Oleh :
Fahmi Charish MDW
NIM. 20657/PS/TG/06
YOGYAKARTA 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup dikaruniakan oleh Allah SWT untuk manusia dan
merupakan rahmat serta perwujudan kasih dan sayang Nya kepada umat manusia.
Oleh Allah SWT, lingkungan hidup yang berada di bumi diciptakan sedemikian rupa
dalam keadaan seimbang (QS. Al-Mulk), sehingga manusiapun ditantang untuk dapat
menemukan di pojok manakah terdapat penciptaan yang timpang – yang mana
tantangan ini tidak satupun sampai saat ini yang sanggup menjawabnya, justru
penemuan-penemuan baru dengan iptek yang canggih semakin menguatkan konsep
”Keseimbangan” dari Sang Pencipta ini.
Dalam ilmu lingkungan konsep keseimbangan ini menjadi sangat penting
mengingat : Satu, manusia memang berhajat atas alam raya ini, manusia memiliki
kebutuhan untuk memanfaatkan alam ini dan yang lebih penting dunia memang
diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Kedua, fakta bahwa sumber daya alam
bisa habis atau rusak menyebabkan ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan
manusia itu sendiri. Sehingga dewasa ini semakin diyakini pentingnya melestarikan
alam, yang pada prinsipnya justru mendukung kehidupan manusia itu sendiri dalam
jangka panjang.
Namun sayangnya fakta bahwa sumber daya alam bisa habis, yang sebetulnya
sudah diketahui manusia, kurang dipahami dalam artian tidak ada tindak lanjut
pengetahuan tersebut menuju langkah nyata. Lingkungan hidup di Indonesia berada
di ambang kehancuran akibat ekksploitasi berlebihan selama ini. Berlakunya otonomi
daerah semakin memperparah kondisi lingkungan mengingat hampir semua daerah
terbius oleh mimpi peningkatan kesejahteraan dengan angka-angka khayali bernama
peningkatan PAD (pendapatan asli daerah). Pada kenyataannya siapa penikmat PAD
menjadi makin absurd manakala daerah yang ber PAD tinggi konon sebagian besar
rakyatnya masih banyak yang melarat. Isu lingkungan menjadi isu kesejahteraan.
Fakta Kedua di atas terbukti bukan?
Dalam ringkasan Agenda 21 Indonesia Bab 12 mengenai Perencanaan
Sumberdaya Tanah dipaparkan adanya kondisi faktual berupa : konversi lahan
pertanian ke non-pertanian, pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat, pertumbuhan
penduduk Indonesia 5,4% per tahun. Kondisi tersebut memberikan dampak sosial
ekonomi sebagai berikut antara lain : kompensasi penggusuran tanah yang tidak
memuaskan, tejadinya benturan antara kepentingan sutu proyek yang membutuhkan
tanah yang luas dimana hak masyarakat tradisional atau adat sering dikorbankan, dan
belum efektifnya penerapan instrumen ekonomi dalam pengaturan penggunaan tanah.
Paparan ini menjadi pijakan untuk menelaah kasus konflik Freeport dan suku
Amungme.
Paper ini memfokuskan kasus lingkungan yang terjadi di Kabupaten Mimika
Papua dengan berdirinya PT. Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport saja)).
Uraian paper ini membawa aspek historis sebagai latar belakang tindakan pihak yang
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 2
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
terlibat, isu lingkungan dalam bingkai kesenjangan sosial, dan bagaimana isu
kesadaran lingkungan dalam aroma imperialisme modern yang kental. Kemudian
berdasar pada ringkasan Agenda 21 Indonesia, pada Bab 12 Perencanaan Sumberdaya
Tanah, akan diuraikan bagaimana kehadiran Freeport mampu merubah kehidupan
sosial warga sekitar (Suku Amungme) dan perubahan status hak atas tanah adat
Amungme yang kemudian menjadi faktor penyebab konflik suku Amungme dengan
Freeport, yang pada saat yang sama pemerintah kebingungan di tengah-tengah dalam
mengambil jalan keluar. Kebingungan pemerintah sangat wajar mengingat tekanan
maha berat yang dialami. Sebagaimana ditulis Abdurrazaq dkk (1998 : 15) : Kasus-
kasus HAM akan diakui manakala memberikan pembenaran bagi para moneteris
untuk membantu sebuah ’ekonomi tertutup’. Bahkan kasus-kasus lingkungan telah
diserapkan ke dalam arus utama informasi dunia sehinga memberi perusahaan-
perusahaan multinasional suatu citra yang lebih bersih dibandingkan dengan industri
lokal. Setiap kali organisasi sosial atau politik akan dibiarkan berjalan, dikooptasi
atau bahkan didanai sepanjang tidak mempersoalkan cara-cara kekayaan diciptakan,
dicipta-ulang atau dipergunakan.
Lubang Ertsberg yang telah ditambang berisi ARD yang mengandung tembaga, terlihat
lebih kecil dibandingkan tambang Grasberg di atasnya. (Walhi, 2006)
A. KESIMPULAN
Undang-undang otonomi khusus memberi sepercik harapan bahwa penduduk
Papua lambat laun dapat menikmati lebih banyak manfaat dari ekstraksi sumberdaya,
kendati seperti yang telah dicatat, rintangan yang dihadapi cukup besar dan
perubahan yang pesat kemungkinannya kecil. Dari segi pandang orang Papua, hal-hal
yang menguntungkan dari investasi sumberdaya adalah manfaat dalam bentuk uang,
pekerjaan, dan prasarana infrastruktur. Sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah
bahwa setiap proyek sumberdaya, dibawah pengelolaan yang bijak sekalipun,
terancam menjadi bagian dari konflik, apakah itu secara langsung dengan kehadiran
pasukan tentara atau polisi, atau secara tidak langsung karena nilai proyeknya bisa
mempertajam perseteruan, atau menariknya kedalam bagian baru provinsi. Risiko ini
sulit dihitung dan bakal berbeda sesuai sifat dan lokasi dari proyek.
Di Papua ekstraksi sumberdaya mempunyai citra buruk karena perusahaan-
perusahaan kerap bekerjasama dengan pemerintah dan aparat keamanan untuk
menjaga keuntungannya, sementara hak adat penduduk Papua tidak diperhatikan, dan
bahkan operasinya dilakukan dalam konteks pelanggaran HAM yang berat.
Akibatnya, konflik di daerah yang terkena semakin menjadi. Perusahaan-perusahaan
kini didesak untuk memperlakukan masyarakat setempat dengan lebih adil, kendati
beberapa darinya masih menggantungkan cara lama yang menggunakan pemaksaan
dan penyuapan, dan saat ini terlalu dini untuk menilai apakah kaitan kurang sehat
antara ekstraksi sumberdaya dan penekanan oleh militer telah putus.
Perusahaan-perusahaan hendaknya bersiap melakukan negosiasi terus-
menerus, dengan kriteria yang berubah-ubah, bersama masyarakat setempat, pejabat
negara dan pihak lain yang berkepentingan. Pada proyek-proyek dimana pendatang
mudah bermukim, susunan masyarakat setempat dapat berubah dramatis sejalan
dengan waktu, sehingga menimbulkan permasalahan baru. Ketegangan antara
perusahaan sumberdaya dan masyarakat setempat terjadi di banyak bagian Indonesia,
namun tidak selalu berujung dengan konflik. Keadaan di Papua lebih parah
dibanding daerah lain, kecuali Aceh, karena dimata sejumlah besar penduduk
pribumi, enguasaan Indonesia tidak sah dan agaknya lebih menganda lkan kekerasan
ketimbang kesepakatan.
Menyelesaikan konflik tanah adat membutuhkan mediasi dan metode
negosiasi dikarenakan kompleksnya masalah yang berkembang serta menyesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan akan masalah-masalah yang dihadapi. Kondisi yang
unik ini memerlukan perluasan dan lebih dari sekedar konsep mediasi dan negosiasi.
Sehingga praktisi APK mesti mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sampai
dipandang cukup. Diharapkan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
dapat menghasilkan penyelesaian masalah dan meningkatkan kepekaan sosial.
Kepekaan terhadap perbedaan budaya dan fleksiblitas pemecahan konflik akan
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi penyelesaian konflik tanah adat.
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 19
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Konsep dasar APK adalah bagaimana saling kesepahaman antara pihak yang
berkonflik menuju saling percaya yang kemudian menghasilkan keputusan yang adil
bagi masing-masing pihak. Untuk menjaga kenetralan dan kompetensi maka dewan
mediasi mesti terdiri dari para ahli di bidangnya dan aparat pemerintah lokal
sebagaimana amanat UU 21/2001. Untuk menjaga efektifitas perlu juga ditetapka
sanksi bagi pelanggar kesepakatan dan hal ini mesti diatur dengan jelas siapa berhak
menjadi pengadil.
B. SARAN-SARAN
1. Transparansi : mengingat era keterbukaan dewasa ini maka tidak lagi wajar
menyembunyikan informasi yang semestinya diketahui publik, oleh karena itu
baik Pemerintah Indonesia maupun Freeport mesti terbuka terutama berkaitan
dengan keuntungan dan besar royalti yang dibayarkan.
2. Pendekatan Kultur : perlu diupayakan merangkul lebih bersahabat terutama
terhadap tokoh-tokoh adat, disertai persuasi untuk lebih menghormati kesepakatan
yang dibuat dan sembari mencari akar masalah penyebab mengapa kesepakatan
sering diprotes kemudian hari oleh warga, oleh karena itu pendekatan budaya
perlu dilakukan terutama dengan bantuan warga lokal dan langkah ini adalah
langkah jangka panjang jadi tidak bisa diharapkan hasilnya dala waktu dekat.
DAFTAR PUSTAKA :
Abdurrazaq Lubis dkk, 1998, Jerat Utang IMF : Sebuah Pelajaran Berharga Bagi
Pemimpin Bangsa – Khususnya Indonesia, Mizan, Bandung. (Edisi
terjemahan : Discredit Interset-Debt! The Instrument of World Enslavement.
PAID Network, Penang, Malaysia).
Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares, 2003, Perjuangan Amungme, Elsam, Jakarta
ANONIM, 2001, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta.
Bruce Mitchell, B Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi, 2003, Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Daryono, 2004, The alternative dispute resolution (ADR) and customary (adat) land
dispute in Indonesia, a paper presented on : 15th Biennial Conference of the
Asian Studies Association of Australia in Canberra 29 June-2 July 2004.
Elsham Papua Barat bersama Sinode GKI, 2004, Lokakarya Genoside di Papua,
Abepura : 13 Maret 2004.
International Crisis Group (ICG), 2002, Asia Report N°39, Jakarta-Brussels :13
September 2002.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 1997, Ringkasan
Agenda 21 Indonesia.
PT. Freeport Indonseis vs Suku Amungme : 20
Model Penyelesaian dengan Teknik ADR
Otto Soemarwoto, 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan,
Jakarta.
Syamsuddin Munawir, 2005, Optimalisasi Peran Serta Masyarakat Dalam
Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Di Kota Timika Kabupaten Mimika
Papua, Lapran Penelitian, Prodi Ilmu Hukum Program Pascasarjana UGM,
Jogjakarta
WALHI, 2006, Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan
Emas Freeport-Rio Tinto di Papua, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI), Jakarta. (www.walhi.or.id); akses pada tanggal 20 Oktober 2007.
Website PT Freeport Indonesia : www.ptfi.co.id ; akses pada tanggal 20 Oktober
2007.
Website Komunitas Papua : www.melanesianews.org ; akses pada tanggal 20 Oktober
2007.