Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

Demam Tifoid

Disusun oleh:
Melati Ganeza
1102014153

Pembimbing :
dr. Ellen Rostati Sianipar, Sp. A (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) PASAR REBO
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 24 JUNI - 31 AGUSTUS 2019
JAKARTA
2019
BAB I
PENYAJIAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. F
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 31 Juli 2007
Usia : 12 tahun
Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 12 Agustus 2019 (21.27)


Tanggal Pulang : 17 Agustus 2019 (18.00)

A. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2019 pukul 07.00 bertempat di
Bangsal Mawar dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu
kandung pasien.
Keluhan utama : Demam terus-menerus sejak 7 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Pasien mengalami demam sejak 7 hari SMRS. Demam naik turun, demam terus
menerus, demam tertinggi saat malam hari terutama tengah malam, demam
diukur dengan suhu 38℃ dengan termometer digital, demam turun dengan
obat penurun panas, menggigil (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), berkeringat
(-), tidak ada riwayat berpergian dari luar kota, tidak disertai dengan kejang.
 Muntah sejak 5 hari yang lalu, frekuensi 1x isi makanan dan minuman, lendir
(-), darah (-), kehijauan (-), muntah tidak menyemprot
 Pasien sulit BAB 3 hari pada awal demam
 Napsu makan pasien menurun sejak 7 hari yang lalu, sebelumnya pasien makan
dengan makanan biasa, frekuensi 2-3 kali sehari, menghabiskan satu porsi,.
Selama sakit pasien hanya mau makan seperempat porsi makan dalam sehari
 Penurunan berat badan tidak jelas
 Batuk tidak ada, pilek tidak ada
 Sesak napas tidak ada
 Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada
 Riwayat bepergian ke daerah endmis malaria tidak ada
 Riwayat bintik-bintik pada kulit tidak ada
 BAK warna dan jumlah biasa
 Pasien sering jajan di luar rumah
 Pasien sebelum di bawa ke RSUD Pasar Rebo, dilakukan pemeriksaan Widal
pada hari ke 4 demam dengan hasil S. Paratyphi BO +1/160

Riwayat Penyakit Dahulu :


Ini merupakan pertama kali pasien dirawat di rumah sakit. Riwayat kejang,
alergi, asma, disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Di dalam
keluraga tidak ada yang menderita penyakit menurun seperti alergi, asma,
hipertensi, dan diabetes melitus.

Riwayat Kehamilan :
Ibu pasien P2A0, pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Saat pasien
di kandungan, ibu pasien rutin kontrol ke dokter kandungan setiap bulannya.
Tidak ada penyulit selama kehamilan.
Kesan : Riwayat kehamilan baik.

Riwayat Persalinan dan masa perinatal :


Lahir secara normal pada saat usia kandungan 34 minggu, dibantu oleh bidan.
Saat lahir pasien dinyatakan asfiksia, tidak langsung menangis, gerakan lemah,
dan bibir nampak kebiruan. Selama proses kelahiran, pasien terlilit tali pusar
dan sempat masuk inkubator NICU selama 1 hari. BB lahir 2700 gram, PB
50cm, LK ibu pasien tidak tahu.
Kesan : Riwayat persalinan dan perinatal ada penyulit.

Riwayat Nutrisi :
Pasien menerima ASI hingga usia 1 bulan. Pasien diberikan susu formula sejak
usia 1 bulan. Pasien mendapat makanan pendamping asi pada saat usia 6 bulan
berupa biskuit susu, bubur kasar dengan campuran wortel, kentang, bayam,
telur, ayam,ikan dengan frekuensi 3x sehari.
Kesan : Secara kualitas kurang dan kuantitas nutrisi cukup.

Riwayat Tumbuh Kembang :


Riwayat tumbuh kembang sesuai dengan usia.

Riwayat Imunisasi :
BCG (0 bulan)
DPT (2bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Polio (2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Campak (9 bulan)
Hepatitis B (0 bulan, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan)
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Sosial Ekonomi & Kondisi Lingkungan :


Di rumah pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, serta adik pasien. Ayah
pasien bekerja sebagai karyawan kantor, pendidikan terakhir S1. Ibu pasien
adalah IRT, pendidikan terakhir yaitu S1. Pasien menggunakan jaminan BPJS.
Pasien tinggal di rumah yang terletak di dalam gang perkampungan. Pasien hobi
jajan chiki tetapi tidak pernah minum minuman sachetan dan jarang mencuci
tangan. Sebelum sakit, pasien makan terakhir chiki di sekolah. Pasien tidak
pernah berpergian ke luar daerah. Ibu pasien memasak dengan air keran yang
dimasak lagi, untuk minum, pasien menggunakan air galon isi ulang.
Kesan : Kondisi ekonomi pasien menengah, pendidikan orang tua cukup,
lingkungan dan kebiasaan pasien kurang.
B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis di IGD RSUD Pasar Rebo
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Tanda vital
Laju nadi : 136x/min, reguler, teraba kuat.
Laju nafas : 24 x/min
Suhu : 38 OC
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Saturasi O2 : 99%

Pemeriksaan fisis dilakukan pada tanggal 15 Juli 2019, pukul 07.00 di Bangsal
Mawar RSUD Pasar Rebo
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)

Tanda vital
Laju nadi : 136x/min, reguler, teraba kuat.
Laju nafas : 27 x/min
Suhu : 37.5OC
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Saturasi O2 : 99%

Status gizi & antropometri (kurva WHO)


BB : 27.8 kg BB/U : 27.8/40.5 x 100% = 68.6% (BB Kurang)
TB : 147 cm TB/U : 147/149 x 100% = 98.6% (TB Normal)
BB ideal : 40.5 kg BB/TB : 27.8/39.5 x 100% = 70.37% (Gizi kurang)
Kesan : Gizi kurang, perawakan kurus.
Status Generalis

Kulit Warna sawo matang, lesi (-), jaringan parut (-), sianosis (-)

Bentuk normosefali, datar, rambut hitam merata, tidak rontok,


Kepala
tidak mudah dicabut
Wajah Normal, Simetris
Bentuk kedua bola mata normal dan simetris, konjungtiva
anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks cahaya langsung +/+,
Mata
refleks cahaya tak langsung +/+, pupil bulat isokor 3mm/3mm,
gerak bola mata bebas ke segala arah.
Nyeri tekan tragus (-), membran timpani bilateral utuh,
Telinga edema(-), gangguan pendengaran (-), tinitus(-)

Hidung Deviasi septum nasi (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorok Faring tenang, tonsil T1/T1 tidak hiperemis.
Bibir simetris, sianosis (-), mukosa lembab, sianosis (-), gigi
Mulut lengkap, gusi merah muda, lidah kotor (-)

Kaku kuduk (-), deviasi trakea (-), pergerakan bebas,


Leher pembesaran kelenjar (-)

Inspeksi : bentuk simetris, kuat angkat, retraksi interkostal -/-,


hematoma -/-
Thoraks - Palpasi : taktil fremitus +/+ ,kembang dada simetris,
Paru krepitasi (-)
Perkusi : sonor, batas jantung normal
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Thoraks -
Suara jantung S1 S2 reguler, gallop - , murmur -
Jantung
Inspeksi : perut datar
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Abdomen
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus normal
Punggung Normal, spina bifida (-), meningokel (-)
Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas Akral hangat, capillary refill < 3s ,edema (-)
Pemeriksaan Refleks patologis (-), refleks fisiologis (+), sensorik dan
neurologis motorik baik.
C. Pemeriksaan Penunjang (12-08-19 21.45)
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13,0 10,80 – 12,80 gr/dl
Hematokrit 39 35 – 43 %
Eritrosit 5,1 3,6 – 5,2 jt/µl
Leukosit H 24.80 5 – 15,5 rb/ µl
Trombosit 415 150 – 440 rb/ µl
Pemeriksaan Penunjang ( 17-08-19 06.51)
Parameter Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,2 10,80 – 12,80 gr/dl
Hematokrit 35 35 – 43 %
Eritrosit 4,7 3,6 – 5,2 jt/µl
Leukosit 12,19 5 – 15,5 rb/ µl
Trombosit H 593 150 – 440 rb/ µl

D. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja :
Demam Tifoid
Gizi Kurang
2. Diagnosis Banding :
Demam Dengue
Malaria

Tatalaksana
1. Diagnostik
- Darah perifer lengkap
- Tes widal
- Tubex test

2. Terapeutik
- IVFD K3B 1600/ hari = 23 tpm
1 botol dalam 7 jam
- Sirup Paracetamol 250mg/ 5ml
3 x 7,5 ml
- Injeksi Seftriakson 1 x 2 gram
3. Edukasi

Edukasi tentang:
Pentingnya cuci tangan pakai sabun sebelum dan sesudah makan
Pentingnya menjaga higiene dan sanitasi lingkungan
Pentingnya mengetahui kebersihan dan higienisitas makanan
E. Prognosis
ad vitam : bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanactionam : dubia ad bonam

F. Follow Up
15 Agustus 2019
S/ Demam hari ke 7
muntah tidak ada
Batuk dan pilek tidak ada, sesak napas tidak ada
Buang Air Besar ada sedikit warna dan konstitensi biasa
Buang Air Kecil warna dan jumlah biasa
Makan belum banyak

O/ KU KES TD ND Nfs T
sdg CM 110/70 130x 24x 37,6ºC

Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sclera ikterik tidak ada


Leher : tidak ada pembesaran KGB
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidal ada, nyeri tekan epigastrium (-), distensi
tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Demam tifoid
Gizi kurang

P/ - IVFD K3B 1600/ hari = 23 tpm


1 botol dalam 7 jam
- Sirup Paracetamol 250mg/ 5ml
3 x 7,5 ml
- Injeksi Seftriakson 1 x 2 gram (hari ke 4)
16 Agustus 2019
S/ Demam hari ke 8
muntah tidak ada
Batuk dan pilek tidak ada, sesak napas tidak ada
Buang Air Besar warna ada konsistensi biasa
Buang Air Kecil warna dan jumlah biasa
Makan masih belum banyak
O/ KU KES TD ND Nfs T
sdg sadar 100/60 124x 24x 36.3ºC
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sclera ikterik tidak ada
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-),
distensi tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Demam tifoid
Gizi kurang

P/ - IVFD K3B 1600/ hari = 23 tpm


1 botol dalam 7 jam
- Sirup Paracetamol 250mg/ 5ml
3 x 7,5 ml
- Injeksi Seftriakson 1 x 2 gram (hari ke 5)
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 12 tahun dengan diagnosa demam
tifoid. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien datang keluhan
utama demam. Demam dirasakan sejak 7 hari yang lalu, Demam naik turun, demam
terus menerus, demam tertinggi saat malam hari terutama tengah malam, demam diukur
dengan suhu 38℃ dengan termometer digital, demam turun dengan obat penurun
panas, menggigil (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), berkeringat (-), tidak ada riwayat
berpergian dari luar kota, tidak disertai dengan kejang. Muntah sejak 5 hari yang lalu,
frekuensi 1x isi makanan dan minuman, lendir (-), darah (-), kehijauan (-), muntah tidak
menyemprot. Pasien sulit BAB 3 hari pada awal demam. Batuk tidak ada, pilek tidak
ada. Pasien memiliki kebiasaan membeli jajanan di luar rumah.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien suhu pasien pertama kali saat masuk
38 ˚C, tekanan darah 100/70mmHg dan nafas 24 kali/menit serta nadi 136 kali/menit.
Dari pemeriksaan didapatkan tidak adanya lidah kotor pada pasien.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Berdasarkan
definisi tersebut manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien demam tifoid dapat
berupa demam, gangguan saluran cerna, serta dapat disertai atau tanpa disertai
gangguan kesadaran. Pada pasien didapatkan keluhan demam yang sudah berlangsung
selama 7 hari, sering terjadi pada malam hari. Hal ini menuntun untuk mengarahkan
diagnosis ke penyakit demam tifoid. Gejala gangguan pada saluran cerna yang diderita
pasien berupa muntah sejak 5 hari yang lalu , nafsu makan menurun sejak 7 hari yang
lalu, serta sulit Bab pada 3 hari awal demam. Menurut teori gejala yang timbul dalam
7 hari pertama dapat berupa demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, obstipasi
atau diare, perasaan tidak nyaman di perut, batuk, bahkan epistaksis. Sedangkan pada
minggu kedua, gejala menjadi relatif lebih jelas dengan demam, bradikardia relative,
lidah kotor, hepatomegali, splenomegali, dan gangguan kesadaran. Berdasarkan
pemeriksaan fisik yang didapatkan hanya terjadi peningkatan suhu pada pasien yakni
38˚C.
Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium. Pada pasien dilakukan pemeriksaan serologis untuk menunjukkan
diagnosis demam tifoid yaitu Tes Widal dengan hasil S. Paratyphii BO + 1/160.
Pengobatan yang diberikan pada pasien IVFD K3B 1600/ hari = 23 tpm, sirup
paracetamol 250 mg/ 5 ml, injeksi sefriakson 1 x 2 gram. Pengobatan dilakukan sesuai
dengan teori, yaitu pasien dianjurkan tirah baring, lalu diberikan cairan, obat
simptomatik, serta antibiotik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1,2

2.2. Epidemiologi Demam Tifoid


Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya
adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal
= jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

2.3. Etiologi Demam Tifoid


Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

2.4. Patogenesis Demam Tifoid


Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan
infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan
seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda
dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada
anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4

Patogenesis (serotipe invasif)


Epitel usus
fagositosis
Lamina propria respons inflamasi
endotoxin (lokal, sistemik)

multiplikasi Plaque Payeri Lokal: inflamasi


Sistemik: pengeluaran
Makrofag sitokin ->
Duktus torasikus Demam,depp SSTl

bakteriemi primer sirkulasi

Organ target RES (hati,limpa,ss.tl)


bakteriemi sekunder

Organ lain ( fenomena metastasis)

Bagan 2.1. Patogenesis Demam Tifoid


2.5. Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi
bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau
tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak,
terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid
pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,
lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang
tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 –
5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam
ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5

2.6. Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang
diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.8 Tidak selalu
ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi
maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis
infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar
sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang
Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti
mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
1. Pemeriksaan terlalu dini  antibodi Belum terbentuk
2. gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
3. Th/ a.b. Dini  antibodi tdk terbentuk
Positif Palsu
1. salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap
sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum
tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.6

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai
untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama
bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi
adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat
meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.5,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis
yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.6

2.7. Diagnosis Demam Tifoid


Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu
panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika
tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun
malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5
2.8. Diagnosis Banding Demam Tifoid
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, infeksi saluran kemih,
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid
yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis
banding.1

2.9. Penatalaksanaan Demam Tifoid


1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan
perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan
kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur
oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7
2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari
aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan
keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya
sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain
atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan
resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak
golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk
anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam
biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

2.10. Komplikasi Demam Tifoid


Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda – tanda
renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan
nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada
awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,
dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga
diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan
Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada
minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi,
depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan
glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam
mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada
urinya dalam waktu yang lama.

2.11. Pencegahan Demam Tifoid


Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan
air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
 Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.
 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran
tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih
segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.
 Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
 Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
 Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa
anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
 Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah
dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5
mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping
yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada
tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan
riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,
mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

2.12. Prognosis Demam Tifoid


Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada
anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibisono E, Ade S, Leonard N. Demam Tifoid. Dalam : Kapita Selekta


Kedokteran Jilid 2. Ed 4. Jakarta : Media Aesculapius. 2014; h. 721-723
2. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008; h. 338-45.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto
S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta:
Salemba Medika; 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia:
A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya: FK UNAIR; 2010. h. 1-10.
7. Aden, R. Seputar Penyakit dan Gangguan Lain Pada Anak. Yogyakarta: Siklus
Hanggar Kreator; 2010.
8. Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra
Irawan Satari, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 338-346.

Anda mungkin juga menyukai