Anda di halaman 1dari 21

MAGISTER TEKNIK GEOMATIKA

FAKULTAS TEKNIK – JURUSAN TEKNIK GEODESI


UNIVERSITAS GADJAH MADA

Tugas Paper Mata Kuliah


PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

PT. FREEPORT INDONESIA vs SUKU AMUNGME :

Sebuah Model Penyelesaian Alternate Dispute Resolution (ADR)

Oleh :
Fahmi Charish MDW
NIM. 20657/PS/TG/06

YOGYAKARTA 2007
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup dikaruniakan oleh Allah SWT untuk manusia dan
merupakan rahmat serta perwujudan kasih dan sayang Nya kepada umat manusia.
Oleh Allah SWT, lingkungan hidup yang berada di bumi diciptakan sedemikian rupa
dalam keadaan seimbang (QS. Al-Mulk), sehingga manusiapun ditantang untuk dapat
menemukan di pojok manakah terdapat penciptaan yang timpang – yang mana
tantangan ini tidak satupun sampai saat ini yang sanggup menjawabnya, justru
penemuan-penemuan baru dengan iptek yang canggih semakin menguatkan konsep
”Keseimbangan” dari Sang Pencipta ini.
Dalam ilmu lingkungan konsep keseimbangan ini menjadi sangat penting
mengingat : Satu, manusia memang berhajat atas alam raya ini, manusia memiliki
kebutuhan untuk memanfaatkan alam ini dan yang lebih penting dunia memang
diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Kedua, fakta bahwa sumber daya alam
bisa habis atau rusak menyebabkan ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan
manusia itu sendiri. Sehingga dewasa ini semakin diyakini pentingnya melestarikan
alam, yang pada prinsipnya justru mendukung kehidupan manusia itu sendiri dalam
jangka panjang.
Namun sayangnya fakta bahwa sumber daya alam bisa habis, yang sebetulnya
sudah diketahui manusia, kurang dipahami dalam artian tidak ada tindak lanjut
pengetahuan tersebut menuju langkah nyata. Lingkungan hidup di Indonesia berada
di ambang kehancuran akibat ekksploitasi berlebihan selama ini. Berlakunya otonomi
daerah semakin memperparah kondisi lingkungan mengingat hampir semua daerah
terbius oleh mimpi peningkatan kesejahteraan dengan angka-angka khayali bernama
peningkatan PAD (pendapatan asli daerah). Pada kenyataannya siapa penikmat PAD
menjadi makin absurd manakala daerah yang ber PAD tinggi konon sebagian besar
rakyatnya masih banyak yang melarat. Isu lingkungan menjadi isu kesejahteraan.
Fakta Kedua di atas terbukti bukan?
Dalam ringkasan Agenda 21 Indonesia Bab 12 mengenai Perencanaan
Sumberdaya Tanah dipaparkan adanya kondisi faktual berupa : konversi lahan
pertanian ke non-pertanian, pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat, pertumbuhan
penduduk Indonesia 5,4% per tahun. Kondisi tersebut memberikan dampak sosial
ekonomi sebagai berikut antara lain : kompensasi penggusuran tanah yang tidak
memuaskan, tejadinya benturan antara kepentingan sutu proyek yang membutuhkan
tanah yang luas dimana hak masyarakat tradisional atau adat sering dikorbankan, dan
belum efektifnya penerapan instrumen ekonomi dalam pengaturan penggunaan tanah.
Paparan ini menjadi pijakan untuk menelaah kasus konflik Freeport dan suku
Amungme.
Paper ini memfokuskan kasus lingkungan yang terjadi di Kabupaten Mimika
Papua dengan berdirinya PT. Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport saja)).
Uraian paper ini membawa aspek historis sebagai latar belakang tindakan pihak yang
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 2
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
terlibat, isu lingkungan dalam bingkai kesenjangan sosial, dan bagaimana isu
kesadaran lingkungan dalam aroma imperialisme modern yang kental. Kemudian
berdasar pada ringkasan Agenda 21 Indonesia, pada Bab 12 Perencanaan Sumberdaya
Tanah, akan diuraikan bagaimana kehadiran Freeport mampu merubah kehidupan
sosial warga sekitar (Suku Amungme) dan perubahan status hak atas tanah adat
Amungme yang kemudian menjadi faktor penyebab konflik suku Amungme dengan
Freeport, yang pada saat yang sama pemerintah kebingungan di tengah-tengah dalam
mengambil jalan keluar. Kebingungan pemerintah sangat wajar mengingat tekanan
maha berat yang dialami. Sebagaimana ditulis Abdurrazaq dkk (1998 : 15) : Kasus-
kasus HAM akan diakui manakala memberikan pembenaran bagi para moneteris
untuk membantu sebuah ’ekonomi tertutup’. Bahkan kasus-kasus lingkungan telah
diserapkan ke dalam arus utama informasi dunia sehinga memberi perusahaan-
perusahaan multinasional suatu citra yang lebih bersih dibandingkan dengan industri
lokal. Setiap kali organisasi sosial atau politik akan dibiarkan berjalan, dikooptasi
atau bahkan didanai sepanjang tidak mempersoalkan cara-cara kekayaan diciptakan,
dicipta-ulang atau dipergunakan.

B. OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN ISU HAK ULAYAT


Pada tanggal 21 November 2001 Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No.
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, salah satu tujuannya
mengakomodasi tuntutan percepatan kesejahteraan rakyat Papua pada umumnya, dan
termasuk suku Amungme. Disamping itu untuk meredam gejolak keinginan merdeka
dari rakyat Papua melalui Dewan Presidium Papua pimpinan Theys Elluay (tahanan
kota dalam kasus makar) yang akhirnya ditemukan mati di dalam sebuah mobil, hal
ini dapat dilihat pada Pasal 1 (a) bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya
yang diberi otonomi khsusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai isu hak ulayat masyarakat hukum adat dijabarkan pada Pasal 1
huruf (s) bahwa Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganaya, yang
meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada Pasal 43 (3) : Pelaksanaan
hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa
adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat
setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh
pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Dalam penjelasan Profesor Boedi Harsono (2006 : 778) disebutkan bahwa
hak ulayat adalah hak bersama masyarkat hukum adat yang bersangkutan. Subyeknya
adalah masayarakat hukum adata tersebut dan bukanna perorangan dan atau penguasa
adat. Penguasa adat (ketua adat) bertindak sebagai pengelola tanah hak ulayat
tersebut. Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak ada tidak akan
dihidupkan kembali. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini
mencakup pula terhadap pihak-pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 3


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
hak ulayat secara sah dan menurut tatacara peraturan perundang-undangan, dan
karenanya tidak dapat digugat kembali oleh ahli waris demi kesepatan hukum.
Sementara itu AP Parlindungan (1999 :6) menerangkan bahwa dalam sistem
hukum adat, perbuatan peralihan harus dilakukan di depan Kepala Desa / Lurah. Hal
ini juga dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai kasus-kasus
yang berkenaan dengan peralihan hak atas tanah pada wilayah-wilayah masyarakat
hukum adat. Fakta masih sangat sedikitnya warga Amungme yang melek huruf
menyebabkan konsep rekaman atas subyek hak atas tanah menjadi sangat lemah,
karena hanya mengandalkan daya ingat Ketua Adat / Suku. Kondisi ini menimbulkan
potensi konflik kepemilikan sebagaimana sekarang dituai oleh Pemerintah Indonesia
dengan adanya konflik antara Freeport dan suku Amungme.
Peranan pemerintah daerah disinggung dalam undang-undang tersebut yakni
adanya tanggung jawab mediasi oleh Peprov dan Pemkab maupun Pemkot
bersangkutan dalam penanganan konflik kepemilikan anatar warga adat dengan pihak
luar. Juga sebagaimana termaktub pada Pasal 43 (5) : Pemerintah Provinsi, Kabupaten
/ Kota, memeberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tana ulayat
dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai
kesepakatanyang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Sementara itu menurut
Boedi Harsono, 2006 dalam penjelasan bahwa Pemerintah Provisni, Kabupaten /
Kota sebagai instnsi yang paling mengetahui hal-ihwal sengketa yang terjadi di
wilayanya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketa ynag
timbul di antara masyarakat hukum adat atau wrganya dengan pihak luar. Sengketa
antara para warga masyaraakat hukum adat diselesaikan melalui peradilan adat
sebagai dimaksud dalam undang-undang ini (UU 21/2001)
Kemudian untuk isu lingkungan dan kesejahteraan rakyat disinggung pada
Pasal 64 (1) : Pemerintah Provisni Papua wajb melakukan pengelolaan lingkungan
hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumberdaya
ala hayati, sumberdaya alam non-hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan
keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 4


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

A. SEKILAS SUKU AMUNGME


Suku Amungme hidup di pulau Papua, yang sesuai perjanjian Den Haag
dibagi menjadi dua : bagian barat milik Hindia Belanda (yang kemudian menjadi
Irian Jaya di bawah Pemerintah Republik Indonesia), dan bagian timur milik Jerman
(sekarang telah berdiri negara berdaulat Papua New Guinea). Fase berikutnya Irian
Jaya kembali bernama Papua pada masa Reformasi dengan ibukota Jayapura dan
mengalami pemekaran serta penerapan otonomi khusus..
Secara geografis Papua terbagi dalam tiga daerah : Pertama, daerah kaki
gunung sebelah utara. Kedua, daerah pantai di sebelah selatan. Ketiga, daerah
pegunungan di bagian tengah atau Pegunungan Tengah. Ke arah selatan dari
Pegunungan Tengah inilah terbentang wilayah hunian suku Amungme dan suku
Kamoro. Dataran ini membentang dari Mimika di barat sampai dengan Merauke di
timur.
Wilayah hunian Suku Amungme, dikenal juga dengan tanah Amungsa,
merupakan gugusan dari Pegunungan Sudirman yang dalam peta disebut Cartenz
Toppen. Saat ini wilayah hunian suku Amungme berada di bawah Daerah Tingkat II
Kabupaten Administratif Mimika, sebekumnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten
Fak-fak. Sebagaiamana wilayah tropis lainnya, Timika juga memiliki dua msuim,
musim penghujan dan musim kemarau. Meskipun Timika merupakan dataran yang
agak sempit, saat ini wilayah tersebut dihuni 60.000 jiwa, dengan struktur : 45.000
jiwa etnis Papua selain Amungme, 12.000 jiwa Amungme dan sisanya pendatang.
Setelah Freeport berdiri jumlah penduduk Timika berkembang menjadi 100.000 jiwa
di mana sebagain besarnya adalah para pendatang, karyawan dan buruh tambang
Freeport. Karyawan-karyawan Freeport didominasi oleh para pendatang, baik yang
dari luar Papua maupun yang dari daerah lain di Papua. Sementara penduduk aslinya
bermatapencaharian bercocok tanam dan berburu, hanya sebagian kecil dari mereka
(suku Amungme) yang bekerja pada Freeport. Dalam Amiruddin (2003), prosentase
kependudukan adalah sebagai berikut : 31% bercocok tanam, 28% buruh Freeport,
11% perajin, 17% nelayan dan sisanya berprofesi sebagai PNS, TNI/POLRI, dll.

B. PT. FREEPORT McMoRan : SEJARAH YANG BERMASALAH


Tambang tembaga dan emas milik Freeport sudah lama menjadi salah satu
proyek sumberdaya alam yang paling sarat kontroversi di Indonesia. Kontroversi
tersebut timbul dari kaitan erat antara perusahaan tersebut dengan militer maupun
kalangan elit dari zaman Soeharto, serta hubungannya yang sangat bermasalah
dengan penduduk Papua, yang baru akhir-akhir ini menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Freeport dimotivasi oleh sikap yang lazim di industri pertambangan dunia
saat itu, tidak menciptakan seluruh permasalahan sekitar tambang itu, dan sejak
pertengahan 1990an telah berupaya menghapuskan riwayatnya yang bermasalah.
Perusahaan tersebut telah membayar lebih dari satu milyar dolar AS dalam bentuk
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 5
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
pajak dan royalty kepada Indonesia, dan menciptakan ekonomi setempat yang
menopang ribuan penduduk. Namun demikian, sejarah tambang itu bagi sejumlah
pengamat masih merupakan studi kasus tentang bagaimana cara tidak berhadapan
dengan masyarakat setempat maupun dengan aparat keamanan.
Freeport Sulphur, kemudian menjadi Freeport McMoRan, sebuah perusahaan
AS, mulai melakukan kegiatan eksplorasi di Papua bagian selatan pada tahun 1960.
Perusahaan tersebut menandatangani kontrak produksi dengan Indonesia pada tahun
1966, tiga tahun sebelum diberlakukannya kekuasaan Indonesia atas Papua. Soeharto
bersama resimnya yang didukung militer sangat mebutuhkan modal asing, dan
Freeport diberi keleluasaan besar dalam menyusun ketentutuanketentuan dari
investasinya sendiri. Tambang tersebut dikelola oleh anak perusahaan bernama
Freeport Indonesia, yang dikendalikan oleh Freeport McMoRan. Ketika itu hanya
beberapa ratus penduduk menghuni daerah itu, menurut penuturan Freeport.
Wilayah sekitar tambang dimanfaatkan oleh penduduk Amungme untuk
berburu dan hal-hal sakral, meski ada sebuah desa yang dikemudian hari menjadi kota
perusahaan dengan nama Tembagapura. Penduduk setempat tidak bisa dikatakan telah
memberi persetujuannya dengan penuh kesadaran, karena tidak mungkin mereka
memahami betapa besar dampak yang bakal ditimbulkan terhadap wilayah mereka.
Menurut sebuah penuturan, hingga tahun 1995 mereka tidak menyadari bahwa
menurut catatan pemerintah, mereka telah menyerahkan lahan seluas satu juta hektar
bagi pengembangan.
Sejalan dengan dimulainya penambangan Ertsberg pada awal 1970an,
ketegangan dengan masyarakat setempat kian tumbuh. Sesuai kepercayaan setempat,
penduduk Amungme mengharapkan Freeport berbagi kekayaan mereka berupa
barangbarang yang dimilikinya, mulai dari helikopter hingga ke jas hujan. Diantara
warga timbul kekesalan karena merasa tanahnya telah dirampas, selain itu Freeport
cenderung menggunakan pekerja terampil dari luar daerah itu, yang berarti tidak
banyak peluang pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Freeport membenarkan kegiatannya atas dasar kontraknya dan hukum
Indonesia. Tidak ada perlindungan terhadap perlakuan atas lingkungan atau
masyarakat setempat, dan makna spiritual wilayah tersebut bagi suku Amungme pun
tidak dihargai. Ada tudingan bahwa penduduk dipaksa pindah dari rumahnya, meski
menurut Freeport pihaknya tidak pernah mendukung relokasi secara paksa. UU hanya
mengakui hak adat atas tanah yang digarap, dan oleh karenanya lahan-lahan luas yang
digunakan untuk berburu atau tidak ditanami tidak dipertimbangkan untuk ganti rugi.
Jikapun ada ganti rugi, jumlahnya ditetapkan oleh pejabat pemerintah. Setelah
masyarakat setempat melancarkan protes, pada 1974 Freeport sepakat untuk
membangun sekolah, klinik, perumahan dan sarana bangunan lainnya. Yang terbesar
berukuran 20 kaki kali 30 kaki. Sebagai imbalan, masyarakat setempat tidak
mendatangi lokasi tambang, kota perusahaan Tembagapura, lapangan udara di
Timika, serta pelabuhan Amamapare.
Pada tahun 1988, gunung Grasberg yang letaknya bersebelahan dengan
tambang yang ada ternyata ditemukan mengandung cadangan mineral yang sangat
besar. Grasberg mengubah Freeport menjadi salah satu penghasil tembaga dan emas
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 6
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
yang terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia. Kritik
terhadap praktek-praktek lingkungan perusahaan mulai meningkat, khususnya
mengenai dampak limbah tambangterhadap sungai-sungai dan penduduk yang
menghuni daerah disekitar sungai tersebut. Setelah sebuah pemberontakan memaksa
ditutupnya tambang tembaga Bougainville di negara tetangga Papua Niugini, para
pejabat Freeport meningkatkan program-program sosial dan mulai bersikap lebih
terbuka untuk mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lalu
Kekayaan yang diciptakan oleh Freeport menarik perhatian kalangan dekat
Soeharto, dan hubungan antara perusahaan dan resim itu pun mulai lebih
menguntungkan resim. Pada tahun 1990an Freeport menjual saham pada tambangnya
berikut asset lain, dari pembangkit listrik hingga perumahan dan jasa boga, kepada
sekutu bisnis Soeharto. Biasanya pada penjualan semacam itu perusahaan diharuskan
menjamin agar pembeli memperoleh keuntungan besar, bahkan menyediakan jaminan
pinjaman yang digunakan untuk membayar pembelian itu. Hingga saat ini tuduhan
korupsi masih belum terbukti, dan Freeport bersikeras bahwa seluruh transaksi
tersebut dilakukan secara sah. Sudah barang tentu transaksi tersebut sangat mahal
bagi perusahaan induk, yang antara 1991 dan 1997 memberi jaminan untuk pinjaman
sebesar sekitar AS$673 juta kepada kepentingan-kepentingan yang terkait dengan
Soeharto. Pada bulan Maret 2002, Freeport McMoRan Copper & Gold mengeluarkan
jumlah sebesar AS $253.4 juta untuk menutup salah satu pinjaman tersebut setelah
peminjamnya mangkir. Dengan cara itu pengusaha membeli kembali saham dalam
Freeport Indonesia yang pada awalnya dibeli dengan menggunakan pinjaman itu.
Hingga awal 1990an, sikap Jakarta yang lebih banyak mengabaikan kesejahteraan
Papua memaksa Freeport dalam banyak hal menjadi pemerintahan setempat secara de
facto . Menurut perusahaan, sejak 1990 telah dibelanjakannya jumlah sebesar AS$180
juta untuk membiayai program-program sosial seperti pembangunan jalan,
perumahan, sarana kesehatan, pelatihan keterampilan, serta upaya memberantas
malaria.
Di Timika pun dibangun hotel Sheraton untuk melayani Freeport dan
tamutamunya. Pertumbuhan tersebut tidak terencana maupun diimbangi dengan
peningkatan terhadap kemampuan pemerintahan setempat. Penduduk setempat
membanding-bandingkan gaya hidup karyawan perusahaan tersebut yang mewah
dengan kemiskinan dan perasaan telah dipinggirkan yang mereka alami.
Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 membuka Freeport terhadap serangan dari
pihak reformasi Indonesia, aktivis lingkungan hidup dan politisi yang hendak
meninjau kembali ketentuan-ketentuan kontraknya dengan pemerintah. Sebagian
tekanan tersebut berprinsip, namun ada juga yang oportunis. Freeport beruntung
memperoleh dukungan kuat dari pemerintah AS, yang pejabatnya di Jakarta kerap
membela perusahaan tersebut dengan gigih. Freeport McMoRan sudah lama menjalin
hubungan erat dengan lingkungan politik AS, dan anggota dewan komisarisnya
termasuk Henry Kissinger dan J. Stapleton Roy, dutabesar AS di Indonesia dari 1995
hingga 1999. Keinginan untuk melindungi tambang Freeport tetap membentuk
kebijakan AS terhadap Papua.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 7


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Sejak 1996 salah satu pokok permasalahan adalah pembagian dana Freeport
diantara penduduk setempat. Pembayaran uang tersebut disertai dengan peningkatan
ketegangan didalam masyarakat setempat. Benturan antara suku Amungme dan suku
Dani berujung dengan sebelas orang tewas pada paruh pertama 1997, demikian
penuturan LEMASA. Benturan dengan pasukan disekitar Timika pada Agustus 1997
setidaknya menimbulkan lima warga Papua tewas dan beberapa anggota pasukan
terluka. Mekanisme untuk mengelola Dana Satu Persen mengalami kegagalan tidak
lama setelah dibentuk, sebagian karena korupsi dan salah pengelolaan oleh pejabat
setempat. Menurut Beanal maupun pihak lain, warga setempat tidak mampu
mengelola dana dengan bijak, dan akibatnya terjadi peningkatan masalah sosial
seperti mabuk-mabukan. Namun ada juga manfaat positif yang diperoleh dari dana
tersebut, seperti penyediaan pelayanan pengobatan tanpa biaya di Timika.
Menurut Freeport, pihaknya hingga 2001 telah membayarkan sumbangan
sejumlah AS$92 juta kedalam dana tersebut, bersama mitranya pada tambang, yaitu
perusahaan multinasional Rio Tinto. Dana tersebut digunakan untuk berbagai proyek
pengembangan, yang oleh Freeport dipaparkan sebagai bukti dari itikadnya yang
baik. Namun penduduk setempat menganggap Dana Satu Persen tersebut sebagai
ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan tambang, bukan sebagai pemberian, dan
berpandangan proyek-proyek tersebut adalah milik mereka.
Pada tahun 2000 dan 2001 Freeport menandatangani kesepakatan dengan suku
Amungme dan Kamoro yang mencakup serangkaian proyek ekonomi dan sosial.
Freeport setuju membayarkan AS$500.000 setiap tahunnya, berlaku surut sejak 1996,
kedalam sebuah dana perwalian bagi kedua suku tersebut, dimana sebagian dana akan
digunakan untuk membeli saham dalam perusahaan.
Kejujuran dari beberapa pernyataannya pun dipertanyakan oleh pengkritik:
LSM lingkungan hidup Walhi menuduh perusahaan tersebut membuat pernyataan
yang menyesatkan masyarakat mengenai kejadian luapan dari daerah pengendapan
limbah yang menewaskan empat orang pada Mei 2000, serta memenangkan
gugatannya di pengadilan. Bersamaan dengan itu, tuntutan masyarakat setempat
terhadap Freeport seperti tak ada batasnya, dan selain itu beberapa kritikan lebih
layak ditujukan kepada pemerintahan. Ada kemungkinan upaya Freeport untuk
menenangkan warga Papua mengajar masyarakat setempat bahwa cara terbaik
memperoleh konsesi adalah melalui konfrontasi. Akibatnya, baik masyarakat
setempat, LSM maupun aparat militier terdorong untuk mengisyaratkan bahwa
keadaannnya lebih rawan dari sesungguhnya.
Perusahaan memperoleh hak untuk mengadakan ekplorasi diatas lahan seluas sekitar
2,3 juta hektar diluar wilayah operasinya saat ini, yang diharapkan mengandung lebih
banyak mineral, dan wilayah lain di Papua pun sudah diliriknya. Pada akhir 1990an
ada berita selentingan bahwa perusahaan pertambangan lainnya menimbang-nimbang
mengambil alih Freeport, kendati belum ada tanda-tanda yang engarah kepada hal itu.
Kiranya sulit meramal arah perkembangan hubungan ntara Freeport dan masyarakat
setempat.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 8


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
C. FREEPORT, WALHI & PEMERINTAH INDONESIA
”Orang-orang yang dulu mendanai ekspedisi dan ekspansi kolonial, kini
mendanai pembangunan negara-negara dunia ketiga dan proyek-proyek
multinasional, persis sebagaimana orang-orang yang dulu mendanai perkembangan
industri-industri pencemar di seluruh dunia, kini mendanai pembersihan lingkungan”
(Abdurrazaq Lubis dkk, 1998 : 6). Menarik sekali untuk mencermati peran segitiga
Freeport, Walhi dan Pemerintah Indonesia dalam sudut pandang yang segar
sebagaimana ditulis Abdurrazaq di atas. Sehingga nantinya mudah kita menganalisa
bagaimana akar konflik Freeport dan Amungme diwarnai oleh sepak terjang segitiga
ini.
Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 23 Maret 2006 Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) merilis Laporan Penilaian Kinerja Pengelolaan
Lingkungan PT Freeport Indonesia (Freeport) yang menyebutkan bahwa Freeport
telah melanggar sejumlah peraturan lingkungan hidup. Pelanggaran tersebut
diantaranya adalah Freeport tidak memiliki ijin pembuangan air asam tambang.
Kemudian, jumlah padatan tersuspensi (TSS) yang dihasilkan dan dibuang ke estuari
Sungai Ajkwa tidak memenuhi standar parameter TSS yang ditetapkan. Bahkan,
Freeport juga belum mengantongi ijin pembuangan air limbah. Ironisnya KLH hanya
akan mengirimkan surat peringatan agar Freeport memperbaiki sistem pengelolaan
lingkungannya.
Dalam websitenya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
menanggapi ketus rilis dari KLH tersebut. Bahkan di antara pernyataan WALHI
terkesan apatis terhadap hasil kerja KLH, antara lain komentar WALHI :
Pertama, Pengiriman Tim Proper untuk sekedar melihat Kinerja Freeport
sangatlah tidak tepat dan manipulatif. Yang harusnya dikirim oleh pemerintah adalah
tim audit wajib sesuai mandat pasal 28 UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kedua, Rencana KLH yang hanya akan megeluarkan ”surat
peringatan” merupakan salah satu bentuk sanksi administrasi ringan yang diberikan
kepada pelaku pencemaran/perusakan lingkungan pada tingkat dini, melakukan
pencemaran/ perusakan lingkungan karena ketidaktahuan dengan potensi akibat yang
ditimbulkan termasuk ringan. Oleh karena itu, sangat aneh dan tidak masuk akal jika
itu diperuntukkan untuk perusahaan dengan tingkat perusakan sekaliber Freeport.
Ketiga, Pencemaran/perusakan lingkungan di lokasi penambangan Freeport telah
terjadi berulang-ulang dalam waktu sangat lama, mengindikasikan tidak berjalannya
sistem pengawasan lingkungan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
merupakan kewajiban hukum yang dibebankan kepada Menteri LH. Patut diduga
Menteri LH telah melakukan perbuatan melawan hukum (in casu, tidak melaksanakan
kewajiban hukum) setidaknya karena tidak melakukan kewajiban hukumnya dalam
melakukan pengawasan dan monitoring terhadap Freeport.
Laporan dari Walhi tahun 2006 ini menyajikan gambaran baru dan independen
mengenai dampak lingkungan akibat tambang Freeport, sebuah usaha bersama
Freeport McMoRan dan Rio Tinto, yang meski merupakan salah satu tambang
terbesar di dunia, beroperasi di bawah selimut rahasia di daerah terpencil Papua.
Berikut penjabaran hal-hal yang disorot Walhi :
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 9
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Pelanggaran hukum: Temuan kunci pada laporan ini adalah Freeport-Rio Tinto
telah gagal mematuhi permintaan pemerintah untuk memperbaiki praktik pengelolaan
limbah berbahayaterlepas rentang tahun yang panjang di mana sejumlah temuan
menunjukkan perusahaan telah melanggar peraturan lingkungan. Kementerian
Lingkungan Hidup tak kunjung menegakkan hukum karena Freeport-Rio Tinto
memiliki pengaruh politik dan keuangan yang kuat pada pemerintah. Begitu kuatnya
sampai-sampai proposal Freeport-Rio Tinto untuk mengelak dari standard baku mutu
air sepertinya sedang dipertimbangkan.
Tembaga yang dihamburkan dan pencemaran: Kandungan tambang di Grasberg
yang luas menjamin usia tambang yang panjang, sehingga bagi Freeport, yang paling
menguntungkan adalah mengolah bijih dalam jumlah yang sangat besar setiap
harinya, dan membuang 14 persen tembaga yang terkandung dalam bijih, yang pada
akhirnya tertinggal di tailing yang dibuang ke sungai. Dengan alasan yang sama,
sejumlah besar batuan yang mengandung tembaga juga dikeruk dan dibuang tanpa
diolah dulu. Alasannya, perusahaan memilih untuk mendapatkan bijih berkualitas
tinggi secepat mungkin. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat miliar ton
limbah batuan akan dihasilkan dari operasi FREPORT sampai penutupan pada tahun
2040. Secara keseluruhan, Freeport-Rio Tinto menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga
per tahun, yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage,
ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tingkat pencemaran logam berat
semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang bisa dicapai oleh standar praktik
pencegahan pencemaran industri tambang. Padahal, tembaga yang terbuang bisa
menjadi sumber penghasilan yang cukup besar bagi Pemda Papua yang menerima
royalti untuk setiap unit tembaga olahan. Selain itu tembaga terbuang ini
mengakibatkan kerusakan lingkungan serius pada air tanah, sungai, dan muara di
hilir.
Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage): Kandungan tembaga yang ditambang
Freeport-Rio Tinto terdiri dari logam sulfida (metal sulfides), yang ketika digali,
dihancurkan dan terkena udara dan air akan menjadi tidak stabil, sehingga
menghasilkan masalah lingkungan serius yang disebut sebagai Air Asam Batuan
(Acid Rock Drainage/ARD). Hampir semua limbah batuan dari tambang Grasberg
sejak tahun 1980an sampai 2003 yang berjumlah kira-kira 1.300 juta ton berpotensi
membentuk asam. Bukti menunjukkan pencemaran ARD dengan tingkat kandungan
tembaga sekitar 800 mg/L telah meresap ke air tanah di pegunungan.
Pembekapan tanaman: Pengendapan tailing membekap kelompok tanaman subur
dengan menyumbat difusi oksigen ke zona akar tanaman, sehingga tanaman mati. Ini
juga jadi ancaman bagi populasi species terancam setempat yang membutuhkan
keragaman ekosistem hutan alam untuk bertahan hidup. Selain nilai konservasinya,
endapan tailing juga menghancurkan sungai dataran rendah yang tinggi keragaman
hayatinya, hutan hujan, dan lahan basah yang sangat vital bagi suku Kamoro untuk
berburu, mencari ikan dan berkebun.
Logam berat pada tanaman dan satwa liar: Dibandingkan dengan tanah alami
hutan, tailing Freeport mengandung tingkat racun logam selenium (Se), timbal (Pb),
arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn) dan tembaga (Cu) yang secara signifikan lebih
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 10
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
tinggi. Konsentrasi dari beberapa jenis logam tersebut yang ditemukan dalam tailing
melampaui acuan US EPA dan pemerintah Australia dan juga ambang batas ilmiah
phytotoxicity.
Perusakan habitat muara: Muara Ajkwa punya peran lingkungan yang penting bagi
penduduk lokal karena di sana terdapat lingkungan daratan dan perairan yang
memiliki keragaman habitat yang menakjubkan, termasuk hutan bakau setinggi 25-30
meter, hutan rawa dan sagu lahan basah.
Dampak pada Taman Nasional Lorenz: Kawasan Warisan Dunia Lorentz adalah
salah satu permata konservasi lingkungan di Indonesia. Kawasan pinus pada situs
Warisan Dunia ini terkena dampak air tanah yang sudah tercemar buangan limbah
batuan yang mengandung asam dan tembaga dari tailing Freeport-Rio Tinto.
Sementara, kawasan pesisir situs Pengukuran menunjukkan bahwa jejak tembaga
larut dari tailing Freeport telah mencapai 5 sampai 10 kilometer lepas pantai. Tailing
terbawa ke laut akibat arus pasang monsoon sepanjang pesisir. Ke depan, tailing
mungkin akan membentuk sampai 20 persen sedimentasi di wilayah hutan bakau
Taman Nasional Lorentz. ERA menemukan bahwa bakau dan organisme yang hidup
di dasar di Lorenz memiliki kenaikan kandungan tembaga, dan tailing diduga menjadi
sumbernya, mengingat daerah hulu dalam taman tidak mengalami dampak.
Transparansi: Freeport-Rio Tinto beroperasi tanpa tranparansi atau pemantauan
peraturan yang layak. Tak ada informasi atau diskusi publik tentang pengelolaan saat
ini dan masa depan di tambang. Juga tak ada pembahasan mengenai alternatif
pengelolaan limbah dan rencana proses penutupan tambang. Terlepas dari keharusan
legal untuk menyediakan akses publik terhadap informasi terkait lingkungan,
perusahaan belum pernah mengumumkan dokumen-dokumen pentingnya, termasuk
ERA. Freeport-Rio Tinto juga tak pernah mengumumkan laporan audit eksternal
independen sejak 1999. Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan ijin
lingkungan. ERA yang dihasilkan meremehkan risiko lingkungan yang penting, gagal
memberi pilihan untuk mengurangi dampak pembuangan limbah, serta independensi
dari para pengkaji ERA pun patut dipertanyakan.

D. KONFLIK ANTARA FREEPORT DAN SUKU AMUNGME


Dalam Amiruddin (2003) dikutip pernyataan Tom Beanal ketua LEMASA
(Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme) pada tahun 1995 : ”Ah, kalau mau
bunuh kami di lapangan terbuka, dan bunuh habis supaya kami jangan hidup dalam
situasi masih hidup, tetapi hanya bdang dan kulit yang bergerak, jiwa kami
sebenarnya sudah mati”. Pernyataan ini sebagai puncak kekesalan warga Amungme
terhadap kenyataan ingkarnya janji Freeport untuk mensejahterakan rakyat
Amungme, sementara itu tentara dengan keras membungkam aksi-aksi protes Suku
Amungme.
Sebagaimana dikutip dari hasil Lokakarya Elsham Papua Barat (2004) bahwa
sudah menjadi pemahaman umum bahwa diadakannya kegiatan pertambangan oleh
Freeport membawa serta cukup banyak akibat yang sangat merugikan masyarakat
lokal: dapat berupa pencemaran lingkungan, memindahkan penduduk, peniadaan
peluang ekonomi bagi penduduk setempat, tindakan pengamanan yang tidak dapat
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 11
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
dipertanggungjawabkan, kehadiran aparat keamanan di luar proporsi dengan segala
akibatnya, merusak kebudayaan setempat, mengabaikan hak ulayat, membatasi
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang penting/berdampak besar.
Setelah Freeport berdiri jumlah penduduk Timika berkembang menjadi
100.000 jiwa di mana sebagain besarnya adalah para pendatang, karyawan dan buruh
tambang Freeport. Membanjirnya pendatang ke wilayah Timika sebagai habitat suku
Amungme secara tidak langsung menyudutkan suku Amungme karena tidak siap
menerima perubahan yang mendadak. Perubahan pola kehidupan yang sangat drastis
tak pelak mengakibatkan gegar budaya pada suku Amungme di tanah kelahirannya
sendiri.
Kedatangan para pendatang juga menyempitkan perekonomian warga
Amungme akibat semakin luasnya tanah yang berpindah tangan dari warga
Amungme kepada para pendatang untuk perumahan dan fasilitas lainnya. Sesingkat
itu pulalah Amungme terkepung dalam kehidupan model metropilitan yang secara
diametral berseberangan dengan gaya hidup tradisonal yang selama ini dikenal.
Kritik suku Amungme terhadap Freeport dan pemerintah semakin keras ketika
perbaika terhadap kehidupan mereka tak juga kunjung menjelma. Berbagai kritik
suku Amungme terhadap Freeport tersebut jika diturut ke belakang, muncul
bersamaan dengan mulai beroperasinya Freeport di atas tanah adat mereka. Yakni
penyerobotan tanah adat yang disahkan pemerintahan Soeharto menyakitkan mereka.
Oleh karena itu suku Amungme menyatakan bahwa Freeport telah melanggar aturan
kami, yang artinya Freport sama dengan pencuri yang masuk ke pekarangan orang
lain tanpa restu pemiliknya. Kehadiran Freeport telah mneginjak-injak harga diri dan
martabat suku Amungme. Dengan kata lain Freeport sama sekali tidak menghargai
mereka sebagai masyarakat yang memiliki tata nilai dan sosial untuk mengatur dan
menata sistem sosial, hak milik dan harga diri mereka (Amiruddin dkk, 2003 : 71)
Sejak kehadiran Freeport telah banyak terjadi konflik antara masyarakat
dengan perusahaan pertambangan raksasa tersebut. Aksi protes mulai sejak tahun
1967, yang pada tahun itu Freeport mendirikan base camp di Lembah Waa dalam
rangka ekspedisi di sekitar Gunung Nemangkawi (Ertsberg), karena base camp
tersebut merusak ladang penduduk setempat.

Lubang Ertsberg yang telah ditambang berisi ARD yang mengandung tembaga, terlihat
lebih kecil dibandingkan tambang Grasberg di atasnya. (Walhi, 2006)

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 12


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Sebagaimana nampak pada gambar halaman sebelumnya, gunung tersebut
kini telah menjadi kubangan raksasa dan tidak layak lagi disebut gunung, melainkan
hanya bongkahan-bongkahan batu rakasas dengan comberan hijau di tengahnya. Kini
bisakah dibayangkan kemarahan level berapa yang hendak disemburkan suku
Amungme?
Pernyataan kemarahan itu kemudian menjelma menjadi : Pernyataan Tujuh
Kepala Suku Pegunungan Tengah Papua Pemilik Hak Ulayat, sebagaimana dilansir
http://www.melanesianews.org/spm/publish/printer_1827.shtml pada tanggal 8 Maret
2006 (akses pada tanggal 20 Oktober 2007), menyatakan dan menyerukan kepada
pimpinan PT Freeport, Negara Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat serta
Belanda bahwa:
(1). Kami pemilik hak ulayat berkomitmen bahwa kami yang masih hidup
tetap memblokir PT. Freeport selama berhari-hari sampai Tom Beanal, James Moffet
dan para pemegang SAHAM bersama Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat
mengadakan dialog bersama dengan tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat untuk
mencabut MoU tentang PT Freeport dan memberhentikan pengeksploitasian
Tambang Emas dan Tembaga.
(2). Mendesak kepada MRP dan DPRP segera mengadakan Sidang Paripurna
demi menetapkan Dialog Nasional dan Internasional; selanjutnya MRP dan DPRP
mendesak Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat segera melakukan
Dialog Nasional dan Internasional untuk menyelesaikan masalah Papua secara
menyeluruh, utuh dan tuntas.
(3). Kami tujuh suku menyeruhkan kepada suku-suku lain di Papua bahwa
segera menyatukan barisan perlawanan dalam mendukung penutupan Freeport yang
didorong oleh tujuh suku pemiilik hak ulayat dan mendesak lembaga-lembaga terkait
(DPRP dan MRP) mendorong Dialog Nasional dan Internasional untuk
membicarakan berbagai masalah di Papua secara konprehensif
(4). Sebelum pihak PT. Freeport (James Moffet), pemilik Saham, Indonesia
dan Amerika Serikat tidak membuka dialog dengan tujuh suku pemilik hak ulayat dan
membuka Dialog nasional dan Internasional dengan orang Papua, maka kami tujuh
suku bersama dengan suku-suku asli lain di Papua berkomitment bahwa kami akan
mempertaruhkan nyawa kami untuk memblokir PT Freeport Indonesia sampai pihak-
pihak yang melacurkan diri (Indonesia, Amerika, Belanda dan PBB) datang dan
duduk bersama dengan Massa rakyat Papua dalam penyelesaian masalah Papua
secara menyeluruh, utuh dan tuntas berdasarkan prinsip demokrasi, hukum, keadilan,
kebenaran dan bermartabat.
(5). Apabila Tuntutan kami tidak ditanggapi, maka kami akan memboikot
Pilkadasung Gubernur/Wakil Gubernur Papua Periode 2006-2011 tanggal 10 Maret
2006 melalui Mogok Sipil Nasional Papua. Pilkadasung tidak ada artinya kalau
Rakyat Papua terus dibantai diatas tanah leluhurnya sendiri.
Demikianlah kondisi genting di tanah Amungsa tidak pernah surut hingga
Freeport ketika dulu mulai beroperasi tahun 1972, dan suku Amungme meninggalkan
tanah leluhur mereka di gunung-gunung yang kemudian dikuasai Freeport, menuju
Agimugah. Kemudian pada tahun 1980 seluruh wilayah kesatuan suku Amungme
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 13
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
dimasukkan dalam wilayah Taman Nasional Lorents. Dengan begitu suku Amungme
kini hidup di atas tanah milik orang lain.
Untuk memuluskan ekspansi pertambangan, Freeport meminta bantuan
pemerintah pusat untuk mengendalikan perlawanan suku Amungme. Untuk itu rezim
Orba mempercayakan para kepala suku untuk menjadi orang kepercayaan
pemerintah, sehingga kepala suku selalu dilibatkan dalam program-program
pemerintah yang berkaitan dengan keberadaan orang Amungme. Hal ini membuat
warga Amungme tidak lagi mempercayai kepala suku yang diangkat pemerintah.
Mereka menganggap kepala suku hanya sebagai calo tanah karena setiap pelepasan
tanah mereka terlibat dimana anggota tidak dilibatkan.
Selain masalah pengangkatan kepala suku, dibangunnya kota-kota baru oleh
Freeport ternyata telah merusak kultur setempat. Kota-kota tersebut untuk
memfasilitasi pekerja-pekerja tambang. Di situ terjadi benturan budaya, dimana yang
satu bergaya Amerika dengan McDonald dan Coca-Colanya, sementara suku yag aka
dilenyapkan hidup dengan taraf hidup miskin. Paling banter Freeport memberi
mereka minuman keras, sehingga jadilah orang-orang itu pecandu minuman keras.
Sementara itu dengan alasan January Agreement, suku Amungme dilarang
memasuki wilayah Tembagapura dan sekitar Timika. Sehingga warga Amungme
melakukan protes. TNI pun turun menetralisir keadaan, akbitanya 30 orang
Amungme tewas dalam kejadian penyisiran di desa Akimuga. Balasan oleh suku
Amungme dilakukan dengan merusak fasilitas pipa Freeport mengakibatkan kerugian
11 juta dollar Amerika. Kejadian ini terjadi pada Agustus 1997, diakhiri dengan
rekonsiliasi dimana Freeport menawarkan pemukiman kembali terhadapa 350 oarng
Amungme. Semua dana untuk operasi-operasi TNI, pembangunan jalan Trans-Papua
menurut sebuah sumber digelontorkan oleh pemerintah Ronald Reagan. Sehingga
sinyelemen Abdurrazaq Lubis di atas – bahwa perusahaan multinasional senantiasa
mampu memperoleh keinginan mereka dari pemerintah - menjadi relevan.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 14


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
BAB III
PEMBAHASAN

A. PENDEKATAN PENYELESAIAN KONFLIK


Ketika sengketa atau konflik muncul berkaitan dengan perbedaan kepentingan
berkenaan dengan alokasi sumberdaya alam maka ada beberapa cara yang bisa
ditempuh (Bruce Mitchell dkk, 2003), antara lain: Politis, Adminstrasi, Hukum dan
Alternatif Penyelesaian Masalah (APK). Pendekatan penyelsaian masalah di atas bisa
saja saling melengkapi dan tidak mesti berdiri sendiri.
Teknik-teknik penyelesaian masalah, atrau alternatif penyelesaian konflik atau
APK atau ADR dalam bahsa Inggris (Alternative Dispute Resolution) bertujuan untuk
memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang
bersengketa, sehingga sedapat mungkin dihindari penyelesaian masalah melalui meja
hukum. APK muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap penyelesaian
masalah melalui jalur hukum, karena disamping memakan waktu dan biaya yang
tidak sedikit juga mnghasilkan pihak pemenang dan pihak yang dikalahakan.
Keadaan ini menimbulkan rasa tidak puas berkepanjangan pada pihak yang kalah
sehingga pada masa mendatang akan lebih sukar diajak bekerjasama.
APK memilik karakteristik : 1. menekankan pada kesamaan kepentingan
kelompok yang saling bersengketa, 2. berpikir kreatif untuk mencari upaya
penyelesaian, 3. mencari jalan tengah untuk menemukan tujuan bersama, 4. menuntut
kesepakatan banyak pihak pada suatu keputusan.
Ada beberapa pilihan jenis alternatif penyelsaian konflik :
Konsultasi Publik : Ide dasarnya adalah saling membagi informasi, konsep
keterbukaan dimana semua diyakinkan bahwa penyelesaian masalah dilakukan
dengan mengingat kepuasan masing-masing pihak. Sehingga isu-isu yang
dipertentangkan dapat diselesaikan sebelumnya sehingga konflik dapat dihindari.
Negosiasi : Suatu teknik APK yang melibatkan situasi dimana dua atau lebih
kelompok bertemu secara sukarela dalam usaha mencari isu-isu yang menyebabkan
konflik di antara mereka. Tujuannya adalah untuk meraih kesepaktan yang saling bisa
diterima semua pihak secara konsensus. Dalam negosiasi tidak ada pihak luar yang
membrika bantuan, semua berasal dari inistiatif para pihak yang bersengketa.
Mediasi : Adalah negosiasi ditambah bantuan pihak luar untuk membantu
mempertemukan para pihak yang bersengketa. Dalam situasi ini mungkin mediator
akan membantu pihak yang bersengketa untuk mengidentifikasi butir-butir yang
menjadi masalah dan kemudian bertindak sebagai pihak yang memfasilitasi dialog
antar kelompok.
Arbitrasi : Adalah mediasi dengan mediator memiliki kekuatan untuk memutuskan
perkara tersebut dan mengikat para pihak. Biasanya pihak yang bersengketa terlibat
secara langsung dalam proses pemilihan arbitrator, dan ini yang membedakan proses
arbitrasi dengan proses hukum melalui pengadilan.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 15


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
B. PERAN PIHAK KETIGA / LSM
Tidak bisa dipungkiri perlunya peranan pihak ketiga dalam menangani konflik
berkepanjangan antara suku Amungme dengan Freeport. Sebagaimana diuraiakan di
atas dapat diperjelas di sini pihak ketiga yang mampu dan memiliki kompetensi untuk
mewakili terutama suku Amungme (mengingat Freeport tentu sudah memiliki tim
juru runding hukum yang handal), yakni Walhi untuk isu lingkungan dan Lemasa
untuk isu sosial-budaya-ekonomi, dll.
Seandainya pilihan APK diterapkan tentu suku Amungme membutuhkan
pendamping dalm proses entah itu mediasi, negosiasi maupun arbitrasi. Pihak ketiga
tersebut bisa saja mewakili langsung suku Amungme atau sekedar mendampingi saja
untuk memberi pandangan-pandangan supaya tidak merugikan pihak Amungme.
(Khusus Walhi, karena kompetensinya serta karakternya, maka tanpa diminta oleh
pihak manapun sudah melakukan riset-riset untuk digunakan dalam rilis-rilis mereka
terutama yang berkenaan dengan isu lingkungan.)
Bruce Mitchell (2003 : 376) juga menguraikan pentingnya pihak ketiga ini,
istilah yang digunakan Bruce disebut sebagai kelompok terwakili. Yakni jika
kesepakatan bersama berjangka panjang akan dibuat maka penting sekali memastikan
semua pihak terwakili. Pemerintah, perusahaan besar dan yang sejenisnya tentu sudah
memiliki sumberdaya manusia yang bertugas khusus dalam perundingan-
perundingan. Akan tetapi kelompok kecil dalam masyarakat, seperti warga suku
Amungme, mungkin akan kesulitan untuk terus menerus mengirim wakilnya dalam
proses APK.

C. PERAN PEMERINTAH LOKAL : REGULATOR & MEDIATOR


Sejalan dengan amanat UU No.21/2001, Pemprov dan Pemkab/Pemkot
memilik tanggung jawab mediasi terhadap konflik yang terjadi di wilayanya. Aspek-
aspek yang mesti dijaga adalah penghormatan terhadap hak yang telah dimiliki secara
sah oleh pihak luar Papua. Sehingga patut pula dijaga kestabilan keamanan
mengingat seringkali penghormatan terhadap hasil kesepakatan dicederai oleh aksi
anarkis hasil provokasi pihak-pihak yang kurang bertanggung-jawab.
Sasaran yang ingin dituju adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam
yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring meningkatnya kualitas
lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan. Sesuai dengan Agenda
21 Bab Pengelolaan Sumberdaya Tanah, Pemerintah Kota Mimika Timika
menyampaikan bahwa pembangunan kota di bidang sumberdaya alam dan
lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan
sumberdaya alam untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi serat penataan ruang. Selain itu juga pemberdayaan masyarakat
lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup
melalui pendekatan keagamaan, adat dan budaya. Serta pengembangan pola
kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat. (Syamsuddin Munawir, 2005).
Program lainnya antara lain : Pengembangan dan Peningkatan Akses
Informasi SDA dan LH yang dikerjakan oleh Pemkot Timika bertujuan untuk
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 16
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
memperoleh dan menyebarluaskan informasi yanglengkap mengenai potensi dan
produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan
evaluasi dan penguatan sistem informasi. Sasarannya adalah tersedia dan terbukanya
akses terhdapa informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup berupa infrastruktur
data spasial, dll.

D. KESEPAKATAN-KESEPAKATAN YANG PERNAH DIBUAT


Sejak awal konflik sebenarnya telah banyak dibuat kesepakatan-kesepakatan
yang dimediatori Pemerintah,baik pusat maupun daerah. Program-program
rekonsialiasi pun sudah dibuat dan disepakati antara lain :
Program Rekognisi Hak Ulayat Sesuai UUD 1945, secara hukum seluruh
tanah yang tidak digarap adalah milik negara, begitu pula seluruh mineral yang
terkandung di dalamnya. Perjanjian Januari (January Agreement) tahun 1974 antara
Freeport dengan masyarakat Amungme merupakan rekognisi terhadap hak ulayat
untuk yang pertama kalinya di Indonesia, yakni hak masyarakat adat atas tanah yang
digunakan untuk berburu dan meramu.
Lahirnya Perjanjian Januari (JA) merupakan peristiwa bersejarah yang sangat
penting bagi suku Amungme. Perjanjian ini secara formal merupakan perjanjian
antara pihak Freeport dan masyarakat suku Amungme di bawah pengawasan
pemerintah Soeharto. Dalam JA disepakati suku Amungme dan Freeport akan
bekerjasama. Bentuknya, suku Amungme harus merelaka tanahnya menjadi lahan
pertambangan Freeport. Dan sebagai balasan Freeport akan memberika fasilitas sosial
untuk kepentingan masyarakat suku Amungme (Amiruddin, 2003 : 75)
Menyusul perjanjian tersebut, pemerintah secara resmi mengakui hak
kompensasi untuk hak ulayat. Kompensasi yang dinamakan rekognisi tersebut
dibayarkan kepada masyarakat atas pelepasan hak tersebut karena hak ulayat
merupakan hak masyarakat bersama. Freeport telah membayar rekognisi atas hak
ulayat beberapa kali dari waktu ke waktu, melalui program-program yang telah
disepakati bersama antara masyarakat Papua setempat dan pemerintah.
Ada dua program rekognisi jangka panjang yang tengah berlangsung di
daerah dataran tinggi dan dataran rendah pada wilayah kerja kami. Kedua program
rekognisi tersebut menghasilkan proyek pembangunan prasarana dan pengembangan
sosial ekonomi bernilai jutaan dolar AS, termasuk perumahan, gedung sekolah dan
asrama mahasiswa, klinik pengobatan, sarana ibadah, gedung fasilitas umum, gedung
perkantoran, jalan, jembatan, tangki air, tenaga listrik, kapal motor untuk angkutan
dan penangkapan ikan, sarana olahraga dan pembuatan studi kelayakan terhadap
peluang usaha. Kedua program rekognisi tersebut adalah sebagai berikut:
Program Rekognisi Desa Kamoro, yang merupakan kompensasi atas
pelepasan tanah dari lima desa Kamoro di daerah dataran rendah kepada pemerintah,
termasuk tanah yang digunakan untuk daerah pengendapan tailing, sarana dermaga
peti kemas, pelabuhan laut serta jalur transmisi listrik. Pada awalnya program tersebut
berpusat pada pembangunan fisik prasarana, akan tetapi kini yang menjadi sasaran
adalah kebutuhan saat ini seperti pengembangan ekonomi dan menciptakan lapangan
kerja, penyuluhan kesehatan dan jangkauan sarana kesehatan, penyuluhan gizi,
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 17
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
pendidikan lanjut untuk siswa pasca sekolah menengah, pengembangan lembaga-
lembaga desa dan sosial, serta pelestarian budaya Kamoro. Termasuk didalamnya
adalah program-program untuk mengembangkan kebun sagu dan membina
pengembangan usaha industri perikanan. Kegiatan pada tahun 2005 termasuk
pembangunan sumur dan pemasangan mesin pompa air; kontrak pengadaan listrik
untuk tiga desa; meninggikan jalan dan membangun jembatan permanen di satu desa;
pembagian paket bantuan penangkapan ikan kepada 400 keluarga, termasuk motor
tempel dan BBM, jala dan cool-box; serta penyediaan pelatihan gizi dan kursus
menjahit bagi para wanita di kelima desa.
Program Pembangunan Tiga Desa, yaitu program serupa bagi tiga desa
Amungme yang terletak di daerah dataran tinggi. Program ini merupakan tambahan
atas rekognisi bagi masyarakat Amungme yang tinggalnya paling dekat dengan lokasi
tambang, yang pernah dibayarkan kompensasi sesuai perjanjian tahun 1974
sehubungan dengan perluasan lingkup kegiatan kami serta lanjutnya keberhasilan
kegiatan kami. Titik berat dari program tersebut selama tahun 2005 adalah prasarana
yang mencakup pembangunan jembatan, jalan, tanggul penahan, perumahan, layanan
air bersih dan saluran air kotor, serta pembangkit listrik tenaga air. Selama tahun 2005
telah dibangun 116 unit rumah, 9 jembatan, dan sebuah gereja. Selain itu pekerjaan
dilanjutkan terhadap pembangunan dua landasan pesawat terbang. Perkembangan
penting yang terjadi pada tahun 2005 adalah ditandatanganinya Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara masyarakat tiga desa tersebut dengan PTFI,
yang memuat garis besar lingkup kerja program rekognisi hingga tahun 2010.
Selain itu, pada tahun 2001 telah dibentuk dana perwalian hak ulayat untuk
masyarakat suku Amungme dan Kamoro guna memberi rekognisi sukarela bagi
pemegang hak ulayat di daerah tambang dan atas perluasan lingkup operasi dan
berlanjutnya keberhasilan kegiatan pertambangan. Freeport telah menyumbang 7,5
juta dolar AS untuk dana-dana tersebut sampai dengan tahun 2005, dan sesuai
perjanjian hak ulayat yang berlaku, akan tetap memberi sumbangan sebesar 1 juta
dolar AS setiap tahunnya. Sebagian dari dana tersebut telah digunakan untuk membeli
saham Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., yang memungkinkan masyarakat
Amungme dan Kamoro untuk menjadi peserta ekuitas pada tambang. Per 31
Desember 2005, dana-dana tersebut menyimpan jumlah gabungan sebesar hampir
43.000 lembar saham Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., yang nilainya lebih
dari 2,3 juta dolar AS berdasarkan harga saham pada tanggal tersebut.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 18


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Undang-undang otonomi khusus memberi sepercik harapan bahwa penduduk
Papua lambat laun dapat menikmati lebih banyak manfaat dari ekstraksi sumberdaya,
kendati seperti yang telah dicatat, rintangan yang dihadapi cukup besar dan
perubahan yang pesat kemungkinannya kecil. Dari segi pandang orang Papua, hal-hal
yang menguntungkan dari investasi sumberdaya adalah manfaat dalam bentuk uang,
pekerjaan, dan prasarana infrastruktur. Sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah
bahwa setiap proyek sumberdaya, dibawah pengelolaan yang bijak sekalipun,
terancam menjadi bagian dari konflik, apakah itu secara langsung dengan kehadiran
pasukan tentara atau polisi, atau secara tidak langsung karena nilai proyeknya bisa
mempertajam perseteruan, atau menariknya kedalam bagian baru provinsi. Risiko ini
sulit dihitung dan bakal berbeda sesuai sifat dan lokasi dari proyek.
Di Papua ekstraksi sumberdaya mempunyai citra buruk karena perusahaan-
perusahaan kerap bekerjasama dengan pemerintah dan aparat keamanan untuk
menjaga keuntungannya, sementara hak adat penduduk Papua tidak diperhatikan, dan
bahkan operasinya dilakukan dalam konteks pelanggaran HAM yang berat.
Akibatnya, konflik di daerah yang terkena semakin menjadi. Perusahaan-perusahaan
kini didesak untuk memperlakukan masyarakat setempat dengan lebih adil, kendati
beberapa darinya masih menggantungkan cara lama yang menggunakan pemaksaan
dan penyuapan, dan saat ini terlalu dini untuk menilai apakah kaitan kurang sehat
antara ekstraksi sumberdaya dan penekanan oleh militer telah putus.
Perusahaan-perusahaan hendaknya bersiap melakukan negosiasi terus-
menerus, dengan kriteria yang berubah-ubah, bersama masyarakat setempat, pejabat
negara dan pihak lain yang berkepentingan. Pada proyek-proyek dimana pendatang
mudah bermukim, susunan masyarakat setempat dapat berubah dramatis sejalan
dengan waktu, sehingga menimbulkan permasalahan baru. Ketegangan antara
perusahaan sumberdaya dan masyarakat setempat terjadi di banyak bagian Indonesia,
namun tidak selalu berujung dengan konflik. Keadaan di Papua lebih parah
dibanding daerah lain, kecuali Aceh, karena dimata sejumlah besar penduduk
pribumi, enguasaan Indonesia tidak sah dan agaknya lebih menganda lkan kekerasan
ketimbang kesepakatan.
Menyelesaikan konflik tanah adat membutuhkan mediasi dan metode
negosiasi dikarenakan kompleksnya masalah yang berkembang serta menyesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan akan masalah-masalah yang dihadapi. Kondisi yang
unik ini memerlukan perluasan dan lebih dari sekedar konsep mediasi dan negosiasi.
Sehingga praktisi APK mesti mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sampai
dipandang cukup. Diharapkan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
dapat menghasilkan penyelesaian masalah dan meningkatkan kepekaan sosial.
Kepekaan terhadap perbedaan budaya dan fleksiblitas pemecahan konflik akan
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi penyelesaian konflik tanah adat.
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 19
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Konsep dasar APK adalah bagaimana saling kesepahaman antara pihak yang
berkonflik menuju saling percaya yang kemudian menghasilkan keputusan yang adil
bagi masing-masing pihak. Untuk menjaga kenetralan dan kompetensi maka dewan
mediasi mesti terdiri dari para ahli di bidangnya dan aparat pemerintah lokal
sebagaimana amanat UU 21/2001. Untuk menjaga efektifitas perlu juga ditetapka
sanksi bagi pelanggar kesepakatan dan hal ini mesti diatur dengan jelas siapa berhak
menjadi pengadil.

B. SARAN-SARAN
1. Transparansi : mengingat era keterbukaan dewasa ini maka tidak lagi wajar
menyembunyikan informasi yang semestinya diketahui publik, oleh karena itu
baik Pemerintah Indonesia maupun Freeport mesti terbuka terutama berkaitan
dengan keuntungan dan besar royalti yang dibayarkan.
2. Pendekatan Kultur : perlu diupayakan merangkul lebih bersahabat terutama
terhadap tokoh-tokoh adat, disertai persuasi untuk lebih menghormati kesepakatan
yang dibuat dan sembari mencari akar masalah penyebab mengapa kesepakatan
sering diprotes kemudian hari oleh warga, oleh karena itu pendekatan budaya
perlu dilakukan terutama dengan bantuan warga lokal dan langkah ini adalah
langkah jangka panjang jadi tidak bisa diharapkan hasilnya dala waktu dekat.

DAFTAR PUSTAKA :

Abdurrazaq Lubis dkk, 1998, Jerat Utang IMF : Sebuah Pelajaran Berharga Bagi
Pemimpin Bangsa – Khususnya Indonesia, Mizan, Bandung. (Edisi
terjemahan : Discredit Interset-Debt! The Instrument of World Enslavement.
PAID Network, Penang, Malaysia).
Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares, 2003, Perjuangan Amungme, Elsam, Jakarta
ANONIM, 2001, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.
Bruce Mitchell, B Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi, 2003, Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Daryono, 2004, The alternative dispute resolution (ADR) and customary (adat) land
dispute in Indonesia, a paper presented on : 15th Biennial Conference of the
Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004.
Elsham Papua Barat bersama Sinode GKI, 2004, Lokakarya Genoside di Papua,
Abepura : 13 Maret 2004.
International Crisis Group (ICG), 2002, Asia Report N°39, Jakarta-Brussels :13
September 2002.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 1997, Ringkasan
Agenda 21 Indonesia.
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 20
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Otto Soemarwoto, 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan,
Jakarta.
Syamsuddin Munawir, 2005, Optimalisasi Peran Serta Masyarakat Dalam
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Di Kota Timika Kabupaten Mimika
Papua, Lapran Penelitian, Prodi Ilmu Hukum Program Pascasarjana UGM,
Jogjakarta
WALHI, 2006, Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan
Emas Freeport-Rio Tinto di Papua, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI), Jakarta. (www.walhi.or.id); akses pada tanggal 20 Oktober 2007.
Website PT Freeport Indonesia : www.ptfi.co.id ; akses pada tanggal 20 Oktober
2007.
Website Komunitas Papua : www.melanesianews.org ; akses pada tanggal 20 Oktober
2007.

PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 21


Model Penyelesaian dengan Teknik ADR

Anda mungkin juga menyukai