Anda di halaman 1dari 13

PROFIL PENULIS

1. Daron Acemoglu adalah seorang Professor Ilmu Ekonomi dari MIT (Massacusetts Institute
of Technology). Pada tahun 2005, ia memenangkan John Bates Clark Medal sebagai ekonom
berusia di bawah 40 tahun yang dianggap telah memberikan kontribusi besar bagi
pengembangan pemikiran dalam ilmu ekonomi.
2. James A. Robinson adalah seorang pakar politik, ekonomi dan Professor Ilmu Pemerintahan
di Harvard University. Ia merupakan pakar masalah ekonomi-politik di Amerika Latin dan
Afrika. Ia pernah bekerja di Bostwana, Mauritius, Sierra Lone, Afrika Selatan.

Kedua penulis ini menghabiskan waktu selama 15 tahun untuk menyelesaikan risetnya
mengenai latar belakang negara-negara gagal di dunia dari sudut pandang ekonomi dan politik.
Mereka menyoroti ketimpangan-ketimpangan antara negara-negara tertentu yang menjadi rujukan
dalam menentukan indicator keberhasilan suatu negara maupun kegagalan suatu negara. Menarik
untuk dibahas dan dijadikan sebagai indokator pula dalam menganalisa kepemimpinan presiden
Jokowi dalam kurun waktu 5 tahun ke belakang. Banyak orang yang menilai bahwa periode
pertama kepemimpinan Jokowi cenderung gagal, hal ini dibuktikan dengan kondisi negara baik
dari segi politik, ekonomi, dan sosial budaya mengalami krisis. Indikator-indikator dalam tulisan
Daron Acemoglu dan James A. Robinson akan menjadi rujukan dalam melihat kondisi Indonesia
5 tahun belakangan.

PEMBAHASAN

1. Rangkuman Isi Buku

Membaca buku karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson dengan judul asli
“Why Nation Fail – Origin of Power, Prosperity and Proverty” yang diterbitkan pertama kali
oleh Crown Publishing Group di New York tahun 2012 yang Selanjutnya diterjemahkan
pertama kali kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Negara gagal – Awal Mula
Kekuasaan, Kemakmuran dan Kemiskinan” diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo,
Kompas Gramedia di Jakarta Tahun 2014, memberikan nuansa tersendiri. Nuansa yang
dimaksud adalah isi buku yang memberikan gambaran dengan jelas bahwa gagal berhasilnya
suatu negara tidak bisa lepas dari sisi pengelolaan negara itu. Bahkan dijelaskan bahwa faktor
geografis bukan menjadi satu-satunya penentu kemajuan ekonomi melainkan tetap pada faktor
pengelolaan negara. Entah itu sistem politiknya, sistem pemerintahannya, sistem ekonominya
dan lain-lain.

Tesis awal yang diajukan oleh Acemoglu dan Robinson dari karyanya “Mengapa
Negara Gagal”ialah Sistem ekonomi yang bersifat inklusif dengan perlembagaan ekonomi
yang inklusif akan mendorong kemajuan ekonomi, kemudian sistem ekonomi ekstraktif
dengan perlembagaan ekonomi yang ekstraktif pula akan mendorong kemunduran ekonomi
dan menyisakan penderitaan. Sedangkan dari sudut pandang politik kedua penulis buku
tersebut mengungkapkan kemajuan politik didorong oleh sistem dan perlembagaan politik
yang inklusif.

Acemoglu dan Robinson sangat piaway dalam memberikan pandangan ekonomi-


politik dengan memberikan narasi dari sejarah perkembangan ekonomi dan politik,
sebagaimana dia mengungkapkan hubungan suku bangsa, budaya dan posisi geografis
sebetulnya tidak menentukan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Di permulaan bab,
mereka mengungkapkan bahwa Kemajuan Amerika Serikat bukanlah karena faktor kekayaan
alam, contoh yang dikemukakan ialah Nagolas di Arizona Amerika Serikat dengan Nagolas
di Sonora Mexico, dimana Nagolas di Arizona lebih sejahtera dibandingkan Nagolas di
Sorona.

Dari contoh kasus di atas, dijawab dengan kota yang terpisah dalam dua negara terebut
memiliki budaya yang sama, iklim yang sama, letak geografis yang sama, mengapa kondisi
ekonominya berbeda? Kondisi Nagolas yang berada dibawah kekuasaan politik Amerika
Serikat cenderung lebih bebas dalam mencari pekerjaan, mendapatkan fasilitas publik dan
insentif yang memadai bagi warganya dikarenakan konstitusi Amerika Serikat menjunjung
tinggi kebebasan kepemilikan tanpa harus khawatir untuk dijarah. Sedangkan kondisi Nagolas
pada Negara Mexico kebalikannya, dimana negara ini cenderung otoriter dan tidak memiliki
keleluasaan bagi masyarakatnya dalam jaminan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan
sehingga tidak mendapatkan insentif yang memadai bagi kehidupannya di negara tersebut,
bahkan angka harapan hidupnya jauh berbeda dengan Nagolas di Amerika Serikat.

Acemoglu dan Robinson mengungkapkan dalam sejarah penguasaan negara-negara


tersebut oleh bangsa Eropa, bermula dari Bangsa Spanyol yang mendaratkan kakinya di
wilayah Amerika Selatan atas ketertarikannya pada sumberdaya alam yang terdapat di sana,
membuat orang-orang Spanyol menjadikan Amerika Latin menjadi daerah jajahannya, dengan
memperlakukannya secara kejam, dimana kepala-kepala suku/raja pada wilayah-wilayah
yang dikuasainya ditawan dan dirampas hartanya, kemudian menjarah seluruh kekayaan
masyarakat dan alamnya.

Mereka datang menjadi tuan baru di tanah Amerika, yang menjadikan pribumi sebagai
budak, akhirnya bangsa pribumi menjadi masyarakat tertindas, budak dan hidup melarat.
Sedangkan Amerika Serikat awalnya adalah hamparan yang tidak terlalu subur dengan
cakupan wilayah yang cukup luas, dimana suku-suku adat hidup disana, pencaharian mereka
adalah bertani, tidak ada sumber daya mineral dan tambang disana (kondisi berbeda dengan
Amerika Selatan). Amerika Utara (AS dan Kanada) dijadikan koloni Inggris bukan tanpa
alasan, tetapi memang sudah tidak mendapatkan negara jajahan (habis dikuasai oleh Spanyol
dan Portugis), Akhirnya bangsa Inggris harus bersusah payah dalam menguasai Amerika
Serikat, mereka akhirnya merumuskan konstitusi untuk setiap warga negara harus bekerja,
setiap keluarga diberikan 50 Ha tanah untuk dikelola, sehingga kemajuan bidang pertanian
berkembang pesat yang mengakibatkan setiap orang Amerika Serikat yang menguasai tanah
untuk dikelola mendapatkan insentif yang memadai, bahkan dapat ikut serta dalam
merumuskan undang-undang, kebalikan dari wilayah yang dikuasai oleh Spanyol hanya
menjadi negara budak yang tetap miskin.

Latar belakang kedua negara tersebut menerangkan cukup menerangkan bahwa sistem
kolonial yang dilakukanlah pembentuk penindasan itu sendiri, kemudian pada bagian-bagian
selanjutnya dalam buku ini disebut sebagai sistem ekstraktif.

Bab selanjutnya Acemoglu dan Robinson secara terang menolak teori Jared Diamond
(1997) dan Sach (2006) yang mengungkapkan bukanlah iklim, letak geografis maupun budaya
yang menentukan kemakmuran itu sendiri. Ia juga menolak toeri Max Weber (2002) yang
menyatakan bahwa kebangkitan industri modern di Eropa Barat merupakan merupakan
refleksi dari etika Protestan pasca reformasi agama, atau pandangan Landes (1999) yang
berpendapat bahwa negara-negara Eropa Barat maju berkat kultur yang unik yang mendorong
mereka untuk bekerja keras dan inovatif. Baginya Ketimpangan ekonomi antara Meksiko dan
AS, Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum akhirnya bersatu, dan Korea Selatan dan Korea
Utara merupakan bukti bahwa kekayaan negara tidak ditentukan oleh faktor geografis, namun
karena faktor institusi politik. Selanjutnya menurut mereka, Amerika Serikat dan Kanada
merupakan dua bekas negara jajahan Inggris sama seperti Sierra Leone dan Nigeria. Namun
kedua negara yang disebutkan pertama mampu menjadi negara besar, sementara dua negara
terakhir, masih berkutat sebagai negara berkembang. Bahkan menurut Acemoglu dan
Robinson, berbagai etika yang muncul seperti semangat gotong royong merupakan hasil dari
penerapan dari sebuah institusi dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, keyakininan, nilai-
nilai dan etika tidak dapat menentukan kemajuan suatu negara.

Dalam teori First Welfare Theorem, disebutkan bahwa pasar ekonomi berasal dari
sudut pandang tertentu. Tidak adanya kebebasan dalam produksi, jual beli barang dan jasa,
akan menghasilkan kegagalan pasar. Kondisi inilah yang menjadi dasar dari teori ketimpangan
dunia. Negara kaya menjadi kaya karena mereka menerapkan kebijakan terbaik dan sukses
mengeliminasi kegagalan pasar tersebut. Sebaliknya, negara miskin terjadi akibat
penguasanya memilih kebijakan menciptakan kemiskinan.

Seperti yang sudah disampaikan di awal, teori yang dikembangkan oleh Acemoglu dan
Robinson adalah perekonomian suatu negara akan maju jika menerapkan ekonomi inklusif,
sebaliknya, negara akan menjadi miskin jika menerapkan ekoniomi ekstraktif. Penentu dari
pilihan tersebut kembali kepada institusi politik yang menjadi operator dari kebijakan-
ekebijakan ekonomi yang diambil. Sebuah negara disebut memiliki institusi politik ekstraktif
jika desain kebijakan ekonominya berorientasi untuk memperkaya elit dengan berupaya
mempertahankan kekuasannya meskipun mengorbankan rakyatnya.

Sistem ekonomi inklusif memiliki ciri adanya lembaga yang mendorong property
rights (Hak Kepemilikan), menciptakan level playing field, mendorong investasi pada
teknologi dan skill akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan
institusi ekonomi ekstraktif yang menyedot sumber ekonomi dari banyak orang untuk hanya
segelintir orang dan gagal memberikan insentif pada kegiatan ekonomi. Pemerintahan yang
ekstratif (extractice institution) akan menjadi lingkaran setan dari kondisi suatu negara yang
secara permanen akan mengakibatkan ketimpangan ekonomi. Namun demikian lingkaran
setan tersebut dapat diputus jika ada faktor-faktor yang saling mendukung, terutama oleh
kondisi kritis, yang memaksa terjadinya suatu perubahan. Contoh hal ini adalah Revolusi
Prancis, Revolusi Inggris dan Restorasi Meiji di Jepang.
Masalah sistem ekonomi dan politik yang bersifat ekstraktif menurut Acemoglu dan
Robinson hanya akan memunculkan pecundang ekonomi dan pecundang politik. Dimana
pecundang ekonomi yang dimaksud adalah setiap orang/kelompok tertentu yang berada dalam
lingkaran kekuasaan takut kehilangan keuntungan ekonominya, sehingga cara untuk menjaga
keuntungan pribadi dengan memberikan kebijakan-kebijakan yang hanya
menguntungkannya. Sedangkan yang dimaksud pecundang politik ialah orang/kelompok
yang enggan kehilangan kekuasaannya, sehingga membentuk semacam oligarki kekuasaan
politik.

Penjelasan selanjutnya ialah, meskipun institusi bersifat ekstraktif yang berupaya


mencapai pertumbuhan ekonomi maupun politik yang tinggi, tidak akan mampu bertahan
lama. Dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memberikan syarat harus
adanya kreatifitas, sedangkan dalam sistem ekstraktif kreatifitas merupakan bola liar yang
dapat menggerus eksistensi kekuasaan.

Disamping itu, institusi ekonomi yang bersifat ekstraktif akan mendorong rasa iri dari
pihak oposisi akan melakukan upaya untuk perebutan yang berdampak pada stabilitas politik.
Contoh kasus yang diberikan ialah Uni Soviet dan Pemerintahan Ottoman, dimana Uni Soviet
setelah perang dunia II dianggap akan menjadi raja bagi perekonomian dunia karena pesatnya
industrialisasi, namun faktanya kejayaan Uni Soviet tidak berlangsung lama, bahkan
mengahdapi dekade 1990an mengalami kehancuran, hal ini tidak lain dari sistem yang bersifat
ekstraktif menggerus hak-hak seseorang sehingga menimbulkan dorongan perlawanan. Begitu
pula pada pemerintahan Ottoman di Turki, mengalami kehancuran setelah dijungkalkan
karena ketidakpuasan masyarakatnya. Maka dari contoh tersebut, Acemoglu dan Robinson
menekankan kelanggengan suatu sistem ekonomi dan politik akan bertahan lama apabila
dikelola melalui lembaga-lembaga inklusif yang menjamin kebebasan masyarakatnya untuk
mendapatkan hak atas kepemilikan individu, kekayaan intelektual dan kreatifitas dalam
mengelola urusan ekonomi.

Dengan kerangka teori yang dibangun, Acemoglu dan Robinson juga memprediksi
bahwa eksistensi Perekonomian China yang kini tumbuh manakjubkan, secara perlahan akan
mengalami stagnasi. Pasalnya, dominasi partai Komunis yang dipandang sebagai rezim
ekstraktif telah menghalangi kegiatan ekonomi yang kreatif dan inovatif terkecuali jika negara
tersebut melakukan reformasi politik secara ekstrim. Namun demikian, Acemoglu dan
Robinson memprediksi dalam beberapa dekade, elit Partai Komunis masih akan terus
mempertahankan dominasi mereka.

Acemoglu dan Robinson juga mendasarkan kemajuan ekonomi dan politik ditinjau
dari sejarah, dimana mereka mengungkapkan revolusi industri yang terjadi di Inggris karena
adanya satu episode sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 menyebabkan
jumlah petani berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari
para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381. Meskipun
pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, para petani mendapat perlakuan
lebih baik sehingga lambat laun sistem feodal lenyap. Wabah pes di Eropa Timur juga
menimbulkan kelangkaan tenaga kerja, namun tuan tanah disana melakukan penindasan lebih
kejam, sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi ekstraktif terus bertahan
selama berabad-abad.

Inggris dapat melahirkan revolusi industri dikarenakan pada abad ke-17 telah memiliki
institusi ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan melalui
berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan Glorious Revolution
pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi kekuasaan raja dan memberi
wewenang kepada parlemen Inggris untuk menentukan struktur ekonomi. Setelah revolusi,
pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan properti, hak paten, dan membangun
berbagai infrastruktur seperti jalan raya, kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara
semena-mena dan monopoli dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan
teknologi. Keadaan di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya, dimana monarki
masih berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur,
bahkan sampai dengan tahun 1800, institusi ekonomi politik masih bersifat ekstraktif, para
tuan tanah masih memberlakukan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para petani.
Perbedaan kecil pada abad 14, yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada
di Eropa Timur, akhirnya persitiwa wabah pes membawa perbedaan pada abad 17, 18 dan 19:
yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa Timur.

Pemerintahan yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang
bersifat ekstraktif, selain menindas rakyat, juga menolak inovasi/teknologi baru, sehingga
menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah
kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia.
Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak tahun 1485 (tahun 1460 sudah
ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku
yang akan dicetak harus melalui sensor ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum
syariah, hakim dan ulama.Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri
akhirnya tutup pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun, hanya
menerbitkan 24 buku, tingkat orang buta aksara mencapai 98%.

Sementara itu di Rusia satu persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja
dengan penindasan, sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak
melindungi hak rakyat atas kekayaan dan menghalangi masuknya teknologi baru. Demikian
pula kekaisaran Habsburg dan Rusia, keduanya melestarikan feodalisme, menghambat
industrialisasi dan memonopoli perdagangan. Sedangkan Cina melarang perdagangan
internasional dan pelayaran sejak tahun 1436. Namun negara yang institusi ekonominya
paling ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah
miliknya dan dapat diambil sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut,
dan ketika muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan langsung memonopoli bisnis
tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.

Buku ini juga mengkritik pendekatan sejumlah lembaga multilateral seperti IMF, yang
dianggap gagal dalam mengobati perekonomian negara-negara yang menjadi pasiennya,
terlepas benar tidaknya resep yang mereka tawarkan. Hal ini dikarena hanya fokus untuk
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dibuat tanpa memahami secara mendalam
pada konteks kebijakan institusi politik yang buruk di negara-negara tersebut. Jika kita kaitkan
dengan konteks ke-Indonesiaan, bacaan ini cukup relevan untuk menjelaskan kondisi
Indonesia kini, karena jika dilihat dari ciri menurut Acemoglu dan Robinson, sistem ekonomi
dan politik Indonesia dapat dikategorikan pada sistem dan perlembagaan ekonomi yang
bersifat ekstraktif, namun sistem dan perlembagaan politiknya cukup inklusif.

Dari teori yang diterangkan bahwa sistem politik inklusif dengan menggunakan sistem
ekonomi yang bersifat ekstraktif, tidak akan memberikan kepuasan kepada publik,
dikarenakan segala kebijakan ekonomi akan tetap membelenggu hak-hak warga negara.
Akhirnya penindasan secara ekonomi tetap terjadi, pekerja berpenghasilan rendah
masih mendominasi, angka pengangguran tinggi, tingkat anak putus sekolah tinggi, tingkat
kriminalitas tinggi dan angka harapan hidup rendah, meskipun hak politik setiap warga
negaranya terpenuhi. Namun yang paling nyata ialah kapitalis yang berada di lingkaran
kekuasaan makin sejahtera karena disokong regulasi yang mendukung mereka, artinya
pertumbuhan ekonomi secara signifikan hanya berputar pada lingkaran elit saja.

Meskipun demikian, buku ini tidak cukup kritis dalam menjelaskan apa yang
dimaksud dengan negara-negara yang masuk dalam kategori sukses sebagai lawan dari negara
yang dianggapnya gagal. Negara-negara sukses tersebut hanya dilihat dari aspek pertumbuhan
ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara agregat. Dalam kenyataannya, ketimpangan
ekonomi antara penduduk seperti di AS, kerentanan sistem finansial Amerika Serikat dan Uni
Eropa terhadap krisis yang menciptakan pengangguran massal tidak mendapatkan
pembahasan yang memadai.

Terlepas dari kritik terhadap buku mengapa negara gagal, buku ini tetap merupakan
bacaan yang bagus, menampilkan naratif komplet mengenai sejarah ekonomi dunia hingga
dewasa ini. Sayangnya, tidak banyak hal yang dapat dijawab dari pertanyaan Why Nations
Fail? oleh penulisnya, mungkin hal tersebut dikarenakan penulis ingin membangun perspektif
bahwa keberhasilan sebuah negara dalam mengelola ekonomi-politik ialah melalui
perlembagaannya.

2. Kebijakan Impor Sebagai Kebijakan Ekstarktif Dalam Pembangunan Ekonomi dan


Politik Jokowi
Sejak awal kebijakan impor presiden Jokowi diterapkan, sudah banyak pihak yang
telah menolaknya. Namun, pemerintahan Jokowi tetap melakukan impor tersebut dengan
dalih penjaminan ketahanan pangan nasional. Namun jika ditelaah lebih jauh, banyak
pernyataan presiden Jokowi yang kontradiktif, salah satunya adalah klaim stok beras dan
jagung yang pada sepanjang tahun 2014-2017 mengalami surplus, tetapi pada kenyataannya,
impor beras semakin menjadi-jadi. Kemudian, harga jagung juga malah semakin meningkat.

Kebijakan Impor Jokowi tersebut dapat dianlisis dengan mengaitkan tulisan Daron
Acemoglu dan James A. Robinson. Pembangunan suatu negara yang dinilai gagal oleh kedua
penulis tersebut menitik beratkan pada sistem pengelolaan negara, bukan pada faktor
geografis, sosial budaya, agama dan lain sebagainya. Sebagaimana dikatakan bahwa kedua
penulis itu menolak teori Jared Diamond (1997) dan Sach (2006) yang mengungkapkan bahwa
iklim, letak geografis maupun budaya yang menentukan kemakmuran itu sendiri. Ia juga
menolak toeri Max Weber (2002) yang menyatakan bahwa kebangkitan industri modern di
Eropa Barat merupakan merupakan refleksi dari etika Protestan pasca reformasi agama, atau
pandangan Landes (1999) yang berpendapat bahwa negara-negara Eropa Barat maju berkat
kultur yang unik yang mendorong mereka untuk bekerja keras dan inovatif.

Daron Acemoglu dan James A. Robinson menekankan pada sistem pengelolaan


negara, hal ini berkaitan pada kebijakan negara yang berpihak pada rakyat atau tidak.
Keberpihakan tersbut dapat dinilai pada sistemnya. Artinya semakin demokratis negara itu
maka semakin berpihak pemerintah terhadap kemajuan ekonomi dan politik rakyatnya. Jika
dikaitkan dengan kebijakan impor Jokowi, maka akan banyak akibat-akibat kebijakan itu yang
mengarah pada kesimpulan bahwa negara dalam kondisi krisis.
a. Kebijakan Impor Ekstraktif di Era Jokowi Sepanjang Tahun 2015 – 2019
Untuk masa 2015-2019, pemerintah menjanjikan akan menekan bahan pangan
impor dan mendorong pasokan pangan dari dalam negeri, menghemat devisa,
meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan stabilitas sosial ekonomi dan
politik di dalam negeri menuju ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional.1

Berdasarkan laporan yang dirilis pemerintah, menunjukan capaian-capaian yang


cukup mengesankan di bidang pangan. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin
Nasution, misalnya, mengungkapkan jika produksi padi pada 2015 sebesar 75,4 juta ton,
maka pada 2016 meningkat menjadi 79,1 juta ton. Pasokan jagung juga mengalami
peningkatan menjadi 23,2 juta ton pada 2016, sedangkan pada 2015 hanya sebesar 19,6
juta ton. Begitu pula dengan produksi cabai, komoditi yang kontroversial ini, juga
mengalami peningkatan yang signifikan.

Peningkatan lainnya juga terlihat pada pasokan daging kambing/domba dan telur
unggas. Jagung terjadi penurunan impor, bahkan untuk beras medium tidak impor sama
sekali tetapi justru mengekpor beras pada 2016 sebesar 2.506 ton. Jika demikian,

1
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Kebijakan Pembangunan Pertanian: Upaya Peningkatan
Produksi Komoditas Pertanian Strategis. Jakarta: Kementan RI
sesungguhnya terjadi surplus bahan pangan. Tetapi, yang terjadi di lapangan, impor baahan
pangan tersebut masih terus dilakukan dengan dalih memenuhi kebutuhan dan menjamin
kebutuhan pangan nasional. Artinya, terjadi ketidak konsistenan pemerintah. Namun bukan
itu sebenarnya yang menjadi permasalahan utama melainkan pada pengambilan kebijakan
pemerintah yang seolah menjadikan impor sebagai senjata utama, padahal peningkatan
produksi untuk menjamin kelangsungan bahan pangan lebih realistis dan lebih tepat
dilakukan.

Kembali pada klaim surplus pemerintah selalu tidak sejalan dengan kenyataan di
lapngan, pada tahun 2017, misalnya, bertolak belakang dengan data peningkatan harga dan
impor beras. Klaim surplus jagung, bertolak belakang dengan peningkatan harga jagung
rata-rata selama 2014-2017 sekitar 17,9% dan menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan harga jagung tertinggi di dunia. Bahkan total impor jagung dibanding total
konsumsi pada tahun 2015 sudah mencapai 28,7%.
b. Kebijakan Impor Beras Sebagai Indikasi Kegagalan Demokrasi Pancasila
Dalam kasus impor beras, misalnya, sesungguhnya bukan beras jenis khusus yang
diimpor pemerintah – seperti dikatakan Mendag Lukito Enggartiasto – melainkan beras
umum. Pakar pangan dari IPB Bogor Profesor Dwi Andreas Santoso secara tegas
menyebutkan bahwa itu bukan beras khusus, tetapi beras biasa atau beras umum yang
selama ini sering diimpor untuk menstabilkan pasar. Beras umum yang diimpor itu berada
kisaran harga US$ 350 sampai US$ 450 juta per ton. Sementara beras khusus yang beredar
hanya 5-10% dari total stok beras Indonesia dengan harga US$ 800 sampai US$ 900 juta
per ton. Jika yang diimpor beras biasa, pemerintah diperkirakan mendapatkan keuntungan
Rp 1,5 triliun untuk 500 ribu ton beras impor yang seharga US$ 300 juta per ton. Professor
Dwi juga mempertanyakan mengapa pemerintah (dalam hal ini Kementerian Perdagangan)
menunjuk perusahaan BUMN yakni PT PPI (Persero) sebagai importir beras dari Vietnam
dan Thailand itu. PT PPI tidak memiliki wewenang sekaligus infrastruktur memadai untuk
impor beras demi kepentingan umum. Kewenangan tersebut seharusnya dijalankan Perum
Bulog sebagaimana diatur dalam Permendag No. 1/2018.

Pakar ekonomi Rizal Ramli tanpa ragu mengatakan bahwa keuntungan tersebut
merupakan komisi besar yang diburu dan didapat oleh pejabat yang melakukan impor
beras. Menurutnya, dalam sejarah politik Indonesia, uang paling mudah diperoleh dari
impor komoditi. Untuk itu, para aktor bermainnya di komoditas gula, beras, kedelai, dan
daging. Uang yang beredar di dalamnya gampang untuk di-colong. "Pengalaman saya saat
di Bulog, Kementerian Perdagangan maunya impor saja karena ada komisi US$ 20-30
dolar per ton. Transaksinya semua di luar negeri, akun banknya juga di luar negeri .2

Fakta-fakta di atas cukup untuk menunjukan bahwa sapanjang tahun 2015-2019,


Indonesia cenderung mengalami krisis. Kebijakan impor yang memeberikan kesan impor
sebagai solusi utama ketahanan pangan membuktikan pendapat Acemoglu dan Robinson
bahwa keberhasilan suatu negara tidak ditentukan oleh letak geografis, sosial budaya suatu
negara melainkan lebih pada sistem politik yang berlaku pada negara itu. Mari kita lihat
sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis namun tetap menganut ketergantungan
yang tinggi terhadap negara lain. Artinya, ada kekliruan didalam penerapan demokrasi di
era Jokowi.

Acemoglu mencontohkan pada ketimpangan ekonomi antara Amerika Serikat dan


Meksiko. Disitu Acemoglu dan Robinson mengatakan bahwa AS lebih maju berkat
kebijakan demokratis pemerintah AS yang memberikan kebebasan pada setiap warga
negaranya untuk mengelolah ekonomi masing-masing, hal ini berdampak pada kemajuan
ekonomi masyarakat diraih berkat kebebasan mereka bereksplorasi dalam usaha ,masing-
masing tanpa adanya rasa tekanan. Sementara di Meksiko yang lebih otoriter, konsekuensi
logisnya adalah masyarakat tidak akan bebas bereksplorasi dalam usahanya karena adanya
kontrol ketat dari pemerintahan otoriter.

Kembali pada kasus Indonesia, demokrasi memang berjalan, namun kebijakan


pemerintah tetap tidak berpihak kepada masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan
impor yang justru merugikan petani. Impor beras secara besar-besaran menggeser posisi
beras petani dalam pasar. Selain itu, impor beras tidak diimbangi oleh peningkatan kualitas
produksi serta kontrol makelar beras dalam negeri yang menimbulkan kesan bahwa
kualitas beras dalam negeri kalah dari beras impor. Lebih parah lagi harga beras lokal lebih
mahal akibat maraknya makelar beras.

2
Rizal Ramli: Ada Komisi Besar untuk Pejabat yang Impor Beras” (12/01/2018), dalam http://nusantara.rmol.co
Jika melihat situasi di atas, maka Indonesia sepanjang tahun 2015 – 2019 tidak
menemukan jati diri demokrasi pancasila yang telah dicita-citakan peara pendiri bangsa.
Kebijakan pemerintah terkadang otoriter dan tidak berpihak pada rakyat kebanyakan dalam
hal pertanian. Hal ini ditandai dengan klaim pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi
petani beras, jagung dan lain-lain yang justru tergeser posisinya dalam pasar akibat barang-
barang impor.

Kesimpulan

Pemerintah dalam hal ini tetap menjadi objek penentu utama krisis yang dihadapi negara.
Dari kasus-kasus itu, pemerintah tidak berhasil menjadikan demokrasi sebagai penolong krsisis
sampai demokrasi sebagai sistem pembangunan negara terbaik. Artinya, pemerintah gagal dalam
menempatkan demokrasi, gagal pula dalam menerapkan demokrasi.

Impor beras menggambarkan betapa kelirunya pemerintah dalam mengambil kebijakan


ketahanan pangan. Kebijakan impor bukannya menguntungkan petani lokal malah
menguntungkan negara lain. Dari satu sisi, sesuai dengan tesis Acemoglu dan Robinson yang
menyatakan bahwa keberhasilan suatu negara tergantung pada pengelolaannya bukan pada letak
geografis dan sosial budayanya. Kesalahan pengelolaan berdampak sangat buruk dan signifikan
terhadap kegagalan suatu negara. Tidak heran jika banyak negara-negara subur dari segi geografis
seperti Indonesia yang justru mengalami krisi produksi pangan yang notabane dapat tumbuh subur
pada lahan iklim tropis.

Jokowi dalam mengelola negara sepanjang tahun 2015 – 2019 berdasarkan analisis di atas
belum menunjukan capaian yang begitu mengesankan. Masih banyak keluhan-keluhan dari
masyarakat mengenai kebijakan impor yang sangat merugikan banyak pihak itu. Belum ada solusi
pemerintah yang bisa menolong masyarakat dalam melawan agresifnya barang-barang impor di
pasar tanh air. Hal ini implikasinya adalah pemerintah dinilai belum mampu membangun
demokrasi sebagaimana cita-cita bangsa. Pemerintah masih gagal dalam menerapkan demokrasi
kerakyatan sebagai turunan dari demokrasi pancasila.
Daftar Pustaka

Acemoglu, Daron., James Robinson. 2015. Mengapa Negara gagal – Awal Mula Kekuasaan,
Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, Kompas
Gramedia.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Kebijakan Pembangunan Pertanian: Upaya


Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis. Jakarta: Kementan RI.

Rizal Ramli: Ada Komisi Besar untuk Pejabat yang Impor Beras” (12/01/2018), dalam
http://nusantara.rmol.co

Anda mungkin juga menyukai