Anda di halaman 1dari 9

Bestfriend or Love?

Persahabatan bukan hanya sebuah kata yang ditulis pada sehelai kertas tak
bermakna, tapi persahabatan merupakan ikatan suci, yang ditoreh diatas dua hati,
ditulis bersama dengan tinta kasih sayang. Bukan hanya sebuah kata cinta yang
sering dikatakan oleh sepasang kekasih, tapi kata cinta yang membutuhkan
pengorbanan. Dan suatu saat akan dihapus bersama dengan tetesan darah dan
barangkali nyawa.

Namaku Mili. Saat ini aku duduk di bangku SMA, yang merupakan sekolah
favorit. Aku kelas 2 di jurusan MIPA. Aku juga mengambil program SKS. Yah,
walaupun awalnya sangat sulit bagiku, namun aku sudah bisa menyesuaikan diri.

Di SMA, aku memiliki banyak teman yang baru ku kenal dan yang kukenal
sejak masih dibangku SMP, entah itu lelaki atau perempuan. Salah satunya adalah
Wigi. Yaps, Wigi adalah salah satu teman lelakiku, lebih tepatnya SAHABAT. Aku
mulai bersahabat dengannya dari kelas 1 SMP. Awalnya, aku tidak mengenalnya
karena kita tidak satu sekolahan di waktu SD.

Senin pagi, seperti biasa semua murid selalu melaksanakan upacara bendera
rutin. Tapi kali ini, upacaranya berbeda. Hari ini semua murid melaksanakan
upacara pembukaan MOS, upacara spesial untuk murid kelas 1. Semua berbaris rapi
dengan atribut nya masing-masing. Murid baru, memakai atribut yang telah
ditentukan oleh kakak OSIS sebelumnya. Hmm, kalian tau lah, pada saat MOS
atribut nya pasti aneh-aneh. Kaos kaki beda, rambut dikuncir pita-pita, bahkan
disuruh memakai rompi dari kertas koran. Tapi ya karena ini peraturan, mau gak
mau kita harus memakainya.

Setelah kurang lebih 30 menit upacara dibawah terik matahari yang sangat
menyengat. Tiba saatnya pembagian kelas untuk murid baru. Pengurus OSIS pun
membacakaan satu persatu nama murid untuk bisa menempati kelasnya masing-
masing. Sampai akhirnya, namaku terpanggil. Aku dan teman-temanku langsung
mengikuti koordinator kelasku sampai kita tiba di kelas 7B. kelasnya cukup bagus
dan rapi, bisa dibilang kelas ini kelas baru karena masih ada aroma cat yang
menyengat. Aku langsung mencari tempat duduk, aku memilih untuk duduk
didepan.

Kegiatan MOS pun dimulai dengan diawali pemilihan pengurus kelas.


Pengurus OSIS memilih kandidat-kandidat nya. Lagi-lagi aku terpilih menjadi
bendahara kelas. Sesuai dengan dugaanku. Setelah selesai proses pemilihan
pengurus kelas, kami diminta untuk perkenalan. Satu persatu murid diminta untuk
maju kedepan. Ada salah satu siswa menghampiriku, dia mengajakku berkenalan.
Wigi namanya. Aku senang bisa mendapatkan teman baru. Semoga saja aku dan
Wigi bisa berteman baik.

Kegiatan MOS di hari pertama berjalan dengan lancar. Kring…. Bel


berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba.

“akhirnya bisa pulang juga. Udah kangen nih sama Kasur.” Dalam benakku
sambil membereskan buku-buku diatas meja.

“hei…!!” aku terkejut tiba-tiba saja Wigi sudah ada disampingku.

“bisa gak jangan ngagetin, kebiasaan deh. Kalo nanti aku jantungan gimana,
terus masuk rumah sakit. Emang kamu mau bayarin biayanya!” Bentakku padanya.

“lebay deh. Iya iya maaf. Eh pulang bareng yukk.” Ajak Wigi.

“pulang bareng? Yakin? Arah rumah kita kan beda.” Tanyaku padanya.

“ya tapi kan kita harus jalan dulu kedepan biar dapet angkot. Kan arahnya
sama.” Jelas Wigi. Rumah kita memang tidak satu arah. Wigi ke barat dan aku ke
timur, udah kayak lagu aja yaa.. heee. Tapi karena sekolah kita agak terpelosok alias
jauh dari jalan raya. Kita harus jalan dulu sampai jalan raya. Lumayan lah untuk
bakar kalori.

“oh iya sih. Yaudah deh yuk. Tapi mampir ke toko buku dulu ya” jawabku

“mau ngapain ke toko buku?” Tanya Wigi

“mau beli semen disana?” jawabku dengan muka datar

“emang di toko buku ada semen ya Mil?” Tanya Wigi heran.


“please deh Gi. Kalo aku bilang ke toko buku, itu artinya aku mau beli buku.
Untung aja kamu sahabatku, kalo enggak. Udah aku jitak kali tuh kepala” jawabku
sontak membuat Wigi kaget. Yah sejak perkenalan itu, aku dan Wigi semakin dekat.
Bisa dibilang kami sahabatan.

“maaf deh maaf. Bawel deh. Dasar emak-emak. Yaudah ayo pulang keburu
sore nih.” Sahut Wigi. Kami pun pulang bersama.

Hari hari berlalu, kegiatan MOS pun telah sampai dipuncaknya. Aku dan
Wigi lega karena sebentar lagi kita gak bakalan ngelakuin hal-hal konyol lagi.
Sumpah ya, selama kita MOS, kita diperlakukan seperti orang gila. Disuruh nyanyi
lah, disuruh jongkok, bahkan minta tanda tangan pun susahnya minta ampun. Nah,
untuk merayakan hari terakhir bebas dari bully an kakak kelas, Wigi mengajakku
untuk makan.

“eh, makan yuk. kita rayain hari bebas MOS ini.” Ajak Wigi.

“males ah, aku pengen cepet pulang nih. Capek tau. Seharian disuruh ini
itu.” Tolakku kepada Wigi.

“yakin gak mau? Aku traktir deh. Gimana? Masih gak mau juga?”

“hmm,, gimana ya? Iyadeh hehe. Rejeki kan gak boleh ditolak. Udah ayo
buruan!” ajak ku semangat.

“yaelah, giliran di traktir langsung semangat 45 gitu. Iyadeh iya.” Jawab


Wigi.

Sebelum pulang, kami mampir di suatu café, disana kami memesan


makanan dan juga minuman. Semakin hari kami berdua semakin akrab. Wigi juga
selalu memperlakukanku seperti seorang putri kerajaan. Duh, wanita mana coba
yang gak baper alias bawa perasaan kalo di perlakukan seperti itu. Sampai teman
teman kami mengira bahwa kami memiliki hubungan lebih dari sahabat. Tapi
semua gosip itu kami hiraukan. Buat kami, sahabat itu lebih menyenangkan. Hari
semakin larut, kami memutuskan untuk menyudahi pesta kecil-kecilan ini. Seperti
biasa, kami berpisah di pinggiran jalan kota yang dipenuhi dengan polusi ini.
Sesampainya dirumah, aku bergegas untuk mandi, makan, dan sholat. Sejenak aku
membuka hp ku. Ternyata ada 20 panggilan tak terjawab dari Wigi. Segera ku telfon
dia kembali karena takut ada sesuatu yang penting. Tapi ternyata dia hanya ingin
menanyakan kabarku. Uhh,, kalau saja dia ada didepanku sekarang, sudah ku
jadikan perkedel tuh anak. Kesal rasanya, namun lagi-lagi dia selalu membuat
tertawa karna ocehan nya yang kayak emak-emak itu. Tak terasa sudah 1 jam lebih
kami mengobrol di telfon, sampai akhirnya aku tertidur pulas tak menghiraukan
telfon dari Wigi.

Kring…. Kring…. Alarm hp berbunyi. Jarum jam menunjukkan pukul


06.30 WIB.

“hah? Gila ! bisa telat nih masuk sekolahnya. aduh pake bangun kesiangan
lagi. Mili… Mili.. duh kebiasan deh” omelku pada diriku sendiri. Sontak akupun
segera bangun dan menuju kamar mandi.

“ma, aku berangkat dulu ya. Udah telat nih” ucapku.

“ndak mau sarapan dulu? Ini udah mama siapin. Makanya kalo bangun itu
lebih pagi dong. Keburu buru kan jadinya.” Omel mamaku, seperti biasa, tiap pagi
mamaku selalu saja mengomel, kayak alarm otomatis aja. Tapi ya memang salahku
juga sih.

“duh, gak sempet. Udah siang nih. Berangkat yah, assalamualaikum.”


Ucapku

“waalaikumsalam” jawab mamaku.

“duh mana nih angkotnya, bakalan telat beneran nih.” Omelku.

Sesampainya di sekolah, aku berlari menuju kelasku berharap guru belum


masuk kekelas. Bisa dihukum nih kalo sampai guru nya udah masuk kekelas
duluan.

“Alhamdulillah, untung aja belum ada guru” kataku dengan nafas yang tak
beraturan.

“jam berapa ini mbak? Kenapa gak sekalian nanti sore aja berangkatnya
hah?” ejek Wigi padaku.
“kebiasaan ya tiba-tiba nongol kayak gini, dasar tuyul.” Ucapku

“yee, dasar emak-emak. Lagian semalem juga kenapa pakek ninggal segala,
ketiduran kan? Ketebak deh.”

“ya salah siapa telfon malem-malem. Udah tau malem waktu istirahat masih
aja nelfon, gak bisa ditunda besoknya apa. Uhh, minggir-minggir mau duduk nih
capek tau.”kataku

“iyaiya, silahkan tuan putri. Maaf ya udah ganggu waktu istirahat tuan
putri.” Rayu Wigi yang membuatku jadi risih.

“dasar lebay. Pagi-pagi udah kumat aja. Belum minum obat ya.” ledekku

“baik salah, gak baik juga salah. Dasar the power of emak-emak.” Ejek
Wigi. Ingin rasanya ku jotos kepalanya, tapi gagal karena guru sudah ada didalam
kelas. Akupun mengurungkan niatku untuk menjotos Wigi.

Semakin hari, persahabatan kami sangat erat. Sampai suatu saat Wigi
menceritakan wanita yang ia suka kepadaku, saat itu lah, dada ku menjadi sesak,
jantungku berdetak tak beraturan, hatiku menggebu-gebu. Kenapa ini? Ada apa
denganku? Kenapa hatiku menjadi sakit begini? Apakah? Ahh.. tidak mungkin.
Wigi kan sahabatku. Yah, dia sahabatku. Hanya sebatas sahabat. Dia menceritakan
semuanya dengan semangat. Aku sebagai sahabatnya hanya bisa berdoa dan
mendukungnya. Yah, semoga saja, pilihan yang tepat untuk dia. Walaupun, dilubuk
hatiku yang terdalam, aku sangat takut kehilangan dia.

“kamu kenapa Mil? Kok cemberut gitu? Kamu gak suka ya aku deket sama
Nia? Kalo kamu memang gak suka aku bisa jauhin dia kok. Tapi jangan cemberut
gitu dong” ucap Wigi sedih.

“yaelah, baperan amat sih pak. Enggak kok enggak. Aku itu dukung kamu
kok. Beneran deh. Cuma, aku Cuma takut aja kamu ngejauhin aku nantinya.”
Jawabku

“hey, Mili. Lihat aku. Kamu itu sahabatku, orang paling aku sayang, aku
percayai setelah orang tuaku. Jadi jangan pernah berpikiran yang enggak-enggak.
Oke?” ucap Wigi meyakinkanku.
“hmm. Iya iya percaya kok deh.” Balasku

“yaudah jangan cemberut gitu dong. Mili yang aku kenal kan bawel. Hehe,
yaudah yuk ke kantin, aku traktir deh. Gimana?” ajak Wigi.

“bawel apaan. Kamu kali yang bawel. Beneran ya di traktir. Yeayy.”


Ucapku

“giliran ke kantin aja, lupa deh sama yang tadi. Yaudah buruan, keburu
masuk nih.” Ajak Wigi.

Aku bahagia bersama Wigi. Seorang sahabat yang bisa mengerti apa yang
aku rasakan, yang peduli, yang selalu membuat hari-hariku berseri. Hingga saat
kelas 8, kami sama-sama diikutsertakan lomba paduan suara tingkat provinsi yang
akan diselenggarakan di Banyuwangi. Satu persatu persiapan telah di lalui. Sampai
pada satu hari sebelum perlombaan, kami dan para guru berangkat menuju
Banyuwangi. Aku beruntung karena bisa satu mobil dengan Wigi. Pada saat inilah
persahabatan kami diuji. Betapa perhatiannya Wigi padaku. Dia merelakan
pundaknya untuk kusandari, dia juga rela tidak tidur hanya untuk menjagaku seakan
akan dia menjaga ku lebih dari kekasihnya sendiri.

Sampai pada waktunya, kami naik ke kelas 9. Wigi menghampiriku dengan


raut muka yang sedih.

“kenapa pak? Gak dikasih uang jajan lagi hari ini?” tanyaku

“aku putus sama Nia.” Jawabnya, sontak membuat ku kaget sekaligus


senang. Entah kenapa aku punya pemikiran seperti itu.

“kenapa putus? Perasaan kalian akur-akur aja.” Tanyaku lagi

“dia punya yang lain. Udahlah jangan dibahas, aku lagi males bahas dia.”
Tolak Wigi. Yah, aku hanya bisa menuruti. Ku biarkan dia untuk tenang sejenak.
Sebenarnya, aku memang tidak terlalu setuju Wigi dengan Nia. Karena aku tahu,
Nia adalah orang seperti itu.

Hari berganti hari. Aku dan Wigi semakin akrab kembali. Sampai suatu saat,
sikap Wigi berubah. Perhatiannya melebihi perhatian seorang sahabat. Kagetnya
lagi, dia menyatakan perasaannya padaku. Aku bingung harus mengatakan apa,
walaupun aku juga memiliki perasaan yang sama dengannya.

“Mil, aku tahu ini aneh, aku tahu ini bakalan merusak persahabatan kita.
Tapi aku juga gak bisa ngebohongin perasaanku sendiri. aku sayang sama kamu
lebih dari sebatas sahabat. Aku gak bisa jauh dari kamu Mil.” Jujur Wigi padaku.

“jujur, aku juga punya perasaan yang sama Wig.” Ucapku tersipu malu.

“beneran Mil? Jadi kita? Lebih dari sahabat?” Tanya Wigi tak percaya

“iya. Kita jalanin aja deh dulu.” ucapku singkat

Semakin hari hubungan ku dengan Wigi semakin manis. Bak sepasang


kekasih yang sedang dimabuk cinta. Perhatian nya, kejutan-kejutannya, seperti
seorang pangeran kerajaan yang sedang memanjakan permaisurinya.

Hingga pada suatu hari. Perhatiannya sangat berlebihan. Ini dilarang, itu
dilarang. Berbeda pada saat kita sebagai sahabat. Aku mulai tak nyaman dengan
hubungan ini. Ingin ku mengatakan padanya, tapi dia selalu saja memarahiku,
melarang-larangku. Aku jadi tidak bebas dengan sikapnya yang sekarang.

Sampai pada saat kami sudah memasuki masa masa SMA. Akhirnya aku
memberanikan untuk mengatakan padanya bahwa aku mulai bosan dengan
hubungan ini.

“Wig. Aku pengen tanya sesuatu sama kamu.” Kataku

“tanya apa sayang? tanya aja lagi. Kok pake ijin-ijin segala.” Jawab Wigi
lembut membuatku tak tega mengatakannya.

“kamu ngerasa ada yang aneh gak sama hubungan ini?” tanyaku

“aneh gimana maksudmu?” Tanya Wigi dengan raut muka yang serius

“ya aneh aja. Beda banget sama waktu kita sahabatan dulu. Aku ngerasa,
hubungan sekarang ini banyak tuntutan ini itu. Aku jadi gak bebas Wig, aku juga
yakin kamu juga ngerasain hal yang denganku. Iya kan?” jelasku
“hmm. Terus kamu maunya gimana Mil? Aku ini tulus kok sama kamu.”
Kata Wigi

Akupun memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya

“aku mau kita sahabatan lagi kayak dulu. Saling menyayangi, menjaga
sebagai seorang sahabat. Gak kayak gini. Penuh dengan larangan. Wig, dengerin
aku. Kita masih bisa kok ngelakuin rutinitas ini walaupun kita sahabatan. Rasa
sayang sebagai sahabat itu lebih berharga Wig dari pada rasa sayang sebagai pacar.”
Jelasku lagi

“okedeh, kalau memang itu yang kamu mau. Tapi kamu janji ya, bakalan
tetep jadi sahabat terbaikku. Oke?”

“kalo maumu itu, aku siap kok. Hehe kamu juga jangan ninggalin aku ya.
Toh, kalo kita jodoh, pasti gak kemana kok. Hihihi” ucapku pada Wigi.

“yaelah, masih kecil udah berani-berani aja ngomongi jodoh. Adek kelas
berapa sih?” ejek Wigi padaku. Sontak aku langsung menjitak nya tanpa pikir
panjang.

“rasain tuh. Enak aja bilang aku anak kecil.” Omelku

“ish, sakit tauk. Dasar emak-emak. kaburr” Ejek Wigi langsung berlari
meninggalkan ku.

“eh mau kemana situ. Sini gak! Awas aja ya.” Omelku sambil mengejar
Wigi

Hari-hari kami jalani seperti biasa. Sebagai seorang sahabat, tentunya. Kami
menyadari bahwa sahabat itu lebih berarti dari segalanya, tanpa di nodai dengan
rasa ingin memiliki seutuhnya. Suka duka kami lalui bersama. Kita tak perlu
menjadi sempurna bagi seorang sahabat, tapi kita hanya perlu menjadi seorang
teman yang setia didalam setiap penat. Ketika dua sahabat menjadi sepasang
kekasih, itu ketulusan. Tetapi ketika mantan kekasih menjadi sahabat, itu
kedewasaan.
Penulis adalah siswi kelas XI MIPA 5

SMAN 1 Kraksaan

Anda mungkin juga menyukai