Anda di halaman 1dari 31

Emboli Pada Paru

DISUSUN OLEH :

DOSEN PEMBIMBING

TINGKAT 1A

KELOMPOK 5

1. Aulia syahrani (PO.71.20.1.18.015)


2. Ayu febriani (PO.71.20.1.18.016)
3. Ayu puspita sari (PO.71.20.1.18.017)
4. Ayu saputri (PO.71.20.1.18.018)
5. Diaz luthfiyah qonitah (PO.71.20.1.18.031)
6. Dina arwani (PO.71.20.1.18.032)
7. Dina fitriani (PO.71.20.1.18.033)

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2018/2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat
terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan
menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya
tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik,
masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus.2,3
Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus pertahun
dengan angka mencapai 15% yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupaan problema
yang menakutkan dan satu penyebab emergensi kardiovaskuler yang tersering. Laporan lain
menyebutkan bahwa emboli paru secara langsung menyebabkan 100.000 kematian dan menjadi
faktor kontribusi kematian oleh penyakit-penyakit lainnya.
Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous
thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak,
cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis.
Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, D-Dimer Test, pencitraan ventilasi-perfusi
(ventilation-perfussion scanning), CT Angiografi torak dengan kontras, angiografi paru,
Magnetic Resonance Angiography, duplex ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi
transtorakal.
Penatalaksanaan khusus emboli paru dapat berupa pemberian antikoagulasi, trombolitik
atau embolektomi baik dengan intervensi kateteriosasi maupun dengan pembedahan.
Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat terjadi
karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan
menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya
tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik,
masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus.2,3

2
Antara 60% - 90% penyebab emboli paru berasal dari vena ektremitas bawah dan pelvis. 4
Munculan klinik sangat bervariasi, bisa menyebabkan kematian mendadak, tergantung ukuran
emboli dan kondisi klinik dasar pasien.2,4 Emboli paru ditemukan lebih dari 60% dari hasil
diotopsi dan juga sering terjadi misdiagnosis.2
Zvezdin dkk melakukan penelitian mengenai analisis post mortem penyebab kematian
dini pada pasien yang dirawat dengan penyakit paru obstruktif kronik. Penelitian ini
mendapatkan 20,9% penyebab kematian karena tromboemboli paru. 6
Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti faktor
herediter ( seperti defisiensi protein C, defisiensi protein S dll ) dan faktor yang didapat (seperti
umur > 40 tahun, perokok, keganasan dll).4
Menegakkan diagnosis emboli paru merupakan sebuah tantangan yang sulit. Tanda
klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan
manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit
tromboemboli mempunyai gejala tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika disertai
penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7 Dalam
menegakkan diagnosis emboli paru memerlukan keterampilan mengintegrasikan data klinis dan
laboratorium serta kebijakan penilaian tentang perlu atau tidak dilakukan tindakan diagnosis
invasif.1
Sensitifitas dan spesifisitas manifestasi klinis emboli paru masih rendah dan tidak ada uji
klinis yang sederhana.8 Konfirmasi diagnosis dengan tes objektif hanya sekitar 20% pasien.
Emboli paru bahkan bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang
dilakukan untuk tujuan lain. 9
Dengan latar belakang diatas maka dalam referat ini akan dibahas bagaimana prosedur
diagnosis dan penatalaksanaan emboli paru.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 apa definisi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan dari emboli paru?
1.2.2 bagaimana pemeriksaan radiologi pada emboli paru?

1.3 Tujuan Penulisan

3
Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan
pencegahan dari emboli paru serta pemeriksaan radiologi pada emboli paru.

1.4 Manfaat Penulisan


Agar dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang definisi, patofisiologi,
gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan dari emboli paru serta pemeriksaan radiologi pada
emboli paru.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru
dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran
darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih
tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi
sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di
bronkus.2,3

2.2 Patofisiologi
Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor yang
dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu:
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah
2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability)
3. Statis vena6,11
Trauma lokal pada pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding
pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis sebelumnya.
Sedangkan keadaan hiperkoagubilitas darah dapat disebabkan oleh terapi obat-obat tertentu
termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement theraphy dan steroid. Di samping itu masih ada
sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu thrombosis. Sementara statis vena
dapat terjadi akibat immobilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang
dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya.11
Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti aliran
system vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika emboli ini cukup
besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan membentuk saddle embolus. Tidak
jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan

5
tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan senyawa-senyawa vasokontriktor seperti
serotonin, refleks vasokontriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan
menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis.
Peningkatan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan
dengan onsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan
menimbulkan septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan
pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolic. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel
kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi
perfusi koroner dan menyebakan iskemia miokard.
Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru massif
akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kanan
meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik shock. Siklus ini dapat
menimbulkan infark ventrikel kanan, kolap sirkulasi dan kematian.6,11
Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut:
1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi, neuropulmoral, atau
baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis
2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari dampak
obstruksi vaskuler dab hipoksemia karena hipoventilasi alveolar, rendahnya unit ventilasi-
perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga gangguan transfer karbonmonoksida
3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor
4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokontriksi
5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan paru dan hilangnya
surfaktan3,11

6
Gambar 2.1 patofisiologi emboli paru dan infark pada paru11

2.3 Gejala dan Tanda


Gejala yang sering dijumpai adalah sulit bernafas, nyeri dada yang memburuk saat
bernafas, batuk dan hemoptisis, dan palpitasi. Tanda klinis yang ditemukan berupa hipoksia,
stenosis, pleural friction rub, takipnea, dan takikardia. Dispnoe merupakan gejala yang paling
sering muncul, dan takipnue adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya dispneu
berat, sinkop, atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri
pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal,
berdekatan dengan garis pleura.11
EP yang tidak diobati dapat menimbulkan kolaps, kegagalan kerdiovaskuler, dan mati
mendadak. Emboli paru perlu dicurigai pada penderita hipotensi jika:
1. Adanya bukti thrombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru
2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena
leher, gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada, takikardia, atau takipneu

7
3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan hipokinesis atau bukti
EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonal., iskemia ventrikel kanan.11
Berikut adalah 6 sindroma klinis emboli paru akut dengan gambarannya menurut
Goldhaber
1. Emboli paru massif
Presentasi klinis : sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik persisten;
khas >50 % obstruksi pada vaskular paru. Dapat dijumpai disfungsi ventrikel kanan.
2. Emboli paru sedang sampai besar (submasif)
Presentasi Klinis : Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas >30 persen defek pada
perfungsi scan paru dengan tanda-tanda difsungsi ventrikel kanan
3. Emboli Paru Kecil sampai sedang
Presentasi Klinis :Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertasi tanda-tanda
disfungsi ventrikel kanan
4. Infark Paru (Pulmonary Infarction)
Presentasi Klinis : nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural friction rub, atau bukti adanya konsolidasi
paru, khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan
5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism)
Presentasi Klinis : kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai
disfungsi ventrikel kanan.
6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic Embolism)
Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion. Disfungsi
ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.11

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup:3,11,12,13,14,15
1. Foto Toraks
Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks adalah tanda
spesifik emboli paru. Pada foto thoraks pasien dengan emboli paru dapat ditemukan gambaran
normal sebanyak 14 %, dan dengan kelainan laian yaitu atelektasis 68%, efusi pleura 48%,
gambaran opak basal paru(Hampton’s Hump sign) 35%, elevasi diafragma 24%, pelebaran arteri

8
pulmonal 15%, westermark’s sign 7%, cardiomegaly 7% dan edema paru 5 %. Pemeriksaan ini
juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lainya khususnya pneumothorax.

Gambar 2.2 Gambaran Atelektasis

9
Gambar 2.3 Gambaran Opak pada Daerah Basal Paru (Hampton’s
Hump Sign)

Gambar 2.4 Gambaran Pelebaran Arteri Pulmonal

10
Gambar 2.5 Westermark’s Sign
2. Analisa Gas Darah
Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat
ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun disebabkan
oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensivitas dan spesifitas analisa gas darah untuk
penunjang diagnostic emboli paru relative rendah.

3. D-dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses
fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan ini
merupakan skrinning yang bermanfaat dengan sentivitas yang tinggi (94%) namun kurang
spesifitas (45%). D-Dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti recent MCI.
Spesifitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-dimer /
Fibrinogen > 1000
Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru.

4. Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada kasus
yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi perubahan EKG
antara lain :
- Pola S1Q3T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disetai
gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan
dilatasi atrium dan ventrikel kanan
- P Pulmonal
- Right bundle branch block yang baru
- Right ventricular stin idengan T iinverted di lead V1 sampai V4

11
Gambar 2.6 Gambaran EKG pada pria 33 tahun dengan emboli paru pada cabang utama
kiri arteri pulmonalis yang telah di konfirmasi dengan CT scan thoraks11

5. Scanning Ventilasi-Perfusi
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk sangkaan
emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus alergi konntras, insufisiensi
ginjal, atau kehamilan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya mismatch antara
ventilasi dan perfusi paru. Pada paru yang normal, bahan tersebut akan terdistribusi ke seluruh
lapangan paru. Hal ini menunjukan ventilasi yang normal. Hal ini di bandingkan dengan perfusi,
pada emboli paru akan didaptkan bahwa bahan kontras yang diinjeksikan intra vena tidak akan
Nampak pada bagian distal dari emboli akibat oklusi.
Prosedur pemeriksaan:
a. Pencitraan Perfusi

Pencitraan perfusi dilakukan dengan penempatan radiofarmaka yang ditangkap oleh


kapiler-kapiler paru. Radiofarmaka disuntikan melalui intra vena. Radiofarmaka yang digunakan
adalah Technetium 99m (Tc-99m) yang dilabel dengan nama Macroaggregates Human Serum
Albumin (MAA). Pencitraan perfusi digunakan untuk mendeteksi embolisasi pada paru.

Hampir semua radiofarmaka dapat diserap oleh tubuh dan mampu menggambarkan
kelainan lebih jelas dibandingkan jenis pemeriksaan kedokteran nuklir lainnya. Meninggalkan
sisa radioaktivitas paling kecil setelah pemeriksaan. Pengambilan gambar dilakukan sebanyak
enam kali : anterior, posterior, lateral kanan dan kiri, RPO dan LPO.

12
1. Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus.

2.. Radiofarmaka Dan Dosis

Radio farmaka yang digunakan adalah Tc 99m-MAA.Volume yang tepat digunakan sebagai
standart dosis. Dosis standart orang dewasa harus mengandung 400 000 counts partikel dan
aktifitasnya 70-200MBq. Dosis ini dikurangi sesuai dengan tubuh/berat badannya. Volume bisa
bervariasi dari satu botol dengan yang lain dan petunjuk pembuat harus dibaca dengan teliti.
Pasien yang memiliki hipertensi paru dan kelainan jantung, dosisnya harus dikurangi 50%. Botol
yang berlabel MAA harus disimpan pada suhu 2-80 .

3. Posisi Pasien

Pasien berdiri atau duduk menempel kamera. Pasien yang tidak dapat berdiri atau duduk
dapat dengan posisi supine pada meja pemeriksaan dan camera atau posisi pasien ditempatkan
untuk merekam masing-masing gambaran yang tepat.

4. Teknik Pemeriksaan
1) Teknik injeksi adalah sebagai berikut
a) Kocok botol sebelum mengambil radiofarmaka. Radiofarmaka seharusnya tidak ditarik
dalam suntikan untuk beberap waktu sehingga pertikelnya bergerak ke ujung suntikan. Juga
menjauhkan suntikan dari tutup plastik.
b) Gunakan jarum 21G untuk mengambil dan menyuntikkan radiofarmaka.
c) Pasien diposisikan supine untuk injeksi agar memastikan distribusi partikel melewati kedua
paru.
d) Balikkan suntikan yang berisi MAA beberapa menit untuk mencampur. Masukkan jarum
ke intravena tarik darah kebelakang ke dalam ruang hampa dari spuit hanya untuk memeriksa
bahwa venepuncture dan suntikan secara perlahan dengan pasien bernafas secara normal.
e) Pancarkan spuit 3 kali.
2) Gambar harus diambil segera setelah injeksi.
3) Radiograf dada selalu diminta untuk laporan. Jika radiograf tidak ada harus ada scan.
b. Pencitraan Ventilasi
1. Persiapan Pasien

13
Tidak ada persiapan pasien
2. Radiofarmaka Dan Dosis
170 MBq Xe 133 dalam 6 liter udara
3. Peralatan
Gamma kamera dipastikan dengan koimator general purpose
4. Posisi Pasien
Pemeriksaan dengan posisi duduk dengan punggung dekat atau menempel gamma
kamera hanya posisi posterior yang direkam.
5. Teknik Pemeriksaan
1) Pastikan camera multiformater dan komputer diatur. Pilih window 20% dan pusatkan ini
pada 81 keV dari Xe 133.
2) Posis pasien termasuk keseluruhan lapangan paru.
3) Jelaskan prosedur kepada pasien. Pakaikan face mask dan mulai pemeriksaan.saat pasien
sudah mengerti apa ang diharapkan, suntikkan Xe 133 ke dalam dan menahan nafas selama
mungkin
4) Pasien bernafas secara normal ke dalam sistem dan rekam gambaran equilibrium pada film
sebaik komputer selama 300 000 counts. Intensitas kamera harus dikurangi untuk gambaran ini.

Gambar 2.7 Gambaran scanning ventilasi paru

14
Gambar 2.8 Gambaran scanning perfusi paru

6. Multislice Pulmonary Computed Tomography scanning


Tes ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat
dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan scanning ventilasi-perfusi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer dan
dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal
sampai ke cabang segmentalnya.

15
Gambar 2.9 Gambaran CT Scan pada emboli paru
7. Pulmonary Scintigraphy
Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu teknik yang cukup
sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Deficit perfusi dapat dikarenakan oleh
ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi atau
kollapsn paru. Untuk menambah spesifitasnya, teknik ini selalu dikombinasi dengan Ventilation
scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan non perfusi tapi
adanya zona ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada penderita dengan
penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostic pemeriksaan ini manjadi menurun.

8. Angiografi paru
Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik emboli paru.
Namun teknik ini merupaan penyelidikan invasif yang cukup berisiko terutama pada penderita
yang sudah kritis. karenanya saat ini peran angiografi paru sudah digantikan oleh multislice CT
scan yang memiliki akurasi yang sama.

16
Gambar 2.10 Gambaran Angiografi

Fungsi pemeriksaan angiografi:


Mendeteksi aneurysma pembuluh darah aorta.

Keuntungan dari Angiography :

- Kateter angiography dapat menampilkan gambar pembuluh darah secara detil, jelas dan akurat.

- Tidak seperti CT Angiography atau MR Angiography, menggunakan kateter yang


memungkinkan untuk mengkombinasikan diagnosa dan tindakan dalam satu prosedur,
misalnya : menemukan daerah penyempitan arteri diikuti dengan angioplasty
dan penempatan stent.

- Kateter angiography dapat menampilkan gambaran pembuluh darah secara detil yang tidak bisa
dihasilkan oleh prosedur noninvasive.

9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)


Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan CT angiografi, bahkan
dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan gangguan ginjal. Namun alat
ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya bahan metal seperti infuse peralatan
bantun nafas,dll.

10. Duplex Ultrasound Ekstremitas

17
Merupakan pencitraan non invasive pada kasus dengan sangkaan thrombosis vena dalam
yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relative mudah dan akurat. Ultrasound
bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat dengan skor Wells >7.

Tabel 2.1. Sistem skoring Wells dan Genewa untuk menilai kemungkinan Emboli Paru
__________________________________________________________
Skor Wells Poin Skor Genewa Poin
Adanya riwayat VTE 1,5 Adanya riwayat VTE 2
Denyut jantung > 1,5 Denyut jantung 1
100x/mnt >100x/mnt
Setelah tindakan 1,5 Setelah tindakan 3
bedah atau imobilisasi bedah
Gejala DVT 3 Umur (th)
60-79 1
≥80 2
Alternative diagnosis 3 PaCO2 <36 mmHg 2
lain sedikit
Hemoptisis 1 PaO2
<48,7 mmHg 4
48,7-59,9 mmHg 3
60-71,2 mmHg 2
71,3 – 82,4 mmHg 1
Keganasan 36 – 38,9 1 Atelektasis 1
Elevasi diafragma 1

*Venous Thromboemboli
**Deep Venous Thromboemboli

Penilaian berdasarkan sistem skor Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah:
1. Jika poin < 2 : kemungkinan klinik rendah
2. Jika poin 2 - 5 : Kemungkinan klinik sedang
3. Jika poin > 6 : kemungkinan klinik tinggi
Penilaian berdasarkan sistem skor Genewa, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah :
1. Jika poin 0 - 4 : kemungkinan klinik rendah
2. Jika poin 5 - 8 : kemungkinan klinik sedang
3. Jika poin ≥ 9 : kemungkinan klinik tinggi
Pemilihan sistem skor ini tergantung dari klinisi dan ketersediaan fasilitas pendukung diagnosis.
11. Ekokardiografi

18
Ekokardiografi transtoralak muncul sebagai alat diagnostic non invasive yang berperan
dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat diakibatkan oleh emboli
paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkanpergerakan dinding segmental abnormal
yang spesifik yang sering disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai
pergerakan apeks ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda
tidak langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan.
Rasio pengukuran ventrikel kanan disbanding ventrikel kiri ≥ 1 pada pengambilan gambar apical
four chamber. Pada teknik pengambilan gambar parastenal short axis akan terlihat septum
interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran ekokardiografi D shape ventrikel
kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regugitrasi tricuspid dengan kecepatan ≥
2,6m/detik dan dilatasi vena kava inferior.

Gambar 2.11 Gambaran Echokardiografi


12. Biomarker jantung
Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitive dan spesifik untuk
suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit peningkatan kadar Trop T
dibandingkan dengan peningkatan yang cukup tinggi pada kasus sindroma kororner akut (nilai
abnormal terendah 0,03-0,1 ng/ml). Kadar Trop T berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan,
dimana iskemi miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi tanpa adanya
penyakit jantung koroner.
Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk diagnostic dan
prognostic gagal jantung kongestif. Peregangan sel miosit jantung akan merangsang sintesa dan
sekresi BNP. Pro BNP dalam miosit ventrikel yang masih normal tidak disimpan dalam jumlah
yang besar. Peningkatan kadar BNP dan Pro BNP berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan
19
pada pasien dengan emboli paru. Kadarn BNP ≥ 50 pg/ml; memberikan nilai prognostic emboli
paru yang buruk.
2.5 Diagnosa Banding
Diagnose banding emboli paru secara klinis yaitu:
a. Pneumonia
b. Asma bronchiale
c. Penyakit paru obstruktif menahun eksaserbasi
d. Edema paru
e. Pneumothoraks
f. Tension Pneumothoraks

20
Tabel 2.2 Gambaran Diagnosa Banding Emboli Paru
Penyakit Pneumonia Asma Bronkhial
Foto

Gambaran foto toraks PA/ lateral, gambaran infiltrat sampai gambaran foto toraks umumnya normal, namun terkadang dapat disertai
konsolidasi (berawan), dapat disertai air bronchogram adanya pneumomediastinum

21
PPOK Edema Paru

- Paru hiperinflasi atau hiperlusen -Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
- Diafragma mendatar -Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat -Kranialisasi vaskuler
- Bulla -Hilus suram (batas tidak jelas)
- Jantung pendulum -Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil
atau nodul milier)

22
Pneumothoraks Tension Pneumothoraks

-gambaran hiperlusens dengan batas tegas di sebagian hemithoraks -mediastinum bergeser dari paru yang hiperlusen
-gambaran hiperlusen pada semua hemithorak
-penekanan pada jantung kea rah berlawanan

23
Emfisema Gambaran radiologi
- Diafragma letak rendah dan datar.
- Ruang retrosternal melebar.
- Gambaran vaskuler berkurang.
- Jantung tampak sempit memanjang.
- Pembuluh darah perifer mengecil

24
2.6 Diagnosis
Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan
pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasive, khususnya pemeriksaan D-dimer, ELISA
(Enzym-Linked Immunosorbent Assay), CT-scan dan ultrosonografi vena saat ini semakin
meningkatan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli paru. Bagaimanapun juga,
di samping adanya kemajuan teknologi diagnosis, ternyata emboli paru yang besar selalu tidak
terdiagnosis dan hanya dijumpai saat autopsi

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus.1 Tatalaksana
yang umum antara lain:
1. Tirah baring di ruang intensif
2. Pemberian oksigen 2-4 l/menit
3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan
4. Pemantauan tekanan darah
5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi gunakan 20-30 mmHg)
Tatalaksana khusus antara lain:
1. Trombolitik : diindikasikan untuk emboli paru massif dan sub massif
Sediaan yang diberikan:
- Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam
- rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam
- Urokinase 4400/kg/jam dalam 12 jam
- Dilanjutkan dengan unfractionated heparin/low molecular weight heparin selama 5
hari
2. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif
3. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub massif
4. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi pendarahan
5. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi / trombolitik pada emboli
paru massif dan sub massif
6. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan tranfusi
emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan jangka panjang

25
Penggunaan trombolitik pada emboli paru masih menjadi perdebatan karena masih
sedikitnya uji klinis. Namun ada suatu konsesus yang merekomendasikan penggunaanya pada
kasus emboli paru massif tetapi kontroversi timbul dikarenakan kebanyakan penderita yang akan
di trombolitik memiliki disfungsi ventrikel kanan yang berat. Food and Drug Administration
(FDA) telah merekomendasian penggunaan t-PA (alteplase) 100 mg diberikan perinfus selama 2
jam pada kasus emboli paru massif.17,18
Dari data The International Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER)
menunjukkan bahwa fibrinolitik tidak menurunkan angka kematian atau kekambuhan emboli
paru pada 90 hari. Sementara pada emboli paru submassif, The Management Strategies and
Prognosis of Pulmonary Embolism-3 Trial (MAPPET-3) menunjukkan bahwa terjadi penurunan
penggunaan terapi ekskalasi diantara penderita yang mendapat alteplase.17
Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik, maka
embolektomi akan menjadi pilihan terapi. Indikasi embolektomi secara pembedahan lainnya
mencakup emboli paradoks (paradoxical emboli), emboli yang menetap pada jantung kanan
(persistent right heart thrombi), ketidakseimbangan hemodinamik atau respiratorik yang
memerlukan resusitasi kardiopulmoner.17,18
Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter-based pulmonary
embolectomy) saat ini berkembang menjadi terapi primer pilihan pada emboli paru akut. Teknik
ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan merupakan kontraindikasi. Pada
umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan berhasil jika dilakukan pada fresh thrombus
dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan gejala.17
Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan emboli
paru. Low-moleculer weight heparin (LMWH) seperti enoxaparin nyata-nyata memberikan efek
yang aman dan efektif dibandingkan dengan unfractionated heparin intravena. Keuntungan
LMWH dibandingkan dengan heparin antara lain LMWH memiliki dosis yang lebih sesuai dan
cukup respons, tidak perlu monitoring, tidak memerlukan penyesuaian dosis, insidensi
trombositopenia lebih kecil, tidak dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan dapat
dilakukan pasien sendiri di rumah sehingga memperpendek masa rawatan.17,18
Antagonis vitamin K oral seperti walfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai
antikoagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR (International

26
Normalized Ratio) 2,0 sampai 3,0. Penggunaan optimal antikoagulan bergantung pada risiko
terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi merekomendasikan penggunaan
antikoagulasi tanpa bata waktu pada tromboemboli idiopatik.17
Saat ini telah berkrmbang teknik filter vena cava inferior (Inferior Vena Cava Filter)
yang prosedurnya dilakukan melalui vena jugularis interna atau vena femoralis yang dengan
panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi pemasanagan ini adalah:
a. Penderita dengan risiko tinggi thrombosis vena dalam proksimal yang mana antikoagulasi
merupakan kontra indikasi
b. Tromboemboli vena yang rekuren walaupun dengan antikoagulasi
c. Tomboemboli vena rekuren ronis dengan hipertensi pulmonal
d. Dilakukan secara simultan bersamaan dengan operasi embolektomi atau
endarterectomy17

2.8 Pencegahan
Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan ini sulit
dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang dirawat seharusnya
dilakukan stratifikasi risiko emboli paru dan bila perlu mendapatkan terapi profilaksis.16
Pencegahan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan graduated-compression
stockings, suatu alat yang memberikan kompresi berkala dan filter vena cava inferior atau
kombinasi keduanya.16 Disamping itu regimen farmakologis profilaksis lainnya diberikan seperti
pada tabel berikut ini:

27
Tabel 2.2. Regimens profilaks pada tromboemboli
Regimens for Venous Thromboembolism Prophylaxis
Condition Prophylaxis
General surgery Unfractionated heparin 5000 units SC TID or
Enoxaparin 40 mg SC QD or
Dalteparin 2500 or 5000 units SC QD
Orthopedic surgery Warfarin (target INR 2.0 to 3.0) or
Enoxaparin 30 mg SC BID or
Enoxaparin 40 mg SC QD or
Dalteparin 2500 or 5000 units SC QD or
Fondaparinux 2.5 mg SC QD
Neurosurgery Unfractionated heparin 5000 units SC BID or
Enoxaparin 40 mg SC QD and
Graduated compression stockings/intermittent
pneumatic compression.
Consider surveillance lower extremity
ultrasonography
Oncologic surgery Enoxaparin 40 mg SC QD
Thoracic surgery Unfractioneated heparin 5000 units SC TID
and
Graduated compression stockings/intermittent
pneumatic compression
Medical patients Unfractioneated heparin 5000 units SC TID or
Enoxaparin 40 mg SC QD or
Dalteparin 5000 units SC QD or
Fondaparinux 2.5 mg SC QD (not FDA
approved) or
Graduated compression stockings/intermittent
pneumatic compression for patients with
contraindications to anticoagulation
Consider combination pharmacological and
mechanical prophylaxis for very high risk
patients
Consider surveillance lower extremity
ultrasonography for intensive care unit patients
SC (subcutaneous), TID (3 times daily) QD (daily), BID (twice daily)

28
BAB 3
PENUTUP
Emboli merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang masih tinggi dan
angka mortalitasnya cukup signifikan.
Deteksi dan stratifikasi risiko merupakan langkah awal dalam diagnosis dan tatalaksana
suatu emboli paru sehingga dapat menrunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Dalam pendiagnosaan emboli paru dapat di tegakan dengan pemeriksaan radiologi
rontgen thoraks, Scanning Ventilasi-Perfusi, Spiral Pulmonary Computed Tomography scanning,
Pulmonary Scintigraphy, angiografi paru, dan Magnetic Resonance Angiografi (MRA).
Pemberian antikoagulan, baik low-molecular weigth heparin, unfractinated heparin dan
oral antikoagulan lain seperti warfarin masih cukup efektif dalam terapi khusus emboli paru.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusmana D, dkk. Standar Pelayanan Medik RS. Jantung Pembuluh Darah Harapan Kita.Edisi
ke-2. Jakarta. 2003.h 209-11
2. Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute Pulmonary Embolism: Part II: Risk stratification, treatment,
and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838
3. Sunu I.Emboli Paru: Pencegahan dan Tata Laksana Optimal Pasien Rawat Inap.Dalam:
Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend Course on Cardiology, common soils in
atherosclerosis: The base for prevention and intervention Jakarta.2006.h.9-18
4. Piazza G, Goldhabber SZ. Acute Pulmonary Embolism: Part I:Epidemiology and Diagnosis.
Circulation 2006;114:28-32
5. Sobieszczyk P, dkk. Acute Pulmonary Embolism: Don’t ignore the platelet. Circulation
2002;106:1748-1749
6. Fedullo PF: Pulmonary Embolism. Dalam:Robert AO, Valentin F,R.Wayne A, penyunting.
The Heart Manual of Cardiologi. Edisi ke-11. Boston:McGraw Hill, 2005.h.351-2
7. Myerson SG, dkk: Pulmonary Embolism.Dalam: Saul GM, Robin PC, Andrew RJ,
penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1. Oxford University press, 2006.h.190-194
8. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation
2002;106:1436-1438
9. Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam: Desmond GJ, Cowan
JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8. Edinburgh: Churchill
livingstone,2000.h.181-7
10. Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam: Neil RG, David EN, penyunting.
Cardiology. Edisi ke-1. Edinburgh: Churchill livingstone,2000.h.181-7
11. Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald. Penyunting.
Braunwald’s heart disease, a textbook of cardiovascular medicine. Edisi ke-7. Philadelphia:
Elsevier saunders,2005.h.1789-06
12. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CAMJ 2003;168:183-194
13. Palareti G, dkk. Predictive value of D-dimer Test for recurrent venous thromboembolism
after anticoagulation withdrawl in subjects with a previous idiopathic event and in carriers of
congenital thrombophilia. Circulation 2003;108:313-18

30
14. Fedullo PF, dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl J Med
2003;349:1247-56
15. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism.N Engl J Med 1998;339:93-03
16. Janata K. Managing pulmonary embolism. BMJ 2003;326:1341-1342
17. Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and prophylaxis.
Circulation 2006;114:42-47
18. Turpie GG, dkk. ABC of antithrombotic Therapy, venous thromboembolism: treatment
strategies. BMJ 2002;325:948-50

31

Anda mungkin juga menyukai