Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................ 1


Bab I Status Pasien ............................................................................................... 2
I. Identitas Pasien ........................................................................................... 2
II. Anamnesis .................................................................................................. 2
III. Pemeriksaan Fisik Generalis .................................................................. 4
IV. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 5
V. Resume ....................................................................................................... 6
VI. Diagnosis ................................................................................................... 6
VII. Penatalaksanaan ..................................................................................... 6
VIII. Prognosis................................................................................................ 6
Bab II Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 7
I. Definisi ......................................................................................................... 7
II. Epidemiologi .............................................................................................. 7
III. Etiologi ...................................................................................................... 8
IV. Patofisiologis ............................................................................................. 8
V. Manifestasi Klinis .................................................................................... 10
VI. Penegakan diagnosis .............................................................................. 11
VII. Penatalaksanaan ........................................Error! Bookmark not defined.
VIII. Komplikasi .......................................................................................... 16
IX. Pencegahan ............................................................................................. 16
X. Prognosis .................................................................................................. 16
Bab III Pembahasan ........................................................................................... 17
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 18

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
 Nama Pasien : An. M.T.S.B
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Tanggal Lahir / Usia :
 Pekerjaan : Pelajar
 Alamat :
 Status Pernikahan : Belum Menikah
 Suku :
 Agama : Islam
 Pendidikan Terakhir : SD
 Tanggal Masuk Perawatan : 12 April 2019

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Demam sejak 7 hari SMRS terutama menjelang sore hari

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD dengan keluhan Demam sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan
muncul saat menjelang sore maghrib dan berkurang saat menjelang pagi hari. Selain itu juga
pasien ada keluhan mual dan muntah sebanyak 3 kali, isi muntah makanan, warna biasa. Pasien
juga mengeluhkan sakit-sakit badan. Selain itu juga pasien mengeluhkan belum BAB sejak 2
hari terakhir ini. Pasien tidak ada tanda-tanda perdarahan spontan. Pasien juga buang air kecil
biasa.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami hal seperti ni sebelumnya.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada.

2
III. Pemeriksaan Fisik Generalis
A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
B. Kesadaran : Compos mentis; GCS 15 (E4 M6 V5)
C. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Pernafasan : 22x/menit
Nadi : 120x/menit
Suhu : 37,9oC
D. Status Generalis
a. Kepala : Normocephal
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
c. Hidung : Septum deviasi (-), mukosa normal, hipertrofi konka (-), sekret (-)
d. Telinga : Normotia, sekret (-), serumen -/-, liang telinga lapang
e. Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
f. Leher : Bentuk normal, KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba
g. Thoraks
Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris kanan-kiri
Palpasi : Taktil vokal fremitus teraba simetris
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
h. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 4x/menit
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
i. Genitalia
Inspeksi : Tidak ada kelainan
j. Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik

3
IV. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil (12 April 2019) Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,4 11,5-14,5 g%
Hematokrit 38,7 40-50
Leukosit 4.300 4.000-14.000 /μL
Trombosit 210.000 150.000-450.000 /μL
IMMUNOLOGI SEROLOGI (WIDAL)
Salmonella Typhi O 1/320 Negatif
Salmonella Typhi OA 1/160 Negatif
Salmonella Typhi H 1/160 Negatif
Salmonella Typhi HA 1/160 Negatif
KIMIA KLINIK ELEKTROLIT
Natrium/Na 145 135 -145 mEg/l
Kalium/K 4,5 3,5 - 5,1 mEg/l
Chlorida/Cl 114 98 – 106 mEg/l

4
V. Resume
Pasien An. M.T.S.B, laki-laki berusia 7 tahun datang ke IGD dengan keluhan Demam
sejak 7 hari SMRS. Demam dirasakan muncul saat menjelang sore maghrib dan berkurang saat
menjelang pagi hari. Selain itu juga pasien ada keluhan mual dan muntah sebanyak 3 kali, isi
muntah makanan, warna biasa. Pasien juga mengeluhkan sakit-sakit badan. Selain itu juga
pasien mengeluhkan belum BAB sejak 2 hari terakhir ini. Pasien tidak ada tanda-tanda
perdarahan spontan. Pasien juga buang air kecil biasa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos mentis dan
GCS 15. Tekanan darah 100/70 mmHg, pernafasan 22x/menit, nadi 120x/menit, suhu 37,9oC.
Pada status generalis tidak ditemukan kelainan
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Peningkatan pada nilai pemeriksaan widal.

VI. Diagnosis
Demam Typhoid.
Diagnosa Banding : Demam berdarah dengue, Malaria, Demam Dengue.

VII. Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa
 Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana tatalaksana.
B. Medikamentosa
- IVFD : RL : 20 TPM
- Ceftriaxone : 2 x 1 gr / IV
- Ranitidin : 2 x 20 mg / IV
- Ondacentron : 3 x 0,2 mg / IV
- PCT Infus : 200 mg / drips jika suhu ≥ 38,50 C
- PCT Syrup : 3 x 1,5 cth / PO

VIII. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp
(lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, B, C

II. Epidemiologi

Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

6
III. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi

IV. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan
menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi
berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan
menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel
yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan
dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
7
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sitemik.
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi infeksi
sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan dan gangguan organ lainnya.

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

8
V. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi
dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
 Demam sekitar interminten/remiten
 Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
 Gambaran gejala saluran nafas atas
 Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
 Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/
hepatomegali
 Raseola mungkin ditemukan

9
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
 Demam kontinyu
 Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali permenit)
 Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
 Hepatomegali dan splenomegali,
 Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan
kehilangan nafsu makan
 Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


 Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
 Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.

VI. Penegakan diagnosis


Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses
kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada
pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula
terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan
dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini
kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan false-positif
terjadi.

10
a. Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang
disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk
menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O,
kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara
9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi
aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah
divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
11
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
b. Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.

12
VII. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat yang
adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan-
elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi
abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi.
Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka
kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam
tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut
adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk
antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal, diikuti
1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien dengan syok,
penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan pengawasan .

13
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

14
VIII. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.

IX. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

X. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya
komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat
kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi ≥3bulan
setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi
karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun
secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.

15
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosa Demam Typhoid pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan utama
berupa demam sejak 7 hari SMRS terutama menjelang sore hari. Awalnya demam dirasakan
muncul saat menjelang sore maghrib dan berkurang saat menjelang pagi hari. Selain itu juga
pasien ada keluhan mual dan muntah sebanyak 3 kali, isi muntah makanan, warna biasa. Pasien
juga mengeluhkan sakit-sakit badan. Selain itu juga pasien mengeluhkan belum BAB sejak 2
hari terakhir ini. Pasien tidak ada tanda-tanda perdarahan spontan. Pasien juga buang air kecil
biasa.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan
hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37,9oC. Pada pemeriksaan fisik
lainnya tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan hasil Widal. Dan pemeriksaan
penunjang lainnya lain dalam batas normal.
Penatalaksanaan dilakukan dengan medikamentosa yaitu dengan IV line untuk
memudahkan akses memasukkan obat dan rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL 20tpm
Makro), Antibiotik (Ceftriaxone 2 x 1gr / IV), Antimual (Ranitidin 2 x 20mg / IV,
Ondancentron 3 x 0,2mg / IV), Antipiretik (PCT Infus 200 mg / Drips jika suhu ≥ 38,50 C, PCT
Syrup 3 x 1,5 cth / PO).

16
DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid


Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and
Biologicals. WHO.

Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment of
Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York,

Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article


231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011.

Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi,
Maulani RF. Jakarta EGC

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,


Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
edisi IV. Jakarta FKUI

17

Anda mungkin juga menyukai