Naskah diterima tanggal 4 Oktober 2017. Naskah direvisi tanggal 17 Oktober 2017. Naskah disetujui tanggal 30 Oktober 2017.
Abstrak
Kajian ini menjelaskan wacana Islam yang mempengaruhi proses pembentukan karakter politik melalui
kebijakan penguasa negara yang mengintegrasikan tradisi Islam ke dalam haluan negara. Tujuan para
penguasa di Kesultanan Bima mengadopsi dan mengadaptasikan gagasan nilai-nilai keislaman ke dalam
struktur kenegaraan baru tersebut untuk menjadikan Bima sebagai “bagian dari dunia Islam” (dar-al
Islam), dimulai pada proses islamisasi di awal ke-17, dan pembumian anasir-anasir keislaman tersebut
berlangsung hingga kini. Dalam konteks ini, Islam menjadi elemen penting dalam kehidupan kenegaraan
dan kaum ulama menjadi bagian elite kekuasaan. Modus integrasi dan klaim sebagai negara yang berbasis
ideologi Islam, mendorong para penguasa Bima bertindak lebih ambisius melalui kebijakan politik
kenegaraan yang ofensif. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, rangkaian
proses penelusuran sumber pada teks berupa naskah dan dokumen kearsipan. Dua sumber tersebut
kemudian ditelaah melalui seleksi, kritik dan interpretasi untuk mencari dan menemukan konektivitas
antarbahan. Kajian ini bertujuan untuk menerangkan pertautan yang kuat antara gagasan keislaman
dengan formasi negara yang sedapat mungkin menampilkan dirinya sebagai wakil yang sah dari sebuah
contoh “islam dan negara” yang ideal. Diskursus Islam dan karakter politik yang berkembang memberi
ruang baru bagi munculnya kelompok ulama yang mengambil posisi yang cukup penting dalam negara.
Tidak sekadar sebagai penasehat spiritual tetapi juga berperan memberi legitimasi bagi praktik politik
penguasa muslim. Dinamika ini, mengantarkan Kesultanan Bima mengklaim dirinya sebagai pusat
kekuasaan yang kemudian menjadi basis perkembangan politik, intelektual, dan budaya Islam di Nusa
Tenggara.
Kata kunci: sejarah, Islam, karakter, politik, negara.
Abstract
This study explains the discourse of Islam prevailing the process of constituting political character through
the policy of state authorities that integrate the Islamic tradition into the country’s direction. The aim of the
rulers of the Sultanate of Bima adopted and adapted the idea of Islamic values into the new state structure
to make Bima a “part of the Islamic world” (dar-al Islam), beginning in the process of Islamization at the
beginning of the 17th, Islamic heritage lasted until now. In this context, Islam became an important element
in the life of the state and the scholars became part of the power elite. The mode of integration and claim
as a country based on Islamic ideology, encouraging the rulers of Bima to act more ambitiously through
offensive political state policy. The method used in this study is the historical method, a series of source
tracking processes in text in the form of manuscripts and archival documents. These two sources are then
examined through selection, criticism and interpretation to seek and discover interconnectivity. This study
aims to explain the strong link between the idea of Islam
and the formation of a state that can best present
itself as the legitimate representation of an ideal “Islam and state” example. The Islamic discourse and the
growing political character gave a new space for the emergence of a clerical group that have held important
position within the state. The position cover not only as spiritual advisor but also as formal body that plays
a important role in legitimizing the political practice of Muslim rulers. This dynamic, led the Sultanate of
Bima claimed itself as a center of power which later becomes the basis of political development, intellectual,
and Islamic culture in Nusa Tenggara.
Keywords: history, Islam, character, politics, country
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 184
PENDAHULUAN Di Bima seorang sultan dipanggil dengan
S
ruma, tetapi istilah ruma mengandung makna yang
ebuah ungkapan yang menggambarkan
lain pula, yakni Allah. Pemaknaan ruma sebagai
pencitraan diri seorang sultan sebagai penguasa
Allah bukan dalam konteks untuk menganalogikan
negeri, masih tersimpan dalam tradisi lisan
keesaan Tuhan dan sultan sebagai pencipta dan
orang Bima sebagai ingatan kolektif hingga kini,
mahluk yang diciptakan, melainkan untuk memberi
seperti terekam dalam stanza:
nilai kesakralan kepada sultan sebagai khalifah
Kidi di hidi ma Berdiri di tempat yang tinggi Allah di muka bumi. Itulah yang mendasari
ese pengintegrasian ruma sebagai ruma sangaji (raja
Sera ma kalau, Di dataran yang lapang dan yang mulia), ruma ka’u (raja yang agung), dan ruma
so ma paja sawah yang luas terbentang su’u (raja yang dijunjung) dalam cara pandang
Di ntanda ka Agar bisa memandang orang Bima terhadap pemimpin mereka. Struktur
sabua, eda ka menyeluruh, melihat yang pembentukkan kekuasaan sultan sebagai khalifah
sama sama adalah wujud normatif dari pengemban tugas
memerintah dan mempunyai kekuasaan untuk
Ada na sa dana Rakyat seluruh negeri Bima,
menyelenggarakan pemerintahan (Abdullah, 2004:
Mbojo, hawo ro berada di bawah naungan dan
123).
ninu. lindungannya (Abdullah Tajib,
Sebagai khalifah dan kepala negara, sultan
1995: 28-29).
harus menempatkan semua kepentingan publik di
Metafora sebagai hawo ro ninu (yang atas hak-hak pribadi. Sebagai pusat percontohan,
menaungi dan melindungi) merupakan refleksi sultan bukan sekadar sosok yang tunggal tetapi
ideal seorang sultan yang mempersonifikasikan menjadi pribadi yang egaliterian, sumber dari
dirinya sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi segala pranata dunia nilai-nilai yang mengatur
(zhillu a-Llâh ta ‘âlâ fi al-ardli) yang percaya orde sosial. Di sini Islam berfungsi melegitimasi
kepada Tuhan, dan Raja Yang Maha Mulia (al- kekuasaan sultan bahkan negarapun mengislamkan
wāthiq billāh al-rabb al-madjid) seperti tertulis dirinya (the state converted to Islam) secara simbolik
dalam inskripsi sebuah stempel Sultan Bima agar dipandang sebagai bahagian dari dunia
Abdul Hamid di abad ke-18 (Suryadi, 2010: 138). Islam (dar-al Islam). Maka dengan begini, unsur-
Dari perspektif ini sultan adalah teladan yang unsur yang bukan berjiwa atau tidak memiliki roh
memberi inspirasi, membangkitkan semangat Islam disingkirkan. Di sinilah proses pembumian
untuk mengabdi kepada rakyat dan negeri secara nilai-nilai Islam lewat historiografi lokal yang
menyeluruh dan berkeadilan (Ahmad, 1992: 102). menampilkan corak kebudayaan Islam bermula dan
“Aku jatuhkan rahasia ini kepadamu (rakyatku), menjadi awal kebangkitan identitas lokal dengan
aku menjadi nyawa dan kamu sekalian menjadi menggunakan tradisi sebagai latarnya.
tubuh” (Loir dan Siti Mariam 120). Ikrar kesetiaan Istilah kebudayaan Islam dalam konteks ini
ini kemudian diteruskan dengan janji: “tuanku mengacu pada kondisi di mana Islam berfungsi
adalah raja dan kami menjadi hamba, tuanku sebagai sistem makna yang secara sangat berarti
menjadi angin kami sekalian daun kayu. Di mana menentukan kehidupan kaum Muslim, mulai dari
angin bertiup di situlah daun terbang, dan di mana pandangan dunia (weltanscahuung), pemikiran,
diperintahkan nyawa di situlah badan mengikut” sikap sosial-politik dan keagamaan, praktik-praktik
(ANRI, AKB No. Inv. 28). ritual, institusi dan gerakan, cita rasa (bahasa,
Ungkapan di atas menggambarkan sebuah sastra, dan seni), hingga benda-benda peninggalan
relasi yang dibangun berdasarkan konsep pertuanan (heritage) yang terkait dengan konsepsi dan
dengan ikatan kesetiaan yang mengibaratkan diri pemaknaan keagamaan. Dengan demikian,
ruma (sultan) laksana nyawa yang menjadi sumber istilah kebudayaan Islam tersebut mengacu pada
penghidupan bagi dou (rakyat), dan dana (negara). dimensi keislaman yang sudah terinstitusionalisasi
Sultan ( )سلطانyang berarti kuat dan kuasa (Hubert, sedemikian rupa sehingga Islam telah berfungsi
1980: 422) adalah pemimpin tertinggi sebuah sebagai sumber makna bagi kaum Muslim untuk
negara Islam yang dipandang sebagai orang suci; memaknai dunia, diri dan hubungan sesama mereka
pengemban Rasul Allah (khalîfah Rasûl al-Lâh) dan (Azra & Jajat Burhanudin, 2015: 2-3).
kepala negara (amirul mukminin). Dari paparan di atas maka muncul
permasalahan yang perlu mendapatkan penjelasan
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 186
Noorduyn sehingga sejarah Bima dapat dilihat memadai. Arsip-arsip ini terdapat di ANRI Jakarta
dengan pendekatan yang lebih luas. maupun di PNRI. Meskipun begitu kritik terhadap
I Gde Parimartha (2002) telah menambah sumber arsip perlu dilakukan untuk menghindari
pengetahuan kita tentang Bima lewat buku berjudul ketimpangan yang selalu muncul.
Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-
METODE PENELITIAN
1915. Parimartha mengkaji Nusa Tenggara dari
Studi ini menggunakan metode sejarah
perspektif ekonomi-perdagangan, struktur sosial-
dengan analisis data kualitatif yang dilakukan secara
politik di tingkat lokal, hubungan pusat-pinggiran,
deskiptif sistematik (systemic approach). Metode
dan ekspansi perdagangan global. Karya ini
sejarah adalah serangkaian tahapan penelitian yang
merupakan tulisan pertama yang memaparkan
terdiri dari pemilihan topik yang tepat, mencari
Nusa Tenggara sebagai suatu kesatuan geografis
sumber-sumber sejarah yang relevan (heuristik),
dengan titik awal meletusnya Gunung Tambora
menilai sumber-sumber sejarah yang diperoleh
(1815). Secara spasial dan kronologi studi ini amat
(kritik sumber), sintesa fakta yang diperoleh dari
luas sehingga banyak wilayah (termasuk Bima)
kritik sumber (interpretasi) serta menyajikannya
kurang mendapat perhatian. Sumber-sumber
dalam bentuk tertulis (historiografi).
lokal Bima seperti bo tidak digunakan sama sekali.
Sumber-sumber yang digunakan dalam studi
Historiografi yang dihasilkan memperlihatkan
ini mengandalkan pada beberapa jenis bahan dengan
kecenderungan adanya “ketidakseimbangan”
lebih mengutamakan sumber primer yang tersedia
antara dunia barat (Lombok) dengan jazirah timur
di beberapa tempat. Sumber primer tidak semuanya
(Sumbawa dan Bima). Bima dipandang sebagai
mengacu pada peristiwa yang hendak diteliti tetapi
periferi dari kekuatan-kekuatan besar.
bisa menggambarkan situasi, aktor yang terlibat,
D. F. van Braam Morris menyusun laporan
struktur yang bermain dan sarana yang digunakan
perjalanannya ke Bima yang diberi judul ”Nota van
dalam totalitas peristiwa. Data primer bukanlah
Toelichting Behoorende bij het Contract Gesloten
bank data yang banyak menyimpan peristiwa
met het Landschap Bima op den 20 Oktober 1886,
dan subyek historisitas, ia hanyalah pancaran
aan de Regering Ingediend door den den Gouverneur
informasi yang dengan kemampuan analisis
van Celebes en Onderhoorgheden” (Nota Penjelasan
tertentu bisa dijelaskan maknanya. “Semuanya
yang terlampir pada kontrak yang dibuat dengan
tidak memperlihatkan dirinya sebagai “barang yang
daerah Bima pada 20 Oktober 1886 diajukan kepada
siap pakai”. Lubang-lubang selalu terdapat dan
pemerintah oleh Gubernur Sulawesi dan Daerah
pertentangan bukti-bukti merupakan kemungkinan
Bawahannya) dimuat dalam TBG tahun 1891
yang tidak pula mengejutkan (Abdullah, 1987: 248).
(hlm. 176-233). Laporan tersebut berisi deskripsi
Sumber data primer ini bisa diperoleh di Arsip
tentang wilayah Bima, sistem pemerintahan,
Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI (Jakarta)
kependudukan, dan perdagangan. Sebagai seorang
dan Yayasan Museum Samparaja Bima. Sumber
pejabat tinggi Belanda (Gubernur Sulawesi dan
primer tidaklah cukup untuk mengisi semua ruang
Daerah Bawahannya) yang berkedudukan di
analisis dari beberapa aspek yang dibahas, karena
Makassar, Morris tidak dapat menghindari sudut
itu diperlukan bantuan dari jenis bahan yang lain,
pandang kolonial dalam laporannya. Morris
yaitu sumber sekunder.
memandang bahwa Belanda berhasil mengubah
Seperti halnya sumber primer sumber
kebiasaan masyarakat yang suka madat, mengisap
sekunder pun harus diklasifikasi, ditelaah, dan
candu kepada terbentuknya tatanan masyarakat
dikritik berdasarkan asal sumber, isi dan relevansinya
baru yang tertib dan taat hukum. Gejala munculnya
terhadap obyek kajian. Dengan demikian
perlawanan terhadap Belanda tidak diceritakan
mekanisme “mencari dan mengumpulkannya”
sama sekali. Dalam konteks itu laporan ini tidak
harus dilakukan dengan cara menggabungkan
sepenuhnya dapat dijadikan referensi dasar untuk
teknik penelitian kepustakaan, arsip dan riset
memperoleh gambaran masyarakat Bima pada
lapangan melalui observasi maupun wawancara.
tahun 1850-an.
Dengan begini “mengetahui bagaimana mengetahui
Selain sumber-sumber yang disebutkan di
sejarah” dan upaya eksplanasinya pun harus dapat
atas terdapat pula bahan-bahan arsip yang cukup
menghubungkan kausalitas antar peristiwa, antar
tersedia dibanding sumber jenis lain, misalnya bo
pelaku bahkan dari locus yang terpisah sekalipun.
dari periode yang sezaman sehingga memungkinkan
Namun kita seringkali diperhadapkan pada masalah
penulis untuk menggunakannya dalam jumlah yang
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 188
2004: 74). karena persamaan ideologi dan solidaritas 1985/1986: 91). Pemberontakan tersebut disebabkan
keagamaan (Islam). oleh ketidaksetujuan rakyat terhadap sultan yang
Karena itu, ada tiga opsi untuk membuka membangun aliansi dengan Gowa. Pemberontakan
jalan menyebarkan ideologi negara dan politik berlangsung atas bantuan Raja Dompu. Menurut
kerajaan, yaitu melalui jalur diplomasi, perkawinan, catatan Pelabuhan Batavia pada 1633, sebuah kapal
dan jika bujukan serta dakwah dianggap gagal maka Belanda yang baru lewat di Bima melihat “semua
pilihan terakhir adalah perang. Strategi inilah yang sawah, rumah, dan desa dibakar dan dihancurkan
ditempuh Kerajaan Gowa ketika gagasan perluasan oleh armada Makassar dengan kekuatan 400 perahu
wilayah diperdebatkan dan ketika rencana dan aksi dan ribuan orang, yang atas suruhan Raja Gowa
politik sudah dirumuskan. Maka, hasilnya penguasa Sultan Alauddin untuk memulihkan tahta iparnya
diujung barat Pulau Sulawesi, yakni Raja Mandar Raja Bima Abdul Kahir yang baru digulingkan”
menyatakan keislamannya pada tahun 1607, (ANRI, Dagh-Register, 23 Mei 1633 seperti dikutip
Datu Soppeng mengucapkan syahadat pada 1609, oleh Loir dan Siti Maryam,1999: xvii).
Arung Matoa Wajo La Sangkuru pada 1610. Dua Atas bantuan Raja Gowa yang mengirim
tahun kemudian (1611) Raja Bone La Tenripale pasukan militernya yang dipimpin Karaeng ri
Toakkepeang mengucapkan syahadat, mengakui Burakne pada 25 November 1632, pemberontakan
keesaan Tuhan dan Muhammad SAW adalah dapat dipadamkan. Pada 7 April 1633 Karaeng ri
Rasulnya (Sewang, 2005: 116-119). Burakne kembali dari Bima, dan pada 21 Juni 1633
Setelah hampir seluruh kerajaan besar di orang Bima datang menghadap Raja Gowa untuk
Sulawesi Selatan diislamkan oleh Gowa, maka berikrar; “nabattu kalenna Bimaya, makanami
perhatian selanjutnya adalah Pulau Sumbawa dengan karaenga ammiomi“ (bersabdalah raja dan orang
tujuan utama, selain misi pengislaman, adalah Bima pun mengiyakan) (Kamaruddin, dkk,
menjadikan pulau tersebut sebagai basis perdagangan 1985/1986: 15-16). Meskipun orang Bima telah
dan politik serta mengurangi dominasi Jawa di menyatakan kesetiaannya kepada raja namun, pada
wilayah selatan Kerajaan Gowa ini. Dalam buku 12 Agustus 1639 tersiar kabar bahwa orang Bima
catatan harian Kerajaan Gowa-Tallo yang bersumber akan memberontak lagi. Raja Gowa menyikapinya
dari naskah Makassar lama seperti Lontarak Bilang, dengan mengirim tim untuk menyelidiki dan
menyebutkan bahwa “nanta’le ri Bima I Lukmuk memastikan bahwa keamanan dan perdamaian
ri Mandallek, nanabeta Bima; salapanji batunna” dapat segera terwujud di wilayah itu (Patunru,
(Panglima Kerajaan Gowa I Lukmuk ri Mandallek 1967: 151-153).
dengan iringan sembilan armada kapal perang Kisah penaklukkan di atas hanya bisa
mencoba untuk pertama kalinya menaklukkan Bima ditemukan dalam sumber-sumber Gowa. Sementara
pada bulan April 1616) (Kamaruddin dkk, 1985/1986: sumber-sumber Bima seperti bo, tidak satupun
88). Dengan dalih untuk “mengajak para penguasa mencatat peristiwa tersebut. Yang pertama-tama
seberang menemukan cahaya kebenaran lewat mendapat perhatian di dalam kronik Bima adalah
dinul Islam, ajaran yang baru saja dideklarasikan peristiwa “masuknya Islam di tanah Makassar
oleh Kerajaan Gowa sebagai agama resmi negara, pada 1606” (Syamsuddin, 1993: 1)1. Padahal
maka ekspansipun mulai dilancarkan. Namun, peristiwa penaklukkan tersebut adalah fase krusial
tidak berhasil karena Bima mengerahkan segala kebangkitan relasi antarkedua kerajaan yang sedang
kekuatannya untuk melakukan perlawanan. Keadaan berupaya keras memperluas jaringan kekuasaan.
ini memaksa Raja Gowa ke-14 I Manga’rangi Daeng Gowa dengan kemampuan teknologi maritimnya
Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna telah menguasai seluruh Sulawesi Selatan, dan Bima
(memerintah 1594-1639) untuk mengirim armada dengan basis agraris dan armada lautnya sedang
perang kedua pada bulan Juni 1618 di bawah giat memainkan peran politik penting di Pulau
komando Karaeng Maroanging. Bima akhirnya Sumbawa dan Pulau Flores.
berhasil ditaklukkan, tetapi pada bulan Juni 1626 Membaca kembali kisah yang digambarkan
Bima kembali memberontak dan dipaksa menyerah dalam sumber-sumber Makassar di atas
sebulan kemudian (3 Juli 1626), termasuk Dompu
dan Tambora (Kamaruddin dkk, 1985/1986: 88-90). 1 Laporan penelitian yang belum diterbitkan ini
Pada 13 November 1632 orang-orang Bima merupakan suntingan atas naskah almarhum Haji
memberontak terhadap Sultan Abdul Kahir Ahmad Rato Rasa Na’e (atau disebut juga naskah Prof.
(memerintah 1620-1640) (Kamaruddin, dkk, Held).
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 190
Melayu telah menjadi gurunya sultan dan Tanah menyiapkan rotan, benang, kasumba dan lain-lain
Bima, yang memasukkan agama Islam. Mereka (Loir dan Siti Maryam, 1999: 58-59) Pernyataan
juga telah berjasa berperang melawan perompak tersebut menjadi tanda pengakuan kedua pihak
yang amat menyusahkan kehidupan orang Bima. terhadap peran orang-orang Melayu dalam
Maka tiada lain balasan sultan, mengakui mereka membangun kerajaan, dan sultan menghargai hal
sebagai sanak saudara yang kekal. Karena itu, tersebut dengan mengekalkan perjanjian.
sultan memberikan sebidang tanah yang sekarang Perluasan usaha islamisasi Bima yang
dijadikan Kampung Melayu untuk menjadi hak diletakkan orang-orang Melayu yang paling besar
pusakanya hingga kiamat. Tidak boleh dipindahkan dalam kerajaan dapat dilihat melalui dua aspek
atau diambil kembali kampung tersebut kecuali utama, yaitu konstruksi pranata kelembagaan
atas keridhaan orang Melayu sendiri. Tanah di Islam, dan munculnya gagasan-gagasan politik
sebelah selatan Kampung Melayu dan sebelah utara kenegaraan yang bercorak keislaman. Pertama,
Sungai Melayu di Sokedo diberikan untuk menjadi adalah pembentukan struktur kelembagaan yang
sawah, sumber penghidupannya, akan tetapi para menjadi pilar utama penopang beroperasinya
datuk dan ince menolak karena mereka tidak biasa roda pemerintahan, yaitu lembaga syara’ hukum
mengerjakan sawah. Mereka hanya biasa berlayar yang bernama ”majelis syariah”. Lembaga yang
dan berdagang, dan karena itu orang Melayu mengembangkan kesadaran massa untuk patuh
meminta kepada sultan agar dibebaskan dari segala dan taat pada azas hukum Islam ini dipimpin oleh
biaya oleh syahbandar (Loir dan Siti Maryam, 1999: ulama terkemuka dengan gelar ”Kadi”. Lewat Kadi
58-59). inilah hukum Islam (syariat) dirumuskan dan fatwa
Sultan juga menyerahkan perkara hukum dikeluarkan. Dengan demikian, ulama memegang
agama ditangani sendiri oleh penghulu dan Imam peranan sentral dalam meregulasi dan menentukan
Melayu di dalam kampungnya kecuali perkara adat kehidupan keagamaan umat Islam (Burhanuddin,
yang belum diputuskan oleh penghulu, diperiksa 2012: 37).
oleh syahbandar yang memegang Bumi Luma Pada masa-masa awal pembentukan
atau oleh Tureli Nggampo dengan pertimbangan kesultanan, penyelesaian terhadap pihak-pihak
Penghulu Melayu. Selanjutnya sultan tidak boleh yang bersengketa dilakukan melalui sebuah cara
mengambil anak perempuan Melayu menjadi yang oleh Abdul Gani Abdullah (2004) disebut
pelayan di istana kecuali anak laki-laki untuk sebagai model ”tahkim”. Tahkim yakni sebuah
menjadi dambe mone2 bagi anak para rato3 bentuk pengadilan yang terjadi di suatu tempat
atau yang menari pada waktu acara “sirih puan” yang belum memiliki lembaga peradilan formal
dalam bulan Maulud yang dikerjakan oleh atau belum terjangkau oleh wilayah hukum suatu
Penghulu Melayu dengan segala anak buahnya. institusi peradilan yang dibentuk secara khusus
Maka diwajibkan kepada bangsa Melayu yang dalam negara (Abdullah, 2004: 158).
ada di Sape, Bolo, Kae dan di watasan Bima Setelah dibentuk majelis syariah praktik
berkumpul di Kampung Melayu, mengerjakan peradilan ”tahkim” makin berkurang sehingga
“sirih puan” dengan biaya yang ditanggung lembaga peradilan formal dapat menjalankan tugas
masing-masing, diserahkan kepada penghulu dan fungsinya dengan baik. Pemerintah kesultanan
berupa uang, beras, kerbau, kelapa, manisan, berkeyakinan bahwa dengan pembentukan majelis
sirih pinang, dan lain-lain. Maka syahbandar syariah atau syara’ hukum akan dapat mengikis
menyediakan kertas warna dan empat dari4 sikap keraguan terhadap kaidah fiqh dalam dimensi
spiritualitas orang Bima bahwa maja labo dahu,
2 Dambe mone adalah anak laki-laki yang ditugaskan (maja [malu] bagi orang yang beriman, labo [dan]
untuk menjadi biduan di istana, mereka bertugas dahu [takut] bagi orang yang bertaqwa), yang
menemani anak-anak sultan serta membawa perkakas menjadi jargon ideologi bersama dapat bersenyawa
pada waktu diadakan upacara (Henri Chambert-Loir dan
dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Siti Maryam Salahuddin, Bo Sangaji Kai… 1999: 628).
Struktur kelembagaan majelis syari’ah terdiri
3 Rato, yaitu gelar bangsawan yang lebih reendah
dari Ruma yang dianugerahkan sultan kepada para Bumi dari ketua majelis (rais al-majelis), penasehat
(Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, Bo
Sangaji Kai… (1999: 636). dan mempunyai tugas khusus terhadap istana (Henri
4 Dari, yaitu kelompok masyarakat berdasarkan Chambert-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, Bo Sangaji
keturunan. Setiap dari dikepalai oleh seorang anangguru Kai… (1999: 628).
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 192
Allah Ta’ala” (Abdullah, 1981/1982: 3). Dan lebih Persamaan itu antara lain, menyangkut pribadi
dari itu mitos kerajaan pun dirombak dan ditulis raja yang harus “mengabdi dan menyerahkan diri
kembali agar sesuai dengan semangat agama baru. kepada Allah, berbuat adil terhadap rakyat, memberi
Usaha itu memperlihatkan bahwa di lingkungan nasehat kepada menteri dan hulubalangnya.”
istana telah ada satu golongan elite terdidik yang (Fathurahman, 2010: 195-196, 198).
mampu meleburkan mitos setempat dalam alam Oleh karena itu, untuk menjadi seorang
sejarah semesta serta mengaitkan wangsa raja Bima sultan yang zhillu a-Lâh ta ‘âlâ fi al-ardli (bayang-
kepada satu sumber kekuasaan yang lebih tinggi bayang Tuhan di bumi), seperti yang menjadi
(Loir, 2004: 65). Jadi, bisa dimengerti mengapa keinginan sebagian besar para sultan di Asia
raja-raja dari masa pra-Hindu dan zaman Hindu Tengah pada umumnya, dan yang mempengaruhi
tidak mendapat tempat yang luas dalam khasanah pikiran sultan-sultan di Nusantara pada abad ke-
historiografi Bima lama maupun dalam sejarah 16-20, maka ia harus memenuhi enambelas kriteria,
kontemporer. sebagai berikut; pertama, berakal; kedua, berilmu;
ketiga; dapat menahan amarah. Keempat, elok
Sultan: Representasi Sangaji dan Khalifah
parasnya. Kelima, mengetahui bagaimana cara
Dalam tradisi pemilihan dan pengangkatan
memacu kuda. Keenam, perkasa. Ketujuh, berbicara
sultan sebagai pemimpin negara maka prasyarat
dengan santun, perlahan-lahan. Kedelapan, baik
utama yang ditelisik adalah garis silsilah yang
perangainya. Kesembilan, insyaf pada segala
secara hierarkis dapat menunjukkan asal generasi
yang teraniaya daripada segala yang menganiaya.
dan keturunannya. Bahwa sultan atau calon
Kesepuluh, mengasihi dan menolong rakyat yang
penggantinya harus berasal dari keturunan Sangaji
mengalami kesulitan. Kesebelas, memaafkan
(londo Sangaji) yang diperoleh lewat perkawinan
kesalahan rakyat sesuai hukum syara’ yang berlaku.
yang sah menurut adat dan hukum Islam yang
Keduabelas, memberi pekerjaan agar rakyat tidak
kelak mempunyai hak untuk menempatkan dirinya
mengalami kesusahan, kelaparan. Ketigabelas,
sebagai Ruma Sangaji. Sebagai Ruma Sangaji,
senantiasa membaca Kitab Qisas al-anbiya [Kisah-
sultan harus mampu menunjukkan kepada publik
kisah para Nabi], Kitab Bidayat al-hidayah [Awal
keunggulan-keunggulan personal sebagai yang
Petunjuk/Hidayah] dan Kitab Ihya ‘ulum al-din
mewarisi tahta dengan memenuhi kriteria yang
[Menghidupkan Ilmu Agama] karya Imãm al-
diatur di dalam pedoman nggusu waru (delapan
Gãzãli atau membaca kitab raja-raja terdahulu agar
pilar) kepemimpinan tradisional, yaitu; 1). Ma to’a
menjadi contoh dan teladan dalam memerintah.
di Ruma labo Rasul (taat kepada Allah dan Rasul),
Keempatbelas, mengikuti perangai raja-raja
2) ma loa ro bade (cerdas dan bijaksana), 3) ma
terdahulu [yang baik]. Kelimabelas, memeriksa
mbani ro disa (gagah dan berani), 4). ma bisa ro
perangai hal-ihwal dirinya dan kerabatnya
guna (wibawa dan kharismatik), 5). ma tenggo ro
dan mengikuti perbuatan raja-raja terdahulu.
wale (kuat dan gigih), 6). mantiri nggahi ro kalampa
Keenambelas, jangan terlena dengan urusan dunia
(jujur, sesuai ucapan dan perbuatan), 7). mantiri fiki
dan mengabaikan urusan akhirat (Fathurahman,
ro paresa (adil dan seksama), 8). londo dou mataho
2010: 203-204).
(keturunan yang baik) (Ahmad, 1992: 76, 87).
Sultan sebagai representasi Sangaji yang
Prinsip-prinsip kepemimpinan seperti
malondo (menurunkan) raja-raja Bima, mencoba
yang disimbolkan di dalam arsitektur bangunan
mempertahankan kesatuan dan kemurnian
“bersegi delapan” (octagonal) tersebut mungkin
derajad kebangsawanan dengan mengikuti suatu
sekali dipengaruhi oleh teks-teks fiqh Islam yang
pembatasan yang ketat dalam identitas sosialnya.
berkembang di dunia Melayu Nusantara pada
Karena itu sultan hanya bisa melakukan perkawinan
abad ke-17. Pedoman tersebut juga memiliki
dengan kelompok setara yang dipandang masih
banyak persamaan dengan risalat Jawharat al-
memiliki hubungan dengan Sangaji. Sultan tidak
ma’ãrif (Permata Ilmu Makrifat) karya Haji Nur
diperbolehkan melangsungkan perkawinan dengan
Hidayatullah al-Mansur Muhammad Syuja’uddin.
putri tureli nggampo yang masih termasuk kerabat
Di dalam risalat “Permata Ilmu Makrifat” itu telah
dekatnya. Hal itu untuk mencegah agar sultan tidak
diatur sebuah “hukum atau adab ketatanegaraan”
berada di bawah pengaruh tureli nggampo tetapi
yang harus dilakukan oleh seorang penguasa,
tanpa ketentuan itupun semuanya bisa terjadi. “Di
raja atau sultan baik yang berhubungan dengan
luar itu sultan bisa memilih seorang istri dari semua
rakyat maupun dirinya (Fathurahman, 2010: 191).
golongan” (Jasper, 1908: 121).
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 194
istana sultan, yang biasa disebut Asi Kalende yang Meskipun jumlah dan strukturnya berbeda
sekaligus berfungsi sebagai kantor. Di sana, dengan pada masa tersebut namun sultan tetap merupakan
menggunakan ruangan yang terbuka dengan pilar sumber utama keabsahan politik, walau kekuasaan
simbolis, para tureli duduk bersidang dan pada yang sesungguhnya dilaksanakan oleh tureli
kesempatan ini tureli nggampo akan berada di nggampo yang bertindak atas nama sultan.
sebelah barat kelompok itu, arah Mekah dan tempat
PENUTUP
tinggal leluhur mereka, Sang Bima.
Pada masa pra-Islam, hubungan budaya dan
Sebaliknya, dua bagian lain lebih banyak
niaga di Pulau Sumbawa tampaknya berlangsung
berurusan dengan masalah agama dan hukum.
dengan pulau-pulau di sebelah barat, terutama
Salah satunya yang berpusat di mesjid agung,
Jawa. Situasi ini sangat berubah dengan kedatangan
sebuah bangunan yang letaknya strategis antara dua
Islam, yang disebarkan oleh orang-orang Melayu
istana, berurusan dengan hukum Islam mengingat
yang datang dari Makassar. Sejak saat itu pengaruh
bagian lain yang terletak di Kampung Dara,
budaya dan politik Makassar sangat dominan.
dipimpin oleh seorang ahli dalam bidang hukum
Tidak mengherankan bila sejumlah informasi
adat. Tugas menengahi antara tiga bidang ini berada
sejarah tentang Islamisasi Bima ditemukan dalam
pada sultan, yang dianggap murni secara ritual dan
laporan Makassar
karena itu tidak mungkin berbuat salah. Sebagai
Pengaruh besar yang muncul pada masa
tanda kekuasaannya, pada saat upacara tertentu
yang paling awal adalah perubahan keyakinan dan
sultan mengenakan keris pusaka “Samparaja”
akidah umat, di mana Islam diterima sebagai agama
sebagai simbol persatuan negara (Hitchcock, 1987:
masyarakat Bima yang diikuti dengan pernyataan
128-129).
Sultan Abdul Kahir untuk mengakui bahwa Islam
Aturan kedudukan pejabat di Balai Kebesaran
sebagai agama resmi kerajaan. Sejak itu sistem ilmu
Tanah Bima yang ditampilkan di atas merupakan
pengetahuan, teknologi maritim dan pertanian
model yang sudah mengalami transformasi sosial
model Makassar diadopsi, tradisi menulis hikayat
dan politik pasca pemerintahan Sultan Abi’l Khair
istana yang bernuansa sastra dan sejarah seperti
Siradjuddin pada abad ke-17. Jumlah jabatan dan
lontarak di Gowa dan bo di Bima dimulai. Semangat
kepangkatan amat banyak. Selain sultan yang
kewirausahaan penguasa-pedagang segera ditiru,
berada pada puncak hierarki, maka terdapat tiga
bahasa dan kesenian mulai saling mempengaruhi
jenis pejabat tinggi kerajaan yang mempunyai
dan perkawinan lintas budaya segera dilangsungkan.
perangkat dan struktur organisasi masing-masing.
Konektivitas dengan dunia Melayu bermula
Kadi mempunyai 29 pejabat pembantu yang
ketika terbentuknya jaringan transmisi interinsuler
bertanggungjawab atas tugas dan kewajiban yang
melalui aktivitas perdagangan. Dunia melayu yang
diberikan kepadanya. Tureli nggampo (raja bicara)
kental dengan corak keislamannya ini kemudian
membawahi 44 pejabat pemerintahan sedangkan
tumbuh dan berkembang menjadi suatu komunitas
Imam mengatur 20 orang aparatur kerajaan yang
Islam yang inklusif. Oleh karena itu tidak
mengurus masalah-masalah keagamaan. Struktur
mengherankan jika ajaran Islam meresap dalam
sebelumnya menunjukkan kesederhanaan secara
tradisi, yang menyelimuti berbagai upacara dan
hierarkis karena pola akomodasi yang sangat kecil
tindakan-tindakan simbolik dalam dunia mereka
sehingga pucuk pimpinan (sultan) tidak memiliki
dan dalam lingkungan yang lebh luas. Bersamaan
jejaring kekuasaan yang luas sampai ke level paling
dengan tumbuhnya komunitas Muslim baru
bawah. Karena itu dapat dimengerti mengapa pada
tersebut maka muncul pula konflik, akulturasi dan
era selanjutnya penataan struktur segera dilakukan
akomodasi antara Islam dengan tradisi lokal, yang
mengingat makin banyak dan beragamnya masalah
seringkali menjadi momentum bagi pembentukan
dan tantangan yang dihadapi. Sebelum abad ke-18
entitas politik Islam yaitu negara yang berbentuk
hanya ada dua jabatan, selain sultan, dalam sruktur
kerajaan atau kesultanan.
pemerintahan, yaitu tureli nggampo (membawahi
Karena itu, tidak mengherankan jika di
24 jabatan dalam bidang pemerintahan), dan Kadhi
lingkungan istana, tumbuh pemikiran Islam yang
mengatur 26 pejabat di bawahnya. Dalam struktur
berorientasi raja, yang dirumuskan misalnya dalam
yang lama jabatan Imam Kerajaan, dengan segala
berbagai istilah yang mencerminkan eksistensi raja-
perangkatnya belum menjadi bagian dari struktur
sufi. Bersamaan dengan itu, doktrin Islam di bidang
pemerintahan yang ada (Loir dan Siti Maryam,
hukum (fikih), tafsir, teologi, dan sejarah juga mulai
1999: 9-10).
Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima - Muslimin AR. Effendy | 196
Abdullah, Taufik. 1987. “Dari Sejarah Lokal Ke Kesadaran Kamaruddin, H.D. Mangemba, P. Parawansa, dan M.
Nasional: Beberapa Problematik Metodologis”, T. Mappaseleng. 1985/1986. Lontarak Bilang Raja
Ibrahim Alfian, H.J. Koesoemanto, Dharmono Gowa dan Tallok (Naskah Makassar). Ujung
Hardjowidjono, Djoko Suryo (ed.), Dari Babad Pandang: Proyek Penelitian dan Pengkajian
dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Jogjakarta: Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo
Gadjah Mada University Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ahmad, Abdullah. 1992. Kerajaan Bima dan Loir, Henri Chambert dan Siti Mariam R. Salahuddin
Keberadaannya Jilid 1 dan 2. Naskah, Bima: tp. (peny.). 1999. Bo Sangaji Kai. Catatan Kerajaan
Azra, Azyumardi dan Jajat Burhanudin. 2015. “Sejarah Bima. Jakarta: EFEO-Yayasan Obor Indonesia.
Kebudayaan Islam Indonesia: Institusi dan Noorduyn, J. 1987. “Makassar and the Islamization
Gerakan”, dalam Azyumardi Azra, Jajat of Bima”, dalam Bijdragen tot de Taal- Land en
Burhanuddin dan Taufik Abdullah (editor jilid Volkenkunde van Nederlandsch Indie (BKI), Jilid
3). Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3. 143.
Institusi dan Gerakan. Jakarta: Direktorat Sejarah Patunru, Abdurrazak Daeng. 1967. Sejarah Gowa.
dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. dan Tenggara.
Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dn Kekuasaan. Sewang, Ahmad M. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa Abad
Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah XVI sampai Abad XVII. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Bandung: Mizan, Diterjemahkan dari Indonesia.
Islamic Knowledge, Authority and Political Power: Suryadi. 2010. “Sepuluh Surat Sultan Bima Abdul Hamid
The Ulama in Colonial Indonesia.oleh Testriono, Muhammad Syah Kepada Kompeni Belanda”,
Olman Dahuri, Irsyad Rhafsadi. dalam Henri Chambert-Loir, Massir Q. Abdullah,
Damste, H.T. 1941. “Islam en Sirihpuan te Bima Suryadi, Oman Fathuraahman, H. Sitti Maryam
(Sumbawa), Atjehsche Invloeden”?, dalam Salahuddin, Iman dan Diplomasi. Serpihan
Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Sejarah Kerajaan Bima. Jakarta: KPG-EFEO-
Nederlandsch-Indie (BKI), Deel 100. Uitgegeven Dirjen Sejarah dan Purbakala Kemenbudpar.
Door het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- Syamsuddin, Helius (Penyunting). 1993. Bo Mbojo:
en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Historiografi Tradisional Bima (Kronik Bima)
Fathurahman, Oman. 2010. “Pengantar: Jawharat al- Abad ke-17-19. Edisi pertama. Bandung: tp.
ma’ãrif Mempertegas Identitas Kesultanan Islam __________. 1995. “Pertanggungjawaban (rationale)
Melayu”, dalam Henri Chambert-Loir, Massir Pemilihan Hari Jadi/Ulang Tahun Daerah Bima
Q. Abdullah, Suryadi, Oman Fathuraahman, H. Tanggal 5 Juli 1640 M [15 Rabiul Awal 1050 H]”,
Sitti Maryam Salahuddin, Iman dan Diplomasi. Makalah pada Seminar Hari Jadi Bima, 17 Juli
Serpihan Sejarah Kerajaan Bima. Jakarta: KPG- 1995.
EFEO-Dirjen Sejarah dan Purbakala Kemeneg __________. Helius. 2008. “Perubahan Politik dan Sosial
Budpar. di Pulau Sumbawa: Kesultanan Sumbawa dan
Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara Kesultanan Bima (1815-1950)”, Nana Supriatna
dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: dan Erlina Wiyanarti (editor), Sejarah Dalam
Rajawali. Keberagaman. Penghormatan Kepada Prof. Helius
Hitchcock, Michael. 1987. “The Bimanese Kris: Aesthetics Sjamsuddin, MA, Ph.D. Bandung: Penerbit
and Social Value”, special edition Anthropologica Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas
XXIX, dalam BKI, Deel 143. 1e Aflevering, Foris Pendidikan Indonesia.
Publications Holland/USA. Tajib, Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta:
PT. Harapan Masa PGRI.