Anda di halaman 1dari 14

DISKURSUS ISLAM DAN KARAKTER POLITIK NEGARA DI KESULTANAN BIMA

ISLAMIC DISCOURSE AND STATE POLITICAL CHARACTER OF BIMA SULTANATE

Muslimin AR. Effendy


Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Tamalanrea Makassar
Email: muslimin.dmbojo@yahoo.co.id

Naskah diterima tanggal 4 Oktober 2017. Naskah direvisi tanggal 17 Oktober 2017. Naskah disetujui tanggal 30 Oktober 2017.

Abstrak
Kajian ini menjelaskan wacana Islam yang mempengaruhi proses pembentukan karakter politik melalui
kebijakan penguasa negara yang mengintegrasikan tradisi Islam ke dalam haluan negara. Tujuan para
penguasa di Kesultanan Bima mengadopsi dan mengadaptasikan gagasan nilai-nilai keislaman ke dalam
struktur kenegaraan baru tersebut untuk menjadikan Bima sebagai “bagian dari dunia Islam” (dar-al
Islam), dimulai pada proses islamisasi di awal ke-17, dan pembumian anasir-anasir keislaman tersebut
berlangsung hingga kini. Dalam konteks ini, Islam menjadi elemen penting dalam kehidupan kenegaraan
dan kaum ulama menjadi bagian elite kekuasaan. Modus integrasi dan klaim sebagai negara yang berbasis
ideologi Islam, mendorong para penguasa Bima bertindak lebih ambisius melalui kebijakan politik
kenegaraan yang ofensif. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, rangkaian
proses penelusuran sumber pada teks berupa naskah dan dokumen kearsipan. Dua sumber tersebut
kemudian ditelaah melalui seleksi, kritik dan interpretasi untuk mencari dan menemukan konektivitas
antarbahan. Kajian ini bertujuan untuk menerangkan pertautan yang kuat antara gagasan keislaman
dengan formasi negara yang sedapat mungkin menampilkan dirinya sebagai wakil yang sah dari sebuah
contoh “islam dan negara” yang ideal. Diskursus Islam dan karakter politik yang berkembang memberi
ruang baru bagi munculnya kelompok ulama yang mengambil posisi yang cukup penting dalam negara.
Tidak sekadar sebagai penasehat spiritual tetapi juga berperan memberi legitimasi bagi praktik politik
penguasa muslim. Dinamika ini, mengantarkan Kesultanan Bima mengklaim dirinya sebagai pusat
kekuasaan yang kemudian menjadi basis perkembangan politik, intelektual, dan budaya Islam di Nusa
Tenggara.
Kata kunci: sejarah, Islam, karakter, politik, negara.

Abstract
This study explains the discourse of Islam prevailing the process of constituting political character through
the policy of state authorities that integrate the Islamic tradition into the country’s direction. The aim of the
rulers of the Sultanate of Bima adopted and adapted the idea of ​​Islamic values ​​into the new state structure
to make Bima a “part of the Islamic world” (dar-al Islam), beginning in the process of Islamization at the
beginning of the 17th, Islamic heritage lasted until now. In this context, Islam became an important element
in the life of the state and the scholars became part of the power elite. The mode of integration and claim
as a country based on Islamic ideology, encouraging the rulers of Bima to act more ambitiously through
offensive political state policy. The method used in this study is the historical method, a series of source
tracking processes in text in the form of manuscripts and archival documents. These two sources are then
examined through selection, criticism and interpretation to seek and discover interconnectivity. This study
aims to explain the strong link between the idea of Islam
​​ and the formation of a state that can best present
itself as the legitimate representation of an ideal “Islam and state” example. The Islamic discourse and the
growing political character gave a new space for the emergence of a clerical group that have held important
position within the state. The position cover not only as spiritual advisor but also as formal body that plays
a important role in legitimizing the political practice of Muslim rulers. This dynamic, led the Sultanate of
Bima claimed itself as a center of power which later becomes the basis of political development, intellectual,
and Islamic culture in Nusa Tenggara.
Keywords: history, Islam, character, politics, country

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 184
PENDAHULUAN Di Bima seorang sultan dipanggil dengan

S
ruma, tetapi istilah ruma mengandung makna yang
ebuah ungkapan yang menggambarkan
lain pula, yakni Allah. Pemaknaan ruma sebagai
pencitraan diri seorang sultan sebagai penguasa
Allah bukan dalam konteks untuk menganalogikan
negeri, masih tersimpan dalam tradisi lisan
keesaan Tuhan dan sultan sebagai pencipta dan
orang Bima sebagai ingatan kolektif hingga kini,
mahluk yang diciptakan, melainkan untuk memberi
seperti terekam dalam stanza:
nilai kesakralan kepada sultan sebagai khalifah
Kidi di hidi ma Berdiri di tempat yang tinggi Allah di muka bumi. Itulah yang mendasari
ese pengintegrasian ruma sebagai ruma sangaji (raja
Sera ma kalau, Di dataran yang lapang dan yang mulia), ruma ka’u (raja yang agung), dan ruma
so ma paja sawah yang luas terbentang su’u (raja yang dijunjung) dalam cara pandang
Di ntanda ka Agar bisa memandang orang Bima terhadap pemimpin mereka. Struktur
sabua, eda ka menyeluruh, melihat yang pembentukkan kekuasaan sultan sebagai khalifah
sama sama adalah wujud normatif dari pengemban tugas
memerintah dan mempunyai kekuasaan untuk
Ada na sa dana Rakyat seluruh negeri Bima,
menyelenggarakan pemerintahan (Abdullah, 2004:
Mbojo, hawo ro berada di bawah naungan dan
123).
ninu. lindungannya (Abdullah Tajib,
Sebagai khalifah dan kepala negara, sultan
1995: 28-29).
harus menempatkan semua kepentingan publik di
Metafora sebagai hawo ro ninu (yang atas hak-hak pribadi. Sebagai pusat percontohan,
menaungi dan melindungi) merupakan refleksi sultan bukan sekadar sosok yang tunggal tetapi
ideal seorang sultan yang mempersonifikasikan menjadi pribadi yang egaliterian, sumber dari
dirinya sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi segala pranata dunia nilai-nilai yang mengatur
(zhillu a-Llâh ta ‘âlâ fi al-ardli) yang percaya orde sosial. Di sini Islam berfungsi melegitimasi
kepada Tuhan, dan Raja Yang Maha Mulia (al- kekuasaan sultan bahkan negarapun mengislamkan
wāthiq billāh al-rabb al-madjid) seperti tertulis dirinya (the state converted to Islam) secara simbolik
dalam inskripsi sebuah stempel Sultan Bima agar dipandang sebagai bahagian dari dunia
Abdul Hamid di abad ke-18 (Suryadi, 2010: 138). Islam (dar-al Islam). Maka dengan begini, unsur-
Dari perspektif ini sultan adalah teladan yang unsur yang bukan berjiwa atau tidak memiliki roh
memberi inspirasi, membangkitkan semangat Islam disingkirkan. Di sinilah proses pembumian
untuk mengabdi kepada rakyat dan negeri secara nilai-nilai Islam lewat historiografi lokal yang
menyeluruh dan berkeadilan (Ahmad, 1992: 102). menampilkan corak kebudayaan Islam bermula dan
“Aku jatuhkan rahasia ini kepadamu (rakyatku), menjadi awal kebangkitan identitas lokal dengan
aku menjadi nyawa dan kamu sekalian menjadi menggunakan tradisi sebagai latarnya.
tubuh” (Loir dan Siti Mariam 120). Ikrar kesetiaan Istilah kebudayaan Islam dalam konteks ini
ini kemudian diteruskan dengan janji: “tuanku mengacu pada kondisi di mana Islam berfungsi
adalah raja dan kami menjadi hamba, tuanku sebagai sistem makna yang secara sangat berarti
menjadi angin kami sekalian daun kayu. Di mana menentukan kehidupan kaum Muslim, mulai dari
angin bertiup di situlah daun terbang, dan di mana pandangan dunia (weltanscahuung), pemikiran,
diperintahkan nyawa di situlah badan mengikut” sikap sosial-politik dan keagamaan, praktik-praktik
(ANRI, AKB No. Inv. 28). ritual, institusi dan gerakan, cita rasa (bahasa,
Ungkapan di atas menggambarkan sebuah sastra, dan seni), hingga benda-benda peninggalan
relasi yang dibangun berdasarkan konsep pertuanan (heritage) yang terkait dengan konsepsi dan
dengan ikatan kesetiaan yang mengibaratkan diri pemaknaan keagamaan. Dengan demikian,
ruma (sultan) laksana nyawa yang menjadi sumber istilah kebudayaan Islam tersebut mengacu pada
penghidupan bagi dou (rakyat), dan dana (negara). dimensi keislaman yang sudah terinstitusionalisasi
Sultan (‫ )سلطان‬yang berarti kuat dan kuasa (Hubert, sedemikian rupa sehingga Islam telah berfungsi
1980: 422) adalah pemimpin tertinggi sebuah sebagai sumber makna bagi kaum Muslim untuk
negara Islam yang dipandang sebagai orang suci; memaknai dunia, diri dan hubungan sesama mereka
pengemban Rasul Allah (khalîfah Rasûl al-Lâh) dan (Azra & Jajat Burhanudin, 2015: 2-3).
kepala negara (amirul mukminin). Dari paparan di atas maka muncul
permasalahan yang perlu mendapatkan penjelasan

185 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017


lebih lanjut menyangkut; 1). Kebangkitan Islam di digambarkan dalam konteks keterkaitan dengan
Bima dan perjumpaan kebudayaan dengan Gowa konstruksi sejarah para penguasa. Segi yang luput
yang mendeterminasi diskursus Islam dan relasi dari perhatian bo adalah tidak memberi ruang bagi
politik negara, 2). Konektivitas jaringan Islam arus bawah untuk memberi arti bagi perjalanan
dan dunia Melayu dalam proses pembentukan sejarah negerinya sendiri dan sangat sedikit
negara, dan 3). Karakter kepemimpinan negara perhatian pada interaksi sosial, politik, dan ekonomi
yang menjadikan sultan sebagai representasi tokoh antarkelompok masyarakat. Hampir semua pelaku
epik Sangaji dan Khalifah di Kesultanan Bima sejarah diperankan oleh para bangsawan, elite-
sepanjang abad ke-17-18. Artikel ini akan fokus elite politik yang berpengaruh, dan pejabat-pejabat
untuk menjawab permasalahan tadi dengan tanpa istana.
mengabaikan faktor-faktor determinan yang saling Sebuah kekecualiaan bisa diberikan yakni
mempengaruhi satu sama lain. menyangkut perkara pembunuhan seorang budak.
Selain untuk memberikan penjelasan atas tiga Hal ini tidak dapat dipandang sebagai kepedulian
permasalahan di atas, studi ini diarahkan untuk penulisnya akan nasib orang kecil (seperti budak),
mengembangkan kajian sejarah dengan fokus pada tetapi karena kasus ini melibatkan seorang sultan
sejarah politik Islam pada tingkat lokal (Kesultanan sehingga dianggap penting untuk dicatat. Tidak
Bima) yang secara spasial terabaikan dalam sejarah semua yang diceritakan dalam bo dianggap mewakili
nasional. Kontinuitas dan perubahan yang terjadi zamannya, karena itu perlu mengacu ke sumber-
tidak akan bisa dimengerti apabila sejarah dalam sumber lain semasa untuk mendapatkan gambaran
ruang yang kecil dan tempat yang jauh dari arus yang utuh tentang suatu peristiwa. Penaklukan
utama kajian selama ini tidak dimunculkan melalui Bima oleh Gowa misalnya, kurang diperhatikan,
wacana akademik yang luas. Tujuan akademik ini hal ini mendorong penulis untuk mengarahkan
berhubungan dengan tujuan kedua, yang secara perhatian kepada sumber-sumber Makassar yang
praktis dimaksudkan untuk memberikan model mencatat secara detil peristiwa penaklukkan itu.
bagaimana kecenderungan dan orientasi kajian Namun, bo tidak sepenuhnya menggambarkan
sejarah politik Islam dapat merangsang pihak lain wilayah imaginer, tetapi mengacu pada lingkungan
untuk melakukannya dengan pendekatan yang geografis yang masih meninggalkan jejak dalam
berbeda di tempat dan waktu yang berlainan. memori kolektif orang Bima.
J. Noorduyn (1987) memberikan perhatian
Tinjauan Pustaka
yang cukup besar terhadap sejarah dan masyarakat
Rujukan yang dapat memberi petunjuk
Bima dengan menghasilkan sebuah buku dan
awal tentang kronologi sejarah Bima sebelum
beberapa artikel mengenai Pulau Sumbawa.
memasuki abad ke-20 adalah sebuah buku yang
Salah satu karyanya berjudul Bima en Sumbawa.
disunting oleh Henri Chambert-Loir dan Siti
Noorduyn sesungguhnya adalah ahli Bugis
Maryam R. Salahuddin (1999) berjudul Bo Sangaji
yang menulis disertasi tentang Sejarah Wajo.
Kai: Catatan Kerajaan Bima. Buku ini merupakan
Perhatian Noorduyn ke Pulau Sumbawa karena
contoh historiografi tradisional yang mendasarkan
ia beranggapan bahwa perkembangan sejarah
pada beberapa naskah lama yaitu bo, yang secara
di sana sangat ditentukan oleh Makassar. Relasi
harfiah berarti buku. Edisi teks dari beberapa
Makassar-Bima digambarkan sebagai berada
naskah yang disunting ini menggambarkan sejarah
dalam pola “pertuanan” selama beberapa dekade
Bima sepanjang abad ke-17 hingga 19, terutama
dalam abad ke-17. Bima, Dompu, dan Sumbawa
berkaitan dengan peristiwa yang dianggap penting
harus menyerahkan upeti tahunan sebagai bentuk
untuk kerajaan. Sebagai hasil sebuah transliterasi
perhambaannya kepada Makassar. Noorduyn
buku ini memenuhi kaidah filologis yang akademik
kurang memperhatikan dinamika internal di
dan penyuntingnya mampu menguraikan proses
Kerajaan Bima bahwa terjadi resistensi yang sangat
yang dijalaninya secara jujur, kekuatan dan
kuat atas hubungan itu. Sudut pandang yang
kekurangannya.
perlu dikoreksi dari buku ini adalah penyelidikan
Buku ini memberi arti penting dalam dua
sejarah Bima yang dilihat dari perspektif Makassar
hal. Pertama, sejarah Bima dilihat dari dalam,
dan kolonial yang sedang berupaya membangun
memandang dunia dari perspektif Bima yang
imperiumnya di Pulau Sumbawa. Bertolak dari
mempengaruhi lingkungannya. Kedua, peristiwa
tulisan tersebut kajian ini bermaksud mengisi
di luar lingkungan yang mempengaruhinya
kealpaan dari beberapa bagian yang kurang disoroti

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 186
Noorduyn sehingga sejarah Bima dapat dilihat memadai. Arsip-arsip ini terdapat di ANRI Jakarta
dengan pendekatan yang lebih luas. maupun di PNRI. Meskipun begitu kritik terhadap
I Gde Parimartha (2002) telah menambah sumber arsip perlu dilakukan untuk menghindari
pengetahuan kita tentang Bima lewat buku berjudul ketimpangan yang selalu muncul.
Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-
METODE PENELITIAN
1915. Parimartha mengkaji Nusa Tenggara dari
Studi ini menggunakan metode sejarah
perspektif ekonomi-perdagangan, struktur sosial-
dengan analisis data kualitatif yang dilakukan secara
politik di tingkat lokal, hubungan pusat-pinggiran,
deskiptif sistematik (systemic approach). Metode
dan ekspansi perdagangan global. Karya ini
sejarah adalah serangkaian tahapan penelitian yang
merupakan tulisan pertama yang memaparkan
terdiri dari pemilihan topik yang tepat, mencari
Nusa Tenggara sebagai suatu kesatuan geografis
sumber-sumber sejarah yang relevan (heuristik),
dengan titik awal meletusnya Gunung Tambora
menilai sumber-sumber sejarah yang diperoleh
(1815). Secara spasial dan kronologi studi ini amat
(kritik sumber), sintesa fakta yang diperoleh dari
luas sehingga banyak wilayah (termasuk Bima)
kritik sumber (interpretasi) serta menyajikannya
kurang mendapat perhatian. Sumber-sumber
dalam bentuk tertulis (historiografi).
lokal Bima seperti bo tidak digunakan sama sekali.
Sumber-sumber yang digunakan dalam studi
Historiografi yang dihasilkan memperlihatkan
ini mengandalkan pada beberapa jenis bahan dengan
kecenderungan adanya “ketidakseimbangan”
lebih mengutamakan sumber primer yang tersedia
antara dunia barat (Lombok) dengan jazirah timur
di beberapa tempat. Sumber primer tidak semuanya
(Sumbawa dan Bima). Bima dipandang sebagai
mengacu pada peristiwa yang hendak diteliti tetapi
periferi dari kekuatan-kekuatan besar.
bisa menggambarkan situasi, aktor yang terlibat,
D. F. van Braam Morris menyusun laporan
struktur yang bermain dan sarana yang digunakan
perjalanannya ke Bima yang diberi judul ”Nota van
dalam totalitas peristiwa. Data primer bukanlah
Toelichting Behoorende bij het Contract Gesloten
bank data yang banyak menyimpan peristiwa
met het Landschap Bima op den 20 Oktober 1886,
dan subyek historisitas, ia hanyalah pancaran
aan de Regering Ingediend door den den Gouverneur
informasi yang dengan kemampuan analisis
van Celebes en Onderhoorgheden” (Nota Penjelasan
tertentu bisa dijelaskan maknanya. “Semuanya
yang terlampir pada kontrak yang dibuat dengan
tidak memperlihatkan dirinya sebagai “barang yang
daerah Bima pada 20 Oktober 1886 diajukan kepada
siap pakai”. Lubang-lubang selalu terdapat dan
pemerintah oleh Gubernur Sulawesi dan Daerah
pertentangan bukti-bukti merupakan kemungkinan
Bawahannya) dimuat dalam TBG tahun 1891
yang tidak pula mengejutkan (Abdullah, 1987: 248).
(hlm. 176-233). Laporan tersebut berisi deskripsi
Sumber data primer ini bisa diperoleh di Arsip
tentang wilayah Bima, sistem pemerintahan,
Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI (Jakarta)
kependudukan, dan perdagangan. Sebagai seorang
dan Yayasan Museum Samparaja Bima. Sumber
pejabat tinggi Belanda (Gubernur Sulawesi dan
primer tidaklah cukup untuk mengisi semua ruang
Daerah Bawahannya) yang berkedudukan di
analisis dari beberapa aspek yang dibahas, karena
Makassar, Morris tidak dapat menghindari sudut
itu diperlukan bantuan dari jenis bahan yang lain,
pandang kolonial dalam laporannya. Morris
yaitu sumber sekunder.
memandang bahwa Belanda berhasil mengubah
Seperti halnya sumber primer sumber
kebiasaan masyarakat yang suka madat, mengisap
sekunder pun harus diklasifikasi, ditelaah, dan
candu kepada terbentuknya tatanan masyarakat
dikritik berdasarkan asal sumber, isi dan relevansinya
baru yang tertib dan taat hukum. Gejala munculnya
terhadap obyek kajian. Dengan demikian
perlawanan terhadap Belanda tidak diceritakan
mekanisme “mencari dan mengumpulkannya”
sama sekali. Dalam konteks itu laporan ini tidak
harus dilakukan dengan cara menggabungkan
sepenuhnya dapat dijadikan referensi dasar untuk
teknik penelitian kepustakaan, arsip dan riset
memperoleh gambaran masyarakat Bima pada
lapangan melalui observasi maupun wawancara.
tahun 1850-an.
Dengan begini “mengetahui bagaimana mengetahui
Selain sumber-sumber yang disebutkan di
sejarah” dan upaya eksplanasinya pun harus dapat
atas terdapat pula bahan-bahan arsip yang cukup
menghubungkan kausalitas antar peristiwa, antar
tersedia dibanding sumber jenis lain, misalnya bo
pelaku bahkan dari locus yang terpisah sekalipun.
dari periode yang sezaman sehingga memungkinkan
Namun kita seringkali diperhadapkan pada masalah
penulis untuk menggunakannya dalam jumlah yang

187 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017


“kondisi sumber” yang berusia tua dan kerusakan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya”.
fisik yang selalu saja ada. Itulah sebabnya mengapa angka tahun peristiwa
ini dicatat secara cermat dan Karaeng Matoaya
PEMBAHASAN
menekankan lebih lanjut arti penting peristiwa ini
Gowa dan Bima: Diskursus Islam dan Relasi
dengan menerima nama Arab “Sultan Abdullah
Politik Negara
Awwal-al-Islam”. Dengan cara ini mengaku dirinya
Seiring dengan berlangsungnya proses
sebagai “umat Islam pertama” di tanah Gowa
islamisasi di sebagian besar semenanjung Sulawesi
(Noorduyn, 1987: 314).
Selatan pada tahun 1605-1611, maka muncul
Sampai kini, tidak diketahui secara pasti
gagasan politik baru dari para penguasa Gowa
kapan atasannya Karaeng Gowa I Manga’rangi
untuk mengintegrasikan tradisi Islam dengan
Daeng Manrabia mengikuti langkahnya. Tradisi
seluruh daerah kepulauan di Nusa Tenggara agar
Makassar tidak memberikan informasi yang
dipandang sebagai “bagian dari dunia Islam” (dar-
relevan, dan biasanya dikatakan “hanya segera
al Islam). Modus integrasi dan klaim sebagai negara
setelah itu” Karaeng Gowa menerima gelar Arab
penyebar Islam di kawasan ini mendorong Gowa
Sultan Ala’uddin. Jelas kedua penguasa itu bertindak
bertindak lebih ambisius lewat kebijakan politik
bersama-sama meskipun Karaeng Matoaya tetap
kenegaraan yang ofensif.
menjadi pencetus pertama. Pada saat yang sama
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa
langkah harus diambil segera untuk menjamin
sebelum Kerajaan Gowa diislamkan, beberapa
bahwa bukan hanya dua penguasa negara itu tetapi
daerah lain di Sulawesi Selatan telah lebih dahulu
juga seluruh penduduk di negeri ini yang menjadi
menerima Islam. Yang pertama adalah Datu Luwu
Islam. Ini berlaku selama dua tahun. Seperti yang
La Patiware atas bimbingan seorang ulama asal
digambarkan dalam Hikayat Wajo yang berbahasa
Minangkabau yang bernama Sulaiman Khatib
Bugis seperti yang dikutip J. Noorduyn: ”dua tahun
Sulung (Datuk Patimang) pada tahun 1603. Datu
setelah karaeng mengucapkan syahadat, rakyat
ini kemudian menggunakan gelar Islam yang lazim
Gowa mengikutinya” (Noorduyn, 1987: 314)
dipakai di dunia Arab yaitu sultan, yang kemudian
Peristiwa penting ini dicatat secara cermat,
namanya ditambahkan menjadi Sultan Muhammad
pada hari Jumat tanggal 9 November 1607 (19 Rajab
Mudharuddin. Kedua, Karaeng Tiro Bulukumba
1016 H) ibadah salat Jumat pertama diadakan di
I Launru Daeng Biyasa. Ia diislamkan oleh Abdul
Tallo. Ini merupakan kesempatan ketika Kerajaan
Jawad Khatib Bungsu (Datuk ri Tiro) pada 1604.
Gowa secara resmi menjadi negara Islam. Menurut
Usaha islamisasi ini telah dimulai sejak kedatangan
hukum Islam, sesuatu yang tidak termasuk wilayah
orang Melayu di Gowa hampir setengah abad
Islam akan disebut sebagai dar al-harb atau wilayah
sebelumnya lewat seorang ulama dan pedagang dari
perang, dan orang kafir harus diislamkan. Tetapi
tanah Jawa, Nakhoda Bonang.
dar al-harb tidak selalu dimaknai sebagai upaya
Jika orang melihat sejarah Makassar secara
indoktrinasi sebuah ajaran dengan perang dan
cermat, maka islamisasi tampaknya juga memiliki
penaklukkan yang mengakibatkan munculnya
awal dan penyelesaian yang pasti, ditandai dengan
aksi perlawanan. Di Kesultanan Bima konsep ini
peristiwa yang bisa dirujuk angka tahunnya. Pertama
diterjemahkan secara sederhana sebagai unsur
adalah penerimaan Islam oleh Raja Tallo yang juga
“pembeda” antara penganut Islam dengan umat
menjabat sebagai Perdana Menteri Kerajaan Gowa
lain. Demikianlah misalnya, pandangan terhadap
I Malingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka
umat di luar Islam yang tinggal di Bima, meskipun
yang dalam lontaraq lebih dikenal sebagai “Karaeng
sudah lama tetap dianggap sebagai dou makalai
Matoaya” (raja yang tua) secara pribadi di bawah
hampa makalai hela (orang lain yang berbeda).
bimbingan seorang ulama asal Koto Tengah
Istilah hela di sini mengandung makna “pemisah”
Minangkabau, Abdul Makmur Khatib Tunggal alias
antara orang Bima yang asli (bukan pendatang)
Datuk ri Bandang (Sewang, 2005: 97).
yang beragama Islam dengan dou makalai (orang
Pada hari Jumat tanggal 22 September
lain) yang tidak hanya menggambarkan identitas
1605 (9 Jumadil Awal 1014), Karaeng Matoaya
keagamaan orang itu (Kristen, Hindu, Budha),
mengucapkan syahadat dan dengan tindakan
tetapi juga untuk mengidentifikasi asal usulnya,
sederhana ini ia menjadi Islam. Menurut ajaran
seperti orang Eropa dan Cina. Adapun orang Bugis,
Islam bahwa seorang kafir menjadi Muslim dengan
Makassar, Arab dan Melayu tidak dianggap sebagai
mengucapkan dua kalimat syahadat: ”tiada Tuhan
dou makalai, tapi dou ndai (orang kita) (Abdullah,

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 188
2004: 74). karena persamaan ideologi dan solidaritas 1985/1986: 91). Pemberontakan tersebut disebabkan
keagamaan (Islam). oleh ketidaksetujuan rakyat terhadap sultan yang
Karena itu, ada tiga opsi untuk membuka membangun aliansi dengan Gowa. Pemberontakan
jalan menyebarkan ideologi negara dan politik berlangsung atas bantuan Raja Dompu. Menurut
kerajaan, yaitu melalui jalur diplomasi, perkawinan, catatan Pelabuhan Batavia pada 1633, sebuah kapal
dan jika bujukan serta dakwah dianggap gagal maka Belanda yang baru lewat di Bima melihat “semua
pilihan terakhir adalah perang. Strategi inilah yang sawah, rumah, dan desa dibakar dan dihancurkan
ditempuh Kerajaan Gowa ketika gagasan perluasan oleh armada Makassar dengan kekuatan 400 perahu
wilayah diperdebatkan dan ketika rencana dan aksi dan ribuan orang, yang atas suruhan Raja Gowa
politik sudah dirumuskan. Maka, hasilnya penguasa Sultan Alauddin untuk memulihkan tahta iparnya
diujung barat Pulau Sulawesi, yakni Raja Mandar Raja Bima Abdul Kahir yang baru digulingkan”
menyatakan keislamannya pada tahun 1607, (ANRI, Dagh-Register, 23 Mei 1633 seperti dikutip
Datu Soppeng mengucapkan syahadat pada 1609, oleh Loir dan Siti Maryam,1999: xvii).
Arung Matoa Wajo La Sangkuru pada 1610. Dua Atas bantuan Raja Gowa yang mengirim
tahun kemudian (1611) Raja Bone La Tenripale pasukan militernya yang dipimpin Karaeng ri
Toakkepeang mengucapkan syahadat, mengakui Burakne pada 25 November 1632, pemberontakan
keesaan Tuhan dan Muhammad SAW adalah dapat dipadamkan. Pada 7 April 1633 Karaeng ri
Rasulnya (Sewang, 2005: 116-119). Burakne kembali dari Bima, dan pada 21 Juni 1633
Setelah hampir seluruh kerajaan besar di orang Bima datang menghadap Raja Gowa untuk
Sulawesi Selatan diislamkan oleh Gowa, maka berikrar; “nabattu kalenna Bimaya, makanami
perhatian selanjutnya adalah Pulau Sumbawa dengan karaenga ammiomi“ (bersabdalah raja dan orang
tujuan utama, selain misi pengislaman, adalah Bima pun mengiyakan) (Kamaruddin, dkk,
menjadikan pulau tersebut sebagai basis perdagangan 1985/1986: 15-16). Meskipun orang Bima telah
dan politik serta mengurangi dominasi Jawa di menyatakan kesetiaannya kepada raja namun, pada
wilayah selatan Kerajaan Gowa ini. Dalam buku 12 Agustus 1639 tersiar kabar bahwa orang Bima
catatan harian Kerajaan Gowa-Tallo yang bersumber akan memberontak lagi. Raja Gowa menyikapinya
dari naskah Makassar lama seperti Lontarak Bilang, dengan mengirim tim untuk menyelidiki dan
menyebutkan bahwa “nanta’le ri Bima I Lukmuk memastikan bahwa keamanan dan perdamaian
ri Mandallek, nanabeta Bima; salapanji batunna” dapat segera terwujud di wilayah itu (Patunru,
(Panglima Kerajaan Gowa I Lukmuk ri Mandallek 1967: 151-153).
dengan iringan sembilan armada kapal perang Kisah penaklukkan di atas hanya bisa
mencoba untuk pertama kalinya menaklukkan Bima ditemukan dalam sumber-sumber Gowa. Sementara
pada bulan April 1616) (Kamaruddin dkk, 1985/1986: sumber-sumber Bima seperti bo, tidak satupun
88). Dengan dalih untuk “mengajak para penguasa mencatat peristiwa tersebut. Yang pertama-tama
seberang menemukan cahaya kebenaran lewat mendapat perhatian di dalam kronik Bima adalah
dinul Islam, ajaran yang baru saja dideklarasikan peristiwa “masuknya Islam di tanah Makassar
oleh Kerajaan Gowa sebagai agama resmi negara, pada 1606” (Syamsuddin, 1993: 1)1. Padahal
maka ekspansipun mulai dilancarkan. Namun, peristiwa penaklukkan tersebut adalah fase krusial
tidak berhasil karena Bima mengerahkan segala kebangkitan relasi antarkedua kerajaan yang sedang
kekuatannya untuk melakukan perlawanan. Keadaan berupaya keras memperluas jaringan kekuasaan.
ini memaksa Raja Gowa ke-14 I Manga’rangi Daeng Gowa dengan kemampuan teknologi maritimnya
Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna telah menguasai seluruh Sulawesi Selatan, dan Bima
(memerintah 1594-1639) untuk mengirim armada dengan basis agraris dan armada lautnya sedang
perang kedua pada bulan Juni 1618 di bawah giat memainkan peran politik penting di Pulau
komando Karaeng Maroanging. Bima akhirnya Sumbawa dan Pulau Flores.
berhasil ditaklukkan, tetapi pada bulan Juni 1626 Membaca kembali kisah yang digambarkan
Bima kembali memberontak dan dipaksa menyerah dalam sumber-sumber Makassar di atas
sebulan kemudian (3 Juli 1626), termasuk Dompu
dan Tambora (Kamaruddin dkk, 1985/1986: 88-90). 1 Laporan penelitian yang belum diterbitkan ini
Pada 13 November 1632 orang-orang Bima merupakan suntingan atas naskah almarhum Haji
memberontak terhadap Sultan Abdul Kahir Ahmad Rato Rasa Na’e (atau disebut juga naskah Prof.
(memerintah 1620-1640) (Kamaruddin, dkk, Held).

189 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017


mengarahkan perhatian kita untuk melihat adalah sudut pandang dunia yang berbeda dalam
bagaimana kombinasi kekuatan bersenjata hal kepentingan.
bersinergi dengan misi ekpansi ekonomi dan politik Helius Syamsuddin menyajikan kronologi
serta tumbuhnya “revolusi keagamaan” bagi para yang berbeda mengenai islamisasi Bima yang
penguasa Gowa untuk menyampaikan suatu ajaran didasarkan pada naskah bo milik Haji Ahmad Rato
baru tentang kebesaran Tuhan secara bersamaan. Rasa Na’e. Dalam bo tersebut dikatakan bahwa:
Islamisasi yang telah digerakkan sejak dasawarsa “Akan tanda peringatan mulai masuknya agama
pertama abad ke-17 ini dicatat dalam Bo Sangaji Kai Islam di tanah Bima dalam bulan Rabiul’awal tanggal
dengan kata-kata; hijrat al-Nabi Salla’llahu alaihi 15 [tahun] 1050 [Hijriah] [5 Juli 1640.” (Sjamsuddin,
wa sallama seribu sepuluh delapan tahun, “Hijrah 1993: 10).
Nabi Muhammad SAW tahun 1609 ketika itulah Tahun 1640 (bulan April) merupakan
masuk Islam di Tanah Bima oleh Datuk ri Banda, momentum berakhirnya kekuasaan Salisi dari
Datuk ri Tiro tatkala zamannya Sultan Abdul Kahir” panggung politik kerajaan sedangkan bulan Juli
(Loir dan Siti Maryam, 1999: 7). adalah kembalinya Abdul Kahir ke Bima bersama
Setelah Abdul Kahir diislamkan, maka kedua kedua gurunya yang berujung pada pelantikan
ulama ini kembali ke Makassar atas permintaan sebagai penguasa baru pada 5 Juli 1640 (Syamsuddin,
Sultan Gowa. Untuk meneruskaan misinya, maka 17 Juli 1995).
Datuk ri Banda meninggalkan kedua anaknya, yaitu Dari beberapa fakta yang disajikan di atas
Ince Nara Diraja, dan Ince Jaya Indra. maka bisa dimengerti mengapa Sultan Abdul Kahir
Catatan yang diperlihatkan bo di atas meminta perlindungan politik pada kekuatan yang
menjelaskan bahwa Islam masuk dan diterima lebih besar, yaitu Kerajaan Gowa. Argumen ini
penguasa Bima pada tahun 1609 bersamaan dengan dapat diterima bahwa Abdul Kahir menerima Islam
proses islamisasi di Kerajaan Soppeng Sulawesi pada 1609 atas kesadaran personal seperti yang
Selatan oleh ulama yang sama. Sementara pada dilakukan Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng
bagian lain, bo juga mengklarifikasi bahwa Islam Matoaya, karena lingkungan tempatnya bernaung
masuk di Tanah Bima pada bulan Rabiulawal sudah lebih dahulu menyatakan keislamannya.
tanggal 15 dalam tahun 1050 atau pada Hari Kamis, Sedangkan tahun 1620 seperti yang dikatakan
5 Juli 1640 (Loir dan Siti Maryam, 1999: 59). Damste, dicatat sebagai permulaan berkuasanya
Perbedaan kronologi dari sumber-sumber Sultan Abdul Kahir, bersamaan waktunya dengan
tersebut, terutama dari manuskrip Bima, peringatan resmi seluruh rakyat Bima memeluk Islam
menunjukkan ketidakcermatan para penulis bo yang kemudian ditetapkan sebagai agama kerajaan.
mencatatkan peristiwa yang terjadi atau kekeliruan Bagaimanapun berbagai pendapat dan sumber-
dalam mengkonversi tahun hijriah ke tahun masehi. sumber yang digunakan tersebut saling mengisi dan
Damste misalnya, menyatakan bahwa Abdul Kahir melengkapi.
menerima Islam di Gowa pada 1620 yang kemudian
Islam dan Pembentukan Negara: Jaringan Melayu
dinikahkan secara islami dengan adik ipar Raja
Setelah proses pemakluman Islam sebagai
Gowa Sultan Alauddin bernama Daeng Sikontu
agama oleh sultan dan rakyat Bima, maka kedua
(Damste, 1941: 55). Sesaat setelah menerima Islam,
ulama Melayu tersebut kembali ke Makassar.
Abdul Kahir kembali ke Bima dan menduduki
Sebelum meninggalkan Bima mereka dan para
singgasana kerajaan atas bantuan Raja Gowa.
petinggi kerajaan membuat pernyataan bersama
Namun, pada tahun 1623 Abdul Kahir kembali
yang menggambarkan model relasi dan jaringan
ke Gowa karena di Bima terjadi pergolakan politik
yang dibangun para ulama dengan penguasa
yang dimotori oleh saudaranya sendiri, Salisi, yang
tempatan.
memaksanya turun dari tahta kekuasaan. Pendapat
Pernyataan sultan kelak menjadi sandaran
Damste dapat dilihat dari perspektif politik internal
legitimasi bagi orang-orang Melayu dan
Bima bahwa Abdul Kahir meninggalkan negerinya
keturunannya untuk memperoleh hak-hak istimewa
sebelum agama ini disebarkan. Abdul Kahir yang
selama menempati Dana Mbojo. “Sultan mengaku
mendasarkan kepatuhan kolektif pada ikatan
dan meneguhkan selamanya hingga turun temurun
kekeluargaan tidak mampu mempertahankan
akan memandang dengan hormat dan mulia segala
kekuasaannya ketika tantangan dan ancaman datang
bangsa Melayu. Mereka ini tidak disamakan dengan
sebagai kendala-kendala struktural (structural
bangsa pedagang Bugis Makassar karena bangsa
constraints) yang terlalu kuat. Faktor penyebabnya

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 190
Melayu telah menjadi gurunya sultan dan Tanah menyiapkan rotan, benang, kasumba dan lain-lain
Bima, yang memasukkan agama Islam. Mereka (Loir dan Siti Maryam, 1999: 58-59) Pernyataan
juga telah berjasa berperang melawan perompak tersebut menjadi tanda pengakuan kedua pihak
yang amat menyusahkan kehidupan orang Bima. terhadap peran orang-orang Melayu dalam
Maka tiada lain balasan sultan, mengakui mereka membangun kerajaan, dan sultan menghargai hal
sebagai sanak saudara yang kekal. Karena itu, tersebut dengan mengekalkan perjanjian.
sultan memberikan sebidang tanah yang sekarang Perluasan usaha islamisasi Bima yang
dijadikan Kampung Melayu untuk menjadi hak diletakkan orang-orang Melayu yang paling besar
pusakanya hingga kiamat. Tidak boleh dipindahkan dalam kerajaan dapat dilihat melalui dua aspek
atau diambil kembali kampung tersebut kecuali utama, yaitu konstruksi pranata kelembagaan
atas keridhaan orang Melayu sendiri. Tanah di Islam, dan munculnya gagasan-gagasan politik
sebelah selatan Kampung Melayu dan sebelah utara kenegaraan yang bercorak keislaman. Pertama,
Sungai Melayu di Sokedo diberikan untuk menjadi adalah pembentukan struktur kelembagaan yang
sawah, sumber penghidupannya, akan tetapi para menjadi pilar utama penopang beroperasinya
datuk dan ince menolak karena mereka tidak biasa roda pemerintahan, yaitu lembaga syara’ hukum
mengerjakan sawah. Mereka hanya biasa berlayar yang bernama ”majelis syariah”. Lembaga yang
dan berdagang, dan karena itu orang Melayu mengembangkan kesadaran massa untuk patuh
meminta kepada sultan agar dibebaskan dari segala dan taat pada azas hukum Islam ini dipimpin oleh
biaya oleh syahbandar (Loir dan Siti Maryam, 1999: ulama terkemuka dengan gelar ”Kadi”. Lewat Kadi
58-59). inilah hukum Islam (syariat) dirumuskan dan fatwa
Sultan juga menyerahkan perkara hukum dikeluarkan. Dengan demikian, ulama memegang
agama ditangani sendiri oleh penghulu dan Imam peranan sentral dalam meregulasi dan menentukan
Melayu di dalam kampungnya kecuali perkara adat kehidupan keagamaan umat Islam (Burhanuddin,
yang belum diputuskan oleh penghulu, diperiksa 2012: 37).
oleh syahbandar yang memegang Bumi Luma Pada masa-masa awal pembentukan
atau oleh Tureli Nggampo dengan pertimbangan kesultanan, penyelesaian terhadap pihak-pihak
Penghulu Melayu. Selanjutnya sultan tidak boleh yang bersengketa dilakukan melalui sebuah cara
mengambil anak perempuan Melayu menjadi yang oleh Abdul Gani Abdullah (2004) disebut
pelayan di istana kecuali anak laki-laki untuk sebagai model ”tahkim”. Tahkim yakni sebuah
menjadi dambe mone2 bagi anak para rato3 bentuk pengadilan yang terjadi di suatu tempat
atau yang menari pada waktu acara “sirih puan” yang belum memiliki lembaga peradilan formal
dalam bulan Maulud yang dikerjakan oleh atau belum terjangkau oleh wilayah hukum suatu
Penghulu Melayu dengan segala anak buahnya. institusi peradilan yang dibentuk secara khusus
Maka diwajibkan kepada bangsa Melayu yang dalam negara (Abdullah, 2004: 158).
ada di Sape, Bolo, Kae dan di watasan Bima Setelah dibentuk majelis syariah praktik
berkumpul di Kampung Melayu, mengerjakan peradilan ”tahkim” makin berkurang sehingga
“sirih puan” dengan biaya yang ditanggung lembaga peradilan formal dapat menjalankan tugas
masing-masing, diserahkan kepada penghulu dan fungsinya dengan baik. Pemerintah kesultanan
berupa uang, beras, kerbau, kelapa, manisan, berkeyakinan bahwa dengan pembentukan majelis
sirih pinang, dan lain-lain. Maka syahbandar syariah atau syara’ hukum akan dapat mengikis
menyediakan kertas warna dan empat dari4 sikap keraguan terhadap kaidah fiqh dalam dimensi
spiritualitas orang Bima bahwa maja labo dahu,
2 Dambe mone adalah anak laki-laki yang ditugaskan (maja [malu] bagi orang yang beriman, labo [dan]
untuk menjadi biduan di istana, mereka bertugas dahu [takut] bagi orang yang bertaqwa), yang
menemani anak-anak sultan serta membawa perkakas menjadi jargon ideologi bersama dapat bersenyawa
pada waktu diadakan upacara (Henri Chambert-Loir dan
dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Siti Maryam Salahuddin, Bo Sangaji Kai… 1999: 628).
Struktur kelembagaan majelis syari’ah terdiri
3 Rato, yaitu gelar bangsawan yang lebih reendah
dari Ruma yang dianugerahkan sultan kepada para Bumi dari ketua majelis (rais al-majelis), penasehat
(Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, Bo
Sangaji Kai… (1999: 636). dan mempunyai tugas khusus terhadap istana (Henri
4 Dari, yaitu kelompok masyarakat berdasarkan Chambert-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, Bo Sangaji
keturunan. Setiap dari dikepalai oleh seorang anangguru Kai… (1999: 628).

191 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017


(nascih), yang dibantu oleh anggota (a’dha); harus diletakkan dalam konstruksi pemahaman
lebenae, khatib tua, imam dan lebe (ANRI, AKB No. masyarakat Bima, yakni “keseluruhan tugas pokok
Inv. 28; 1941) Tugas pokok majelis syari’ah adalah majelis hadat dalam penyelenggaraan pemerintahan
menyelenggarakan pendidikan, menyelesaikan kesultanan”. Syara’ bertolak dari pandangan bahwa
pernikahan, perceraian, kewarisan, perwakafan, lembaga syara’ merupakan badan pemerintahan
dan pengaturan kegiatan keagamaan yang lain yang membuat rumusan peraturan mengenai tata
seperti hisáb (menentukan awal Ramadhan), rukyãt hubungan antara penguasa dan rakyat. Lembaga
(menetapkan aruraja toi/hari raya kecil atau Idul ini juga dipandang oleh orang Bima sebagai suatu
Fitri, arurajanae/hari raya besar atau Idul Adha), organisasi yang mempunyai kewajiban menjalankan
maulud, menetapkan arah kiblat, mengatur dan hukum Islam, dan bahwa peraturan menjalankan
mengawasi penggunaan dan pemeliharaan masjid hukum itu harus mendapat pertimbangan syara’
dan langgar, menyantuni anak yatim dan fakir hukum seperti ungkapan syara’ na katenggoku ma
miskin, menentukan waktu salat, membina para hukum (syara’ dikuatkan oleh hukum) (Abdullah,
khatib dan juru dakwah, mengurus kematian, 2004: 131).
serta mengatur persiapan pemberangkatan dan Yang kedua, pengembangan gagasan agar
pemulangan jamaah haji termasuk mempertemukan dipandang sebagai ”bagian dari dunia Islam” (dar-
mereka dengan sultan baik sebelum maupun al Islam) yang dipertontonkan sultan melalui politik
sesudah kembali dari Mekah5. personifikasi diri sebagai penguasa negara. Politik
Tidak seperti pada majelis hadat atau syara’- pencitraan sebagai hawo ro ninu (rindang yang
syara’ yang keanggotaannya terdiri atas berbagai menaungi) yang terekam dalam teks-teks lokal,
unsur yang secara fungsional berbeda, maka majelis adalah refleksi dari idealisasi seorang sultan sebagai
syariah relatif terbebas dari intervensi kekuatan luar. pemimpin negara, pemilik kekuasaan tertinggi di
Dengan sistem ini maka pemerintahan kesultanan bumi.
bersandar pada dua arus utama kekuasaan, Proses pembumian Islam dilakukan pula
yaitu majelis hadat yang menjadi penyelenggara lewat pengangkatan para juru tulis istana (bumi
pemerintahan, dan majelis syariah atau syara’ parisi) yang terdiri dari orang-orang Melayu, yang
hukum yang menjadi pilar penegakkan hukum. berusaha keras dengan semangat ka isila weki
Kedua institusi itu berada di bawah otoritas sultan. (islamisasi diri) secara simbolik untuk menjauhkan
Persilangan keduanya menghasilkan perangkat segala unsur yang bernuansa Hindu-Jawa. Dalam
aturan yang bernama “adat dana Mbojo” (adat tradisi literasi dunia Melayu yang mulai berkembang
Tanah Mbojo [Bima]) (Abdullah, 2004: 133). di Bima pada dasawarsa kedua abad ke-17, orang
Ketergantungan antara majelis hadat dan Melayu memberi pelajaran yang amat berharga
majelis syariah merupakan bentuk hubungan bagi kesultanan, memberi tempat bagi mereka
yang saling mengikat. Majelis hadat tidak dapat sebagai ahli agama dan susastra yang merupakan
menjalankan pemerintahan tanpa hukum, pilar penting dalam pemerintahan. Mereka dapat
dan hukum tidak dapat ditegakkan tanpa dianggap sebagai cikal bakal kelompok literasi,
dukungan pemerintah (majelis hadat). Pertautan kaum terpelajar tradisional yang bekerja untuk
antarkeduanya tersurat dari makna filosofis kerajaan (Loir, 2004: 65). Syahbandar dan duta
ungkapan; mori ro made na dou Mbojo ake kai kerajaan atau ulama istana, adalah jabatan yang
hukum Islam edeku (hidup dan matinya orang selalu diberikan kepada orang-orang Melayu.
Mbojo (Bima) harus dengan hukum Islam), dan; Pelembagaan diskursus Islam pula dilakukan
bune santika syara’ ederu na kapahu ku ro ma lewat historiografi genealogi wangsa raja-raja Bima
kandadina rawi, hukum ma katantu ro ma turuna yang dipandang sebagai awal kebangkitan identitas
(syara’ itu yang mewujudkan dalam kenyataan lokal untuk menampilkan diri secara penuh dengan
hidup, dan hukum itu yang menetapkan dan menggunakan tradisi (Islam) sebagai latarnya.
menunjukkan jalan) (Abdullah, 2004: 139). Tonggak kebangkitan itu dipelopori oleh Sultan
Penggunaan istilah syara’ di sini tidak dalam Abi’l Khair Sirajuddin (memerintah 1640-1682)
konteks pemahaman menurut fiqh Islam melainkan dengan mengeluarkan dekrit penting pada 13 Maret
1645 (15 Muharram 1055) agar bo (buku catatan
5 Arsip Yayasan Museum Samparaja Bima (YMSB); harian) selanjutnya tidak lagi dicatat di atas daun
“Beslit No. 76 tanggal (Raba-Bima), 19 Nigatsu 2605 [19 lontar, tetapi “ditulis di atas kertas dengan memakai
Pebruari 1945], Pemerintah Keradjaan Bima”, box 5. bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridhoi

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 192
Allah Ta’ala” (Abdullah, 1981/1982: 3). Dan lebih Persamaan itu antara lain, menyangkut pribadi
dari itu mitos kerajaan pun dirombak dan ditulis raja yang harus “mengabdi dan menyerahkan diri
kembali agar sesuai dengan semangat agama baru. kepada Allah, berbuat adil terhadap rakyat, memberi
Usaha itu memperlihatkan bahwa di lingkungan nasehat kepada menteri dan hulubalangnya.”
istana telah ada satu golongan elite terdidik yang (Fathurahman, 2010: 195-196, 198).
mampu meleburkan mitos setempat dalam alam Oleh karena itu, untuk menjadi seorang
sejarah semesta serta mengaitkan wangsa raja Bima sultan yang zhillu a-Lâh ta ‘âlâ fi al-ardli (bayang-
kepada satu sumber kekuasaan yang lebih tinggi bayang Tuhan di bumi), seperti yang menjadi
(Loir, 2004: 65). Jadi, bisa dimengerti mengapa keinginan sebagian besar para sultan di Asia
raja-raja dari masa pra-Hindu dan zaman Hindu Tengah pada umumnya, dan yang mempengaruhi
tidak mendapat tempat yang luas dalam khasanah pikiran sultan-sultan di Nusantara pada abad ke-
historiografi Bima lama maupun dalam sejarah 16-20, maka ia harus memenuhi enambelas kriteria,
kontemporer. sebagai berikut; pertama, berakal; kedua, berilmu;
ketiga; dapat menahan amarah. Keempat, elok
Sultan: Representasi Sangaji dan Khalifah
parasnya. Kelima, mengetahui bagaimana cara
Dalam tradisi pemilihan dan pengangkatan
memacu kuda. Keenam, perkasa. Ketujuh, berbicara
sultan sebagai pemimpin negara maka prasyarat
dengan santun, perlahan-lahan. Kedelapan, baik
utama yang ditelisik adalah garis silsilah yang
perangainya. Kesembilan, insyaf pada segala
secara hierarkis dapat menunjukkan asal generasi
yang teraniaya daripada segala yang menganiaya.
dan keturunannya. Bahwa sultan atau calon
Kesepuluh, mengasihi dan menolong rakyat yang
penggantinya harus berasal dari keturunan Sangaji
mengalami kesulitan. Kesebelas, memaafkan
(londo Sangaji) yang diperoleh lewat perkawinan
kesalahan rakyat sesuai hukum syara’ yang berlaku.
yang sah menurut adat dan hukum Islam yang
Keduabelas, memberi pekerjaan agar rakyat tidak
kelak mempunyai hak untuk menempatkan dirinya
mengalami kesusahan, kelaparan. Ketigabelas,
sebagai Ruma Sangaji. Sebagai Ruma Sangaji,
senantiasa membaca Kitab Qisas al-anbiya [Kisah-
sultan harus mampu menunjukkan kepada publik
kisah para Nabi], Kitab Bidayat al-hidayah [Awal
keunggulan-keunggulan personal sebagai yang
Petunjuk/Hidayah] dan Kitab Ihya ‘ulum al-din
mewarisi tahta dengan memenuhi kriteria yang
[Menghidupkan Ilmu Agama] karya Imãm al-
diatur di dalam pedoman nggusu waru (delapan
Gãzãli atau membaca kitab raja-raja terdahulu agar
pilar) kepemimpinan tradisional, yaitu; 1). Ma to’a
menjadi contoh dan teladan dalam memerintah.
di Ruma labo Rasul (taat kepada Allah dan Rasul),
Keempatbelas, mengikuti perangai raja-raja
2) ma loa ro bade (cerdas dan bijaksana), 3) ma
terdahulu [yang baik]. Kelimabelas, memeriksa
mbani ro disa (gagah dan berani), 4). ma bisa ro
perangai hal-ihwal dirinya dan kerabatnya
guna (wibawa dan kharismatik), 5). ma tenggo ro
dan mengikuti perbuatan raja-raja terdahulu.
wale (kuat dan gigih), 6). mantiri nggahi ro kalampa
Keenambelas, jangan terlena dengan urusan dunia
(jujur, sesuai ucapan dan perbuatan), 7). mantiri fiki
dan mengabaikan urusan akhirat (Fathurahman,
ro paresa (adil dan seksama), 8). londo dou mataho
2010: 203-204).
(keturunan yang baik) (Ahmad, 1992: 76, 87).
Sultan sebagai representasi Sangaji yang
Prinsip-prinsip kepemimpinan seperti
malondo (menurunkan) raja-raja Bima, mencoba
yang disimbolkan di dalam arsitektur bangunan
mempertahankan kesatuan dan kemurnian
“bersegi delapan” (octagonal) tersebut mungkin
derajad kebangsawanan dengan mengikuti suatu
sekali dipengaruhi oleh teks-teks fiqh Islam yang
pembatasan yang ketat dalam identitas sosialnya.
berkembang di dunia Melayu Nusantara pada
Karena itu sultan hanya bisa melakukan perkawinan
abad ke-17. Pedoman tersebut juga memiliki
dengan kelompok setara yang dipandang masih
banyak persamaan dengan risalat Jawharat al-
memiliki hubungan dengan Sangaji. Sultan tidak
ma’ãrif (Permata Ilmu Makrifat) karya Haji Nur
diperbolehkan melangsungkan perkawinan dengan
Hidayatullah al-Mansur Muhammad Syuja’uddin.
putri tureli nggampo yang masih termasuk kerabat
Di dalam risalat “Permata Ilmu Makrifat” itu telah
dekatnya. Hal itu untuk mencegah agar sultan tidak
diatur sebuah “hukum atau adab ketatanegaraan”
berada di bawah pengaruh tureli nggampo tetapi
yang harus dilakukan oleh seorang penguasa,
tanpa ketentuan itupun semuanya bisa terjadi. “Di
raja atau sultan baik yang berhubungan dengan
luar itu sultan bisa memilih seorang istri dari semua
rakyat maupun dirinya (Fathurahman, 2010: 191).
golongan” (Jasper, 1908: 121).

193 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017


Warisan kebudayaan Islam yang masih tureli nggampo dan enam orang tureli sebagai
tersisa, selain karya-karya sastra bernuansa Islam, anggota Dewan Tureli. Lima helai bulu sayap kanan
kitab fiqh, masjid dan makam, adalah istana. Istana mengungkap asal usul ”Dana Mbojo” yang terdiri
atau asi (dalam bahasa Bima) dianggap sebagai dari lima bagian daerah yang dipimpin oleh ncuhi.
chakravartin (tempat penguasa dunia) Empat helai bulu ekor kiri merupakan perlambang
atau simbol sebuah negara karena regalia kerajaan dari hierarki sosial masyarakat Bima yang tersusun
dan alat-alat kebesaran raja ada di sana. Karena itu dari golongan raja, bangsawan, dari (tukang-tukang,
asi sebagai tempat singgasana raja kerap berperan pegawai istana), dan rakyat biasa. Sedang empat bulu
sebagai pusat ibukota yang sesungguhnya. Menurut ekor bagian kanan melambangkan adanya unsur
Geldern (1982) bahwa ibukota bukan saja merupakan masyarakat yang terikat pada hadat dan hukum
pusat politis dan kebudayaan, melainkan juga pusat yang dikepalai oleh dua orang pengatur pangkat,
magis dari kerajaan. Karena dikelilingi oleh hal-hal dua orang anggota majelis hadat dan pembawa
yang sakral, magis dan keramat tidak mudah bagi aspirasi rakyat, yakni Bumi Luma Rasanae dan Bumi
seseorang untuk melangkahkan kaki menuju istana Luma Bolo. Bagian yang kedua, ialah bentangan
tanpa disertai niat yang suci dan tujuan yang baik ke sebelah kanan terdiri dari unsur-unsur; kepala
(Geldern, 1982: 6). garuda yang menghadap ke kanan melambangkan
Istana berfungsi pula sebagai pusat kegiatan kepala Sang Bima, ditopang oleh tiga pilar berhias
pemerintahan, kehakiman, dan pengembangan yang mewakili sara (pemerintahan), hukum
agama Islam. Oleh karena itu dimensi spasial istana (hukum Islam), dan adat. Tujuh helai sayap luar
sering dianalogikan sebagai sebuah organ yang melambangkan tujuh unsur ilmu fiqh, lima helai
memiliki anatomi sosial dan politik tertentu. Paruga, bulu sayap melambangkan lima unsur yakni tiga
misalnya merupakan sebuah “panggung sosial” di bagian ilmu tauhid, dan dua bagian ilmu tasawuf.
mana kasak kusuk politik diperbincangkan bahkan Empat helai bulu ekor melambangkan empat orang
dipertontonkan kepada khalayak lewat rapat atau pembantu imam sebagai pelaksana hukum Islam,
persidangan simbolik. Sementara paruga syara’ yakni khatib tua, khatib karoto, khatib lawili, dan
berperan sebagai ruang yang bisa mewadahi dalam khatib toi. Bagian pokok yang ketiga ialah badan
menyelesaikan urusan administrasi pemerintahan, burung garuda yang di dalamnya terdapat tiga
dan paruga suba berfungsi sebagai sarana puluh lima helai bulu yang melambangkan dua
pendukung aktivitas lain yang berkaitan dengan hal. Tubuh garuda melambangkan diri sultan, dan
mobilisasi aparatur negara (kerajaan) dan massa sultan yang mengendalikan tiga puluh lima jabatan
pendukung guna menyelesaikan isu-isu tertentu. dalam pemerintahan (Ahmad, 1987: 129).
Adapun paruga sigi adalah pusat aktivitas majelis
syariah yang posisinya terpisah dari lingkungan
istana, berdampingan dengan sigi (masjid). Paruga
sigi berada di selatan dan serasuba (lapangan) di sisi
barat istana. Dengan demikian ada tiga unsur utama
di dalam morfologi kota, yaitu asi (istana) yang
melambangkan syara-syara’ (pemerintahan), sigi
(masjid) menyiratkan unsur agama beserta seluruh
aparat penyelenggara syara’ hukum, dan serasuba
sebagai simbol kekuatan rakyat dan angkatan
bersenjata (Ahmad, 1992: 83).
Simbolisasi ruang tercermin pula dalam
bendera pusaka kerajaan yang diciptakan oleh
Sultan Abdul Hamid pada tahun 1786. Bendera
tersebut terdiri atas tiga bagian, masing-masing
bagian mengandung makna yang berbeda yang Lambang Kesultanan Bima
melambangkan entitas kerajaan. Misalnya, kepala
Tureli nggampo, tureli, dan para pejabat
garuda yang menoleh ke kiri melambangkan
tinggi lainnya pada umumnya merupakan kerabat
pemerintahan atau lembaga hadat. Tujuh helai
sultan. Kediaman mereka berada di sekitar istana.
buluh sayap luar bermakna tujuh orang tureli
Rumah tureli nggampo berdiri di sebelah timur
(menteri) dalam kabinet kesultanan yang dipimpin

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 194
istana sultan, yang biasa disebut Asi Kalende yang Meskipun jumlah dan strukturnya berbeda
sekaligus berfungsi sebagai kantor. Di sana, dengan pada masa tersebut namun sultan tetap merupakan
menggunakan ruangan yang terbuka dengan pilar sumber utama keabsahan politik, walau kekuasaan
simbolis, para tureli duduk bersidang dan pada yang sesungguhnya dilaksanakan oleh tureli
kesempatan ini tureli nggampo akan berada di nggampo yang bertindak atas nama sultan.
sebelah barat kelompok itu, arah Mekah dan tempat
PENUTUP
tinggal leluhur mereka, Sang Bima.
Pada masa pra-Islam, hubungan budaya dan
Sebaliknya, dua bagian lain lebih banyak
niaga di Pulau Sumbawa tampaknya berlangsung
berurusan dengan masalah agama dan hukum.
dengan pulau-pulau di sebelah barat, terutama
Salah satunya yang berpusat di mesjid agung,
Jawa. Situasi ini sangat berubah dengan kedatangan
sebuah bangunan yang letaknya strategis antara dua
Islam, yang disebarkan oleh orang-orang Melayu
istana, berurusan dengan hukum Islam mengingat
yang datang dari Makassar. Sejak saat itu pengaruh
bagian lain yang terletak di Kampung Dara,
budaya dan politik Makassar sangat dominan.
dipimpin oleh seorang ahli dalam bidang hukum
Tidak mengherankan bila sejumlah informasi
adat. Tugas menengahi antara tiga bidang ini berada
sejarah tentang Islamisasi Bima ditemukan dalam
pada sultan, yang dianggap murni secara ritual dan
laporan Makassar
karena itu tidak mungkin berbuat salah. Sebagai
Pengaruh besar yang muncul pada masa
tanda kekuasaannya, pada saat upacara tertentu
yang paling awal adalah perubahan keyakinan dan
sultan mengenakan keris pusaka “Samparaja”
akidah umat, di mana Islam diterima sebagai agama
sebagai simbol persatuan negara (Hitchcock, 1987:
masyarakat Bima yang diikuti dengan pernyataan
128-129).
Sultan Abdul Kahir untuk mengakui bahwa Islam
Aturan kedudukan pejabat di Balai Kebesaran
sebagai agama resmi kerajaan. Sejak itu sistem ilmu
Tanah Bima yang ditampilkan di atas merupakan
pengetahuan, teknologi maritim dan pertanian
model yang sudah mengalami transformasi sosial
model Makassar diadopsi, tradisi menulis hikayat
dan politik pasca pemerintahan Sultan Abi’l Khair
istana yang bernuansa sastra dan sejarah seperti
Siradjuddin pada abad ke-17. Jumlah jabatan dan
lontarak di Gowa dan bo di Bima dimulai. Semangat
kepangkatan amat banyak. Selain sultan yang
kewirausahaan penguasa-pedagang segera ditiru,
berada pada puncak hierarki, maka terdapat tiga
bahasa dan kesenian mulai saling mempengaruhi
jenis pejabat tinggi kerajaan yang mempunyai
dan perkawinan lintas budaya segera dilangsungkan.
perangkat dan struktur organisasi masing-masing.
Konektivitas dengan dunia Melayu bermula
Kadi mempunyai 29 pejabat pembantu yang
ketika terbentuknya jaringan transmisi interinsuler
bertanggungjawab atas tugas dan kewajiban yang
melalui aktivitas perdagangan. Dunia melayu yang
diberikan kepadanya. Tureli nggampo (raja bicara)
kental dengan corak keislamannya ini kemudian
membawahi 44 pejabat pemerintahan sedangkan
tumbuh dan berkembang menjadi suatu komunitas
Imam mengatur 20 orang aparatur kerajaan yang
Islam yang inklusif. Oleh karena itu tidak
mengurus masalah-masalah keagamaan. Struktur
mengherankan jika ajaran Islam meresap dalam
sebelumnya menunjukkan kesederhanaan secara
tradisi, yang menyelimuti berbagai upacara dan
hierarkis karena pola akomodasi yang sangat kecil
tindakan-tindakan simbolik dalam dunia mereka
sehingga pucuk pimpinan (sultan) tidak memiliki
dan dalam lingkungan yang lebh luas. Bersamaan
jejaring kekuasaan yang luas sampai ke level paling
dengan tumbuhnya komunitas Muslim baru
bawah. Karena itu dapat dimengerti mengapa pada
tersebut maka muncul pula konflik, akulturasi dan
era selanjutnya penataan struktur segera dilakukan
akomodasi antara Islam dengan tradisi lokal, yang
mengingat makin banyak dan beragamnya masalah
seringkali menjadi momentum bagi pembentukan
dan tantangan yang dihadapi. Sebelum abad ke-18
entitas politik Islam yaitu negara yang berbentuk
hanya ada dua jabatan, selain sultan, dalam sruktur
kerajaan atau kesultanan.
pemerintahan, yaitu tureli nggampo (membawahi
Karena itu, tidak mengherankan jika di
24 jabatan dalam bidang pemerintahan), dan Kadhi
lingkungan istana, tumbuh pemikiran Islam yang
mengatur 26 pejabat di bawahnya. Dalam struktur
berorientasi raja, yang dirumuskan misalnya dalam
yang lama jabatan Imam Kerajaan, dengan segala
berbagai istilah yang mencerminkan eksistensi raja-
perangkatnya belum menjadi bagian dari struktur
sufi. Bersamaan dengan itu, doktrin Islam di bidang
pemerintahan yang ada (Loir dan Siti Maryam,
hukum (fikih), tafsir, teologi, dan sejarah juga mulai
1999: 9-10).

195 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017


beredar. Hal terakhir ini berlangsung sejalan dengan harus tunduk dan mengabdi kepada sultan untuk
hadirnya ulama, bersama lembaga pendidikan Islam kemajuan dana (negara). Dengan demikian maka
yang berperan penting dalam proses penterjemahan frase yang menggambarkan kedaulatan, seperti
Islam di atas. Perlu pula dicatat dalam konteks ini “daulat raja” atau “daulat tuanku” kemudian
adalah produksi dan peredaran naskah-naskah mengalami pergeseran makna secara mendasar dari
keagamaan yang ditulis para ulama menyangkut konsep yang rasional mengenai kekuasaan tertinggi
ilmu-ilmu keislaman. Naskah-naskah ini dengan yang dinamis, menjadi konsep feodal untuk
cepat beredar dan merupakan salah satu faktor kebutuhan penghambaan kepada raja. Di dalam
penting yang membentuk Islam Indonesia sebagai bahasa Bima terdapat kosa kata duli (diserap dari
ranah budaya Islam yang distingtif (Azyumardi bahasa Melayu, duli) yang berarti “penghormatan
Azra & Jajat Burhanudin. 2015: 3-4). kepada baginda raja yang memerintah, raja yang
Sultan sebagai representasi tokoh epic berkuasa” dan kata kaso yang berarti “kuasa”, seperti
Sangaji dan Khalifah di Kesultanan Bima. itakaso ruma (dia, raja yang besar kekuasaannya).
Sultan mengidentikkan dirinya sebagai Sangaji Sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan atas
sebagaimana tercermin dalam Syair Kerajaan rakyat dan negara, sultan akan mempertahankan
Bima (bait 33) yang menyebut genealoginya; //asal keutuhan negara dari rongrongan pihak lain dengan
baginda daripada Sang Bima//wajahnya laksana menjunjung adat dan hukum yang berlaku dalam
bulan purnama//sebagai dewa turun menjelma//. kerajaan.
Bait tersebut menyajikan suatu sejarah yang “ideal”,
UCAPAN TERIMA KASIH
di mana fakta dan fiksi bergabung yang sengaja
Artikel ini hadir di hadapan pembaca yang
dimunculkan untuk membangun masa lalu yang
budiman, tidak terlepas dari kontribusi beberapa
cocok bagi kekuasaan raja. Sangaji atau Sang Bima
pihak yang selayaknya mendapatkan apresiasi
merupakan tokoh yang sengaja diciptakan dalam
ucapan terima kasih dari penulis, terutama
sejarah kerajaan untuk melambangkan lahir,
kepada Muh. Faizal (Taman Budaya NTB) dan
tumbuh, dan berkembangnya suatu kerajaan.
Muhammad Yamin. Ucapan terima kasih terkhusus
Kecenderungan merajut genealogi raja-raja
kepada Oman Fathurahman yang telah membantu
Bima sampai sejauh tokoh pendiri dinasti Sang
menerjemahkan beberapa judul kitab dalam artikel
Bima, sebagai dasar pembenaran kekuasaan untuk
ini.
mendapat legitimasi kerajaan-kerajaan besar yang
sedang berada di puncak kejayaannya. Orientasi
para raja Bima yang mempertautkan dengan raja-
raja Luwu dan Sawerigading, yang merupakan DAFTAR PUSTAKA
leluhur raja-raja di Sulawesi Selatan merupakan Arsip Nasional Republik Indonesia
fakta yang menunjukkan adanya perkembangan Arsip Kerajaan Bima No. Inv. 28; “Majelis Sjoera’
orientasi dalam upaya memperoleh otoritas Keradjaan Bima 1941”.
kekuasaan. Dapat diperkirakan bahwa perubahan Arsip Kerajaan Bima No. Inv. 28; “Peraturan Kewajiban
orientasi politik ini karena Sulawesi Selatan Galllarang-gallarang Kepala Dalam Daerah
sedang tumbuh sebagai kekuatan politik baru yang Kerajaan Bima”.
mampu mengimbangi kekuasaan Jawa yang mulai Arsip Yayasan Museum Samparaja Bima (YMSB); “Beslit
No. 76 tanggal (Raba-Bima), 19 Nigatsu 2605 [19
merosot. Dengan demikian Bima menjadi muara
Pebruari 1945], Pemerintah Keradjaan Bima”, box
pertemuan antara dua arus kebudayaan, yaitu
5.
dari barat (Jawa) dan dari utara (Bugis-Makassar). Arsip Yayasan Museum Samparaja Bima. “Soesoenan
Historiografi tradisional Bima hendaknya dilihat doedoek segala pangkat Adat dalam Astana di
dari kemungkinan adanya dua pengaruh tersebut Keradjaan Bima”, box 5.
meskipun Bima dapat juga mengembangkan sendiri Abdullah, Abdul Gani. 2004. Peradilan Agama dalam
tradisinya yang khas. Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-
Pencitraan diri sultan sebagai khalifah 1957). Mataram: Lengge.
menujukkan bahwa kekuasaan pertama-tama Abdullah, L. Massir Q. 1981/1982. Bo: Suatu Himpunan
bersumber kepada kemahakuasaan Tuhan. Sebagai Catatan Kuno Daerah Bima. (Mataram:
wakil Tuhan di muka bumi maka apa yang dititahkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Proyek
dan dilakukan sultan merupakan pengejewantahan Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara
Barat.
perintah Ilahiah dan karena itu setiap dou (rakyat)

Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 196
Abdullah, Taufik. 1987. “Dari Sejarah Lokal Ke Kesadaran Kamaruddin, H.D. Mangemba, P. Parawansa, dan M.
Nasional: Beberapa Problematik Metodologis”, T. Mappaseleng. 1985/1986. Lontarak Bilang Raja
Ibrahim Alfian, H.J. Koesoemanto, Dharmono Gowa dan Tallok (Naskah Makassar). Ujung
Hardjowidjono, Djoko Suryo (ed.), Dari Babad Pandang: Proyek Penelitian dan Pengkajian
dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Jogjakarta: Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo
Gadjah Mada University Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ahmad, Abdullah. 1992. Kerajaan Bima dan Loir, Henri Chambert dan Siti Mariam R. Salahuddin
Keberadaannya Jilid 1 dan 2. Naskah, Bima: tp. (peny.). 1999. Bo Sangaji Kai. Catatan Kerajaan
Azra, Azyumardi dan Jajat Burhanudin. 2015. “Sejarah Bima. Jakarta: EFEO-Yayasan Obor Indonesia.
Kebudayaan Islam Indonesia: Institusi dan Noorduyn, J. 1987. “Makassar and the Islamization
Gerakan”, dalam Azyumardi Azra, Jajat of Bima”, dalam Bijdragen tot de Taal- Land en
Burhanuddin dan Taufik Abdullah (editor jilid Volkenkunde van Nederlandsch Indie (BKI), Jilid
3). Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3. 143.
Institusi dan Gerakan. Jakarta: Direktorat Sejarah Patunru, Abdurrazak Daeng. 1967. Sejarah Gowa.
dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. dan Tenggara.
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dn Kekuasaan. Sewang, Ahmad M. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa Abad
Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah XVI sampai Abad XVII. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Bandung: Mizan, Diterjemahkan dari Indonesia.
Islamic Knowledge, Authority and Political Power: Suryadi. 2010. “Sepuluh Surat Sultan Bima Abdul Hamid
The Ulama in Colonial Indonesia.oleh Testriono, Muhammad Syah Kepada Kompeni Belanda”,
Olman Dahuri, Irsyad Rhafsadi. dalam Henri Chambert-Loir, Massir Q. Abdullah,
Damste, H.T. 1941. “Islam en Sirihpuan te Bima Suryadi, Oman Fathuraahman, H. Sitti Maryam
(Sumbawa), Atjehsche Invloeden”?, dalam Salahuddin, Iman dan Diplomasi. Serpihan
Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Sejarah Kerajaan Bima. Jakarta: KPG-EFEO-
Nederlandsch-Indie (BKI), Deel 100. Uitgegeven Dirjen Sejarah dan Purbakala Kemenbudpar.
Door het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- Syamsuddin, Helius (Penyunting). 1993. Bo Mbojo:
en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Historiografi Tradisional Bima (Kronik Bima)
Fathurahman, Oman. 2010. “Pengantar: Jawharat al- Abad ke-17-19. Edisi pertama. Bandung: tp.
ma’ãrif Mempertegas Identitas Kesultanan Islam __________. 1995. “Pertanggungjawaban (rationale)
Melayu”, dalam Henri Chambert-Loir, Massir Pemilihan Hari Jadi/Ulang Tahun Daerah Bima
Q. Abdullah, Suryadi, Oman Fathuraahman, H. Tanggal 5 Juli 1640 M [15 Rabiul Awal 1050 H]”,
Sitti Maryam Salahuddin, Iman dan Diplomasi. Makalah pada Seminar Hari Jadi Bima, 17 Juli
Serpihan Sejarah Kerajaan Bima. Jakarta: KPG- 1995.
EFEO-Dirjen Sejarah dan Purbakala Kemeneg __________. Helius. 2008. “Perubahan Politik dan Sosial
Budpar. di Pulau Sumbawa: Kesultanan Sumbawa dan
Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara Kesultanan Bima (1815-1950)”, Nana Supriatna
dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: dan Erlina Wiyanarti (editor), Sejarah Dalam
Rajawali. Keberagaman. Penghormatan Kepada Prof. Helius
Hitchcock, Michael. 1987. “The Bimanese Kris: Aesthetics Sjamsuddin, MA, Ph.D. Bandung: Penerbit
and Social Value”, special edition Anthropologica Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas
XXIX, dalam BKI, Deel 143. 1e Aflevering, Foris Pendidikan Indonesia.
Publications Holland/USA. Tajib, Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta:
PT. Harapan Masa PGRI.

197 | Jurnal “Al-Qalam” Volume 23 Nomor 2 Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai