Anda di halaman 1dari 3

Klasifikasi

Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa kejadian. Klasifikasi ini
membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga
pasien mendapatkan prognosis yang baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat
memberikan informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai tujuan
perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur dentoalveolar.
Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi
menurut World Health Organization (WHO).

Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung
dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga
mulut. Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan
fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang
pendukung (Welbury, 2005) :
1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa
1) Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan
tanpa hilangnya substansi gigi.
2) Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
3) Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan
dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.
4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email
dan dentin dengan pulpa yang terpapar.
5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root
fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.
6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur
email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi
menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal

2. Cedera pada jaringan periodontal


1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.
4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.
5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket
alveolar.
6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

3. Cedera pada tulang pendukung


1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan
tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral
luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang
terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus
alveolar yang dapat melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket
alveolar.

Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma langsung jika benturannya
itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada
benturan rahang bawah ke rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi
premolar dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma
adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk objek yang terkena
impaksi, dan sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005).
Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan 82% dari semua kasus
cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga merupakan penyebab kedua yang
mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).

Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas, serangan hewan,
perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali
pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron and Widmer, 2008).
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar. Beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau
kelas II divisi 1. Insidensi pada anak dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi
oklusi normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi trauma
dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue, 2005). Tabel 2.1 menunjukkan
probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila dengan perbedaan overjet.
Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan Perbedaan Jarak Overjet (Finn,
2003).
Overjet Laki-laki Perempuan Semua Anak
1-5 mm 1:13 1:27 1:18 6-9 mm 1:7 1:11 1:8 10 + mm 1:4 1:10 1:6
Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di dunia. (Shun-Te Huang, et al.,
2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak di Indonesia belum ditemukan secara pasti

Penelitian yang dilakukan Sasteria pada 1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 1995- 31 Desember 1995
menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada gigi anterior atas (Sasteria, 1997).
Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika koordinasi motorik anak
sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah ketika anak sudah mulai mencoba banyak hal baru
dan bergerak aktif, sedangkan pada usia 7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika
mereka sedang bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami trauma pada
usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).
Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut: pada usia 5 tahun, 31-
40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak
laki-laki dan 4-19 % anak perempuan mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih
banyak baik pada usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain menyebutkan rasio insidensi
injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Berman, et.al., 2007). Kasus trauma yang
terjadi pada anak sebagian besar terjadi di daerah anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005),
sedangkan pada bagian posterior biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada
bagian dagu yang mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn, 2003).
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion, subluksasi, dan luksasi,
sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur mahkota
12

tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005). Gambar 2.4 menunjukkan persentasi
kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera pada jaringan pendukung gigi.
Gambar 2.4 Persentasi Kejadian Fraktur (Koch and Poulsen, 2001).
Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi permanen yang berada di atas atau
bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari luka atau infeksi residual yang disebabkan oleh trauma
pada gigi anak. Andreasen dan Ravn
13

menemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma merupakan faktor yang paling
memengaruhi perkembangan kerusakan gigi permanen. Mereka menemukan bahwa 60% anak di bawah
usia 4 tahun dengan trauma pada gigi incisif menunjukkan anomali klinis pada radiografi gigi permanen
pengganti (Dummet, 2006).
-[]

Anda mungkin juga menyukai