Makalah Pengembangan Usaha Kecil Menengah Rajungan Di Pasuruan
Makalah Pengembangan Usaha Kecil Menengah Rajungan Di Pasuruan
Disusun Oleh :
NIM. 185080107111020
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
tentang Analisis Produktivitas dan Pengelolahan Rajungan di Pasuruan Jawa Timur.
Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Lilik Wahyuni selaku Dosen mata kuliah
Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Analisis Produktivitas dan Pengelolahan
Rajungan yang ada di Pasuruan Jawa Timur. Saya juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
2.9 Kemitraan antara UKM dengan Perusahaan Pengekspor ............................ 14
A. Bahan Baku Daging Blue Crab Terjamin Mutunya ................................ 15
B. Proses Produksi yang Higienis dan Saniter ............................................. 15
C. Pemberdayaan Masyarakat dan Potensi Daerah ...................................... 15
D. Efisiensi Biaya Produksi ......................................................................... 16
BAB III .................................................................................................................. 17
PENUTUP .............................................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 17
3.2 Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 18
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1....................................................................................................................9
Tabel 2...............................................................................................................................14
v
BAB I
PENDAHULUAN
Dan untuk kesempatan kali ini saya akan membahas salah satu daerah
potensial perikanan yaitu Pasuruan. Salah satu produk potensial yang di miliki
adalah kepiting biru atau rajungan. Kepiting biru merupakan komoditas ekspor di
Amerika Serikat dan Jepang. Dari sini, diperlukan perbaikan pada pengembangan
teknis, penanganan cepat dan tepat untuk menstabilkan kualitas kepiting biru.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Morfologi
3
2.2 Klasifikasi Rajungan
4
spesies jantan oleh pemangsaan predator apalagi pada kondisi lunak sesaat setelah
molting. Periode kritis ini berlangsung hingga karapas kembali menjadi keras sekitar
48 jam. Pada tahap selanjutnya, terjadi kopulasi dengan bagian abdomen saling
bersentuhan dan membuka. Spesies betina berada di bawah jantan dengan posisi
abdomen membuka dan akan memfasilitasi masuknya gonopods, yakni pleopod
yang merupakan organ intromittent panjang yang bukan penis namun berfungsi
menyalurkan sperma (spermatophore) ke dalam gonopores betina. Kopulasi akan
berlangsung sekitar 5-12 jam.
2.4 Habitat
Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan
di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai
kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah
mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria. Itu sebabnya mengapa rajungan
banyak ditemukan di perairan laut Pasuruan, karena berdasarkan hasil penelitian
lapang yang pernah dilakukan, perairan laut di Pasuruan kebanyakan memiliki
substrat pasir berlumpur dan bersalinitas cukup tinggi.
5
Disebutkan pula bahwa rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40
m pada daerah pasir, lumpur atau pantai berlumpur. Rajungan merupakan binatang
karnivora makanan rajungan berupa ikan dan binatang invertebrata.
6
Pasca musim pancaroba, produksi rajungan kembali meningkat dan
mencapai puncaknya di bulan September dan diperkirakan rajungan yang tertangkap
adalah rajungan yang dipijahkan pada bulan September tahun sebelumnya. Produksi
rajungan mulai kembali mengalami penurunan setelah memasuki bulan Oktober,
November, Desember, Januari, Februari dan penurunan mencapai titik terendah
sepanjang musim penangkapan adalah bulan Maret setiap tahunnya.
7
2.7 Penanganan Pasca Penangkapan Rajungan
Blue Crab atau rajungan diperoleh dari wilayah sekitar Kab.Pasuruan. Blue
Crab atau rajungan yang telah tiba di unit pengolahan segera dibongkar dengan cepat
agar tidak mengalami kerusakan atau kemunduran mutu (Sediaoetomo, A.J. 2003)
Bahan baku Blue Crab (rajungan) dari nelayan dibawa ke cooking station dan sesuai
dengan standar mutu raw material yaitu jenis Blue Crab, segar dan hidup, panjang
karapas minimal 11.5 cm, tidak kopong, tidak kondisi moulting (dapat
menyebabkan kesusahan dalam picking dan tekstur daging yang dihasilkan lembek)
dan tidak berbau asing (bau minyak tanah, solar, ammonia dan lain-lain). Blue Crab
atau rajungan masak yang menunggu proses picking. Setelah itu, Blue Crab atau
rajungan masak dibungkus dengan kantong plastik kemudian ditutup rapat
kemudian diletakkan di dalam bok plastik yang telah diberi es dengan perbandingan
1:1, dengan susunan es, Blue Crab atau rajungan, es dan begitu seterusnya.
B. Penimbangan
Penimbangan Blue Crab atau rajungan setelah diterima terdiri dari dua yaitu
penimbangan I dan penimbangan II. Penimbangan I dilakukan setelah bahan baku
disortir. Penimbangan II dilakukan setelah daging Blue Crab atau rajungan disortir.
Penimbangan ini dilakukan berdasarkan jenis-jenis daging rajungan yang telah
dikemas.
C. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara menyiram Blue Crab atau rajungan mentah
(raw material) yang diletakkan dalam basket atau keranjang dengan air mengalir.
Air yang digunakan adalah air PDAM yang telah diuji mutunya oleh Balai
Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan Surabaya. Maksimal pencucian
dilakukan dua kali atau lebih tergantung tingkat kebersihan rajungan mentah.
Setelah dicuci kemudian ditiriskan, selama penirisan rajungan tidak boleh
8
menyentuh lantai dan tidak dibiarkan terlalu lama terkena matahari atau dekat
dengan api perebusan.
D. Pemasakan
E. Pendinginan
Blue Crab atau rajungan matang dari ruang pemasakan kemudian dibawa ke
ruang pendinginan yang dilengkapi dengan wall fan. Pendinginan ini dilakukan
sampai mendekati suhu ruang. Rajungan matang panas segera dipindahkan dari
ruang pendinginan, diletakkan di atas meja pendinginan, diratakan dan dibalik. QC
pemasakan mencatat suhu Blue Crab atau rajungan setelah beberapa saat (Blue Crab
atau rajungan matang dibalik atau paling lambat 15 menit) setelah ditumpahkan di
meja pendinginan. Setelah Blue Crab atau rajungan matang mendekati suhu ruang,
sekitar 15 menit kemudian baru bisa untuk di lakukan deback. Menurut, daging
9
matang panas didinginkan sekitar 45 menit untuk membentuk tekstur dagingnya
sekaligus memudahkan untuk mengupas.
Deback adalah memisahkan setiap ruas bagian dari Blue Crab atau rajungan
matang yaitu terdiri dari badan, kaki jalan, kaki renang dan capit. Blue Crab atau
rajungan matang dingin dimasukkan dalam basket atau keranjang kembali, dan
dikirim ke ruang deback.
Bagian capit, kaki jalan dan kaki renang dipisahkan dengan hati-hati. Khusus
untuk kaki renang, ruasterakhir disisihkan untuk menjaga keutuhan jumbo lump.
Sisa-sisa buangan seperti lemi, insang, lemak dan telur disendirikan dibungkus
kantong plastik untuk dibawa pulang tenaga picker. Cangkang atau karapak
diletakkan di basket segera dikeluarkan dari ruangan deback secara bertahap, tidak
menunggu menumpuk dan tidak bertebaran serta berjatuhan di lantai. hasil deback
kemudian dikirimkan ke ruang proses.
G. Picking
10
H. Sortasi
a) Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan terbesar yang
berhubungan dengan kaki renang.
b) Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging
jumbo.
c) Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang
berupa serpihan-serpihan.
d) Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit
dari rajungan.
e) Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan
bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan.
I. Packing
Setelah melalui tahapan proses yang ada, maka proses selanjutnya adalah
proses packing, dimana daging Blue Crab yang sudah dalam toples sesuai jenisnya
dimasukkan kedalam coolbox dengan posisi tegak, dengan susunan es-toples-es
dengan perbandingan 1:1. Toples maximal tersusun dalam 1 coolbox adalah 24 buah
toples dengan suhu ruangan berkisar antara 00C- 40C. Proses pengemasan dilakukan
secara manual oleh operator. Kaleng yang telah dilakukan proses cooling, diletakkan
di meja pengemasan untuk dibersihkan dari kotoran daging yang masih menempel
dan dikeringkan menggunakan lap. Kaleng dimasukkan ke dalam master carton
sebanyak 24 toples yang sebelumnya pada bagian bawah master carton telah diberi
pelapis berupa corrugated sheet, begitu pula pada bagian atas kaleng. Pengisian
kaleng sesuai berdasarkan jenis produk dengan label pada master carton kemudian
11
master carton direkat menggunakan lakban yang berlabel merk buyer. Selama
proses pengemasan dilakukan pengecekan terhadap timbulnya karat pada kaleng,
kesesuaian kode produksi pada kaleng, dan kesesuaian label pada master carton
yang digunakan dengan produk. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada tahap
pengkodean dapat dicegah pada tahap pengemasan, selain itu kaleng yang terdapat
karat dalam proporsi yang besar dan mengalami kerusakan fisik seperti penyok
segera dipisahkan kemudian direkam dalam form packing report.
Produk yang telah dikemas dimasukan dalam chill storage dengan suhu
ruangan 00±20C. Penyimpanan dilakukan dengan menerapkan sistem FIFO (First In
First Out), dan diletakkan secara teratur berdasarkan merek produk dan jenis produk
yang disusun berdasarkan abjad. Penyimpanan produk akhir dengan ketinggian
yang tidak melebihi garis pembatas (tidak melebihi ketinggian alat pendingin), dan
diberi jarak dengan dinding serta produk tidak bersentuhan langsung dengan lantai
sehingga penumpukan menggunakan alat penunjang yaitu pallet.
K. Stuffing
12
seperti surat keterangan jalan untuk ekspor dan hasil pengujian laboratorium
terhadap mutu produk akhir seperti kandungan kloramfenikol dan mikrobiologi.
Air rebusan dan kandungan kitin, diperkirakan bisa mencapai 24.000 liter per
bulan. Air bekas rebusan rajungan ini cukup potensial untuk dijadikan bahan dasar
untuk pembuatan kerupuk kepiting. Kitosan dapat pula dimanfaatkan sebagai
penyerap yang efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan, seperti tanin pada
kopi.
Selain itu, kitin dan kitosan juga berfungsi sebagai bahan fungsional untuk
proses penjernihan air. Seperti lensa kontak, baik hard lens maupun soft lens, dapat
dibuat dari polimer kitin yang memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen.
Kitin dan kitosan banyak dipergunakan sebagai bahan pembungkus kapsul, karena
mampu terdegradasi secara berangsur dan melepaskan obat dengan dosis yang
terkontrol.
Beberapa turunan kitosan juga telah ditemukan memiliki sifat antibakteri dan
antikoagulan darah. Kemampuan lain dari kitin adalah dalam hal penggunaan sel-
sel leukemia, sehingga dapat berfungsi sebagai antitumor. Kitosan juga mulai
diusulkan sebagai bahan pembuat ginjal buatan. Kitin juga ditemukan memiliki sifat
antikolestrol.
Komposisi Kimia Rajungan (Portunus pelagicus) menurut Muchtadi dan
Sugiyono (1992) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat, kalsium, besi,
phosphor, vitamin A dan vitamin B dari rata-rata kepiting dan rajungan berturut-
turut adalah 14,1 %, 210 mg/100 g, 1,1 mg/100 g, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisa
proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995)
dapat dilihat pada Tabel 2.
13
Tabel 2. Hasil analisa kimia daging kepiting dan rajungan
Protein Lemak
Jenis Komoditi Air (%) Abu (%)
(%) (%)
Betina 11.45 0.04 80.68 2.45
Kepiting
Jantan 11.90 0.28 82.85 1.08
Betina 16.85 0.10 78.78 2.04
Rajungan
Jantan 16.17 0.35 81.27 1.85
Sebagai produk eksport, daging Blue Crab atau rajungan memberi dampak
nyata bagi pengembangan ekonomi lokal. Meskipun secara tidak langsung,
masyarakat yang terlibat dalam industri ini dapat memberikan devisa melalui
produktivitasnya yang laku dijual di pasar internasional. Selama ini, masyarakat
nelayan dan pengolah produk perikanan kita termasuk rakyat kecil yang mengalami
banyak kendala dalam hal melakukan eksport sendiri. Dengan adanya produk lokal
yang dapat dieksport maka akan menyeimbangkan aliran ekonomi dalam tataran
antar negara. Terlebih lagi karena bahan baku maupun lokasi produksi ada di
pedesaan, keuntungan ekonomis sebagian besar juga akan mengalir sampai ke
pedesaan. Karena tidak adanya komponen import dalam produksi daging Blue Crab
atau rajungan, maka devisa yang didapat seluruhnya menjadi keuntungan bagi
Indonesia.
Manfaat lain adalah diseminasi teknologi yang diharapkan semakin sesuai dan
tepat sasaran khususnya dalam pemrosesan daging Blue Crab atau rajungan kualitas
eksport. Perluasan produksi juga diharapkan memperluas lapangan kerja lokal.
Walaupun pada pengolahan daging Blue Crab atau rajungan sendiri penyerapan
tenaga kerja relatif sedikit, namun setidaknya dapat memberikan kesempatan kerja
bagi para pemuda yang sebelumnya tidak produktif
Pola kemitraan yang telah terbentuk antara UKM pengolah daging Blue Crab
dengan perusahaan pengeksport, seperti PT. PSI (Philips Seafoods Indonesia) dan
BMI Bumi Menara Internusa (Wirjanti, et al. 1999). Dalam proses kemitraan
tersebut ada beberapa hal yang perlu disepakati bersama, yaitu :
14
A. Bahan Baku Daging Blue Crab Terjamin Mutunya
pedagang pengumpul, dan pengolah daging Blue Crab (UKM) sebagai supplier,
serta Perguruan Tinggi. Dengan pola kemitraan tersebut akan terjalin proses
pembinaan dan investasi oleh stake holder, sehingga tercipta alur bahan baku daging
Blue Crab yang berkelanjutan (sustainable) sesuai dengan standard dan kriteria
mutu yang terjamin.
Berdasarkan karakteristik daging Blue Crab yang cepat dan mudah mengalami
proses penurunan mutu (Winarno, F.G. 1993) [10] maka proses penanganan daging
Blue Crab yang higienis dan saniter (Jenie, B.S.L. 1989) [4], sekaligus tepat dalam
proses produksinya adalah suatu keniscayaan dan merupakan salah satu faktor yang
urgen untuk diperhatikan UKM. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
kerjasama yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya dengan UKM pengolah
daging Blue Crab yang didanai dengan program IbPE DIKTI yang meliputi
pemberian bantuan teknologi tepat guna bagi nelayan, pedagang pengumpul dan
pengolah daging Blue Crab (UKM) sebagai satu kesatuan Agribisnis Blue Crab.
Pasuruan sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam
Blue Crab yang cukup besar, belum diusahakan secara optimal. Sehingga dengan
pola kemitraan dari stake holder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir
sebagai upaya pengelolaan dan pemanfaatan potensi Blue Crab yang ada ( Mimit,
P. 2006). Maka tim dari Universitas Brawijaya dengan Program IbPE DIKTI pada
tahun pertama memberikan pembinaan dan bantuan Teknologi Tepat Guna (TTG)
yang berupa Blue Crab Cold Box, Ice Cruiser, Shelters Meat Blue Crab dan Trolley,
15
penyuluhan tentang HACCP, penyuluhan tentang manajemen usaha terhadap UKM
pengolah daging Blue Crab.
Salah satu syarat untuk upaya efisiensi biaya produksi adalah lokasi yang dekat
dengan sumberdaya alam Blue Crab, termasuk sumberdaya manusia atau tenaga
kerja. Hal ini akan berakibat alokasi biaya menjadi lebih murah karena biaya
operasional dalam proses produksi pengupasan sehingga menjadi daging Blue Crab
siap eksport, biaya buruh, biaya transportasi bisa lebih efisien (Mimit, P. 2015)
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18