Anda di halaman 1dari 9

SERANG, (KB).

- Objek wisata alam Situ Cibanten yang berlokasi di Kampung


Masigit, Desa Sukabares, Kecamatan Ciomas, kondisinya tidak terawat dan dipenuhi rumput liar.
Akibatnya destinasi wisata yang sudah berumur ratusan tahun itu kini tampak kumuh dan sepi dari
pengunjung.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kabar Banten, Cibanten adalah salah satu sumber air yang biasa
digunakan warga sekitar. Asal mula diberi nama Cibanten dikarenakan pada masa Kesultanan Banten
sangatlah sulit mencari sumber air yang dapat mengairi sebagian besar daerah Banten.

Sampai akhirnya ditemukan sumber air yang kemudian diberi nama Cibanten. Cibanten dilestarikan oleh
pemerintah, dirawat dan dilindungi oleh Perhutani. Aliran air disana mengalir sampai ke Kali Banten dan
mayoritas digunakan oleh penduduk pada masa Kesultanan Banten hingga saat ini.

Air dari sumber terbesar itu digunakan masyarakat untuk keperluan pengairan lahan pertanian hingga
untuk konsumsi masyarakat. Airnya yang tidak pernah surut sepanjang tahun meskipun musim kemarau
membuatnya menjadi andalan masyarakat.

Namun kini, nasib situ bersejarah itu sudah jauh dari layak. Tampak rumput air atau dikenal warga sekitar
dengan sebutan rumput genggong memenuhi permukaanya. Airnya yang dulu biru dan jernih kini
tampak keruh dan kotor. Pengunjung yang biasanya ramai untuk menikmatinya kina pun tampak sepi.

Seorang pedagang makanan di area Objek Wisata Alam Cibanten, Abang mengatakan, kondisi Cibanten
yang dipenuhi oleh rumput, dan sudah mengalami pendangkalan ini sudah terjadi sejak akhir tahun
2017. Pada saat itu tanda tanda munculnya rumput liar itu sudah terlihat. “Jadi waktu itu pas musim
angin kencang dan hujan mulainya akhir tahun,” ujarnya kepada Kabar Banten saat ditemui di lokasi,
Kamis (28/6/2018).

Abang mengatakan, selama ini petugas dari Pemerintah daerah (Pemda) juga sudah ada yang mencoba
untuk membersihkannya. Namun kerja tersebut masih dinilai belum maksimal. Sebab bekerjanya sedikit
sedikit, sehingga pekerjaanya saling kejar dengan masa tumbuh rumput. “Enggak sekaligus, jadi belum
selesai sudah tumbuh lagi rumputnya. Sudah dari sekitar empat bulanan,” katanya.
Pria yang sudah sejak masa Reformasi berjualan di sekitar Cibanten itu mengatakan, sebelum kondisinya
memprihatinkan seperti saat ini, banyak wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Bukan hanya dari
Kabupaten Serang, tapi juga dari Kabupaten Lebak, dan Pandeglang. Kedatangan mereka hanya sekadar
untuk mandi dan menikmati kesejuhkan alam yang masih asri. Itu. “Banyak yang datang dulu mah, ada
juga yang mincing. Soalnya banyak ikannya disitu,” ucapnya.

Dirinya pun merasa miris dengan kondisi saat ini. Bahkan beberapa waktu lalu datang segerombolan
orang untuk melihat situ tersebut. Setelah melihat kondisinya yang demikian, mereka pun
mengurungkan niatnya. “Pas sampai sini enggak jadi mandi katanya takut gatal, terus takut ada ular. Ya
akhirnya pulang lagi, walaupun datang kesini itu tak dipungut biaya sepeser pun” katanya.

Ia mengatakan, Situ Cibanten ini memang sudah saat mendapatkan perhatian khusus. Selama ini
pengerukan pun sudah tidak pernah dilakukan. Pengerukan baru pernah dilakukan oleh mendiang Tb
Khasan Sohib ayah dari Gubernur Banten Non Aktif Ratu Atut Chosiah beberapa tahun lalu. “Jadi setahu
saya baru sekali dikeruk. Dulu itu kedalamannya satu batang bambu bisa luput sampai dasar, tapi kalau
sekarang paling dalam saja paling 3 meter,” tuturnya.

Sementara itu, Camat Ciomas, Leli Hambali mengatakan, bahwa Situ Cibanten tersebut lahannya
merupakan milik Perhutani. Dirinya mengakui jika saat ini kondisi wisata alam tersebut memang sudah
tidak terurus.”Saya tugas baru satu tahunan lebih, saya juga pernah nanya- nanya, pernah ngobrol juga
dengan orang Ciomasnya, pernah diupayakan (Pengelolaan wisata Cibanten), tapi ada sebagian
masyarakatnya yang belum siap pariwisatanya dikelola. Tentunya mungkin dengan alasan alasan ada ke
khawatiran, karena disitu ada sumber air baku bagi masyarakat Ciomas, mungkin ada ke khawatiran
esana,” ujarnya. (DN)*

SEMARANG - Setelah dipindah ke Taman Margasatwa Mangkang 2006 silam, kondisi Taman Margasatwa
Tinjomoyo yang kini dikenal dengan hutan wisata Tinjomoyo Semarang memprihatinkan. Lokasi yang
memiliki luas 57,5 hektar itu kini sepi dan terkesan mangkrak.
Pantauan KORAN SINDOdi lapangan, kondisi sepi terlihat di lokasi itu,kemarin. Padahal sebelum proses
pemindahan itu, ribuan orang selalu mengantre untuk masuk ke lokasi itu untuk berlibur bersama
keluarga menikmati akhir pekan. Sepinya pengunjung tak lepas dari pengelolaan kawasan itu yang
kurang optimal.

Sejauh mata memandang, di lokasi itu hanya terlihat hutan belukar tak terawatt dan beberapa bangunan
bekas kandang satwa yang sudah rusak ditumbuhi tanaman. “Saya belum pernah ke sini lagi semenjak
satwa di sini dipindahkan ke Bonbin Mangkang. Ternyata kondisinya sekarang memprihatinkan, tidak
terawat dan tidak memiliki daya tarik sama sekali untuk berwisata,” kata Darmadi,45, salah satu
pengunjung yang ditemui saat berjalan-jalan di kawasan itu, kemarin.

Baca Juga:

Sambangi Rusunawa, Anung Usung Isu Pendidikan

Pemprov Jateng Dinilai Kurang Serius Atasi Kemiskinan

Darmadi menambahkan, sebenarnya potensi Tinjomoyo dapat ditingkatkan dengan membuat lokasi itu
sebagai arena outbond atau arena perkemahan. Seperti lokasi hutan wisata di berbagai kota lain yang
lebih maju, Tinjomoyo sebenarnya dapat menirunya. “Seperti di Bogor, Bandung dan banyak kota lain
yang sukses mengelolahutan wisata.

Sebenarnya di sini (Tinjomoyo) juga bias kalau ada kemauan dan keseriusan. Kalau dibiarkan saja seperti
ini sayang sekali,” ucapnya. Sepinya pengunjung dibenarkan oleh Kepala UPTD Tinjomoyo, Endang
Riwayati. Menurut dia, sehari-hari lokasi itu memang sepi pengunjung.“Ya mau ramai bagaimana,
kondisinya saja seperti ini. Memang kurangmenarik untuk berwisata,” kata dia.

Bahkan, menurut dia, target pemenuhan pendapatan dari Tinjomoyo tahun ini sebesar Rp8 juta sangat
sulit didapat melihat kondisi semacam ini. Namun, pihaknya mengaku akan terus berupaya
meningkatkan pendapatan dari pengunjung. ”Kalau kami pasti akan terus berupaya dan
bertanggungjawab untuk memajukan lokasi ini, tapi kalau kondisinya sama seperti ini tentu itu hal yang
tidak mudah. Kalau boleh berharap sebenarnya, kami juga menginginkan lokasi ini dikelola lebih baik
lagi,” katanya.
Kepala Bidang Pengembangan Industri Wisata, Disbudpar Kota Semarang Giarsito Sapto mengatakan,
Pemkot Semarang sebenarnya sudah mewacanakan lokasi hutan Wisata Tinjomoyo digubah menjadi
arena wisata adventure. Namun untuk memenuhi hal itu, pemkot kesulitan mendatangkan investor.

“Kalau dikelola dengan APBD Kota Semarang, itu tidak akan mampu karena biayanya sangat besar, salah
satunya adalah melalui investor. Namun hingga saat ini belum ada investor yang tertarik menanamkan
modalnya untuk keperluan tersebut,” kata dia. Enggannya investor lanjut Sapto dikarenakan berbagai
hal, diantaranya lokasi yang berada di tanah labil.

Selain itu, adanya perkampungan warga yang berada di dalam kawasan taman Tinjomoyo juga menjadi
alasan enggannya investor masuk. ”Soalnya jalan itu menjadi salah satu akses perkampungan warga, hal
itu juga yang membuat investor enggan. Namun faktor utamanya adalah kontur tanah yang labil di lokasi
itu,” paparnya.

Meski demikian, pihaknya mengaku tidak akan berhenti mencari investor yang mau mengembangkan
hutan wisata Tinjomoyo. Di tahun ini, pihaknya akan kembali menawarkan kepada para investor.
“Mudah-mudahan ada investor yang mau mengembangkan kawasan itu sehingga lokasi itu akan menjadi
ramai dan menjadi salah satu destinasi wisata yang digemari masyarakat,” tandasnya

Miris, Tempat Wisata Edukasi Jadi Tempat Pembuangan Akhir (Lagi)

10 Agustus 2019 17:27 Diperbarui: 10 Agustus 2019 17:27 376 8 7

Miris, Tempat Wisata Edukasi Jadi Tempat Pembuangan Akhir (Lagi)

Onggokan Sampah di bekas tempat wisata | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Nostalgia TPA Pakusari, Jember


Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari, disediakan sebagai penampungan akhir dari seluruh sampah
yang ada di kabupaten Jember. Sampah-sampah dari 31 kecamatan, 22 kelurahan, dan 226 desa
diharapkan bisa terkumpul semua di lokasi spesial ini bersama kawanan sampah yang lain.

ADVERTISING

inRead invented by Teads

Jadi, sampah yang bisa sampai di lokasi ini adalah sampah yang beruntung, bisa berkumpul dengan
keluarganya. Saya masih bisa melihat sampah lain yang tercecer di trotoar jalan, di tepian sungai, di
pantai, dan di tempat-tempat umum yang idealnya menjadi tempat steril sampah.

Salah satu keistimewaan tempat TPA Pakusari ini karena pernah diresmikan sebagai tempat wisata
edukasi. Bulan Juli tahun 2018 saya beruntung bisa menikmati wisata di lokasi TPA. Berbeda dari yang
saya bayangkan, TPA yang identik dengan tempat kotor, kumuh, jorok, sarang nyamuk, dan berbau
menyengat, sangat jauh dari anggapan itu.

TPA Pakusari "kala itu" dirias apik sehingga berubah menjadi lokasi wisata yang indah penuh warna,
edukatif, sejuk, instagenik, nyaman, dan tidak berbau.

Saya sangat menikmati sekali suasana di sana. Bagitu masuk lewat pintu utama, mata dimanjakan
dengan pohon-pohon hijau yang tertata rapi, suasana sejuk meskipun Juli 2018 sudah masuk musim
kemarau.

Seluruh bangunan dicat warna-warni, dihiasi dengan hiasan dari barang bekas, juga aneka lukisan serta
tulisan yang mengajak untuk tidak buang sampah sembarangan dan sayang lingkungan.

Gapura Zona Pasir. Bukan area pembuangan sampah | Dokumentasi Amir El Huda, 2018

Gapura Zona Pasir. Bukan area pembuangan sampah | Dokumentasi Amir El Huda, 2018
Pengunjung sudah ramai katika saya masuk. Tampak mereka sedang asik berfoto, ngobrol, bermain di
zona pasif, bersantai di kafe sampah, dan belajar pengelolaan sampah. Pengelola TPA menjelaskan
bahwa pengunjung tidak hanya berasal dari daerah Jember saja.

Rombongan dari luar daerah pun banyak yang datang. Motifnya berbeda-beda: karena penasaran
melihat viralnya pemberitaan TPA Pakusari; berlibur; dan ada yang memang ingin belajar pegelolaan
sampah secara benar.

TPA Pakusari benar-benar disulap jadi tempat yang bermanfaat. Dari sektor pariwisata, warga bisa
berjualan makanan dan minuman di area TPA, melayani wisatawan yang datang. Wisatawan bisa rekreasi
sekaligus melihat dan belajar proses pengolahan sampah yang bisa mereka terapkan di rumah (membuat
pupuk kompos, membuat gas metan, pengetahuan zero waste).

Dari sektor pengelolaan sampah, warga sekitar mendapatkan gas metan gratis untuk keperluan
memasak sehari- yang dihasilkan dari pengelolaan sampah organik. Pemulung bisa mencari sampah di
titik utama pembuangan sampah dan didatangi langsung oleh pembelinya ke lokasi.

Salah satu sudut kafe TPA Pakusari. Bersih, nyaman, dan ada display gas metan hasil pengolahan limbah |
Dokumentasi Amir El Huda, 2018

Salah satu sudut kafe TPA Pakusari. Bersih, nyaman, dan ada display gas metan hasil pengolahan limbah |
Dokumentasi Amir El Huda, 2018

Kafe TPA pun dikelola dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai pekerjanya. Mereka menjelaskan
bahwa gas metan yang digunakan untuk memasak adalah hasil pengolahan sampah. Transaksi di kafe ini
selain menggunakan uang resmi juga bisa menggunakan botol plastik bekas. Sangat menarik. Tapi
sayangnya proses kreatif ini tidak bertahan lama.

Awal Agustus 2019 saya mendengar kabar bahwa penduduk yang memiliki sawah di sekitar TPA
berdemo. Mereka protes, lantaran lahan pertanian mereka tercemar oleh sampah TPA. Kabar itu pula
yang kembali mendorong saya datang ke TPA Pakusari untuk yang kesekian kali. Dan ternyata..........

TPA Pakusari, Riwayatmu Kini.


Tanggal 2 Agustus 2019 sekitar pukul 9 pagi saya kembali berkunjung ke lokasi "wisata edukasi" TPA
Pakusari. Saya membawa nasi sedekah Jumat yang dibagikan setiap Jumat pagi.

Kali ini sekitar 80 bungkus sengaja saya arahkan ke TPA untuk para pemulung dan pekerja. Kegiatan
sedekah Jumat ini sudah berjalan rutin setahun belakangan.

Kebetulan saya sebagai inisiatornya, lalu mengajak beberapa mahasiswa menggalang donatur dan ikut
terjun ke lapangan membagikannya.

Biasanya nasi dibagikan kepada pemulung keliling, tukang becak dan tukang parkir. Masyarakat umum
juga. Biasanya kalau ada sisa, kami titipkan ke marbot masjid untuk dibagikan pada Jama'ah sholat
Jum'at. Tidak terlalu banyak sisanya, biasanya sekitar 90an bungkus saja jumlahnya.

Saya sangat bersyukur, masih banyak orang baik yang gemar berbagi kegemberiaan dengan masyarakat
sekitarnya. Delapan puluhan bungkus nasi yang saya bawa, ternyata masih sangat kurang jumlahnya.
Karena jumlah pemulung yang ada di TPA Pakusari lebih dari 150 orang banyaknya. Mohon maaf karena
tidak mencukupi.

Aktivitas pemulung sampah di salah satu sudut TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Aktivitas pemulung sampah di salah satu sudut TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Lain dulu, lain sekarang, pagi ini saya dibuat tercengang. TPA Pakusari yang dulu digadang-gadang
sebabagai pariwisata edukatif yang unik dan kreatif, kini benar-benar menjadi gudangnya sampah.

Ketika memasuki gerbang, aroma "sedap" yang tajam sudah mulai tercium. Saya masih ingat betul, jalan
masuk yang banyak guguran daun ini dulunya sangat bersih.
Saya juga masih ingat, dulu ada mbak-mbak cantik yang berselfie di lokasi ini. Sekarang jam istirahat
sekolah, tapi lokasi wisata edukasi ini sangat sepi. Padahal tahun lalu anak-anak sekolah ada saja yang
datang ketika jam istirahat.

Kafe sampah di samping bengkel alat berat pengeruk sampah itupun kosong. Kursi dan meja yang buat
dengan menggunakan bahan-bahan bekas sudah tidak ada. Tidak ada satu hidung pun terlihat di sana.

Saya melanjutkan langkah. Sisi kanan tempat penimbangan sampah dulunya adalah zona pasif, yaitu area
yang steril sampah. Sampah diharamkan singgah ke area ini. Jadi, wisatawan bisa bersantai di sini.
Berfoto dengan replika bunga sakura, dan replika balon terbang.

Tahun lalu, zona pasif ini lapang dan bersih. Saya masih sempat merekam anak-anak sekolah yang sedang
beristirahat bermain bola di sini.

Saksi bisu Wisata Edukasi TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Saksi bisu Wisata Edukasi TPA Pakusari | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Di area bawah replika balon terbang ada sebuah kolam. Dulu, ketika sore hari, banyak warga yang
mancing di sini. Namun sekarang, sepi, dan kolam pun banyak sampahnya.

Gapura bertuliskan zona pasif sekarang sudah tidak ada. Zona pasif sekarang sudah menjadi tempat
sampah. Sampah sudah menumpuk, seperti titik pembuangan sampah di belakang sana yang ternyata
sudah menjadi abu. Katanya habis terbakar. Padahal asap dari pembakaran sampah sangat berbahaya
jika sampai terhirup oleh masyarakat sekitarnya.

Kolam yang dulu bisa untuk memancing ikan, sekarang kotor | | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Kolam yang dulu bisa untuk memancing ikan, sekarang kotor | | Dokumentasi Amir El Huda, 2019

Pemandangan gunung sampah yang semakin tinggi dan meluas ini membuat saya merenung. Betapa
sampah yang yang dihasilkan masyarakat berkembang dengan sangat cepat.
Istilah "sedikit demi sedikit akan menjadi bukit" benar-benar nyata terlihat. Sawah dan lahan pertanian
yang langsung bersinggungan dengan TPA Pakusari ini pun tidak tertutup kemungkinan akan menjadi
sasaran perluasan, kelak, ke depan.

Upaya mengelola lokasi TPA memang harus dilakukan, namun tampaknya tidak akan berjalan maksimal
tanpa melibatkan masyarakat sebagai salah satu produsen sampah. Kita adalah bagian dari masyarakat,
yang menjadi penyumbang sampah bagi TPA di wilayah kita berada.

Anda mungkin juga menyukai