Anda di halaman 1dari 62

PEDOMAN

PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI

RUMAH SAKIT KHUSUS IBU DAN ANAK


ARVITA BUNDA

OLEH :
KOMITE PPI

RSKIA ARVITA BUNDA


Jl. Raya Tajem-Pasar Stan RT 04 RW 44 Maguwoharjo
Depok
Sleman, Yogyakarta
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan ridho-Nya telah tersusun buku
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSKIA Arvita Bunda.
Pembangunan kesehatan sebagaimana telah dicantumkan dalam Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) adalah bagian integral dari Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal yang merupakan salah satu unsur dari
kesejahteraan umum. Salah satu upaya untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal ialah
peningkatan kemampuan pada semua sarana kesehatan agar mampu memberikan pelayanan
kesehatan yang terpadu, bermutu dan berdaya guna.
Di dalam pelayanan kesehatan, terutama di Rumah Sakit, Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh semua pihak, terutama bagi
petugas Rumah Sakit dan Pasien. Infeksi yang terjadi di Rumah Sakit akan menjadi beban bukan
hanya pada pasien tetapi juga Rumah Sakit sebagai pemberi layanan kesehatan. Pedoman ini
dibuat sebagai acuan agar Rumah Sakit mampu menerapkan sistem keselamatan pasien dan
keselamatan kerja sehingga kejadian infeksi di Rumah Sakit dapat dikendalikan.
Disadari bahwa masih banyak hal-hal yang mungkin belum tertampung dalam buku
pedoman ini, dengan kata lain bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mengharap
kritikan yang membangun dan saran-saran dari berbagai pihak guna perbaikan di masa
mendatang.
Terima kasih.

Wassalammualaikum Wr.Wb

Sleman, September 2015

Tim Penyusun

ii
Jln. Raya Tajem - Pasar Stan RT 04 RW 44 Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta 55282
Telp. : (0274) 881229 / 0815 7552 1009, Fax : (0274) 881229
Email : rsia.arvitabunda@yahoo.com

KEPUTUSAN DIREKTUR RSKIA ARVITA BUNDA


TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
RSKIA ARVITA BUNDA
NOMOR : 005/SK-DIR/RSKIA-AB/IX/2015

DIREKTUR RSKIA ARVITA BUNDA

Menimbang :
a. bahwa rumah sakit harus meningkatkan sistem Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi yang baik;
b. bahwa rumah sakit perlu melakukan evaluasi Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi;
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka rumah sakit perlu
membuat pedoman tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Mengingat :
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit ;
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1575/Menkes/XI/2005 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
4. Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor : 503/2037/526/DKS/2015 tentang
Pemberian Izin Operasional Rumah Sakit Ibu dan Anak;
5. Surat Keputusan Ketua Yayasan Arvita Bunda Nomor 001/02/SK/Y-AB/2011
tentang Pengangkatan Direktur RSKIA Arvita Bunda.

MEMUTUSKAN

iii
Menetapkan :
KESATU : KEPUTUSAN DIREKTUR RSKIA ARVITA BUNDA TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI RSKIA ARVITA BUNDA
KEDUA : Membentuk Tim Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSKIA
Arvita Bunda dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : dr. Ika Puspitasari
Anggota : 1. Wati Sohibah, S.Kep.Ners
2. Desi Indriyani, A.Md.Keb.
3. Bety Haswanti, A.Md
4. Desma Deny, A.MdKL.
KETIGA : Tim bertugas menyusun Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
RSKIA Arvita Bunda
KEEMPAT : Dalam melaksanakan tugasnya Tim dapat mengundang organisasi profesi atau
pihak-pihak lain yang terkait untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
KELIMA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Sleman, September 2015


Direktur RSKIA Arvita Bunda

dr. Iswanti Noorvita

iv
Jln. Raya Tajem - Pasar Stan RT 04 RW 44 Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta 55282
Telp. : (0274) 881229 / 0815 7552 1009, Fax : (0274) 881229
Email : rsia.arvitabunda@yahoo.com

PERATURAN DIREKTUR RSKIA ARVITA BUNDA


TENTANG
PENETAPAN PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
RSKIA ARVITA BUNDA
NOMOR : 004/PER-DIR/RSKIA-AB/IX/2015

DIREKTUR RSKIA ARVITA BUNDA

Menimbang :
a. bahwa rumah sakit harus meningkatkan sistem Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi yang baik;
b. bahwa rumah sakit perlu melakukan evaluasi Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi;
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas maka rumah sakit perlu
membuat pedoman tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Mengingat :
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit;
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
3. Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor : 503/2037/526/DKS/2015 tentang
Pemberian Izin Operasional Rumah Sakit Ibu dan Anak;
4. Surat Keputusan Ketua Yayasan Arvita Bunda Nomor 001/02/SK/Y-AB/2011
tentang Pengangkatan Direktur RSKIA Arvita Bunda.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
KESATU : PERATURAN DIREKTUR RSKIA ARVITA BUNDA TENTANG
PENETAPAN PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI RSKIA ARVITA BUNDA;

KEDUA : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RSKIA Arvita Bunda dilaksanakan


sesuai dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSKIA Arvita

v
Bunda;
KETIGA : Lampiran yang tercantum dalam pedoman ini merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan;
KEEMPAT : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

Sleman, September 2015


Direktur RSKIA Arvita Bunda

dr. Iswanti Noorvita

vi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
KEPUTUSAN DIREKTUR TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN
PEDOMAN........................................................................................................................ iii
PERATURAN DIREKTUR TENTANG PENETAPAN PEDOMAN ........................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Tujuan ......................................................................................................... 2
C. Ruang Lingkup ........................................................................................... 2
D. Batasan Operasional ................................................................................... 2
E. Landasan Hukum ........................................................................................ 3
BAB II STANDAR KETENAGAAN............................................................................ 4
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia ............................................................ 4
B. Distribusi Ketenagaan ................................................................................. 4
BAB III STANDAR FASILITAS .................................................................................. 7
A. Area ............................................................................................................ 7
B. Standar Fasilitas .......................................................................................... 7
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN .................................................................. 9
A. Pencegahan Infeksi ..................................................................................... 9
B. Pendidikan dan Pelatihan ............................................................................ 27
C. Surveilans ................................................................................................... 29
D. Penggunaan obat antibiotik secara rasional ................................................ 42
BAB V LOGISTIK ........................................................................................................ 45
BAB VI KESELAMATAN PASIEN .............................................................................. 46
BAB VII KESELAMATAN KERJA ............................................................................... 47
A. Pengertian ................................................................................................... 47
B. Tujuan ......................................................................................................... 47
C. Sasaran ........................................................................................................ 47
D. Identifikasi sumber bahaya ......................................................................... 47
E. Penyelenggaraan ......................................................................................... 48
F. Evaluasi ...................................................................................................... 48
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU .............................................................................. 49
A. Monitoring .................................................................................................. 49
B. Evaluasi ...................................................................................................... 49
BAB IX PENUTUP ........................................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 51
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 52

DAFTAR TABEL

vii
Halaman
Tabel 1. Bahaya Potensial ............................................................................................ 47

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir A HAIS


Lampiran 2. Formulir B HAIS
Lampiran 3. Formulir C HAIS

viii
Lampiran 4. Formulir D HAIS
Lampiran 5. Form Monitoring Infeksi Luka Operasi (ILO)
Lampiran 6. Form Kepatuhan APD
Lampiran 7. Form ICRA HAIS
Lampiran 8. Form ICRA Konstruksi

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Healthcare associated infection (HAI) menjangkit ratusan juta pasien di seluruh
dunia. Sebagai hasil yang tidak diinginkan dari seeking care, infeksi ini menghantarkan
pasien pada penyakit yang lebih serius, penambahan lama rawat inap dan diiabilitas
jangka panjang. Tak hanya berpengaruh pada penambahan hospital cost dari keluarga
pasien, infeksi ini juga mengantarkan penambahan beban financial tak langsung pada
health-care system serta tidak menutup kemungkinan akan menjadi factor penyebab
kematian pasien (WHO, 2005). Di Negara maju seperti Amerika Serikat, ada 20.000
kematian setiap tahun akibat HAI. Di seluruh dunia, 10 persen pasien rawat inap di
rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama dirawat atau sekitar 1,4 juta infeksi
setiap tahun. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta
pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8 persen pasien rawat inap mendapat infeksi
yang baru selama dirawat.
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(PerMenKes no 1691/2011).
Keselamatan pasien merupakan salah satu indikator klinik mutu pelayanan
kesehatan. Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perlu memahami aspek hukum
keselamatan pasien untuk melindungi diri sendiri dari tuntutan hukum dan untuk
melindungi keselamatan pasien.
Keselamatan pasien merupakan prioritas dalam pelayanan kesehatan.Kita harus
melindungi klien dari terjadinya cedera fisik dan emosional dengan terus mencari dan
menghilangkan objek yang menjadi ancaman keselamatan.The Joint Commission (TJC)
setiap tahunnya memperbarui dan menerbitkan National Patient safety Goals.Sebagai
contoh tindakan yang mengancam keselamatan pasien adalah kesalahan pemberian obat
yang dilakukan oleh perawat. Ada dua pasien yang namanya sama dengan diagnosa
medis yang berbeda dan mendapatkan therapy yang berbeda pula. Saat memberikan obat,
perawat tidak menggunakan prinsip pemberian obat dengan benar, perawat tidak
memeriksa atau mencocokkan dulu apakah identitas pasien, nama obat yang akan

1
diberikan telah sesuai. Sehingga terjadi kesalahan pemberian obat pada kedua pasien
tersebut (Depkes RI, 2006).
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko.Banyaknya jenis obat, jenis
pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar,
merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors).Medical
Error didefinisikan sebagai: suatu kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan
untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (kesalahan tindakan) atau perencanaan
yang salah untuk mencapai suatu tujuan (kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi
dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera pada pasien (Depkes RI, 2006).
Dalam rangka pelaksanaan Pencegahan dan pengendalian infeksi, rumah sakit perlu
membentuk langkah-langkah sistematis yang disusun dalam suatu program-program yang
jelas.Program-program tersebut dapat terlaksana jika rumah sakit mempunyai suatu
struktur organisasi penanggulangan infeksi yang baik.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
adalah:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya melalui
pencegahan dan pengendalian infeksi
2. Melindungi sumber daya manusia kesehatan dan masyarakat dari penyakit infeksi
yang berbahaya
3. Menurunkan angka kejadian HAI.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari Program PPI meliputi Pencegahan Infeksi, Pendidikan dan
Pelatihan, Surveilans, Penggunaan Obat Antibiotik secara Rasional.

D. Batasan Operasional
Pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dimaksud untuk
menghindari terjadinya infeksi selama pasien dirawat di rumah sakit. Pelaksanaan upaya
pencegahan infeksi nosokomial terdiri atas : Kewaspadaan Universal, Tindakan Invasif,
Tindakan Non invasive, Tindakan terhadap anak dan neonatus,isolasi, Pengelolaan linen
dan laundry, pengelolaan limbah, manajemen lingkungan, pengelolaan diit dan gizi,
pengelolaan jenazah,serta Sterilisasi dan Desinfeksi
Training atau pelatihan atau learning adalah kegiatan untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan yang diberikan baik dalam kelas maupun diluar kelas pada
seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk menghilangkan GAP atau perbedaan

2
antara kemampuan yang sekarang dimiliki dengan kemampuan standard yang ditetapkan.
Proses pelaksanaannya ialah mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti standar
acuan tertentu atau prosedur sehingga menjadi kebiasaan yang pada hasilnya nanti
terlihat adanya perubahan, perbaikan ditempat kerja.
Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap
timbulnya penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan meningkat atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit.
Analisa data dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam
prosesitu. Kegiatan surveilans meliputi: merumuskan kasus / kriteria diagnostik,
pengumpulan data surveilans infeksi nosokomial, penyebaran data / informasi.
Untuk mencegah pemakaian antibiotic yang tidak tepat sasaran, atau kurang rasional
maka perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotik. Oleh karena penggunaan antibiotik
yang tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negatif seperti terjadinya
kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya kejadian efek samping
obat, biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan merugikan
pasien. Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan
penggunaan antibiotic agar dapat menekan serendah – rendahnya efek yang merugikan
dalam pemakaian / penggunaan antibiotik.

A. Landasan Hukum
1. Undang Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang Undang RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. SK Menkes No 270/Menkes/SK/III/2007 ttg Pedoman Manajerial PPI di RS dan
Fasyankes Lainnya
4. SK Menkes No 382/Menkes/SK/III/2007 ttg Pedoman PPI di RS dan Fasyankes
lainnya
5. SK Menkes No. 129/Menkes/SK/II/2008 ttg SPM RS
6. SK Menkes 1165.A./Menkes/SK/X/2004 ttg KARS
7. SK Dirjen Bina Yanmed No.HK.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan Komite
PPIRS & Tim PPIRS

3
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi SDM
Panitia PPI terdiri atas dokter, perawat, analis, farmasi, IPSRS, Gizi, Sanitasi dan
bagian Linen. Sasaran target PPI meliputi pasien, petugas, lingkungan RS & di sekitar RS,
pengunjung RS, dan masyarakat di sekitar RS.
PPI dipimpin langsung oleh direktur rumah sakit dan bertugas mengontrol dan
mengkoordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Sekretaris
PPI adalah orang yang ditunjuk oleh direktur dan dianggap mempunyai kemampuan
pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai dengan tingkat pendidikan, pengalaman dan
pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi baik eksternal maupun internal.
Infection Pevention and Control Officer (IPCO) adalah seorang dokter yang
ditunjuk oleh oleh ketua panitia PPI sebagai pelaksana kegiatan PPI di rumah sakit. Dokter
yang ditunjuk menjadi IPCO harus memiliki kemampuan dalam pencegahan dan
pengendalian Infeksi berdasarkan pendidikan, pengalaman dan pelatihan yang terkait.
Seorang IPCO membawahi dua sampai lima orang Infection Preventionand Control Nurse
(IPCN) dalam koordinasi pelaksanaan program PPI.
IPCN adalah seorang perawat yang mempunyai kemampuan PPI berdasarkan
pelatihan PPI eksternal maupun internal dan merupakan koordinator pelaksanaan PPI di
bagian keperawatan. IPCN dalam pelaksanaannya mengontrol pelaksanaan PPI pasien rawat
inap dan rawat jalan dengan kuota 50 tempat tidur dalam pengawasan untuk tiap 1 orang
IPCN yang ditunjuk. Dalam pelaksanaan PPI seorang IPCN dibantu oleh beberapa Infection
Prevention and control link nurse (IPCLN) di bagian yang terkait.
IPCLN adalah perawat PPI yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan PPI di
bagian. IPCLN dipilih berdasarkan kemampuan pelaksanaan PPI berdasarkan pendidikan
dan pelatihan PPI baik eksternal maupun internal.

B. Distribusi Ketenagaan
Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi bertugas membuat dan mengevaluasi
kebijakan PPI, melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, membuat SPO, menyusun serta
mengevaluasi pelaksanaan program & pelatihan PPI, melakukan investigasi masalah atau
Kejadian Luar Biasa (KLB) Infeksi Nosokomial, memberikan usulan untuk mengembangkan
dan meningkatkan cara Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, memberikan usulan kepada
Direktur untuk pemakaian antibiotika yang rasional di RS berdasarkan hasil pantauan kuman
dan resistensinya terhadap antibiotika serta menyebar luaskan data resistensi antibiotika,
memberikan masukan yang menyangkut Konstruksi Bangunan, Pengadaan Alat, Bahan
Kesehatan, Renovasi Ruangan, cara pemprosesan alat, penyimpanan alat dan linen sesuai

4
dengan prinsip PPI.
Infection Prevention Control Officer (IPCO) bertugas dalam berkontribusi dalam
diagnosis dan terapi infeksi yang benar, menyusun pedoman penulisan resep antibiotika dan
surveilenss, mengindentifikasi, melaporkan kuman patogen dan pola resistensi antibiotika,
bekerjasama dengan Perawat PPI memonitor kegiatan Surveilenss Infeksi dan mendeteksi
serta menyelidiki KLB, membimbing dan mengajarkan praktek serta prosedur PPI yang
berhubungan dengan prosedur terapi, memonitor cara kerja tenaga Kesehatan dalam
merawat Pasien dan membantu semua Petugas Kesehatan untuk memahami PPI.
Infection Prevention Control Nurse (IPCN) mempunyai tugas dan wewenang untuk
mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang terjadi di RS,
memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SOP dan kewaspadaan isolasi, melaksanakan
Surveilans Infeksi dan melaporkan kepada Tim mutu RS. Merencanakan Pelatihan Petugas
Kesehatan tentang PPI di Rumah Sakit, melakukan Investigasi terhadap KLB dan
memperbaiki kesalahan yang terjadi, memonitor kesehatan petugas untuk mencegah
penularan infeksi dari petugas kesehatan kepada pasien atau sebaliknya. menganjurkan
prosedur isolasi dan memberi konsultasi tentang PPI yang diperlukan pada kasus yang terjadi
di RS, monitor pengendalian penggunaan antibiotika yang rasional, mendesain,
melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi surveilenss infeksi yang terjadi di Rumah
Sakit, membuat laporan Surveilans, memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan
kepatuhan PPI, meningkatkan kesadaran Pasien dan pengunjung Runah Sakit tentang PPIRS,
memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan, Pengunjung dan keluarga tentang topik
infeksi yang sedang berkembang di masyarakat (infeksi dengan insiden tinggi).
Infection Prevention Control Link Nurse (IPCLN) bertugas mengisi dan
mengumpulkan formulir Surveilenss setiap pasien di Unit Rawat Inap masing-masing,
kemudian menyerahkannya kepada Infection Prevention Control Nurse (IPCN), memberikan
motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI pada setiap personil Ruangan di
Unit Rawat masing-masing, memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya
Infeksi Nosokomial pada Pasien, berkoordinasi IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB,
memberikan penyuluhan bagi pengunjung di Ruang Rawat masing-masing, konsultasi
prosedur yang harus dijalankan bila belum paham, memonitor kepatuhan Petugas Kesehatan
yang lain dalam menjalankan Standart Isolasi.
Bagian Farmasi bertugas mengontrol peresepan antibiotik oleh dokter. Melakukan
investigasi dan pengelolaan alat kesehatan yang kadaluarsa dan pengadaan logistik PPI serta
APD di bagian Farmasi.
Sanitasi melakukan kontrol lingkungan dalam pencegahan pengendalian infeksi,
membuat SPO pengelolaan limbah, pengelolaan linen dan laundry, audit PPI terhadap
Limbah, Laundry, Gizi dan lain-lain dengan menggunakan daftar titik. Dalam pelaksaan
kegiatan PPI sanitasi di bantu oleh IPSRS dan bagian linen sebagai pelaksana kegiatan

5
bagian sanitasi.
Bagian Gizi menjamin keamanan makanan dengan menerapkan jaminan mutu yang
berdasarkan keamanan makanan yang meliputi good manufacturing practices (GMP),
hygiene dan sanitasi makanan dan penggunaan bahan makanan tambahan yang aman.Upaya
pencegahan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip personal hygiene dan hygiene
peralatan pengolah dan penyajian makanan.
Bagian Laboratorium melakuka kultur kuman dan resistensi antibiotika, melakukan
investigasi dan pengawasan pada kejadian tusuk jarum serta melakukan pemeriksaan
kesehatan yang berhubungan dengan kejadian infeksi.

6
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Area
Semua area dalam rumah sakit masuk dalam masuk dalam program pencegahan dan
pengendalian infeksi :
Zonasi tingkat risiko terjadinya penularan penyakit :
1. Zona dengan Risiko Rendah
Zona risiko rendah meliputi : ruang administrasi, ruang komputer, ruang aula dan
ruang resepsionis
2. Zona dengan Risiko Sedang
Zona risiko sedang meliputi : ruang rawat inap bangsal, poliklinik rawat jalan, ruang
ganti pakaian, dan ruang tunggu pasien.
3. Zona dengan Risiko Tinggi
Zona risiko tinggi meliputi : ruang isolasi, ruang HCU, laboratorium, ruang radiologi,
dan ruang jenazah.
4. Zona dengan Risiko Sangat Tinggi
Zona risiko tinggi meliputi : ruang operasi, poli gigi, unit gawat darurat, dan ruang
bersalin.

B. Standar Fasilitas
1. Hand hygiene
Cuci tangan yang benar dapat meminimalkan mikroorganisme berkembang dalam
tangan selama bekerja serta ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, secret, dan
permukaan atau peralatan yang diketahui atau tidak diketahui terkontaminasi.
Cuci tangan dilakukan ketika: kontak dengan pasien, kontak dengan lingkungan
pasien, kontak dengan cairan yang berhubungan dengan pasien, sebelum melakukan
tindakan pada pasien serta setelah melakukan tindakan.
2. Alat pelindung diri
Alat pelindung diri (APD) digunakan sebagai barier antara mikroorganisme dengan
petugas. APD membantu mencegah penularan melalui tangan, mata, baju, rambut dan
sepatu yang terkontaminasi, mencegah penularan dari pasien ke petugas maupun dari
pasien ke pasien lain.
APD meliputi: sarung tangan, goggle, masker, celemek, baju khusus tindakan, sepatu
boots dan penutup kepala.

7
3. Pengaturan limbah RS
Pengaturan limbah diperlukan untuk mencegah kontaminasi dan penyebaran infeksi
yang meluas. Sistem dan monitoring mutlak diperlukan agar pengaturan limbah dapat
berjalan.

8
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Pencegahan Infeksi
1. Kewaspadaan Universal
a. Definisi
Universal Precautions atau Kewaspadaan Universal adalah suatu pedoman yang
ditetapkan oleh Centers for Disease Control (1985) untuk mencegah penyebaran
dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit
maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya. Adapun konsep yang dianut adalah
bahwa semua darah dan cairan tubuh tertentu harus dikelola sebagai sumber yang
dapat menularkan HIV, HBV dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui
darah.
b. Pelaksanaan Kewaspadaan Universal
Secara singkat, kebijaksanaan pelaksanaan Kewaspadaan Universal (KU) adalah
seperti apa yang dikemukakan dibawah ini :
1) Semua petugas kesehatan harus rutin menggunakan sarana yang dapat
mencegah kontak kulit dan selaput lender dengan darah atau cairan tubuh
lainnya dari setiap pasien yang dilayani.
Dengan demikian setiap petugas kesehatan harus :
a) Menggunakan sarung tangan bila :
(1) Menyentuh darah atau cairan tubuh, selaput lender atau kulit yang
tidak utuh.
(2) Mengelola berbagai peralatan dan sarana kesehatan / kedokteran yang
tercemar darah atau cairan tubuh.
(3) Mengerjakan fungsi vena atau segala prosedur yang menyangkut
pembuluh darah. Sarung tangan harus selalu diganti setiap selesai
kontak dengan seorang pasien.
b) Menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah bila
mengerjakan prosedur yang memungkinkan terjadinya cipratan darah atau
cairan tubuh guna mencegah terpaparnya selaput lender pada mulut, hidung
dan mata.
c) Memakai jubah (pakaian kerja) khusus selama melaksanakan tindakan yang
mungkin akan menimbulkan cipratan darah atau cairan tubuh lainnya.
2) Tangan dan bagian tubuh lainnya harus segera dicuci sebersih mungkin bila
terkontaminasi oleh darah dan cairan tubuh lainnya. Setiap saat setelah
melepaskan sarung tangan, tangan harus segera dicuci.
3) Semua petugas harus selalu waspada terhadap kemungkinan tertusuk jarum,
pisau dan benda/alat tajam lainnya selama pelaksanaan tindakan, saat
membersihkan/mencuci peralatan, saat membuang sampah atau ketika
membenahi peralatan setelah berlangsungnya prosedur/tindakan.

9
Untuk mencapai tujuan ini, maka jangan menutup kembali jarum suntik setelah
selesai dipakai, jangan sengaja membengkokkan atau mematahkan jarum suntik
dengan tangan, jangan melepaskan jarum suntik dari tabungnya atau melakukan
apapun pada jarum suntik dengan menggunakan tangan.Setelah segala benda
tajam digunakan, maka harus ditempatkan di suatu wadah khusus yang
tahan/anti tusukan.Wadah ini harus berada sedekat mungkin atau mudah dicapai
disekitar arena tindakan. Kemudian wadah kumpulan benda tajam tersebut
harus menjamin aman untuk transportasi ke tempat pemrosesan alat ataupun
dalam proses pengenyahan.
4) Walaupun air liur belum terbukti menularkan HIV, tindakan resusitasi dengan
cara dari mulut ke mulut harus dihindari. Dengan demikian di setiap tempat
yang mungkin akan kedapatan kasus yang memerlukan resusitasi, perlu
disediakan alat resusitasi.
5) Petugas kesehatan yang sedang mengalami perlukaan atau ada lesi yang
mengeluarkan cairan misalnya menderita dermatitis basah harus menghindari
tugas–tugas yang bersifat kontak langsung dengan pasien ataupun kontak
langsung dengan peralatan bebas pakai pasien.
6) Petugas kesehatan yang sedang hamil tidak mempunyai resiko lebih besar untuk
tertular HIV bila dibandingkan dengan petugas kesehatan yang tidak hamil.
Namun demikian bila terjadi infeksi HIV selama kehamilan, janin yang
dikandungnya mempunyai resiko untuk mengalami transmisi perinatal. Oleh
karena itu, petugas kesehatan yang sedang hamil harus lebih memperhatikan
pelaksanaan segala prosedur yang dapat menghindari penularan HIV.
Dengan menerapkan KU setiap petugas kesehatan dapat terlindung semaksimal
mungkin dari kemungkinan terpapar oleh infeksi penyakit yang ditularkan melalui
darah atau cairan tubuh baik dari kasus yang terdiagnosis maupun yang tidak
terdiagnose. Sebagai keuntungan tambahan, transmisi dari kebanyakan infeksi yang
ditularkan dengan cara lainpun terhadap petugas kesehatan dan pasiennya akan
dikurangi pula.
c. Beberapa petunjuk khusus dalam pelaksanaan Kewaspadaan Universal
Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai mikroorganisme
pada seorang pasien, khususnya infeksi virus seperti HIV, Hepatitis B dll, penting
peranannya dalam manajemen kasus.Akan tetapi atas dasar berbagai pertimbangan
sampai saat ini penapisan (screening) terhadap berbagai infeksi virus tidak mungkin
dilakukan secara rutin. Bahkan pada infeksi oleh HIV terdapat masa jendela yang
mana pada masa tersebut darah atau cairan tubuh penderita, sudah dapat
menularkan infeksi akan tetapi HIV belum dapat terdeteksi melalui pemeriksaan
laboratorium. Oleh karena itu prinsip Kewaspadaan Universal dalam upaya
pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan rantai

10
transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah maupun cairan lainnya. Di bawah
ini disampaikan langkah–langkah yang perlu diperhatikan sebagai prosedur
pencegahan infeksi, khususnya infeksi HIV. Perlu diingatkan bahwa langkah–
langkah di bawah ini tidak mengabaikan pentingnya pelaksanaan prosedur standar
dalam tiap–tiap tindakan pemrosesan alat/instrument secara tepat, pembuangan
sampah/limbah secara aman dan menjamin kebersihan ruangan tindakan dan
lingkungan sekitarnya.
1) Kewaspadaan dalam tindak medik
Sebagai prosedur pembedahan yang membuka jaringan organ, pembuluh darah,
pertolongan persalinan maupun tindakan abortus prosedur hemodialisis dan
prosedur operasi gigi mulut termasuk dalam tindak medik invasive beresiko
tinggi untuk menularkan HIV bagi tenaga dokter atau pelaksana lainnya. Untuk
memutuskan rantai penularan diperlukan barier berupa :
a) Kacamata pelindung untuk menghindari persikan cairan tubuh pada mata.
b) Masker penutup pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan pada
mukosa hidung dan mulut.
c) Plastik penutup badan (skort) untuk mencegah kontak cairan tubuh pasien
dengan penolong.
d) Sarung tangan yang tepat untuk melindungi tangan yang aktif melakukan
tindak medik invasif.
e) Penutup kaki untuk melindungi kaki dari kemungkinan terpapar cairan yang
infektius.
2) Kegiatan di Unit Gawat Darurat
Unit Gawat Darurat yang umumnya melayani kasus kecelakaan maupun kasus
emergensi lainnya harus menyediakan segala peralatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan KU.Sarana seperti sarung tangan, masker dan gaun khusus harus
selalu ada, mudah dicapai dan mudah dipakai.Alat resusitasi harus tersedia
dalam keadaan siap pakai dan ada petugas yang terlatih untuk
menggunakannya.Disetiap tempat tindakan pelayanan emergency harus tersedia
wadah khusus untuk mengelola peralatan tajam.
3) Kegiatan di Kamar Operasi
a) Dalam Prosedur Operasi
Selain oleh darah secara kontak langsung tertusuknya bagian dari tubuh oleh
benda – benda tajam merupakan kecelakaan yang harus dicegah. Oleh
karena itu instrument yang tajam jangan diberikan secara langsung keadaan
dari operator oleh asisten atau instrumentator. Untuk memudahkan hal ini
dipakai nampan guna menyerahkan instrument tajam tersebut ataupun
mengembalikannya. Operator bertanggung jawab untuk menempatkan

11
benda tajam secara aman.
b) Pada saat menjahit.
Pada saat menjahit dilakukan prosedur sedemikian rupa sehingga jari /
tangan terhindar dari tusukan.
c) Memisahkan jaringan
Jangan menggunakan tangan untuk memisahkan jaringan karena tindakan
ini akan menambah resiko.
d) Operasi Sulit.
Untuk operasi – operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit dan
lapangan kerjanya sulit (sempit) dianjurkan untuk menggunakan sarung
tangan ganda.
e) Melepaskan baju operasi dilakukan sebelum membuka sarung tangan agar
tidak terpapar oleh darah / cairan tubuh dari baju operasi tersebut.
f) Pencucian instrumen bekas pakai sebaiknya secara mekanik.
Bila mencuci instrument secara manual, petugas harus menggunakan sarung
tangan rumah tangga dan instrument tersebut sebelumnya telah mengalami
proses dekontaminasi dengan merendam dalam larutan clorin 0,5% selama
10 menit.
4) Kegiatan di Kamar Bersalin
Disamping memperhatikan kebutuhan barier yang telah disebutkan diatas, perlu
diingatkan bahwa :
a) Kegiatan di Kamar Bersalin yang membutuhkan lengan / tangan untuk
manipulasi instrauterin tentunya harus menggunakan skor dan sarung tangan
yang mencapai siku.
b) Penolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan.
c) Cara pengisapan lender bayi dengan mulut penolong harus ditinggalkan.
d) Potonglah tali pusat bayi segera setelah lahir, hindari terjadinya cipratan
darah.
e) ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko untuk bayi baru lahir,
akan tetapi tidak beresiko untuk tenaga kesehatan.

5) Prosedur Anesthesia
Prosedur Anasthesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan HIV
pada tenaga kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
a) Perlu disediakan nampan /troli untuk alat – alat yang sudah dipergunakan.
b) Jarum harus dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam wadah
yang aman.
c) Pakailah obat – obatan sedapat – dapatnya untuk dosis dengan 1 kali
pemberian.
d) Menutup spuit adalah prosedur resiko tinggi.

12
e) Sangat dianjurkan agar petugas anasthesi melewati uji kelayakan terlebih
dahulu untuk meminimalkan resiko terluka oleh jarum suntik dan alat lain
yang tercemar darah dan cairan tubuh.
6) Lokasi kagiatan lainnya yang memerlukan perhatian adalah di mobil ambulan,
ruang emergency, laboratorium serta kamar jenazah.
d. Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan tubuh
(dekontaminasi).
1) Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lain – lain :
Keluarkan darah sebanyak – banyaknya, cuci dengan sabun dan air atau dengan
air saja sebanyak – banyaknya.
2) Paparan pada membrane mukosa melalui cipratan kemata : Cuci mata secara “
gentle “ dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air cairan NaCL.
3) Paparan pada mulut : Keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara berludah
kemudian kumur – kumur dengan air beberapa kali.
4) Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit sedang mengalami perlukaan, lecet
atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air dan sabun antiseptic.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan pemeriksaan
HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus diperhatikan. Pejamu – pun
harus terus dimonitor kemungkinan infeksinya. Selama pemantauan, tenaga
kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan konseling mengenai resiko infeksi
dan pencegahan transmisi selanjutnya.Tentunya individu tersebut diingatkan untuk
tidak menjadi donor darah ataupun jaringan, melakukan hubungan seksual yang
aman dan mencegah kehamilan.
e. Upaya untuk melaksanakan KU di lingkungan kita
Sebagai petugas kesehatan khususnya yang bekerja di lingkungan rumah sakit
sudah selayaknya kita menerapkan KU dalam melaksanakan tugas kita sehari–hari.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diselenggarakan langkah–langkah sebagai


berikut :
1) Identitas unsur–unsur yang terkait.
2) menilai fasilitas dan kebiasaan yang berlangsung.
3) Meninjau kembali kebijakan dan prosedur yang telah ada.
4) Membuat perencanaan (menyusun proposal).
5) menjalankan rencana yang telah disusun.
6) mengadakan pendidikan dan pelatihan.
7) Pemantauan dan supervise pelaksanaan KU secara berkala.
2. Tindakan Invasif
a. Penggolongan tindakan invasif
1) Tindakan Invasif Sederhana.
Tindakan invasif sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat kesehatan
kedalam tubuh pasien sehingga memungkinkan mikroorganisme masuk

13
kedalam tubuh dan menyebar ke jaringan.
Contoh :
Suntikan, pungsi ( vena, lumbal, pericardial, pleura suprapubik ), bronkoskopi,
angiografi, pemasangan alat ( kontrasepsi, kateter intravena, kateter jantung,
pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung ).
2) Tindakan Invasif Operasi
Tindakan invasive oeprasi adalah suatu tindakan yang melakukan penyayatan
pada tubuh pasien dan dengan demikian memungkinkan mikroorganisme masuk
kedalam tubuh dan menyebar.
b. Sumber Infeksi pada Tindakan Invasif
1) Petugas
a) Petugas umum adalah semua petugas yang bekerja sekitar ruang tindakan
(1) Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
(2) Tidak mencuci tangan.
(3) Bekerja tanpa memperhatikan tehnik aseptic dan antiseptic.
(4) Tidak memahami cara penularan / penyebaran kuman pathogen.
(5) Menderita penyakit menular / infeksi / karier.
(6) Tidak mematuhi tata tertib di kamar operasi.
(7) Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
(8) Bekerja ceroboh dan masa bodoh terhadap lingkungan.
(9) Tidak menguasai tindakan yang dilakukan.
b) Petugas khusus adalah semua petugas yang bekerja didalam kamar tindakan.
(1) Tidak memperhatikan kebersihan perorangan.
(2) Mempunyai penyakit infeksi / menular / karier.
(3) Tidak mematuhi tata tertib yang berlaku di kamar operasi.
(4) Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
(5) Ceroboh dalam bekerja.
(6) Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
(7) Kuku panjang
(8) Mencuci tangan dengan cara yang tidak benar.
2) Alat
a) Tidak steril
b) Diluar batas waktu yang ditetapkan ( kadaluwarsa ) tanpa disterilkan lagi.
c) Untuk pemakaian berulang tanpa disterilkan lagi.
d) Penyimpanan tidak baik.
e) Kotor.
f) Rusak / karatan.
3) Pasien
a) Higiene pasien tidak baik.
b) Keadaan gizi tidak baik.
c) Menderita penyakit kronis.
d) Menderita penyakit infeksi / menular / karier.
e) Sedang menapatkan pengobatan imunosupresif.
f) Persiapan pasien dari ruang rawat tidak baik.
g) Daerah sekitarnya terdapat tanda – tanda infeksi, missal : sakit kulit, dsb.
4) Lingkungan
a) Penerangan / sinar matahari tidak cukup.
b) Sirkulasi udara harus cukup, tidak lembab dan berdebu.
c) Dijaga kebersihannya.
d) Menghindari serangga.
e) Mencegah air tergenang.
f) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.

14
g) Tidak ada serangga.
h) Permukaan lantai harus rata dan tidak berlubang.
i) Ruangan bersih, kering dan tidak berbau.
j) Dinding kamar operasi harus licin mudah dibersihkan.
k) Sudut ruangan tidak tajam.
l) Mengatur system sirkuasi udara dalam kamar operasi.
m) Cahaya cukup terang.
n) Dipisahkan lalu lintas untuk petugas, pasien, barang bersih dan kotor.
o) Jumlah petugas yang keluar masuk ke kamar operasi dibatasi.
p) Ruangan dibersihkan secara rutin, mingguan atau pada kasus infeksi
tertentu.
3. Tindakan Non invasif
a. Pengertian
Tindakan non invasif adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat
kesehatan tanpa memasukkan kedalam tubuh pasien yang memungkinkan
mikroorganisme masuk ke dalam jaringan.
Contoh : Tindakan EKG, USG, pengukuran suhu tubuh, pengukuran tekanan
darah, pengukuran nadi, pemeriksaan reflek tonus treadmill tes, pemasangan
holter dan lain – lain.
b. Sumber Infeksi pada tindakan non invasive
Infeksi pada tindakan non invasive dapat terjadi karena kontak langsung antara :
1) Pasien yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat menularkan
penyakit yang diderita kepada pasien lain.
2) Pasien dengan petugas.
a) Petugas yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat
menularkan penyakit yang diderita kepada pasien atau sebaliknya.
b) Petugas dapat menjadi perantara penularan penyakit.
3) Pasien dengan pengunjung
Pasien dapat menularkan penyakit yang dideritanya kepada pengunjung atau
sebaliknya.
4) Pasien dengan Alat
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke alat – alat yang
telah digunakan atau sebalikya.
5) Pasien dengan lingkungan.
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke lingkungan
sekitarnya atau sebaliknya.
6) Pasien dengan air.
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke air yang
dipergunakan atau sebaliknya.
7) Pasien dengan makanan
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke makanan atau
sebaliknya.
c. Pencegahan Infeksi pada Tindakan Non Invasif

15
1) Pasien
Isolasi pasien yang diduga menderita penyakit infeksi atau menular.
2) Petugas
Mencuci tangan lebih dahulu sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
3) Pengunjung
a) Yang sedang menderita sakit tidak diperkenankan mengunjungi pasien.
b) Menggunakan barrier nursing sewaktu mengunjungi pasien yang
berpenyakit infeksi / menular.
c) Jumlah dibatasi.
4) Alat
a) Yang digunakan harus bersih dan kering.
b) Yang telah terkontaminasi segera dibersihkan dengan bahan desinfektan
dan kemudian disterilkan.
c) Yang terkontaminasi oleh pasien dengan penyakit tertentu (misalnya gas
gangrene) dimusnahkan.
5) Lingkungan
a) Lingkungan pasien / kamar dijaga selalu dalam keadaan bersih dan
kering.
b) Sirkulasi udara dalam kamar harus lancar.
c) Penerangan / sinar matahari dalam kamar harus cukup.
d) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
e) Tidak ada serangga didalam kamar pasien.
f) Untuk penyakit tertentu (misalnya gas gangrene) ruangan dihapus
hamakan sebelum dipakai kembali.
g) Tidak ada tanaman di ruang perawatan.
6) Air
a) Kualitas air tersedia memenuhi syarat kesehatan yaitu batas bebas kuman,
tidak berbau, tidak berwarna, jernih dan bersih.
b) Jumlah air yang tersedia memenuhi kebutuhan pasien.
c) Air minum harus dimasak sampai mendidih.
d) Bak tempat penampungan air dibersihkan secara rutin minimal 2 kali
seminggu.
e) Dicegah adanya genangan air limbah.
7) Makanan
a) Selalu dalam keadaan tertutup.
b) Yang sudah rusak / terkontaminasi dibuang.
c) Diberikan sesuai dengan diet yang dianjurkan.
d) Pemberian dari luar rumah sakit harus dicegah.
4. Tindakan terhadap anak dan neonatus
Tindakan terhadap anak / neonatus dapat berupa tindakan invasive, invasive
operasi maupun tindakan non invasif. Pencegahan infeksi pada tindakan terhadap
anak / neonatus meliputi :

a. Petugas
1) Harus dalam keadaan sehat.
2) Tidak menderita penyakit menular seperti tuberkulosa, penyakit saluran
nafas lainnya. Penyakit gastro intestinal, penyakit kulit atau mukokutaneus
seperti herpes dan lain – lain.

16
3) Pakaian petugas yang bekerja dibangsal anak / neonatus berlengan pendek
agar mudah untuk mencuci tangan.
4) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien harus mencuci tangan dengan
antiseptik atau sabun serta air mengalir.
5) Khusus bila kontak dengan neonatus tangan harus dicuci sampai ke siku
dengan sabun dan air mengalir serta digosok dengan sikat ( pertama kali
masuk bangsal ) kemudian dapat dipakai larutan antiseptic.
6) Sebelum masuk ke bangsal neonatus, topi, masker dan sarung tangan
hanya dipakai pada waktu melakukan tindakan invasive seperti fungsi
lumbal, ganti darah, kateterisasi umbilical / jantung.
7) Kuku harus pendek, memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.
b. Alat
1) Semua alat yang dipakai selalu dalam keadaan bersih dan kering.
2) Harus dalam keadaan steril kalau mungkin alat disterilkan dengan autoklaf
atau dapat juga dengan menggunakan desinfektan setelah alat dibersihkan.
3) Inkubator / tempat tidur bersih dan kering kalau mungkin disterilkan
dengan desinfektan / detergen. Tempat tidur / incubator dibersihkan setiap
bayi / anak dipulangkan / dipindah / meninggal.
4) Bayi / anak hanya boleh disatu tempat tidur selama 1 minggu.
5) Tempat tidur tidak boleh dibersihkan selama anak berada ditempat tidur.
c. Pasien anak / neonatus
1) Kulit harus dalam keadaan bersih dan kering, demikian juga tali pusat.
2) Kulit tempat tindakan invasive (pengambilan darah, infus, lumbal pungsi)
harus dibersihkan dulu dengan zat antiseptic.
3) Isolasi / memisahkan bayi yang sehat dari bayi yang diduga ada infeksi.
4) Bayi / anak masing – masing harus mempunyai perlengkapan sendiri dan
sebaliknya dicuci dibangsal bayi.
5) Susu, dot, botol susu sebaiknya disetrilkan diautoklaf sub atmospheric
pressure (proses pasteurisasi) yang khusus dipkai di dapur susu.
6) Pakaian/ alas tempt tidur, selimut bayi/ anak sebaiknya disediakan setiap 8
jam untuk sekali pakai.
7) Perlengkapan bayi / anak harus dibawa ketempat perawatan dalam keadaan
steril dan tertutup. Khusus untuk neonatus sebaiknya pakaiannya dipakai
yang disposibel.
8) Pakaian kotor harus dikumpulkan dalam plastic tertutup dan diganti
dengan yang bersih setiap 8 jam.
9) Bahan / zat yang dipakai untuk membersihkan pakaian bayi harus
diketahui oleh dokter ruangan bayi / anak untuk mencegah kelainan yang
mungkin timbul terhadap bayi.
d. Lingkungan
1) Kamar / ruang peralatan cukup sinar matahari yang masuk ketempat
perawatan sehingga secara tidak langsung bayi yang kuning mendapatkan
terapi sinar.
2) Kamar / ruang harus ada penerangan / sinar yang diperlukan untuk
menghangatkan ruangan.
3) Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.

17
4) Lantai, dinding dan jendela dibersihkan dengan desinfektan / detergen atau
penghisap debu kering yang diikuti dengan wet vaccum pick up machine.
Bagian yang harus dibersihkan adalah sekitar pasien dan lingkungan
tempat perawatan.
e. Urine merupakan sumber infeksi, oleh sebab itu perlu Mencuci tangan
sebelum dan sesudah :
1) Memeriksa pasien.
2) Pemakaian alat prosedur.
3) Pemeriksaan genital.
4) Menampung / memeriksa urine.
5. Isolasi
a. Pengertian
Upaya perawatan dengan memisahkan pasien dan peralatan yang
diperlukannya pada suatu tempat tersendiri atau khusus
b. Sasaran
Dilakukan pada:
1) Pasien berpenyakit menular
2) Pasien yang disangka berpenyakit menular
3) Pasien yang gelisah atau mengganggu pasien lain
4) Pasien yang memerlukan perawatan khusus (misalnya dipteri)
5) Pasien yang sedang berada dalam sakaratul maut

c. Prinsip Isolasi
1) Teknik isolasi pada pasien yang berpenyakit menular bergantung pada
macamnya isolasi yang dilakukan terhadap pasien
2) Apabila pasien dinyatakan atau diduga berpenyakit menular, maka segera
ditempatkan di kamar isolasi yang telah disiapkan. Disamping perawatan
dan pengobatan terhadap pasien bersangkutan, juga penularan penyakitnya
harus dicegah. Adapun cara pencegahannya sebagai berikut:
a) Pasien ditempatkan di kamar isolasi
b) Pada waktu menolong pasien, petugas harus mengenakan pakaian
khusus, masker, tutup kepala (mitella)
c) Masker dipakai, apabila penyakitnya menular melalui saluran
pernapasan
3) Setelah menolong pasien, petugas harus segera mencuci tangan, dan
masker dilepas lalu direndam di dalam ember berisi larutan desinfektan.
Pakaian khusus ditanggalkan dan digantungkan di tempatnya dengan cara
yang sudah ditentukan. Kemudian petugas harus mencuci tangannya lagi
4) Sediakan larutan desinfektan misalnya Lysol atau sejenisnya untuk:
a) Merendam peralatan makan yang telah digunakan oleh pasien seperti
piring, sendok, gelas, mangkok dan lain-lain, selama sekurang-
kurangnya 2 jam sebelum dicuci

18
b) Merendam alat-alat tenun kotor sekurang-kurangnya 24 jam sebelum
dicuci.
c) Mendesinfeksikan urine, faeces, muntahan, dan lain-lain sebelum
dibuang
d) Merendam baskom, pispot, urinal, bengkok, nierbekken dan lain-lain
selama sekurang-kurangnya 24 jam sebelum dicuci dan disimpan
dalam kamar isolasi
5) Apabila pasien berpenyakit menular dinyatakan sudah sembuh dan boleh
pulang, lakukan hal-hal berikut:
a) Pasien harus mandi dulu dan pakaiannya diganti. Setelah itu pasien
tidak boleh lagi masuk ke kamar isolasi
b) Alat-alat tenun, alat-alat makan dan sejenisnya yang telah dipakai
pasien harus direndam di dalam larutan desinfektan sebelum dicuci
c) Kasur dan bantal dijemur di bawah sinar matahari, minimal 2 jam tiap
permukaannya
d) Tempat tidur, meja, kursi, dan semua alat di dalam kamar/ ruang harus
dibersihkan dengan air sabun dan larutan desinfektan, kemudian
dikeringkan
e) Setelah kering, semua peralatan dikembalikan ke tempatnya semula,
dan kamar/ ruang sebaiknya tidak dipergunakan selama 24 jam
f) Lakukan sterilisasi ruangan dengan sinar
6. Pengelolaan linen dan laundry
Untuk mencegah penularan infeksi RSKIA Arvita Bunda mengembangkan
sistem pengelolaan Linen yang berdasar pada kondisi linen setelah dipakai serta
penggunaan linen pada bagian. Pengelolaan linen infeksius dibedakan dengan
pengelolaan linen non infeksius untuk mengurangi penyebaran infeksi. Petugas
linen dan laundry melakukan housekeeping terhadap linen yang digunakan pada
pasien serta peralatan kerja dengan melakukan klorinasi.
Dalam meminimalkan risiko infeksi, penggunaan barang – barang seperti
gorden, sarung tabung oksigen, sarung galon minuman dan barang – barang yang
bisa menimbun debu atau kuman sebagai perantara infeksi diminimalkan
penggunaannya dan dikelola dengan sebaik baiknya.
Perhatian :
a. Angkut linen dengan hati – hati
b. Angkut linen kotor dalam wadah/kantong tertutup
c. Pastikan linen diangkut dengan dan diolah dengan aman dengan melakukan
klasifikasi ( ini sangat penting ) dan menggunakan wadah/kantong yang
ditentukan menurut klasifikasinya
d. Petugas kesehatan harus menggunakan APD yang memadai saat mengankut
linen kotor.
e. Transportasi / trolley linen bersih dan linen kotor harus dibedakan, bila perlu
diberi warna yang berbeda.

19
Penjelasan lebih lanjut terdapat pada pedoman pengelolaan linen dan laundry.
7. Pengelolaan limbah
Pengaturan limbah diperlukan untuk mencegah kontaminasi dan
penyebaraninfeksi yang meluas. Limbah dipisahkan sesuai dengan jenis limbah
rumah sakit. Limbah medis infeksius dipisahkan dengan limbah
domestic.Pemisahan jenis limbah juga dipisahkan antara limbah medis padat, cair
dan tajam.
a. Penimbunan
Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan proses yang
kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan: kelancaran
penanganan dan penampungan sampah, pengurangan volume dengan perlakuan
pemisahan limbah B3 dan non B3 serta menghindari penggunaan bahan kimia
B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis sampah
untuk efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
b. Penampungan
Penampungan sampah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah bocor
atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak
overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan
standarisasi kantong dan container seperti dengan menggunakan kantong yang
bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam permenkes RI no
986/Menkes/Per/1992 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang
biohazard untuk sampah infeksius, kantong berwarna ungu dengan tanda
sitotoksik untuk limbah sitotoksik, kantong berwarna merah dengan symbol
radioaktif untuk limbah radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan
“domestik”. Untuk sampah medis yang tajam ditempatkan pada tempat yang
tidak tembus berupa safety box atau jerigen. Sampah tidak boleh ada yang
tercecer. Gunakan alat pelindung diri ketika menangani limbah. Semua
peralatan medis yang digunakan pada pasien adalah disposable dan single-use
untuk menghindari infeksi silang. Tempat penampungan sementara harus
diarea terbuka, terjangkau (oleh kendaraan) aman dan selalu dijaga
kebersihannya dan kondisi kering.
c. Pengangkutan
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan internal dan
eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke
/tempat pembuangan atau ke incinerator (pengolahan on-site). Dalam
pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong sebagai yang sudah
diberi label, tertutup dan dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana
dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.

20
Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ke tempat
pembuangan di luar (off-site), pengangkutan eksternal memerlukan prosedur
pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur
tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Sampah medis diangkut
dalam container khusus, harus kuat dan tidak bocor.
Dalam pengelolaan dan pembuangan limbah medis padat dan tajam RSKIA
Arvita Bunda bekerjasama dengan pihak ketiga yang kompeten untuk
pemusnahan. Sedangkan limbah medis cair dikelola oleh RS di Unit
pembuangan air limbah RS.
8. Manajemen lingkungan (engineering control)
Manajemen lingkungan rumah sakit adalah penataan faktor-faktor lingkungan
rumahsakit untuk menyehatkan dan memelihara kondisi lingkungan rumah sakit agar
pengaruhnya terhadap manusia, pelayanan dan lingkungan sekitar dapat terkendali
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Tujuan:
a. Mencegah terjadinya infeksi rumah sakit
b. Mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan keselamatan kerja
c. Meningkatkan estetika dan kenyamanan
d. Melindungi lingkungan dari pencemaran
e. Memelihara umur hidup fasilitas dan intrastruktur
f. Memenuhi aspek legal bidang kesehatan dan lingkungan
Sistem sirkulasi
Perlindungan terhadap pasien merupakan hal yang harus diprioritaskan.
Terlalu banyak lalu lintas akan mengganggu pasien, mengurangi efisiensi
pelayanan pasien dan meninggikan resikoinfeksi, khusunya untuk pasien bedah
dimana kondisi bersih sangat penting. Pengaturan jam kunjung dan penunggu
pasien ditetapkan sebagai metode pengurangan infeksi dari luar. Mengontrol
aktifitas petugas terhdap pasien serta aktifitas pengunjung RS yang datang, agar
aktifitas pasien dan petugas tidak terganggu. Tata letak counter perawat
dipertimbangkan untuk kemudahan bagi perawat untuk memonitor dan membantu
pasien yang sedang berlatih di koridor pasien, dan aktifitas pengunjung saat
masuk dan keluar bagian.
Sistem tata udara
Pergerakan udara diusahakan untuk meminimalkan sumber penyakit agar
tidak menyebar ke udara (airborne) yang memperbesar kemungkinan
terjadinyapenularan diantara pasien, tenaga medis dan pengunjung. Terutama
untuk ruangan-ruangan khusus seperti di Ruang operasi, ruang Isolasi, Kamar
bayi, laboratorium dan kamar bersalin dimana diperlukan pengaturan:
a. temperatur;
b. kelembaban udara relatif;
c. kebersihan udara ventilasinya;

21
d. tekanan ruangan; dan
e. distribusi udara didalam Bruangan.
Temperature dan kelembaban udara
Kebutuhan temperatur dan kelembaban udara relatif,berbeda untuk setiap
jenis ruang tergantung dari jenispenyakit, tingkat keparahan pasien ataupun fungsi
ruang tersebut.pengkondisian termal dikontrol untuk setiap fungsi ruang dengan
tingkat pengaturan individual (individual control).
Kualitas udara
Kebutuhan kualitas udara yang bersih berbeda dari satu ruangke ruang lain
sehingga jumlah udara ventilasi yang di masukan ke dalam ruangan, dapat
menghindarkan adanya kontaminasi dan mengeliminasi sumber-sumber
kontaminasi seperti:
a. Debu, Asap, partikel.
b. Microbial, Jamur, Bakteri, Kuman-kuman sebagai sumber penyakit.
Sistem sanitasi
Sistem sanitasi disediakan di dalam dan di luarbangunan gedung untuk
memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan / atau air limbah,
kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.
Sistem pendukung
System pendukung prasarana yang terdapat di RSKIA Arvita Bunda antara
lain: sistem air bersih (water supply), tenaga listrik, sistem pembuangan air
limbah RS dan sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
9. Pengelolaan diet dan gizi
Untuk mencegah terjadinya infeksi yang timbul maka pengadaan diet dan gizi
di RSKIA Arvita Bunda dikelola oleh orang yang kompeten secara pendidikan dan
kemampuan dalam hygiene gizi dan makanan. Staf yang melakukan pengolahan
makanan, penyajian makanan, serta pemusnahan sisa makanan harus sesuai dengan
standar kekaryawan yang ada di bagian gizi RSKIA Arvita Bunda. Dalam
pelaksanaannya bagian gizi harus menjamin keamanan makanan dengan menerapkan
hygiene dan sanitasi makanan serta penggunaan bahan makanan tambahan yang
aman. Upaya pencegahan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip personal
hygiene dan hygiene peralatan pengolah dan penyajian makanan. Di unit gizi
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) antara lain : masker, apron, baju pelindung,
topi, sepatu dan sarung tangan plastik.
10. Pengelolaan jenazah
Untuk mencegah penularan infeksi dari jenazah, RSKIA Arvita Bunda
menyediakan ruang jenazah sebagai tempat menyimpan jenazah sementara serta
tempat pemulasaraan jenazah. Pasien yang dinyatakan meninggal harus segera
dipindahkan ke kamar jenazah paling lama 2 jam setelah dinyatakan meninggal.

22
Pelaksanaan pemulasaraan jenazah dilakukan oleh tim rukti jenazah RSKIA Arvita
Bunda. Apabila kamar jenazah penuh maka jenazah di tempatkan di bangsal rawat
yang terpisah dengan pasien yang lain. Apabila ternyata tidak terdapat kamar yang
memungkinkan pemisahan jenazah maka jenazah diletakkan di kamar rawatnya
dengan penanganan kewaspadaan standar.
11. Sterilisasi dan Desinfeksi
a. Sterilisasi
1) Pengertian
Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan
mematikan semua mikroorganisme termasuk endospora pada suatu alat/bahan.
Proses sterilisasi di rumah sakit sangat penting sekali dalam rangka
pengawasan pencegahan infeksi nosokomial.
Keberhasilan usaha tersebut akan tercermin pada kualitas dan kuantitas
mikroorganisme yang terdapat bahan, alat serta lingkungan kerja rumah sakit.
Sebaiknya proses sterilisasi di RS dilaksanakan secara sentralisasi dengan
tujuan agar tercapainya :
a) Efisiensi dalam menggunakan peralatan dan sarana.
b) Efisiensi tenaga.
c) Menghemat biaya investasi, unit dan pemeliharaannya.
d) Sterilisasi bahan dan alat yang disterilkan dapat dipertanggung jawabkan.
e) Penyederhanaan dalam pengembangan prosedur kerja, standarisasi dan
peningkatan pengawasan mutu.
Untuk kerja yang bertanggung jawab terhadap proses sterilisasi di rumah sakit
adalah Unit Sterilisasi Sentral. Unit Sterilisasi Sentral mempunyai kegiatan
mengelola semua kebutuhan peralatan dan perlengkapan tindakan bedah serta
non bedah. Mulai dari penerimaan, pengadaan, pencucian, pengawasan,
pemberian tanda steril penyusunan dan pengeluaran barang – barang hasil
sterilisasi ke unit pemakaian di RS.
2) Teknik sterilisasi
Sebelum memilih tehnik sterilisasi yang tepat dan efisien diperlukan
pemahaman terhadap kemungkinan adanya kontaminasi dari bahan dan alat
yang akan disterilkan.
Kontaminasi terjadi karena adanya perpindahan mikroorganisme yang berasal
dari berbagai macam sumber kontaminasi.
Sumber kontaminasi dapat berasal dari :
a) Udara yang lembab atau uap air.
b) Perlengkapan dan peralatan di rumah sakit.
c) Personalia yang di rumah sakit (kulit, tangan, rambut dan saluran nafas
yang terinfeksi).
d) Air yang tidak disuling dan tidak disterilkan.
e) Ruang yang tidak dibersihkan dan di desinfektan.
f) Pasien yang telah terinfeksi.
Sterilisasi dimaksudkan untuk membunuh atau memisahkan semua
mikroorganisme ditetntukan oleh daya mikroorganisme terhadap tehnik
sterilisasi.

23
Tehnik sterilisasi ada beberapa cara :
a) Sterilisasi dengan pemanasan :
1) Pemanasan basah dengan Autoklaf
2) Pemanasan kering dengan pemijatan dan udara panas.
3) Pemanasan dengan bactericid.
b) Sterilisasi dengan penyaringan.
c) Sterilisasi dengan menggunakan zat kimia.
d) Sterilisasi dengan penyinaran.
Pemilihan tehnik sterilisasi berdasarkan pertimbangan
a) Teknik yang murah, cepat dan sederhana.
b) Hasil yang diperoleh benar – benar steril.
c) Bahan yang disterilkan tidak boleh mengalami perubahan.
3) Pengawasan
Suatu bahan steril yang dihasilkan selama dalam penggunaan harus dapat
dijamin kualitas dan kuantitasnya. Waktu kadaluwarsa suatu bahan steril
sangat tergantung kepada tehnik sterilisasi. Pengawasan terhadap proses
sterilisasi dapat dilakukan dengan cara mentest bahan atau alat yang
dianggap masih steril dengan memakai indicator fisika, kimia dan biologi
tergantung pada tehnik sterilisasi yang digunakan waktu mensterilkan
bahan/alat tersebut.
4) Pengujian
Ada tiga pilihan yang dapat digunakan sebagai teknik dalam pengujian
sterilisasi:
a) Pemanasan sampel langsung pada media pembenihan.
b) Pembilasan penyaring, hasil pembilasan diinkubasikan setelah ditanam
dalam media pembenihan.
c) Penambahan media pembenihan paket ke dalam larutan yang akan diuji
kemudian diinkubasi.
Jaminan hasil penguian dapat dicapai jika pengawasan dimulai semenjak
pemilihan bahan dan alat yang akan disterilkan. Teknik sterilisasi yang akan
dipakai sampai dengan proses penyimpanan dan pendistribusian bahan / alat
yang sudah steril.
b. Desinfeksi
1) Pengertian
Desinfeksi adalah suatu proses baik secara kimia atau secara fisika dimana
bahan yang patogenik atau mikroba yang menyebabkan penyakit
dihancurkan dengan suatu desinfeksi dan antiseptik. Desinfektan adalah
senyawa atau zat yang bebas dari infeksi yang umumnya berupa zat kimia
yang dapat membunuh kuman penyakit atau mikroorganisme yang

24
membahayakan menginaktifkan virus. Antiseptik adalah zat – zat yang dapat
membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan
hidup.
Unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan
antiseptik di rumah sakit adalah Unit Farmasi.
Unit Farmasi mempunyai kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan,
pembuatan, penyusunan dan penyaluran desinfektan/antiseptik ke unit
pemakai di rumah sakit.
2) Tekhnik desinfeksi
Tekhnik desinfeksi yang dilakukan tidak mutlak bebas dari mikroorganisme
hidup seperti pada sterilisasi karena desinfektan/antiseptik tidak
menghasilkan sterilisasi.
Pemilihan desinfetan yang tepat seharusnya memenuhi kriteria berikut :
a) Daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas yang rendah.
b) Spektrum luas, dapat mematikan berbagai macam mikroorganisme.
c) Dalam waktu singkat dapat mendesinfeksi dengan baik.
d) Stabil selama dalam penyimpanan.
e) Tidak merusak bahan yang didesinfeksi.
f) Tidak mengeluarkan bau yang mengganggu.
g) Desinfektannya sederhana dan tidak sulit pemakaiannya.
h) Biaya murah dan persediaannya tetap ada dipasaran.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan desinfektan yaitu sifat-sifat zat
kimia yang akan digunakan seperti konsentrasi, temperature, pH dan
bentuk formulasinya disamping itu kepekaan mikroorganisme terhadap
kerja zat kimia serta lingkungan dimana desinfektan tersebut akan
digunakan.
3) Pengawasan
Pengawasan desinfeksi dilakukan terhadap penggunaan desinfeksi sangat
tergantung kepada pengaruh suhu, pencemaran, pH, aktifitas permukaan,
jumlah mikroorganisme dan adanya zat-zat yang mengganggu pada waktu
mempergunakan desinfektan.
12. Sistem Manajemen Informasi
Sistem Manajemen informasi adalah sumber penting untuk mendukung penelusuran
risiko, angka-angka dan kecenderungan dalam infeksi terkait pelayanan kesehatan.
Fungsi manajemen informasi mendukung analisis dan interprestasi data serta
penyajian temuan-temuan. Sebagai tambahan, data dan informasi program
pencegahan dan pengendalian infeksi dikelola bersama program manajemen dan
peningkatan mutu rumah sakit.
B. Pendidikan dan Pelatihan
1. Definisi
Pendidikan dan pelatihan Sumber daya Manusia bidang kesehatan yang
selanjutnya disebut DIKLAT adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam

25
rangka meningkatkan kemampuan SDM.
Pelatihan perlu mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif (active
learning), pembelajaran kreatif (creative learning), pembelajaran efektif (effective
learning), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning).
Pembelajaran yang aktif (active learning), adalah pembelajaran yang berpusat
pada peserta pelatihan. Semua aktivitas pembelajaran sebagai rangkaian proses
belajar harus dikerjakan oleh peserta pelatihan dengan penuh rasa kesadaran dan
tanggung jawab. Penetapan permasalahan, cara pemecahan, hingga penarikan
kesimpulan untuk diimplementasikan dalam nilai social dan lingkungannya,
seluruhnya dilakukan oleh peserta diklat. Fasilitator dengan sedikit intervensi
terhadap aktivitas peserta diklat.
Pembelajaran kreatif (creative learning), merujuk pada terwujutnya kreativitas
dan inovasi berfikir peserta diklat dalam menyatu-kaitkan perolehannya dalam
belajar, sehingga mempunyai kebermaknaan. Manurut Ausuble pembelajaran ini
diistilahkan dengan belajar bermakna (meaningfull learning).
Pembelajaran efektif (effective learning), merujuk pada kuantitas dan kualitas
belajar dengan periode tertentu.Pembelajaran yang efektif tentunya yang dapat
mencapai tujuan secara maksimal dengan menggunakan daya dukung yang optimal.
Pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning), merujuk pada suasana
menyenangkan yang berlangsung selama pembelajaran. Suasana belajar bebas tanpa
tekanan. Dengan demikian peserta diklat akan dapat mengembangkan semua potensi
yang dimiliki.
2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan diklat antara lain:
a. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat
melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan
etika sesuai dengan kepribadian Rumah Sakit.
b. Menciptakan SDM yang mampu menjadi pembaharu dan meningkatkan
silaturahmi.
c. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
jabatan secara professional demi terciptanya tim yang solid.
3. Sasaran
Sasaran Diklat adalah terwujudnya SDM yang memiliki kompetensi yang sesuai
dengan persyaratan jabatan masing-masing
4. Assessment diklat
Kesalahan asesmen sering terjadi pada pelaksanaan diklat yang masih
tradisional. Penentuan pencapaian kompetensi dilakukan dengan tes, peserta diklat
mengerjakan seperangkat tes yang hanya menggambarkan aspek kognisi saja.

26
Sesuai dengan rumusan kompetensi yang akan dikembangkan dalam diklat
maka asesmen perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Alternative assessment.
b. Informasi kinerja akan memberikan validitas memadai jika pemunculannya
secara alami Informasi kinerja peserta muncul setiap saat, hal ini mengisyaratkan
asesmen dilakukan pada setiap saat , baik awal pembelajaran,
proses pembelajaran, maupun setelah pembelajaran. Asesmen berprinsip
pada Class Assessment.
c. Informasi kinerja yang perlu diukur perkembangannya, meliputi berbagai aspek
baik pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Asesmen tidak dapat
menggunakan satu macam alat/cara, tetapi harus menggunakan berbagai macam
alat/cara.Asesmen berprinsip pada tanpa adanya paksaan atau tekanan. Asesmen
berprinsip pada Authentic assessment.
Disamping asesmen memberikan informasi untuk menentukan pencapaian kriteria
kompetensi yang telah ditetapkan, asesmen hendaknya juga dapat sebagai informasi
umpan balik baik pelaksana diklat, fasilitator maupun stake holder lainnya.
Berbagai bentuk asesmen yang dapat dikembangkan antara lain :
a. Tes (pilihan ganda, esai)
b. Portofolio
c. Performance, dll
5. Assesmen Risiko
C. Surveilans
Meskipun berbagai upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit telah
dilaksanakan secara optimal, agaknya infeksi nosokomial di rumah sakit akan tetap
terjadi, namun demikian jumlah kejadian yang lebih sedikit.
Oleh karena itu, untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program
pengendalian infeksi nosokomial serta upaya penanggulangannya bila terjadi wabah atau
kejadian luar biasa, perlu dilaksanakan surveilans infeksi nosokomial di rumah sakit.
Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap
timbulnya penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan meningkat atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit.
Analisa data dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam proses
itu.
Setiap rumah sakit harus mengidentifikasi secara epidemiologis infeksi penting,
tempat infeksi dan alat-alat terkait, prosedur, dan praktek-praktek yang memberikan
fokus dari upaya pencegahan dan penurunan risiko dan insiden infeksi terkait pelayanan
kesehatan. Pendekatan berdasarkan risiko membantu rumah sakit mengidentifikasi
praktek/kegiatan dan infeksi yang seharusnya menjadi fokus programnya. Pendekatan
berdasarkan risiko menggunakan surveilans sebagai komponen penting untuk
pengumpulan dan analisis data yang mengarahkan asesmen risiko.
Rumah sakit mengumpulkan dan mengevaluasi data dan tempat infeksi yang
relevan sebagai berikut :

27
1. Saluran pernafasan, seperti : prosedur dan peralatan terkait dengan intubasi,
dukungan ventilasi mekanis, tracheostomy dan lain sebagainya.
2. Saluran kencing, seperti : prosedur invasif dan peralatan terkait dengan indwelling
urinary kateter, sistem drainase urin dan lain sebagainya
3. Peralatan intravaskuler invasif, seperti insersi dan pelayanan kateter vena sentral,
saluran vena periferi dan lain sebagainya
4. Lokasi operasi, seperti pelayanan dan tipe pembalut luka dan prosedur aseptik
terkait
5. Penyakit dan organisme yang signifikan secara epidemiologis, multi drug resistant
organism, virulensi infeksi yang tinggi.
6. Muncul dan pemunculan ulang (emerging atau reemerging) infeksi di masyarakat.
Kegiatan surveilans meliputi :
1. Merumuskan kasus / Kriteria diagnostik
Kasus yang akan disurvei perlu dirumuskan atau dibuat suatu kriteria diagnostik yang
jelas dan teliti yang perlu ditaati secar konsisten dalam proses pengumpulan data
terutama beberapa jenis penyakit infeksi yang sering terjadi di rumah sakit.. Ada
beberapa rumusan kasus / kriteria diagnostik yang akan dibicarakan dibawah ini :
a. Infeksi luka operasi
Infeksi luka operasi nosokomial adalah infeksi yang terjadi pada operasi bersih
atau operasi bersih tercemar, atau pada infeksi dapat di kultur kuman yang
berasal dari rumah sakit.
Infeksi luka operasi dibedakan menjadi :
1) Luka operasi superficial
a) Infeksi terjadi dalam waktu 30 hari setelah operasi.
b) Dan Infeksi terjadi pada luka insisi.
c) Meliputi kulit, subkutan atau otot diatas fasia.
d) Salah satu criteria berikut :
(1) Daerah luka tampak kemerahan dan/atau muncul pus pada luka
(2) Biakan mikroorganisme positif dari cairan luka.
(3) Ahli bedah membuka luka operasi karena ada tanda inflamasi.
2) Luka operasi profunda
a) Infeksi terjadi dalam waktu 30 hari (1 bulan) setelah operasi bila tak ada
implant / protheses atau infeksi terjadi dalam 1 (satu) tahun bila dipasang
implant.
b) Infeksi ada hubungannya dengan operasi tersebut.
c) Meliputi jaringan atau rongga dibawah fasia.
d) Salah satu dari criteria berikut :
(1) Luka tampak kemerahan dan/atau Pus dari drain dibawah fasia.
(2) Luka operasi dihisensi secara spontan atau dibuka oleh ahli bedah
sewaktu pasien demam 380C dan atau terdapat nyeri local.
(3) Abses atau tanda infeksi lain yang langsung terlibat waktu
pemeriksaan, waktu operasi atau secara histopatologis.
3) Infeksi luka operasi pada neonatus

28
a) Gejala timbul dalam 1–2 minggu berupa tanda–tanda radang
ditempat/disekitar luka operasi seperti panas, merah, bengkak, bernanah
dan disertai gejala umum : malas minum, hipotermi/hipertermi,
takikardia/apnea, hipoglikemia, muntah dan sebagainya.
b) Tanda–tanda infeksi terdapat dipermukaan atau lebih dalam sehingga
menimbulkan gejala sepsis.
c) Biakan dari nanah didapat Gram positif atau Gram negative
4) Infeksi luka operasi pada anak
a) Ada tanda radang seperti panas, bengkak, merah dan adanya pus ditempat
operasi, selulitus atau sepsis pada infeksi yang lebih dalam dengan gejala
panas, muntah, anak gelisah.
b) Biakan kuman : Gram positif atau Gram negatif.
Jenis Operasi :
a) Operasi Bersih :
(1) Operasi pada kasus non trauma.
(2) Operasi yang tak mengenai daerah dengan tanda infeksi.
(3) Operasi yang tak membuka respiratori, urinarius.
(4) Umumnya luka operasi ditutup primer dan tak dipasang drain.
Mis : FAM, hernia, lipoma, tiroid, internal fixasi pada fraktur–fraktur
tertutup, section caesarea
b) Operasi bersih tercemar :
(1) Operasi membuka disgestivus dengan pencemaran nyata.
(2) Operasi membuka biliair dengan empedu yang terinfeksi.
(3) Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
(4) Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
(5) Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.
Mis : Appendektomi akut dan kronis, kholesistektomi, section alta.
c) Operasi Tercemar :
(1) Operasi membuka getivus dengan pencemaran nyata.
(2) Operasi membuka billiard dengan empedu yang terinfeksi.
(3) Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
(4) Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
(5) Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.
Mis : Kholesistektomi pada empyeme KE, operasi membuka kolon
dengan pencemaran isi usus luka tusuk tanpa menembus.
d) Operasi kotor :
(1) Operasi perforasi digestivus, billair, urinarius, respiratosius.
(2) Operasi yang mengenai daerah inflamaasi bakteriel.
(3) Operasi melalui daerah bersih untuk membuka bases.
(4) Operasi luka trauma dengan ada jaringan yang non vital/benda
asing/kontaminasi feces, kejadian ditempat yang kotor,
pertolongan/operasi dilakukan 6 jam setelah trauma.
Mis : Traimatic mputasi, trauma tumpul abdomen dengan perforasi
usus, trauma kotor dengan korpus alineum.
b. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih nosokomial ialah infeksi saluran kemih yang pada pasien

29
masuk rumah sakit belum ada atau tidak dalam masa inkubasi dan didapat
sewaktu dirawat atau sesudah dirawat.
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan :
1) Endogen
perubahan flora normal.
2) Eksogen :
a) prosedur yang tidak bersih / steril
b) tangan yang tidak dicuci sebelum prosedur.
Penggolongan infeksi saluran kemih nosokomial adalah sebagai berikut:
1) Infeksi Saluran Kemih Simtomatik
Dengan salah satu kriteria dibawah ini :
Salah satu gejala ini :
a) Demam > 380C
b) Disuria
c) Nikuria (urgency)
d) Polakisuria
e) Nyeri Suprapubik.
Dan biakan urin >100.000 kuman/ml dengan tidak lebih dari dua jenis
mikroorganisme
Dua dari gejala :
a) Demam 380C
b) Disuria
c) Nikuria
d) Polakisuria
e) Nyeri Suprapubik
dan salah satu tanda :
a) Tes carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit.
b) Pluria (10 lekosit/ml atau >3 lekosit/LPB) pada urine yang tidak
disentrifus.
c) Mikroorganisme positif pada pewarnaan gram pada urine yang tidak
disentlifus.
d) Biakan urine dua kali dengan hasil kuman uropatogen yang sama dengan
jumlah >100.000 kuman/ml dari urin yang diambil secara steril.
e) Biakan urin dengan hasil satu jenis kuman uropatogen dengan jumlah
100.000 kuman/ml dan pasien diberi antibiotic yang sesuai.
f) Diagnosis oleh dokter.
g) Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
2) Infeksi saluran kemih asimtomatik
Dengan salah satu criteria dibawah ini :
memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dan tak ada
gejala:
a) Demam 380C
b) Disuria
c) Nikuria
d) Polakisuria

30
e) Nyeri suprapubik
Biakan urin dengan jumlah >100.000 kuman/ml urin dengan tak lebih dari
dua jenis kuman.
tidak memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dengan dua
kali hasil biakan >100.000/ml dengan mikroorganisme yang sama yang tak
lebih dari dua jenis dan tak ada gejala :
a) Demam 380C
b) Disuria
c) Nikuria
d) Polakisuria
e) Nyeri Suprapubik
3) Infeksi Saluran Kemih lain.
dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra atau jaringan retroperito neal atau
rongga perinefrik) dengan salah satu criteria dibawah ini :
a) Biakan positif dari cairan atau jaringan yang diambil dari lokasi yang
dicurigai.
b) Ditemukan abses atau tanda infeksi pada pemeriksaan atau operasi atau
secara hispatologis.
c) Dua dari gejala :
(1) Demam 380C
(2) Nyeri local pada daerah yang dicurigai.
(3) Nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan.
d) Dan salah satu dari tanda :
(1) Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
(2) Biakan darah positif
(3) Radiologi terdapat tanda infeksi
(4) Diagnosis dokter
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai
1) Pasien berumur <12 bulan dengan salah satu gejala :
a) Demam 380C
b) Hipotermia
c) Apneu
d) Bradikardi
e) Disuria
f) Letargi
g) Muntah
2) Dan salah satu dari tanda :
a) Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
b) Biakan darah positif
c) Radiologi terdapat tanda infeksi
d) Diagnosis dokter
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
3) Infeksi Saluran Kemih pada neonatus
a) Bayi tampak tidak sehat, kuning, muntah, hipertermi/ hipotermi,
gagal tumbuh (gejala sama dengan sepsis).
b) Infeksi ini dapat pula disebabkan oleh sepsis.

31
c) Laboratorium : pemeriksaan mikroskopik dan biakan urin dari punksi
suprapubik. Biakan urin positif kalau ditemukan kuman lebih dari
100.000/ml urin.
4) Infeksi Saluran Kemih pada Anak
a) Dapat dengan atau tanpa gejala. Makin muda usia anak makin tidak
khas.
b) Gejala : panas, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan,
kadang – kadang diare atau kencing yang sangat berbau.
c) Pada usia prasekolah gejala klinis berupa sakit perut, muntah, panas,
sering kencing dan ngompol. Pada anak yang lebih besar gejala
spesifik makin jelas seperti ngompol, sering kencing, sakit waktu
kencing atau nyeri pinggang.
d) Gejala infeksi timbul sesudah dilakukan punksi suprapubik,
kateterisasi buli-buli.
e) Apabila biakan kuman dalam urin pada waktu masuk dan saat
diperiksa berbeda.
f) Diagnosis : Klinik dan laboratorik.
g) Laboratorik : hasil biakan urin yang diambil melalui suprapubik
dikatakan positif apabila jumlah kuman sama atau lebih dari 200/ml
urin. Dan apabila melalui urin pancaran tengah atau kateterisasi
kandung kemih maka jumlah kuman dalam urin 100.000 atau
lebih/ml urin.
h) Pemeriksaan lainnya : sediment urin terdapat piuria.
c. Infeksi aliran darah primer
Infeksi Aliran Darah Primer adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada
organ atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi. Criteria infeksi
aliran darah primer dapat ditetapkan secara klinis dan laboratories dengan gejala /
tanda berikut :
1) Klinis
a) Untuk Dewasa dan anak >12 bulan.
Ditemukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain :
(1) Suhu >380C, bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian
antipiretika.
(2) Hipotesi, sistolik <90 mmHg.
(3) Oliguri, jumlah urin <0,5 cc/kbBB/jam
(4) Dan
(5) Semua gejala / tanda yang disebut dibawah ini :
(6) Tidak ada tanda – tanda infeksi di tempat lain.
(7) Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis.
CATATAN :
(1) Suhu badan diukur secara aksiler selama 5 menit dan diulang setiap 3
jam,
(2) Apabila pasien menunjukkan gejala, suhu tubuh diukur secara oral
atau rectal.

32
b) Untuk bayi umur 12 bulan. Ditemukan salah satu gejala / tanda berikut
tanpa penyebab lain :
(1) Demam >380C
(2) Hipotermi <370C
(3) Apnea
(4) Bradikardi <100x/mnt
Dan
Semua gejala / tanda di bawah ini :
(1) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi ditempat lain.
(2) Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.
c) Untuk Neonatus
Dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila terdapat 3
atau lebih diantara enam gejala berikut :
(1) Keadaan umum menurun antara lain : malas minum, hipotermi
(<370C) hipertermi (>380C) dan sklerema.
(2) Sistem kardiovaskuler antara lain :
(3) tanda renjatan yaitu takikardi, 160/mnt atau bradikardi, 100/mnt dan
sirkulasi perifer buruk.
(4) Sistem pencernaan antara lain : distensi lambung, mencret, muntah
dan hepatomegali.
(5) Sistem pernafasan antara lain : nafas tak teratur, sesak, apnea dan
takipnea.
(6) Sistem saraf dan pusat antara lain : hipertermi otot, iritabel, kejang
dan letargi.
(7) Manifestasi hematology antara lain : pucat, kuning, splenomegali
dan perdarahan.
(8) DanSemua gejala/tanda di bawah ini :
(9) Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan tetapi tidak ada
pertumbuhan kuman.
(10) Tidak terdapat tanda–tanda infeksi ditempat lain.
(11) Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.

2. Laboratorik
Untuk orang dewasa dan anak umur >12 bulan.
Ditemukan satu diantara 2 kriteria berikut :
a) Kuman pathogen dari biakan darah dan kuman tersebut tidak ada hubungannya
dengan infeksi ditempat lain.
b) Ditemukan satu diantara gejala klinis berikut :
(1) Demam >380C.
(2) Menggigil
(3) Hipotensi
(4) Oliguri
Dan Satu di antara tanda berikut :
(1) Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman tersebut
tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat (organ / jaringan) lain.

33
(2) Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan alat
intravascular (kateter intravena) dan dokter telah memberikan antimikroba
yang sesuai dengan sepsis.
(3) Untuk bayi <12 bulan, ditemukan satu diantara gejalaberikut :
(4) Demam >380C
(5) Hipotermi <370C
(6) Apnea
(7) Bradikardi <100/mnt
Dan Satu di antara tanda berikut :
(1) Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman tersebut
tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat (organ / jaringan lain)
(2) Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan alat
intravaskuler (kateter intravena) dan dokter telah memberikan antimikroba
yang sesuai dengan infeksi
CATATAN :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
(1) Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3 hari.
(2) Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa didapatkan pintu masuk kuman.
(3) Pintu masuk kuman jelas misalnya luka infuse.
a. Infeksi Luka Infus
Infeksi luka Infus atau Phlebitis adalah infeksi yang terjadi pada tempat tusukan
infuse.
Gejala yang muncul:
1) Peradangan atau Kemerahan pada sekitar tusukan
2) Adanya nyeri tekan pada daerah tusukan
3) Adanya panas pada daerah tusukan
4) Adanya bengkak pada daerah tusukan
b. Infeksi tirah baring
Infeksi tirah baring atau decubitus adalah luka yang terjadi karena penekanan
yang terlalu lama pada suatu bagian tubuh.Berawal dari lesi sampai nekrotik
tergantung kedalaman luka. Awal decubitus terjadi karena tirah baring pasif
selama 2 jam atau lebih pada pasien yang mengalami imobilitas total.
Gejala
Stage 1 terjadi peradangan berupa kulit yang kemerahan dan panas pada bagian
tubuh yang mengalami penekanan
Stage 2 kulit mengelupas daerah sekitar luka kemerahan
Stage 3 luka lebih dalam, mungkin terdapat jaringan necrotic
Stage 4 luka sangat dalam, terdapat jaringan necrotic disertai kehilangan otot.
c. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan atau Pnemonia merupakan peradangan jaringan atau
parenkim paru-paru. Dasar diagnose pneumonia dapat berdasarkan 3 hal yaitu
gejala klinis, radiologis, dan laboratorium. Ada 2jenis pneumonia yang

34
berhubungan dengan IRS yaitu Pneumonia yang didapatkan akibatperawatan
yang lama atau sering disebut sebagai hospital acquired pneumonia (HAP) dan
pneumonia yang terjadi akibat pemasangan ventilasi mekanik atau sering disebut
denganventilator associated pneumonia (VAP).
Faktor Risiko Pneumonia/VAP:
1) Instrumentasi sistem saluran nafas
2) Tindakan operasi(operasi thorax dan abdomen)
3) Kondisi yang mudah menyebabkan aspirasi (pemasangan pipa lambung,
kesadaranmenurun, disfagia)
4) Usia tua
5) Obesitas
6) Pemakaian ventilasi mekanik yang lama
7) Uji fungsi paru abnormal (menurunnya kecepatan expirasi)
Ventilator Associated Pneumoniae (VAP)
Pneumonia terkait ventilator (VAP) adalah infeksi saluran nafas bawah
yangmengenai parenkhim paru dan terjadi > 48 jam setelah pemakaian ventilasi
mekanik dansebelumnya tidak ditemukan tanda-tanda infeksi saluran nafas.
Agen penyebab VAP antaralainPseudomonas aeruginosa, Acinobacter spp,
Methillin Resistant Staphylococcus Aureus(MRSA), Escherichia coli, Klebsiella
spp.

Hospital Aqcuired Pneumonia (HAP)


HAP adalah infeksi saluran nafas bawah yang mengenai parenkim paru setelah
pasiendirawat di RS > 48 jam tanpa dilakukan tindakan intubasi dan sebelumnya
tidak menderitainfeksi saluran nafas bawah. HAP dapat ditandai dari onsetnya
awal atau lambat. HAP onsetawal, timbul dalam 4 hari pertama perawatan sering
disebabkan oleh kuman M. catarrhalis,H.Influenzae dan S. pneumoniae
sedangkan HAP onset lambat sering berupa gram negative atau MRSA. Virus
dapat menyebabkan HAP onset awal atau lanjut sedang jamur,Pneumocystis
carinii, Legionella dan kapang umumnya menyebabkan HAP onset lambat.
Tanda dan gejala klinis pneumonia
Minimal dari tanda dan gejala berikut ini:
1) demam (>380C) tanpa ditemui penyebab lainnya;
2) leukopenia atau leukositosis,
3) untuk penderita berumur > 70 tahun, adanya perubahan status mental yang
tidakditemui penyebab lainnya
Dan minimal disertai 2 tanda berikut
1) Timbulnya onset baru sputum purulen atau perubahan sifat sputum
2) Munculnya tanda atau terjadinya batuk yang memburuk atau dyspnea atau
tachypnea
3) Ronki basah atau suara nafas bronkial

35
4) Memburuknya pertukan gas misal desaturasi O2 (PaO2/FiO2 < 240),
peningkatankebutuhan oksigen atau perlunya peningkatan ventilator.
Tanda radiologis pneumonia
Bukti adanya pneumonia secara radiologis adalah bila ditemukan > 2 foto serial
didapatkan minimal 1 tanda berikut:
1) Infiltrat baru atau progresif yang menetap
2) Konsolidasi
3) Kavitasi
4) Pnuematoceles pada bayi berumur < 1 tahun
Untuk bayi < 1 tahun
Buruknya pertukaran gas dan
Minimal disertai 3 tanda berikut:
1) Suhu yang tidak stabil yang tidak ditemukan penyebab lainnya
2) Lekopeni atau lekositosis dan gambaran darah tepi terlihat pergeseran ke kiri
(>10%bentuk netrofil bentuk batang)
3) Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan karakter sputum atau
adanyapeningatan sekresi pernafasan atau peningkatan keperluan
penghisapan (suctioning)
4) Apneu, tachypneu atau pernafasan cuping hidung dengan retraksi dinding
dada
5) Ronki basah kasar maupun halus
6) Batuk,
7) Bradikardi atau takikardi.
Untuk anak > 1 tahun atau berumur < 12 tahun
Minimal ditemukan 3 dari tanda berikut:
1) Demam (suhu >38,40C atau hipotermia < 36,50C) yang tidak ditemukan
penyebab lainnya
2) Lekopeni atau lekositosis (AL > 15.000/mm3)
3) Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan karakter sputum atau
adanyapeningatan sekresi pernafasan atau peningkatan keperluan
penghisapan (suctioning)
4) Onset baru dari memburuknya batuk, Apneu, tachypneu
5) Wheezing, ronki basah kasar maupun halus
6) Memburuknya pertukaran gas, misal pO2 < 94%
d. Kejadian Luar biasa
Kejadian luar biasa adalah kejadian infeksi yang muncul di masyarakat
berdasarkan data epidemiologis dan kejadian yang tiba-tiba muncul dan/atau
muncul kembali di suatu tempat di sekitar rumah sakit.
3. Pengumpulan data
Data minimal yang perlu dikumpulkan antara lain adalah nama pasien, umur, jenis
kelamin, nomor rekam medik, nama ruang, tanggal kejadian. Data lain dapat
dikumpulkan hanya apabila akan dilakukan analisis, kadang – kadang dicatat juga
diagnosis primer invasive yang dilakukan sebelum terjadi infeksi dan antibiotika yang

36
diberikan.
a. Pengumpulan data monitoring pengendalian infeksi nosokomial
1) Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka infus (phlebitis) :
a) Perawat pelaksana mencatat pasien yang terpasang infus dan setiap
mengganti infus pada format monitoring infus pasien rawat inap.
b) Perawat mencatat kejadian infeksi luka infus pada format yang tersedia.
c) Tiap awal bulan kepala ruang / anggota PPI yang ditunjuk merekap
kejadian infeksi luka infus.
d) Kepala ruang melaporkan bagian Keperawatan dan PPI.
e) PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
2) Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka operasi :
a) Perawat OK/ruangan mempunyai pengetahuan tentang Operasi Bersih,
Operasi Bersih Terkontaminasi dan operasi kotor.
b) Perawat OK mengisi lembar monitoring operasi terhadap semua pasien
yang dilakukan tindakan operasi.
c) Perawat ruangan memonitor tanda–tanda infeksi yang terjadi pada luka
operasi bersih selama dirawat di rumah sakit.
d) Perawat mencatat kejadian infeksi luka operasi bersih pada format yang
tersedia.
e) Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap
kejadian infeksi luka operasi bersih.
f) Kepala ruangan melaporkan kepada PPI.
g) PPI mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada
Forum mutu RSKIA Arvita Bunda.
3) Pelaksanaan pengumpulan data untuk angka kejadian decubitus :
a) Perawat pelaksana melakukan pencatatan kegiatan alih baring pada form
monitoring tirah baring pasien
b) Perawat pelaksana mencatat pasien yang terpapar decubitus pada format
yang disediakan
c) Perawat mencatat kejadian decubitus pada format yang tersedia .
d) Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap
kejadian decubitus.
e) Kasubbag ranap melaporkan kejadian kepada Bagian Keperawatan dan
PPI.
f) PPI mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada Forum
mutu.
5) Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi post tindakan di IGD atau
Poliklinik :
a) Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi tindakan.
b) Perawat mencatat kejadian infeksi post tindakan pada format yang
tersedia.
c) Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap
kejadian infeksi post tindakan.
d) Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
e) PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
6) Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi Saluran kencing :
a) Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi saluran kencing.

37
b) Perawat mencatat kejadian infeksi saluran kencing pada format yang
tersedia.
c) Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap
kejadian infeksi saluran kencing.
d) Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
e) PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
7) Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi epidemic dan kejadian luar
biasa :
a) Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi epidemic dan
kejadian luar biasa.
b) Perawat mencatat kejadian epidemic dan kejadian luar biasa pada format
yang tersedia.
c) Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap
kejadian infeksi epidemic dan kejadian luar biasa.
d) Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
e) PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
b. Sekretaris dan anggota PPI :
1) Mengevaluasi laporan/data monitoring pengendalian infeksi yang sudah
tersedia.
2) Membuat analisaoutbreak infeksi bersama-sama dengan perawat dan dokter.
3) Membuat kesimpulan terjadinya infeksi kepada forum mutu.
4) Membuat laporan rekapitulasi infeksi nosokomial setiap 6 bulan.
5) Untuk KLB (Kejadian Luar Biasa) dilaporkan setiap saat / setiap kejadian.
c. Direktur menerima laporan dari PPI melalui forum mutu dan menindak lanjuti
laporan tersebut.
4. Penyebaran data / informasi
Data infeksi nosokomial yang sudah tersedia dan di analisa oleh PPI di lakukan
evaluasi setiap bulan dan di analisis ulang minimal dalam 1 tahun sekali.
Setelah ada tindak lanjut dari Direktur, laporan di sebarluaskan atau di informasikan
ke PPI, dan bagian terkait.
Laporan KLB dilaporkan ke dinas kesehatan segera setelah terjadi kejadian. Laporan
kejadian PPI dilaporkan secara periodic minimal 1 kali dalam 1 tahun ke dinas
kesehatan setempat.

D. Penggunaan Obat Antibiotik secara Rasional


Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia
sampai saat ini, oleh akrena itu antibiotic masih tetap diperlukan.Perkembangan yang
pesat di bidang Farmasi mengingkatkan produksi obat – obatan baru khususnya
antibiotic.Produksi antibiotic yang meningkat menyebabkan banyaknya antibiotic yang
beredar dipasaran baik dalam jumlah, jenis maupun mutu.
Untuk mencegah pemakaian antibiotik yang tidak tepat sasaran, atau kurang
rasional maka perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotik. Oleh karena penggunaan
antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negative seperti
terjadinya kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya kejadian efek

38
samping obat, biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan
merugikan pasien.
Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan
penggunaan antibiotic agar dapat menekan serendah–rendahnya efek yang merugikan
dalam pekamaian / penggunaan antibiotik.
1. Tujuan
Untuk membudayakan penggunaan antibiotik secara rasional di rumah sakit sebagai
upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan fungsi rumah sakit dengan
tidak mengurangi tanggung jawab professional dari dokter dan apoteker dalam
pengobatan terhadap pasien.
2. Prinsip penggunaan antibiotik
pemilihan antibiotik hendaknya didasarkan atas pertimbangan berbagai factor yaitu
spectrum antibiotik, efektifitas, sifat–sifat farmakokinetik, keamanan, pengalaman
klinik sebelumnya, kemungkinan terjadinya resistensi kuman, super infeksi dan harga
yang terjangkau.
Arti penting dari pertimbangan faktor–faktor ini tergantung dari derajat
penyakit dan tujuan pemberian antibiotic apakah untuk profilaksis atau untuk terapi.
Diagnose penyebab infeksi sedapat mungkin ditegakkan melalui tata laksana
pemeriksaan mikrobiologi klinik yang relevan beserta interprestasi antibiogram yang
memadai dan informasi klinik/farmasi klinik mengenai jenis–jenis antibiotic yang
tersedia.
Idealnya setiap pasien infeksi perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis yaitu
pembuatan sediaan Gram, kultur kuman dan uji kepekaannya untuk menunjang
diagnose klinis dan pemberian pengobatan yang tepat.
Kultur kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotic harus dilakukan pada
penyakit–penyakit berikut : sepsis, meningitis, peritonitis, salmonelosis, sigelosis,
keracunan makanan karena bakteri, ISPA, tuberculosis dan kandidiasis. Pengambilan
spesiman pemeriksaan mikrobiologis dilakukan sebelum pengobatan.
Dalam hal uji biakan dan uji kepekaan kuman belum ada hasilnya atau tidak
bisa dikerjakan, pemilihan antibiotika ditentukan berdasarkan penilaian klinik
penderita, jadi bukan semata–mata atas dasar hasil biakan kuman.
3. Pemberian antibiotik
a. Profilaksis
1) Bedah
2) Medic

b. Terapeutik
1) Empiric
2) Definitive

39
Pada antibiotik profilaksis bedah tujuan utama adalah untuk mengurangi terjadinya
ILO dengan mengupayakan konsentrasi antibiotik yang mematikan mikroorganisme
pada saat sayatan dimulai sampai operasi selesai.
Secara spesifik antibiotic profilaksis bedah adalah untuk mencegah :
a. Infeksi yang sering terjadi.
b. Terjadi infeksi lokal yang berat (pada protesis sendi, protesis vaskuler).
c. Kemungkinan terjadinya infeksi sistemik yang berat pada pasien yang beresiko
tinggi.
d. Kemungkinan infeksi fatal (operasi penggantian katup jantung).
e. Syarat pemberian profilaksis adalah antibiotic yang tepat, harus diberikan dalam
jangka waktu yang tepat pada lokasi yang tepat dan konsentrasi yang tepat.
Antibiotik haus diberikan dengan cara yang tepat tidak boleh mengganggu pasien
atau lingkungannya, tidak boleh menyebabkan kekebalan dan harganya murah.
Dalam memilih antibiotic profilaksis hendaknya diperhatikan hal–hal sebagai berikut
a. Spektrum bakterisida.
b. Kemungkinan resistensi
c. Cara pemberian dan penyerapannya.
d. Konsentrasi pada lokasi infeksi.
e. Lama bekerja
f. Metabolisme
g. Bukti klinis yang baik
h. Toksisitas yang rendah
i. Efek samping
j. Harga.

40
BAB V
LOGISTIK

Agar program PPI dapat berjalan dengan baik, diperlukan beberapa peralatan yang dapat
melindungi person dari infeksi baik dari pasien ke petugas, pasien ke pasien lain, maupun pasien
ke keluarga pasien. Beberapa logistic yang diperlukan dalam program PPI antara lain:
1. Hand hygiene
Penjelasan tentang hand hygiene diatur dalam pedoman hand hygiene RSKIA Arvita Bunda
2. Alat pelindung diri
Penjelasan tentang APD diatur dalam pedoman APD RSKIA Arvita Bunda
3. Pengelolaan limbah rumah sakit
Penjelasan tentang pengaturan limbah RS di atur dalam pedoman pengelolaan limbah B3
RSKIA Arvita Bunda

Pengadaan logistik PPI di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bagian yang terkait.

41
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Standar Keselamatan Pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannyadilakukan


dengan menggunakan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit. Standar keselamatan pasien tersebut
terdiri dari tujuh standar yaitu:
1. hak pasien
2. mendidik pasien dan keluarga
3. keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
5. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit
yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada
Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint
Commission International (JCI).
Enam sasaran keselamatan pasien (SKP) adalah tercapainya hal-hal sebagaiberikut :
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai(high-alert)
Sasaran IV : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepatpasienoperasi
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait PelayananKesehatan
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Sasaran keselamatan pasien dalam program PPI merupakan uraian dari SKP V antara lain:
1. Hand hygiene
Hand hygiene sebagai kewaspadaan standar untuk pencegahan transmisi infeksi dari seorang
person ke person yang lain di jadikan standar baku dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan infeksi.
2. Alat pelindung diri
Setiap petugas harus memakai alat pelindung diri sebagai barier awal pencegahan
infeksi.Selain itu, keluarga dan pasien juga perlu dipahamkan tentang alat pelindung diri agar
tidak terjadi infeksi nosokomial.

42
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

A. Pengertian
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan kesehatan
dan meningkatkan derajad karyawan dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja, pengendalian bahaya ditempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan
rehabilitasi.
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan
fisik mental dan social yang setinggi-tingginya bagi karyawan pada semua jenis pekerjaan,
pencegahan terhadap gangguan kesehatan karyawan yang disebabkan oleh kondisi
pekerjaan, perlindungan terhadap karyawan dalam pekerjaannya dari resiko akibat factor
yang merugikan kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan karyawan dalam suatu
lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya.

B. Tujuan
Terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS.

C. Sasaran
Sasaran K3 RS meliputi:
1. Rumah sakit
2. Karyawan RS
3. Pasien dan pengunjung RS

D. Identifikasi sumber bahaya


Bahaya potensial yang mugkin muncul:
Tabel 1. Bahaya Potensial
Bahaya Karyawan yang
No Lokasi
potensial berpotensi
1 HIV, Hepatitis B, UGD, OK, poli gigi, Dokter, dokter gigi,
non-A dan non- laboratorium, linen perawat, analis, sanitasi
B dan petugas linen
2 Cytomegalovirus VK, ruang anak Dokter dan perawat
3 Rubella Ruang ibu dan anak Dokter dan perawat
4 Tuberculosis Bangsal perawatan, Dokter, perawat, analis,
laboratorium, ruang fisioterapis
isolasi

E. Penyelenggaraan
Pelaksanaan program K3 RS disesuaikan dengan peraturan K3 RS yang berlaku di RSKIA

43
Arvita Bunda

F. Evaluasi
Monitoring pelaksanaan K3 RS dilakukan secara periodik dan kontinyu.

44
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

A. Monitoring
Monitoring yang diilaksanakan pada program PPI antara lain
1. Pelaporan kejadian tidak diinginkan
2. Pelaporan kejadian phlebitis pada pasien rawat inap
3. Pelaporan kejadian decubitus pada pasien rawat inap
4. Pelaporan kejadian infeksi sistemik (sepsis) pada pasien rawat inap
5. Pelaporan kejadian infeksi post tindakan IGD atau poliklinik
6. Pelaporan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan pemasangan dower
cateter
7. Pelaporan kejadian infeksi luka post operasi
8. Pelaporan Kejadian Luar Biasa

B. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menindaklanjuti adanya kejadian infeksi di rumah sakit
berdasarkan pada hasil surveilans.Tindak lanjut terhadap penanganan dan pencegahan
infeksi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan bagian terkait.

45
BAB IX
PENUTUP

Pedoman yang dicantumkan merupakan prosedur baku yang harus dilaksanakan


seluruhnya oleh setiap personil Rumah Sakit yang terlibat dan berlaku setiap ruang terkait.
Disadari bahwa keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya dan dana masih merupakan
kendala di RSKIA Arvita Bunda. Namun keterbatasan ini tidak dapat dipergunakan sebagai
alasan untuk menurunkan baku prosedur pelayanan kesehatan yang harus dberikan kepada
pasien. Dengan memiliki pengetahuan dan sikap yang memadai, diharapkan semua personil
Rumah Sakit akan memeiliki perilaku dan kemampuan yang memadai pula dalam memanfaatkan
sarana dan prasarana yang tersedia secara bertepat guna dan berhasil guna dalam pengendalian
infeksi secara berencana dan terorganisir dengan baik merupakan suatu keharusan bagi setiap
rumah sakit.
Perbaikan dan pengembangan pada pedoman ini dilaksanaan sesuai dengan peraturan
yang dikeluarkan serta kondisi rumah sakit yang selalu mengalami perubahan.Perlu adanya
dukungan dari masing-masing bagian agar program PPI RSKIA Arvita Bunda dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.

46
DAFTAR PUSTAKA

DepKes RI. Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah sakit. Jakarta: Depkes RI.
Hardjana, A. (2001). Training SDM yang Efektif. Yogyakarta: Kanisius.
Humardewayanti, R., & Nugroho. (2012). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit:
Infeksi saluran Kemih, Infeksi Saluran darah Primer, Infeksi Luka Infeksi dan
Pneumonia. Yogyakarta: FK-UGM.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. (2011).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan
gizi pangan. (2004)
Setiawati, E. (2004). Surveilans Infeksi Nosokomial. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran UNPAD.
WHO. (2003). Practical Guidelines for Infection Control in Health Care Facilities. Geneva:
WHO Press.
WHO. (2005). World Alliance for Patient Safety WHO Guidelines on Hand Higiene in Health
Care : A Summary. Geneva: WHO press.

47
LAMPIRAN

48
Lampiran 1. Laporan Infeksi Pasien

LAPORAN INFEKSI PASIEN RSKIA ARVITA BUNDA


Bulan : Bagian :
NO IDENTITAS KEJADIAN
1 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

2 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

3 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

4 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

5 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

6 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

7 Tanggal kejadian :
Jenis Kejadian :
Nama :
No. RM :

Sleman, 20
Perawat PPI

( )

Ket. Tiap kejadian infeksi mohon untuk didokumentasikan

49
Lampiran 2. Monitoring Infeksi Pasien Operasi

MONITORING INFEKSI PASIEN OPERASI Jenis Operasi :


Nama Pasien : Hari ke-
No RM : No Indikator Infeksi
1 2 3 4 5 6 7 8
Tanggal Lahir : 1 Tidak ada kemerahan pada daerah luka
Jenis Operasi : 2 Tidak ada nanah keluar dari luka
Hari ke- 3 Tidak ada tonjolan pada daerah sekitar luka
No Indikator Infeksi
1 2 3 4 5 6 7 8 4 Tidak ada nyeri pada daerah sekitar luka
1 Tidak ada kemerahan pada daerah luka 5 Tidak ada perubahan fungsi pada daerah luka
2 Tidak ada nanah keluar dari luka Ket:
3 Tidak ada tonjolan pada daerah sekitar luka -ceklist diisi saat rawat luka
4 Tidak ada nyeri pada daerah sekitar luka -apabila terdapat salah satu indikator pada pasien maka perawat mengisi laporan
5 Tidak ada perubahan fungsi pada daerah luka infeksi
Ket:
-ceklist diisi saat rawat luka MONITORING INFEKSI PASIEN OPERASI
-apabila terdapat salah satu indikator pada pasien maka perawat mengisi laporan Nama Pasien :
infeksi No RM :
Tanggal Lahir :
MONITORING INFEKSI PASIEN OPERASI Jenis Operasi :
Nama Pasien : Hari ke-
No RM : No Indikator Infeksi
1 2 3 4 5 6 7 8
Tanggal Lahir : 1 Tidak ada kemerahan pada daerah luka
Jenis Operasi : 2 Tidak ada nanah keluar dari luka
Hari ke- 3 Tidak ada tonjolan pada daerah sekitar luka
No Indikator Infeksi
1 2 3 4 5 6 7 8 4 Tidak ada nyeri pada daerah sekitar luka
1 Tidak ada kemerahan pada daerah luka 5 Tidak ada perubahan fungsi pada daerah luka
2 Tidak ada nanah keluar dari luka Ket:
3 Tidak ada tonjolan pada daerah sekitar luka -ceklist diisi saat rawat luka
4 Tidak ada nyeri pada daerah sekitar luka -apabila terdapat salah satu indikator pada pasien maka perawat mengisi laporan
5 Tidak ada perubahan fungsi pada daerah luka infeksi
Ket:
-ceklist diisi saat rawat luka
-apabila terdapat salah satu indikator pada pasien maka perawat mengisi laporan
infeksi
MONITORING INFEKSI PASIEN OPERASI
Nama Pasien :
No RM :
Tanggal Lahir :

50
Lampiran 3. Laporan Kejadian Infeksi

LAPORAN KEJADIAN INFEKSI


RSKIA ARVITA BUNDA
BULAN : 20

JENIS KEJADIAN
D P
E H
S
K L
E
No. NAMA No. RM U E INFEKSI INFEKSI ISK POST K KET
P
B B LUKA POST PEMASANGAN T
S
I I OPERASI TINDAKAN KATETER D
I
T T
S
U I
S S

10

JUMLAH

51
Lampiran 4. Monitoring Infus Pasien Rawat Inap

MONITORING INFUS PASIEN RAWAT INAP

Bagian : Bulan :

TGL DIGANTI DI LEPAS


NO NAMA NO RM
DIPASANG TGL ALASAN TGL ALASAN

52
Lampiran 5. Monitoring Infeksi Pasien Rawat Jalan

MONITORING INFEKSI PASIEN RAWAT JALAN

BULAN: 20

KONTROL
NO NAMA PASIEN NO RM TINDAKAN TGL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

53

Anda mungkin juga menyukai