Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Pesona, Volume 3 No. 1, Januari 2017 Hlm.

50-65
ISSN Cetak : 2356 - 2080
ISSN Online : 2356 - 2072

REPRESENTASI BUDAYA DALAM NOVEL HUJAN BULAN


JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

Nenden Rizky Amelia¹, Lina Meilinawati Rahayu², Yati Aksa³


¹Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
neriaamelia@yahoo.co.id.
²Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
lina_sastraunpad@yahoo.co.id
³Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Abstract
This paper is determine representation about culture in the Hujan Bulan Juni novel by
Sapardi Djoko Damono. This paper based in the issue that comes from the novel
related to the chracteristic of Javanese and Manado culture. The aim of this paper is
to describe culture representation that shows by the concept of this novel. This
explanation based on the theory about Javanese people‟s characteristic from Geertz,
Manado people‟s characteristic from Sumampow and concept culuture identity from
Hall and Woodward. The result of the analysis shows that the novel displays the
cultural characteristics of Java wich is different for each character. The „ethok-ethok‟
(pretend), „wedi‟(afraid),‟ isin‟(shame), dan „sungkan‟ attitude displayed by the
character that has the constancy of identity. While being open, straight foward and
aggressive attitude. While Manado characters are represented through characters
steady by showing agrressive attitude, overt, brave, culinary practice, character name
and Christianity. Different cultural characteristics to each person indicate the liquid
identity.

Keywords: Representation, Java Character, Manado Character, Identity,

1. PENDAHULUAN tidak menjadikan masyarakat Indonesia


Indonesia merupakan negara terlepas dari permasalahan kemajemukan
kepulauan yang terdiri atas beragam suku, budaya. Perbedaan adat-istiadat terlebih
budaya dan agama. Keberagaman tersebut lagi perbedaan agama seringkali menjadi
dipersatukan oleh semboyan “Bhineka permasalahan klasik yang terus-menerus
Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda terjadi hingga saat ini. Permasalahan
tetapi tetap satu. Semboyan ini menjadi tersebut bahkan menimbulkan hal yang
salah satu pilar yang diharapkan dapat fatal. Misalnya konflik yang terjadi di
mempersatukan seluruh masyarakat Poso dan di Ambon. Konflik tersebut
Indonesia. Akan tetapi, semboyan tersebut dipacu oleh pertikaian antar suku dan

Received 18 October 2016, Published 30 Januari 2017

Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.


Diterbitkan Oleh: http://ejournal.stkipmpringsewu-lpg.ac.id/index.php/fokus
Pesona : Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

agama. Hadirnya pendatang dari etnis lain maka kita akan membicarakan pula
yang membawa stereotip, keyakinan, dan masalah identitas budaya. Identitas
praktik hidup masing-masing merupakan budaya seseorang dapat terbentuk melalui
pemacu dari timbulnya konflik tersebut. struktur kebudayaan suatu masyarakat, di
Akan tetapi, di tengah permasalahan yang antaranya meliputi pola berpikir, adat
timbul akibat kemajemukan budaya yang istidat, bahasa, agama dan lain
terjadi di Indonesia, Sapardi Djoko sebagainya. Melalui karakteristik yang
Damono memiliki pandangan lain ditampilkan seseorang, maka orang
mengenai kemajemukan budaya tersebut. tersebut dapat dianggap sebagai bagian
Pandangannya tertuang dalam novel dari suatu kelompok budaya masyarakat
Hujan Bulan Juni. Melalui novel tersebut, dan sekaligus juga dapat membedakan
ia menunjukkan sebuah kerukunan yang seseorang dari kelompok yang lain. Oleh
terbingkai oleh kemajemukan budaya. karena itu, isu mengenai karakteristik
Sapardi Djoko Damono merupakan budaya dianggap penting untuk dikaji.
sastrawan besar sekaligus akademisi yang Dalam novel ini, Sarwono
sangat produktif dari tahun 1958 hingga ditampilkan sebagai tokoh Jawa yang
saat ini. Selanjutnya, ia juga banyak kerap bersikap sesuai dengan adat istiadat
menghasilkan karya seperti cerpen, novel, Jawa. Seperti sikap Sarwono yang kerap
esai, lukisan dan sebagainya. Ia menjaga kerukunan dengan bertoleransi
merupakan guru besar pensiun di terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak
Universitas Indonesia dan di Pascasarjana sejalan dengan pendapatnya. Sementara
Institut Kesenian Jakarta. tokoh Pingkan ditampilkan sebagai tokoh
Novel Hujan Bulan Juni mengisahkan percampuran Manado dan Jawa. Ia kerap
percintaan Sarwono dan Pingkan di menampilkan sikap hidup kebarat-
tengah perbedaan budaya dan agama. baratan, seperti sikap agresifnya kepada
Namun perbedaan tersebut tidak menjadi Sarwono. Sikap tersebut dapat dianggap
penghalang bagi cinta mereka. sebuah penanda identitas Pingkan sebagai
Berdasarkan pembacaan awal orang Manado.
terhadap novel Hujan Bulan Juni karya Dalam novel ini Sarwono
Sapardi Djoko Damono, saya menemukan digambarkan sebagai orang Islam yang
isu adanya keterkaitan karakteristik taat. Sementara Pingkan digambarkan
tokoh-tokoh yang digambarkan novel. sebagai orang Kristen. Akan tetapi, darah
Berbicara masalah karakteristik seseorang Jawa yang mengalir dari ibunya serta

51
Nenden Rizky Amelia…

kenyamanannya berada di tanah Jawa yang menjadi falsafah bagi orang Jawa
membuat Pingkan mengidentifikasikan yaitu prinsip kerukunan dan prinsip
diri sebagai orang Jawa juga sekaligus hormat. Prinsip hidup tersebut dijalankan
sebagai orang Manado. oleh orang Jawa sebagai kaidah normatif
Penelitian ini bertujuan untuk untuk bersikap sedemikian rupa hingga
menjabarkan representasi budaya Jawa tidak sampai menimbulkan konflik
dan Manado yang ditampilkan tokoh (Geertz dalam Franz Magnis Suseno,
Sarwono dan Pingkan dalam novel Hujan 1984: 38). Suasana rukun merupakan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. idaman semua kalangan masyarakat.
Untuk menjabarkan representasi budaya Rukun artinya selaras, tentram dan tanpa
tersebut, maka penelitian ini mengacu perselisihan.
pada konsep mengenai karakteristik Dalam perspektif Jawa, rukun
budaya orang Jawa dari Geertz dan artinya mencegah segala kelakuan yang
konsep mengenai karakteristik orang bisa mengganggu keselarasan dan
Manado dari Nono. S.A. Sumampouw. ketegangan dalam masyarakat serta
Penggunaan istilah “orang Jawa” dalam menjaga keselarasan dalam pergaulan
penelitian ini mengacu kepada Suseno. Ia (Franz Magnis Suseno, 1984: 39-40).
menyebut orang Jawa sebagai penduduk Untuk menjaga kerukunan tersebut,
asli bagian tengah dan timur pulau Jawa masyarakat Jawa dituntut untuk mampu
dengan penggunaan bahasa Jawa sebagai bertindak dan bertingkah laku sedemikian
bahasa ibu (Franz Magnis Suseno, 1984: rupa demi menjaga keselarasan di antara
11). Selain itu, yang mencirikan pergaulan mereka. Suseno (1984: 41-43)
seseorang sebagai orang Jawa yaitu adat memaparkan bahwa untuk menjaga
istiadat yang masih dipertahankan oleh prinsip rukun tersebut, masyarakat jawa
mereka. dituntut untuk bersikap berpura-pura atau
Menurut Suseno (1984:6), etika dalam bahasa Jawa disebut ethok-ethok.
merupakan sebagai keseluruhan norma Untuk mengungkapkan
dan penilaian yang dipergunakan oleh ketidaksetujuan, orang Jawa cendrung
masyarakat untuk mengetahui bagaimana tidak akan langsung mengungkapkan
manusia seharusnya menjalankan hidup penolakan tersebut tetapi dengan
demi mencapai pengakuan masyarakat, pengungkapan penolakan yang tidak
pemenuhan kehendak Tuhan, kebahagiaan memperlihatkan penolakan tersebut.
dan pemenuhan tuntutan mutlak. Etika Untuk menghindari kekecewaan, orang
52
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

Jawa akan bersikap ethok-ethok. Misalnya orang Jawa adalah rasa hormat terhadap
ketika orang Jawa sedang dirundung atasan atau sesama yang belum dikenal
kesedihan, maka orang itu akan tetap sebagai pengekangan halus terhadap
tersenyum di hadapan orang lain demi kepribadian sendiri demi hormat terhadap
menjaga kerukunan. Sebagaimana Geertz pribadi lain (Geertz dalam Franz Magnis
yang dikutip Suseno, menyatakan bahwa Suseno, 1984: 65).
ethok-ethok digunakan untuk menjaga Sikap wedi, isin dan sungkan
tingkat keakraban (Greetz dalam Franz senantiasa dijaga oleh orang Jawa untuk
Magnis Suseno, 1984: 43). menjaga rasa hormat tersebut. Dengan
Prinsip kedua dalam kehidupan menjaga prinsip hormat dan rukun orang
orang Jawa yaitu prinsip hormat. Prinsip Jawa tersebut dapat dikatakan sebagai
hormat merupakan prinsip orang Jawa orang yang memiliki kepribadian matang.
dalam berbicara dan membawa diri untuk Selain bahasa dan nilai etika, agama
selalu menunjukkan sikap hormat kepada juga merupakan salah satu penanda
orang lain sesuai dengan derajat dan identitas budaya seseorang. Agama Islam
kedudukannya (Franz Magnis Suseno, merupakan agama yang dapat digunakan
1984: 60). sebagai penanda bagi orang Jawa. Agama
Untuk menjaga prinsip hormat, Islam pada masyarakat Jawa terdapat dua
Geertz sebagaimana dikutip Suseno macam, yaitu Islam yang bersifat sinkretis
mengatakan bahwa sejak kecil orang Jawa dan Islam yang bersifat puritan
sudah diberi pendidikan untuk bersikap (Koentjaraningrat, 1994: 310). Islam
wedi,isin dan sungkan (Greetz dalam sinkretis menyatukan unsur-unsur pra-
Franz Magnis Suseno, 1984: 63). Wedi Hindu, Hindu dan Islam
artinya takut, baik takut terhadap ancaman (Koentjaraningrat, 1994: 312), sedangkan
fisik maupun sebagai rasa takut terhadap Islam puritan mengikuti ajaran agama
akibat kurang enak suatu tindakan. Sikap secara lebih taat, sekalipun tidak terlepas
isin berati malu. Bagi orang Jawa isin sepenuhnya dari unsur-unsur animisme
berarti malu-malu atau merasa bersalah. dan unsur-unsur budaya Hindu-Buddha.
Selanjutnya, untuk melengkapi tatakrama, Sementara karakteristik orang
orang Jawa diajarkan untuk bersikap Manado ditandai dengan dengan nilai
sungkan. Sikap sungkan hampir sama kebarat-baratan, individualis namun tetap
dengan sikap isin namun lebih ke arah mempertontonkan toleransi dalam arena
malu yang positif. Sikap sungkan bagi pluralitas (Sumampouw, 2015: 2). Wil

53
Nenden Rizky Amelia…

Lundoström-Burghoorn sebagaimana identitas Manado (Burghoorn dalam


dikutip Sumampouw yang melihat Sumampouw, 2015: 6).
identitas Manado sangat terpengaruh oleh Agama Kristen dapat dianggap sebagai
Belanda (Sumampouw, 2015: 6). identitas bagi masyarakat Manado. Ilham
Pengaruh Belanda terhadap identitas Daeng Makkelo sebagaimana dikutip oleh
masyarakat Manado juga terlihat dari Sumampouw menyatakan bahwa Kristen
penamaan marga atau fam. Penamaan merupakan salah satu simbol identitas
marga atau fam diterapkan oleh suku orang Manado (Sumampouw, 2015: 41).
Minahasa sejak tahun 1851. Penerapan Menurut Hall identitas berarti
fam tersebut berkaitan dengan aturan semua yang mencakup kesamaan (Hall,
pembayaran pajak berdasarkan kepala 2000: 17). Hal ini memberikan gambaran
rumah tangga yang diterapkan oleh bahwa identitas merupakan ciri seseorang
pemerintah Belanda (Kurniawati R Deffi yang ditandai berdasarkan kesamaan
dan Sri Mulyani, 2012: 69). Selain itu, suatu kelompok. Sementara Barker (2005:
makanan dan minuman yang dikonsumsi 218) menyebut identitas sebagai sesuatu
oleh masyarakat Manado juga dapat yang bisa ditandakan (signified) dengan
dikatakan sebagai ciri khas karakter tanda-tanda selera, keyakinan, sikap dan
masyarakat Manado. Orang Minahasa gaya hidup. Selanjutnya, Barker (2005:
merupakan penikmat makanan pedas dan 218) menyebutkan identitas menandai kita
daging binatang-binatang liar. Tiga hal sebagai orang yang sama sekaligus
yang menjadi ciri khas makanan berbeda dengan macam orang lain.
Minahasa yaitu penggunaan cabai dalam Senada dengan Barker, Woodward
jumlah banyak, kegemaran pada daging menyebut identitas sebagai perbedaan dan
anjing dan binatang hasil buruan dan simbol (Woodward, 2002: 9-10). Identitas
rebusan sayuran yang disebut tinutuan seseorang bergantung pada sesuatu yang
(Weichart, 2004: 67). Tidak hanya itu, berada di luar dirinya atau dengan kata
minuman keras cap tikus, saguer dan lain identitas bergantung pada identitas
coca-cola menjadi representasi budaya yang lain. Sejalan dengan hal tersebut,
Minahasa. Menurut Burghoorn yang Woodward mengatakan bahwa identitas
dikutip oleh Sumampouw yang melihat memberi gambaran tentang siapa kita dan
kebiasaan mengonsumsi minuman coca- bagaimana kita berhubungan dengan
cola sebagai pengaruh Belanda terhadap orang lain di mana kita hidup
(Woodward, 2002: 1). Akan tetapi selain
54
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

memberikan kesamaan ciri, konsep membentuk dirinya sebagai becoming dan


identitas juga dapat mengidentifikasi being (Hall, 1990: 225). Konsep tentang
seseorang menjadi orang yang berada di identitas budaya ini masuk ke dalam
luar kelompok, bahkan menjadi orang dunia masa depan dan masa lalu. Di mana
yang termarjinal. Bagi Woodward sejarah, budaya dan kekuatan dapat
identitas dapat dilihat secara jelas dengan menjadikan dan memosisikan seseorang
melihat perbedaan atau dapat juga „sebagai siapa‟. Konsep becoming dan
ditandai dengan polarisasi, yaitu dengan being ini dipengaruhi oleh kekuatan
melihat dua bagian atau dua kelompok representasi rezim yang dominan. Di
yang berlawanan (Woodward, 2002: 2). mana representasi rezim dominan tersebut
Dengan demikian, maka identitas menjadikan seseorang melihat dirinya
merupakan suatu ciri seseorang seperti „yang lain‟. Hal ini dapat
berdasarkan kesamaan dan perbedaan memosisikan seseorang sebagai bagian
dengan konstruksi ciri suatu kelompok, di dari kita atau sebagai other. Pemosisian
mana ciri tersebut dapat memosisikan tersebut dibentuk melalui „pengetahuan‟
seseorang untuk menjadi „bagian‟ ataupun yang dipaksakan oleh kekuatan
„yang lain‟ dari suatu kelompok di mana pendominasi dalam bentuk norma.
ia berada.
2. METODE PENELITIAN
Hall mengatakan bahwa identitas
Objek penelitian ini adalah novel
merupakan sebuah produksi yang tidak
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
pernah selesai, selalu dalam proses dan
Damono. Novel ini merupakan
selalu didasari dari dalam, bukan dari luar
transformasi dari puisi berjudul “Hujan
representasi (Hall, 1990: 222). Maka
Bulan Juni” karya Sapardi Djoko
dengan demikian, proses pembentukan
Damono. Novel ini pertama kali
identitas akan membuat individu terus
diterbitkan pada Juni 2015 oleh PT
menerus menyesuaikan dirinya dengan
Gramedia Pustaka Utama. Dalam
posisi di mana ia berada.
penelitian ini digunakan novel cetakan
Identitas budaya seseorang tidak
kelima oleh penerbit yang sama.
terbentuk secara stabil karena budaya dan
Untuk menjabarkan reperesentasi
sejarah terus menerus mengalami
budaya dalam novel ini, maka tokoh-
transformasi. Hall mengatakan bahwa
tokoh dalam novel ini akan
persoalan identitas budaya ini merupakan
persoalan bagaimana seseorang

55
Nenden Rizky Amelia…

diidentifikasikan berdasarkan karakter Kutipan di atas menunjukkan sikap


tokoh-tokoh yang ditampilkan novel. ethok-ethok Sarwono kepada Budiman.
Sikap tersebut ditampilkan melalui
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
tuturan dan sikap Sarwono. Sikap tersebut
Cerita novel ini diawali dengan
merupakan sebuah bentuk pegendalian
hubungan persahabatan antara Sarwono,
diri Sarwono terhadap rasa jengkelnya
Toar dan Budiman. Persahabatan tersebut
kepada Budiman. Oleh sebab itu,
mengantarkan Sarwono dan Budiman
persahabatan yang sudah terjalin lama di
untuk bersaing mendapatkan Pingkan,
atara mereka dapat terjaga kerukunan dan
adik Toar. Mereka sama-sama menyukai
keharmonisannya. Situasi tersebut
Pingkan karena kecantikan Pingkan.
diciptakan Sarwono untuk menciptakan
Keberuntungan berpihak kepada
keselarasan sosial dalam keadaan yang
Sarwono. Gurunya berhasil meyakinkan
ideal bersama Budiman. Dengan
dirinya dan orang tuanya agar
mempertahankan keselarasan sosial,
melanjutkan sekolah ke Jakarta selepas
artinya orang tersebut sudah dapat
SMA. Sarwono semakin beruntung ketika
dikatakan memiliki nilai moral serta
Pingkan juga melanjutkan sekolah ke
norma yang baik.
Jakarta sehingga Sarwono berhasil
Setelah lulus kuliah, Sarwono dan
mendapatkan cinta Pingkan.
Pingkan sama-sama bekerja sebagai dosen
Keberuntungan tersebut membuat
di Universitas Indonesia. Sebagai dosen ia
Budiman jengkel. Budiman yang sama-
mendapatkan tugas untuk menyusun
sama menyukai Pingkan sering
MOU ke Universitas Sam Ratulangi
meledeknya dengan panggilan Prof.
Manado. Ia meminta izin kepada Kaprodi
Reaksi Sarwono terhadap ejekan Budiman
untuk mengajak Pingkan sebagai
tersebut ditunjukkan melalui kata aamiin.
asistennya. Akan tetapi, tujuan
Reaksi tersebut menunjukkan sikap ethok-
sebenarnya adalah agar Sarwono dapat
ethok Sarwono. Ia menahan dirinya dari
berduaan dengan Pingkan dan dapat
rasa jengkel.
mengungkapkan perasaan cintanya ketika
...Saking jengkelnya, kalau kirim
di perjalanan. Namun sebagai orang Jawa,
surat, wartawan itu selalu memberi
label „Prof‟ di depan nama Sarwono. Sarwono menjaga norma dengan
Dan jawaban mahasiswa Atrop itu
mengatakan bahwa ia memerlukan
selalu hanya aamiiiin (Sapardi Djoko
Damono, 2015: 16). asisten.

56
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

...Waktu itu mendapat tugas Sarwono terhadap tradisi budayanya. Ia


menyusun MOU dengan Universitas Sam
menentang adat istiadat ketimuran yang
Ratulangi. Berkat kelicikan yang tentu
saja tidak masuk akal, ia berhasil melarang anggota masyarakatnya untuk
mengakali dekan fakultas tetangga dengan
berpergian bersama lawan jenis yang
mengatakan bahwa akan mengajak
Pingkan menjadi guide-nya. Dan berhasil bukan suami istri. Akan tetapi, di sisi lain
(Sapardi Djoko Damono, 2015: 21).
ia juga melakukan negosiasi dengan
Kutipan tersebut menunjukkan
tradisi tersebut. Negosiasi ditunjukkan
sikap isin „malu‟ yang ditampilkan
Sarwono melalui sikap isin „malu‟.
Sarwono. Alasan mengajak Pingkan
Dengan bernegosiasi, Sarwono dapat
sebagai guide merupakan sebuah alasan
menghindari citra negatif dari orang lain
yang dipilih Sarwono untuk menjaga
terhadap dirinya karena bagi adat timur,
norma dan etika yang berlaku bagi adat
hal tersebut dianggap tidak pantas untuk
ketimuran. Sebagai orang Jawa yang
dilakukan.
identik dengan adat ketimuran, Sarwono
Akan tetapi sekali pun Sarwono
tahu betul bagaimana ia harus menjaga
melawan tradisi, ia tetap menjaga norma
etikanya. Berdasarkan adat ketimuran
dan tetap menghormati Pingkan. Selama
yang berlaku di Indonesia, seseorang
berpergian, mereka tidur di kamar hotel
dapat dianggap tidak memiliki moral atau
yang terpisah.
norma jika terlihat berpergian jauh
“Twin beds atau double bed, Pak?”
bersama orang yang bukan istri ataupun
tanya pegawai hotel.
suaminya. Maka untuk menjaga norma “Dua kamar saja, sendiri-sendiri,”
jawab Sarwono (Sapardi Djoko
tersebut, Sarwono mencari alasan yang
Damono, 2015: 37).
dianggap lebih pantas ketika ia meminta
Dengan memilih kamar yang berbeda
izin Kaporodi untuk mengajak Pingkan.
ketika di hotel, Sarwono menunjukkan
Tidak hanya itu, sikap isin yang
sikap isin atau malu. Kutipan tersebut
ditunjukkan pada kutipan di atas juga
mengindikasikan pikiran Sarwono yang
dipengaruhi oleh ketakwaan Sarwono
masih terpengaruh kuat oleh adat istiadat
kepada Tuhannya. Sebagai penganut
Jawa, sekalipun ia ditampilkan sebagai
agama Islam yang taat, Sarwono tidak
orang yag memiliki pemikiran modern.
hanya menjaga hubungannya dengan
Ketika di Manado, Sarwono merasa
sesama, tetapi ia juga berusaha menjaga
asing dengan pilihan menu makanan yang
hubungannya dengan Tuhan.
disajikan di sebuah rumah makan.
Di satu sisi, kutipan di atas
Sebagai seorang muslim, ia kesulitan
menunjukkan suatu bentuk perlawanan
57
Nenden Rizky Amelia…

untuk memilih menu di antara makanan yang dapat ditentang maupun


berbahan dasar daging hewan liar yang dinegosiasikan. Hukum agama lebih
menjadi ciri khas Manado. Akan tetapi, mengakar kuat pada diri Sarwono jika
berbeda dengan Pingkan, Sarwono dibandigkan dengan hukum adat.
melihatnya tampak tidak asing dengan Selain itu, kutipan di atas juga dapat
menu-menu tersebut. mengindikasikan Identitas Pingkan yang
Begitu duduk, seorang cewek yang cair. Pingkan yang dilahirkan serta
menjadi pelayan langsung
dibesarkan di Solo tidak dapat terlepas
menyodorkan beberapa piring yang
isinya lauk sambil menjelaskan, ini sepenuhnya dari identitas Manado. Hal ini
ayang, ini ikang, ini babi, ini tikus...”
tampak dalam kutipan di atas. Kutipan
Ketika Sarwono memesan bubur
Manado, cewek itu bilang tidak ada. tersebut menunjukkan kebiasaan Pingkan
...
memakan makanan khas Manado.
Lauk-pauk yang disebut pelayan
itulah, yang bagi Sarwono terdengar Sebagaimana yang telah diuraikan
aneh, yang sering dijadikannya senjata
sebelumnya, bahwa praktik kuliner
untuk mengejek Pingkan (Sapardi
Djoko Damono, 2015: 21 – 22). merupakan salah satu penanda identitas
orang Manado.
Kutipan tersebut memberikan
Akan tetapi, tampaknya budaya
gambaran sikap Sarwono yang taat
Jawa juga berpengaruh terhadap praktik
kepada aturan agamanya. Islam melarang
kuliner Pingkan. Bagi orang Jawa,
umatnya untuk memakan makanan yang
meminum minuman keras merupakan
dianggap haram. Maka Sarwono lebih
salah satu perbuatan yang dianggap tidak
memilih tinutuan sebagai makanan yang
baik. Selain diharamkan oleh agama,
akan dimakan olehnya. Tinutuan
minuman keras juga dianggap dapat
merupakan makanan khas Manado yang
merusak kesehatan tubuh dan lain
dikenal sebagai bubur Manado. Ketaatan
sebagainya. Namun lain halnya di
Sarwono juga terlihat ketika tinutuan
Manado, di sana minuman keras dijadikan
tersebut tidak tersaji di rumah makan, ia
sebagai minuman yang biasa dikonsumsi
sama sekali tidak tertarik untuk memakan
sehari-hari. Dalam hal ini, Pingkan yang
makanan yang dianggapnya haram. Tidak
ditampilkan novel sebagai orang Manado
ada perlawanan atau pun negosiasi ketika
justru tidak digambarkan sebagai orang
Sarwono dihadapkan pada situasi
yang suka mengonsumsi minuman keras.
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
Hal ini digambarkan novel melalui
aturan agama bukan merupakan sesuatu
bayangan Sarwono tentang Pingkan
58
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

ketika ia merasa cemburu dengan secara terus-menerus menyesuaikan


kedekatan Pingkan dan Katsuo. Ia dirinya dengan tempat di mana ia berada.
khawatir Pingkan akan terbujuk untuk Selama di Jawa, ia menyesuaikan dirinya
berpesta dan mabuk-mabukan selama dengan lingkungan sosialnya tanpa dapat
berada di Jepang. melepaskan identitasnya sebagai orang
Yes! Tapi yes apa pula kalau Pingkan Manado.
tidak ada nanti? Kalau Pingkan masih
Selain melalui praktik kuliner,
di Kyoto malam-malam keluar-masuk
restoran menikmati sake mungkin identitas Pingkan yang cair juga tampak
sampai mabok. Lho, kan. Malah takut.
pada penggunaan bahasa yang
Pingkan kok mabok, minuman bir saja
ga mau. Sarwono tahu benar, gadis digunakannya untuk bertutur. Pingkan
yang dicintainya itu sama sekali tidak
ditampilkan sebagai perempuan Manado
pernah mau minum bir, meskipun
sudah dubujuki pakai campuran 7-Up. yang kerap berbahasa Jawa. Hal tersebut
Tapi kan dia di Jepang, sama
terlihat dari kutipan “Nanti telat lho. Yen
Sontoloyo itu pula. Siapa tahu?
(Sapardi Djoko Damono, 2015: 99). kowe telat, dongamu ora bakal ditampa”.
(Sapardi Djoko Damono, 2015: 74).
Kutipan tersebut mengindikasikan
Kutipan tersebut menunjukkan Pingkan
adanya pengaruh besar budaya Jawa
tampak fasih menggunakan bahasa Jawa.
terhadap Pingkan. Bayangan Sarwono
Hal ini tentunya juga terpengaruh oleh
tentang Pingkan tersebut menunjukkan
lingkungan di sekitarnya yang sejak lahir
keyakinannya akan kebiasaan Pingkan
berada di Solo. Akan tetapi, ketika
yang tidak pernah menyentuh minuman
Sarwono merasa terganggu dengan suara
keras. Padahal sebagaimana telah
musik yang sangat keras saat sarapan di
diuraikan sebelumnya bahwa bagi orang
hotel Gorontalo. Pingkan meminta
Manado, minuman keras dianggap
petugas hotel untuk mengecilkan suara
sebagai minuman yang biasa dikonsumsi
musiknya dengan logat bahasa Manado,
sehari-hari. Sikap Pingkan tersebut
terlihat pada kutipan berikut:
dipengaruhi oleh norma budaya Jawa
Dengan logat yang diupayakan mirip
yang mengekang anggota kelompoknya
cara bicara orang Menado, Pingkan
untuk tidak menyentuh minuman keras. meminta petugas restoran untuk
mengecilkan suara musik dari album
Di sini terlihat adanya usaha dari Pingkan
sebuah band yang sedang menjadi
untuk menyesuaikan diri dengan idola anak muda. (Sapardi Djoko
Damono, 2015: 46 – 47)
lingkungannya. Oleh karena itu, kutipan
tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi
identitas Pingkan yang cair. Pingkan
59
Nenden Rizky Amelia…

Dari kutipan tesebut tampak bahwa “Kok apa? Memangnya kami hidup di
mana?” (Sapardi Djoko Damono,
Pingkan menyesuaikan dirinya melalui
2015: 34)
bahasa yang dituturkannya. Di satu sisi
Kutipan tersebut menunjukkan
lingkungan sosial di Solo membuatnya
kemudahan Pingkan untuk memilih
fasih berbahasa Jawa. Akan tetapi di sisi
identitas sebagai orang Jawa. Akar
lain ia juga tampak masih menggunakan
identitas budaya yang tidak kuat serta
bahasa dan logat Minahasa Tonsea.
didukung dari ayahnya mempermudah
Bahasa Minahasa Tonsea merupakan
Pingkan untuk menyesuaikan diri dengan
sebuah bahasa Melayu – Polinesia yang
budaya Jawa. Di sini tampak adanya
dituturkan oleh masyarakat ujung timur
proses being dan becoming yang
laut Sulawesi. Tuturan bahasa Jawa
dilakukan Pingkan secara sadar dalam
Pingkan yang ditunjukkan pada kutipan di
menentukan posisi dirinya. Akan tetapi,
atas merupakan sebuah upaya untuk
kemudahan Pingkan dalam menempatkan
mendapatkan pengakuan dari orang Jawa
dirinya sebagai orang Jawa tidak
sebagai bagian dari mereka. Penggunaan
membuatnya ia terlepas dari
bahasa daerah tersebut mengidikasikan
permasalahan pemosisian identitas
identitas Pingkan yang cair. Di sini
budaya. Hal tersebut terlihat ketika guru
tampak adanya penyesuaian yang
tarinya memanggil dengan sebutan „Non‟.
dilakukan Pingkan terhadap budaya di
Panggilan tersebut menunjukkan bahwa
mana ia berada.
Pingkan berusaha memosisikan dirinya
Pingkan juga melakukan
sebagai orang Jawa dengan mempelajari
penyesuaian budaya melalui kesenian.
kesenian Jawa. Akan tetapi, nama
Untuk mendapatkan pengakuan orang
Pingkan tetap diposisikan sebagai other
Jawa sebagai bagian dari mereka, Pingkan
oleh orang Jawa karena ia dianggap tidak
mempelajari tari Jawa. Penyesuainnya
memiliki sejarah identitas yang sama
melalui kesenian mendapatkan dukungan
dengan mereka. Namun dengan demikian,
penuh dari ayahnya yang berasal dari
walaupun Pingkan tidak mau dianggap
Manado.
sebagai other, ia tetap menerima
“Kok kamu belajar nari Jawa, untuk
apa?” pemosisian tersebut. Hal ini terlihat ketika
“Bapakku si Manado itu maunya aku
Pingkan hanya bergumam dalam dirinya
jadi orang Jawa saja, ikut ibu.”
“Kok?” atas ketidaksetujuan kepada Bei yang
memanggil dia “Non”. Hal ini
60
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

disebabkan karena Pingkan memiliki wong namanya Pingkan kok Jawanya


mlipis (Sapardi Djoko Damono, 2015:
kesadaran diri akan identitasnya.
17 – 18).
Nama “Pingkan Pelenkahu”
Kutipan tersebut menunjukkan
mengukuhkan Pingkan sebagai orang
ketidakajegan identitas budaya Hartini.
Manado. „Pingkan‟ diambil dari nama
Ketidakajegan Hartini terlihat melalui
tokoh cerita rakyat Tonsea Putri Pingkan
tuturan dan sikapnya.
dan Matindas. Nama seseorang
Ketidakmampuannya untuk bertutur
merupakan sebuah simbol identitas yang
dengan bahasa Jawa yang baik
melekat pada diri seseorang. Nama
mengindikasikan bahwa ia telah
„Pingkan‟ yang diambil dari nama tokoh
kehilangan karakteristiknya sebagai orang
dongeng seolah mengesahkannya sebagai
Jawa. Selain dari sikap dan tuturannya,
pemilik identitas Manado. Selain itu,
ketidakajegan Hartini juga terlihat dari
identitasnya sebagai orang Manado juga
sikapnya ketika ia meminta Sarwono
diperkuat oleh agama Kristen yang dianut
untuk menikahi Pingkan. Hartini berani
oleh Pingkan. Ia meyakini sekali bahwa
berterus terang kepada Sarwono bahwa
Yesus adalah Tuhannya yang akan
keluarga Pelenkahu telah memaksanya
membantu dirinya dari segala macam
untuk menikahkan Pingkan dengan
kesulitan. Selain darah Manado, dalam
Tumbelaka. Namun sebagai orang Jawa
tubuhnya juga mengalir darah Jawa yang
Hartini lebih setuju anaknya tersebut
diturunkan dari ibunya. Novel ini
menikah dengan Sarwono.
menampilkan tokoh Hartini sebagai orang
“Kamu menantuku, Matindas.”
Jawa yang memiliki ketidakajegan
Sarwono diam lagi beberapa detik,
identitas budaya. Hartini yang lahir dan lalu mencium tangan bu Pelenkahu. Ia
harus segera melaporkan segalanya
dibesarkan di Makassar membuatnya
kepada keluarganya. (Sapardi Djoko
kehilangan sebagian karakter budaya Damono, 2015: 85-86)
Jawa.
Kutipan di atas menunjukkan sikap
Dari penampilan, Bu Pelenkahu
terbuka dari Hartini. Sebagai perempuan
memang tidak tampak Jawanya lagi
meskipun sudah lama di Solo. Jawa ia tentu dianggap tertalu berani
Setidaknya, orang Solo menganggap
untuk meminta seorang lelaki meminang
cara omong dan tindak-tanduknya
tidak terasa sebagai Solo meskipun anaknya. Keterusterangan tersebut
apa yang dinamakan Solo itu juga
dipengaruhi oleh pola pikir budaya
tidak pernah bisa dijelaskan. Pingkan
jelas lebih Solo dari ibunya, jadi Manado yang lebih terbuka. Walaupun ia
malah sering jadi bahan pembicaraan,
berada di Solo, Hartini tetap terpengaruh
61
Nenden Rizky Amelia…

oleh budaya Manado yang dibawa oleh .... ia sampaikan perintah itu kepada
Pingkan, harap-harap cemas agar
suami dan juga kedua anaknya. Dengan
perempuan itu mau meneruskan
begitu tampak bahwa lingkungan keluarga perjalanan ke Gorontalo
menemaninya. (Sapardi Djoko
dan orang terdekat dapat membawa
Damono, 2015: 27-28).
pengaruh besar terhadap pembentukan
Kutipan tersebut menunjukkan
identitas budaya Hartini. Hartini juga
sikap sungkan Sarwono kepada Pingkan.
kehilangan identitas Jawa melalui
Sikap sungkan tersebut dimaksudkan
agamanya, ia kehilangan identitas.
untuk menghormati Pingkan. Melalui
Waktu itu Hartini diam saja, tetapi
pandangannya ditafsirkan oleh Bolung sikapnya tersebut, Sarwono
Pelenkahu sbagai tanda, Oke, saya
memperlihatkan rasa hormatnya kepada
mau Bolung, yang merasa sedang
berusaha memenangkan Perang Pingkan. Sebagai orang Jawa, Sarwono
Antaragama melanjutkan
tidak dapat mengatakan secara lugas
pertanyaannya. Tapi, kamu ikut
keyakinan kami dulu. Mau? untuk membawa Pingkan ke Gorontalo,
(Sapardi Djoko Damono, 2015: 23).
sekalipun ia ditampilkan novel sebagai
Kutipan tersebut merupakan salah
manusia modern. Hal tersebut
satu bentuk negosiasi Hartini terhadap
menunjukkan bahwa adat istiadat Jawa
penyesuaiannya dengan Pelenkahu.
melekat kuat pada karakter Sarwono yang
Hartini yang sejak lahir berada di Manado
memiliki keajegan sebagai orang Jawa.
tidak memiliki akar kuat untuk
Sepanjang perjalanan dari Manado
mempertahankan agamanya, sehingga
menuju Gorontalo, rombongan Sarwono
dengan mudah ia mengikuti ajakan
beberapa kali berhenti untuk beristirahat,
Pelenkahu utuk berpidah agama. Lain
makan dan Salat. Di sini tergambar bahwa
halnya dengan sikap orang Jawa, ketika
Sarwono merupakan penganut agama
selesai urusannya di Manado, Sarwono
Islam yang taat.
diminta Kaprodi untuk melanjutkan
Ternyata Sarwono tidak asing masuk
perjalanannya ke Gorontalo. Untuk mesjid. Pak sopir dan Sarwono dua
kali dalam perjalanan ambil air wudu
menghormati Pingkan, ia tidak langsung
dan sembahyang (Sapardi Djokon
memaksa atau memberi perintah kepada Damono, 2015: 31).
Pingkan untuk ikut bersamanya. Ia
Kutipan etrsebut memberikan gambaran
meminta persetujuan Pingkan dengan
bahwa Sarwono termasuk ke dalam
penuh harap dan cemas.
penganut agama Islam santri. Artinya ia
melakukan praktik ibadah agama Islam
62
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

sesuai dengan ajaran Islam yang Dalam kutipan tersebut,


sebenarnya, di dalamnya termasuk praktik menunjukkan sikap wedi „takut‟ dari
ibadan Salat. Sarwono. Pada kutipan tersebut Sarwono
Sarwono tidak serta-merta dapat terlihat menyesal ketika ia berterus-terang
membebaskannya dari adat istiadat kepada Pingkan mengenai rasa
budaya Jawa. Sebagai orang Jawa, ia cemburunya. Ia takut jika
berusaha untuk menjaga sikap isin. keterusterangannya dapat menyinggung
Seperti ketika ia gagal mendapat ciuman perasaan Pingkan. Maka ia menunjukkan
dari Pingkan. “...Sarwono sempat mencuri sikap wedi „takut‟ melalui sikap diam.
cium sebelum berjalan cepat ke Ternyata tidak hanya Sarwono yang
fakultasnya yang bersebelahan ...” mengkhawatirkan kedekatan Pingkan
(Sapardi Djoko Damono, 2015: 14). dengan Hiro, Hartini juga merasa
Kutipan tersebut menunjukkan sikap isin khawatir dengan kedekatan mereka.
„malu‟ Sarwono. Di sini Sarwono ... Dan ia kaget ketika Bu Pelenkahu
mengungkapkan rasa khawatirnya
melakukan negosiasi dengan budayanya.
jangan-jangan anak gadisnya akan
Orang timur akan dianggap tidak tahu kena pikat Sensei lajang itu. Sarwono
dengan nada yang diyakin-yakinkan
malu atau tidak memiliki etika jika
meyakinkan perempuan cantik itu agar
mereka mencium seseorang di tempat tidak usah mengkhawatirkan hal itu.
Dikatakannya ia kenal Sensei itu dan
umum. Maka dari itu, Sarwono
tidak mungkin ia berbuat yang tidak-
melakukan negosiasi dengan hanya tidak seperti itu. (Sapardi Djoko
Damono, 2015: 97 – 98).
mencuri cium kepada Pingkan sehingga ia
dapat terhindar dari prasangka negatif Untuk menjaga perasaan Hartini,
orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya pada kutipan tersebut terlihat Sarwono
itu, sebagai orang Jawa yang ajeg, ia juga bersikap sungkan. Ia merasa malu jika
kerap menunjukkan sikap wedi „takut‟ harus berterus-terang akan
demi menjaga kerukunan dengan orang- kecemburuannya terhadap Pingkan. Sikap
oang di sekitarnya. tersebut dimaksudkan untuk menjaga
Sebenarnya Sarwono lebih khawatir perasaan Hartini. Kutipan di atas juga
Pingkan menghilangkan rasa sepinya
sekaligus menunjukkan sikap Hartini
dengan mahasiswa Jepang yang di
Kyoto itu. Dan itu sebabnya sekarang yang lebih lugas dan berani bererus-
ia diam. Juga merasa berbuat keliru
terang. Tanpa ada sungkan, ia ungkapkan
telah menyampaikan pertanyaan tadi,
yang dalam situasi biasa tentu akan kekhawatirannya kepada Sarwono. Hal in
diberi label yang bukan-bukan...
menunjukkan bahwa sikapnya telah
(Sapardi Djoko Damono, 20015: 91).
63
Nenden Rizky Amelia…

dipengaruhi oleh sikap hidup budaya 4. SIMPULAN


Manado yang lebih terbuka. Berdasarkan hasil pembahasaan
Pingkan yang digambarkan sebagai karakteristik budaya, dapat disimpulkan
orang Manado, kerap menunjukkan sikap bahwa novel ini menampilkan karakter
agresif kepada Sarwono. Jawa yang berbeda. Melalui tokoh
Tadi pagi ketika mengantar Sarwono Sarwono, novel ini merepresentasikan
ke bandara, Pingkan tidak bisa
karakteristik Jawa yang memiliki
menahan dirinya mencium dan
memeluk Sarwono kuat-kuat, adegan kesamaan dengan orang Jawa pada
yang bisa saja menimbulkan keheranan
umumnya, sehingga tampak bahwa tokoh
orang lain seandainya terjadi di
Bandara Adisuwarmo, Solo (Sapardi Sarwono memiliki identitas yang stabil.
Djoko Damono, 2015: 55).
Karakter tersebut meliputi sikap ethok-
Sikap agresif Pingkan yang
ethok „berpura-pura‟, wedi „takut‟, isin
mengarah kepada sikap kebarat-baratan
„malu‟ dan sungkan. Sikap-sikap tersebut
seperti yang tergambar pada kutipan di
muncul dari pemikiran rasional yang
atas menunjukkan karakteristik Pingkan
diperkuat oleh landasan agama sebagai
sebagai orang Manado. Walaupun dalam
bentuk pengendalian diri demi terciptanya
novel Pingkan dinarasikan sebagai orang
kerukunan. Selain itu, novel ini
yang mengidentifikasikan diri sebagai
menghadirkan karakter Jawa melalui
orang Jawa, sikap agresifnya tersebut
ketaatan Sarwono pada agama Islam.
tetap menunjukkan Pingkan sebagai orang
Akan tetapi, melalui Hartini, novel ini
Manado karena bagi perempuan Jawa
menunjukkan bahwa tidak semua orang
yang memegang adat ketimuran, hal
Jawa memiliki karakter yang sama.
tersebut tidak mungkin dilakukan.
Hartini ditampilkan sebagai orang Jawa
Seorang perempuan Jawa akan dipandang
yang lebih terbuka, lugas dan berani
negatif jika bersikap agresif kepada
berterus-terang karena terpengaruh oleh
seorang laki-laki. Perempuan tersebut
budaya Manado.
akan dianggap tidak memiliki rasa malu.
Selain itu, ketidakmampuan
Sikap yang demikian dapat mengukuhkan
berbahasa Jawa serta perpidahan ke
identitas Pingkan sebagai orang Manado.
agama Kristen sebagai bentuk
penyesuaiannya terhadap lingkungan
membuatnya diposisikan dan sekaligus
memosisikan diri sebagai other.
Sementara karakteristik Manado
64
Representasi Budaya dalam Novel Hujan Bulan Juni…

ditampilkan novel melalui tokoh Pingkan Community, Culture, Difference.


London: Lawrence & Wishart.
dengan menampilkan gaya hidup kebarat-
baratan, bahasa, praktik kuliner, agama __________. (2000). “Who Needs
'Identity'?” dalam Stuart Hall and P.
dan nama. Gaya hidup kebarat-baratan
du Gay Identity a Reader. London:
ditunjukkan melalui sikap agresif dan Sage Publication Inc. (hlm. 15-30).
terbuka mengindikasikan Pingkan sebagai
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan
orang Manado. Agama Kristen dan nama Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
„Pingkan Pelenkahu‟ yang dianggap
Kurniawati R Deffi dan Sri Mulyani.
sebagai simbol Manado juga memperkuat (2012). Daftar Nama Marga/Fam,
Gelar Adat dan Gelar
identitasnya sebagai orang Manado. Akan
Kebangsawanan di Indonesia.
tetapi ada hal yang membedakan dirinya Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
dengan orang Manado pada umunya,
Nono S. A. Sumampou. (2015). Menjadi
yaitu terlihat dari penggunaan bahasa dan Manado: Torang Samua
Basaudara, Sabla Aer dan
praktik kuliner. Kefasihan Pingkan dalam
Pembentukan Identitas Sosial.
berbahasa Jawa serta ketidaksukaannya Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
terhadap minuman keras mengindikasikan
suatu bentuk usaha untuk menyesuaikan Sapardi Djoko Damono. (2015). Hujan
Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia
diri dengan budaya Jawa. Ini
Pustaka Utama.
membuktikan bahwa identitas memang
Weichart, Gabriele. (2004). “Identitas
bersifat cair mengikuti tempat di mana ia
Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner”.
berada. Terjemahan dari “Minahasa
Identity: A Culinary Practice”
dalam ‟How will Eastern Indonesia
5. DAFTAR PUSTAKA Maintain “Unity in Diversity”?
Responses to Religious-Ethnic
Barker, Chris. (2005). Cultural Studies:
Discord, Refugees and Regional
Teori dan Praktik. Terjemahan dari
Autonomy in East Indonesia‟ pada
Cultural Studies: Theory and
Simposium Internasional Jurnal
Practice. Yogyakarta: PT Bentang
Antropologi Indonesia. ke-3:
Pustaka.
„Rebuilding Indonesia, a Nation of
“Unity in Diversity”: Towards a
Franz Magnis Suseno. (1984). Etika
Multicultural Society. Denpasar:
Jawa: Sebuah Analisa Falsafi
Kampus Universitas Udayana.
tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: PT Gramedia.
Woodward, Kathryn. (2002). “Concepts
of Identity and Difference” dalam
Hall, Stuart. (1990). “Cultural Identity
Kathryn Woodward (Ed.) Identity
and Diaspora” dalam Jonathan
and Difference. London: Sage
Rutherford (Ed.) Identity:
Publications.

65

Anda mungkin juga menyukai