Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TINJAUAN PERAN AHLI GIZI DALAM IMPLEMENTASI FARMAKOLOGI


MEMBERIKAN ASUHAN GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DIET GINJAL

NURSIANNA PURBA

P01031218137

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MEDAN JURUSAN GIZI

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV

2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmakologi Ilmu yang mempelajari seluruh aspek obat, yaitu menyangkut
sifat-sifat kimia dan fisiknya, kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasibnya dalam organ
hidup.
Interaksi obat adalah situasi di mana suatu zat memengaruhi aktivitas obat,
yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang
tidak diinginkan atau direncanakan. Interaksi dapat terjadi antar-obat atau antara
obat dengan makanan serta obat-obatan herbal. Secara umum, interaksi obat
harus dihindari karena kemungkinan hasil yang buruk atau tidak terduga. Interaksi
obat tidak hanya terjadi antar obat. Namun juga dapat terjadi antar obat dengan
makanan. Banyak orang yang menganggap remah terhadap hal ini padahal, hal ini
sangat perlu diperhatikan. Ada obat-obat tertentu yang jika berinteraksi dengan
makanan, akan meningkatkan kinerja obat namun ada jugajenis obat yang jika
bereaksi dengan makanan tertentu dapat menurunkan kerja obat dalam tubuh,
bahkan dapat meningkatkan toksisitas bagi tubuh. Dalam dunia veteriner ataupun
peternakan, tentu ilmu farmakologi dan ilmu pakan hewan sangat berkaitan dan
penting karena kedua ilmu ini mempelajari hubungan antara makanan yang
dimakan dengan kesehatan tubuh yang diakibatkannya serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dan akan sangat berbahaya jika kedua bidang ilmu ini tidak
berjalan seimbang atau berat sebelah. Karena akan menetukan kelanjutan hidup
dari hewan tersebut. Oleh karena itu, sangat perlu diketahui dan dipahami dengan
benar hal tentang interaksi obat dengan makanan agar dapat terwujudkan
keserasian antara pakan dan kesehatan serta dapat meningkatkan kualitas hidup
hewan serta kesehatan masyarakat veteriner untuk kedepannya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu interaksi obat beserta mekanismenya?


2. Apa itu interaksi obat dengan makanan pada pasien penyakit Ginjal?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi interaksi obat dengan makanan pada
pasien penyakit Ginjal?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari interaksi obat beserta
mekanismenya.
2. Mengetahui dan memahani apa itu interaksi obat dengan makanan pada
pasien penyakit Ginjal.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Interaksi Obat


Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas
atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang
rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain
itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang
b. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi
idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa
penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit
pasien
c. Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual,
di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau
berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme
antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau
penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan
bersama-sama, pemberian kronik).
2.2 Mekanisme Interaksi Obat
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan
perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro
dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya
dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa
mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif
(efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A
= 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek
kombinasi A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B
= 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan
efek pada jaringan atau reseptor.
 Mekanisme interaksi obat:
1. Interaksi Farmakokinetika
Dapat terjadi pada berbagai tahap meliputi absorbsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi.
a. Absorbsi saluran pencernaan meliputi kecepatan dan jumlah.
Dipengaruhi oleh formulasi farmasetik termasuk bentuk sediaan,
pKa dan kelarutan obat dalam lemak disamping pH, flora bakteri,
dan aliran darah dalam organ pencernaan (meliputi usus besar,
usus halus, usus 12 jari dan lambung). Setelah obat bebas masuk
ke peredaran darah, kemungkinan mengalami proses –proses
sebagai berikut :
1. Obat disimpan dalam depo jaringan.
2. Obat terikat oleh protein plasma terutama albumin.
3. Obat aktif yang dalam bentuk bebas berinteraksi dengan reseptor
sel khas dan menimbulkan respon biologis.
4. Obat mengalami metabolisme dengan beberapa jalur kemungkinan
yaitu :
 Obat yang mula-mula tidak aktif, setelah
mengalami metabolisme akan menghasilkan
senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan
reseptor dan menimbulkan respon biologis (
bioaktivasi).
 Obat aktif akan dimetabolisis menjadi metabolit
yang lebih polar dan tidak aktif, kemudian
diekskresikan (bioinaktivasi).
5. Obat dalam bentuk bebas langsung diekskresikan.
a. Ikatan obat protein (pendesakan obat) meliputi obat bebas atau
aktif dan obat terikat atau tidak aktif.
b. Metabolisme hepatik meliputi induksi enzim (penurunan
konsentrasi obat) dan inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi
obat).
c. Klirens ginjal meliputi peningkatan ekskresi (penurunan
konsentrasi obat) dan penurunan ekskresi (peningkatan
konsentrasi obat).
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup
mengandung gugus fungsional atau atom atom terorganisasi, reaktif secara
kimia dan bersifat khas, yang dapat berinteraksi secara terpulihkan dengan
molekul obat yang mengandung gugus fungsional khas, menghasilkan
respon biologis tertentu.
2. Interaksi Farmakodinamik
Meliputi sinergisme kerja obat, antagonisme kerja obat, efek
reseptor tidak langsung, gangguan cairan dan elektrolit.
Pasien yang rentan terhadap interaksi obat :
a. Individu usia lanjut
b. Minum lebih dari 1 macam obat
c. Mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d. Mempunyai penyakit akut
e. Mempunyai penyakit yang tidak stabil
f. Memiliki karakteristik genetik tertentu
g. Ditangani lebih dari 1 dokter.
2.3 Interaksi Obat dan Makanan
Ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat,
perubahan tersebut dianggap sebagai interaksi obat-makanan. Interaksi seperti itu
bisa terjadi. Tetapi tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan, dan beberapa
obat hanya dipengaruhi oleh makanan-makanan tertentu. Interaksi obat-makanan
dapat terjadi dengan obat-obat yang diresepkan, obat yang dibeli bebas, produk
herbal, dan suplemen. Meskipun beberapa interaksi mungkin berbahaya atau
bahkan fatal pada kasus yang langka, interaksi yang lain bisa bermanfaat dan
umumnya tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti terhadap kesehatan
tubuh
Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat
dengan makanan adalah :
1. Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan
lambung dari saat masuknya makanan
2. Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
3. Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran
cerna
4. Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan
kompleks
5. Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
6. Perubahan biotransformasi dan eliminasi. (Widianto, 1989)

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat dengan Makanan.


Ada beberapa factor yang mempengaruhi interaksi obat dan makanan
antara lain:
a). Pengosongan Lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau
penggunaan preparat retard, maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat
yang cukup besar. Karena besarnya peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja
cepatnya makanan masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi kecepatan
dan jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar
di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung komposisi 40% karbohidrat, 40%
lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan mulai terjadi
setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir setelah 3 sampai 4
jam. Dengan ini selama 1 sampai 1,5 jam volume lambung tetap konstan karena
adanya proses-proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun
berpengaruh pada kecepatan pengosongan lambung ini. Sebagai contoh makanan
yang amat hangat atau amat dingin akan memperlambat pengosongan lambung.
Ada pula peneliti yang menyatakan pasien yang gemuk akan mempunyai laju
pengosongan lambung yang lebih lambat daripada pasien normal. Nyeri yang
hebat misalnya migren atau rasa takut, juga obat-obat seperti antikolinergika
(missal atropin, propantelin), antidepresiva trisiklik (misal amitriptilin, imipramin)
dan opioida (misal petidin, morfin) akan memperlambat pengosongan lambung.
Sedangkan percepatan pengosongan lambung diamati setelah minum cairan
dalam jumlah besar, jika tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan
mempunyai efek sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida
atau khinidin. Jelaslah di sini bahwa makanan mempengaruhi kecepatan
pengosongan lambung, maka adanya gangguan pada absorpsi obat karenanya
tidak dapat diabaikan.
b). Komponen Makanan
Efek perubahan dalam komponen-komponen makanan :
1. Protein (daging, dan produk susu)
Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor
pada penderita Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak
terkendali dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan
berprotein tinggi (Harknoss, 1989).
2. Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah
bahwa apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak
dari fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk
memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak
jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson,
1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi
adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan
pada saat makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada
ayam, dan kentang goreng (Harkness, 1989).
3. Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat,
walaupun banyak makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat
metabolism barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur.
Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan berkurangnya kandungan
sitokrom P-450 hati dan memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson,
1991).
4. Vitamin
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk
sintesis protein dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system
enzim yang memetabolisasi obat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa
perubahan dalam level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan
dalam kapasitas memetabolisasi obat. Contohnya :
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness, 1989)
5. Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk
menjaga kesehatan yang baik. Unsur – unsure yang telah terbukti
mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink,
tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak mengandung magnesium
juga secara nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang
juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi
yang berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat.
Kelebihan tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga,
yakni berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme obat dalam beberapa
hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk
memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).
c). Ketersediaan Hayati
Penggunaan obat bersama makanan tidak hanya dapat menyebabkan
perlambatan absorpsi tetapi dapat pula mempengaruhi jumlah yang diabsorpsi
(ketersediaan hayati obat bersangkutan). Penisilamin yang digunakan sebagai
basis terapeutika dalam menangani reumatik, jika digunakan segera setelah
makan, ketersediaan hayatinya jauh lebih kecil dibandingkan jika tablet tersebut
digunakan dalam keadaan lambung kosong. Ini akibat adanya pengaruh laju
pengosongan lambung terhadap absorpsi obat (Gibson, 1991).
2.6. Peran Ahli Gizi terhadap Farmakologi Pada Penyakit Ginjal
1. Verapamil merupakan obat penurun tekanan darah yang masuk dalam golongan
calcium channel blocker. Selain untuk menurunkan tekanan darah, verapamil juga
digunakan untuk mengatasi nyeri dada, pembesaran otot jantung, dan gangguan
irama jantung. Pemberian verapamil membutuhkan perhatian khusus pada pasien
dengan Gagal Ginjal Kronis.
2. Terapi dengan Asam Folat digunakan dalam penanganan kondisi anemia yang
muncul pada pasien kondisi uremia, defisiensi asam folat, defisiensi besi,
defisiensi vitamin B12, dan akibat fibrosis sumsum tulang belakang (Suhardjono,
et al., 2001). Dari 20 pasien hanya 2 pasien yang mencapai kesesuaian terapi (11
– 12 g/dl) dalam penanganan anemia. Terapi ini dirasa kurang efektif mengingat
anemia yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronis merupakan akibat
berkurangnya hormon eritropoetin yang dihasilkan ginjal (Anonim, 2006)
3. CaCO3 juga digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia pasien.
Hiperfosfatemia pada pasien gagal ginjal terjadi akibat pelepasan fosfat dari dalam
sel karena kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. CaCO3 bekerja dengan
mengikat fosfat pada saluran pencernaan sehingga mengurangi absorpsi fosfat
(Sweetman, 2007).
4. Penggunaan β-blocker sebenarnya memerlukan perhatian yang khusus
terutama pada pasien gagal ginjal. Hal ini karena terapi hipertensi dengan ß-bloker
pada penderita gagal ginjal kronik telah dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal
menurun, efek ini mungkin disebabkan karena terjadi pengurangan aliran darah
ginjal dan laju filtrasi glomerolus akibat pengurangan curah jantung dan penurunan
tekanan darah oleh obat (Ganiswarna, 1995).
5. Namun pertimbangan penggunaan β-blocker kardioselektif seperti Bisoprolol
pada pasien
gagal ginjal disamping untuk mengontrol tekanan darah adalah untuk mengurangi
terjadinya resiko infark, jantung koroner, mengurangi kebutuhan O2 dari jantung,
serta untuk menstabilkan kontraktilitas miokard (Munar dan Singh, 2007).
6.

Anda mungkin juga menyukai