Anda di halaman 1dari 39

1

Nama : Abdul Fattah


Nim : 10400114274
Jurusan : Ilmu Hukum
Fakultas : Syari’ah dan Hukum
Judul :Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana
Illeggal Logging di Kawasan Konservasi Hutan
Barru (Studi Kasus Putusan Nomor :
40/Pid.sus/2017/PN Bar tahun 2017)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai Illegal Logging tentu tidak terlepas dari yang namanya
penebangan hutan secara membabi buta dan tidak mengikuti aturan-aturan
penebangan hutan secara benar. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat di
perbaharui dengan mengikuti sistem pengelolaan yang bijaksana dan salah satunya
dengan pelestarian hutan dalam konsep Islam. Hutan adalah tanah luas yang
ditumbuhi pohon-pohon (biasanya tidak dipelihara orang).Hutan memiliki peranan
besar bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Sejak manusia lahir
sampai nanti masuk ke liang kubur, manusia membutuhkan bahan-bahan yang telah
di hasilkan oleh hutan untuk di olah menjadi benda yang berguna untuk dirinya dan
untuk manusia yang lain. Hutan memberikan perlindungan, naungan dan bahan-bahan
yang dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Demikian pula hutan
merupakan tempat hidupnya binatang liar dan sumber plasma nutfah yang semuanya.

1
2

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kesejatraan
manusia dan juga sebagai tempat tinggal bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya.8

Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18


Tahun 2013 (UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) menjelaskan
bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan alam berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam Komunitas alam lingkungannya
yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.9 begitupun dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Republik Indonesia.

Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang selanjutnya disebut UU


Kehutanan menentukan bahwa, yang dimaksud hutan adalah “Suatu ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Undang-undang Kehutanan mengamanahkan dalam konsideran butir 1 bahwa “hutan
wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun
mendatang”.

Fungsi-fungsi hutan sebagai

1. Hutan sebagai Ekosistem


2. Hutan sebagai Sumber penghasil kayu
3. Hutan Habitat Satwa liar
4. Hutan sumber plasma nutfah
5. Hutan sebagi tempat rekreasi.10

8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), h.83.
9Republik indonesia,Undang undang Nomor 18 tahun 2013,tentang pemberantasan dan pengerusakan
hutan.
10Ir.Arifin Arief,Hutan dan Kehutanan(Yogyakarta:Penerbit Kanisius,2001), h.5.
3

Oleh karena itu pengawasan terhadap hutan sangat penting melihat dari fungsi
tersebut. Berbicara tentang pelestarian atau pengelolaan hutan perlu kita ketauhi
bahwasanya di dalam agama islam ada cara pengelolaan hutan.

1). Kewajiban menanam memelihara dan melindungi flora

Untuk menegakkan kewajiban ini, ada beberapa prinsip yang perlu di


perhatikan:

Pertama, khitab nabi tentang pembuatan cagar alam Naqie’ untuk konservasi
sumber daya air dan flora, guna kesediaan makanan ternak khususnya ternak kuda
kaum muslimin ini merupakan isyarat, perlunya penguasa mengadakan kawasan
konservasi.11

Kedua, anjuran untuk menanam pohon/tanaman dan yang melakukannya


(sama dengan) sadaqah: dalam kaitan ini, di temukan banyak hadis Nabi SAW yang
menujukkan betapa pentingnya memelihara dan menanam berbagai macam tanaman
yang bermanfaat. Bagus untuk manusia ataupun makhluk hidup yang ada disekitanya
sebagaimana di jelaskan dalam Hadis Nabi SAW.12

2). Larangan menebang atau memusnahkan flora tanpa hak

Pertama, larangan merusak fauna dan flora, karena pekerjaan itu hanya di
lakukan oleh orang-orang munafik. Prinsip ini hanya didasarkan atas firman
Allah dalam (Q.S. al-Baqarah,2 : 204-205).13

Kedua, larangan merusak atau menghancurkan tanaman-tanaman kecuali bila


ada kepentingannya.hal ini didasarkan pada hadis, yang telah disebutkan di
atas, tentang sepuluh wasiat khalifah Abu Bakar, kepada panglima perangnya

11A.Qadir gassing ,Fiqih (Makassar:Pidato pengukuhan guru besar uinam fsh), h.81.
12
Prof.Dr.H.A.Qadir gassing HT.,MS,Fiqih lingkungan,hal.82.
13
Prof.Dr.H.A.Qadir gassing HT.,MS,Fiqih lingkungan,hal.86.
4

yang akan ke medan perang. Dari hadis ini dapat disimpulkan dalam keadaan
perangpun sedapat mungkin dihindari pembabatan pohon-pohon terutama
yang berbuah karena pohon tersebut sangat bermanfaat bagi kelangsungan
hidup makhluk hiduplainnya.14

Islam juga menerangkan dan memberikan peringatan kepada umat manusia agar tetap
menjaga alam . Dalam Firman Allah SWT dalam kitab suci Al-Quran. Secara umum,
kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor
mentalitas manusia, kepentingan ekonomi, dan penegakan hukum yang lemah. Kasus
Illegal Logging yang terjadi dikawasan konservasi Hutan Barru tidak terlepas dari
luas daerah kawasan hutan tersebut. Kurangnya jumlah petugas polisi hutan dan
tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang pengelolaan kawasan
hutan mengakibatkan kasus Illegal Logging kian marak dan tidak terkontrol.
Sehingga dapat mengkibatkan kerusakan hutan secara permanen. Berdasarkan hal
tersebut di atas, mendorong keingintahuan penulis untuk mengkaji lebih lanjut
tentang penerapan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan khususnya
Illegal Logging (penebangan liar) yang terjadi di Kawasan konservasi Hutan yang
dilakukan oleh oknum masyarakat sekitar untuk kepentingan ekonomi. Olehnya itu
penelitian ini selanjutnya akan difokuskan pada judul“Tinjauan Yuridis terhadap
Tindak Pidana Illeggal Logging di Kawasan Konservasi Hutan Barru (Studi
Kasus Putusan Putusan Nomor : 40/Pid.sus/2017/PN Bar tahun 2017)

14
Prof.Dr.H.A.Qadir gassing HT.,MS,Fiqih lingkungan,hal-88.
5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka pokok masalah yang di bahas adalah


bagaimana tinjauan yuridis pokok masalah tersebut dan di jabarkan dalam 2 sub
masalah.

1. Bagaimanakah Penerapan Hukum Pidana Materil Dalam Perkara TindakPidana


Illegal Logging Di Kawasan Konservasi Hutan BarruDalamPutusan Nomor :
40/Pid.Sus/2017/PN Bar Tahun 2017?

2. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan PutusanTerhadap


Tindak Pidana Illegal Logging Di Kawasan Konservasi Hutan Barru Dalam
Putusan Nomor : 40/Pid.Sus/2017/PN Bar Tahun 2017?

C.Kajian Pustaka

Kajian pustaka berisi tentang uraian sistematis mengenai hasil hasil penelitian
yang pernah di lakukan sebelumnya oleh peneliti terdahulu yang mempunyai
keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan maupun dari beberapa buku yang
dimana di dalamnya terdapat pandangan dari beberapa ahli. Adapun beberapa
literatur yang ada di dalamnya membahas tentang peraturan daerah sebagai berikut ;

Hardhiansyah dalam skripsinya Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana


Illegal Logging Di Kawasan Konservasi Hutan Malino (Studi Kasus Putusan Nomor:
65/ Pid.B/ 2012/ Pn.Sungg), Pada tahun 2013. Pada skripsi ini membahas mengenai
tindak pidana illegal logging di Kabupaten Gowa tepatnya di kawasan konservasi
malino dan juga menjelaskan mengenai penerapan sanksi yang di jatuhkan oleh
hakim serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana, penelitian ini
memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan penyusun lakukan yakni mengenai
penerapan hukum pidana materil dan menjatuhkan putusan, adapun hal yang
6

membedakanya adalah tindak pidana yang di lakukan di kawasan konservasi hutan


malino di lakukan secara berkelompok.

A.Miftahuddin A.Hasyim dalam skripsinya Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak


Pidana Illegal Logging Di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Luwu
Timur (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor:
65/Pid.B/2015/Pn.Mll), Pada tahun 2016. Pada skripsi ini membahas mengenai tindak
pidana yang di lakukan di kawasan hutan produksi terbatas kabupaten luwu timur
serta pembahasanya mengenai efektivitas peraturan perundang-undangan mengenai
tindak pidana Illegal Logging serta pertimbangan hukum hakim menjatuhkan putusan

Santoso pada skripsinya Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan


Mahkamah Agung Tentang Illegal Logging (Perkarano.761 K/Pid.Sus/2007).pada
skripsi ini membahas mengenai pandangan mengenai hukum pidana islam terhadap
salah satu kasasi mahkamah mengenai tindak pidana Illegal Logging serta pada
skripsi ini membahas mengenai sanksi bagi pelaku tindak pidana Illegal Logging
menurut hukum islam.dalam skripsi penulis terdapat perbedaan yaitu penelitian yang
di lakukan penulis membahas mengenai penerapan hukum pidana materil dan juga
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Sholekha Prabawati pada skripsinya Peranan Dinas Kehutanan Dalam


Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging (Studi Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Wonogiri), Di dalam jurnal skripsi ini di jelaskan tentang
pengaturan sanksi bagi pelaku tindak pidana Illegal logging dikawasan hutan
diwonogiri dan juga menjelaskan tentang hambatan dan upaya Dinas kehutanan
wonogiri menanggulangi tindak pidana illegal logging, Penelitian ini memiliki
kesamaan dengan penelitian yang akan di lakukan oleh penyusun lakukan yakni
mengenai tindak pidana Illegal Logging adapun hal yang membedakan adalah dalam
7

penelitian penyusun membahas mengenai hukum pidana materil dan pertimbangan


hakim dalam menjatuhkan putusan.

Muhammad Zubair Husain pada skripsinya Pembuktian Tindak Pidana


Penebangan Liar (Illegal Logging) Oleh Penuntut Umum (Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Jeneponto ).Dalam skripsi ini membahas dan menjelaskan mengenai tindak
pidana Illegal Logging yaitu mengenai pelaksanaan hukum acara tentang pembuktian
tindak pidana penebangan liar serta pandangan hukum islam terhadap hukum
pembuktian dan tindak pidana penebangan liar.

dari beberapa literatur yang di temukan oleh penulis, belum ada yang
membahas tentang analisis terhadap Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana
Illeggal Logging Di Kawasan Konservasi Hutan Barru (Studi Kasus Putusan Putusan
Nomor : 40/Pid.Sus/2017/PN Bar Tahun 2017).

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

A. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dalam perkara tindak


pidana illegal logging di kawasan konservasi hutan Barru dalam Putusan
Nomor : 40/Pid.sus/2017/PN Bar tahun 2017.
B. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap tindak pidana illegal logging di kawasan konservasi hutan
Barru dalam Putusan Nomor :40/Pid.sus/2017/PN Bar tahun 2017.

2. Kegunaan Penelitian
8

A. Diharapkan dapat memberi masukan yang berguna kepada pemerintah


setempat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan Illegal
Logging di kawasan hutan.
B. Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah kepustakaan ilmu
pengetahuan dan menjadi bahan penelitian hukum pada umumnya dan
dalam bidang hukum pidana pada khususnya.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian pidana dan tindak pidana

1.Pidana dan Jenis-jenis Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang ada kalanya disebut dengan istilah
hukum. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukum, karena hukum sudah lazim
terjemahan dari Recht. Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan
yang sengaja di jatuhkan / diberikan oleh Negara kepada seseorang atau beberapa
orang sebagai akibat hukum (Sanksi) baginya atas perbuatan yang telah melanggar
larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
sebagai tindak pidana (stafbar feit).15

Doktrin membedakan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Mr. J.M
van Bemmelem menjelaskan kedua hal itu sebagai berikut. Hukum pidana materil
terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat
diterapkan terhadap perbuatan itu dan pidana yang diancam terhadap perbuatan itu.
Hukum pidana formil cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan
menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.16

Mencantumkan Pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana (strafbaar feit:
tindak pidana), disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka

15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 24-25.
16
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h 2.
10

membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang
yang berniat untuk melanggar hukum pidana.17

Berdasarkan buku kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai induk atau
sumber utama bagi hukum pidana telah membagi jenis-jenis pidana dalam pasal 10
KUHP, pidana dibedakan menjadi 2 kelompok antara pidana pokok dengan pidana
tambahan.

2.Jenis-jenis pidana pokok

1) Pidana Mati

Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling controversial di
Indonesia dan mendapat sorotan seluruh kalangan masyarakat setempat maupun
masyarakat dunia. Berbagai macam pendapat yang pro dan kontra terhadap pidana
mati tersebut.

Berdasarkan pada Pasal 69 KUHP maupun berdasarkan hak yang tertinggi


bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Oleh karena pidana ini berupa
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya
berada di tangan Tuhan. Oleh karena itu sejak dulu sampai sekarang menimbulkan
pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana
mati itu sendiri.18Sebuah hukuman mati dilakukan berdasarkan penetapan Presiden
Nomor 2 tahun 1964, juga tercatat di dalam lembaran negara 1964 nomor 38.

17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h. 25.
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h. 29.
11

Penetapan ini kemudian diundangkan 27 April 1964 melalui UU No 2/Pnps/1964 dan


ditetapkan jadi Undang-Undang dengan UU Nomor 5 tahun 1969.

2) Pidana Penjara

Menurut Sudarto, pidana pencabutan kemerdekaan lazim disebut pidana


penjara. Pidana penjara bukan pidana yang mencabut semua kemerdekaan seorang
terpidana, melainkan hanya mencabut kemerdekaan bidang tertentu (misalnya
kemerdekaan bergerak dan bersosialisasi dengan anggota masyarakat umum) dan
pembatasan kemerdekaan (misalnya pembatasan dalam berkomunikasi).19Pada Pasal
10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana penjara
dan pidana kurungan. Dalam pelaksanaannya terpidana di tempatkan pada suatu
Lembaga Permasyarakatan dan wajib tunduk, menaati dan menjalankan semua
peraturan dan tata tertib yang berlaku.

Dalam Pasal 12 KUHP diatur mengenai lamanya ancaman atau penjatuhan pidana
penjara, yaitu :

a) Pidana penjara lamanya seumur hidup atau selama waktu tertentu.

b) Pidana penjara selama waktu tertentu sekurang-kurangnya satu hari dan


paling lama lima belas tahun berturut-turut.

c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya boleh dipilih
Hakiman antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana
penjara selama waktu tertentu.

19
Wiwik Utami Widodo. Hukum Pidana & Penologi (Yogyakarta:Aswaja Pressindo.
2014), h.26-27.
12

d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua
puluh tahun.20

3) Pidana Kurungan

Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara
lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya tempat tidur, seliut, dan
lain-lain.21

Dalam beberapa hal pidana kurungan adalah sama dengan pidana penjara, yaitu
sebagai berikut:

a) Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak.

b) Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan


tidak mengenal minimum khusus. Maksimum umum pidana penjara 15
tahun yang karena alasan-alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi
maksimum 20 tahun dan. Pidana kurungan 1 tahun yang dapat
diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum umur pidana penjara
maupun pidana kurungan sama 1 hari. Sementara itu, maksimum khusus
disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri,
yang tidak sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari pertimbangan
berat ringannya tindak pidana yang bersangkutan.

c) Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk


menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan
lebih ringan daripada narapidana penjara.

20
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.6.
21
Laden Marpaung, , Asas Teori Praktik Hukum Pidana(Surabaya: Pustaka
Karya,2002), h 109.
13

d) Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana


kurungan walaupun ada sedikit perbedaan, yaitu harus dipisah (Pasal 28
KUHP).

e) Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak
ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan
tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan
mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan
terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Akan tetapi, apabila pada saat putusan hakim dibacakan, terpidana kurungan
maupun penjara sudah berada dalam tahanan sementara sehingga putusan itu mulai
berlaku (dijalankan) pada hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkarcht van gewijsde zaak).22


4)Pidana Denda.

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diacamkan


terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau komulatif. Jumlah yang
dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh lima sen,
sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan.

Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP apabila denda tidak dibayar harus diganti
dengan pidana kurungan, yang menurut ayat (3) lamanya adalah minimal satu hari
dan maksimal enam bulan, menurut Pasal 30 ayat (4) KUHP, pengganti denda itu
diperhitungkan sebagai berikut :

a) Putusan denda setengah rupiah atau kurang lamanya ditetapkan satu hari.

22
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h.39
14

b) putusan denda yang lebih dari setengah rupiah ditetapkan kurungan bagi
tiap-tiap setengah rupiah dan kelebihannya tidak lebih dari satu hari
lamanya.

Hukuman denda tersebut boleh dibayarkan oleh siapa saja. Artinya, baik keluarga
ataupun kenalan dapat melunasinya23.

5) Pidana Tutupan.

Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui Undangundang


Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan, yang
dimaksud Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa dalam
mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan
pidana tutupan. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan
apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu, cara melakukan perbuatan itu atau
akibat dari perbuatan itu atau akibat adalah sedemikian rupa sehingga hakim
berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.24

a.Jenis-jenis pidana tambahan

1)Pidana Pencabutan Hak Tertentu

Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian
perdata (burgelijk daad) tidak diperkenankan pada Pasal 3 Kitab UndangUndang
Hukum Perdata. Undang-Undang hanya memberikan kepada negara wewenang
(melalui alat/lembaganya) melakukan pencabutan hak tertentu saja.

23
Laden Marpaung, , Asas Teori Praktik Hukum Pidana(Surabaya:Palito Media,2004),
h 109-110.
24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan.
15

Memberikan kekuasaan kepada Negara melalui alat atau lembaga Negara untuk
melakukan pencabutan hak-hak tertentu diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-
hak yang dapat dicabut tersebut adalah :

a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

b) Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/ TNI;

c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan


aturan-aturan umum;

d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,


hak menjadi wali, wali pengawas,pengampu atau pengampu pengawas
atas anak yang bukan anak sendiri;

e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau


pengampuan atas anak sendiri;

f) Hak menjalankan mata pencaharian.

Adapun sifat hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selamanya
akan tetapi dalam waktu sementara saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi
pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.25 2)Pidana Perampasan Barang
Tertentu.

Perampasan barang suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-barang


tertentu saja, tidak untuk semua barang. Maka yang diperkenankan untuk dirampas
adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk
melakukan kejahatan. Undang-undang tidak mengenal perampasan untuk semua
kekayaan.

25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h.44-45
16

Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan Hakim pidana, (Pasal 39
KUHP), yaitu:

a) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dari kejahatan atau


yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

b) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan


sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan
perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang.

c) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang


diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah
disita.26

3)Pidana Pengumuman Putusan Hakim

Pidana pengumuman putusan Hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya terdapat dalam Pasal : 128, 206, 361,
377, 395, 405.

Setiap putusan Hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum (Pasal 195 KUHAP, dulu Pasal 317 HIR). Bila tidak, putusan itu batal
demi hukum. Tetapi pengumuman putusan Hakim sebagai suatu pidana bukanlah
seperti yang disebutkan di atas. Pidana pengumuman putusan Hakim ini merupakan
suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dan pengadilan
pidana.

Dalam pidana pengumuman putusan Hakim ini, Hakim bebas menentukan perihal
cara melaksanakan pengumuman itu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat

26
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP(Yogyakarta:Sinar Grafika,2007), h.21.
17

kabar, plakat yang ditempelkan pada papan pengumuman, melalui media radio
maupun televisi, yang pembiayaannya dibebankan pada terpidana.27

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumukakann kepada khalayak ramai


(umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap
siterhukum. Biasanya ditentukan oleh Hakim dalam surat kabar yang mana, atau
beberapa kali, yang semuanya atas biaya siterhukum. Jadi, cara-cara menjalankan
“pengumuman putusan Hakim” dimuat dalam putusan (pasal 43 KUHP).28

2.Tindak pidana dan Unsur-unsurnya

Dalam KUHP tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai apa yang
sebenarnya dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit (tindak pidana)sehingga
timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud
strafbaarfeit.

Menurut Hazewinkel-Suringa merumuskan pengertian dari tindak pidana dimana


merupakan suatu perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak di dalam
suatu pergaulan hiduptertentudan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalamnya.29

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi dan barang siapa
melanggar tersebut.30

27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h.53-55.
28
Leden Marpaung, Asas teori praktik hukum pidana (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius,2001) h.112-113.
29
Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.178-179.
30
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1993), h 58.
18

a.Unsur-unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno pada hakikkatnya tiap-tiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-
unsur lahir, oleh karena perbuatan, yang ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian
dalam lahir.

Menurut Barda Nawawi Arief, 3 masalah pokok dari hukum pidana

(maksudnya hukum pidana materil ) terletak pada masalah yang saling terkait adalah:

1) Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana.

2) Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/


mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan itu.

3) Sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut.31


Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada
pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman
(diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan
itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Apakah In concref, orang
yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan
hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. 32

31
Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana Edisi Revisi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h.136.
32
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1993), h.57-58
19

B. Pengertian Hutan dan Ketentuan Illegal Logging

1. Pengertian Hutan

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan


forrest(Inggris). Forrest merupakan dataran rendah yang bergelombang,
dandapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti
pariwisata. Di dalam hukum tertentu Inggris kuno, forrest (hutan)
berartisuatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat
hidupbinatang buas dan burung-burung hutan.Menurut Dengler yang
diartikan dengan hutan adalah :Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada
lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan
sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi
oleh tumbuhan-tumbuhan/ pepohonan baru asalkann tumbuh pada tempat
yang cukup luas dan rapat (horizontal dan vertikal).

Ada 3 unsur yang terkandung dari defenisi hutan diatas, yaitu :

a. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal seperempathektare).

b. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna.

c. Unsur lingkungan, danid. Unsur penetapan pemerintah.

Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup


yangtidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan di
sinimenganut konsepsi hukum secara vertikal karena antara
lapangan(tanah), pohon, flora, dan fauna beserta lingkungannya merupakan
suatukesatuan yang utuh.Di dalam Pasal 47 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan ditentukan bahwa
perlindungan kawasan hutanmerupakan usaha untuk :
20

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil


hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-
daya alam, hama, serta penyakit dan,

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan


perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Di dalam Pasal 46 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41Tahun


1999 tentang Kehutanan ditentukan, bahwa:“tujuan perlindungan hutan,
kawasan hutan dan lingkungannya agarfungsi lindung, fungsi konservasi,
dan fungsi produksi tercapai.”Hukum kehutanan merupakan salah satu
bidang hukum yang berumu 137 tahun, yaitu sejak di undangkannya
Reglemen Hutan 1865. Istilahhukum kehutanan merupakan salah satu
bidang hukum Bozwezen Recht(Belanda) atau Forrest Law (Inggris)
Black menatakan bahwa Yang disebut Forrest Law (Hukum Kehutanan)
adalah : “The system of body of old law relating to the royal forrest”.
Artinyasuatu sistem atau tatanan hukum lama yang berhubungan dan
mengaturhutan-hutan kerajaan.Idris Sarong Al Mar menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan hukumkehutanan adalah : 27“serangkaian kaidah
atau norma (tidak tertulis) dan peraturan peraturan tertulis yang hidup dan
dipertahankan dalam hal-hal dankehutanan”.Hukum kehutanan tertulis
adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuatoleh lembaga berwenang
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan denganhutan dan kehutanan.
Hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut jugahukum adat mengenai
hutan adalah aturan-aturan hukum yang tidaktertulis. Timbul, tumbuh,
dan berkembang dalam masyarakat setempat.Jadi hal-hal yang diatur
dalam hukum kehutanan tidak tertulis adalah :
21

a). Hak membuka tanah di hutan.

b). Hak untuk menebang kayu.

c). Hak untuk memungut hasil hutan.

d). Hak untuk menggembalakan ternak, dan sebagainya.Di berbagai


daerah, hak-hak tersebut diatur oleh desa, dan dahului, hak hak adat itu
dikuasai oleh negara. Penggunaan hak-hak itu diatursedemikian rupa,
dan tidak boleh bertentangan dengan kepentinganbangsa dan negara.
Apabila negara menghedaki penguasaannya, hak hak rakyat atas hutan
tersebut harus mengalah demi kepentingan yanglebih besar. Penguasaan
negara ini semata-mata untuk mengatur danmerencanakan peruntukan
hutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Jenis-jenis Hutan

Dalam rangka memanfaatkan hutan bagi umat manusia maka para ahli
kehutana mengklasifikasikan hutan dalam berbagai macamhutan.
Mengklasifikasi sesuatu merupakan bagian penting suatu
prosesberpfkir.Adapun jenis-jenis hutan berdasarkan Undang-Undang
Nomor41 Tahun1999 tentang Kehutanan, yaitu:

1. Hutan berdasarkan statusnya, yaitu :

a. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.

b. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani

hak atas tanah.


22

c. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam


wilayahmasyarakat hukum adat.

2. Hutan berdasarkan fungsi pokoknya, yaitu:

a. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas


tertentu,yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragamantumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi


pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
untukmengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi,mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

c. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi


pokok memproduksi hasil hutan.

3. Ketentuan Hukum mengenai Illegal Logging

Pengertian illegal logging dalam Undang-undang Republik


IndonesiaNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak disebutkan
secara jelas,begitupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain.
Namunsecara terminologi dalam Kamus Kehutanan 31 definisi illegal
loggingdijelaskan secara terpisah. Illegal artinya suatu tindakan yang
dilakukansubjek hukum di luar ketentuan yang bersifat melawan hukum
dan/ataubertentangan dengan hukum perundang-undangan kehutanan,
Loggingadalah kegiatan pembalakan pohon dalam rangka pemungutan
hasilhutan. Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2001tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Illegal logging)
danPeredaran Hasil hutan ilegal di Kawasan Lauser dan Taman
23

NasionalTanjung Putting, istilah Illegal logging disinonimkan dengan


penebangankayu ilegal.

Sementara itu, menurut Sukardi, bahwa Illegal logging secara


harfiahyaitu menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian
yangbertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.

Defenisi lain dari Illegal logging adalah operasi/kegiatan


kehutananyang belum mendapat izin dan merusak. Forrest Watch
Indonesia (FWI),membagi penebangan liar (illegal logging) menjadi dua,
yaitu: Pertama,yang dilakukan oleh operator yang sah melanggar
ketentuan-ketentuandalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan
pencuri kayu, pohon pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak
mempunyai hal legalmenebang pohon.

Selanjutnya menurut Prasetyo, mengungkapkan ada 7 dimensi


darikegiatan illegal logging yaitu:

1. Perizinan, apabila ada kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada
izinnya atau izin yang telah kadaluarsa

2. Praktik, apabila pada praktiknya tidak menerapkan praktik logging yang


sesuai peraturan

3. Lokasi, apabila dilakukan di luar lokasi izin, menebang dikawasan


konservasi/lindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan

4. Produk kayu apabila kayunya sembaran jenis (dilindungi), tidak ada batas
diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal
perusahaan

5. Dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu


24

6. Melakukan perbuatan melanggar hukum bidang kehutanan, dan

7. Penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik
kayu atau kayu diselundupkan.

Namun esensi dari illegal logging adalah perusakan hutan yang


akanberdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupunsosial
budaya. Oleh karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaansecara
komperhensif, maka illegal logging mempunyai potensi merusakhutan yang
kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.

Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkandalam


UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka
14 yaitu bahwa:

“Perusakan lingkungan hidup adalah suatu tindakan yang menimbulkan


perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum kaitannyadengan


unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapatdikelompokkan ke
dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu :

1. Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP).

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalamkejahatan illegal logging


berangkat dari pemikiran tentang konsepperizinan dalam sistem
pengeloalaan hutan yang mengandung fungsipengendalian dan pengawasan
terhadap hutan untuk tetap menjaminkelestarian fungsi hutan. Illegal
logging pada hakekatnya merupakankegiatan yang menyalahi ketentuan
perizinan yang ada baik tidak memilikiizin secara resmi maupun yang
25

memiliki izin namun melanggar dariketentuan yang ada dalam perizinan itu
seperti over atau penebangan diluar areal konsesi yang dimiliki.

2. Pencurian (Pasal 362 KUHP)

Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan


darikegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa
kayutersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang
mangaturtentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa
kayu,sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu
berartikegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam
arealhutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

3. Penyelundupan

Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang


secarakhusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam
KUHPyang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun
belummengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan
penyelundupansering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh
karena memilikipersamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik
orang lain.Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan
kayu(peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan
illegallogging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.

Namun demikian, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41


Tahun1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau
mengangkuthasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat
diinterpretasikansebagaisuatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi
ketentuantersebut tidak jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut.
26

Apakahpengangkut/sopir/nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk


tidakmenimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur
tentangpenyelundupan ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undanga
ntentang ketentuan pidana kehutanan.

4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP)

Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasanPasal


263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinyaatau
membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan sepertiaslinya.
Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal,suatu
perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakaisebagai suatu
keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidanaterhadap pemalsuan
surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjarapaling lama 6 tahun, dan
Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik-praktik kejahatan illegal
logging, salah satumodus operandi yang sering digunakan oleh pelaku
dalan melakukankegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan(SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,
danketerangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur
secarategas dalam Undang-undang kehutanan.

5. Penggelapan (pasal 372 – 377KUHP)

Kejahatan illegal logging antara lain : seperti over cutting


yaitupenebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang
melebihitarget kota yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan
sistemterbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang
pilih,mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil
darijumlah yang sebenarnya.
27

6. Penadahan (Pasal 480 KUHP)

Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutanlain


dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolonganjahat.
Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480KUHP).
Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo1, bahwa perbuatan itudibagi
menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang diketahuiatau
patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukaratau
menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasilkejahatan.
Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu


illegalbaik di dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayuhasil
illegal logging yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjualmaupun
pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.Terhadap kebijakan formulasi tindak pidana dibidang
kehutananberdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999tentang Kehutanan, dapat dikemukakan beberapa catatan
sebagai berikut:

- Kebijakan kriminalisasi dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor41


Tahun 1999 tentang Kehutanan tampaknya tidak terlepas dari
tujuandibuatnya undang-undang yakni penyelenggaraan kehutanan
ditujukanuntuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan
danberkelanjutan, oleh karena itu semua perumusan delik dalam undang
undang Kehutanan ini terfokus pada segala kegiatan atau perbuatan
yangmenimbulkan kerusakan hutan.
28

- Perumusan Tindak Pidana Illegal logging dalam Undang-undangRepublik


Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78selalu diawali
dengan kata-kata “Barangsiapa” yang menunjuk padapengertian “orang”.
Namun dalam pasal 78 ayat (14) ditegaskan bahwa“Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2)dan ayat (3)
apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha,
tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadappengurusnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakanpidana sesuai dengan
ancaman pidana masing-masing ditambah dengan1/3 (sepertiga) dari
pidana yang dijatuhkan” Dengan demikian dapatmenunjukkan bahwa
orang dan korporasi (badan hukum atau badanusaha) dapat menjadi subjek
Tindak Pidana illegal logging dan dapatdipertanggungjawabkan.

- Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi (badan hukum atau
badan usaha, maka menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 78 ayat (14) pertanggung jawaban
pidana (penuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai
dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga)
dari pidana yang dijatuhkan. Masalah kualifikasi Tindak Pidana,

- Undang-undang Kehutanan ini menyebutkan/menegaskan kualifikasi tindak


pidana yakni dengan ”kejahatan” dan ”pelanggaran”

- Kejahatan yakni Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat


(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10)
dan ayat (11)

- Pelanggaran adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan
ayat (12)Masalah Perumusan sanksi Pidana,
29

- UU No. 41 tahun 1999 merumuskan adanya 2 (dua) jenis sanksi yang dapat
dikenakan kepada pelaku yaitu :

1. Sanksi pidana

Jenis sanksi pidana yang digunakan adalah pidana pokok berupa :


pidanapenjara dan pidana denda serta pidana tambahan berupa perampasan
hasil kejahatan dan alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan.

· Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau badan hukum
atau badan usaha (korporasi) dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 78 ditambah dengan 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan, dan berdasar pasal 80 kepada
penanggung jawab perbuatan diwajibkan pula untuk membayar ganti rugi
sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada
negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan dan tindakan lain
yang diperlukan.

2. Sanksi Administratif

· Sanksi administratif dikenakan kepada pemegang izin usaha


pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang melanggar
ketentuan pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 78.

Sanksi Administratif yang dikenakan antara lain berupa denda


pencabutan, penghentian kegiatan dan atau pengurangan areal. Sanksi
pidana dalam undang-undang ini dirumuskan secara kumulatif, dimana
pidana penjara dikumulasikan dengan pidana denda. Hal ini dapat
menimbulkan masalah karena perumusan bersifat imperatif kumulatif.
30

Sanksi pidana dirumuskan secara kumulatif bersifat imperatif kaku


yakni pidana pokok berupa pidana penjara dan denda yang cukup besar
serta pidana tambahan berupa dari hasil kejahatan dan pelanggaran danatau
alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran. Dirampas untuk negara. Hal ini
menimbulkan kekawatiran tidak efektif dan menimbulkan masalah karena
ada ketentuan bahwa apabila denda tidak dibayar dikenakan pidana
kurungan pengganti. Ini berarti berlaku ketentuan umum dalam KUHP
(Pasal 30) bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam)
bulan atau dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada
pemberatan (recidive/concursus).

Dengan demikian kemungkinan besar ancaman pidana denda


yangbesar itu tidak akan efektif, karena kalau tidak dibayar paling-paling
hanya terkena pidana kurungan pengganti 6 (enam) bulan atau 8 (delapan)
bulan.

Terutama adalah terhadap pelaku tindak pidana kehutanan


yangdilakukan oleh korporasi meskipun pasal 78 ayat (14) menyatakan
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh dan atau atas nama badan
hukum atau badan usaha (korporasi), tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama,
dengan adanya pidana kurungan pengganti terhadap denda tinggi yang
tidak dibayar maka kurungan tersebut dapat dikenakan kepada pengurusnya
Pasal 78 ayat (14) tergantung pada bentuk badan usaha perseroan terbatas,
perseroan komanditer, firma, koperasi dan sejenisnya. Namun sayangnya
tidak ada perbedaan jumlah minimal/maksimal denda untuk perorangan
dan untuk korporasi. Bagi terpidana pidana kurungan pengganti denda itu
mungkin tidak mempunyai pengaruh karena sekiranya terpidana membayar
31

denda, ia pun tetap menjalani pidana penjara yang dijatuhkan secara


kumulasi.

C. Hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Hakim

Hakim dalam memimpin sidang harus tegas dan berwibawa, tapi cukup
ramah dan berbudi pekerti luhur . Segala sesuatu yang terjadi di persidangan dihadapi
dengan tenang dan sabar. Di dalam persidangan Hakim sebelum memeriksa dan
mengadili perkara terlebih dahulu mempelajari, meneliti saksi-saksi, berkas
pemeriksaan pendahuluan dan soal penahanan secara teliti, karena hal itu menyangkut
hak asasi manusia, hak asasi tertuduh.

Merupakan pertanggungjawaban Hakim mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar


putusan itu terhadap masyarakat dan negara di dalam kedudukannya sebagai alat
perlengkapan negara, yang dibuat dengan jalan menyusun pertimbangan putusan
tersebut.

Ketentuan menenai pertimbangan Hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan: “Pertimbangan disusun
secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh
dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan kesalahan
terdakwa”.

Beradarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan wakil ketua Pengadilan Negeri
Malili mengatakan yang menjadi pertimbangan-pertimbangan hakim itu harus
merupakan suatu keseluruhan yang lengkap, tersusun satu sama lainnya mempunyai
hubungan yang logis tidak ada pertentangan satu sama lain. Pertimbangan putusan itu
harus memberi gambaran, bahwa Hakim dalam mempertimbangkan sesuai dengan
penyusunan yang dilakukan dalam urutan tertentu,yang sebaiknya diikut terdiri dari
32

pertimbangan yuridis dan fakta yang ada dalam persidangan, dengan secara singkat
isi tiap barang bukti hendaknya di rumuskan dalam pertimbangan.

Dalam menjatuhkan pidana, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana baru, dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan pidana

Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Kesalahan pembuat tindak pidana;

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

3. Cara melakukan tindak pidana

4. Sikap batin pembuat tindak pidana.

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana.

6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

7. Pengaruh pidana terhadap masa depan tindak pidana;

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

9. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan;

10. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Hakim merupakan benteng terakhir keadilan sering kali dalam menlaksanakan


kewajibannya untuk menegakkan nilai-nilai keadilan tidak lepas dari problematika
untuk meramu dua dunia yang secara diametral berbeda. merupakan pekerjaan yang
cukup berat karena menentukan kehidupan seseorang untuk memperoleh kebebasan
ataukah hukuman. Jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan maka akan
berakibat fatal.
33

Hakim dalam memimpin sidang harus tegas dan berwibawa, tapi cukup
ramah dan berbudi pekerti luhur . Segala sesuatu yang terjadi di persidangan
dihadapi dengan tenang dan sabar. Di dalam persidangan Hakim sebelum
memeriksa dan mengadili perkara terlebih dahulu mempelajari, meneliti saksi-
saksi, berkas pemeriksaan pendahuluan dan soal penahanan secara teliti, karena
hal itu menyangkut hak asasi manusia, hak asasi tertuduh.

Merupakan pertanggungjawaban Hakim mengenai alasan-alasan yang menjadi


dasar putusan itu terhadap masyarakat dan negara di dalam kedudukannya sebagai
alat perlengkapan negara, yang dibuat dengan jalan menyusun pertimbangan
putusan tersebut.

Ketentuan menenai pertimbangan Hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan: “Pertimbangan disusun
secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan
kesalahan terdakwa”.

Beradarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan wakil ketua Pengadilan


Negeri Malili mengatakan yang menjadi pertimbangan-pertimbangan hakim itu
harus merupakan suatu keseluruhan yang lengkap, tersusun satu sama lainnya
mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertentangan satu sama lain.
Pertimbangan putusan itu harus memberi gambaran, bahwa Hakim dalam
mempertimbangkan sesuai dengan penyusunan yang dilakukan dalam urutan
tertentu,yang sebaiknya diikut terdiri daripertimbangan yuridis dan fakta yang ada
dalam persidangan, dengan secara singkat isi tiap barang bukti hendaknya di
rumuskan dalam pertimbangan.

Dalam menjatuhkan pidana, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana baru, dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan


pidana
34

Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal berikut:26

11. Kesalahan pembuat tindak pidana;

12. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

13. Cara melakukan tindak pidana

14. Sikap batin pembuat tindak pidana.

15. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana.

16. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

17. pidana terhadap masa depan tindak pidana;

18. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

19. Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan;

20. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Pembuktian Dan Tindak


Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging).

1. Pembuktian dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam ajaran Islam apabila mengambil suatu keputusan harus


berdasarkan oleh pedoman umat Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist, begitupun
halnya dengan pembuktian dalam pandangan hukum Islam. Alat bukti yang
sangat berpengaruh pada proses pembuktian dalam hukum Islam yaitu petunjuk
dan keterangan saksi untuk mengungkap suatu perkara, contohnya pada perkara
zina atau perkara cerai dengan alasan zina.

Subtansi penyelesaian perkara cerai dengan alasan zina dalam ketentuan ini
adalah terletak pada pada peoses pembuktian. Pembuktian tersebut dimaksudkan
apakah pemohon atau penggugat mampu membuktikan bahwa termohon atau
tergugat benar-benar telah berzina sebagaimana yang dituduhkan. Pembuktian

26
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (Jakarta: Sinar Grafika,2008), h.91.
35

bahwa zina benar-benar terjadi bukan sesuatu yang mudah atau gampang. Dalam
Al-Qur’an surah An-Nur ayat 427

 
  
 
 
  
  
   
 

Terjemahnya : ” Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik


(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik.”28

Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang


suci, akil balig dan muslimah.

Dari penjelasan di atas disebutkan bahwa seseorang yang menuduh


perempuan telah berzina harus mendatangkan empat orang saksi untuk
menguatkan tuduhan tersebut. Namun apabila ia tidak mampu mendatangkan
saksi, maka ia harus didera sebanyak delapan puluh kali. Saksi yang didatangkan
pun harus menyaksikan secara langsung peroses persinahan itu. Para saksi harus
menemukan dan memergoki sepasang laki-laki dan perempuan itu sedang

27
Hadi Dg Mapuna, Problematika Pelaksanaan Hukum Acara Peradilan
Agama (Makassar: CV. Kencana, 2003) h 50

28
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tejemahnya (Semarang: PT. Toha Putra,
1989) h 543
36

berhubungan kelamin atau catching a couple in flagrante delicto. Para saksi tidak
boleh hanya berdasarkan asumsi atau konklusi.29

Selain itu juga, maksud dari ayat di atas ialah mengingatkan tentang
keburukan serta sanksi hukum terhadap mereka yang menuduh dan mencemarkan
nama baik seorang wanita terhormat. Berdasar dari kalimat “mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi” mengandung makna yang berarti pria yang
menyaksikan kebenaran tuduhannya di hadapan pengadilan.12 Untuk itu dalam
pandangan hukum Islam seseorang yang dinyatakan bersalah dan melakukan
pelanggaran hukum maka diwajibkan agar dapat mendatangkan empat orang saksi
guna untuk memberikan keterangan mengenai kesaksiannya dan dipertimbangkan
dari keterangan keempat saksi tersebut agar seseorang dapat dinyatakan bersalah
atau tidak.

2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Penebangan


Liar (Illegal Logging).
Dalam pandangan Islam istilah penebangan liar secara spesifik mungkin
tidak akan kita dapat, akan tetapi dalam pandangan Islam hanya menjelaskan
secara garis besar tentang lingkungan serta larangan merusak lingkungan dan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pengrusakan lingkungan oleh manusia.
Seperti yang telah dijelaskan didalam Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (07) ayat 56
dan surah Ar-Ruum (30) ayat 41 :

  


  
  
  
 
 

29
Hadi Dg Mapuna, Op.Cit, h. 51
37

Terjemahannya :”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,


sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat
Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”30

Sikap kaum musyrikin yang diuraikan ayat ke ayat dalam Al-Qur’an, yang
intinya adalah mempersekutukan Allah, dan mengabaikan tuntunan-tuntunan
agamanya, berdampak buruk terhadap diri mereka, masyarakat dan lingkungan.
Ini dijelaskan oleh ayat di atas dengan mengatakan : “telah nampak kerusakan di
darat” seperti kekeringan, paceklik, hilangnya rasa aman, dan “di laut” seperti
ketertenggelaman, kekurangan hasil laut dan sungai, “disebabkan karena
perbuatan tangan manusia” yang durhaka, “sehingga akibatnya Allah
menciptakan” yakni merasakan sedikit “kepada mereka sebagian dari” akibat
“perbuatan” dosa dan pelanggaran “mereka, agar mereka kembali” ke jalan yang
benar.31

Berdasarkan ayat tersebut di atas dengan judul penulisan skripsi ini, penulis
menafsirkan bahwa penebangan liar (Illegal Logging) merupakan suatu perbuatan
yang merusak alam, seperti yang diuraikan sebelumnya berdasarkan terjemahan
surah Ar-Ruum (30) ayat 41 tentang kerusakan yang terjadi di darat yang
disebabkan karena tangan manusia yang mengakibatkan kekeringan, paceklik, dan
hilangnya rasa aman. Akibat dari penebangan liar hutan (Illegal Logging) maka
kekeringan dan paceklik akan melanda alam. Hutan yang tersisa sudah tidak
mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam curah yang besar, dan pada
akhirnya banjir menyerang pemukiman penduduk. Para penebang liar hidup di
tempat yang mewah, sedangkan masyarakat yang hidup di daerah dekat hutan dan
tidak melakukan Illegal Logging hidup miskin dan menjadi korban atas perbuatan

30
Departemen Agama RI, Op.Cit, h. 221
31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,(Volume 11) (Jakarta: Lentera Hati,
2002), h. 76
38

jahat para penebang liar. Hal ini merupakan ketidakadilan sosial yang sangat
menyakitkan masyarakat.32

Kalau merujuk kepada Al-Qur’an, ditemukan sekian banyak ayat yang


berbicara tentang aneka kerusakan dan kedurhakaan yang dikemukakan dalam
konteks uraian tentang fasad, antara lain:

   


  
 
    
 

Terjemahannya :”Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi


untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai al-fasad” (QS. Al-Baqarah (2): 205).

Ayat di atas menyebutkan darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu.
Ini dapat berarti daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, misalnya dengan
terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu, dan dapat juga
berarti bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan,
ketidakseimbangan serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar, sehingga ikan
mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau
panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Inilah yang
mengancam, sementara ulama kontemporer memahami ayat ini sebagai isyarat
tentang kerusakan lingkungan. Bahwa ayat di atas tidak menyebut udara, boleh
jadi karena yang ditekankan di sini adalah apa yang nampak saja., sebagaimana
makna kata zhahara yang telah disinggung di atas apalagi ketika turunnya ayat

32
Ibid, h. 77
39

ini, pengetahuan manusia belum menjangkau angkasa, lebih-lebih tentang


polusi.33

Dari penjelasan kedua penjelasan ayat tersebut maka dapat kita simpulkan
bahwa di dalam Islam juga melarang manusia merusak lingkungan karena dapat
menimbulkan bencana terutama apabila manusia merusak hutan, karena telah kita
pahami bahwa keberadaan lingkungan dalam hal ini hutan, tidak hanya dapat
dilihat dari sisi ekonomis saja untuk kehidupan manusia akan tetapi hutan juga
sebagai tempat tinggal berbagai macam mahluk hidup, binatang, dan tumbuhan
serta dari sisi kesehatan sebagai paru-paru dunia, senjata ampuh bagi “Global
Warming” serta banyak manfaat lain. Maka dari itu dijanjikan bahwa manusia
yang berbuat baik kepada lingkungan itu dekat dengan Allah SWT.

33
Ibid

Anda mungkin juga menyukai