Anda di halaman 1dari 27

TUGAS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

GINJAL KRONIS
KELOMPOK 8

Disusun Oleh :
1. Mukti Fajar Artika 1821A0043
2. Nazilatul Maulinda 1821A0045
3. Nur Fajriya Humaira M. 1821A0049
4. Rachman Widi Wahyudi 1821A0051
5. Rena Esti Debora 1821A0053
6. Sherly Novalia Rahmawati 1821A0057
7. Wildan Nur Elfiqih 1821A0064
8. Yermi Bryan Suwandani 1821A0066

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA MITRA HUSADA
KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah


SWT. Yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas menyusun makalah dengan
judul “Penyakit Tidak Menular: Penyakit Ginjal Kronis”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata
kuliah Epidemiologi penyakit tidak menular. Kami merasa makalah ini jauh dari
sempurna, kami mengharap saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan mudah-mudahan dengan


tersusunnya makalah ini dapat menjadi sumber pemikiran yang berharga bagi
mahasiswa/I untuk tambahan referensi pengetahuannya. Kurang lebihnya kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan atas perhatiannya saya ucapkan terima
kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk


mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit (toksit uremik) di dalam darah. PGK stadium awal sering tidak
terdiagnosis, sementara PGK stadium akhir yang disebut juga gagal ginjal
memerlukan biaya perawatan dan penanganan yang sangat tinggi untuk
hemodialisis, dialysis pentoneal dan transplantasi ginjal. Penyakit ini baik pada
stadium awal maupun akhir memerlukan perhatian. PGK juga merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada
PGK lebih tinggi daripada kejadian berlanjutnya PGK stadium awal menjadi
stadium akhir.
Setiap tahunnya prevalensi Penyakit Ginjal Kronis terus meningkat. Di
Indonesia, menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun
2013 mencapai 30,7 juta penduduk yang mengalami Penyakit Ginjal Kronis dan
menurut data PT ASKES ada sekitar 14,3 juta orang penderita Penyakit Ginjal
Tingkat Akhir yang saat ini menjalani pengobatan. Kasus Penyakit Ginjal Kronis
menurut Riskesdas 2013 berdasarkan diagosis dokter di Jawa Tengah menempati
urutan ketiga yaitu 0,3%. Pada tahun 2013-2014 terjadi peningkatan yaitu 43%
tindakan hemodialisa di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan pada tahun
2015 bulan Januari-Maret terdapat 492 kali tindakan HD yang dilakukan pada 123
pasien rawat jalan.
Upaya pencegahan dan deteksi dini perlu ditingkatkan dengan mewaspadai
faktor risiko PGK. Faktor yang dilaporkan meningkatkan risiko PGK adalah umur
lanjut, riwayat PGK di keluarga, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, penyakit
autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, toksisitas
obat, dan kebiasaan mengonsumsi minuman berenergi.Pembuktian ilmiah masih
diperlukan untuk mengidentifikasi faktor risiko PGK dan menghitung risiko pola
konsumsi beberapa jenis minuman, konsumsi obat dan jamu yang bersifat
nefrotoksik, perilaku merokok, diabetes mellitus (DM), hipertensi, penyakit
glomerulus atau tubulo-intersisial ginjal, dan batu ginjal terhadap kejadian PGK.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yakni:
1. Apa definisi Penyakit Ginjal Kronis?
2. Apa saja faktor-faktor risiko Penyakit Ginjal Kronis?
3. Bagaimana etiologi dan patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis?
4. Bagaimana upaya pencegahan yang dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Penyakit Ginjal Kronis.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor risiko Penyakit Ginjal Kronis.
3. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis.
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan yang dilakukan pada Penyakit Ginjal
Kronis.

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu:
1. Manfaat bagi penulis
Mendapatkan pengetahuan tentang Penyakit Ginjal Kronis.
2. Manfaat bagi instansi
Memberikan informasi mengenai Penyakit Ginjal Kronis.
3. Manfaat bagi pembaca
Sebagai bahan referensi dalam pembuatan karya tulis ilmiah dengan tema
yang sama atau sejenis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis


2.1.1 Definisi
Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau penyakit renal tahap-akhir
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain
dalam darah). Penyakit Ginjal Kronis merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga
terjadi uremia.
Ginjal Kronis merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Penyakit Ginjal Kronis adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progesif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal
Kronis atau Penyakit Ginjal Tahap A khir (PGTA) adalah penyimpangan
progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami
kegagalan, yang mengakibatkan uremia.

2.1.2 Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronis di dunia saat ini mengalami peningkatan dan
menjadi masalah kesehatan serius, hasil penelitan Global Burden of Disease tahun
2010, Penyakit Ginjal Kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke 27 di
dunia tahun 1990 dengan angka kematian per tahun 15,7 per 100.000. Dan
meningkat menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010, dengan angka kematian per
tahun 16,3 per 100.000. Kematian pada pasien yang menjalani Hemodialisis
selama tahun 2015 tercatat sebanyak 1.243 orang dengan lama hidup dengan HD
13-17 bulan. Proporsi terbanyak pada pasien dengan lama hidup dengan HD 6-12
bulan.

Proporsi Pasien Meninggal Menurut


Lama Hidup dengan Hemodialisis
tahun 2015
< 1 bulan
1-<3 bulan
3-<6 bulan
6-<12 bulan
12-<36 bulan
>36 bulan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2014) menyebutkan pertumbuhan


jumlah penderita Penyakit Ginjal Kronis pada tahun 2013 telah meningkat 50%
dari tahun sebelumnya. Kejadian dan prevalensi PGK di Amerika Serikat,
meningkat 50% di tahun 2014. Kidney Disease Statistics 2015 memperkirakan 31
Juta orang di Amerika Serikat (10% dari populasi orang dewasa) memiliki
Penyakit Ginjal Kronis. Berdasarkan data di United States Renal Data System,
Penyakit Ginjal Kronis meningkat sebesar 20-25% setiap tahunnya. Indonesia
termasuk negara dengan tingkat penderita ginjal yang cukup tinggi. Hasil survei
yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2002
diperkirakan sekitar 12,5 persen dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk
mengalami penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan Riskesdas (2013) dengan
menggunakan unit analisis individu menunjukkan bahwa secara nasional 0,2%
penduduk Indonesia menderita penyakit gagal ginjal kronis. Jika saat ini
penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 504.248 jiwa yang
menderita Penyakit Ginjal Kronis(0,2% x 252.124.458 jiwa = 504.248 jiwa).
Daerah yang memiliki prevalensi gagal ginjal tertinggi adalah Sulawesi Tengah.
(5 dari 1.000 penduduk) dan terdapat 7 provinsi yang memiliki prevalensi
terendah antara lain Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kabupaten Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, NTB, Kalimantan Timur (1 dari 1.000
penduduk). Prevalensi Penyakit Ginjal Kronis di daerah Sumatera Utara (2 dari
1.000 penduduk).
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis
Penyakit Ginjal Kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan
prevalensi PGK di negara-negara lain, Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan
prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan
tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34
tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%),
prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan
kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing
0,3%. Penyakit gagal ginjal kronis di sebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu oleh penyakit nefropati Diabetik, Hipertensi, Kelainan Bawaan, Asam Urat,
Lupus. Penyebab lain diantaranya adalah karena gaya hidup yang tidak baik.
Faktor gaya hidup yang tidak baik antara lain penyalahgunaan obat-obatan,
kurang minum air putih, pola makan tidak sehat, pola tidur tidak teratur, malas
berolahraga, kebiasaan merokok, serta kebiasaan mengkonsumsi alkohol.

Penyebab Penyakit Ginjal Kronik


60%
50%
52%
40%
30%
20% 24%
10% 16%
6% 1% 1%
0%
nefropati Hipertensi Kelainan Asam Urat Lupus Lain-lain
Diabetik Bawaan
2.1.3 Etiologi
Menurut Sylvia Anderson (2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal
Kronis adalah sebagai berikut :
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis Kronisatau refluks nefropati.
Pielonefritis Kronisadalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi
akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala
umum seperti demam, menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau
memperlihatkan gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga
menimbulkan hipertensi dan gagal ginjal.
2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7 – 10 hari
setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonefritis
pascastreptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain.
Glomerulonefritis Kronisadalah peradangan yang lama dari sel – sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis Kronissering timbul
beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai
oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan,
yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronis.
Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya
fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan,
memiliki prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik.
3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah
ginjal yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil.
Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan tekanan darah
tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam
ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal. Stenosis arteri
renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua pembuluh darah (arteri
ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal membantu untuk mengontrol
tekanan darah. Renalis menyempit menyulitkan ginjal untuk bekerja. RAS dapat
menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Sering menyebabkan tekanan darah
tinggi dan kerusakan ginjal.
4. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga
karena adanya perubahan sistem imun.
5. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal
6. Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
8. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra).
2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
 Anatomi Ginjal

Gambar 2.1.3 Letak ginjal (A).


Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak pada
kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen,
terutama di daerah lumbal, di sebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus
lapisan lemak yang tebal, agar terlindung dari trauma langsung. Ginjal kanan
sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki ruang banyak di sebelah
kanan. Setiap ginjal panjangnya 6 sampai 7,5 cm, dan tebal 1,5 sampai 2,5 cm.
Pada orang dewasa beratnya kira-kira 140 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan
sisi dalamnya atau hilum menghadap ke tulang punggung. Sisi luarnya cembung.
Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan keluar pada hilum. Di atas ginjal
menjulang sebuah kelenjar suprarenal. Ginjal kanan lebih pendek dan lebih tebal
dari yang kiri. Kedua ginjal dilapisi oleh lemak yang bergumna untuk meredam
guncangan. Ginjal merupakan bagian dari sistem saluran kencing (urinary system)
yang ada dalam tubuh kita.

Gambar 2.1.3 Anatomi Ginjal (B)


Organ utama dari sistem saluran kemih terdiri atas dua ginjal, dua saluran
dari ginjal ke kandung kemih (ureter), satu kandung kemih dan satu saluran dari
kandung kemih keluar tubuh (uretra). Panjang uretra pada pria sekitar 20-25 cm
yang berfungsi untuk tempat keluarnya urin yang diproduksi oleh ginjal sekaligus
menjadi saluran keluarnya sperma. Pada wanita uretra jauh lebih pendek sekitar
2,5-3,8 cm dan terletak di depan organ reproduksi. Berhubung letak uretra pada
wanita yang dekat sekali dengan organ reproduksi dan anus, maka pada wanita
kasus infeksi saluran kencing lebih banyak didapat karena rawan terinfeksi kuman
yang berasal dari saluran pencernaan. Sistem saluran kemih merupakan salah satu
sistem ekskresi tubuh dimana fungsinya yang mengeluarkan racun dan cairan
yang harus dibuang keluar tubuh.
Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi menjadi dua
bagian yaitu korteks bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi-
bagi menjadi biji segitiga yang disebut piramid, piramid-piramid tersebut diselingi
oleh bagian korteks yang disebut kolumna bertini. Piramid-piramid tersebut
tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus
pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari piramid membentuk duktus papilaris
bellini dan masuk ke dalam perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut kaliks
minor dan bersatu membentuk kaliks mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal.

Gambar 2.1.3 Penampang Ginjal (C)


Ciri-ciri korteks berwarna coklat tua, tersusun atas nefron (satuan unit
struktural dan fungsional ginjal) sebagai alat penyaring darah, korteks terletak di
dalam di antara piramida-piramida medulla yang bersebelahan untuk membentuk
kolumna ginjal yang terdiri dari tubulus-tubulus pengumpul yang mengalir ke
duktus pengumpul. Sedangkan ciri-ciri medulla berwarna coklat agak terang,
tersusun atas tubulus renalis, mengandung massa triangular yang disebut piramida
ginjal yang setiap ujung sempitnya papilla masuk ke dalam kaliks minor dan
ditembus duktus pengumpul urin.
Setiap ginjal orang dewasa memiliki sekitar satu juta unit nefron sebagai
unit pembentuk urin. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut
(terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa
cairan lainnya akan dibuang. Setiap nefron tersusun oleh badan malphigi dan
saluran panjang (tubulus) yang bergulung. Sebuah nefron merupakan suatu
struktur yang menyerupai mangkuk dengan dinding yang berlubang (Kapsula
Bowman), yang mengandung seberkas pembuluh darah (Glomelurus). Badan
malphigi ini tersusun atas glomerulus dan kapsula Bowman membentuk
korpuskulum renalis.
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler sebagai lanjutan
pembuluh darah arteri ginjal. Kapsula Bowman berbentuk seperti mangkuk, yang
di dalamnya berkumpul gelungan pembuluh darah kapiler yang halus. Tubulus
merupakan saluran lanjutan dari kapsula Bowman. Saluran panjang yang
melingkar-lingkar letaknya bersebelahan dengan glomerulus. Tubulus proksimal
adalah saluran yang dekat dengan badan malphigi, sangat berliku dan panjangnya
sekitar 15 mm. Sedangkan yang jauh dari badan malphigi disebut tubulus distal,
sangat berliku dan panjangnya sekitar 5 mm yang membentuk segmen terakhir
nefron. Kedua tubulus ini dijembatani oleh Lengkung Henle yang berupa leher
angsa yang turun ke arah medulla ginjal kemudian naik kembali menuju korteks.
Bagian akhir dari tubulus ini adalah saluran pengumpul (Ductus
Collectivus) yang terletak pada medulla yang mengalirkan urin ke kaliks minor
menuju kaliks mayor dan menuju piala ginjal. Medulla merupakan tempat saluran
dari kapsula Bowman ini berkumpul. Saluran ini mengalirkan urin ke saluran
yang lebih besar ke arah pelvis atau piala ginjal. Lalu urin disalurkan ke ureter
kemudian ditampung di kandung kemih. Pada jumlah urin tertentu di mana
dinding kandung kemih ini tertekan sehingga otot melingkar pada pangkal
kandung kemih meregang akan memberikan sinyal ke saraf untuk menimbulkan
rangsang berkemih untuk disalurkan ke ureter sebagai saluran pembuangan
keluar.
 Fisiologi Ginjal
a. Fungsi ginjal
Menurut Price (2006) ginjal mempunyai berbagai macam fungsi yaitu
ekskresi dan fungsi non-ekskresi. Fungsi ekskresi diantaranya adalah :
1) Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah-
ubah ekskresi air.
2) Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang
normal.
3) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO3
4) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolism protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin.
Sedangkan fungsi non-ekresi ginjal adalah :
1) Menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan darah.
2) Menghasilkan eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang.
3) Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
4) Degradasi insulin.
5) Menghasilkan prostaglandin.
b. Fisiologi pembentukan urine
Pembentukan urine adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam
mempertahankan homeostatis tubuh. Pada orang dewasa sehat, lebih kurang 1200
ml darah, atau 25% cardiac output, mengalir ke kedua ginjal. Pada keadaan
tertentu, aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30% (pada saat latihan
fisik) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.
Kapiler glomeruli berdinding porous (berlubang-lubang), yang
memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah besar (± 180 L/hari).
Molekul yang berukuran kecil (air, elektroloit, dan sisa metabolisme tubuh, di
antaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah, sedangkan molekul
berukuran lebih besar (protein dan sel darah merah) tetap tertahan di dalam darah.
Oleh karena itu komposisi cairan filtrat yang berada di kapsul Bowman, mirip
dengan yang ada didalam plasma, hanya saja cairan ini tidak mengandung protein
dan sel darah.
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu disebut
sebagai rerata filtrasi glomerulus atau glomerular filtration (GFR). Selanjutnya,
cairan filtrat akan direabsorbsi dan beberapa elektrolit akan mengalami sekresi di
tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan urine yang akan disalurkan melalui
duktus kolegentes. Cairan urine tersbut disalurkan ke dalam sistem kalises hingga
pelvis ginjal.

2.2 Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal Kronismungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati.
Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada
nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan
penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran
darah ginjal mungkin berkurang.
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang
harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga
tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75%
massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus tidak dapat lagi dipertahankan.
Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat
terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat
mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang
berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan
ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan
urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu
sama dengan plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.

2.3 Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronis


Menurut Norris dan Nissenson (2008) bahwa prevalensi Penyakit Ginjal
Kronis bervariasi faktor risiko utama seperti diabetes , hipertensi , albuminuria di
sosial ekonomi, jenis kelamin, dan kelompok etnis memainkan peran penting
dalam perkembangan prevalensi dan komplikasi Penyakit Ginjal Kronis.
 Berikut faktor risiko Penyakit Ginjal Kronis yang tidak dapat
dimodifikasi yaitu:
1. Umur merupakan faktor risiko penyakit degeneratif yang tidak dapat dihindari.
Secara alamiah, semua fungsi organ tubuh termasuk ginjal akan menurun
dengan bertambahnya umur. Semakin bertambah umur semakin meningkat
pula risiko untuk mengalami PGK.
2. Genetik. Riwayat PGK pada keluarga sedarah juga meningkatkan risiko PGK
sebesar 2,58 kali. Faktor umur dan riwayat keluarga dengan PGK disebut sebagai
faktor suseptibilitas PGK, yaitu faktor yang meningkatkan kerentanan untuk
mengalami PGK. Penyakit polikistik merupakan penyakit keturunan dapat
menyebabkan gagal ginjal kronis.
3. Jenis Kelamin. Pada wanita mempunyai insiden infeksi traktur urinarius dan
pielonefritis yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena
uretra lebih pendek dan mudah terkontaminasi feses, selama kehamilan sampai
beberapa waktu setelah melahirkan terjadi hidronefrosis dan hidrureter pada
ginjal kanan. Pria dewasa usia lebih dari 60 tahun sering ditemukan hipertropi
prostat yang menyebabkan obstruksi aliran urin yang menekan pelvis ginjal
dan ureter. Obstruksi juga dapat disebabkan adanya striktur uretra dan
neoplasma. Obstruksi menyebabkan infeksi ginjal dan memicu terjadinya gagal
ginjal.
 Sedangkan faktor risiko Penyakit Ginjal Kronis yang dapat
dimodifikasi yaitu:
1. Faktor lingkungan-sosial yang meliputi, lingkungan fisik dan ketersediaan
lembaga pelayanan kesehatan, status sosial ekonomi rendah/poverty merupakan
salah satu faktor determinant terjadinya PGK.
2. Faktor risiko biomedik antara lain diabetes, hipertensi, obesitas, infeksi saluran
kencing, batu ginjal dan batu saluran kencing, glomerulonefritis, infeksi
streptokokus dan keracunan obat.
 Diabetes Mellitus
Lajunya perkembangan diabetes melitus sebagai penyebab gagal ginjal ini
antara lain disebabkan oleh peningkatan populasi usia lanjut, masalah
kegemukan, dan perubahan gaya hidup. Waktu rata-rata diabetes sampai timbul
uremia adalah 20 tahun. Diabetes menyebabkan diabetik nefropati yaitu adanya
lesi arteriol, pielonefritis dan nekrosis papila ginjal serta glomerulosklerosis.
 Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan struktur pada arteriol seluruh tubuh yang ditandai oleh fibrosis dan
sklerosis dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak
dan ginjal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus sehingga seluruh nefron rusak. Proteinuri dan
azotemia ringan dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa
memperlihatkan gejala dan kebanyakan pasien akan merasakan gejala jika
memasuki stadium ganas. Hipertensi pada kehamilan (Pre eklamsi)
menyebabkan terjadinya proteinuria, retensi air dan natirum dapat memicu
timbulnya gagal ginjal.
 Infeksi
Infeksi dapat terjadi pada beberapa bagian ginjal yang berbeda seperti
glomerulus pada kasus glomerulonefritis atau renal pelvis dan sel
tubulointerstitial pada pielonfritis. Infeksi juga bisa naik ke kandung kemih
melalui ureter menuju ginjal dimana terdapat sumbatan pada saluran kencing
bawah. Beberapa infeksi dapat menunjukkan gejala, sementara yang lain tanpa
gejala. Jika tidak diperhatikan, semakin banyak jaringan fungsional ginjal yang
perlahan-perlahan hilang. Selama proses peradangan tubuh kita secara normal
berusaha menyembuhkan diri. Hasil akhir penyembuhan adalah adanya bekas
luka jaringan dan atrofi sel yang mengubah fungsi penyaringan ginjal. Hal ini
merupakan kondisi yang tidak dapat dipulihkan. Jika presentase jaringan rusak
besar, akan berakhir pada gagal ginjal.
 Konsumsi obat-obatan
Sebagian besar obat diekskresikan lewat ginjal. Padahal banyak dari obat-
obatan bersifat racun, oleh sebab itu istilahnya disebut nefrotoksik. Obat-obatan
seperti:
a. Antibiotik: Aminoglikosid, sulfonamid, amphotericin B, polymyxin,
neomycin, bacitracin, rifampisin, aminosalycylic acid, oxy- dan
chlotetracyclines.
b. Analgesik (pereda sakit): Salisilat, acetaminolen, phenacetin, semua
NSAID, Phenybutazone, semua penghambat prostaglandin synthetase.
c. Antiepileptik (untuk epilepsi dan kejang): Trimethadione, paramethadione,
succinamide, carbamazepine.
d. Obat-obat anti kanker: Cyclosporine, cisplatin, cyclophospamide,
streptozocin,
e. Immune compex inducers (obat-obat untuk kekebalan tubuh): captopril
3. Faktor kekebalan tubuh
Penyakit gangguan imunologi seperti sistemik lupus eritematosus
menyebabkan gagal ginjal kronis.
4. Faktor risiko perilaku antara lain merokok atau pengguna tembakau, kurang
gerak dan olahraga serta pola makan.
 Bahan kimia dalam makanan dan minuman seperti bahan pengawet,
pewarna makanan, penyedap rasa dan bahan tambahan lainya dalam
makanana yang dikaleng, botol, daging olahan, jus dan softdrink dicurigai
memberi pengaruh berbahaya pada ginjal.
 Air minum yang dapat mengandung bahan kimia organik dan anorganik
yang larut dalam air, endapan logam berat, mineral yang menimbulkan
masalah pada ginjal.
 Kurang minum/cairan: ginjal berfungsi mempertahankan keseimbangan
air, mempunyai kemampuan memekatkan atau mengencerkan urin. Jika
asupan cairan kurang pada kondisi cuaca panas, pekerja berat, dehidrasi
dalam waktu yang lama, maka usaha memekatkan urin lebih berat dan
ginjal kelelahan/gagal ginjal.
 Makanan tinggi garam/natirum: ginjal berfungsi menjaga keseimbangan
natrium. Jika jumlah garam dalam makanan tinggi dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan darah/hipertensi.

2.4 Upaya pencegahan dan Pengelolaan PGK


2.4.1 Level Primer :
Beberapa saran untuk mencegah atau mengurangi perkembangan gagal
ginjal:
 Minumlah air dalam jumlah yang cukup untuk menjaga angka keluaran
urin yang baik (bisa membantu mencegah batu ginjal dan infeksi
saluran kemih).
 Memerhatikan kebersihan pribadi untuk mencegah infeksi saluran
kemih. Perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap infeksi saluran
kemih (karena uretra yang pendek).
 Kendali pola makan yang baik - hindari asupan garam berlebih dan
daging, hindari asupan kalsium yang tinggi dan makanan oksalat untuk
pasien penderita batu ginjal.
 Jangan menyalahgunakan obat-obatan, misalnya obat penghilang rasa
sakit untuk rematik dan antibiotik.
 Cegah komplikasi dari penyakit awal, misalnya diabetes melitus,
hipertensi, dll. Kadar gula darah dan tekanan darah harus dikendalikan
dengan baik.
 Perbaiki penyebab obstruksi saluran kemih, misalnya buang batu ginjal
dan cobalah untuk memperbaiki penyebab awalnya.
 Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tes urin bisa mendeteksi
penyakit ginjal stadium awal. Jika pasien menderita hematuria (darah
dalam urin) atau albuminuria (albumin dalam urin), maka pasien harus
memeriksakan kesehatannya sesegera mungkin.
 Lakukan pengobatan terhadap penyakit ginjal, misalnya nefritis, sesegera
mungkin.
Program pemerintah untuk pencegahan PGK bila ditemukan anda dan gejala
dilakukan pada populasi sehat diantarnya: posbindu, pelayanan terpadu PTM,
kawasan tanpa rokok, konseling upaya berhenti merokok, kampanye perilaku
CERDIK (C: Cek kesehatan secara berkala, E: Enyahkan asap rokok, R: Rajin
aktifitas fisik, D: Diet sehat dengan kalori seimbang, I: Istirahat yang cukup dan
K: Kelola stress).

2.4.2 Level Sekunder :


Pengkajian klinik menentukan jenis penyakit ginjal, adanya penyakit
penyerta, derajat penurunan fungsi ginjal, komplikasi akibat penurunan fungsi
ginjal, faktor risiko untuk penurunan fungsi ginjal, dan faktor risiko untuk
penyakit kardiovaskular. Pengelolaan meliputi:
a. Terapi penyakit ginjal
b. Pengobatan penyakit penyerta
c. Penghambatan penurunan fungsi ginjal
d. Pencegahan dan pengobatan penyakit kardiovaskular
e. Pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat penurunan fungsi ginjal
f. Terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi jika timbul
gejala dan tanda uremia.

 Deteksi dini
Stadium dini penyakit ginjal kronis dapat dideteksi dengan pemeriksaan
laboratorium. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan
laju filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal. Pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi
pada sebagian pasien adanya kerusakan ginjal. Sebagian besar individu dengan
stadium dini penyakit ginjal Kronisterutama di negara berkembang tidak
terdiagnosis. Deteksi dini kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat
memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih
lanjut. Pemeriksaan skrinning pada individu asimtomatik yang menyandang faktor
risiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal kronis.
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronis sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronis. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular adalah:
a. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil
risiko penurunan fungsi ginjal
b. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
c. Penghentian merokok
d. Peningkatan aktivitas fisik
e. Pengendalian berat badan
f. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin telah
terbukti dapat mencegah dan menghambat proteinuria dan penurunan
fungsi ginjal.

 Pengobatan segera (pengganti ginjal)


Seorang pasien tidak bisa membuang produk sisa metabolisme dan
kelebihan cairan yang terakumulasi dalam tubuh apabila sudah memasuki stadium
akhir gagal ginjal (kapasitas hanya 10% hingga 15% dari fungsi ginjal normal).
Beberapa bentuk pengobatan pengganti ginjal diperlukan oleh pasien untuk bisa
bertahan hidup. Pengobatan pengganti ginjal mencakup:
Dialisis: saat ini, hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan dua jenis
pengobatan dialisis utama.
i) Hemodialisis
Hemodialisis - yang dikenal sebagai "cuci darah", menggunakan alat
dialiser (ginjal buatan) untuk membuang kelebihan cairan, elektrolit, dan
produk sisa metabolisme dari darah. Darah diambil dari tubuh pasien
melalui akses pembuluh darah seperti fistula arteriovenosa (koneksi dibuat
antara arteri dan vena di lengan bagian bawah) atau sebuah kateter vena
dimasukkan ke dalam pembuluh darah utama di leher. Darah diedarkan
oleh mesin dialisis dengan kecepatan sekitar 200cc/menit, melewati ginjal
buatan untuk menyaring produk sisa metabolisme dan kelebihan cairan.
Darah yang sudah "dibersihkan" lalu dikembalikan ke dalam tubuh pasien.
Seorang pasien mungkin memerlukan 2 hingga 3 kali pengobatan
hemodialisis per minggu, dan setiap sesi pengobatan akan memakan waktu
4 hingga 6 jam. Hemodialisis bisa dilakukan di pusat dialisis atau di rumah
(di malam hari) bagi mereka yang mampu melakukannya.
Kelebihan: cepat, efektif, hanya 2 hingga 3 kali tindakan pengobatan per
minggu, terapi sesaat.
Kelemahan: harus pergi ke pusat dialisis untuk dilakukan tindakan
pengobatan, pengobatan hanya dilakukan sesaat saja dan
biayanya mahal.

ii) Dialisis peritoneal


Dialisis peritoneal - yang dikenal sebagai "pembersihan perut",
memanfaatkan pembuluh darah pada peritoneum (selaput tipis yang
melapisi bagian dalam perut dan mengelilingi serta menopang organ-organ
perut) yang memungkinkan dilakukannya proses dialisis. Suatu kateter
dialisis peritoneal ditanamkan ke dalam perut pasien sebagai saluran
tempat keluar masuknya cairan dialisis. Cairan dialisis memungkinkan
produk sisa metabolisme menyebar keluar dari dalam tubuh dan meresap
ke dalam cairan dialisis, untuk kemudian dibuang bersama dengan
kelebihan cairan dalam tubuh. Dialisis peritoneal dilakukan di rumah dan
bisa bersifat terus menerus atau sesaat:
o Dialisis Peritoneal Ambulatori Berkelanjutan - CAPD (Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis). Pengobatan dialisis (pertukaran cairan
dialisis) dilakukan di rumah. Cairan dialisis dimasukkan ke dalam perut
melalui kateter yang ditanamkan ke dalam tubuh dan cairan dialisis
dibiarkan berada di dalam rongga perut selama 4 hingga 10 jam. Selama
jangka waktu ini, produk sisa metabolisme akan terdifusi ke dalam cairan
dialisis. Cairan dialisis lalu dikeluarkan dari tubuh (bersama dengan
produk sisa metabolisme) setelah 4-10 jam dan cairan dialisis baru
dimasukkan ke dalam perut kembali. Proses ini diulang sebanyak 3-4 kali
per hari.
Kelebihan: membuang produk sisa metabolisme dan kelebihan cairan
secara terus menerus, mengurangi beban kerja jantung,
dan pasien bisa melakukan aktivitas normal selama
proses dialisis.
Kelemahan: risiko peritonitis (radang peritoneum) dari pertukaran
cairan, namun komplikasi ini memiliki tingkat
kemungkinan yang rendah jika proses dialisis dilakukan
dengan hati-hati.
o Dialisis Peritoneal Otomatis Pengobatan dialisis dilakukan saat
tidur di malam hari, dengan menghubungkan tubuh ke mesin dialisis
peritoneal otomatis sebelum tidur setiap malam hari. Mesin akan menukar
cairan dialisis secara otomatis setiap jam atau lebih lama sepanjang malam
(selama 10 hingga 12 jam).
Kelebihan dari dialisis peritoneal adalah bahwa pasien bisa mengurus
dirinya sendiri dan kadar toksin serta cairan dalam tubuh
akan tetap stabil. Pasien bisa mempertahankan kehidupan
sosial dan kerja yang relatif normal. Ada risiko infeksi,
namun tingkat kemungkinannya rendah jika proses
dialisis dilakukan dengan hati-hati.

iii) Transplantasi ginjal


Merupakan transplantasi bedah ginjal dari donor kepada pasien gagal
ginjal. Ginjal donor bisa berasal dari orang yang sudah meninggal (mati
batang otak) atau disumbangkan dari orang yang masih hidup (anggota
keluarga). Pada tahun 2008, 77 orang menjalani operasi transplantasi
ginjal di Hong Kong (66 orang dengan ginjal yang berasal dari donor yang
sudah meninggal dan 11 orang dengan ginjal yang berasal dari donor yang
masih hidup). Ada sekitar 1.600 pasien yang menunggu giliran untuk
menjalani operasi transplantasi ginjal. Transplantasi ginjal sangatlah
sukses: Tingkat kelangsungan hidup pasien dalam jangka waktu 1 tahun
dan 5 tahun: Transplantasi ginjal dari donor yang sudah meninggal - 95%
dan 89%; transplantasi ginjal dari donor yang masih hidup - 96% dan 95%

2.4.3 Level Tersier :


 Rehabilitasi

Latihan fisik secara teratur menjadi salah satu bagian dari program
terapi dan rehabilitasi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Latihan
dapat dimulai dengan kerjasama yang baik antara dokter, perawat, dan
pasien dengan terapi terhadap keluhan yang ada.

Latihan fisik yang dilakukan pada saat hemodialisis dapat


meningkatkan aliran darah pada otot, memperbesar jumlah kapiler
sehingga meningkatkan perpindahan urea dn toksin dari jaringan vaskuler
yang kemudian dialirkan ke dializer atau mesin HD. Menurut takhreem
2008 laihan fisik dapat menunjukkan adanya perbaikan pada kebugaran
tubuh, fungsi fisiologis, ketangkasan, dan meningkatkan kekuatan otot
ekstremitas bawah. Latihan fisik yang dilakukan selama satu jam pertama
hemodialisis dapat menjadi satu pilihan rehabilitasi terbaik. Contoh
latihan fisik seperti latihan aerobik, mengangkat dumble berkali-kali. Jika
pasien merasa sehat meskipun menjalani terapi ginjal melakukan
konsultasi dengan physical therapist adakalanya diperlukan.

Adapun program pemerintah untuk level pencegahan tersier yaitu


tajam pendengaran penglihatan dan disabilitas.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Ginjal Kronis merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit
sehingga terjadi uremia. Penyakit Ginjal Kronis di dunia saat ini mengalami
peningkatan dan menjadi masalah kesehatan serius, Menurut Sylvia Anderson
(2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal Kronis adalah Penyakit infeksi
tubulointerstitial, Penyakit peradangan, Penyakit vaskuler hipertensif,
Gangguan jaringan ikat, Gangguan congenital dan herediter, ginjal, Penyakit
metabolic, Nefropati toksik, Nefropati obstruktif. Faktor lingkungan-sosial
yang meliputi status sosial ekonomi, lingkungan fisik dan ketersediaan
lembaga pelayanan kesehatan. Penyakit Ginjal Kronisjuga dapat disebabkan
oleh Faktor risiko perilaku antara lain merokok atau pengguna tembakau,
kurang gerak dan olahraga serta kekurangan makanan. Faktor predisposisi
antara lain umur, jenis kelamin, ras atau etnis, riwayat keluarga dan genetik
3.2 Saran
Diharapkan pemerintah semakin menggalakkan program pencegahan
secara dini masyarakat untuk mengurangi penyakit Gagal Ginjal Kronis.
Pemerintah memberikan penyuluhan/pengertian kepada masyarakat tentang
penyakit PTM terutama penyakit Gagal Ginjal Kronis, bagaimana
pencegahan serta pengobatannya. Dan juga pentingnya Perilaku hidup bersih
sehat, sebagai contoh semakin memperhatikan jenis makanan yang dimakan,
banyak minum air putih, menjaga kebersihan lingkungan, keamanan dan
kenyamanan tempat tinggal. Karena Kematian terbesar banyak di sebabkan
oleh Penyakit Tidak Menular (PTM).

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riskesdas 2013. Jakarta: Badan


Litbangkes Kemenkes RI; 2013

Dirks JH, et al: Prevention of Chronic Kidney and Vascular Disease: Toward
Global Health Equity- The Bellagio 2004 Declaration. Kidney Int Suppl
2005

Delima, Emiliana T, Lusianawaty T dkk. Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik:


Studi Kasus Kontrol di Empat Rumah Sakit di Jakarta Tahun 2014. Buletin
Penelitian Kesehatan 2014; 45(1): 17 – 26

Kusman Ibrahim ST, Kittikorn Nilmanat. Coping and Quality of Life among
Indonesians Undergoing Hemodialysis. Thai J Nurs Res [Internet]. 2009
[cited 2013 okt 4]; 13(2):117-109. Available from :
http://antispam.kmutt.ac.th/index.php/PRIJNR/article/view/6435

Laily Isroin dan Cholik HR. Prevalensi Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik. 1th ed.
Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. 2014. p.1-19.

Price & Wilson (2006) Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit.


Penerjemah dr. Brahm U. Pendit. Jakarta.EGC

Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End-stage renal disease in Indonesia: treatment


development. Ethn. Dis. 2009; 19:S1-33

Prodjosudjadi W, Suhardjono, Suwitra K, et al. Detection and prevention of


chronic kidney disease in Indonesia: initial community screening. Nephrology
[Internet]. 2009 [cited 2013 okt 4]; 14(7):669-674. Available from:
WileyOnlineLibrary.

Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al.,
3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing
2009:1035-1040

Anda mungkin juga menyukai