Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS PRODUKTIVITAS DAN PENGELOLAHAN

RAJUNGAN DI PASURUAN JAWA TIMUR

Disusun Oleh :

Abdur Rahman Arif

NIM. 185080107111020

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA


PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
tentang Analisis Produktivitas dan Pengelolahan Rajungan di Pasuruan Jawa Timur.
Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Lilik Wahyuni selaku Dosen mata kuliah
Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Analisis Produktivitas dan Pengelolahan
Rajungan yang ada di Pasuruan Jawa Timur. Saya juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.

Malang, 2 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .................................................................................................... v
BAB I ....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 2
BAB II ...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
2.1 Morfologi ....................................................................................................... 3
2.2 Klasifikasi Rajungan ...................................................................................... 4
2.3 Reproduksi Rajungan ..................................................................................... 4
2.4 Habitat ............................................................................................................ 5
2.5 Musim Rajungan ............................................................................................ 6
2.6 Populasi Rajungan .......................................................................................... 7
2.7 Penanganan Pasca Penangkapan Rajungan .................................................... 8
A. Penanganan Bahan Baku ........................................................................... 8
B. Penimbangan ............................................................................................. 8
C. Pencucian ................................................................................................... 8
D. Pemasakan ................................................................................................. 9
E. Pendinginan ............................................................................................... 9
F. Pemisahan Setiap Ruas Blue Crab (Deback)........................................... 10
G. Picking ..................................................................................................... 10
H. Sortasi ...................................................................................................... 11
I. Packing .................................................................................................... 11
J. Penyimpanan dingin (Chill Storage) ....................................................... 12
K. Stuffing .................................................................................................... 12
2.8 Pemanfaatan Rajungan dan Dampak Sosial Ekonomi ................................. 13

ii
2.9 Kemitraan antara UKM dengan Perusahaan Pengekspor ............................ 14
A. Bahan Baku Daging Blue Crab Terjamin Mutunya ................................ 15
B. Proses Produksi yang Higienis dan Saniter ............................................. 15
C. Pemberdayaan Masyarakat dan Potensi Daerah ...................................... 15
D. Efisiensi Biaya Produksi ......................................................................... 16
BAB III .................................................................................................................. 17
PENUTUP .............................................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 17
3.2 Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 18

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Rajungan Jantan.......................................................................................3


Gambar 2 Rajungan Betina.......................................................................................3

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1....................................................................................................................9
Tabel 2...............................................................................................................................14

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia dikenal sebagai negara bahari dimana wilayah lautnya


mencakup tiga perempat luas Indonesia atau 5,8 juta km2 dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km, sedangkan luas daratannya hanya mencapai 1,9 juta km2.
Wilayah laut yang sangat luas tersebut mengandung sumber daya alam perikanan
yang sangat berlimpah (Bahar 2004), salah satunya adalah kepiting. Kepiting yang
ada di Perairan Indo Pasifik lebih dari 234 jenis dan sebagian besar yaitu 124 jenis
ada di Perairan Indonesia. Jenis kepiting yang populer sebagai bahan makanan dan
mempunyai harga yang cukup mahal adalah Scylla serrata, dan jenis lain yang tidak
kalah penting di pasaran adalah Portunus pelagicus yang biasa disebut rajungan
(Bahar 2004).

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak


terdapat di Perairan Indonesia yang biasa ditangkap di daerah Gilimanuk (pantai
utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa
Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan, dan
daerah Kalimantan Barat. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di
dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Manfaat
rajungan sebagai bahan pangan berupa daging rajungan kaleng yang berkualitas
tinggi dan memiliki protein cukup tinggi (Suwignyo 1989).

Dan untuk kesempatan kali ini saya akan membahas salah satu daerah
potensial perikanan yaitu Pasuruan. Salah satu produk potensial yang di miliki
adalah kepiting biru atau rajungan. Kepiting biru merupakan komoditas ekspor di
Amerika Serikat dan Jepang. Dari sini, diperlukan perbaikan pada pengembangan
teknis, penanganan cepat dan tepat untuk menstabilkan kualitas kepiting biru.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Kenapa perairan laut di Pasuruan bisa menjadi habitat dari rajungan?


2. Pada musim apa saja rajungan bisa di tangkap?
3. Bagaimana cara mengolah rajungan yang baik dan benar?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui habitat yang sesuai dengan rajungan


2. Untuk mengetahui pada musim kapan saja rajungan bisa di tangkap
3. Untuk mengetahui cara mengelolah rajungan yang baik dan benar sebelum
dikonsumsi maupu diekspor

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Morfologi

Ciri-ciri morfologi kepiting rajungan (Portunus pelagicus) adalah sebelah


kiri dan kanan karapaksnya terdapat duri yang besar. Duri-duri sisi belakang
matanya berjumlah sembilan buah (termasuk duri besar). Rajungan jantan
karapaksnya berwarna dasar biru ditaburi bintik-bintik putih yang beraneka ragam
bentuknya. Sedangkan yang betina berwarna dasar hijau kotor dengan bintik-bintik
seperti jantan (Soim, 1994)
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) pada bagian perut (dada) kepiting
jantan umumnya organ kelamin berbentuk segitiga yang sempit dan agak meruncing
dibagian depan, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga yang
relatif lebar dan dibagian depannya agak tumpul (lonjong).

Gambar 1 Rajungan jantan

Gambar 2 Rajungan Betina

3
2.2 Klasifikasi Rajungan

Kingdom : Animalia Ordo : Decapoda


Sub Kingdom : Eumetazoa Sub Ordo : Reptantia
Grade : Bilateria Seksi : Brachyura
Divisi : Eucoelomata Sub Seksi : Branchyrhyncha
Section : Protostomia Famili : Portunidae
Filum : Arthropoda Sub Famili : Portunninae
Kelas : Crustacea Genus : Portunus
Sub Kelas : Malacostraca Spesies : Portunus pelagic

2.3 Reproduksi Rajungan

Reproduksi menjadi suatu aktivitas penting untuk menjaga keberlangsungan


generasi dari P. pelagicus. Dalam proses reproduksi tingkah laku menjadi bagian
yang lazim dilakukan oleh makhluk hidup lainnya untuk menarik pasangannya
dengan memberi sinyal-sinyal yang dipahami oleh lawan jenis. Demikian pula yang
terjadi pada spesies yang pintar menari ini. Ketika spesies jantan mengalami matang
maka akan mencoba menarik perhatian spesies betina yang mengarah pada
kematangan gonad. Ritual yang biasa dan unik adalah ketika spesies jantan berdiri
tinggi dengan menggunakan kaki jalan sebagai tumpuan, sesekali menggali substrat
pasir, meregangkan capit mengarah ke luar tubuh atau melipatnya ke arah dalam dan
pada saat ini feromon dilepaskan ke air yang berperan sebagai komunikasi untuk
menarik spesies betina. Pelepasan senyawa kimia yang terkandung dalam urin ini
ditujukan ke arah betina melalui pergerakan arus air dibantu oleh kaki renang
menuju betina, hal ini dilakukan berulang kali hingga spesies betina tertarik.
Ketertarikan betina ditandai dengan adanya respon meregangkan capit dan melipat
seolah melambai-lambai, namun spesies betina tetap tidak bergerak mendekati
jantan. Yang aktif bergerak mendekat adalah spesies jantan, namun betina telah
bersedia pada posisinya dan mencoba tenang hingga Jantan berada di bagian
atasnya, pada keadaan ini disebut sebagai prakopulasi atau berpasangan. Pada tahap
ini, spesies betina tetap berada dalam buaian spesies jantan dan diperkirakan sekitar
2-7 hari hingga menjelang waktu ekdisis (molting). Terdapat beberapa
keistimewaan bagi spesies betina, yakni mendapatkan jaminan keamanan dari

4
spesies jantan oleh pemangsaan predator apalagi pada kondisi lunak sesaat setelah
molting. Periode kritis ini berlangsung hingga karapas kembali menjadi keras sekitar
48 jam. Pada tahap selanjutnya, terjadi kopulasi dengan bagian abdomen saling
bersentuhan dan membuka. Spesies betina berada di bawah jantan dengan posisi
abdomen membuka dan akan memfasilitasi masuknya gonopods, yakni pleopod
yang merupakan organ intromittent panjang yang bukan penis namun berfungsi
menyalurkan sperma (spermatophore) ke dalam gonopores betina. Kopulasi akan
berlangsung sekitar 5-12 jam.

2.4 Habitat

Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan
di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai
kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke
perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah
mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria. Itu sebabnya mengapa rajungan
banyak ditemukan di perairan laut Pasuruan, karena berdasarkan hasil penelitian
lapang yang pernah dilakukan, perairan laut di Pasuruan kebanyakan memiliki
substrat pasir berlumpur dan bersalinitas cukup tinggi.

Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya


di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis
invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa.
Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan
diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan
berenang. Sebagaimana halnya dengan kerabatnya, yaitu kepiting bakau, di alam
makanan rajungan juga berupa ikan kecil, udang-udang kecil, binatang invertebrata,
detritus dan merupakan binatang karnivora. Rajungan juga cukup tanggap terhadap
pembeian pakan furmula/pellet. Sewaktu masih stadia larva, hewan ini merupakan
pemakan plankton, baik phyto maupun zooplakton.

5
Disebutkan pula bahwa rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40
m pada daerah pasir, lumpur atau pantai berlumpur. Rajungan merupakan binatang
karnivora makanan rajungan berupa ikan dan binatang invertebrata.

2.5 Musim Rajungan

Pemanfaatan sumberdaya rajungan merupakan sebuah tantangan besar yang


memerlukan solusi tepat, sehingga diperlukan suatu pengelolaan tepat. Salah satu
diantaranya adalah memahami faktor-faktor internal dan eksternal yang
berpengaruh pada sumberdaya rajungan yakni dinamika daerah penangkapan
rajungan dan pola musim rajungan. Menurut Fauzi dan Anna, (2002) bahwa
keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang
diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat
perikanan itu sendiri.

Pola musim rajungan dipengaruhi oleh jumlah rekruitmen yang dihasilkan


oleh setiap individu rajungan di daerah penangkapan. Setiap daerah penangkapan
rajungan tidak ada yang bersifat tetap, selalu berubah, pergeseran dan berpindah
mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah rajungan akan
memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi
oleh kondisi atau parameter oseonografi perairan seperti suhu permukaan laut,
salinitas, oksigen, pH dan kedalaman dan sebagainya (Laevastu and Hayes 1981;
Butler et al. 1988; Zainuddin et al. 2006). Hal ini berpengaruh pada dinamika atau
pergerakan air laut baik secara horizontal maupun vertikal yang pada gilirannya
mempengaruhi distribusi dan kelimpahan rajungan.

Berdasarkan hasil penelitian di salah satu perairan yang ada di Indonesia,


rata-rata indeks musim penangkapan rajungan dengan puncak musim terjadi pada
bulan Juni dan September. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang dilakukan
menunjukan bahwa musim pemijahan rajungan berlangsung pada bulan Mei, Juni,
Juli, Agustus dan September dan puncak musim pemijahan berlangsung pada bulan
Agustus. Sementara itu rajungan mencapai ukuran dewasa ketika berumur satu
tahun atau lebih.

6
Pasca musim pancaroba, produksi rajungan kembali meningkat dan
mencapai puncaknya di bulan September dan diperkirakan rajungan yang tertangkap
adalah rajungan yang dipijahkan pada bulan September tahun sebelumnya. Produksi
rajungan mulai kembali mengalami penurunan setelah memasuki bulan Oktober,
November, Desember, Januari, Februari dan penurunan mencapai titik terendah
sepanjang musim penangkapan adalah bulan Maret setiap tahunnya.

2.6 Populasi Rajungan

Populasi rajungan di alam semakin terancam dengan rusaknya habitat dan


juga eksploitasi oleh nelayan di beberapa daerah sehingga mengakibatkan
rendahnya ketersediaan rajungan di alam. Penangkapan kepiting rajungan yang
berlebih itu tak lepas dari besarnya permintaan untuk ekspor, antara lain ke Amerika
Serikat, Australia, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Permintaan pasar terhadap
rajungan yang sangat tinggi harus segera diatasi dengan melakukan
budidaya/akuakultur terhadap spesies yang dimaksud. Prospek akuakultur rajungan
cukup besar namun kendala-kendala teknis hingga saat ini masih menghambat
kesuksesan dalam akuakultur.
Secara umum permasalahan dalam budidaya rajungan ini adalah merupakan
usaha yang relatif baru, masih adanya ketidakpastian dalam model bisnis, terdapat
kompetisi penggunaan ruang dengan budidaya udang, cost production tidak
menentu, penanganan yang dirasakan lebih sulit sehingga membutuhkan tenaga
kerja yang tinggi, ketersediaan benih di alam yang tidak pasti (untuk pembesaran),
ketersediaan pakan pembesaran yang murah dan kelangsungan hidup yang rendah
akibat kanibalisme. Mungkin masih terdapat banyak permasalahan namun upaya
untuk mengatasi terus dikembangkan. Riset dan pengembangan spesies ini di masa
depan akan sangat berguna bagi kesempurnaan teknik pembenihan dan pembesaran
sehingga bisa diaplikasikan oleh masyarakat luas.

7
2.7 Penanganan Pasca Penangkapan Rajungan

A. Penanganan Bahan Baku

Blue Crab atau rajungan diperoleh dari wilayah sekitar Kab.Pasuruan. Blue
Crab atau rajungan yang telah tiba di unit pengolahan segera dibongkar dengan cepat
agar tidak mengalami kerusakan atau kemunduran mutu (Sediaoetomo, A.J. 2003)
Bahan baku Blue Crab (rajungan) dari nelayan dibawa ke cooking station dan sesuai
dengan standar mutu raw material yaitu jenis Blue Crab, segar dan hidup, panjang
karapas minimal 11.5 cm, tidak kopong, tidak kondisi moulting (dapat
menyebabkan kesusahan dalam picking dan tekstur daging yang dihasilkan lembek)
dan tidak berbau asing (bau minyak tanah, solar, ammonia dan lain-lain). Blue Crab
atau rajungan masak yang menunggu proses picking. Setelah itu, Blue Crab atau
rajungan masak dibungkus dengan kantong plastik kemudian ditutup rapat
kemudian diletakkan di dalam bok plastik yang telah diberi es dengan perbandingan
1:1, dengan susunan es, Blue Crab atau rajungan, es dan begitu seterusnya.

B. Penimbangan

Penimbangan Blue Crab atau rajungan setelah diterima terdiri dari dua yaitu
penimbangan I dan penimbangan II. Penimbangan I dilakukan setelah bahan baku
disortir. Penimbangan II dilakukan setelah daging Blue Crab atau rajungan disortir.
Penimbangan ini dilakukan berdasarkan jenis-jenis daging rajungan yang telah
dikemas.

C. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan cara menyiram Blue Crab atau rajungan mentah
(raw material) yang diletakkan dalam basket atau keranjang dengan air mengalir.
Air yang digunakan adalah air PDAM yang telah diuji mutunya oleh Balai
Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan Surabaya. Maksimal pencucian
dilakukan dua kali atau lebih tergantung tingkat kebersihan rajungan mentah.
Setelah dicuci kemudian ditiriskan, selama penirisan rajungan tidak boleh

8
menyentuh lantai dan tidak dibiarkan terlalu lama terkena matahari atau dekat
dengan api perebusan.

D. Pemasakan

Pemasakan daging Blue Crab atau rajungan haruslah benar-benar


diperhatikan. Daging yang berkualitas baik adalah daging yang mengalami proses
pemasakan yang tepat. Jika kurang masak ataupun terlalu masak akan
mempengaruhi kualitas daging Blue Crab atau rajungan dan harganya pun turun.
Pada tabel 1 ditampilkan perbedaan daging Blue Crab yang kurang matang dan
terlalu matang.

E. Pendinginan

Blue Crab atau rajungan matang dari ruang pemasakan kemudian dibawa ke
ruang pendinginan yang dilengkapi dengan wall fan. Pendinginan ini dilakukan
sampai mendekati suhu ruang. Rajungan matang panas segera dipindahkan dari
ruang pendinginan, diletakkan di atas meja pendinginan, diratakan dan dibalik. QC
pemasakan mencatat suhu Blue Crab atau rajungan setelah beberapa saat (Blue Crab
atau rajungan matang dibalik atau paling lambat 15 menit) setelah ditumpahkan di
meja pendinginan. Setelah Blue Crab atau rajungan matang mendekati suhu ruang,
sekitar 15 menit kemudian baru bisa untuk di lakukan deback. Menurut, daging

9
matang panas didinginkan sekitar 45 menit untuk membentuk tekstur dagingnya
sekaligus memudahkan untuk mengupas.

F. Pemisahan Setiap Ruas Blue Crab (Deback)

Deback adalah memisahkan setiap ruas bagian dari Blue Crab atau rajungan
matang yaitu terdiri dari badan, kaki jalan, kaki renang dan capit. Blue Crab atau
rajungan matang dingin dimasukkan dalam basket atau keranjang kembali, dan
dikirim ke ruang deback.

Bagian capit, kaki jalan dan kaki renang dipisahkan dengan hati-hati. Khusus
untuk kaki renang, ruasterakhir disisihkan untuk menjaga keutuhan jumbo lump.
Sisa-sisa buangan seperti lemi, insang, lemak dan telur disendirikan dibungkus
kantong plastik untuk dibawa pulang tenaga picker. Cangkang atau karapak
diletakkan di basket segera dikeluarkan dari ruangan deback secara bertahap, tidak
menunggu menumpuk dan tidak bertebaran serta berjatuhan di lantai. hasil deback
kemudian dikirimkan ke ruang proses.

G. Picking

Sarana produksi dalam proses picking adalah meja, pisau, keranjang(basket),


nampan, serok meja, serok lantai, kipas angin (wall fan) dan lampu, semuanya dalam
keadaan higiene dan saniter. Blue Crab hasil proses deback diletakkan diatas meja
picking, proses picking Blue Crab harus dalam kondisi dingin dengan suhu ruangan.
Blue Crab hasil proses deback didinginkan diatas baskom dengan diberi es curai
dibagian bawahnya untuk menjaga suhu dingin dan proses picking hendaknya
dilakukan dengan hati-hati, cermat, dan teliti. Daging Blue Crab hasil proses picking
dimasukkan dalam toples berdasarkan jenis daging Blue Crab (badan, kaki renang,
kaki jalan, capit) dalam nampan yang dibagian bawahnya diberi es curai.
Selanjutnya bila toples terisi daging Blue Crab hampir penuh dilanjutkan kebagian
proses penimbangan dan pencatatan.

10
H. Sortasi

Proses sortasi bertujuan untuk memisahkan bagian kulit cangkang serta


benda asing lainnya selain daging Blue Crab yang terdapat dalam toples. Proses
sortasi dilakukan dengan cara meletakkan nampan yang berisi daging Blue Crab
dibawahnya ada es curai, proses sortasi dilakukan dengan tangan, tidak meremas
dan tidak menghancurkan daging Blue Crab. Daging rajungan dapat digolongkan
menjadi lima jenis daging ( Philips Seafood cit Mirzads, 2009) yaitu:

a) Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan terbesar yang
berhubungan dengan kaki renang.
b) Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging
jumbo.
c) Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang
berupa serpihan-serpihan.
d) Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit
dari rajungan.
e) Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan
bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan.

I. Packing

Setelah melalui tahapan proses yang ada, maka proses selanjutnya adalah
proses packing, dimana daging Blue Crab yang sudah dalam toples sesuai jenisnya
dimasukkan kedalam coolbox dengan posisi tegak, dengan susunan es-toples-es
dengan perbandingan 1:1. Toples maximal tersusun dalam 1 coolbox adalah 24 buah
toples dengan suhu ruangan berkisar antara 00C- 40C. Proses pengemasan dilakukan
secara manual oleh operator. Kaleng yang telah dilakukan proses cooling, diletakkan
di meja pengemasan untuk dibersihkan dari kotoran daging yang masih menempel
dan dikeringkan menggunakan lap. Kaleng dimasukkan ke dalam master carton
sebanyak 24 toples yang sebelumnya pada bagian bawah master carton telah diberi
pelapis berupa corrugated sheet, begitu pula pada bagian atas kaleng. Pengisian
kaleng sesuai berdasarkan jenis produk dengan label pada master carton kemudian

11
master carton direkat menggunakan lakban yang berlabel merk buyer. Selama
proses pengemasan dilakukan pengecekan terhadap timbulnya karat pada kaleng,
kesesuaian kode produksi pada kaleng, dan kesesuaian label pada master carton
yang digunakan dengan produk. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada tahap
pengkodean dapat dicegah pada tahap pengemasan, selain itu kaleng yang terdapat
karat dalam proporsi yang besar dan mengalami kerusakan fisik seperti penyok
segera dipisahkan kemudian direkam dalam form packing report.

J. Penyimpanan dingin (Chill Storage)

Produk yang telah dikemas dimasukan dalam chill storage dengan suhu
ruangan 00±20C. Penyimpanan dilakukan dengan menerapkan sistem FIFO (First In
First Out), dan diletakkan secara teratur berdasarkan merek produk dan jenis produk
yang disusun berdasarkan abjad. Penyimpanan produk akhir dengan ketinggian
yang tidak melebihi garis pembatas (tidak melebihi ketinggian alat pendingin), dan
diberi jarak dengan dinding serta produk tidak bersentuhan langsung dengan lantai
sehingga penumpukan menggunakan alat penunjang yaitu pallet.

K. Stuffing

Stuffing merupakan proses pengangkutan produk akhir dari chill storage ke


container untuk ekspor. Stuffing dilakukan dengan memperhatikan parameter suhu
selama pengangkutan. Suhu dipertahankan berkisar antara 00C-70C. Selama proses
stuffing produk dimasukkan dalam container dengan penyusunan berdasarkan jenis
produk dan nomor urut master carton. Jenis produk dimasukkan secara berurut dari
awal hingga akhir yaitu claw meat, spesial, lump, super lump, jumbo, dan collosal
dengan produk claw meat dibagian paling dalam container diikuti spesial, lump,
super lump, dan jumbo kemudian produk collosal diletakkan paling akhir sehingga
ketika produk dikeluarkan dari container untuk diuji yang paling mudah diambil
adalah produk collosal . Metode penyimpanan seperti ini akan membantu petugas
quality control untuk memeriksa kesesuaian jumlah produk yang akan dikirim
dengan permintaan pembeli serta kemudahan melakukan traceabillity produk jika
terjadi masalah. Persiapan dokumen ekspor juga dilakukan sebelum proses stuffing,

12
seperti surat keterangan jalan untuk ekspor dan hasil pengujian laboratorium
terhadap mutu produk akhir seperti kandungan kloramfenikol dan mikrobiologi.

2.8 Pemanfaatan Rajungan dan Dampak Sosial Ekonomi

Air rebusan dan kandungan kitin, diperkirakan bisa mencapai 24.000 liter per
bulan. Air bekas rebusan rajungan ini cukup potensial untuk dijadikan bahan dasar
untuk pembuatan kerupuk kepiting. Kitosan dapat pula dimanfaatkan sebagai
penyerap yang efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan, seperti tanin pada
kopi.
Selain itu, kitin dan kitosan juga berfungsi sebagai bahan fungsional untuk
proses penjernihan air. Seperti lensa kontak, baik hard lens maupun soft lens, dapat
dibuat dari polimer kitin yang memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen.
Kitin dan kitosan banyak dipergunakan sebagai bahan pembungkus kapsul, karena
mampu terdegradasi secara berangsur dan melepaskan obat dengan dosis yang
terkontrol.
Beberapa turunan kitosan juga telah ditemukan memiliki sifat antibakteri dan
antikoagulan darah. Kemampuan lain dari kitin adalah dalam hal penggunaan sel-
sel leukemia, sehingga dapat berfungsi sebagai antitumor. Kitosan juga mulai
diusulkan sebagai bahan pembuat ginjal buatan. Kitin juga ditemukan memiliki sifat
antikolestrol.
Komposisi Kimia Rajungan (Portunus pelagicus) menurut Muchtadi dan
Sugiyono (1992) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat, kalsium, besi,
phosphor, vitamin A dan vitamin B dari rata-rata kepiting dan rajungan berturut-
turut adalah 14,1 %, 210 mg/100 g, 1,1 mg/100 g, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.

Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisa
proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995)
dapat dilihat pada Tabel 2.

13
Tabel 2. Hasil analisa kimia daging kepiting dan rajungan
Protein Lemak
Jenis Komoditi Air (%) Abu (%)
(%) (%)
Betina 11.45 0.04 80.68 2.45
Kepiting
Jantan 11.90 0.28 82.85 1.08
Betina 16.85 0.10 78.78 2.04
Rajungan
Jantan 16.17 0.35 81.27 1.85

Sebagai produk eksport, daging Blue Crab atau rajungan memberi dampak
nyata bagi pengembangan ekonomi lokal. Meskipun secara tidak langsung,
masyarakat yang terlibat dalam industri ini dapat memberikan devisa melalui
produktivitasnya yang laku dijual di pasar internasional. Selama ini, masyarakat
nelayan dan pengolah produk perikanan kita termasuk rakyat kecil yang mengalami
banyak kendala dalam hal melakukan eksport sendiri. Dengan adanya produk lokal
yang dapat dieksport maka akan menyeimbangkan aliran ekonomi dalam tataran
antar negara. Terlebih lagi karena bahan baku maupun lokasi produksi ada di
pedesaan, keuntungan ekonomis sebagian besar juga akan mengalir sampai ke
pedesaan. Karena tidak adanya komponen import dalam produksi daging Blue Crab
atau rajungan, maka devisa yang didapat seluruhnya menjadi keuntungan bagi
Indonesia.
Manfaat lain adalah diseminasi teknologi yang diharapkan semakin sesuai dan
tepat sasaran khususnya dalam pemrosesan daging Blue Crab atau rajungan kualitas
eksport. Perluasan produksi juga diharapkan memperluas lapangan kerja lokal.
Walaupun pada pengolahan daging Blue Crab atau rajungan sendiri penyerapan
tenaga kerja relatif sedikit, namun setidaknya dapat memberikan kesempatan kerja
bagi para pemuda yang sebelumnya tidak produktif

2.9 Kemitraan antara UKM dengan Perusahaan Pengekspor

Pola kemitraan yang telah terbentuk antara UKM pengolah daging Blue Crab
dengan perusahaan pengeksport, seperti PT. PSI (Philips Seafoods Indonesia) dan
BMI Bumi Menara Internusa (Wirjanti, et al. 1999). Dalam proses kemitraan
tersebut ada beberapa hal yang perlu disepakati bersama, yaitu :

14
A. Bahan Baku Daging Blue Crab Terjamin Mutunya

Perusahaan pengeksport membutuhkan jaminan mutu produk daging Blue Crab


yang sesuai standar eksport, sehingga UKM sebagai mitra usaha juga berupaya
menjaga mutu bahan baku daging Blue Crab dalam proses produksinya. Dalam hal
ini dilakukan pembinaan teknis mulai dari tingkat nelayan penangkap Blue Crab,

pedagang pengumpul, dan pengolah daging Blue Crab (UKM) sebagai supplier,
serta Perguruan Tinggi. Dengan pola kemitraan tersebut akan terjalin proses
pembinaan dan investasi oleh stake holder, sehingga tercipta alur bahan baku daging
Blue Crab yang berkelanjutan (sustainable) sesuai dengan standard dan kriteria
mutu yang terjamin.

B. Proses Produksi yang Higienis dan Saniter

Berdasarkan karakteristik daging Blue Crab yang cepat dan mudah mengalami
proses penurunan mutu (Winarno, F.G. 1993) [10] maka proses penanganan daging
Blue Crab yang higienis dan saniter (Jenie, B.S.L. 1989) [4], sekaligus tepat dalam
proses produksinya adalah suatu keniscayaan dan merupakan salah satu faktor yang
urgen untuk diperhatikan UKM. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
kerjasama yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya dengan UKM pengolah
daging Blue Crab yang didanai dengan program IbPE DIKTI yang meliputi
pemberian bantuan teknologi tepat guna bagi nelayan, pedagang pengumpul dan
pengolah daging Blue Crab (UKM) sebagai satu kesatuan Agribisnis Blue Crab.

C. Pemberdayaan Masyarakat dan Potensi Daerah

Pasuruan sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam
Blue Crab yang cukup besar, belum diusahakan secara optimal. Sehingga dengan
pola kemitraan dari stake holder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir
sebagai upaya pengelolaan dan pemanfaatan potensi Blue Crab yang ada ( Mimit,
P. 2006). Maka tim dari Universitas Brawijaya dengan Program IbPE DIKTI pada
tahun pertama memberikan pembinaan dan bantuan Teknologi Tepat Guna (TTG)
yang berupa Blue Crab Cold Box, Ice Cruiser, Shelters Meat Blue Crab dan Trolley,

15
penyuluhan tentang HACCP, penyuluhan tentang manajemen usaha terhadap UKM
pengolah daging Blue Crab.

D. Efisiensi Biaya Produksi

Salah satu syarat untuk upaya efisiensi biaya produksi adalah lokasi yang dekat
dengan sumberdaya alam Blue Crab, termasuk sumberdaya manusia atau tenaga
kerja. Hal ini akan berakibat alokasi biaya menjadi lebih murah karena biaya
operasional dalam proses produksi pengupasan sehingga menjadi daging Blue Crab
siap eksport, biaya buruh, biaya transportasi bisa lebih efisien (Mimit, P. 2015)

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Rajungan (Portunus pelagicus) di Indonesia sampai sekarang masih


merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang diekspor
terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan
rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai negara dalam bentuk segar yaitu ke
Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam bentuk olahan (dalam kaleng)
diekspor ke Belanda. Adanya kegiatan industri dan ekspor komoditas rajungan
membuat masyarakat di kawasan daerah industri, tepatnya di Pasuruan juga
terimbas dampaknya, masyarakat bisa bermitra dengan perusahaan atau industri
pengekspor rajugan. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga
dalam arti jumlah setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor
rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut , sehingga dikhawatirkan
akan mempengaruhi populasi di alam. Alternatif yang sangat bijaksana untuk
menghindari kepunahan jenis kepiting ini melalui pengembangan budidaya.

3.2 Saran

Penulis memberikan saran agar masyarakat penangkap rajungan juga


memperhatikan populasi rajungan yang ada di laut, dengan cara memilah mana
rajungan yang di perbolehkan untuk ditangkap dan mana rajungan yang tidak boleh
ditangkap dan harus dikembalikan ke laut untuk berkembang biak atau dengan cara
pengembangan budidaya rajungan.
Penulis merasa dalam penyajian makalah ini masih sangat banyak
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, kiranya teman-teman memberikan
kritikan dan saran yang nantinya akan berguna untuk memperbaiki hasil makalah
yang akan datang serta dapat bermanfaat bagi kita semua dikemudian hari.

17
DAFTAR PUSTAKA

Primyastanto M dan A. Muntaha. 2015. Blue Crab Agrobusiness Developement at


Blue Crab Processing Enterprises Group Pasuruan. Journal of
Innovation and Applied Technology. 1(2) : 144-150.
Ihsan, E. S. Wiyono , S. H. Wisudo, J. Haluan. 2014. Season And Patterns of
Catching Swimming Crab (Portunus pelagicus) in Pangkep Waters
Regency. Marine Fisheries. 5(2) : 193-200.
Primyastanto M, H. Kartikaningsih, A. Muntaha. 2017. IbPE Increasing Quality of
Export Blue Crab Meat at Home Industry (UKM) Fisheries
Manufactured in Pasuruan. . Journal of Innovation and Applied
Technology. 3(1) : 415-422.

18

Anda mungkin juga menyukai