Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
atas kegiatan terapetik obat. Sekitar tahun 1960 para sarjana mulai sadar bahwa efek obat tidak
tergantung semata-mata pada faktor farmakologi, melainkan juga faktor-faktor formulasi yang
dapat mengubah efek obat dalam tubuh, antara lain :
– Bentuk fisik zat aktif (amorf, kristal atau kehalusannya)
– Keadaan kimiawi (ester, garam, garam kompleks, dsb)
– Zat pembantu (pengisi, pelekat, pelicin, pelindung, dsb)
– Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan tablet, alat emulgator,
dsb)
Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam tubuh, yaitu tempat
kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besar proses-proses
ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase Biofarmasi, Fase Farmakodinamik, Fase
Farmakokinetika, yang mana dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk
tablet yaitu :
Farmaceutical availability — Biological availability :
Tablet dengan Zat Aktif –> (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul pecah, zat aktif lepas
dan larut –> Obat tersedia untuk resorpsi –> Adsorpsi, Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE
FARMAKOKINETIKA) –> Obat tersedia untuk bekerja –> Interaksi dengan reseptor di tempat
kerja (FASE FARMAKODINAMIKA) –> EFEK
Keterangan Skema diatas :
Fase Biofarmasi atau Farmasetika :
Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui mulut hingga pelepasan zat
aktifnya ke dalam cairan tubuh. Misalnya : tablet hanya mengandung 5-10% zat aktif, 90% zat
tambahan yang terdiri dari 80% zat pengencer, zat pengikat dan 10% zat penghancur tablet.
Yang penting dalam hubungannya dengan fase ini adalah kesediaan farmasi dari zat aktifnya,
yaitu obat siap diabsorpsi.
Fase Farmakokinetika
Fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari
bentuk sediaan. Obat harus diabsorpsi ke dalam darah, yang segera akan didistribusikan melalui
tiap-tiap jaringan tubuh. Dalam darah, obat dapat terikat protein darah dan mengalami
metabolisme, tetapi hanya sedikit yang tersdia untuk diikat pada struktur yang telah ditentukan.
Perlu diketahui bahwa jaringan yang ditentukan tidak perlu identik dengan reseptor.
Fase Farmakodinamika
Bila obat berinteraksi dengan sisi reseptor, biasanya protein membran, akan menimbulkan respon
biologik. Tujuan pokok dari fase ini adalah optimalisasi dari efek biologic.
zat aktif
zat tambahan, meliputi : bahan pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur, pengemulsi,
pelarut, dll
Bentuk sediaan obat dibuat sedemikian rupa dengan tujuan :
1. Melindungi obat dari kerusakan akibat pengaruh udara, kelembaban, oksigen dll
2. Melindungi obat dari kerusakan akibat asam lambung
3. Menghilangkan atau menutupi rasa pahit atau rasa tidak enak
4. Mengatur pelepasan obat agar dapat berefek lama
5. Pengobatan setempat
6. Agar segera masuk dalam jaringan atau peredaran darah
fase farmaseutik,
fase farmakokinetika dan
fase farmakodinamika.
Fase farmaseutik meliputi hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat.
Fase farmakokinetik termasuk proses invasi dan proses eliminasi. Yang dimaksud
invasi adalah proses-proses yangberlangsung pada pengambilan suatu bahan obat ke dalam
tubuh (absorpsi dan distribusi) sednagkan eliminasi merupakan proses-proses yang
menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam tubuh (biotransformasi dan ekskresi).
Fase farmakodinamik merupakan interaksi obat dengan reseptor sehingga terjadi efek
pengobatan dan juga proses-proses yang terlibat dimana akhir dari efek farmakologi terjadi.
Fase farmaseutik :
Formulasi obat agar dapat memperoleh respon biologik yang optimum
Faktor-faktor formulasi yang dapat mempengaruhi efek obat dalam tubuh :
Kerja obat tidak hanya tergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat tetapi juga
bergantung pada :
– bentuk sediaan dan bahan pembantu yang digunakan
– jenis dan tempat pemberian
– kecepatan absorpsi
– distribusi dalam tubuh
– ikatan dalam jaringan
– biotransformasi (metabolisme obat)
– kecepatan ekskresi
Pemilihan tempat pemberian, cara pemberian dan bentuk sediaan didasarkan pada :
ABSORPSI
Yang dimaksud dengan absorpsi suatu obat adalah pengambilan obat dari permukaan
tubuh (termasuk mukosa saluran cerna) atau dari tempat tertentu dalam organ ke dalam
aliran darah atau ke dalam sistem pembuluh limfe.
Absorpsi obat kebanyakan terjadi secara difusi pasif. Untuk dapat diabsorpsi, obat
harus berada dalam bentuk terlarut.
Faktor yang mempengaruhi absorpsi al :
kelarutan obat
kemampuan obat terdifusi melintasi membran
kadar obat
sirkulasi darah pada tempat absorpsi
luas permukaan tempat absorpsi
bentuk sediaan obat
rute penggunaan obat
ruang intrasel
ruang ekstrasel, meliputi : air plasma, ruang usus dan cairan transsel
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase.
Fase distribusi I : terjadi setelah diabsorpsi yaitu ke organ-organ yang perfusinya baik :
jantung, hati, ginjal, otak
Fase distribusi II : ke otot, kulit, jaringan lemak
1. Kelarutan obat, senyawa yang larut baik dalam lemak akan terkonsentrasi dalam jaringan
yang banyak mengandung lemak dan sebaliknya. Obat yang larut lemak juga akan mudah
melintasi membran sel sehingga terdistribusi ke dalam sel. Sedangkan obat yang tidak
larut lemak akan sulit melintasi mebrtan sel sehingga distribusinya terbatas terutama di
dalam cairan ekstrasel.
2. Perfusi darah melalui jaringan, organ yang mempunyai banyak kapiler untuk memulai
proses diatribusi akan menganbil jumlah obat yang lebih besar dibandingkan daerah yang
pasokan darahnya kurang.
3. Afinitas obat dengan komponen tubuh ; protein, fosfolipid atau nukleoprotein.
4. Permeabilitas membran dan perbedaan pH antara plasma dan jaringan.
BIOTRANSFORMASI OBAT
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini obat diubah menjadi
lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut lemak sehingga lebih
mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi ada hasil metabolisme
( metabolit ) obat yang sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik (beracun). Ada obat yang
merupakan calon obat (pro drug ) justru diaktifkan oleh enzim dalam biotransformasi ini.
Reaksi biokimia yang terjadi pada metabolisme obat dibedakan menjadi 2 fase :
a. Fase I, yang termasuk reaksi fase ini adalah oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Reaksi fase I
ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang
aktif atau lebih aktif daripada bentuk aslinya.
b. Reaksi fase II disebut juga reaksi sintetik, merupakan konyugasi obat atau metabolit hasil
reaksi fase I dengan senyawa endogen misalnya asam glukoronat, sulfat, asetat atau asam
amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan mudah terionisasi sehingga lebih
mudah diekskresi. Metabolit hasil konjugasi biasanya tidak aktif.
Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut, ada obat yang
mengalami reaksi fase I saja atau beberapa reaksi fase I, atau reaksi fase II saja.
Sebagian besar metabolisme obat terjadi di hati, dikatalisis oleh enzim mikrosom.
Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur (mixed
function oxidase) atau monooksigenase, sitokrom P-450.
Aktivitas enzim yang memetabolisir obat dalam mikrosom hati, struktur dan jumlah
retikulum endoplasmik dan bahkan ukuran hati, kesemuanya dipengaruhi oleh penggunaan
obat dan hormon, umur, jenis kelamin, status nutrisi, kondisi psikologis serta patologik
pasien.
Disamping hati sebagai organ biotransformasi utama, obat dapat diubah pula di
beberapa organ lain, misalnya paru-paru, ginjal, dinding usus, darah dan jaringan.
Obat Metabolit
Kortison Kortisol
Prednison Prednisolon
Fenasetin Parasetamol
Kloralhidrat Trikloretanol
Primidon Fenobarbital
Levodopa Dopamin
Codein Morfin
Aspirin Salisilat
Protonsil rubrum Sulfanilamid
Imipramin Desmetil imipramin
α-metildopa α -metil norepinefrin
penyerapan penyerapan
Biguanid, neomisin,
cholchicin
EKSKRESI
: Pengeluaran obat dari tubuh melalui organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ekskresi suatu obat dan atau metabolitnya
menyebabkan penurunan konsentrasi zat berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi
bergantung pada sifat fisikokimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan, tekanan gas)
senyawa yang diekskresi, melalui
Ekskresi melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Sebaliknya pada ibu yang
menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam ASI dapat menyebabkan intoksikasi yang
membahayakan bayi.
FARMAKODINAMIKA
Mempelajari hasil interaksi obat dengan tempat aksinya dalam sistem biologis dengan
reseptornya.
EFEK TERAPI
Acuan :
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi
sistemik secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang mencapai
peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan.Ketersediaan hayati obat yang
diformulasikan menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satutujuan rancangan
bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan obat tersebut.Pengkajian terhadap
ketersediaan hayati ini tergantung pada absorbsi obat ke dalam sirkulasi umum serta
pengukuran dari obat yang terabsorbsi tersebut.
Dalam menaksir ketersediaan hayati ada 3 parameter yang biasanya diukur yang
menggambarkan profil konsentrasi obat dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan.
· Konsentrasi puncak ( Cmaxs ) menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi
sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis , volume distibusi dan
waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak seringkali
dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan harus diatas konsentrasi efektif minimum
dan tidak melebihi konsentrasi toksik minimum.
· Waktu untuk konsentrasi puncak ( t maks ), menggambarkan lamanya waktu teredia untuk
mencapai konsentrasi puncak dari obat dalam sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung
pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon
biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi.
· Luas daerah dibawah kurva ( AUC ), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs
waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik.
Bila membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah
ketersediaan hayati dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi.
Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak
perlu diragukan lagi.Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah
yaitu :
1. Farmasi Klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu
penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita,
dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik
karena interaksi obat maupun karena perubahan fungsi fisiologik.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat,
yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan
terhadapkarakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian
biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada profil kadar zat aktif alam
darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan :
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi atau sediaan.
2. Kecepatan obat diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan
dengan respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
METODE PENILAIAN KETERSEDIAAN HAYATI
Penilaian ketersediaan hayati pada sukeralawan dapat dilakukan dengan beberapa metode
:
1. Metode menggunakan data darah
2. Data urin
3. Data efek farmakologis
4. Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis utntuk penetapan
kadar obat dan sifat produk obat.
Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati
sedian obat yang metode analisis zat berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasnya.
Jika cara validitas analisi belum diketahui dapat digunakan data farmakologi dengan
syarat efek farmakologik yang timbul dapat diukur secara kuntitatif, seperti efek pada
kecepatan denytu jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan sebagai indeks dari
ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi ketersediaan hayati menggunakan data respons
klinik dapat mengalami perbedaan antar individu akibat farmakokinetika dan
farmakodinamik obat yang berbeda. Faktor farmakodinamik yang mempengaruhi
meliputi : umur, toleransi obat, interaksi obat, dan faktor- faktor patofisiologik yang tidak
diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat yang digunakan
secara oral :
a. Sifat fisiko kimia zat aktif
· Bentuk isomer ; alkaloid – alkaloid dan steroid – steroid terdapat dalam
beberapa bentuk isomer datau l. Seringkali yang aktif atau lebih aktif
hanya satu saja misal : d- etambutol, d-propoksifen,d-amfetamin, l-
kloramfenikol.
· Polimorfose ; bentuk Kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan
kemudian cepat terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil,missal
kloramfenikol mempunyai 2 bentuk polimofi A dan B ; Kristal bentuk A
bersifat tidak aktif.
· Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil luas permukaan akan besar,
sehingga obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
· Hodrate dan solvate ; kadang- kadang beberapa obat cenderung untuk
mengikat beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau
pelarutnya adalah air maka ikatan ini disebut hidrat. Ampisillin anhidrat
lebih mudah larut daripada ampisillin trihidrat, sehingga pemakaian
peroral akan memberikan blood level lebih tinggi.
· Bentuk garam, Ester dan lainnya; gugusan estolat dri eritromisin estolat
dapat menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak. Tapi
sifat fisik eritromisin stearat mempersulit pengisian daam jumlah yang
cukup kedalam kapsul berukuran wajar. Pemadatan yang tidak tepat atas
bahan baku ini sebaliknya dapat menimbulkan persoalan sidolusi dan
ketersediaan hayati.
· Kemurnian; bahan baku Pinisillin yang tidak murni bisa mengandung
mikrokontaminan berupa hasil degradasi pinisillin sendiri, bahan inferior
ini yang dapat menyebabkan alergi. Namun, meskipun telah menggunakan
bahan baku murni kalau cara dan kondisi produksi dalam hal ini
kebersihan, temperature, dan kelembaban kurang baik, bahan pinisillin ini
akan menimbulkan efek samping yang sama.
b. Bahan- bahan pembantu;banyak obat- obatan dimana pengaruh bahan – bahan
pembantu dapat merubah secara drastic pola absorbsinya dan oleh karena itu efek
terapi dan toksisitasnya juga berpengaruh, seperti meningkatnya toksisitas fenitoin
setelah bahan pembantu yng semula dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
c. Cara- cara prosesing
§ Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik bias sama sekali berubah
bila dibuat oleh pabrik lain dengan penggunaan alat-alat yang berbeda. Hal
ini menjadi masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet-
tablet dengan kadar zat khasiat yang rendah seperto digoksin 0,25 mg/tablet
200mg.
§ Ruangan dan kondisi- kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan , dan
sebagainya ) yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan
tetrasiklin yang merupakan bahan baku yang kurang stabil pada kondisi
tertentu sehingga dapat mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi non
aktif, hepatoksik, dan nefrotoksik.
§ Tenaga- tanaga yang kompeten.
§ Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal
ini persyaratan- persyaratan Good Manufacturing Practises ( GMP ) menjadi
penting.