Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Berdasarkan penelitian WHO di seluruh dunia angka kematian bayi sebesar 10 juta jiwa
pertahun. Berdasarkan survei demografi kesehatan indonesia (SKDI) pada tahun 2012 angka
kematian bayi mencapai 32/ 1000 kelahiran hidup. Angka kematian yang tinggi terjadi pada
usia neonatus dan kematian janin dalam rahim (KJDR). Kematian janin dalam rahim (KJDR)
atau Intra Uterin Fetal Dead (IUFD) adalah kematian janin ketika berada dalam rahim yang
beratnya 500 gram atau lebih dan usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Lebih dari 50%
kasus, etiologi kematian janin dalam rahim tidak ditemukan atau belum diketahui
penyebabnya dengan pasti. infeksi HIV-AIDS. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan sebuah retrovirus yang memiliki genus lentivirus yang menginfeksi, merusak,
atau menggangu fungsi sel sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem
pertahanan tubuh manusia tersebut menjadi melemah. Penularan HIV dari ibu ke anak pada
umumnya terjadi pada saatpersalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada
ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%.
Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko
transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusuiLebih dari 90%
anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Penanganan yang diberikan pada pasien
dengan kematian janin dalam rahim dengan infeksi HIV. Penanganan pada kematian janin
dalam rahim dibagi menjadi fase pasif yang meliputi: Menunggu persalinan spontan dalam
waktu 2-4 minggu, pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu. Kemudian fase aktif yaitu:
Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan dilatasi atau kuretase,
untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin.
Untuk oksitosin diperlukan pembukaan serviks dengan pemasangan kateter foley intra uterus
selama 24 jam.
Karena menurut SKDI 2012 kejadian KJDR masih cukup tinggi. Di negara ASEAN angka
kematian bayi tertinggi masih di Indonesia, oleh sebab itu penulis ingin mengetahui lebih
dalam lagi mengenai kematian janin dalam rahim (KJDR). Baik dari faktor risiko, gejala
klinis, diagnosis serta penanganan pada KJDR.

1
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1. Definisi Kematian Janin Dalam Rahim


Kematian janin dalam rahim adalah kematian janin ketika masing-masing berada dalam
rahim yang beratnya 500 gram dan usia kehamilan 20 minggu atau lebih (Achadiat, 2004).
Kematian janin dalam rahim adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan
sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta
bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak bernafas atau tidak menunjukkan tanda-
tanda kehidupan, seperti denyut jantung, pulsasi tali pusat, atau kontraksi otot 2,4
Sedangkan menurut WHO, kematian janin adalah kematian janin pada waktu lahir dengan
berat badan >1000 gram. Dalam buku Ilmu Kebidanan, kematian janin dapat dibagi dalam 4
golongan yaitu :
1. Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh.
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28 minggu.
3. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late foetal death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di atas.

2.2. Etiologi
Lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin dalam rahim tidak ditemukan atau belum
diketahui penyebabnya dengan pasti. Beberapa penyebab yang bisa mengakibatkan kematian
janin dalam rahim, antara lain.
a. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta.
b. Preeklampsi dan eklampsia
c. Penyakit-penyakit kelainan darah.
d. Penyakit infeksi dan penyakit menular
e. Penyakit saluran kencing
f. Penyakit endokrin: diabetes melitus
g. Malnutrisi
2.3. Diagnosis
2.3.1. Anamnesis
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin sangat
berkurang.

2
b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau kehamilan
tidak seperti biasa.
c. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa sakit-sakit seperti
mau melahirkan.
2.3.2. Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada ibu yang
kurus.
2.3.3. Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba gerakan-gerakan
janin.
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala janin.
2.3.4. Auskultasi
Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar denyut jantung
janin (DJJ)
2.3.5. Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam rahim.
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematian Janin Dalam Rahim
2.4.1. Faktor Ibu
1. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan dari organ-organ tubuh
terutama organ reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat
mempengaruhi kehamilan yang tidak secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan janin
dalam rahim. Usia reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30 tahun. 3,5
Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi belum cukup matang, hal
ini disebabkan adanya kemunduran organ reproduksi secara umum 1,4,6
2. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap ancaman
mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada janin. Ibu hamil yang telah melahirkan
lebih dari 5 kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan seperti
hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat mengakibatkan kematian janin. 2,3,6
3. Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh karena itu,
setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.
a. Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3 bulan)

3
b. Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan).
c. Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9 bulan).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang wanita hamil penting
sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan
ditangani dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali selama kehamilan
dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam rahim berguna untuk mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim, hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri
dan terdengar atau tidaknya denyut jantung janin (Saifuddin, 2002).
4. Penyulit / Penyakit
a. Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi dalam jumlah besar
untuk pembuatan butir-butir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat besi. Jumlah ini
merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia dalam kehamilan
bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Selama
masih mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan turun dan bila persediaan ini
habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan keenam kehamilan, pada
waktu janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil
konsepsi salah satunya adalah kematian janin dalam rahim, pemeriksaan dan pengawasan Hb
dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli, dapat digolongkan sebagai berikut1,3,5, :
- Normal : 11 gr%
- Anemia ringan : 9-10 gr%
- Anemia sedang : 7-8 gr%
- Anemia berat : <7 gr%.
b. Pre-eklampsi dan eklampsi
Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika
semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai
usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka
aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin.6,8,11
c. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari
perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya darah secara
tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka terjadilah anoksemia
dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis, spasme hilang darah kembali
4
mengalir ke dalam intervilli, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh, mudah
pecah terjadinya hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Sehingga
aliran darah ke janin melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian janin. 2,5,6
d. Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciri-ciri kekurangan atau
tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam darah yang tinggi dan mempengaruhi
metabolisme tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
janin. Umumnya wanita penderita diabetes melarikan bayi yang besar (makrosomia).
Makrosomia dapat terjadi karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang
menghasilkan lebih banyak insulin untuk menanggulangi kadar gula yang tinggi. Glukosa
berubah menjadi lemak dan bayi menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia menimbulkan
masalah sewaktu melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir. 4.7.8
e. Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka antigen rhesus akan
membuat penerima darah membentuk antibodi antirhesus. Jika transfusi darah rhesus positif
yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada sel darah rhesus negatif
dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus iso-imunisasi. Hal ini dapat
terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi perlahan- lahan sesuai perkembangan kehamilan.
Dalam aliran darah, antibodi antihresus bertemu dengan sel darah merah rhesus positif
normal dan menyelimuti sehingga pecah melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk
dalam darah, dan sebagian dieklaurkan ke kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak
sel darah merah yang hancur maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati. 5,9
f. Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun keparahan
setiap infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung
dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena mengurangi oksigen darah
ke plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan organisme penyebab menembus
plasenta dan menginfeksi janin, sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero. 1,5,7
g. Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dan kematian janin
dalam rahim. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan. Kejadian ketuban
pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 mninggu,
kejadiannya sekitar 4%. Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia

5
luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Salah satu fungsi
selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam
rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar
kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan
kejadian kesakitan dan kematian ibu dan kematian janin dalam rahim. 5,6
h. Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus dengan kepala
pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada letak lintang dengan
ukuran panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan spontan. Bila
persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian janin. Bahu masuk ke
dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan bagian-bagian tubuh
lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit dalam rongga panggul. Dalam usaha
untuk mengeluarkan janin, segmen bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas
antara dua bagian ini makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi patologik
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin. 3,5,7,
2.4.2. Faktor Janin
1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak
kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting
terjadinya kematian janin dalam rahim, atau lahir mati. Bayi dengan kelainan kongenital,
umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi
kecil untuk masa kehamilannya. Dilihat dari bentuk morfologik, kelainan kongenital dapat
berbentuk suatu deformitas atau bentuk malformitas. Suatu kelainan kongenital yang
berbentuk deformitas secara anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya
yang akan tidak normal. Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab
mekanik atau pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital
malformitas, susunan anatomik maupun bentuknya akan berubah. Kelainan kongenital dapat
dikenali melalui pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin. 3,5
2. Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Kuman dari vagina naik
dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah dini mempunyai
peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi
walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan
pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi likuor yang septik, sehingga

6
terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman yang memasuki peredaran darahnya
dan menyebabkan septicemia. Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak
langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush.2,5
2.4.3. Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam cairan amnion,
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat
mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan
pada leher, sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia sampai
kematian janin dalam rahim.
1. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam keadaan tertentu terjadi
insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila
terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis, sehingga saat
ketuban pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian janin akibat
pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila pembukaan masih kecil karena
kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu. 3,6,7
2. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi peluntiran pembuluh darah
umblikalis, karena selei Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut
menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim. Gerakan
janin yang begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai. 5,8
3. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang besar kemungkinan dapat
terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi
lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat
menumbung, atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala janin
ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan
dari janin sehingga dapat menyebabkan kematian janin dalam rahim.6,7

2.5. Pemeriksaan Penunjang


2.5.1. Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin, seringkali tulang-tulang
letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak sering dijumpai overlapping cairan
ketuban berkurang.

7
2.5.2. Rontgen foto abdomen
1. Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling tumpang tindih
(overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal ini terjadi setelah bayi meninggal
beberapa hari dalam rahim.
2. Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting (hiperpleksi).
3. Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
4. Tampak udema di sekitar tulang kepala
2.5.3. Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen. 3,6
2.6. Penanganan Kematian Janin Dalam Rahim
2.6.1. Penanganan Pasif
1. Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu
2. Pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu
2.6.2. Penanganan Aktif
1. Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan dilatasi atau kuretase.
2. Untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi persalinan dengan
oksitosin. Untuk oksitosin diperlukan pembukaan serviks dengan pemasangan kateter foley
intra uterus selama 24 jam. 2,8

2.7 Kematian janin dalam rahim dengan infeksi AIDS

2.7.1 Definisi AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus yang memiliki genus
lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau menggangu fungsi sel sistem kekebalan tubuh
manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh manusia tersebut menjadi melemah.
Virus HIV menyebar melalui cairan tubuh dan memiliki cara khas dalam menginfeksi sistem
kekebalan tubuh manusia terutama sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) atau sel-T. HIV
menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+ dan makrofag
yangmerupakan sistem imunitas seluler tubuh. AIDS merupakan tahap infeksi yang terjadi
akibat menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. HIV adalah virus RNA
yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili Lentivirinae. Retrovirus mempunyai
kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan

8
dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Satu kali terinfeksi oleh retrovirus, maka
infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup.11,13

2.7.2 AIDS pada kehamilan


Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah sel CD4 pada awal kehamilan untuk
mempertahankan janin. Pada wanita yang tidak menderita HIV, presentase sel CD4 akan
meningkat kembali mulai trisemester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan. Sedangkan
pada wanita yang terinfeksi HIV penurunan tetap terjadi pada kehamilan dan setelah
melahirkan walaupun tidak bermakna secara statistik. Nemun penelitian dari European
Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih
besar, menunjukkan presentase penurunan sel CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan setelah
melahirkan tetap stabil. Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral
load) HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara
statistik tidak bermakna. Kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas penyakit menjadi
AIDS. Italian Seroconversion Study Group membandingkan wanita terinfeksi HIV dan
pernah hamil ternyata tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan
CD4 menjadi kurang dari 200.14,12
Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak
menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan
pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi HIV justru
meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin dan
kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi fisik ibu yang
lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih tinggi.Pada saat hamil,
sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat
di plasenta. Plasenta melindungi janin dariinfeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan,
infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga
terjadi penularan HIV dariibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi
pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak
mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan
15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV
sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusuiLebih dari 90% anak yang
terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat
dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun

9
kedua. Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik
2.8.1. Faktor Ibu

•Jumlah virus (viral load) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil
jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.

•Jumlah sel CD4

Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin
rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar Statusgizi selamahamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi

•Penyakit infeksi selama hamil

Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran reproduksi lainnya,
malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke
bayi.

•Gangguan pada payudara

Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting
payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI. 2.

2.8.2 Faktor Bayi

•Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem
kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.

•Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar. Adanya lukadi mulut bayi Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular
HIV ketika diberikan ASI.

10
. Faktor obstetrik

Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang
dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah:

•Jenis persalinan

Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar
(seksio sesaria).

•Lama persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan
darah dan lendir ibu.

• Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.

• Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

2.7.3 mekanisme penularan AIDS pada ibu ke bayi

Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan di
Eropa dan tertinggi di Afrika. Sebuah lembaga International telah mengembangkan standard
metode perhitungan rerata angka penularan secara vertical berdasarkan studi prenatal,
prosedur pemantauan, criteria diagnosis dan definisi kasus. Hal-hal tersebut lebih
mempengaruhi terjadinya penularan disbanding area geografi yang telah dilaporkan. Angka
penularan kemungkinan lebih mencerminkan faktor resiko dari ibu ke bayi pada beberapa
kelompok dan dapat berubah dengan waktu.

Dalam studi yang dilakukan baru baru ini, didapatkan adanya 4 faktor yang mempengaruhi
terjadinya kematian bayi dalam rahim , ialah 15.12.11:

2.7.4 Faktor virus

Karakteristik virus.

Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor utama yang
penting adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor antigen p24 secara konsisten
mempunyai hubungan terhadap meningkatnya penularan (meningkat 2-3 kali dibanding

11
wanita tidak hamil ). Beberapa studi berdasarkan data bayi yang terinfeksi dari ibunya
menunjukkan tingginya jumlah kuman (viral load) yang dihitung dengan teknik kultur
kuantitatif, dan menganalisa plasma RNA dengan polymerase chain reaction (PCR) atau
berdasarkan nomer kode DNA, semuanya berhubungan dengan tingginya penularan. Plasma
jumlah virus seorang ibu dengan HIV merupakan prediktor yang kuat sebagai sumber
penularan. Peningkatan jumlah penularan pada wanita dengan infeksi HIV primer muncul
ketika plasma jumlah virus yang aktif berada pada titik tertinggi (peak). Sedikitnya penularan
terjadi pada plasma HIV dengan viral load < 1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu
tersebut sedang atau belum mendapatkan ARV Zidovudine. Pada penelitian dengan
menggunakan 55 wanita dengan HIV yang mengkomsumsi Zidovudine dalam kehamilan, 33
diantaranya mendapatkan hasil yang baik dan dikatakan dapat membantu pencegahan hiv
dariibu kepada janinnya.

AntibodiNeutralizing

Tingginya kadar antibody neutralizing pada loop V3 menunjukkan hubungan menurunnya


resiko penularan, tapi tidak ada studi yang membandingkan dengan kelompok control.
Variabilitas ikatan antara peptide V3-loop dan antibodi V3, dimana ikatan yang kuat terhadap
antibody V3-loop akan bereaksi melawan epitop secara luas sebagai proteksi melawan
penularan. Studi tentang inmunisasi pasif HIV dapat menjelaskan mekanisme ini lebih
lanjut.3,7 Karakteristik penularan dari Human Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV1)
adalah kemahiran “berpura-pura” bersifat homogen. Yang terpenting adalah mengerti tentang
mekanisme potensial proteksi penularan secara selektif, memberikan informasi terhadap
perkembangan vaksin HIV-1 dan penggunaan mekanisme pertahanan kedepan dengan
regimen antibody monoclonal. Sejak antibody dari ibu melewati plasenta hingga masuk ke
aliran darah janin, penularan infeksi HIV perinatal memberikan kesempatan yang unik untuk
mempelajari efek profilaksis yang potensial dari an autologous neutralizing antibody (aNAB)
yang dijumpai pada kedua donor ibu dan bayinya. An autologous neutralizing antibody
(aNAB) ibu memiliki sifat pertahanan dan efek selektif pada uterus terutama pada 18 minggu
pertama masa kehamilan dan intrapartum, serta kedepan dapat menjadi kerangka pikiran
untuk pembuatan vaksin HIV dengan mengevaluasi antibody-mediator imun.

Infektivitas virus

Perbedaan secara biologi dari retrovirus menghantar perbedaan pada kemungkinan terjadinya
penularan. Human Immunodeficiency virus type 2 (HIV-2) jarang menyebabkan penularan

12
dari ibu ke bayinya, lebih sering HIV-1. Pada studi kecil mengatakan wanita dengan multi
patner lebih dari 3 kecenderungan untuk menularkan ke bayinya selam masa kehamilan lebih
besar dibanding wanita yang dengan satu pasangan terinfeksi HIV, ini terkait dengan potensi
tertular oleh karena peningkatanviral load pada vagina atau potensial jenis viral fetotropik
dapatan, hal tersebut merupakan informasi yang sangat sempit.Fenotipe, perbedaan strain
pada replikasi in vitro, selular tropism dan induksi sinsitium. Terdapat evidence bahwa strain
sinsitium inducing meningkatkan virulensi. Macrophagespecifik tropism telah diteliti pada
beberapa strain, belum diketahui secara pasti apakah lebih sering diketemukan pada sekresi
cairan genital, air susu ibu atau plasenta.

2.7.5 Faktor Bayi

Prematuritas

Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas terhadap infeksi
HIV. Sebagai contoh status HIV maternal menjembatani prematuritas kehamilan. Ryder dan
teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggaris bawahi tentang prematuritas sebsar 13%
pada wanita + HIV dan 3% pada kelompok control. Pengamatan tersebut tidak konsisten
pada Negara berkembang, bayi yang lahir premature lebih beresiko terinfeksi HIV dibanding
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.

Nutrisi Fetus

Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterine growth retandation (IUGR) dengan
perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Semua akan
menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan jumlah sel T yang rendah, respon
proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang terganggu, meningkatkan kecenderungan
terserang infeksi, dan menetap selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu.
Direkomendasikan untuk asupan vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang
ada baik pada ibu maupun bayinya.

Fungsi Pencernaan

Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam penularan HIV. Sejak
infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran, oleh karena terpapar
darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu ibu. Pada system

13
pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas enzyme pencernaan yang
rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari immunoglobulin A (Ig
A) yang merupakan system kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang masuk.
Pada infeksi sekunder akan terjadi diare, pertumbuhan yang terganggu, dan menunjukkan
prekembanganperjalanan penyakitnya.

Respon imun neonatus

Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki defisiensi fungsional,
belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami ketidak mampuan dalam
mengkopi agen mayor infeksi. Merupakan perkembangan immunologi termasuk dalam
menghadapi berbagai virus seperti cytomegalovirus, hepatitis B dan virus herpes simplek.
Ketiga infeksi tersebut bersifat kronik, menjadi karier dalam tubuh dan dapat menyebabkan
penyakit neonates yang fatal. Pada saat system kekebalan tubuh neonatus tidak matang,
menyebabkan system sel T tidakberfungsi dnegan baik terutama terhadap infeksi HIV,
peranan antibody dan system makrofag rendah. Sistem antibody pada janin bersifat dorman,
digantikan oleh system kekebalan tubuh dari Ig G ibu melalui transplasenta dan sekresi IgA
dari air susu ibu. Rendahnya kadar IgG dan IgA dari ibu dengan kehamilan cenderung
melahirkan premature danjuga antibody neutralizing yang rendah. Yang paling utama adalah
defek selT sehingga berpengaruh pada fungsi nya sebagai produksi sitokin, respon sel T
sitotoksik, lambatnya system penolakan terhadap se lasing dan tropism terhadap replikasi
virus intraselular. T-helper-1 (TH-1) berperan terhadap respon imun selular, bila terjadi
defisiensi akan terjadi pula defisiensi dari interferon (IFN-y). terjadi pula defisiensi respon
segala tipe sitotoksik termasuk CDS CTL. Oleh Luzuriaga pada tahun 1991 dikatakan
terdapat defisiensi CDS Tsel pada bayi yang terinfeksi HIV di 1 tahun pertama kehidupan. 11

2.7.6 Intra uteri fetal dead pada kehamilan dengan HIV

Pada penelitian dikatakan bahwa kejadian kematian janin dalam rahim sering dikaitkan
dengan HIV aids dalam masa kehamilan. Namun patofisiologi kematian janin dalam rahim
belum dapat dipastikan dan masih dalam suatu dugaan. Dikatakan terjadi resiko kematian
janin dalam rahim meningkat 3 kali lebih tinggi dalam infeksi Hiv aids. Pada penelitian
didapatkan 4 penyebab utama yang berpengaruh pada kematian bayi dalam janin pada
kehamilan dengan HIV . 13,15

14
1. Infeksi hiv meningkatkan resiko fetus terinfeksi
Mekanisme yang pasti dari kerusakan sistem imun pada infeksi HIV fase yang lebih
lanjut serta munculnya kembali HIV bebas belum diketahui secara jelas. Yang pasti
adalah penurunan populasi sel CD4 secara bertahap dan hilangnya fungsi sel-sel ini
sangat penting. Munculnya strain HIV yang lebih patogenik dan lebih cepat
bereplikasi pada inang merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan
sistem imun. Diketahui pula bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun
bila jumlah sel CD4 mencapai kurang dari 200/ L atau mungkin lebih cepat. Karena
sel-sel ini berfungsi mengontrol sel-sel yang terinfeksi virus (yang dapat menghambat
penglepasan lebih lanjut virus) dan juga berperan penting dalam pembersihan pada
tahap awal infeksi akut, maka dapat dikemukakan bahwa hilangnya aktivitas anti-HIV
sel CD8 mempunyai efek penting dalam penambahan jumlah virus. Kemungkian lain
adalah terjadinya mutasi virus sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik. Walaupun
sel CD8 berada dalam jumlah yang cukup, namun hal ini menjadi masalah dalam
mengontrol HIV karena menurunnya bantuan dari selsel CD4 yang menghasilkan
sitokin lebih sedikit seperti IL-2. Pada kehamilan dikatakan infeksi yang sering terjadi
yang berkaitan dengan HIV adalah akibat cytomegalo virus yang sangat berkaitan
dengan kematian bayi dalam rahim.
2. Perubahan fungsi plasenta
Infeksi voirus HIV secara langsung dapat menyebabkan kerusakan pada plasenta,
sehingga terjadi gangguan suplementasi transplasenta dari ibu terhadap janin yag akan
mendukung terjadinya fetal dead.
3. Timus disfungtion pada ibu
Kerusakan timus akan menyebabkan infeksi HIV akan menekan timosit melalui
infeksi pada sel-sel CD4+ dan CD8+ imatur serta kerusakan sel-sel epitelial timus
yang diperlukan untuk maturasi sel T. yang menyebabkan peningkatan sekresi
interliokin 4,6, dan tumor necrotic factor yang akan menyebabkan gangguang
pertumbuhan janin dalam ureri hingga terjadi KJDR
4. Timus disfungtion pada janin
Infeksi virus HIV juga menyebabkan terjadinya gangguan fungsi timus pada fetus,
sehingga terjadi fetal dead.15.18

15
BAB III

Laporan Kasus

3.1 Identitas pasien

Nama : NPS

Umur : 29 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Br. Kebek, Payangan, Gianyar

Status : Menikah

Agama : Hindu

Pendidikan : SMA

Jaminan : Umum

Nomer R.M :582625

Tanggal MRS : 11/11/2016

3.2 Anamnesis

Keluhan utama: Tidak merasakan gerak janin

3.2.1 Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan gerakan janin sudah tidak dirasakan sejak kemarin
(10/11/2016), kemudian pasien kontrol ke spesialis rahim, dikatakan bayi sudah meninggal.
Keesokan harinya (11/12/2016) pasien datang ke Rumah Sakit Arisanti untuk melakukan
terminasi/ mengakhiri kehamilan, kemudian saat pemeriksaan VCT didapatkan hasil (+).
Pasien sebelumnya tidak mengetahui bahwa dirinya menderita HIV. Keluhan lain seperti
nyeri perut hilang timbul (-), perdarahan pervaginam(-), nyeri kepala atau pandangan kabur (-
). Pasien rutin melakukan ANC atau periksa kehamilan di spesialis rahim dan bidan lebih dari
tiga kali selama kehamilan. HPHT: 16/02/2016, TP: 13/01/2017

16
3.2.2 Riwayat terdahulu

Pasien mengalami menstruasi pada usia 14 tahun dan teratur selama menstruasi dengan
siklus 28 hari, dan dikatakan berish selama 4-5 hari. Banyak pendarahan ± 60cc, pasien tidak
pernah mengalami keluhan saat menstruasi.

Riwayat persalinan

1. Anak I tahun 2007, aterem, tenaga kesehatan, PSPTB, normal, perempuan, 2800gr, 9
tahun.
2. Hamil ini

Riwayat kontrasepsi

Pasien menggunakan alat kontrasepsi IUD sejak 4 tahun yang lalu, kemudian berhenti sejak 1
tahun yang lalu.

Riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, gangguan ginjal, dan gangguan jantung disangkal
oleh pasien, riwayat oprasi juga disangkal oleh pasien.

3.2.3 Riwayat penyakit keluarga

Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit kronis seperti penyakit
jantung, penyakit ginjal, ataupun penyakit keturunan seperti asma kencing manis

3.2.4 Riwayat sosial ekonomi

Pasien kesaharianya merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami, dan
anaknya. Pendidikan terahir pasien merupakan tamatan SMA. Hubungan pasien dengan
lingkunganya dikatakan cukup baik, begitu pula dengan kebersihan lingkungan dikatakan
cukup bersih. Ekonomi dari keuarga dikatakan cukup, pasien tidak mengkonsumsi kopi,
rokok, ataupun minuman keras.

3.3 Pemeriksaan fisik

3.3.1 Vital Sign

Kesadaran : Composmentis Tekanan darah :120/70 mmHg

Kesan Umum : Baik Nadi : 86 x/menit

17
GCS : E4V5M6 Tempratue axila : 36 0C

3.3.2 Status general

Manat : anemis (-), ikterus (-), pupil (+) isokor

THT : Kesan tenang

Thorax : Cor, S1S2 tunggal reguler, murmur (-)

: Pulmo, Ves +/+, rh -/-, whz -/-

Ekstrimitas : Hangat

3.3.3 Status obsetri

Abdomen : TFU 28 cm, linea nigra (+), bekas luka oprasi (-)

Vagina : Perdarahan (-), pembukaan 1cm, eff 25%, ketuban (-), teraba kepala,
denomonator belum jelas, tidak teraba bagian kecil / tali pusat.

3.4 Pemeriksaan penunjang

Darah lengkap: USG: Janin/tunggal/IUFD/FHB(-), FM (-)

}
WBC: 6,5 (N) BPD 7,11 cm ~ 28W5D AVE: 23/01/2017

HGB: 10,6 (N) HC 26,9 cm ~ 29W0D EDD: 29W4D

HCT: 31,2 (L) AC 25,7cm ~ 29W6D EFW: 1493 gr

PLT: 293 (N) FL 5,87 cm ~ 30W3D

BT/CT : 2’30’’/11’24’’ plasenta fundus korpus posterior grade II

VCT (+) Reaktif

3.4 Diagnosis

G2P1001 31 minggu 0 hari T/KJDR + B24

3.5 Penanganan

 MRS + Konsul VCT

18
 Terminasi kehamilan dengan misoprostol 25mcq setiap 4 jam (intravagina)

3.6 Perjalanan perawatan

Tanggal Perkembangan
Waktu
11/11/2016 S: Evaluasi HIS adekuat, sakit perut hilang timbul (+), keluar air
22.45 Wita pervaginam(-), gerak anak (-)
O: status present: TD: 110/70 mmHg RR: 18 x/menit
Nadi: 80 x/menit t.ax: 36 0C
VAS: 4
Status obsetri: Abdomen : HIS (+)3-4x/10’~30’’-35’’, DJJ(-)
Vagina : PΦ 4 cm, eff 50%, ketuban (+), teraba
kepala, UUK kiri melintang, penurunan H I,
tidakteraba bagian kecil/tali pusat.
A: G2P1001 31 minggu 0 hari T/KJDR + B24, PK I
P: Monitoring patograf WHO

12/11/2016 S: pasien ingin mengedan, ketuban pecah, sakit perut hilang timbul (+),
00.40 Wita keluar air pervaginam(+), gerak anak (-)
O: status present: TD: 110/70 mmHg RR: 18 x/menit
Nadi: 82 x/menit t.ax: 36 0C
VAS: 6
Status obsetri: Abdomen : HIS (+)4-5x/10’~40’’-45’’, DJJ(-)
Vagina : PΦ lengkap, ketuban (-), teraba kepala,
UUK depan, penurunan H III+, tidakteraba bagian
kecil/tali pusat.
A: G2P1001 31 minggu 0 hari T/KJDR + B24, PK I
P: Pimpin persalinan

12/11/2016 Lahir bayi laki-laki, meninggal, 1500gr, laserasi grade I


00.50 S: Sakit perut (+)
O: Status obsetri: Abdomen: TFU sepusat, kontraksi (+) baik
Vagina : perdarahan (-), tali pusat (+)

19
A: G2P1101 post partum PK II
P: MAK III- Injeksi oksitosin 10 IU (IM)
- Peregangan tali pusat terkendali
- Masase fundus uteri
12/11/2016 Lahir plasenta kesan lengkap, hematome (-), kalsifikasi (-)
01.00 Wita S: Sakit perut (+)
O: status present: TD: 110/70 mmHg RR: 18 x/menit
Nadi: 82 x/menit t.ax: 36 0C
Status obsetri: Abdomen: TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+) baik
Vagina : perdarahan (-), Locea (+)
A: P1101 PSPTB hari ke 0
P: - Perawatan post partum
- IVFD RL 500cc + 20 IU oksitosin s/d 6 jam post partum
- Amoxicilin 3 x 500mg
- Paracetamol 3 x 500mg
- Natriumdiclofenat 2 x 50mg
- Metilergometrin 3 x 0,125mg
- Inbion 2 x 300mg
12/11/2016 Evaluasi 2 jam post partum
06.00 Wita S: mobilisasi (+), makan(+), minum(+) BAK(+)BAB(+)
O: status present: TD: 110/70 mmHg RR: 18 x/menit
Nadi: 82 x/menit t.ax: 36 0C
VAS: 2
Status obsetri: Abdomen: TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+) baik
Vagina : perdarahan (-), Locea (+)
A: P1101 PSPTB hari ke 0
P: - Perawatan post partum
- IVFD RL 500cc + 20 IU oksitosin s/d 6 jam post partum
- Amoxicilin 3 x 500mg
- Paracetamol 3 x 500mg
- Natriumdiclofenat 2 x 50mg
- Metilergometrin 3 x 0,125mg
- Inbion 2 x 300mg

20
- Cripsa 3 x 2,5 mg
S: mobilisasi (+), makan(+), minum(+) BAK(+)BAB(-)
O: status present: TD: 110/70 mmHg RR: 18 x/menit
Nadi: 82 x/menit t.ax: 36 0C
Status obsetri: Abdomen: TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+) baik
Vagina : perdarahan (-), Locea (+)
A: P1101 PSPTB hari ke 0
P: - Perawatan post partum
- IVFD RL 500cc + 20 IU oksitosin s/d 6 jam post partum
- Amoxicilin 3 x 500mg
- Paracetamol 3 x 500mg
- Natriumdiclofenat 2 x 50mg
- Metilergometrin 3 x 0,125mg
- Inbion 2 x 300mg
- Cripsa 3 x 2,5 mg
- Konsul VCT
- Boleh pulang sore

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan, 29 tahun, mengeluh tidak lagi merasakan gerakan janinnya, kemudian
pasien kontrol ke spesialis kandungan, dikatakan bayi sudah meninkkggal, saat pemeriksaan
VCT didapatkan hasil (+). Pasien sebelumnya tidak mengetahui bahwa dirinya menderita
HIV. Keluhan lain seperti nyeri perut hilang timbul (-), perdarahan pervaginam(-), nyeri
kepala atau pandangan kabur (-). Pasien rutin melakukan ANC atau periksa kehamilan di
spesialis kandungan dan bidan lebih dari tiga kali selama kehamilan. HPHT: 16/02/2016, TP:
13/01/2017

Dari anamnesis didapatkan faktor risiko yang dapat menyebabkan kematian janin dalam
rahim pada kasus adalah adanya infeksi pada pasien. Menurut kepustakaan di atas penyebab
terjadinya kematian janin dalam rahim salah satu faktornya adalah infeksi pada ibu,
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun keparahan
setiap infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung
dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena mengurangi oksigen darah
ke plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan organisme penyebab menembus
plasenta dan menginfeksi janin, sehingga dapat mengakibatkan kematian janin dalam rahim.
Sedangkan faktor risiko yang lain tidak ditemukan pada kasus seperti, umur, paritas, anemia,
kelainan letak, faktor risiko pada janin juga tidak ditemukan.
Penyakit infeksi yang dialami pada kasus adalah HIV-AIDS, dimana infeksi ini menyerang
kekebalan tubuh dari si ibu. Menurut kepustakaan di atas ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan ibu dengan HIV-AID mengalami kematian janin dalam rahim seperti faktor
ibu: Jumlah sel CD4, Penyakit infeksi selama hamil. Kemudian dari faktor obsetri jenis
persalinan, lam persalinan, ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan.

Pada beberapa kepustakaan dikatakan bahwa kejadian kematian janin dalam rahim sering
dikaitkan dengan HIV-AIDS dalam masa kehamilan. Namun patofisiologi kematian janin
dalam rahim belum dapat dipastikan dan masih dalam suatu dugaan. Dikatakan terjadi risiko
kematian janin dalam rahim meningkat 3 kali lebih tinggi dalam infeksi HIV-AIDS. Pada
penelitian didapatkan 4 penyebab utama yang berpengaruh pada kematian bayi dalam janin
pada kehamilan dengan HIV yaitu: infeksi hiv meningkatkan risiko fetus terinfeksi,
perubahan fungsi plasenta, timus disfungtion pada ibu, dan timus disfungtion pada janin.

22
Pada pemeriksaan fisik didapat didapat status present dalam batas normal, status general
dalam batas normal, dalam pemeriksaan obstetri didapatkan, abdomen: TFU 28 cm, linea
nigra (+), bekas luka oprasi (-), gerak janin (-), DJJ(-). Vagina: Perdarahan (-), pembukaan
1cm, eff 25%, ketuban (-), teraba kepala, denomonator belum jelas, tidak teraba bagian kecil
atau tali pusat.

Dari pemeriksaan fisik sesuai dengan kajian teori yang ada pada pasien dengan kematian
janin dalam rahim tidak akan ditemukan adanya gerakan janin serta detak jantung dari janin
itu sendiri.
Pemeriksaan penunjang laboratorium dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
didapatkan hasil WBC : 6,5 x 103/μL, HGB : 10,6 g/dL, HCT : 31,2%, PLT : 293 x 103/μL
Pemeriksaan penunjang imaging yaitu USG didapatkan hasil
USG : (TAS)
Janin/tunggal/IUFD/FHB(-), FM (-)

BPD 7,11 cm ~ 28W5D AVE: 23/01/2017

HC 26,9 cm ~ 29W0D EDD: 29W4D

AC 25,7cm ~ 29W6D EFW: 1493 gr

FL 5,87 cm ~ 30W3D

plasenta fundus korpus posterior grade II

VCT(+)

Hasil dari pemeriksaan sesuai dengan kepustakaan dimana pemeriksaaan dengan USG
akan didapat tidak adanya gerak janin dan denyut jantung janin.
Pada kasus dilakukan penata laksana terminasi kehamilan dengan misoprostol 25 mcq setiap
4 jam (intravagina), kemudian janin laki-laki, meninggal, 1500gram dengan laserasi grade I

Jika dilihat dari kepustakaan di atas, penanganan kematian janin dalam rahim yang digunakan
adalah dengan metode aktif, dimana diberikan induksi untuk melahirkan bayi dalam rahim.

23
BAB V
SIMPULAN

5.1 Simpulan

a. Pada kasus ini didapatkan pasien inisial NPS, umur 29th, dengan keluhan gerak

bayi yang sudah tidak dirasakan sejak 4 hari yang lalu, dengan riwayat kontrol

didapatkan dengan denyut jantung bayi tidak terdengar. Pada pemeriksaan

didapatkan vital sign dalam batas normal, pemeriksaan generalis dalam batas

normal. Pada pemeriksaan genekologi, tampak tinggi fundus utesi tidak sesuai

umur kehamilan, dengan DJJ (-), pemeriksaan penunjang dilakukan dan

didapatkan hasil darah lengap dalam batas normal, pemeriksaan VCT (+). Pasien

di diagnosis dengan G2P1001 31 minggu 0 hari T/KJDR + b24. Pasien diterapi

dengan insersi mesoprostol 25 mcq tiap 4 jam. Kemudian lahir bayi laki-laki,

meninggal, dengan berat badan lahir 1500gram, laserasi grade I

b. Kematian Janin dalam Rahim (KJDR) Kematian janin dalam kandungan adalah

kematian janin ketika masing-masing berada dalam rahim yang beratnya 500

gram dan usia kehamilan 20 minggu atau lebih.

c. Berdasarkan penelitian adanya ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya KJDR seperti faktor Ibu dan faktor janin.

d. Dalam buku Ilmu Kebidanan, kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan yaitu

1. Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh.


2. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28 minggu.
3. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late
foetal death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan
di atas.
e. Untuk membantu mengegakkan dugaan klinis . yaitu dengan : pemeriksaan USG

abdominal klinis.

24
f. Penatalaksanaan : KJDR berdasarkan kepustakaan dibagi menjadi 2. Penanganan

1. Pasif, Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu, pemeriksaan

kadar fibrinogen setiap minggu

2. Penanganan Aktif, dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Untuk

oksitosin diperlukan pembukaan serviks dengan pemasangan kateter foley

intra uterus selama 24 jam.

25

Anda mungkin juga menyukai