1
2
yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia (Ricklefs, 1981). Meskipun masa
pendudukan Jepang merupakan suatu pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan
orang Indonesia, akan tetapi ini merupakan suatu masa peralihan, di mana dalam
beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan (Frederick, 1986).
Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik
imperialism Jepang di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian
dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia (Marwati, 1984).
Munculnya imperialisme Jepang ini didorong oleh beberapa faktor. Salah satu faktor
yang penting ialah keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada
proses modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Modernisasi tersebut berimplikasi
pada persoalan-persoalan yang sangat kompleks seperti kepadatan penduduk,
lapangan pekerjaan, bahan mentah, dan daerah pemasaran hasil produksinya.
Persoalan kepadatan penduduk dan upaya peningkatan produksi pertanian
pangan, pada tahun-tahun awal dari pemerintahan Meiji juga menunjukkan suatu
pertumbuhan yang terus-menerus dalam produksi pangan. Dengan penduduk yang
tumbuh cepat dan mengalami lonjakan dari 33,1 juta pada tahun 1872 menjadi 41 juta
pada tahun 1892, dan menjadi 52,1 juta pada tahun 1912. Maka meningkatnya
produksi pangan sangat diperlukan untuk melindungi Jepang dari beras dengan
kelaparan yang begitu umum pada negara-negara yang terlambat perkembangannya.
Fenomena ini pada hakekatnya merupakan suatu pengukuhan pada tahap
perkembangan ekonomi modern (Peter Duus,1976).
Sebagai akibat dari kemajuan industri yang pesat di Jepang, ditempuhlah
strategi ekspansi untuk mencari bahan mentah dan daerah pemasaran baru, yang
dalam prakteknya juga sebagai sumber bahan pangan. Dalam buku yang berjudul The
Rise of Modern Japan, lebih lanjut Peter Duus (1976) menyatakan: bahwa di lain
pihak Jepang juga tertarik dalam bidang eksploitasi sumber ekonomi padi dari daerah-
daerah yang baru saja dikuasainya untuk mendukung peperangan, bersama-sama
dengan minyak, timah, karet, dan barang-barang krusial lainnya.
Imperialisme Jepang didorong pula oleh filsafat Hakko Ichiu, yaitu ajaran
tentang kesatuan keluarga umat manusia. Jepang sebagai negara yang telah maju,
mempunyai kewajiban untuk "mempersatukan bangsa-bangsa di dunia dan
memajukannya" (Moedjanto, 1992). Ajaran tersebut merupakan dorongan psikologis
sekaligus sebagai legitimasi moral politik atas tindakan ekspansionisme Jepang ke
wilayah-wilayah lain.
Ajaran hakko Ichiu bagi Jepang bahkan merupakan motivasi "ideologis"
(Nugroho Notosusanto, 1979). Itulah sebabnya Jepang dalam imperialisme itu
melakukan langkah-langkah kongkrit suatu upaya "pembentukan lingkungan
kemakmuran bersama" di kawasan Asia Timur Raya. Setelah dicapai tahap
pembentukan lingkungan di kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina dan
Manchukuo sebagai tulang punggungnya, kemudian Jepang menempuh langkah
politik global yang dikombinasi dengan kekuatan militer yang mencakup negara-
negara yang berjauhan seperti Srilangka, Selandia Baru, seluruh Oceania (termasuk
Hawai) dan negara-negara kecil di Amerika Tengah.
Menguatnya ambisi militerisme Jepang disamping itu didorong juga oleh
konstalasi politik di Jepang sendiri, yaitu adanya kerjasama antara antara kaum
kapitalis (Zeibatsu) dengan kaum militer (Gunbatsu). Kerjasama itu terjadi dan
semakin kuat ketika pertimbangan minyak dianggap sebagai faktor penting dalam
kerangka invasinya di Indonesia (Koen, 1962). Dalam kerangka politik makro,
imperialisme Jepang memiliki hubungan erat dengan "dokumen Tanaka", yaitu
dokumen tentang rencana ekspansionisme Jepang. Dengan demikian, invasi Jepang
ke Indonesia merupakan bagian dari kerangka politik ekspansionisme jepang di asia
Tenggara.
Cita-cita Jepang untuk membangun Kawasan Persemakmuran Bersama Asia
Timur Raya di bawah naungannya, dicoba direalisasikan dengan mencetuskan Perang
Asia Timur Raya yang picunya dimulai dengan penyerangan mendadaknya atas
pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada hari Minggu tanggal
7 Desember 1941.
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia; yang peran tersebut selama ini telah dijalankan
oleh pemerintah kolonial Belanda. Rakyat tidak hanya mengalami penderitaan
lahiriah karena kekurangan pangan dan sandang yang kemudian mengakibatkan
kelaparan dan kematian, tetapi juga penderitaan yang sifatnya rokhaniah (moral).
Penjajahan Jepang telah mengakibatkan terobek-robeknya nilai budaya dalam
kehidupan masyarakat. Demikian pula dengan sistem sosial, atau institusi sosial yang
ada telah dirunyak. Martabat wanita yang dijunjung tinggi telah menjadi korban
langsung kebiadaban tentara-tentara Jepang. Banyak anak gadis yang dengan paksa
diambil dari keluarganya dengan bujukan akan disekolahkan ke Jepang, tetapi
sebenarnya dibelokkan ke bordil-bordil ataupun ke medan perang untuk dijadikan
umpan nafsu kebinatangan tentara-tentara Jepang. Sebagian dari mereka tidak dapat
menahan hati dan memilih mati karena malu pulang ke kampung halaman. Perlakuan
tentara Jepang terhadap kaum wanita yang dituduh bersalah karena dianggapnya ikut
terlibat dalam gerakan bawah tanah lebih tidak manusiawi. Seseorang itu dimasukkan
ke dalam tong yang berisi air lalu ditutup, di atas tong itu duduk para pemeriksanya,
sehingga tertuduh hampir mati tenggelam, sesudah itu ditelanjangi dan diikat,
kemudian diperkosa oleh algojo-algojo itu. Wanita itu dikurung enam bulan lamanya
(L.D. Jong, 1987:108-109).
Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas:
pertama, menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
kedua, memobilisasikan rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang
Asia Timur Raya. Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai
Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk itu, suatu kampanye propaganda
yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa
Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur melawan Barat. Namun
upaya tersebut sering mengalami kegagalan dengan adanya kenyataan-
kenyataan akibat pendudukan Jepang itu sendiri seperti kekacauan ekonomi, teror
polisi militer (Kenpeitai), romusha, penyerahan wajib beras, kesombongan,
pemukulan-pemukulan, pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada
setiap orang Jepang. Kesemua tindakan dan perlakuan tersebut telah menimbulkan
penderitaan rakyat Indonesia yang hampir-hampir tak tertahankan lagi.
tahun (Hari Raya Tencosetu). Untuk alat pembayaran, mata uang Hindia Belanda
yang digunakan.
Dalam aspek politik pemerintahan, berdasarkan berita pemerintah nomor 14
bulan Maret 1943, dibentuk 8 bagian pada pemerintah pusat dan memberikan
tanggungjawab pengelolaan ekonomi pada syu. Pemerintah daerah pada masa
pendudukan Jepang diaktifkan kembali untuk memperkuat dukungan terhadap
kebutuhan ekonomi perang.
Karesidenan (syu), berdasarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan
Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan
Pemerintahan Karesidenan (Syu) dan Tokobetsu Si secara prinsip telah mengarahkan
pada pengaturan ekonomi. Swasembada penuh dalam bidang ekonomi
dengan demikian telah dipaksakan secara halus pada setiap syu untuk mencukupi
kebutuhannya sendiri. Selama itu pula syu telah menjadi pembatasan yang berdaya
guna bagi Jepang dalam mengekang perkembangan berbagai organisasi di Indonesia
(Anthony Reid, 1985).
Dengan kaum nasionalis diadakan kerjasama dengan tujuan bersatu dan berdiri
sepenuhnya dibelakang Jepang, serta memperlancar pekerjaan Gunseibu. Di samping
itu Jepang menyuruh kaum nasionalis untuk turut aktif di dalam pemerintahan Gunsei.
Di dalam pemerintahan Gunsei ini munculah tokoh Ir. Sukarno.
Dalam peartemuan dengan pihak Jepang di Bukuttinggi, Ir. Sukarno tidak akan
dihalang-halangi dalam membina ke Indonesia Merdeka. Pertemuan antara Moh
Hatta dengan Ir. Sukarno mengambil keputusan mengesampingkan perselisihan
pahamnya jaman Partidon dan PNI Baru dan bersatu memimpin rakyat Indonesia di
dalam masa sulit itu. Persatuan antara keduanya itu kemudian dikenal dengan sebutan
Dwi Tunggal Sukarno-Hatta.
Kerjasama Ir. Sukarno dengan pihak Jepang dimulai dalam suatau Komisi yang
menyelidiki Adat Istiadat dan Tata Negara yang dibentuk oleh Gunsei pada 8
November 1942. Komisi beranggotakan 13 orang Jepang serta pimpinan politik dan
sosial bangsa Indonesia, seperti: Moh. Hatta, Sutarjo Kartohadikusumo, Abikusno
Cokrosuyoso, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantoro, Prof. Husein Joyodiningrat,
Dr. RNg, Purbocaroko, Mr. Supomo. Dari anggota tersebut dikenal sebagai Empat
serangkai adalah: Ir. Sokarno, Moh.Hatta, KH. Mas Mnsyur dan Ki Hajar Dewantoro.
Empat serangkai itu diberi kepercayaan untuk memimpin gerakan Pusat Tenaga
Rakyat (Putera), yang dibentuk pada 9 Maret 1943. Pembentukan putera itu adalah
atas usul Ir. Sukarno.
Tujuan Putera ialah mempersatukan rakyat Jawa untuk menghadapi serangan
Sekutu yang semakin dekat dengan Indonesia (Jawa). Pembukaan Kantor Putera pada
tanggal 26 April 1943. Somuboco (Kepala Departemen Urusan Umum) menegaskan
tugas Putera ialah: menggerakan Tenaga dan Kekuatan rakyat untuk memberi
bentuan kepada usaha-usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam Perang Asia
Timur Raya. Dengan demikian Jepang dapat menggunakan para pemimpin Indonesia
untuk menanamkan kekuasaannya. Sebaliknya para pemimpin Indonesia juga tidak
mau begitu saja diperalat oleh pemerintah Jepang. Mereka mencoba menggunakan
sarana dari Jepang itu guna tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Campur tangan pemerintah pendudukan Jepang bukan saja pada lembaga-
lembaga politik di pusat dan daerah saja, melainkan pada lembaga tradisional di
pedesaan, yang berupa indoktrinasi dan depolitisasi lembaga politik di pedesaan serta
penciptaan lembaga-lembaga politik baru yang memudahkan proses pengawasan oleh
pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.
Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan
pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk
kepentingan perang seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagainya yang diatur
dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua
dan besi tua (Kan Po No. 41 April 1944).
Sesuai dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk
susunan perekonomian baru di Jawa, dilakukan politik penyerahan padi secara paksa
oleh pemerintah Jepang terhadap petani-petani di pedesaan Jawa. Dasar-dasar politik
beras Jepang pada awalnya adalah sebagai berikut (Kurasawa, 1988):
a. Padi berada dibawah pengawasan negara, dan hanya pemerintah yang diijinkan
melakukan seluruh proses pungutan dan penyeluran padi.
b. Para petani harus menjual hasil produksi mereka kepada pemerintah sebanyak
kuota yang ditentukan dengan harga yang ditetapkan.
c. Harga gabah dan beras ditetapkan oleh pemerintah.
Indonesia sebagai keseluruhan telah mengambil sikap yang sedikit banyak kooperatif
di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Sedang sebagian lain di bawah komando Syahrir
membentuk suatu jaringan "bawah tanah".
Meskipun terdapat beberapa nuansa dalam interpretasi, agaknya telah diterima
sebagai suatu fakta di kalangan luas bahwa pasukan Jepang disambut dengan baik
oleh orang Indonesia pada umumnya ketika mereka melakukan invasi ke kepulauan
Indonesia dalam dua atau tiga bulan pertama tahun 1942 Nugroho Notosusanto
(1979). Yang lebih penting bahwa Pergerakan nasional Indonesia sebagai keseluruhan
telah mengambil sikap yang sedikit banyak kooperatif di bawah pimpinan tokoh
senior pada waktu itu, yaitu Soekarno dan Moh. Hatta. Hal ini sangat menarik karena
kedua tokoh senior tersebut selama ini terkenal sebagai non-kooperator yang gigih
selama pemerintahan kolonial Belanda.
Selain propagandanya yang menarik, sikap Jepang pada mulanya menunjukkan
kelunakan karena berbagai kepentingan. Tetapi hal ini tidak lama, karena Jendral
Imamura sebagai penguasa tertinggi (Gunsireikan kemudian Seiko Sikikan)
Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Jawa mulai mengubah politik lunaknya dengan
mengeluarkan maklumatnya tertanggal 20 Maret 1942 yang berisi tentang larangan
terhadap segala macam pembicaraan, pergerakan dan anjuran atau propaganda dan
juga pengibaran sang Saka Merah Putih serta menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang
sudah diijinkan sebelumnya (Mudjanto, 1992). Dengan demikian praktis semua
kegiatan politik dilarang. Dan tidak hanya berhenti disitu, pemerintah Jepang
kemudian secara resmi membubarkan semua perkumpulan organisasi-organisasi
politik yang ada dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru untuk
kepentingan mobilisasi rakyat.
Sejak semula Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi
rakyat. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah
Kantor Urusan Agama (Shumubu). Pada bulan April 1942 usaha pertama untuk
gerakan rakyat yaitu "Gerakan Tiga A" dimulai di Jawa yang dipimpin oleh Mr.
Syamsuddin, seorang nasionalis yang kurang terkenal. Di dalam gerakan tersebut
pada bulan Juli 1942 didirikan suatu sub seksi Islam yang dinamakan Persiapan
Persatuan Umat Islam yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso.
Secara umum Gerakan Tiga A ini tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya dan
dinilai kurang berguna. Para pejabat Indonesia hanya sedikit yang mendukungnya,
tidak ada seorang nasionalis Indonesia terkemuka yang terlibat di dalamnya, dan
sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara serius. Sejak itu pihak Jepang
menyadari bahwa apabila mereka ingin memobilisasikan rakyat, maka mereka harus
memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis. Minat terhadap kerjasama
dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka semakin besar setelah Jepang terpukul
dalam pertempuran laut Karang 7 Mei 1942. Jepang harus memberi konsesi makin
besar kepada bangsa Indonesia agar makin besar pula kesediaan bangsa Indonesia
untuk memberikan kerjasamanya.
Dalam kerangka perjuangan dimasa pendukan Jepang yang bersituasi semacam
itu, tokoh-tokoh nasionalis mulai mengambil sikap dalam kerangka strategi
perjuangannya. Hatta dan Syahrir yang telah bersahabat lama, memutuskan untuk
memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru
kekuasaan Jepang (Mavis Rose, 1987/1991). Hatta akan bekerjasama dengan Jepang
dan berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan mereka serta memanipulasi
perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Syahrir akan
tetap menjauhkan diri dan membentuk suatu jaringan "bawah tanah" yang terutama
didukung oleh para mantan anggota PNI Baru. Soekarno yang telah dibebaskan oleh
Jepang dari Sumatra segera bergabung dengan Hatta, yang kemudian segera
mendesak kepada Jepang untuk membentuk suatu organisasi politik massa di bawah
pimpinan mereka (Ricklefs, 1992: 303).
Para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak saja percaya terhadap
janji-janji Jepang dengan semboyan Tiga A-nya. Mereka sangat hati-hati dalam
menghadapi penjajah baru itu. Akan tetapi bangsa Indonesia tidak begitu saja dapat
mengusir penjajah Jepang sebab kondisinya masih lemah. Sukarno-Hatta misalnya
menyadari bahwa jalan yang dapat ditempuh adalah dengan kerja-sama. Kerja sama
itu hanyalah sebuah alat untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia yang
telah lama diperjuangkan.
Dalam setiap kesempatan para pejuang bangsa Indonesia selalu menggembleng
semangat cinta tanah air di dalam hati sanu bari rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga
yang diciptakan oleh Jrpang seperti Java Hookokai, Putera, Peta, Funjinkai, dan
sebagainya justru menjadi sarana memupuk semangat kebangsaan. Hal itu tentu
memudahkan jalan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Telah sedikit disinggung di muka, bahwa dalam menghadapi penjajahan
Jepang, para pejuang Indonesia memiliki strategi dan cara-cara yang tidak sama. Ada
yang mau bekerja sama sambil berjuang untuk kemerdekaan, tetapi ada yang menolak
kerjasama. Disamping golongan yang mau bekerja sama dengan pemerintah, ada
beberapa kelompok pejuang untuk mencapai kemerdekaan pada masa pendudukan
Jepang. Kelompok-kelompok pejuang tersebut yaitu:
para pengajarnya antara lain: Ir. Sukarno, Drs. Muh. Hatta, dan Sutan Syahrir.
Kelompok ini juga bekerjasama dengan kelompok bawah tanah yang lain. Hanya
saja dengan cara yang hati-hati untuk menghindari kecurigaan Jepang.
f. Pemuda Menteng. Kelompok ini bermarkas di gedung Menteng 31 Jakarta.
Mereka kebanyakan pengikut tan Malaka dari partai Murba. Tokoh terkemuka
dari kelompok ini adalah: Adam malik, Chairul Saleh, dan Wikana.
Kepulauan Marshall dan Karolina dapat direbut Sekutu. Dalam situasi gawat ini,
Jepang berusaha memperkuat garis belakang dengan membentuk satu organisasi besar
yang didukung oleh seluruh rakyat Jawa. Dibentuklah Jawa Hokokai (Himpunan
kebangkitan rakyat Jawa) pada 1 Maret 1944. sebagai ganti dari Putera. Soekarno
sangat berhasil dalam memanfaatkan propaganda Jawa Hokokai ini untuk
memperkokoh posisinya sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat. Jawa Hokokai
menjadi lebih efektif dikarenakan memiliki alat organisatoris yang menembus sampai
ke desa-desa. Rukun Tetangga (Tonari Gumi) dibentuk untuk mengorganisasikan
seluruh penduduk yang terdiri dari sepuluh sampai duapuluh keluarga untuk tujuan
mobilisasi.
Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Bandung, para pemuda yang
berpendidikan mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah, yang dalam banyak
hal ada di bawah pengaruh Syahrir (Ricklefs, 1992: 310). Mereka tahu bahwa posisi
Jepang di dalam perang mulai memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana-
rencana untuk merebut kemerdekaan nasional dari kekalahan yang mengancam
Jepang tersebut.
Sementara itu kemenangan Sekutu di Eropa maupun di pasifik seperti di Sailan,
Gauam, Marina, megakibatkan perubahan politik Jepang. Kabinet Tojo jatuh pada 18
Juli 1944 dan digantikan dengan kabinet Kaiso pada 22 Juli 1944. Supaya
mendapatkan bantuan sepenuhnya dari rakyat Indonesia, Kabinet Kaiso menjanjikan
Dokutitzu (kemerdekaan) kepada Indonesia di kemudian hari. Rakyat Indonesia pada
masa pendudukan Jepang itu sangat menderita. Disamping penghisapan tenaga rakyat
untuk kepentingan perang, Jepang juga menguras kekayaan alam Indonesia. Janji
Kemakmuran bersama adalah Janji kosong. Rakyat Indonesia mulai menyadari akan
hal ini. Sebab yang terjadi adalah kelaparan dan tanpa pakaian. Sawah ladang tidak
dipelihara, karena tenaga laki-laki dikerahkan untuk Romusha. Kekayaan penduduk
diambil untuk kepentingan perang. Apabila melawan, maka Kempeitai (polisi militer
Jepang) siap untuk memberikan hukuman berat. Akibatnya ekonomi rakyat menjadi
rusak berat. Gerakan Awas mata-mata musuh (MMM) diperhebat. Setiap orang yang
dicurigai akan ditangkap dan disiksa oleh Kempetai sampai mati atau cacat seumur
hidup. Sejak 20 Desember 1944 diadakan gerakan pengumpulan emas dan permata
Menyadari hal itu, maka pihak Jepang memutuskan untuk mulai menghapuskan
kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia.
Sementara itu Pilipina dapat direbut Sekutu setelah terjadi pertempuran hebat
di Semenanjung Leyte (1944) dan Luzon (1945). Kemudian Jepang di Asia Tanggara
semakin teracam. Untuk menghadapi segala kemungkinan, maka Jepang membentuk
Pasukan Berani mati (Jibaku-tai). Pemuda-pemuda dari Madiun dan Surabaya banyak
masuk menjadi anggota pasukan berani mati ini. Sedikit demi sedikit, pasukan Sekutu
semakin mendekati Jepang Asli. Iwo Jima dapat direbut (16 Maret 1945), kemudian
Okonama (21 Mei 1945). Disamping itu kini Jepang berperang Sendirian, sebab
sekutunya: Italia (1944) dan Jerman telah menyerah kepada Sekutu (7 Maret 1945).
Setelah Sekutu dapat menduduki Tarakan dan Balikpapan, Jepang dalam Usaha
memperolaeh dukungan sepenuhnaya dari rakyat Indonesia, membentuk Dokuritzu
Zyoombi Tsooskai (Badan Penyelidik USaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia =
BPUPKI) sebagai langkah awal dari janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Tugas
ini ialah menyelidiki dan mengupulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk Indonesia
merdeka. Badan ini didirikan pada 29 April 1945. Susunan pengurusnya terdiri dari
sebuah badan perundingan dan kantor tatausaha. Badan Perundingan terdiri dari
seorang Kaico (Ketua), 2 orang Fuku Kaico (Wakil Ketua), 60 orang Lin (Anggota),
termasuk 4 orang golongan Cina dan Golongan Arab serta seorang Golongan
peranakan Belanda.
Dibadan tersebut terdapat 7 orang anggota Jepang. Mereka ini duduk sebagai
pengurus Istimewa yang akan menghadiri sidang-sidang, tetapi mereka ini tidak
mempunyai hak suara. Sebagai Kaico adalah dr, KRMT Rajiman Wediodiningrat,
sebagai Fuku Kaico pertama dijabat olah orang Jepang yakni Syucokan Cirebon dan
R. Surowo (Syucokan, Kedu) sebagai Fuku Kaico kedua. RP Surasa diangkat pula
sebagai kepala Sekretariat Dokuritzu Zyoombi Tsoosakai dengan dibantu oleh
Toyohiko Masuda dan Mr. AG Pringgodigdo.
Sementara itu di Bandung pada 16 Mei 1945 telah diadakan konggres pemuda
seluruh Jawa dengan dipelopori oleh angkatan Muda Indonesia sebagai Pemuda
Pelopor. Kanggres itu dihadiri oleh utusan-utusan pemuda, pelajar, dan mahasiswa
seluruh Jawa. Antara lain: Jamal Ali, Chaerul saleh, Anwar Cokroaminoto, dan
Harsono Cokroaminoto, serta para mahasiswa IKA Daigaku Jakarta. Konggres itu
belakang dapat mengawasi gerakan pemuda Indonesia. Gerakan itu sepenuhnya harus
tunduk kepada Gunseibu (pemerintah militer Jepang). Dengan kebebasan bergerak
dibatasi. Gerakan Rakyat Baru diresmikan baru tanggal 28 Juli 1945. Didalamnya
tergabung pula Jawa Hokokai dan Masyumi. Sikapnya Loyal kepada Jepang. Maka
para pemuda yang berjiwa radikal tidak mau manjadi pengurus organisasi tersebut.
Misalnya: Chaerul Saleh, Harsono Cokroaminoto, Sukarni, Asmara Hadi, dan
sebagainya. Sehingga akhirnya nampaklah adanya perselisihan antara golongan tua
yang setia kepada Jepang dengan golongan pemuda, tentang cara pelaksanaan
berdirinya negara Indonesia.
Si (Kotamadya) Sicho
Ken (Kabupaten) Kencho
Gun (Kawedanan) Guncho
Son (Kecamatan) Soncho
Ku (Desa/Kelurahan) Kuncho
Karesidenan (Syu) dalam sistem ini merupakan lembaga yang mandiri dan otonom
dalam hal pengelolaan ekonomi. Terdapat hal yang berubah dalam fungsi dan
kekuasaannya. Dinyatakan oleh Marwati Djonet Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto (1984:14) sebagai berikut: Meskipun luas daerah Syu sama dengan
karisidenan dahulu namun fungsi dan kekuasaannya berbeda. Residentie dulu
merupakan daerah pembantu Gubernur (resident), sedangkan syu merupakan
pemerintah daerah yang tertinggi dan berotonomi, di bawah seorang Syukan yang
kedudukannya sama dengan Gubernur Jendral.
Struktur yang diciptakan itu dimaksudkan untuk memaksimalkan eksploitasi
dan mobilisasi sumber daya hingga di tingkat pedesaan. Dengan demikian dalam
kacamata Jepang terjadi peningkatan peran lembaga-lembaga politik tersebut.
Terdapat ambivalensi yang kuat dalam Undang-undang Pemerintahan daerah
tersebut. Aturan yang secara prinsip harus mengatur kehidupan politik namun justru
secara prinsip harus mengatur kehidupan ekonomi. Selain itu dalam pelaksanaan
pemerintahan, Pangreh Praja dengan aturan itu menyandang kekuasaan langsung atas
rakyat, tetapi mereka lebih terikat erat dengan kontrol kuat pemerintah pusat.
Campur tangan pemerintah Jepang terhadap korps Pangreh Praja bahkan
merupakan bentuk-bentuk penetrasi politik dan depolitisasi terhadap lembaga-
lembaga politik tradisional di pedesaan. Pelatihan-pelatihan dan indoktrinasi
dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam kerangka membentuk konsep dan gaya
pemerintahan Jepang. Sedangkan "politik imbalan dan hukuman" yang dilakukan
pemerintah Jepang dalam kombinasi yang cerdik dalam bentuk pemecatan,
pemindahan, pengangkatan, dan pemberian hukuman terhadap Pangreh Praja
diarahkan untuk menyingkirkan orang-orang dalam pangreh Praja yang anti Jepang,
bersikap kompromis terhadap Barat atau bergaya keningratan.
berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh James C. Scott disebut sebagai
"subsistence level", yaitu tingkat pemenuhan diri sendiri. Bagi masyarakat pedesaan
Jawa yang penting adalah berapa banyak yang diambil. Pemikiran yang digunakan
ialah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin
memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir.
tekanan politik, ekonomi, sosial maupun kultural saat itu telah menciptakan kondisi
masyarakat pedesaan yang diliputi kecemasan dan ketakutan.
Praktek-praktek romusha merupakan bentuk yang sangat nyata dari praktek
eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Hal
itu sekaligus merupakan suatu bentuk pemiskinan mentalitas masyarakat Indonesia.
Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat di Indonesia yang
sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan sistem
pendudukan yang bersifat militer tersebut.
Barangkali tidak ada yang dapat diambil keuntungan dari kasus-kasus romusha
bagi masyarakat pedesaan Jawa waktu itu. Secara kongkrit tampak adalah proses
penetrasi dan eksploitasi sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja. Dengan kondisi
seperti itu dapat dipahami seberapa tinggi kualitas sumberdaya manusia pedesaan
Jawa waktu itu.
Demikianlah paparan tentang materi dasar, selanjutnya agar Anda dapat lebih
mudah untuk mengingat, memahami, dan mendalami keterkaitan tersebut,
kerjakanlah latihan-latihan berikut ini.
D. Rangkuman
Setelah saudara mempelajari dan membaca modul di atas dapat disarikan materi
sebagai berikut :
1. Pendudukan Jepang di Indonesia dapat disebut sebagai garis pemisah dalam
sejarah Indonesia modern, yaitu sebuah garis yang memecahkan hubungan sosial
tradisional pada tingkat lokal serta menyiapkan kondisi bagi terciptanya latar
belakang revolusi nasional dan sosial tahun 1945-1949. Pendudukan Jepang di
Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik imperialism Jepang di Asia
Tenggara. Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian dalam usahanya untuk
membangun suatu imperium di Asia. Politik imperialisme Jepang di Indonesia
terlihat berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam, serta mengupayakan
mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Berdasarkan
orientasi itulah, Jepang secara ekstensif melakukan eksploitasi ekonomi,
penetrasi politik, dan tekanan kultural pada masyarakat Indonesia hingga tingkat
pedesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Frederick, William H. 1986. "Pendudukan Jepang", dalam Colin Wild dan Peter
Carey. Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia.
Kahin, George McTurnan. 1980. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terj.
Ismail bin Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementrian Pengajaran Malaysia.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers.
Moedjanto, G. 1992. Indonesia Abad Ke-20 Dari Kebangkitan Nasional sampai
Linggajati. Yogyakarta: Kanisius.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Poesponegoro, Mawarti Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah
Nasional V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 1981. A History Of Modern Indonesia. Terj. Drs. Dharmono
Hardjowidjono. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
Rose, Mavis. 1987. Indonesia Merdeka. Biografi Politik Mohammad Hatta. Terj.
Hermawan Sulistyo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan Pemikiran-
Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar
Harapan.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1979. Pembinaan Bangsa dan Masalah
Historiografi. Jakarta: Idayu.
Suyatno. 1988."Pemberontakan Anak Buah Kapal Zeven Provincien Tahun
1933". Prisma. Jakarta: LP3ES
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika pergerakan Kebangsaan Indonesia. Dari
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wild, Colin dan Peter Carey (Peny.). 1986. Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia.