Anda di halaman 1dari 3

Edited by Foxit Reader

Copyright(C) by Foxit Software Company,2005-2008


For Evaluation Only.

Kompas – Jumat, 2 Oktober 2015, hlm. 1 & 15

Pancasila Jangan Jadi Slogan Kosong


-Keadilan Sosial Kunci Mencegah Radikalisme dan Intoleransi

JAKARTA, KOMPAS – Para elite politik, tokoh masyarakat, dan agamawan punya tanggung
jawab besar mendorong aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Pembiaran
terhadap penggerogotan Pancasila yang merupakan landasan pembentukan bangsa bisa
berujung pada runtuhnya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.

Munculnya sejumlah kasus, seperti kesenjangan sosial, radikalisasi, dan intoleransi, menjadi
peringatan bagi bangsa Indonesia untuk lebih serius merevitalisasi nilai-nilai Pancasila.

Hal ini terjadi, menurut pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno,
di Jakarta, Kamis (1/10), karena Pancasila merupakan syarat utama bangsa Indonesia untuk
saling menerima kondisi yang majemuk dari sisi etnis, orientasi keagamaan, dan budaya.

“Salah satu implikasi Pancasila adalah kebebasan beragama. Pancasila juga bisa
diimplementasikan dalam wujud masyarakat yang adil dan beradab. Sayangnya, saat ini
hampir setiap hari bisa ditemui informasi mengenai masyarakat yang cepat menyerang, tidak
mau menerima perbedaan, dan suka menunjukkan kekerasan. Ini menunjukkan Pancasila
belum benar-benar dipahami,” kata Magnis.

Seusai memimpin upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti,
Lubang Buaya, Jakarta Timur, kemarin, Presiden Joko Widodo mengingatkan bangsa
Indonesia untuk senantiasa waspada terhadap ancaman yang mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden Jokowi yang untuk pertama kalinya menjadi inspektur upacara dalam peringatan itu
didampingi Ny Iriana Jokowi. Hadir dalam upacara itu, para pemimpin lembaga negara, para
menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan para kepala staf TNI,
Kepala Polri, serta perwakilan negara-negara sahabat.

Peringatan diawali dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, dilanjutkan mengheningkan


cipta yang dipimpin Presiden. Berikutnya berturut-turut Ketua MPR Zulkifli Hasan
membacakan teks Pancasila, Ketua DPD Irman Gusman membacakan Pembukaan UUD
1945, dan Ketua DPR Setya Novanto membacakan ikrar kesetiaan. Upacara ditutup dengan
doa serta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Seusai upacara, Presiden meninjau sumur yang apda peristiwa 1965 digunakan untuk
mengubur tujuh pahlawan revolusi. Sumur itu berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman
12 meter. Terakhir, Presiden melihat monumen tujuh pahlawan revolusi dan relief yang
menggambarkan peristiwa pada 1965.

Upaya Sungguh-Sungguh

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengingatkan,
“Memperingati Hari Kesaktian Pancasila jangan sekadar dengan upacara. Harus ada upaya
sungguh-sungguh untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila.”
Edited by Foxit Reader
Copyright(C) by Foxit Software Company,2005-2008
For Evaluation Only.

Salah satu bentuk konkretnya adalah meninjau ulang peraturan perundang-undangan agar
sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ini disebabkan tidak sedikit aturan yang
justru membuat keadilan sosial sulit diwujudkan. “Perekonomian dikuasai oleh kelompok
tertentu, hasil kerja sama antara penguasa dan pengusaha. Sama sekali jauh dari cita-cita
kemerdekaan untuk menyejahterakan rakyat yang termaktub dalam Pancasila atau UUD
1945,” ujarnya.

Syafii Maarif meyakini, jika keadilan sosial terwujud, radikalisme atau intoleransi bisa
dicegah.

Rasio gini sebagai indikator ketimpangan ekonomi pada 2013 adalah 0,41 dalam skala 0-1.
Semakin besar rasio gini, ketimpangan makin lebar.

Dalam Rencana Permbangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah


menargetkan rasio gini menjadi 0,36 pada 2019.

Namun, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan rasio
gini akan menjadi 0,42 pada 2015.

Indef juga mencatat, kesejahteraan rakyat ditengarai merosot dalam satu tahun terakhir. Upah
riil buruh tani per Januari 2014 yang besarnya Rp 39.383 per hari turun menjadi Rp 37.887
per hari pada Juli 2015. Nilai tukar petani (NTP) pada Juni 2015 juga turun dibandingkan
dengan NTP di subsektor tanaman pangan dan perkebunan rakyat masing-masing turun dari
98,14 menjadi 97,29 dan dari 101,23 menjadi 97,78. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga
juga turun dari 5,1 persen per triwulan I-2015 menjadi 4,9 persen per triwulan II-2015
(Kompas, 25/8).

Sementara itu, indeks persepsi korupsi 2014 yang dirilis Transparency International mencatat,
Indonesia mendapat skor 34 dalam rentang 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 sangat
bersih). Skor Indonesia itu di bawah skor rata-rata dunia yang sebesar 43.

Belum Serius

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Salahuddin Wahid menuturkan, saat ini
Pancasila hanya banyak ditemukan dalam pembicaraan dan naskah pidato, tetapi tidak dalam
kehidupan sehari-hari.

Terkait hal ini, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra
berharap pemerintah lebih serius melakukan rejuvenasi Pancasila. Dengan demikian, tidak
terjadi skeptisisme masyarakat terhadap nilai Pancasila.

Menurut Azyumardi, upaya rejuvenasi Pancasila dapat dilakukan dengan kontekstualisasi


sila-sila Pancasila dalam aktivitas sehari-hari. Pemerintah juga harus mampu menjadikan
Pancasila bukan sekadar nilai-nilai, melainkan ideologi terbuka sehingga dapat menjadi
wacana yang dapat diterima dan dipahami masyarakat.

“Langkah itu hanya dapat diwujudkan melalui langkah atau program afirmatif dari
pemerintah untuk membumikan cita-cita ideal Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan
bansga,” kata Azyumardi.
Edited by Foxit Reader
Copyright(C) by Foxit Software Company,2005-2008
For Evaluation Only.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menuturkan, pemerintah perlu mendorong kembali program
sosialisasi Pancasila di tengah masyarakat. Sosialisasi itu perlu dilakukan melalui pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan. Sosialisasi itu perlu melibatkan semua lapisan masyarakat,
tidak hanya pemerintah.

“Kami sudah mengusulkan kepada Presiden agar lembaga yang menangani karakter bangsa
Indonesia diadakan kembali. Lembaga itu harus terdiri atas berbagai stakeholder,” katanya.

Manfaatkan Seni

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif berpendapat, agar sosialisasi terhadap
Pancasila berlangsung efektif, upaya itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga menyentuh
afeksi masyarakat. Pasalnya, keyakinan terhadap Pancasila akan muncul dari afeksi, bukan
pikiran. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan media-media yang dapat menggugah
hati, seperti melalui seni.

“Musik, film, media-media itu dapat digunakan, sebagaimana perajut etika masa lalu
menggunakan media wayang atau gamelan. Jadi, nilai-nilai itu langsung tertambat pada hati
dan jadi keyakinan. Apalagi, saat ini adalah era generasi yang tumbuh di dunia modern,
penuh eksplorasi terhadap hal artistik,” kata Yudi.

Penyanyi dan pemerhati lingkungan, Oppie Andaresta, berpendapat, karya seni efektif
menunjukkan identitas Pancasila, bahkan di kancah internasional.

“Di festival musik internasional yang pernah saya datangi, orang sangat tertarik dengan
ragam budaya Indonesia. Mereka akan lebih menghargai kita lewat pemikiran dan karya,”
ujarnya.

Sebagai ideologi, ujarnya, Pancasila amat lengkap. Pancasila menuntun hubungan manusia
dengan Tuhan dan sesama manusia. Bahkan, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, juga mengandung makna bersikap adil pada lingkungan sekitar.

Letnan Jenderal (Purn) TNI Saiful Sulun mengatakan, Pancasila juga telah terbukti mampu
membawa bangsa Indonesia melewati masa-masa sulit. Itu membuktikan Pancasila adalah
ideologi yang paling ideal sebagai alat pemersatu bangsa.

“Bangsa Indonesia sudah melewati banyak peristiwa menegangkan. Selain serangan dari
kolonial Jepang, ada peristiwa pemberontakan G30S PKI dan peristiwa Mei 1998. Sampai
saat ini, kita masih bersatu dalam NKRI,” katanya. (APA/SAN/WHY/AGE/B08/COK/HEI)

Anda mungkin juga menyukai