Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma esofagus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya suatu lesi


pada esofagus dapat berupa laserasi, ulserasi, perforasi ataupun ruptur. Cedera
eksternal pada esofagus biasanya karena cedera akibat benda tumpul dan tajam1.
Trauma eksternal pada esofagus lebih sering terjadi oleh karena luka
tembak dan luka tusuk. Perforasi esofagus akibat trauma tumpul eksternal sangat
jarang terjadi. Penyebab yang paling sering berkaitan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor berkecepatan tinggi. Hasil klinis dari pasien-pasien tersebut
dipengaruhi oleh keterlambatan diagnosis, komplikasi dari perforasi esofagus dan
cedera terkait. Karena tanda dan gejala awal perforasi esofagus tidak mudah
dikenali, diagnosis yang cepat dan akurat merupakan tantangan pada pasien
dengan trauma tumpul multipel. Sehingga kecurigaan yang tinggi diperlukan
dalam menangani pasien trauma dengan tekanan yang kuat pada leher atau dada.
Keseluruhan cedera atau trauma pada esofagus jarang terjadi, kejadian
yang tercatat sekitar satu sampai dua kasus per bulannya. Trauma tusuk atau tajam
lebih banyak terjadi daripada trauma tumpul dengan rasio 10 : 1. Di Amerika
Serikat etiologi yang paling umum terjadi adala luka tembak sebanyak 75% dan
luka tusukan sekitar 15%.1

Universitas Tarumanagara Page 1


BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan lapisan otot yang berbentuk seperti tabung yang


memanjang, mulai dari vertebra servikal 6 sampai torakal 11, atau dari hipofaring
sampai ke lambung, dengan panjang lebih kurang 23 sampai 25 cm. Dalam
keadaan normal, lumen esofagus kolaps, dan berbentuk pipih. Secara umum
2,3
esofagus dapat dibagi dalam 3 lokasi anatomi yaitu : 1. Pada daerah leher
esofagus berada pada garis tengah leher, di belakang laring dan trakea, pembuluh
darah di daerah ini adalah percabangan arteri tiroid inferior dan vena tiroid
inferior, aliran limfe pada daerah ini adalah kelenjar limfe paraesofagus servikal
dan jugular inferior. 2. Daerah torakal bagian atas esofagus lewat di belakang
percabangan trakea, bronkus kiri, lalu ke belakang atrium kiri selanjutnya masuk
ke daerah abdomen melalui hiatus esofagus pada diafragma, pembuluh darah di
daerah ini adalah percabangan aorta torak, vena azygos dan vena hemiazygos,
aliran limfenya terdiri dari kelenjar limfe mediastinum superior, parabronkial,
hilus, dan paraesofagus. 3. Bagian esofagus abdominal yang panjangnya hanya
1,25 cm, berada pada permukaan posterior lobus kiri hati, permukaan kiri dan
depan esofagus abdominal diliputi oleh peritonium, pembuluh darah pada daerah
ini adalah cabang arteri gastrik kiri, arteri frenikus inferior, dan vena gastrik kiri,
aliran limfenya terdiri dari kelenjar limfe gaster kiri, retrokardia, dan seliaka.4
Persarafan esofagus berasal dari nevus vagus (parasimpatis) dan ganglion
simpatis, esofagus bagian servikal disarafi oleh nervus laring rekuren, di bagian
torakal nervus vagus membentuk fleksus esofagial kemudian bercabang 2
membentuk bagian kiri depan dan kanan belakang. 5

Universitas Tarumanagara Page 2


Gambar 1. Anatomi Esofagus 6

Ada 4 daerah penyempitan normal pada esofagus yaitu : 1. Pada pharingo-


esophagal junction yang terdiri dari otot sfingter cricopharingeal, kira-kira
setinggi vertebra servikal 6; 2. Pada arkus aorta, kira-kira setinggi vertebra torakal
4; 3. Pada percabangan bronkus kiri, kira-kira setinggi vertebra torakal 5; 4. Pada
saat melewati diafragma, kira-kira setinggi vertebra torakal 10.

Secara histologik esofagus tidak memiliki lapisan serosa, 3 lapisan


esofagus dari luar ke dalam yaitu3 : 1. Lapisan paling luar terdiri dari 2 lapisan
otot; yang terluar lapisan otot longitudinal, dan pada bagian dalam lapisan otot
sirkuler; 2. Lapisan submukosa yang terdiri dari serat elastis dan fibrous, lapisan
ini merupakan lapisan yang terkuat dari esophagus; 3. Lapisan paling dalam
(lapisan mukosa) yang merupakan sel-sel epitel squamosa, terbagi atas lamina
propia dan muskular mukosa.

Universitas Tarumanagara Page 3


Lapisan otot pada bagian sepertiga atas dari esofagus merupakan lapisan otot
lurik, sedangkan dua pertiga bawah adalah lapisan otot polos.3

2.2 Fisiologi Esofagus


Aktivitas yang terkoordinasi dari sfingter esofagus atas (upper esophageal
sphingter), badan esofagus, dan sfingter esofagus bawah (lower esophageal
sphingter) penting untuk fungsi motorik esofagus dalam mengantarkan makanan
masuk ke lambung.3

2.2.1. Sfingter esofagus atas


Bagian ini dipersarafi langsung oleh saraf motorik dari otak. Dalam
keadaan istirahat, sfingter esofagus atas tetap dalam keadaan berkontraksi dengan
tekanan 60-100 mmHg, hal ini mencegah masuknya udara dari faring ke esofagus
dan mencegah terjadinya refluks dari esofagus ke faring. Pada saat menelan, bolus
makanan didorong oleh lidah masuk ke faring, terjadi relaksasi otot sfingter atas,
setelah makanan lewat otot ini kembali pada keadaan normal.

2.2.2. Badan esofagus


Setelah makanan melewati otot sfingter atas, badan esofagus berkontraksi
mulai dari bagian paling atas dengan kecepatan 3-4 cm/detik dan tekanan
kontraksi 60-140 mmHg.

2.2.3. Sfingter esofagus bawah


Panjang sfingter esofagus bawah sekitar 3-4 cm dengan tekanan kontraksi
pada saat istirahat adalah 15-24 mmHg. Pada saat menelan, otot sfingter ini
relaksasi sekitar 5-10 detik agar makanan bisa masuk ke dalam lambung.

Universitas Tarumanagara Page 4


BAB III

EXTERNAL INJURY TO THE ESOPHAGUS

3.1 Definisi

Trauma esofagus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya suatu lesi


pada esofagus dapat berupa laserasi, ulserasi, perforasi ataupun ruptur.7 Cedera
eksternal pada esofagus biasanya karena cedera akibat benda tumpul dan tajam.
Kebanyakan perforasi esofagus akibat luka tembak atau pisau pada leher atau
toraks. Perforasi esofagus dapat spontan atau bisa akibat berbagai penyebab.

Trauma tembus esofagus terjadi terutama pada esofagus bagian servikal


dan morbiditasnya berkaitan dengan cedera vaskuler, trakea dan sumsum tulang.
Lebih sering terjadi oleh karena luka tembak, luka tusuk. Trauma berupa laserasi
dan ulserasi biasanya tidak memerlukan tindakan pembedahan segera, berbeda
dengan perforasi dan ruptur esofagus apapun sebabnya adalah keadaan yang
gawat, dapat dipastikan akan menimbulkan kematian apabila tidak ditangani
dengan baik, sehingga perforasi esofagus merupakan kejadian yang paling
berbahaya dari perforasi bagian-bagian lain dari traktus digestivus.7

Esofagus mewakili saluran gastrointestinal sangat terkontaminasi dengan


aliran bakteri yang sering mengandung bentuk bakteri anaerob yang berbahaya.
Lebih lanjut, esofagus tanpa serosa, sehingga membuat perbaikan dengan jahitan
atas laserasi lebih sulit.8

Hasil klinis dari pasien-pasien dipengaruhi oleh keterlambatan diagnosis,


komplikasi dari perforasi esofagus dan cedera terkait. Karena tanda dan gejala
awal perforasi esofagus tidak mudah dikenali, diagnosis yang cepat dan akurat
merupakan tantangan pada pasien dengan trauma tumpul multiple. Sehingga
kecurigaan yang tinggi diperlukan dalam menangani pasien trauma dengan
tekanan yang kuat pada leher atau dada.9

Universitas Tarumanagara Page 5


3.2 Epidemiologi

Laporan yang dilakukan di Pennsylvania dari tahun 2004 sampai 2010 dari
231.694 pasien terdapat 327 pasien (0,14%) mengalami trauma esofagus. Risiko
trauma esofagus meningkat secara nyata pada pria dari 1,98% menjadi 3,47%.
Resikonya juga meningkat di Afrika dan Amerika dari 3,65% menjadi 5,82%.
Sebagian besar kasus berasal dari luka tembak dan luka tusukan.

Pasien dengan trauma esofagus memiliki mortalitas yang jauh lebih tinggi
daripada mereka yang tidak mengalami cedera (20,5% banding 1,4%). Bagi
pasien dengan trauma esofagus, ada hubungan antara tingkat keparahan trauma
dan kematian. Studi yang telah dilakukan mengenai luka esofagus sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa cedera ini jarang terjadi namun
membawa morbiditas yang cukup besar (46%) dan mortalitas (20%). Cedera
memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi bila esofagus toraks terlibat
dibandingkan dengan esofagus servikal saja. Cedera yang paling sering terjadi
pada orang muda, pria kulit hitam yang menderita luka tembak.10

3.2 Etiologi dan Klasifikasi

Secara garis besar etiologi trauma esofagus ini dapat digolongkan kedalam
3 kategori : 1. Trauma Iatrogenik, meliputi : perforasi akibat tindakan endoskopi,
ruptur saat melakukan dilatasi, perforasi akibat pemasangan Nasogastric Tube
(NGT), perforasi akibat pembedahan torak dan abdomen. Perforasi akibat
pemberian radiasi. 2. Trauma yang berasal dari dalam esofagus, meliputi: Benda
asing, bahan korosif, ruptur spontan akibat muntah yang hebat. 3. Trauma
langsung dari luar esofagus , meliputi: akibat tusukan dan benturan dada.7

Banyak faktor yang menyebabkan cedera pada esofagus seperti operasi


vagotomi trunkus, miotomi esophagus, perbaikan hernia hiatus serta tindakan paru
dan mediastinum bisa juga menyebabkan perforasi iatrogenik. Endoskopi

Universitas Tarumanagara Page 6


gastrointestinal atas dan dilatasi esofagus merupakan alasan tersering untuk
terjadinya perforasi.

Trauma tumpul dan penetrasi dada dan abdomen bisa menyebabkan


perforasi dan ruptur esofagus yang sakit lebih mudah perforasi, terutama dengan
adanya ulkus esofagus profunda atau luka bakar kaustik belakangan ini atau
selama manipulasi diagnostik atau terapi karsinoma esofagus.

Trauma eksternal pada esofagus lebih sering terjadi oleh karena luka
tembak dan luka tusuk. Perforasi esofagus akibat trauma tumpul eksternal sangat
jarang terjadi. Penyebab yang paling sering berkaitan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor berkecepatan tinggi. Hasil klinis dari pasien-pasien tersebut
dipengaruhi oleh keterlambatan diagnosis, komplikasi dari perforasi esofagus dan
cedera terkait. Karena tanda dan gejala awal perforasi esofagus tidak mudah
dikenali, diagnosis yang cepat dan akurat merupakan tantangan pada pasien
dengan trauma tumpul multiple. Sehingga kecurigaan yang tinggi diperlukan
dalam menangani pasien trauma dengan tekanan yang kuat pada leher atau dada.8

3.3 Patogenesis

3.3.1. Ruptur Spontan atau Pasca-muntah

Muntah menciptakan peningkatan jelas dalam tekanan intra-abdomen


dengan distensi berlebihan mendadak lambung proksimal dan esofagus distal.
Peregangan ini bisa menyebabkan robekan berbagai kedalaman pada sambungan
esophagogaster. Laserasi mukosa dan submukosa dinamai lesi Mallory-Weiss dan
terutama akan menyebabkan perdarahan. Bila ruptur keseluruhan tebal dinding
esofagus timbul setelah muntah, maka ia lazim dinamai perforasi spontan atau
pasca-muntah atau Boerhaave syndrome.8

Lokasi ruptur bisa dipengaruhi oleh ada atau tak adanya hernia hiatus.
Dengan adanya hernia, tekanan maksimum ditimbulkan dalam lambung yang
berherniasi dan sisanya biasanya timbul dalam cardia, yang melibatkan lambung

Universitas Tarumanagara Page 7


dan esofagus. Tanpa hernia, tekanan maksimum diberikan ke esofagus distal dan
robekan 1 sampai 3 cm. Biasanya terjadi pada dinding posterolateral kiri tepat
proksimal terhadap sambungan esophagogaster.

3.3.2. Ruptur Iatrogenik

Pemeriksaan endoskopik merupakan sebab tersering perforasi esofagus,


dengan insidens kurang dari 1 menyebabkan laparotomi eksplorasi bila perforasi
berhubungan dengan kavitas peritoneal. Disfagia dan odinofagia tampak tersering
jika perforasi timbul 24 sampai 48 jam sebelumnya. Demam, emfisema subkutis
dan nyeri pada palpasi bisa terlihat. Gejala ini (terutama jika menetap) seharusnya
membawa ke evaluasi radiologik penuh bagi esofagus.

Nyeri, disfagia dan odinofagia biasanya ada bila suatu benda asing yang
tersangkut, ulkus esofagus atau karsinoma progresif mengerosi dinding esofagus.
Riwayat menelan benda asing, gejala refluks menahun, atau obstruksi progresif
belakangan ini sering ada. Karena proses perforasi dalam keadaan ini lambat,
maka peradangan akibatnya biasanya mencegah perforasi bebas dan menyokong
pembentukan abses atau fistula di dalam mediastinum.

Jarang ruptur esofagus setelah trauma. Harus disingkirkan bila ada bukti
emfisema mediastinum, hidropneumotoraks, hematemesis atau drainase berdarah
dari sonde nasogogaster setelah trauma tumpul atau penetrasi.8

3.4 Gejala dan Tanda

Gejala yang menyertai trauma esofagus mencakup nyeri servikal atau


thoracica, nyeri tekan leher, dipsnu dan disfagia. Nyeri dada dianggap sebagai
keluhan utama dari perforasi esofagus dan ditemukan pada lebih dari 70% pasien
dengan perforasi esofagus intratorak. Nyeri yang timbul bersifat akut dengan
onset yang tiba-tiba menjalar ke punggung atau bahu. Pada 25% pasien, rasa nyeri
ini diikuti oleh muntah dan sesak napas. Gejala lain, yang dapat timbul adalah
disfonia, suara serak, disfagia dan emfisema subkutan. Gejala akut, abdomen atau

Universitas Tarumanagara Page 8


nyeri epigastrium terjadi pada pasien dengan perforasi di daerah gastroesofageal
junction. Pada perforasi esofagus jarang terjadi gejala hematemesis dan tanda-
tanda perdarahan gastrointestinal lainnya seperti melena.9

Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala lain takikardi, takipnea, adanya


demam (panas badan lebih dari 38,5˚C). Pada perabaan terdapat emfisema
subkutis dengan krepitasi kulit di daerah leher atau dada serta pembengkakan
leher. Respon inflamasi sistemik biasanya berkembang dengan cepat setelah
perforasi, pada umumnya terjadi dalam waktu 24-48 jam dan adanya mediastinitis
bakteri dapat menyebabkan terjadinya kolap kardiopulmonal dan multi organ
failure dalam waktu yang singkat.9

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Pada hasil laboratorium leukositosis yang bermakna dan hasil Rontgen


toraks sering akan memperlihatkan pneumomediastinum, adanya gas pada
jaringan lunak servikal, hidrotoraks dan pneumotoraks.8

Foto polos torak dengan posisi posteroanterior dan lateral : untuk melihat
adanya tanda perforasi esofagus dengan servikal, emfisema mediastinum,
pneumotorak, piotorak, mediastinitis serta aspirasi pneumonia.

Esofagografi dengan menggunakan gastrogafin atau water solublecontrast


untuk menentukan lokasi dan menunjukkan adanya perforasi dari esofagus berupa
ekstravasasi dari kontras. Jika menggunakan barium sulfat akan terjadi
ekstravasasi yang menyebabkan proses inflamasi dan fibrosis di mediastinum,
disamping itu juga akan menyulitkan untuk interpretasi gambaran mediastinum
saat evaluasi selanjutnya karena barium sulfat diserap dalam waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan water soluble contrast.

A Computed Tomography (CT) Scan esofagus : dapat menunjukkan


inflamasi jaringan lunak dan abses. CT Scan dapat dilakukan pada pasien dengan
kondisi kritis atau tidak memungkinkan dilakukan esofagografi atau pada

Universitas Tarumanagara Page 9


pemeriksaan esofagografi tidak menunjukkan adanya perforasi esofagus tetapi
secara klinis menunjukkan adanya tanda-tanda perforasi yang nyata. Pada
Magnetic Resonance Imaging (MRI) : dapat menunjukkan gambaran semua
keadaan patologik esofagus.11

3.6 Diagnosis

Diagnosis berdasarkan : 1. Anamnesis: dimana perforasi esofagus


dikeluhkan nyeri hebat daerah leher atau dada, sesak napas, dan muntah. 2. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan: takikardia, takipnea, febris, pada perabaan daerah
leher atau dada terasa adanya krepitasi, yang menandakan terjadi emfisema kutis.
3. Penunjang : foto polos dada dan esofagografi. Bila diperlukan dilakukan
pemeriksaan CT Scan.9

Tingkat perforasi bila dikonfirmasi dengan esofagram dan atau


esofagoskopi. Harus ditentukan bahwa cara ini kadang-kadang bisa memberikan
hasil negatif palsu pada pasien yang dicurigai trauma esofagus.

Bila suatu gambaran klinik menggambarkan perforasi esfagus, maka harus


dibuat foto toraks dan esofagogram. Biasanya foto toraks akan memperlihatkan
emfisema mediastinum dan efusi pleura kiri dengan atau tanpa pneumotoraks.
Dapat dilihat pelebaran mediastinum, terutama dengan riwayat trauma.
Esofagogram harus dibuat pada pasien tegak dan terlentang. Penting menentukan
dengan tepat lokasi perforasi. Medium kontras larut dalam air harus digunakan
pada permukaan, yang diikuti oleh barium cair, jika tak diidentifikasi perforasi.
Film vertebra servikal bisa menunjukkan penebalan jaringan retropharynx dan
penjebakan udara.7,11

Evaluasi endoskopik tidak diindikasikan karena kemungkinan


mendifuskan kontaminasi mediastinum, meningkatkan kerusakan esofagus atau
menimbulkan tension pneumothorax.11

Universitas Tarumanagara Page 10


3.7 Diagnosis Banding

Gejala perforasi esofagus harus dibedakan dengan beberapa kelainan yang


lain diantaranya : 1. Miokard Infark akut, pada sindrom coroner akut ditandai
dengan nyeri dada retrosternal seperti memeras, terbakar atau bahkan tajam yang
menjalar ke leher, bahu, lengan kiri maupun sudut rahang. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya S4 gallop, takikardi, takipnea dan hipotensi. Pada penunjang
radiologis ditemukan edema dan kongesti pulmonal dan pada pemeriksaan
Electrocardiogram (EKG or ECG) terdapat gelombang T inversi, gelombang Q
patologis dan perubahan gelombang ST; 2. Perforasi ulkus peptikum, gejala yang
muncul berupa nyeri seperti tertusuk atau sensari terbakar di epigastrik tengah
atau punggung. Nyeri biasanya timbul saat perut kosong dan hilang dengan
makan. Selain itu terdapat juga gejala mual, bersendawa, perut kembung yang
hilang timbul dan sering disertai dengan gejala perdarahan saluran cerna seperti
hematemesis dan melena; 3. Pankreatitis akut, apabila pada pemeriksaan Rontgen
dada ditemukan adanya pneumotoraks dengan ataupun tanpa adanya efusi pleura
(hidropneumotoraks) maka hal ini harus dibedakan dengan pankreatitis akut. Pada
pankreatitis akut, nyeri seperti disayat-sayat di epigastrik kuadran kiri atas dengan
penjalaran ke daerah punggung. Nyeri akan berkurang bila membungkuk ke
depan atau duduk. Gejala lain berupa mual, muntah serta demam. Pada kasus
yang sangat berat terdapat perubahan warna kulit menjadi pucat, kebiruan atau
kuning kecoklatan pada daerah umbilicus atau pinggang. Pada pemeriksaan
laboratorium terjadi peningkatan enzim pankreas yaitu amilase dan lipase.9,10

3.8 Terapi

Trauma pada pars cervicalis esophagus efektif diterapi dengan eksplorasi


servikal segera, penutupan cacat dan drainase jaringan lunak leher. Bila trauma
terbatas pada bagian servikal esofagus, maka sangat jarang terjadi komplikasi
lanjut.8,12

Universitas Tarumanagara Page 11


Trauma pada pars thoracica esophagus harus diterapi dengan torakotomi
segera. Mediastinum dibuka lebar dan perforasi dikenali. Perbaikan dua lapis
primer harus diusahakan bila ada cukup jaringan tersisa untuk mencapai hal ini
tanpa penyempitan esofagus.

Pada kebanyakan kasus, perbaikan ini memerlukan penguatan kembali


dengan sejumlah jenis flap jaringan lunak. Bila trauma dalam esofagus distalis,
maka bisa digunakan sepotong fundus gastricae. Trauma pada dua pertiga
proksimal esofagus bisa diperkuat dengan menggunakan flap pleura atau flap
muskulus romboid.8,9,12

Harus dikenal bahwa dengan adanya keterlibatan jaringan yang luas


setelah luka penetrasi esofagus, perbaikan primer perforasi pada thoracica
esophagus bisa disertai dengan tingginya insidens kegagalan. Dalam kasus
demikian lebih sedikit morbiditas telah terlihat setelah defungsionalisasi esofagus
dilakukan. Esofagus distal didekati melalui torakotomi diligasi dengan benang
yang dapat diserap di bawah tingkat trauma. Esofagostomi servikal dilakukan
untuk mendefungsionalisasi keseluruhan esofagus di atas dan di bawah titik
cedera intratoraks. Kemudian pasien diberikan makanan intravena parenteral total
selama sekitar dua minggu, yang pada saat itu juga telah sembuh perforasi
esofagus.12

Penyembuhan cedera esofagus dan patensi esofagus distal (setelah larutan


ligasi distal yang dapat diserap pada esofagus) dapat dikonfirmasi dengan barium,
setelah itu esofagostomi servikal bisa ditutup.

Penanganan perforasi esofagus tergantung dari lokasi, besar perforasi, dan


kelainan esofagus yang terjadi sebelumnya. Perforasi yang terjadi di daerah
esofagus bagian servikal dan disebabkan oleh alat pada waktu tindakan dan hanya
berupa robekan kecil atau laserasi atau ekskoriasi dapat ditangani secara non
operatif. Sedangkan tindakan drainase pada perforasi esofagus hanya diperlukan
bila telah terbentuk abses di leher dan mediastinum superior. Sebaliknya bila

Universitas Tarumanagara Page 12


terjadi perforasi esofagus di daerah torakal atau abdominal maka tindakan operatif
sangat diperlukan karena umumnya perforasi di daerah ini sangat fatal.12

Langkah awal adalah secepatnya menetapkan kecurigaan adanya perforasi


esofagus, kemudian mengatasi stabilitas hemodinamik pasien dengan memasang
intra venus line, memberikan oksigen dan melakukan monitor terhadap
kardiopulmonari. Selanjutnya diberikan antibiotika spektrum luas dan pasien
dipuasakan dan dipasang pipa nasogaster untuk membersihkan isi lambung
sehingga mengurangi risiko kontaminasi isi lambung terhadap perforasi. Pasien
biasanya sangat kesakitan dan tidak nyaman maka dapat diberikan analgetik kuat.
Kemudian dilakukan penilaian terhadap lokasi dan luasnya perforasi dengan
melakukan pemeriksaan penunjang baik berupa foto polos torak maupun
esofagografi. Bila dari hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan contained
perforation: perforasi kecil dan ekstravasasi kontras terbatas pada dinding
esofagus serta efek diluar esofagus tidak berat atau tidak terjadi sepsis, maka
dilakukan observasi ketat di ruang perawatan intensif. Bila dalam 24-48 jam
terjadi gejala sistemik yang berat dan sepsis maka segera dilakukan kosultasi
bedah. Bila dari hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan free perforation:
perforasi besar dan ekstravasasi kontras luas di luar esofagus serta efek diluar
esofagus berat atau terjadi sepsis dengan gejala sistemik yang berat, maka
dilakukan konsultasi ke bagian bedah.12

Bila perforasi esofagus didiagnosis, maka prinsip penatalaksanaan sebagai


berikut : 1. Eksplorasi bedah, 2. Debridemen semua jaringan mati, 3. Penutupan
tepat laserasi untuk mencegah pengotoran kontinu dan, 4. Drainase. Tergantung
atas tempat perforasi, luas respon sistemik dan waktu antara perforasi dan
diagnosis, maka pendekatan bisa bervariasi, tetapi prinsip penatalaksanaan tetap
tak berubah. Perforasi leher biasanya sekunder terhadap manipulasi endoskopi dan
pada eksplorasi, tidak mudah menemukan tempat ruptur. Pemaparan luas
sambungan pharyngoesophagus posterior diharuskan untuk menjamin drainase
yang tepat dan penyembuhan sekunder biasanya timbul dalam 15 sampai 20 hari.

Universitas Tarumanagara Page 13


Perforasi toraks ditatalaksana lebih agresif dengan perhatian khusus bagi
jenis dan lama perforasi. Laserasi dengan kontaminasi toraks menyebabkan
mortalitas 20% sampai 30%, jika perbaikan dicapai dalam 24 jam pertama ruptur.
Mortalitas lebih dari 60% bila lebih dari 24 jam telah lewat setelah perforasi.

Suatu perforasi dini dengan tempat ruptur yang dapat didebridasi adekuat
dan diperbaiki dengan drainase akan memberikan hasil yang memuaskan. Tetapi
perforasi yang diterapi lebih dari 24 jam setelah kejadian, pasien dengan
perbaikan awal yang gagal dan pasien dengan perforasi esofagus yang sakit, akan
menjalani eksisi esofagus dengan pembentukan esofagostomi servikal dan
gastrostomi. Kontrol sepsis dengan pemberian makan yang memuaskan akan
memungkinkan rekonstruksi nantinya, yang menggunakan graft interposisi kolon
atau lambung.

Perforasi intramural atau walled-off pada pasien dengan tanda vital stabil
dan tanpa bukti septik dapat ditatalaksana dengan antibiotik intravena, pemberian
makan parenteral dan penghambatan sekresi lambung selama pembatasan
pencernaan.8

3.9 Komplikasi

Pada perforasi yang luas atau perforasi kecil dan terbatas dengan
kontaminasi dapat menyebabkan Pneumoni, Mediastinitis, Empiema,
Polimikrobial sepsis dan Multi-organ failure.9,10

3.10 Prognosis

Sangat bervariasi tergantung dari penyebab dan lokasi perforasi serta


kecepatan penetuan diagnosis dan terapi.9,10

Universitas Tarumanagara Page 14


BAB IV

RESUME

Trauma esofagus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya suatu lesi


pada esofagus dapat berupa laserasi, ulserasi, perforasi ataupun ruptur. Trauma
eksternal pada esofagus lebih sering terjadi oleh karena luka tembak dan luka
tusuk. Perforasi esofagus akibat trauma tumpul eksternal sangat jarang terjadi.
Penyebab yang paling sering berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor
berkecepatan tinggi.

Keseluruhan cedera atau trauma pada esofagus jarang terjadi, kejadian


yang tercatat sekitar satu sampai dua kasus per bulannya. Trauma tusuk atau tajam
lebih banyak terjadi daripada trauma tumpul dengan rasio 10 : 1. Di Amerika
Serikat etiologik yang paling umum terjadi adala luka tembak sebanyak 75% dan
luka tusukan sekitar 15%.1

Laporan yang dilakukan di Pennsylvania dari tahun 2004 sampai


2010 dari 231.694 pasien terdapat 327 pasien (0,14%) mengalami trauma
esofagus. Risiko trauma esofagus meningkat secara nyata pada pria dari 1,98%
menjadi 3,47%. Risikonya juga meningkat di Afrika dan Amerika dari 3,65%
menjadi 5,82%. Sebagian besar kasus berasal dari luka tembak dan luka tusukan.10

Secara garis besar etiologik trauma esofagus ini dapat digolongkan ke


dalam 3 kategori; 1. Trauma Iatrogenik, meliputi : perforasi akibat tindakan
endoskopi, ruptur saat melakukan dilatasi, perforasi akibat pemasangan NGT,
perforasi akibat pembedahan torak dan abdomen. Perforasi akibat pemberian
radiasi; 2. Trauma yang berasal dari dalam esofagus, meliputi: Benda asing, bahan
korosif, ruptur spontan akibat muntah yang hebat; 3. Trauma langsung dari luar
esofagus , meliputi: akibat tusukan dan benturan dada.

Nyeri dada dianggap sebagai keluhan utama dari perforasi esofagus dan
ditemukan pada lebih dari 70% pasien dengan perforasi esofagus intratorak. Nyeri
yang timbul bersifat akut dengan onset yang tiba-tiba menjalar ke punggung atau

Universitas Tarumanagara Page 15


bahu. Pada 25% pasien, rasa nyeri ini diikuti oleh muntah dan sesak napas. Gejala
lain, yang dapat timbul adalah disfonia, suara serak, disfagia dan emfisema
subkutan. Gejala akut, abdomen atau nyeri epigastrik terjadi pada pasien dengan
perforasi di daerah gastroesofageal junction.

Diagnosis berdasarkan : 1. Anamnesis: dimana perforasi esofagus


dikeluhkan nyeri hebat daerah leher atau dada, sesak napas, dan muntah. 2. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan: takikardia, takipnea, febris, pada perabaan daerah
leher atau dada terasa adanya krepitasi, yang menandakan terjadi emfisema kutis.
3. Penunjang : foto polos dada dan esofagografi. Bila diperlukan dilakukan
pemeriksaan CT Scan.

Bila perforasi esofagus didiagnosis, maka prinsip penatalaksanaan sebagai


berikut : 1. Eksplorasi bedah, 2. Debridemen semua jaringan mati, 3. Penutupan
tepat laserasi untuk mencegah pengotoran kontinu dan, 4. Drainase. Tergantung
atas tempat perforasi, luas respon sistemik dan waktu antara perforasi dan
diagnosis, maka pendekatan bisa bervariasi, tetapi prinsip penatalaksanaan tetap
tak berubah. Perforasi leher biasanya sekunder terhadap manipulasi endoskopi dan
pada eksplorasi, tidak mudah menemukan tempat ruptur. Pemaparan luas
sambungan pharyngoesophagus posterior diharuskan untuk menjamin drainase
yang tepat dan penyembuhan sekunder biasanya timbul dalam 15 sampai 20 hari.

Universitas Tarumanagara Page 16


DAFTAR PUSTAKA
1. Mubang RN, Stawicki SP. Trauma Esophageal. [Update 2017 Dec 14]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StartPearls Publishing; 2018
Jan;39(6):630-6.
2. Staf Pengajar FKUI-RSCM. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : Binarupa Aksara; 2012;237-8
3. Laluani, AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. United State of America : The McGraw-Hill Companies
Inc. 2008. 486.
4. Wen, Jessica. Esophagitis. http://www.emedicine.com/ped/
TOPIC714.HTM [Diakses 2 Desember 2011].2018
5. Bailey, Byron J. Head and Neck Surgery-Otolaryngology Second Edition.
Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher.1998;650.
6. Niki. Human Biology. http://www.training.seer.cancer.gov/
ss_module07_ugi/images/illu_esophagus.jpg [Diakses 9 Desember
2011].2008
7. Schaefer S.D. Laryngeal and Esophageal Trauma. In Cumming
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4 th ed. Chapter 92. Philadelpia.
: Elsevier Mosby; 2005. P 2090-2102
8. Sabiston, David C. Buku Ajar Ilmu Bedah Bagian 1. Jakarta: EGC;2005;
236-469.
9. Taslak S Bilgin B, Durgun Y. Early Diagnosis Saves Lives in Esophageal
Perforation.Turk J Med Sci 2013; 43: 939-45.
10. Makhani M, Mildani D, Goldberg A, Friendenberg F. Pathogenesis and
outcomes of traumatic injuries of the esophagus. Diseases of the
Esophagus. 2013
11. Jon Arne, AsgaustViste. Esophageal Perforation: Diagnostic Work Up
and Clinical Decision-Making in the First 24 Hours. Scandinavian J
Trauma, resuscitation an Emergency Medicine 2011; 19 (66): 1-7.
12. Philip W, Carrot Jr, Donald E, Low. Advances in the Management of
Esophageal Perforation. ThoracSurgClin 2011; 21: 541-55.

Universitas Tarumanagara Page 17

Anda mungkin juga menyukai