik.
Pemeriksaan Refleks
Reflek fisiologis (biceps,triseps, patela, ankle) dalam batas normal
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium elektrolit tanggal 7-10-2009
Na : 141,200 (Normal : 135-147)
Kalium : 4,318 (Normal : 3,5-5,5)
6. Analisa Data
No Data Interpretasi Masalah
1 DS :
- Pasien mengeluh batuk sejak 6 hari Inflamasi paru berulang Ketidakefektifan
SMRS dan sulit untuk bersihan jalan
mengeluarkan dahak Peningkatan sekresi napas
DO : bronkial
- Ronchi +/+, RR = 36 x/mnt, sekret
kental dan sulit dikeluarkan Bersihan jalan napas
tidak efektif
2 DS : Inflamasi paru berulang Kerusakan
- Pasien mengeluh sesak napas dan pertukaran gas
sulit beraktivitas Hipersekresi lendir pada
DO : bronkial
- Dispneu saat istirahat maupun
Penyempitan bronkial
beraktivitas, bernapas dengan bibir
dimonyongkan, RR = 36 x/mnt, Dispneu
PCO2 = 55,700 mmHg (Normal :
35-45) Kerusakan pertukaran gas
Kamis 2 Setelah diberikan tindakan 1. Auskultasi bunyi nafas 1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
8-10-2009 perawatan selama 2x24 jam dengan obstruksi jalan napas dan/tak
diharapkan jalan napas efektif dimanifestasikan adanya bunyi napas
Kriteria hasil : adventisius misalnya penyebaran, krekels
Mempertahankan jalan basah, bunyi napas redup dengan ekspirasi
napas paten mengi atau tak adanya bunyi napas
Tidak ada suara napas 2. Berikan posisi yang nyaman pada pasien : 2. Peninggian kepala tempat tidur
tambahan peninggian kepala tempat tidur, duduk pada mempermudah fungsi pernapasan dengan
Menunjukkan batuk efektif sandaran tempat tidur mempergunakan gravitasi
1 2 3 4 5
3. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari 3. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
sesuai toleransi jantung sekret, mempermudah pengeluaran
4. Berikan air hangat 4. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan
spasme bronkus
5. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : 5. Merilekskan otot halus dan menurunkan
bronkodilator kongesti lokal, menurunkan spasme jalan
napas, mengi, dan produksi mukosa
6. Kolaborasi pemberian humidifikasi tambahan : 6. Kelembaban menurunkan kekentalan sekret,
misal nebuliser mempermudah pengeluaran dan dapat
membantu menurunkan/mencegah
pembentukan mukosa tebal pada bronkus
Kamis 3 Setelah diberikan tindakan 1. Observasi tanda keletihan, tidak dapat mentoleransi 1. Merencanakan istirahat yang tepat
9. Pelaksanaan
Hari/ No. Tindakan Keperawatan Respon Klien Nama
Tanggal Dx TTD
1 2 3 4 5
Kamis 1 Mengkaji frekuensi, kedalaman Pasien mengeluh sesak Sastra
8-10-2009 pernapasan. Mencatat penggunaan napas, RR = 36 x/mnt,
08.30 wita alat bantu pernapasan bernapas menggunakan
bibir
08.40 wita 3 Memberikan bantuan aktivitas Pasien tampak rapi dan Sastra
perawatan diri memandikan lebih segar
09.30 wita 1,2 Mengauskultasi bunyi napas Suara napas bronko Sastra
vesikuler, Ronchi +/+
10.00 wita 2 Memberikan obat oral Bromhexim Obat sudah diminum, Sastra
syrup 1 sdm muntah (-), mampu
mengeluarkan dahak
10.20 wita Delegatif pemberian obat injeksi Obat sudah disuntikkan Sastra
cefotaxim 1 gr dan metyl melalui IV, reaksi alergi
prednisolon 62,5 gr (-)
17.00 wita 2 Memberikan obat oral Bromhexim Obat sudah diminum, Sastra
syrup 1 sdm muntah (-)
1 2 3 4 5
18.00 wita Delegatif pemberian obat injeksi Obat sudah disuntikkan Sastra
cefotaxim 1 gr dan metyl melalui IV, reaksi alergi
prednisolon 62,5 gr (-)
10.00 wita 2 Memberikan obat oral Bromhexim Obat sudah diminum, Sastra
syrup 1 sdm muntah (-), mampu
mengeluarkan dahak
10.10 wita Delegatif pemberian obat injeksi Obat sudah disuntikkan Sastra
cefotaxim 1 gr dan metyl melalui IV, reaksi alergi
prednisolon 62,5 gr (-)
17.00 wita 2 Memberikan obat oral Bromhexim Obat sudah diminum, Sastra
syrup 1 sdm muntah (-)
1 2 3 4 5
18.00 wita Delegatif pemberian obat injeksi Obat sudah disuntikkan Sastra
cefotaxim 1 gr dan metyl melalui IV, reaksi alergi
prednisolon 62,5 gr (-)
10. Evaluasi