Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENGKAJIAN RESIKO JATUH DAN PLEBITIS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Management Pasien Safety Yang Diampu

Oleh Bapak Sawab..

DISUSUN OLEH

Kelompok 2 (1 A2)

1. Faisal Sachrudin ( P1337420118002 )


2. Sheyla Nur Alifah Y ( P1337420118016 )
3. Sri Purwati ( P1337420118045 )
4. Novita Ambar A ( P1337420118076 )
5. Nur Laela R ( P1337420118081 )
6. Armadhea M ( P1337420118083 )
7. Erliyana Dwi A (P1337420118085 )
8. Alya Azkiya U ( P1337420118087 )
9. Violita K ( P1337420118089 )

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN SEMARANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah tugas kelompok Management Pasien Safety
tentang pengkajian resiko jatuh dan plebitis.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah berperan dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebutuhan Dasar Manusia : Rasa Aman dan Nyaman


Keamanan adalah kebutuhan dasar manusia, prioritas kedua berdasarkan kebutuhan
fisiologis dalam hirarki Maslow yang harus terpenuhi selama hidupnya, sebab dengan
terpenuhinya rasa aman setiap individu dapat berkarya dengan optimal dalam hidupnya.
Mencari lingkungan yang betul-betul aman memang sulit, maka konsekuensinya promosi
keamanan berupa kesadaran dan penjagaan adalah hal yang penting. Ilmu keperawatan sebagai
ilmu yang berfokus pada manusia dan kebutuhan dasarnya memiliki tanggung jawab dalam
mencegah terjadinya kecelakaan dan cedera sebagaimana merawat klien yang telah cedera
tidak hanya di lingkungan rumah sakit tapi juga di rumah, tempat kerja, dan komunitas. Perawat
harus peka terhadap apa yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi klien
sebagai individu ataupun klien dalam kelompok keluarga atau komunitas (Patmawati, 2008).
Menurut Craven (2000) keamanan tidak hanya mencegah rasa sakit dan cedera tetapi juga
membuat individu merasa aman dalam aktifitasnya. Keamanan dapat mengurangi stres dan
meningkatkan kesehatan umum.

B. Keselamatan Pasien (Patient Safety)


Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen risiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera
yan disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit,
Depkes R.I. 2006).
Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk menciptakan
budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit,
menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak
terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan. Mengingat masalah keselamatan pasien
merupakan masalah yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar
keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di
Indonesia.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni
:
1. Hak Pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut menganjurkan
’Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit’ yang terdiri dari :
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktifitas pengelolaan resiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan bekomunikasi dengan pasien
6. Belajar dari berbagai pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

Jatuh

1. Definisi
Jatuh adalah suatu peristiwa di mana seorang mengalami jatuh dengan atau tanpa
disaksikan oleh orang lain, tak disengaja / tak direncanakan, dengan arah jatuh ke lantai, dengan
atau tanpa mencederai dirinya. Penyebab jatuh dapat meliputi faktor fisiologis (pingsan) atau
lingkungan (lantai yang licin) (Yohanto, 2014).

2. Faktor Resiko Jatuh


1) Riwayat jatuh sebelumnya
2) Gangguan Kognitif
3) Gangguan keseimbangan, gaya berjalan, atau kekuatan
4) Gangguan mobilitas
5) Penyakit neurologi; seperti stroke dan Parkinson
6) Gangguan muskuloskeletal; seperti artritis, penggantian sendi, deformitas.
7) Penyakit kronis; seperti osteoporosis, penyakit kardiovaskular, penyakit paru dan
diabetes
8) Masalah nutrisi
9) Medikamantosa (terutama konsumsi > 4 jenis obat)

3. Etiologi Jatuh
1) Ketidaksengajaan : 31%
2) Gangguan gaya berjalan / keseimbangan : 17%
3) Vertigo : 13%
4) Serangan jatuh (drop attack): 10%
5) Gangguan kognitif : 4%
6) Hipotensi postural : 3%
7) Gangguan visus : 3 %
8) Tidak diketahui : 18%

4. Kunci Keberhasilan Program Pencegahan Cedera Akibat Resiko Jatuh


1) Prioritas utama adalah keselamatan pasien
2) Gunakan pendekatan yang sederhana dan terstandarisasi
3) Kata Kunci : Semua pasien beresiko jatuh, semua petugas berperan serta dalam
pencegahan kejadian jatuh.
4) Pelatihan dan edukasi staf
5) Perlengkapan dan sumberdaya yang mendukung dan adekut
5. Tujuan Pencegahan Jatuh
Sebagai suatu proses untuk mencegah kejadian jatuh pada pasien, dengan cara :
1. Mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko jatuh tinggi dengan
menggunakan “Asessment Risiko Jatuh”
2. Melakukan asesmen ulang pada semua pasien (setiap hari)
3. Melakukan asesmen yang berkesinambungan terhadap pasien yang
beresiko jatuh dengan menggunakan “Asessment Risiko Jatuh Harian”
4. Menetapkan standar pencegahan dan penanganan risiko jatuh
secara komprehensif.

Dalam buku "Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care"
disebutkan upaya upaya untuk mengurangi terjadinya kejadian pasien terjatuh di rumah sakit,
yaitu:

 Membiasakan pasien dengan lingkungan sekitarnya.


 Menunjukkan pada pasien alat bantu panggilan darurat.
 Posisikan alat bantu panggil darurat dalam jangkauan.
 Posisikan barang-barang pribadi dalam jangkauan pasien.
 Menyediakan pegangan tangan yang kokoh di kamar mandi, kamar dan lorong.
 Posisikan sandaran tempat tidur rumah sakit di posisi rendah ketika pasien sedang
beristirahat, dan posisikan sandaran tempat tidur yang nyaman ketika pasien tidak tidur.
 Posisikan rem tempat tidur terkunci pada saat berada di bangsal rumah sakit.
 Menjaga roda kursi roda di posisi terkunci ketika stasioner.
 Gunakan alas kaki yang nyaman, baik, dan tepat pada pasien.
 Gunakan lampu malam hari atau pencahayaan tambahan.
 Kondisikan permukaan lantai bersih dan kering. Bersihkan semua tumpahan.
 Kondisikan daerah perawatan pasien rapi.

Ikuti praktek yang aman ketika membantu pasien pada saat akan ke tempat tidur dan
meninggalkan tempat tidur.

A. Prosedur Pencegahan Jatuh Untuk Semua Pasien


1. Lakukan orientasi kamar inap kepada pasien
2. Posisikan bel panggilan, pispot dan pegangan tempat tidur berada dalam jangkauan
3. Jalur untuk pasien berjalan harus bebas obstruksi dan tidak licin
4. Jauhkan kabel-kabel dari jalur berjalan pasien
5. Posisikan tempat tidur rendah (tinggi tempat tidur sebaiknya 63,5 cm) dan pastikan
roda terkunci
6. Tentukan penggunaan paling aman untuk pegangan di sisi tempat tidur. Ingat bahwa
menggunakan 4 sisi pegangan tempat tidur dianggap membatasi gerak ( mehanical
restraint)
7. Menggunakan sandal anti licin
8. Pastikan pencahayaan adekuat
9. Benda-benda pribadi berada dalam jangkauan
10. Bantu pasien ke kamar mandi jika diperlukan
11. Evaluasi efektifitas obat-obatan yang meningkatkan predisposisi jatuh (sedasi,
antihipertensi, diuretic, benzodiazepine, dan sebagainya) konsultasikan dengan dokter atau
petugas farmasi jika perlu
12. Konsultasikan dengan dokter mengenai kebutuhan fisioterapi pada pasien dengan
gangguan keseimbangan / gaya berjalan / penurunan fungsional
13. Nilai ulang status kemandirian pasien setiap hari
14. Pantau adanya hipertensi ortostatik jika pasien mengeluh pusing atau vertigo dan ajari
pasien untuk bangun dari tempat tidur secara perlahan
15. Gunakan peninggi tempat dudukan toilet, jika diperlukan
16. Penggunaan alat bantu (tongkat, penopang), jika perlu
17. Berikan edukasi mengenai teknik pencegahan jatuh kepada pasien dan keluarganya

B. Prosedur Pencegahan Jatuh pada Pasien Resiko Sedang dan Tinggi


1. Langsung diterapkan pada saat pasien memasuki ruang perawatan
1) Berikan tanda didepan kamar pasien untuk identifikasi pasien resiko jatuh
2) Lokasi kamar tidur berdekatan dengan pos perawat
3) Kunjungi pasien setiap jam oleh petugas medis dan lakukan pengawasan ketat
4) Pastikan sepanjang waktu bahwa posisi tempat tidur rendah dan kedua sisi pegangan
tempat tidur terpasang dengan baik
5) Tawarkan bantuan ke kamar mandi setiap 2 jam
6) Batasi aktivitas pasien dan berikan tindakan pencegahan pada pasien dan keluarga
7) Perawat mengingatkan keluarga untuk membawa alas kaki dan alat bantu dari rumah
(seperti tongkat, alat penopang)
8) Nilai kebutuhan akan fisioterapi
9) Nilai gaya berjalan pasien dan catat
10) Pastikan pasien menggunakan

C. Prosedur Penggunaan Tempat Tidur Rendah (Khusus)

1. Pada pasien dengan resiko tinggi, tempat tidur harus berada pada posisi serendah
mungkin. Tempat tidur hanya boleh ditinggikan saat pemeriksaan medis, penanganan
keperawatan, dan atau saat mentransfer.
2. Bantalan diletakkan di sisi tempat tidur yang sering digunakan pasien untuk turun dari
tempat tidur. Pegangan di sisi tempat tidur harus terpasang dengan baik. Catatan : panjang
pegangan di sisi tempat tidur < panjang tempat tidur sehingga tidak dianggap sebagai
pembatas gerak.
3. Pada pasien bukan resiko tinggi, pengaturan tinggi tempat tidur tidak boleh melebihi
63,5 cm.

D. Prosedur Mengecek Bed Pad Alarm (Dengan Menggunakan Tombol)

1. Hidupkan alarm
2. Cek dengan menekan tombol alarm
3. Alarm berbunyi -> dapat dipergunakan (berfungsi dengan baik)
4. Alarm tidak berbunyi -> segera ganti dengan alarm lainnya
5. Beritahukan kepada perawat yang bertugas

E. Prosedur Mengecek Pull String Alarm (Menggunakan Penarikan Tali)

1. Hidupkan Alarm
2. Tarik tali yang menggantung dari alarm
3. Alarm berbunyi -> dapat dipergunakan (berfungsi dengan baik
4. Alarm tidak berbunyi -> segera ganti dengan alarm lainnya
5. Beritahukan kepada perawat yang bertugas Dokumentasi :
a. Pencatatan dilakukan pada setiap pasien dengan menggunakan Asesmen Resiko Jatuh
b. Semua pasien dengan kategori risiko sedang dan tinggi akan dilakukan pencatatan
status jatuh pada bagian “Rencana Perawatan Interdisiplin” di sub-bagian ”Proteksi”.

Plebitis adalah iritasi vena oleh alat IV, obat-obatan, atau infeksi yang ditandai dengan
kemerahan, bengkak, nyeri tekan pada sisi IV.(Weinstein, 2001). Plebitis merupakan inflamasi
vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh
komplikasi dari terapi intravena. (La Rocca, 1998). Plebitis dapat menyebabkan trombus yang
selanjutnya menjadi tromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun
demikian jika trombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk jantung maka
dapat menimbulkan seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara mendadak
dan menimbulkan kematian. (Sylvia, 1995). Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu
infeksi oleh mikroorganisme yang dialami oleh responden yang diperoleh selama dirawat di
rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3×24 jam
(Darmadi, 2008).

Menurut Infusion Nurses Society (INS) (2006) phlebitis merupakan peradangan pada
tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian
terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium
tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut. Phlebitis didefinisikan sebagai
peradangan pada dinding pembuluh darah balik atau vena (Setio & Rohani, 2010).

Patofisiologi
Di dalam proses pembentukan plebitis terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, dimana
protein dan cairan masuk ke dalam intertisial. Selanjutnya jaringan yang mengalami trauma
teriritasi secara mekanik, kimia, dan bakteri. Sistem imun menyebabkan leukosit berkumpul
pada bagian yang terinflamasi. Saat leukosit dilepaskan, pirogen juga merangsang sum-sum
untuk melepaskan leukosit dalam jumlah besar. Kemerahan dan ketegangan meningkat pada
tahap plebitis.
D. Penyebab
Pengklasifikasian plebitis menurut (INS, 2006) yaitu plebitis kimia, plebitis mekanik dan
plebitis yang disebabkan oleh bacterial. Plebitis dapat diklasifikasikan dalam 3 tipe : bakterial,
kimiawi, dan mekanikal (Campbell, 1998).
Chemical phlebitis (Plebitis kimia) dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada
tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi
peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter
yang digunakan. Chee dan Tan (2002) yang menegaskan bahwa faktor munculnya phlebitis
dapat diakibatkan ketidak cocokan pencampuran obat dalam pembuluh darah. Sementara itu
derajat keasaman (pH levels) lebih dari 11 atau kurang dari 4,3 dan pemberian cairan
hypertonik (320 mOsm/L) secara signifikan dapat menyebabkan terjadinya phlebitis. Cairan
isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun
nutrisi (INS, 2006).
Hadaway (2006) menerangkan bahwa beberapa cairan bisa dipergunakan dalam menjaga
terjadinya cloting akibat bekuan darah pada slang dan jarum infus. Penggunaan cairan yang
tepat dapat menghilangkan clot/sumbatan tersebut diantaranya, sodium chloride, heparin flush
solution, ethylenediaminetetraacetate dan ethanol. Sementara itu pemberian antikoagulan
paling sesuai untuk keadaan deep thrombophlebitis, dimana tindakan pemberian obat harus
dipantau dan responden dalam keadaan istirahat total.
Menurut Subekti vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900
mOsm/L. Semakin tinggi osmolaritas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada
dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Bahan kateter yang
terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih
besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006).
Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga
juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai
dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat
partikel materi yang terbentuk tersebut (Darmawan, 2008).
Plebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter IV.
Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena
pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan
trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga
dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease Control and Prevention, 2002).
Pltebitis bakteri faktor- faktor yang berkontribusi meliputi: teknik pencucian tangan yang
kurang baik, kegagalan pemeriksaan peralatan yang rusak, teknik aseptik yang tidak baik,
kanula di pasang terlalu lama, dan tempat suntik jarang di infeksi visual.

 PLEBITIS KIMIA

1. pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko plebitis tinggi. pH
larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, di mana keasaman diperlukan untuk mencegah
karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang
mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral
bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa
menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida, vancomycin,
amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi.
Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L harus diberikan melalui vena
sentral.
2. Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama
pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap plebitis. Jadi , kalau
diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan penggunaan filter 1 sampai 5 µm
3. Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat dianjurkan
untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Hindarkan vena pada
punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut
4. Jangan gunakan vena punggung tangan bila anda memberikan : Asam Amino +
glukosa; Glukosa + elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampur dengan obat suntik
atau Meylon dan lain-lain
5. Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding
politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik dan
lentur. Risiko tertinggi untuk plebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil
klorida atau polietilen.
6. Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi daripada
pemberian cepat.

 PLEBITIS MEKANIS
Plebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang dimasukkan ada daerah
lekukan sering menghasilkan plebitis mekanis. Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan
ukuran vena dan difiksasi dengan baik.
 PLEBITIS BAKTERIAL
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap plebitis bakteri meliputi:

1. Teknik pencucian tangan yang buruk


2. Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau robek
mengundang bakteri.
3. Teknik aseptik tidak baik
4. Teknik pemasangan kanula yang buruk
5. Kanula dipasang terlalu lama
6. Tempat suntik jarang diinspeksi visual
E. Gejala
Gejala yang terjadi pada plebitis yaitu nyeri yang terlokalisasi, pembengkakan, kulit
kemerahan timbul dengan cepat di atas vena, pada saat diraba terasa hangat, panas suhu tubuh
cukup tinggi.

https://seputarkuliahkesehatan.blogspot.com/2018/03/makalah-pencegahan-cidera-dan-
resiko.html

https://www.mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/19-
headline/532

https://dokumen.tips/documents/panduan-resiko-jatuh.html

http://himateknikkardiovaskuleruhamka.blogspot.com/2014/01/makalah-plebitis.html

https://copyaskep.wordpress.com/2011/08/17/103/

Anda mungkin juga menyukai