Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset


dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berbagai macam kendala
yang sering kita hadapi dalammensukseskan kerukunan antar umat beragama, dari
luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga
Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknyaagama yang ada di Indonesia,
maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut.

Dalam konteks toleransi antar beragama, islam memiliki konsep yang


sangat jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama”. “bagimu Agamamu, bagiku
agamaku” merupakan contoh popular dari toleransi dalam islam. Selain ayat-ayat
itu, banyak ayat lain yang tersebar dalam surat dan juga sejumlah hadits serta
praktik toleransi dalam sejarah islam. Fakta-fakta historis itu menunjukan bahwa
masalah toleransi dalm islam bukanlah konsep asing.

Menurut agama islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi
juga alam semesta, binatang, serta lingkungan hidup. Dengan cakupan toleransi
yang luas maka toleransi antar umat beragama dalam islam merupakan perhatian
yang penting dan serius. Karena tolerasi beragama menyangkut keyakinan
manusia yang sangat sensitive dan mudah menimbulkan konflik. Oleh karena itu,
makalah berikut ini akan mengulas pandangan islam terhadap toleransi dalam
beragama.

Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dapat


dihindari oleh manusia. Tuhan telah menciptakan manusia dalam pluralisme dan
manusia telah menjadi bagian dari pluralisme itu sendiri, begitu pula dalam hal
keagamaan. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk
dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika pluralisme agama
tidak dipahami secara benar oleh pemeluk agama, agama akan menimbulkan
dampak negatif berupa konflik antar umat beragama dan disintegrasi bangsa.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Kerukunan

Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan
“damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan
“bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud,
1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan”
adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.

Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena
sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup
berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk
mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling
terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih. Kerukunan
antarumat beragama.

Bermakna rukun dan damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam


segala aspek kehidupan, seperti aspek ibadah, toleransi, dan kerja sama antarumat
beragama. Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan
hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social,
manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.

Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong


menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa
saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.

Selain itu islam juga mengajarkan manusia untuk hidup bersaudara


karena pada hakikatnya kita bersaudara. Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan

2
salah satu ajaran yang pada hakikatnya bukan bermakna persaudaraan antara
orang-orang Islam, melainkan cenderung memiliki arti sebagai persaudaraan yang
didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat Islami.

Sungguh bahwa Allah telah menempatkan manusia secara keseluruhan


sebagai Bani Adam dalam kedudukan yang mulia, walaqad karramna bani Adam
(QS 17:70).

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami


angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”

Manusia diciptakan Allah SWT dengan identitas yang berbeda-beda agar


mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat antara yang satu dengan
yang lain (QS 49:13).

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal..”

3
Tiap-tiap umat diberi aturan dan jalan yang berbeda, padahal andaikata
Allah menghendaki, Dia dapat menjadikan seluruh manusia tersatukan dalam
kesatuan umat. Allah SWT menciptakan perbedaan itu untuk member peluang
berkompetisi secara sehat dalam menggapai kebajikan, fastabiqul khairat (QS
5:48).

Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu,”

Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an dan hadist


sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwah, yakni:

a. Ukhuwah ‘ubudiyyah, ialah persaudaraan yang timbul dalam lingkup


sesama makhluk yang tunduk kepada Allah.

4
b. Ukhuwah insaniyyah atau basyariyyah, yakni persaudaraan karena sama-
sama memiliki kodrat sebagai manusia secara keseluruhan (persaudaraan
antarmanusia, baik itu seiman maupun berbeda keyakinan).
c. Ukhuwah wataniyyah wa an nasab, yakni persaudaraan yang didasari
keterikatan keturunan dan kebangsaan.
d. Ukhuwah diniyyah, yakni persaudaraan karena seiman atau seagama.

Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan


bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib
sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya
yang artinya ” Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh,
apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan
demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan
kesatuan antar sesama. Kebersamaan di kalangan muslim dikenal dengan istilah
ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah.

Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial
anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama
dalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan
dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.

2.1.1. Pengertian Kerukunan Menurut Islam

Kerukunan dalam Islam diberi istilah “tasamuh ” atau toleransi.


Sehingga yang di maksud dengan toleransi ialah kerukunan sosial
kemasyarakatan, bukan dalam bidang aqidah Islamiyah (keimanan), karena
aqidah telah digariskan secara jelas dan tegas di dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits.

Dalam bidang aqidah atau keimanan seorang muslim hendaknya


meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama dan keyakinan yang
dianutnya sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Surat Al-Kafirun ( 109)
ayat 1 – 6 sebagai berikut:

5
Artinya : “Katakanlah, “Hai orang-orang kafir! “. Aku tidak
menyembah apa yang kamu sembah. Dan tiada (pula) kamu menyembah
Tuhanyang aku sembah. Dan aku bukan penyembah apayang biasa kamu
sembah. Dan kamu bukanlah penyembah Tuhanyang aku sembah. Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku”.

Sikap sinkritisme dalam agama yang menganggap bahwa semua


agama adalah benar tidak sesuai dan tidak relevan dengan keimanan
seseorang muslim dan tidak relevan dengan pemikiran yang logis, meskipun
dalam pergaulan sosial dan kemasyarakatan Islam sangat menekankan
prinsip toleransi atau kerukunan antar umat beragama.

Apabila terjadi perbedaan pendapat antara anggota masyarakat


(muslim) tidak perlu menimbulkan perpecahan umat, tetapi hendaklah
kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam sejarah kehidupan
Rasulullah SAW., kerukunan sosial kemasyarakatan telah ditampakkan pada
masyarakat Madinah. Pada saat itu rasul dan kaum muslim hidup
berdampingan dengan masyarakat Madinah yang berbeda agama (Yahudi
dan Nasrani).

Konflik yang terjadi kemudian disebabkan adanya penghianatan dari


orang bukan Islam (Yahudi) yang melakukan persekongkolan untuk
menghancurkan umat Islam.

.2. Toleransi Dalam Islam

Pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab) sangat positif dan sangat
kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang
dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja
sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah
menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut;

6
Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari
komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh
inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam
tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan
pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci
dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.

Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap
murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang
diberiAlkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan
kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim
diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika
kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam
hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit
bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum
lain.

Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum


Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi
ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-
Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu
lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi
perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini,
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja
dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak
di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).

Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama
Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-
Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan
lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat.
Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan
mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka

7
memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah
al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.

Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan


masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling
menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus.
Dengan begitu, jauh- jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan
munculnya bentuk “truth claim” (Abdullah, 1999: 68). Baik itu dalam wilayah
intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya,
sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata
pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.

Oleh Al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim”


yang potensial untuk ekplosif dan destruktif itu, kemudian dinetralisir dalam
bentuk anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai
bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa
merendahkanhati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-
Shabar) dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupnya (surat al-Ashr: 1-3).

Paling tidak, dalan dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau
arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan
masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia
dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi
tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk
membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang
secara alamiah berbeda.

Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah
terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap
seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua
orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi”
kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim,
menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi

8
wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap
damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.

.3. Islam Dan Pluralisme

Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan wajah agama


secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat
Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan
dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat
intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS al-Ankabut 29:46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau
kecurigaan di antara mereka.

Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu


teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang menempati
posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an
merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islam-
terhadap agama lain pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas
umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah
SWT: (Al Hujurat 49:13).

Artinya“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.

Kalau kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan,
pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri

9
sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi
ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa, ada orang
Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas
pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus
diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu.
Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen
untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan
interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.

Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang
lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-
olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat
menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain,
dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: (Q.S. Al Maaidah: 48)

Artinya:“Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami


tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki,
maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia
jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya
kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan.
Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan
kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan”.

10
Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya
dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak
kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an,
bahwa Islam telah memberi karaketer positif kepada komunitas non-Muslim, Ini
bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl al-kitab,
shabih bi ah alkitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam
malahan mengilustrasikan karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia
dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai
kelompok dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat dengan
komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82)

Artinya:” Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras


permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi
dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang
berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri ”.

Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai


agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’
inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia
menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia
menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: (Q.S.
Yunus: 99)

11
Artinya“Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di
muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di
luar kesediaan mereka sendiri?” .

Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan


beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita
semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita.
Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam.
Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan sikap kekerasan,
paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama.

Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya
menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah
paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah
menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia
tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru
berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan
keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar
Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama
yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama,
dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan
(kalimatun sawa’): “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah
menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa
kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada
apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain
sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah” (Q.S. al-Maidah: 64)

12
Artinya : “Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",
sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat
disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-
dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al
Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan
Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari
kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan
mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang membuat kerusakan.”.

Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat
memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak
mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan?
Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain
(termasuk Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih
luas: (Q.S 2: 62)

13
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama
Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah
dan hari kemudian dan mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat
ganjaran dari Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita
atas mereka”.

Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang
diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha
Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan
116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang siapa
yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat
diampuni Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak
dapat diampuni Tuhan.

Alqur’an, dengan demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Abdulaziz


Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2002: 59),
adalah jelas memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam pengalaman
pewahyuan umat manusia satu jalan universal yang dimaksudkan untuk semua
makhluk. Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan Islam
memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang dengan
merekalah Islam terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi.

14
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama adalah terciptanya


kehidupan masyarakat yang harmonis dalam kedamaian, saling tolong menolong,
dan tidak saling bermusuhan agar agama bisa menjadi pemersatu bangsa
Indonesia yang secara tidak langsung memberikan stabilitas dan kerukunan
Negara. Cara menjaga sekaligus mewujudkan kehidupan kerukunan hidup antar
umat beragama adalah dengan mengadakan dialog antar umat beragama yang
didalamnya membahas tentang sesama umat beragama. Selain itu, ada beberapa
cara menjaga sekaligus mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragama,
antara lain :

a. Menghilangkan perasaan curiga atau permusuhan terhadap


pemelukagama lain
b. Jangan menyalahkan agama seseorang apabila dia melakukan
kesalahantetapi salahkan orangnya.
c. Biarkan umat lain melaksanakan ibadahnya jangan mengganggu
umatlain yang sedang beribadah.
d. Hindari diskriminasi terhadap agama lain

Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan pada pembahasan, maka dapat


dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain :

a. Toleransi adalah sikap memberikan kemudahan, berlapang dada, dan


menghargai oranglain yang berbeda dengan kita.
b. Islam merupakan agama yang menjadikan sikap toleransi sebagai bagian
yangterpenting, sikap ini lebih banyak teraplikasi dalam wilayah interaksi
social sebgaimanayang ditunjukkan Rasulullah SAW.
c. Sikap toleransi dalam beragama adalah menghargai keyakinan agama
lain dengan tidak bersikap menyamakan keyakinan agama lain dengan
keyakinan islam itu sendiri
d. Islam tidak memandang pluralisme sebagai sebuah perpecahan yang
berdampak negatif, akantetapi Islam memandang pluralisme sebagai rahmat

15
yang Allah turunkan kepada makhluk-Nya. Dengan pluralitas, kehidupan
menjadi dinamis dan tidak stagnan karena terdapat kompetisi dari masing-
masing elemen untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi
tidak membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan.

DAFTAR PUSTAKA

16
Kerulunan Dalam Islam https://tafany.wordpress.com/2009/12/24/kerukunan-dalam-
islam/ Diakses 23 Mei 2019.

Dinul Islami, 2017, Fungsi dan peran manusia dalam islam,


http://dinulislami.blogspot.com/2016/03/fungsi-dan-peranan-manusia-dalam-
islam.html. Diakses 23 Mei 2019.

https://www.academia.edu/36460130/MAKALAH_PLURALISME_AGAMA_DAN_T
OLERANSI_DALAM_ISLAM.docx Diakses 23 Mei 2019.

17

Anda mungkin juga menyukai