Anda di halaman 1dari 30

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa

dalam Kurun Waktu Abad XVII – XX


Tawalinuddin Haris
t_haris1948@yahoo.com

Abstrak
Kasultanan Samawa adalah salah satu di antara kerajaan Islam di pulau
Sumbawa. Wilayahnya meliputi Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten
Sumbawa Barat serta pulau-pulau kecil disekitarnya. Kasultanan Samawa berdiri
sekitar pertengahan abad ke-17 hingga tahun 1958. Selama keberadaannya,
Kasultanan Samawa telah dipimpin dan diperintah oleh 18 atau 19 raja/sultan.
Sultan yang pertama adalah Mas Pamayaan, sedangkan Muhammad Kaharuddin
adalah sultan yang terakhir.
Kata Kunci: Kasultanan, Sultan, Samawa.

Abstract
Kasultanan Samawa is one of Islamic Kingdoms in Sumbawa Island. This
Kingdom involves Sumbawa Besar and West Sumbawa regencies. Samawa
Kingdom was established in the mid of17th Centuryup to 1958. This Kongdom
has been led by 18 or 19 kings or sultans. The first sultan was Mas Pamajaan,
and the last Sultan was Muhammad Kaharuddin. This article a Sumawalive
work of the research on Kesultanan Sumawa in the XVII-XX century, which was
conducted in 2015.
Keywords: Kasultanan, Sultan, Samawa.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

Pendahuluan
Kasultanan Samawa adalah salah satu diantara 6 kerajaaan
yang pernah ada di pulau Sumbawa yaitu: Kerajaan Bima, Dompu,
Papekat, Sanggar, Tambora dan Samawa. Dalam sumber Cina,
Chu-fan-chi yang ditulis oleh Chou-ju-kua pada tahun 1225 di-
sebutkan bahwa diantara 15 daerah yang menjadi kekuasaan Cho-
po disebutkan nama Ta-kang, yang diduga berlokasi di pulau
Sumbawa, Flores atau Sumba. Disebutkan pula sejumlah pulau
yang ditaklukkan oleh Jawa (Cho-po), yaitu Bali, Gurun, Tanjung-
pura, Timor, Maluku dan Bonggai.1 Jika Cho-po identik dengan
Jawa maka kerajaan yang berkuasa di Cho-po pada waktu itu
adalah kerajaan Kadiri. Menurut van Naerssen, Kadiri merupakan
kerajaan maritim karena di dalam salah satu prasastinya (Prasasti
Jaring) yang berangka tahun 1103 Saka (1181 AD.) disebut nama
Senapati Sarwwajala, seorang pejabat (panglima) yang berhu-
bungan dengan tugas-tugas kelautan. Seperti halnya Sriwijaya di
Sumatera, Kadiri adalah kerajaan Jawa yang mengembangkan
kekuatan maritim, yang mengontrol Bali, kepulauan Sunda Kecil,
Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan bagian tenggara.2 Jika
tafsiran itu dapat diterima maka ada kemungkinan pulau Sumbawa
termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri, atau setidak-tidaknya
ada dibawah pengaruhnya.3
Dalam sejumlah naskah Jawa kuno seperti Nagarakertagama,
Pararaton, Kidung Pamancangah, Kidung Ranggalawe dan Serat
Kanda disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang
menjadi bukti bahwa tempat-tempat tersebut sudah dikenal oleh
kerajaan Majapahit. Dalam kitab Nagarakertagama, pupuh 14: 3
yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 disebutkan se-
bagai berikut: 4

1
N.J. Krom, Zaman Hindu, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1954), h.160-163.
2
G.R.Tibbetts, M.A., A.L.A. 1957. ” Early Muslim Traders in Southeast
Asia,” Journal Royal Asiatic Society, h. 5.
3
F.H. van Naerssen, ”Hindoejavaansche Overblijfselen op Soembawa”,
Tijdschrift van het (Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap,
deel LV, 1938), h. 91-92.
4
Th, Pigeaud, Java in The Fourteenth Century Vol. I: Javanese Texs in
Transcription. (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The
Hague Martinus Nijhoff, 1960), h. 17.

2
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

“sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnananenri bali makamulya tan


badahulu mwan i lwagajah gurun makamulya sukun ri taliwang ri dompo
sape ri sanghyang apibhima ceran i hutan kadaly apupul”
Dari kutipan di atas disebutkan sejumlah nama tempat di pulau
Sumbawa yang termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit, yaitu:
Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seran dan Hutan
Kadaly, tiga di antara nama-nama tempat itu sekarang berlokasi di
Sumbawa bagian barat, yaitu:Utan Kadaly (di Kabupaten Sumbawa
Besar), kemudian Taliwang dan Seran (di Kabupaten Sumbawa
Barat). Apakah nama-nama tempat yang disebutkan dalam Nagara-
kertagama itu sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri atau
bagian dari suatu sistem pemerintahan (kerajaan) yang lebih besar,
belum diketahui secara pasti. Tetapi pada masa kasultanan Sum-
bawa, ketiga nama atau tempat yang disebutkan dalam kitab
Nagarakertagama itu yakni Utan Kadaly, Taliwang dan Seran
termasuk dalam wilayah kasultanan Sumbawa.
Selain dengan pulau Jawa, Sumbawa memiliki hubungan
politik dan sosial budaya dengan Bali. Dalam Kidung
Pamancangah misalnya, disebutkan bahwa Pasung Rigih (Pasung
Girih), raja Bedahulu (Bedulu) mengirim ekspedisi ke Sambhawa
yang pada waktu itu diperintah oleh Dedelanatha. Bahkan di bagian
lain dari kidung itu menyebutkan bahwa cucu perempuan Mpu
Kapakisan, seorang Brahmana dari Jawa kawin dengan seseorang
dari Sambhawa.5 Ketika raja Batu Renggong memerintah di
Kerajaan Gelgel dengan ibukotanya Samprangan (Gianyar), pulau
Bali merupakan kerajaan yang berdiri sendiri, lepas dari kerajaan
Majapahit. Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali,
tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa serta seluruh
Balambangan sampai Puger (Lumajang).6 Apakah Sambhawa
(Sumbawa) identik dengan pulau Sumbawa yang tentunya
termasuk di dalamnya Sumbawa Timur (Bima dan Dompu),
ataukah yang dimaksudkan hanya Sumbawa Barat yang sekarang
menjadi wilayah Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten
Sumbawa Barat dapat didiskusikan lebih jauh. Namun dari

5
F.H.van Naerssen, op.cit.h. 92.
6
H.J.de Graaf, “Lombok In De 17e Eeuw”,(Djawa,Tijdschrift van het Java-
Instituut, XXI, 1941), h. 357

3
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh budaya


Hindu di Sumbawa bagian barat datang atau dibawa dari Jawa dan
Bali.
Kalau kita merujuk pada berita Cina,Chu-fan-chi, sebagaimana
telah dipaparkan di atas, mungkin pengaruh budaya Hindu sudah
hadir di Tanah Samawa sejak masa Kadiri sekitar abad ke-11,
kemudian dilanjutkan pada masa berikutnya oleh Kerajaan Singha-
sari dan Kerajaan Majapahit. Setelah kekuasaan Majapahit surut
dilanjutkan oleh Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Bedahulu. Dari
sumber sastra Jawa kuno seperti telah dipaparkan di atas tersirat
bahwa budaya Hindu dibawa ke Sumbawa melalui kekuatan senjata
(perang) atau dengan cara damai, melalui perkawinan dan kontak
dagang.
Dalam cacatan perjalan jarak jauh, Shun Feng Hsiang Sung
yang ditulis sekitar 1430 M. diperoleh informasi berkenaan dengan
rute pelayaran-perdagangan melalui pulau-pulau Sunda Kecil,
termasuk pulau Sumbawa. Pertama adalah rute pelayaran-perda-
gangan dari Banten ke Timor. Mulai dari Wan-tan (Banten) ke arah
timur menyusuri pantai utara Jawa melewati Chiao-lu-pa (Kalapa),
Chiao-ch’iang-wan (mungkin Tanjung Indramayu) Che-li-wen (Ci-
rebon), Pa-na ta-shan (Gunung Muria), sampai ke Hu-chiao shan
(Gunung Gunuk), dari sini ke Shuang-yin hsu (mungkin Tanjung
Awar-Awar) sebelah barat Tuban. Dari sini ke Wu-liu-na shan
(pulau Madura), melalui Selat Madura terus ke selatan menuju
Jaratan dan Gresik, ke timur sampai ke ujung pulau Madura, terus
ke selatan mencapai Pen-tzu-nu-kan (Panarukan) di pantai utara
Jawa Timur, kemudian dari sana terus ke Ma-li ta-shan (Bali),
Lang-mu (Lombok) dan San-pa-wa ta-shan (Sumbawa), Gunung
Kadiendinae, melintasi Selat Sangheang, Selat Sape, pelabuhan
P’ai (Labuan Jati), kemudian sampai ke ujung gunung Tan-yung
(pulau Komodo barat daya). Dari sini terus ke Chi-tzu Shan (Toro
Kerita di pulau Flores), terus ke Hsun-pa (Sumba), Su-lu (Solor)
dan akhirnya sampai di Chu-pang (Kupang) di Ch’ih-wen (Timor).
Kedua rute pelayaran-perdagangan dari Patani ke Timor. Dari Ta-
ni (Patani) berlayar menuju ke pantai timur Semenanjung Malaya
yang dikenal dengan Pulau Tioman (Ti-p’an), dari sini menuju
Ch’i- hsu (pulau Badas), terus ke Ching-ning-ma-ta (Karimata),
Chi-li-wen (Karimunjawa), dan ke pantai utara Jawa, menyusuri

4
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

Pa-na-ta-shan (Gunung Muria) dekat Japara, terus ke timur sampai


Chi-li-shih (Gresik) menuju ke Shuang-ken-t’a/Shuang-yen t’a
(pulau Raas), berbelok ke selatan menuju Mao-li (Bali), membelok
ke timur ke Lang-mu (Lombok) terus ke San-po-wa (Sumbawa),
Gunung Kadiendinae, melintasi Selat Sangheang, Selat Sape dan
akhirnya ke Sumba dan Timor.
Publikasi mengenai kasultanan Sumbawa masih sedikit, seba-
gian diantaranya dapat ditemukan dalam arsip-arsip VOC atau
dalam laporan perjalanan para musafir (travel account) yang
pernah datang ke Sumbawa seperti H. Zollinger (1847) dan J.
Elbert (1909). Buku-buku yang ditulis para musafir itu saat ini
tergolong buku langka, bahkan sudah menghilang dari berbagai
perpustakaan, karena disengaja maupun tidak disengaja. Mungkin
buku-buku tua seperti itu dianggap tidak bermanfaat sehingga tidak
layak disimpan di perpustakaan.
Kendala lain yang menghantui para peneliti ialah bahasa yang
digunakan (bahasa Belanda) dalam buku-buku tua itu sulit
dipahami karena tidak diajarkan di Perguruan Tingggi. Melihat
pada kenyataan tersebut di atas, melalui artikel ini penulis mencoba
mengungkapkan beberapa aspek Kasultanan Samawa, sebagian
besar di antara sumber yang digunakan diambil dari orang asing,
para plancong, pegawai VOC atau Hindia Belanda. Semoga tulisan
ini menjadi langkah awal dalam upaya kita merekonstruksi sejarah
kerajaan-kerajaan tradisonal di seluruh nusantara yang selama ini
luput dari perhatian kita. G.J. Resink mengatakan bahwa
penjajahan Indonesia tidak berlangsung 3,5 abad, sebab penjajahan
oleh bangsa asing sampai tahun 1910 belum meliputi seluruh
kepulauan Indonesia, tetapi terbatas pada daerah-daerah tertentu
saja. Sebelum tahun 1910 di kepulauan Indonesai terdapat beberapa
kerajaan besar-kecil yang berkedudukan sebagai negara merdeka
bertaraf internasional.7 Jika teori G.J. Resink itu benar, maka masih
banyak di antara kerajaan kecil itu yang belum kita ketahui karena
belum diteliti.
Pokok persoalan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
corak dan struktur serta proses berkembangnya kasultanan

7
G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah. (Jakarta: Komunitas Bambu,
2013), h. 95-135; 249-285.

5
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

Sumbawa dalam kurun waktu abad ke-17 sampai abad ke-19.


Tujuannya adalah untuk memaparkan berbagai aspek dan
perkembangan kasultanan Sumbawa, dalam rangka melengkapi
atau mengisi bagian-bagian yang belum terungkap dalam Sejarah
Nasional Indoonesia.8

Kehadiran Islam dan Berdirinya Kasultanan Samawa


Kehadiran Islam
Dalam bukunya, Livro yang ditulis sekitar tahun 1518, Duarte
Barbarosa seorang pegawai pos dagang Portugis di Cannanor di
pantai Malabar, menyebutkan sebuah pulau yang lebih kecil dari
pulau Jawa. Pulau itu diberi nama Cinboaba, tanahnya subur dan
kaya dengan berbagai jenis bahan makanan tetapi penduduk
maupun rajanya menyembah berhala. Barbosa mengatakan“Beyond
this Island Greater Java there is another Island which also very
large and fertile and well-furnished with victuals of all kinds. It is
peopled with Heathen and the King also is Heathen. The Island
among them is called Cinboaba but the Moors, Arabs and Persians
it Lesser Java. Beyond this is yet another small Island called Oçape
the midst where of fire is ever burning. Its people are Heathens
who travel on horseback and are good riders. The women wear
Suruces, they are great cattlebreeders.”9 Menurut Kuperus, pulau
Cinboaba yang dimaksud oleh Duarte Barbarosa itu sangat
mungkin adalah pulau Sumbawa sedangkan pulau Ocape identik
dengan pulau Sangeang.10 Duarte Barbosa mengatakan bahwa
penduduk dan raja pulau Cinboaba itu masih menyembah berhala
(Its people with Heathen and the King also is Heathen). Kata
“heathen” (Inggris) atau “heiden“ (Belanda) bisa diterjemahkan
dengan “penyembah berhala.” Berdasarkan laporan Duarte
Barbarosa di atas, Kuperus berkesimpulan bahwa pada awal abad
ke-16 agama Islam belum mendapatkan tempat berpijak di
Sumbawa.11 Dalam sumber tertulis yang berasal dari masa

8
J.V. Mills, “Chinese Navigators in Insulinde about A.D. 1500” (Archipel
18, 1979), h. 81-84.
9
G. Kuperus,Het Cultuurlandschap van West-Soembawa, (Bij.J.B. Wolters
Uitgevers Maatschappijn, N.V, Groningen-Batavia, 1936), h. 132-133.
10
Loc.cit.
11
Ibid. h. 134.

6
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

kemudian diperoleh data bahwa selain menghasilkan berbagai jenis


padi seperti campa, dara gisti, dara sasak, samba, tonjo, kalo,
mayang pili, baliketujur, baso, legisama, legipunti, dan legipili, di
pulau Sumbawa ditanam juga bawang merah, kacangijo, jagung,
kemiri, labu, ubi, tembakau, katun, indigo, bahkan pada tahun 1880
mulai ditanam kopi. Dengan demikian, kalau Duarte Barbarosa
menyebutkan bahwa Cinboaba (Sumbawa) sebagai “……..another
Island which also very large and fertile and well-furnished with
victuals of all kinds”, mungkin mengandung kebenaran.
Lalu Manca mengatakan bahwa agama Islam dibawa ke
Sumbawa oleh para mubalig Arab dari Gresik sambil berniaga.
Salah seorang diantaranya adalah Syekh Zainul Abidin, salah
seorang murid Sunan Giri.12 Kalau benar, maka nama Sykeh Zainul
Abidin mengingatkan kita pada Sultan Zainal Abidin (1486-1500),
raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk agama Islam dan
pernah belajar agama di pesantren Giri. Di Jawa Zainul Abidin
dikenal dengan Raja Bulawa (raja cengkeh) karena ia membawa
cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Sekembalinya dari
Jawa, Zainal Abidin membawa seorang mubalig bernama Tuhu-
bahalul.13 Tidak tertutup kemungkinan dalam perjalannya pulang
ke negerinya (Ternate) mereka (Zaenal Abidin) singgah di
Sumbawa untuk menyebarkan agama Islam.
Di dalam Babad Lombok disebutkan bahwa pembawa agama
Islam ke pulau Lombok adalah Sunan Prapen putra Susuhunan
Ratu dari Giri, Gresik. Sunan Prapen mengislamkam penduduk
pulau Lombok dengan suatu ekspedisi militer dan setelah berhasil
mengislamkan Lombok, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke
pulau Sumbawa mengislamkan Taliwang, Seran, dan Bima.14

12
Lalu Manca,Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah),
(Surabaya: PT. Rinta, 1984), h. 50.
13
Uka Tjandrasasmita (editor), Sejarah Nasional Indonesia III. Jaman
Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia.
(Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka, 1984), h.
22.
14
P.de Roo de la Faille, “Studie over Lomboksch Adatrecht, Bali en
Lombok”, dalam : Adatrecht Bundels, XV, (s-Gravenhage Martnis Nijhoff,
1918), h. 135-140. Salah satu versi Babad Lombok selesai ditulis pada tahun
1301 H (1883 M). Lihat Lalu Wacana, Babad Lombok. (Jakarta: Departemen

7
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

Menurut H.J, de Graaf,15 jika informasi dalam Babad Lombok itu


dapat dibenarkan maka peristiwa itu berlangsung pada masa
pemerintahan Sunan Dalem di Giri, Gresik, yaitu antara tahun 1506
sampai 1545. Jika mengacu pada Babad Lombok dan berita Duarte
Barbarosa di atas, maka agama Islam di Tana Samawa datang atau
dibawa dari Jawa (Gresik) sekitar antara tahun 1518 sampai tahun
1545.
Selain dari Jawa, agama Islam dibawa ke Tana Samawa dari
Sulawesi Selatan oleh orang-orang Bugis dan Makasar, baik
dengan pedang (perang) maupun dengan cara damai melalui
perkawinan antara elit politik (penguasa) di pulau Sumbawa, baik
di kasultanan Bima maupun di kasultanan Sumbawa. Dalam kronik
Goa disebutkan bahwa Bima, Dompu dan Sumbawa ditaklukkan
oleh Karaeng Matoaya, raja Tallo yang juga perdana menteri
kerajaan Goa.Goa empat kali mengirim ekspedisi militernya ke
Bima, dua kali ke Sumbawa dan masing-masing satu kali ke
Dompu, Kengkelu (Tambora) dan Papekat.16 Pengiriman ekspedisi
kerajaan Goa ke Sumbawa berlangsung pada tahun 1619 menurut
cacatan harian kerajaan Goa dan tahun 1626 menurut catatan
Speelman.17 Dalam sumber lokal (Buku Kerajaan) berangka tahun
1032 H/(1623 M), disebutkan perjanjian Tanah Goa dan Tanah
Sumbawa dalam perang Sariyu. Dalam perjanjian tersebut
dinyatakan bahwa Raja Sumbawa dengan suka rela mengucapkan
dua kalimah syahadah di hadapan raja Goa, Tuminang Riagamana
dengan syarat adat dan rapangnya tidak diganggu atau dirusak.
Peristiwa tersebut disaksikan oleh Menteri Tetelu, Ranga Kiku,
Nene Kalibelah, Nene Juru Pasalan, Mamanca Lelima, Lelurah
Pepitu dan semua orang-orang besar kerajaan Sumbawa.18
Disisi lain kehadiran Islam di Sumbawa berhubung kait dengan
posisi dan letak geografis pulau Sumbawa pada jalur pelayaran-
perdagangan rempah-rempah dari Malaka dan Maluku, melalui

Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Dan Sastra


Indonesia Dan Daerah, 1979), h. 18-19.
15
H.J.de Graaf, op. cit: h. 356.
16
J. Noorduyn, “Makasar and The Islamization of Bima”, (Bijdragen van het
Koninklijk Instituut., deel 142, 1987), h. 327-328.
17
Loc. cit.
18
Lalu Manca, op.,cit: h. 55.

8
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

pesisir utara Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa yang sudah terbina
sejak awal abad ke-16 sebagaimana dilaporkan oleh Tome Pires,
seorang musafir Portugis. Tome Pires mengatakan bahwa pulau-
pulau yang dilalui setelah Jawa adalah Baly (Bali) Bombo
(Lombok), Cimbava (Sumbawa), Byma (Bima), Foguo (Pulau
Sangeng), Saloro (Solor), Malua (Alor), Lucucambay (Pulau
Kambing), Citar, Batojmbey dan pulau-pulau lainnya sambung me-
nyambung tak terputus.19 Pulau-pulau Sunda Kecil dengan air
minum yang baik dan berlimpahnya suplay makanan merupakan
tempat istirahat para pedagang Malaka dan Jawa dalam perjalanan
ke Maluku atau sebaliknya. Di dalam aktivitas perdagangan itu
terlibat para pedagang muslim, sehingga kontak dagang antara
penduduk setempat dengan pedagang muslim diduga sudah lama
berlangsung. Tidak tertutup kemungkinan sebagian diantara peda-
gang-pedagang muslim itu singgah dan menetap di Sumbawa se-
lama beberapa waktu, kemudian menyebarkan agamanya. Ada juga
kemungkinan bahwa aktivitas pedagang-pedagang muslim
Nusantara sepanjang jalur rempah-rempah menyebabkan agama
Islam tersebar luas, sehingga dalam hubungan ini perdagangan
menjadi faktor penting dalam Islamisasi di pulau di Sumbawa.

Berdirinya Kasultanan Samawa


Kapan proses Islamisasi mencapai puncaknya di Tana Samawa
(Sumbawa Barat) dan munculnya pusat kekuasaan Islam (kasul-
tanan Samawa) belum diketahui secara pasti. Lalu Manca
berpendapat Sultan Harunnurrasyid I yang memerintah 1674-1702
adalah raja/sultan pertama dari Dinasti Dewa Dalam Bawa. Dinasti
ini muncul setelah Dinasti Awan Kuning dengan rajanya yang
terakhir Dewa Maya Paruwa. Selama keberadaan Kasultanan Sa-
mawa sempat memerintah (berkuasa) 15 sultan, mulai dari sultan
pertama, Harunurrasyid I (1674-1702) sampai sultan ke-15, Mu-

19
Armando Cortesao,The Suma Oriental of Tome Pires : An Account of the
East from Read Sea to Japan , Written in Malacca and India in 1511-1644.
Translated from Portuguese MS in the Bibliothique de la chamber des Deputes,
Foris and Edited by Armando Cortesao, (London : The Hakluyt Society, 1944),
h. 200-202.

9
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

hammad Kaharudin III (1931-1958 ).20 Kalau kita mengacu pada


pendapat J. Noorduyn, kasultanan Samawa sudah berdiri sebelum
tahun 1648, meskipun tidak diketahui siapa nama rajanya. Menurut
Noorduyn selama keberadaannya di kasultanan Sumbawa sempat
memerintah 18/19 raja atau sultan, dimulai dari Mas Pamayan atau
Mas Cini (1648-1668) sebagai raja yang kedua dan Sultan Mu-
hammad Kaharuddin (1931-1958) sebagai sultan yang ke-19.21
Sultan yang paling lama berkuasa/memerintah adalah Sultan
Amrullah (1837-1883), beliau adalah sultan yang ke-13 menurut
versi Lalu Manca dan sultan yang ke-17, menurut versi Noorduyn.
Secara astronomis letak kasultanan Sumbawa antara
B.T.116035’ dan B.T.1180 15’ dan antara L.S. 805’ dan 905’ menit.
Luasnya sekitar 844 km persegi dengan wilayah hukum menurut
Lange Politik Contrak (1938) sebagai berikut. Di sebelah utara
berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudra
Hindia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan di sebelah timur
dengan Kerajaan Dompu. Terdiri atas tanah (pulau) sebagai
berikut. Pertama, sebagian dari pulau Sumbawa, yaitu tanah di
sebelah barat kabupaten (landschap) Dompu, Garis batas antara
kasultanan Sumbawa dengan Dompu dimulai dari Ujung Pekat di
pesisir utara pulau Sumbawa, dari sana ditarik garis lurus ke arah
Ayer (Air) Lampa di sungai Kowangko dan dari sana kemudian
ditarik garis lurus ke arah Ujung Batu Kerbo di pesisir selatan
pulau Sumbawa. Kedua, pulau-pulau kecil lainnya yaitu pulau-
pulau Dewa, Buraang, Rakit, Defi, Tai Kebo, Lipan, Santigi, Natu,
Dempu, Tangar, Papan, Ngali, Batu, dua pulau kecil dekat Pulau
(pulu) Ngali, Liang, Dengar, Mayo, Medang, Kramat, Kamudu,
dua pulau kecil ber-nama Pulau Panjang, Ranga, Kaung, Bungin,
Kalong, Lawang, Bilang, Kili, Pasaran, Ular, Batu, Nyamuk,
Puyin, Raja Kepeng dan Kuwu.22 Wilayah kasultanan Sumbawa
menurut Lange Politiek Contract 1938 sebagaimana dikutip Lalu
Manca sama seperti yang disebutkan oleh J.E. Jasper dalam

20
Lalu Manca, op.cit., h. 93-166.
21
J. Noorduyn,Bima en Sumbawa, Bijdrage tot de Geschiedenis van de
Sultanaten Bima en Seombawa door a. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.”,VKI. 129
(Foris Publications Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijalage I.
22
Lalu Manca, op.cit. : 86-87.

10
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

artikelnya yang terbit 30 tahun sebelumnya,23 atau dalam kontrak


antara kompeni dengan Sultan Sumbawa pada tahun1875.24 Ini
berarti bahwa selama 63 tahun wilayah kasultanan Sumbawa tidak
mengalami perubahan. Jasper juga mencatat sejumlah pelabuhan di
wilayah kasultanan Sumbawa, yaitu Jambu, Labuaji, Tawejung,
Labun Bonto, Telok Santong, Labuh Juntal, Kuris, Sumbawa,
Labuh Penyorong, Labuh Buer, Labuh Alan, Labuh Alapan, Labuh
Sepake, Labuh Balat dan Labuh Lalar.

Gambar 1: Istana Sultan Sumbawa, Dalam Loka (sebelum dipugar)

Wilayah dan Sistem Pemerintahan


A. Pembagian Wilayah
Wilayah kesultanan Sumbawa seperti dipaparkan di muka,
terdiri atas: a). Wilayah inti kerajaan (hoofdplaats), b). Wilayah di

23
J.E. Jasper, “Het Eiland Soembawa En Zijn Bevolking”, Tijdschrift voor
het Binnenlandsche Bestuur, deel 34, (1908), h. 76-77.
24
J. Noorduyn, Bima en Sumbawa, Bijdrage tot de Geschiedenis van de
Sultanaten Bima en Seombawa door a. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.,VKI. 129,
(Foris Publications Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijalage VII, h.
161-162.

11
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

luar inti kerajaan atau pengantong,dan c).Wilayah vazal Wilayah


inti adalah Sumbawa (Sek; kota Sumbawa Besar) yang merupakan
ibukota kasultanan, terbagi menjadi 4 kampung atau karang yaitu
Lĕmpi, Brangbara, Samawa Puwĕn dan Lawang Sekĕtĕng. Lĕmpi
diperin-tah oleh Dea Longan Lĕmpi, Brangbara oleh Dea
Kademungan, Samawa Puwĕn oleh Dea Longan Samawa Puwĕn
dan Lawang Sekĕtĕng diperintah oleh Datu Busing.Wilayah inti
kerajaan dihuni oleh golongan penduduk yang disebut Tau Juran.25
Sehubungan dengan pembagian ibukota menjadi empat karang atau
kampung, maka Sumbawa Besar disebut ampat lawang, yang
artinya empat pintu.26 Apakah pembagian empat itu mempunyai
makna religius-magis atau hanya sekedar kegunaan yang praktis
dalam penataan kota,perlu dikaji lebih jauh. Selain di wilayah inti
kerajaan, Datu Busing berkuasa ataskampung Panjaring dibagian
timur kasultanan Sumbawa (Samawa).
Sebagian besar wilayah di luar wilayah inti terbagi kedalam 10
wilayah yang disebut penganton dan setiap penganton diperintah
oleh seorang Otak Penganton. Ke sepuluh Otak Penganton itu
adalah : Dea Ranga, Dea Kalibela, Datu Busing, Dea Longan
Samawa Puwĕn, Dea Bawa, Dea Mangku, Dea Ngarru, Bumi
Ngampo, Demong Kriya dan Demung Mapin. Ligvoet, menyebut
tujuh yang pertama sebagai binnen-penganton atau penganton
dalam dan tiga yang terakhir sebagai buiten-penganton atau
penganton luar.27 Disebut demikian, karena mereka bertempat
tinggal di dalam dan di luar ibukota kerajaan. Di antara nama-nama
Otak Penganton diatas, ada yang merangkap jabatan, yaitu Dea
Ranga, Dea Kalibela, Datu Busing, dan Dea Longan Samawa
Puwĕn. Jabatan rangkap itu memberikan kewenangan tambahan
bagi yang bersangkutan, sehingga dapat menyulitkan sultan karena
ada diantaranya yang menganggap diri sebagai semacam onder-

25
A. Ligvoet, Aanteekeningen Betreffende den Economischen Toestand en
de Ethnographie van het Rijk van Sumbawa”, Tijdschrift voor Indische Taal-,
Land , en Volkenkunde, deel 23, (1876), h. 574.
26
Helius Syamsuddin, “Perubahan Politik Dan Sosial Di Pulau Sumbawa:
Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa (1815-1950),” Makalah Seminar
Sejarah Nasional IV di Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985), h. 618.
27
A.Ligvoet. op.cit. h. 575.

12
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

koning (raja bawahan) yang kadang-kadang membangkang pada


pemerintah pusat.28 Para kepala penganton ini termasuk dalam
pemerintahan kerajaan (rijksbestuurder) dan kelas bangsawan.
Selain itu, di dalam wilayah penganton terdapat pejabat-pejabat
bawahan yang disebut nyaka, yang langsung berada di bawah para
kepala penganton. Namun, berbeda dengan para kepala penganton
yang diangkat dan diberhentikan oleh sultan, maka nyaka yang
sederajat dengan kepala desa atau kepala beberapa kampung dipilih
oleh rakyat. Sebaliknya, kampung Bugis dekat Sumbawa diperintah
seorang Bugis yang bergelar kapiten, dibantu dua pejabat bawahan
disebut panglima, sedangkan tempat-tempat di mana orang-orang
Bugis bermukim dipimpin oleh pejabat bergelar Matowa.29
Wilayah vazal terdiri dari Taliwang, Seran (Seteluk) dan Jare-
weh, masing-masing diperintah oleh seorang pejabat bergelar datu
atau datu meraja. Yang menarik perhatian bahwa ketiga penguasa
(datu) negara vazal ini (Taliwang dan Jerewe) dapat diangkat
menjadi Sultan Sumbawa atau Sultan Sumbawa dapat merangkap
sebagai penguasa di daerah vazal. Sultan Hasanuddin atau
Alauddin, sultan ke-10 (versi Noorduyn) adalah Datu Jerewe;
Sultan Muhammad Jalaluddin, sultan ke-11 (versi Noorduyn)
adalah Datu Taliwang dan Sultan Harun Al-Rasyid, sultan ke-12
(versi Noorduyn) adalah Datu Jerewe.30 Mereka dibantu tiga orang
menteri atau menteri telu dengan nama atau sebutan yang
berlainan. Di Taliwang ketiga menteri yang mendampingi Datu
Taliwang adalah Enti Desa, Kanu dan Pelasan, di Jerewe, Enti
Desa, Pelasan dan Mekal Tana, sedangkan di Seran adalah Raja
Desa, Mariah dan Demang Garah.31 Dengan demikian sistem atau
struktur birokrasi di negara vazal sama dengan di pusat kerajaan.
Ketiga wilayah vazal ini disebut Telu Kamutar atau Negeri
Kamutar (kamutar-landen). Sebelum orang-orang Bali
menaklukkan pulau Lombok (Selaparang), pulau itu termasuk
negara vazal kerajaan Sumbawa sehingga disebut Ampat kamutar.32
Setiap wilayah vazal dibagi-bagi lagi menjadi wilayah yang lebih

28
Helius Syamsuddin, op.cit. h. 618.
29
A.Ligvoet, op.cit. h. 579
30
J.Noorduyn, op.cit.Bijlage I.
31
Lalu Manca, op.cit. : 83-85.
32
Ibid : 555.

13
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

kecil (galarang schappen), dipimpin oleh seorang galarang.


Galarang atau galarang kepala dijumpai juga dalam struktur
birokrasi kerajaan Goa dan kerajaan Bima.
Setelah Datu Seran dan Datu Jerewe meninggal dunia, wilayah
kekuasaannya, Seran dan Jerewe langsung diperintah oleh sultan.
Zollinger menyebut kepala pemerintahan Taliwang, Raja Desa,33
sedangkan Ligtvoet menyebutnya Enti Desa, sebaliknya penguasa-
penguasa Seran dan Jerewe menyebut dirinya, Datu, tetapi Ligtvoet
menyebutnya Ranria.34 Dalam hal hubungan pemerintah pusat
dengan ketiga negara vazalnya, sultan menyerahkan sepenuhnya
kepada tiga pejabat tinggi kerajaan (rijksgrooten), Dea Ranga, Dea
Kalibela dan Dea Dipati. Taliwang hanya berurusan dengan Dea
Ranga, Seran (Seteluk) dengan Dea Kalibelah dan Jerewe dengan
Dea Dipati. Jika sampai terjadi Dea Rangga berhubungan langsung
dengan Seran atau Jerewe tanpa melalui Dea Kalibela atau Dea
Dipati, maka hal itu disebut lontak lawang (overschrijven van
deur), tindakan itu dipandang sangat tercela dan Dea Rangga dapat
didenda, demikian juga halnya jika terjadi pada dua pejabat
lainnya.35
Selain dari wilayah-wilayah yang telah disebutkan di atas,
menurut J.E Jasper masih ada sejumlah desa yang dikuasai oleh
pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Datu (Dea) Rangga berkuasa atas
desa-desa Ampang dan Plampang (di bagian timur), Utan, Alas dan
Mapin (di bagian barat), Suri, Selesek, Garantah dan Dodo (di
bagian tengah). Datu (Dea) Kalibelah, berkuasa atas desa-desa
Baturotok, Jamu Baudesa dan Tongkon-Pulit, Dipati Longang
menguasai desa Boer, Tengahanom dan Lampui, Kadimongang

33
H. Zollinger, “Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa en eenige
plaatsen op Celebes, (Saleir en Flores”, VBG.1850), h. 161.
34
A. Ligvoet, op. cit. h. 579.
35
H.Zollinger, op. cit; h. 161; A. Ligvoet, op. cit. h. 579. Menurut Peter R.
Goethals, istilah lontak lawang (jump over the gate) “refers to the villager who
flees his own community when in distress and than appeals for protection or
adjudication to the authorities of another area”. (Periksa : Peter R. Goethals,
Aspects of Local Government in A Sumbawan Villagers (Eastrn Indonesia).
Monograph Series, Modern Indonesian Project, Southeast Asean Program De-
partemen of of Far Eastern Studies, (Cornel University, Ithaca, New York,
1961), h. 20.

14
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

menguasai desa-desa Mungkin, Kelawis dan Kupu, sedangkan


Tomilalang atas desa Sesat.36

Gambar 2: Salah satu makam


dikomplek makam Sampar (Sumbawa)

B. Pemerintahan dan Sistem Titulatur


Dalam struktur birokrasi kasultanan Samawa, pemegang
kekuasaan tertinggi pemerintahan adalah sultan, diangkat atas dasar
turun-temurun dari Dinasti Dewa Dalam Bawa oleh suatu lembaga
yang disebut Dewan Hadat atau Dewan Hadat Syara atau Dewan
Syara Hukum Islam. Sultan dalam bahasa Sumbawa disebut Datu
Mutar, tetapi oleh rakyatnya disebut Dewa atau Dewa Mas Sa-
mawa. Gelar Dewa adalah gelar yang lazim dipakai untuk golongan
kesatria dalam sistem kasta di Bali.37 Di atas telah disinggung
bahwa dalam Kidung Pamancangah disebutkan bahwa Pasung
Girih, raja Bedahulu mengirim ekspedisi ke Sambhawa yang pada
waktu itu diperintah oleh Dĕdĕlanatha. Bahkan dalam sumber yang
sama disebutkan perkawinan cucu perempuan Mpu Kapakisan,
seorang Brahmana dari Jawa dengan seseorang dari Sambhawa.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika raja Batu Renggong
berkuasa dikerajaan Gelgel dengan ibukotanya Samprangan

36
J.E. Jasper, op.cit. : 80.
37
L.W.C. van den Berg, “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch
Indie,“ (Bijdragen van het Koninklijk Instituut, LIII, 1902), h. 1-80.

15
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

(Gianyar), Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali,


tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa dan seluruh
Blambangan sampai Puger (Lumajang). Apakah Sambhawa
(Sumbawa) yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Gelgel
identik dengan pulau Sumbawa (Samawa) atau hanya Sumbawa
bagian barat saja, masih perlu dikaji lebih jauh. Namun informasi
di atas dapat menjelaskan keberadaan nama atau gelar dewa dalam
system titulatur kerajaan Sumbawa, ada kemungkinan bahwa gelar
atau nama itu merupakan pengaruh atau diadopsi dari sistem
titulatur yang sudah ada di Bali. Jabatan atau gelar lain yang
ditenggarai merupakan pengaruh atau diadopsi dari Bali adalah
permekal atau perbekal, dalam struktur birokrasi kerajaan
Sumbawa berada di bawah koordinasi Dea Ranga, sedangkan di
Bali, perbekĕl setingkat dengan kepala desa.
Gelar mutar dalam bahasa Melayu sama dengan putar. Ligtvoet
mengatakan bahwa Datu Mutar adalah “de vorst, wiens bevelen
overall rond gaan”, misschien in tegenoverstelling van zijne
hoofden, daar de bevelen van deze in en beverken slechts kring
gehoorzaamd worden. Sedangkan Welligt mengartikan kata
kamutar dalam konteks nama/gelar Tallu Kamutar, “onder de
bevelen van Datoe Moetar gebragt” sama dengan Tau Kamutar, di
bawah kekuasaan Datu Kamutar.38 Setelah meninggal sultan akan
mendapat nama gelar anumerta sesuai dengan nama tempat dimana
ia dimakamkan misalnya Lĕngĕt pang Gunung Satiya, yang artinya
yang meninggal di Gunung Satiya.39 Gelar-gelar anumerta lazim
diberikan kepada raja-raja Bugis Makasar dan sultan-sultan Bima.
Di atas telah disinggung bahwa dalam menjalankan tugas
pemerintahan, sultan didampingi oleh Dewan Hadat. Pemerintahan
semacam ini terdapat juga di kasultanan Bima meskipun dengan
struktur yang berbeda. Pada prinsipnya sama, dalam posisinya
sebagai penguasa tertinggi, sultan juga sebagai khalifah dalam
pengertian sebagai pemimpin negara dan kepala agama, sekurang-
kurangnya sebagai lambang pengikat.40 Dalam struktur kerajaan
Samawa Dewan Hadat Syara ini terdiri atas dua elemen yang

38
A. Ligvoet, op.cit. h. 564.
39
Ibid., h. 556.
40
Helius Syamsuddin, op.cit.. h. 616.

16
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

masing-masing mewakili adat dan syara’ (ajaran Islam). Meskipun


para pemangku adat beragama Islam, tetapi tugas mereka lebih
banyak berurusan dengan eksekutif, sedangkan para pemangku
syara mengurus aspek-aspek keagamaan yang bersifat ritual sakral
bagi negara dan rakyat.
Di kasultanan Samawa, terutama pada masa pemerintahan
Sultan Amrullah (1837–1883), dalam menjalankan pemerintahan
sul-tan didampingi oleh Dewan Hadat yang terdiri dari Dewan
Pembesar Kerajaan (Raad van Rijsksgrooten), Mamanca Lima dan
Enam Lalurah. Dewan Pembesar Kerajaan terdiri dari : Dea Ranga,
Dea Kalibela dan Dea Dipati. Selain sebagai ketua Dewan Hadat,
Dea Ranga juga bertindak sebagai perdana menteri (Rijksgrooten).
Sebelumnya, masih ada lagi seorang pembesar kerajaan yang di-
sebut Enti Desa, oleh Zollinger disebutnya sebagai Nenti Desa,
bahkan oleh Zollinger ditambah seorang lagi yang bernama Desa
Sĕmĕde.41 Mamanca Lima terdiri atas Dea Kademongan, Dea
Longan Samawa Puwĕn, Demung Lango. Makkal (Mekal) Tana,
dan Mantri Teban. Sedangkan keenam lelurah adalah: Nyaka
Ngerru (sebagai ketua), Nyaka Pulit, Nyaka Pamulung, Nyaka
Samawa Puwĕn, Nyaka Bangkung dan Nyaka Berare.42 Menurut
Lalu Manca, jumlah lelurah bukan enam tapi tujuh yaitu: Ngeru
(sebagai ketua), Demung Putih, Nyaka Samapuin, Nyaka
Pemulung, Nyaka Bangkong, Nyaka Berare dan Nyaka Lamok,
sehingga lembaga ini disebut Lelurah Pitu.43 Kedua lembaga di atas
(Ma-manca Lima dan Lelurah Pitu) disebut Penganton(g) Dua
Olas atau 12 lingkungan kekuasaan, tetapi bukan sebagai wilayah
ke-kuasaan (bestuurrs-ressort) karena yang termasuk pengantong
adalah tanah ulayat. Mereka yang hidup bermata pencaharian di
tanah-tanah tersebut dikenakan paboat haji atau bakti yang

41
H. Zollingre, op. cit. h. 161; A. Ligvoet, op.cit,. h. 571. Mungkin Zollinger
benar karena dalam kontrak tahun 1858, antara kompeni dengan Sultan
Sumbawa ada lima pejabat tinggi kasultanan Sumbawa yang menandatangani
kontrak, yaitu: Muhammad Jamaludin (sebagai Dea Ranga), Muhammad Yasin
(sebagai Kali Bela ), Makasaoe (sebagai Dea Patie/Dipati), Muhammad Tamin
(sebagai Dea Sema (e) de), Abdul Rakhim (sebagai Dea Kemen) dan Abdullah
(sebagai Dea Tamin). Periksa: J.Noorduyn. 1987. op.cit., h. 147.
42
A.Ligvoet, op.cit.h. 571.
43
Lalu Manca, op.cit. h. 77.

17
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

diserahkan kepada raja atau kerajaan berupa hasil bumi dari


wilayah itu yang disebut bunga antin.
Dari paparan di atas, ada perbedaan data yang disampaikan oleh
Ligvoet dengan Lalu Manca berkenaan dengan jumlah anggota
lelurah dan otak pengantong. Menurut Ligvoet jumlah lelurah ada
6 (enam), sedangkan menurut Lalu Manca jumlah lalurah ada 7
(tujuh). Jumlah otak penganton (hoof van een peganton) menurut
Ligvoet adalah 10 (sepuluh) termasuk didalamnya Dea Ranga dan
Kalibela. Kesepuluh Otak penganton (pengantong) tersebut adalah
Dea Ranga, Kalibela, Datu Busing, Dea Longan Samawa Puwĕn,
Dea Bawa, Dea Mangku, Dea Ngarru, Dea Ngampo, Demung
Kroya dan Demung Mapin. Ligvoet menyebut tujuh yang pertama
sebagai penganton dalam (binnen penganton) dan tiga yang
terakhir sebagai penganton luar (buiten penganton).
Sebaliknya, menurut Lalu Manca jumlah pengantong adalah 12
sehingga diberi nama Penganton Dua Olas. Keanggotaannya terdiri
dari semua anggota Mamanca Lima dan Lerurah Pitu saja, tidak
termasuk didalamnya Dea Ranga dan Kalibela. Menurut hemat pe-
nulis, perbedaan itu karena situasi yang digambarkan berbeda, data
yang disampaikan oleh Ligvoet lebih dekat dengan situasi pada
masa pemerintahan Sultan Amarullah (1837-1883) karena artikel
Ligvoet diterbitkan pada tahun 1876, sedangkan data yang disam-
paikan oleh Lalu Manca menggambarkan pemerintahan kasultanan
Sumbawa masa sesudahnya. Dalam Adat Tana Samawa, ketiga
lembaga tersebut adalah Menteri Telu (Dea Ranga, Kalibela dan
Dipati), Mamanca Lima dan Larurah Pitu. Lembaga ini kemudian
disebut Majelis Lima Belas Orang.
Gelar Deasetara dengan gelar raden, karena itu termasuk go-
longan bangsawan (adelijk titel) yang tidak berasal dari kalangan
istana.44 Namun, tidak selalu demikian karena ada jabatan atau
gelar Dea yang bersifat pemberian (ambtelijk titel) misalnya : Dea
Sawah dan Dea Batĕkal. Dea Batĕkal pejabat yang bertugas
menyimpan padi (beras) milik sultan di kampung Karang Tunggal,
padi tersebut berasal dari tiga wilayah penganton luar (Dĕmung
Mapin, Bumi Ngampo dan Dĕmung Kroya), sedangkan Dea Sawah
adalah penguasa di Kampung Brangbiji, tugasnya antara lain

44
A. Ligvoet, op.cit. h. 558.

18
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

mengurusi pejabat rendahan dan warga Bima merdeka yang datang


ke Sumbawa untuk membayar pajak. Nyaka adalah gelar/jabatan
(ambte-lijk titel) setingkat dengan kepala desa. Tetapi gelar nyaka
sering dikaitkan dengan nama kampung misalnya Nyaka
Ramoloong, Nyaka Bakkat, Nyaka Lopok dan Nyaka Sagawe.
Mungkin nyaka ada hubungannya dengan nayaka yaitu aparat atau
pegawai pa-mongpraja. Dalam berbagai prasasti di Jawa, nayaka
adalah jabatan ditingkat desa yang merupakan orang kepercayaan
raja. Gelar lain yang kemungkinan diadopsi dari Jawa adalah
ngabai, gelar ini mengingatkan pada gelar ngabei atau ngabehi dari
daerah vorsten-landen Surakarta, yaitu gelar bangsawan kelas
rendah (lagere adel atau ambtenaar van middelbare rang)
misalnya Raden Ngabei Ronggowarsita, seorang pujangga keraton
Surakarta.
Dalam pemerintahan sehari-sehari, pada umumnya sultan dan
mangkubumi Dea Ranga yang memberikan perintah, sedangkan
anggota hadat lainnya hanya menjalankan perintah, atau mereka
sama sekali diabaikan, bahkan sultan sendiri menurut Ligtvoet, jika
mempunyai seorang Dea Ranga yang energiek dan eerzuchtig (gila
hormat), maka sultan tidak dapat berbuat apa-apa. Dea Ranga dapat
atas nama sultan memegang kekuasaan nyata di seluruh kasultanan.
Hal itu antara lain menjadi sumber konflik dan intrik istana.
Para pejabat di bidang keagamaan (syara) adalah kali (kadi),
jumlahnya hanya satu di seluruh kerajaan, kemudian sejumlah
imam, pengulu, lebe, kabir, lurah, hatib dan bilal.45 Petugas yang
merawat masjid disebut marbat (marbot), tetapi mereka tidak ter-
masuk pejabat keagamaan. Penamaan tersebut sebenarnya masih
rancu, karena kadi atau pengulu (penghulu) adalah nama jabatan
dalam bidang keagamaan, sedangkan imam, khatib dan bilal adalah
nama-nama yang berkaitan dengan tugas seseorang dalam ritual
keagamaan di masjid. Seorang kadi atau penghulu pada saat
tertentu dapat bertindak sebagai iman, khatib, tapi tidak bisa untuk
sebaliknya. Menurut catatan Ligvoet, diibukota kerajaan Samawa
ada sekitar 88 pejabat keagamaan, sebagian diantaranya tinggal di
sekitar istana sultan dan di sekitar masjid.46 Penghasilan pejabat

45
Ibid., h. 579.
46
Ibid, h. 580.

19
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

keagamaan ini berasal dari zakat, jumlahnya 3 ikat dari setiap 100
ikat padi.

Penduduk dan Pelapisan Sosial


Penduduk Sumbawa atau kerajaan Samawa terdiri dari pen-
duduk asli dan pendatang. Penduduk Sumbawa yang lebih tua, me-
nurut Lalu Manca, tinggal di pegunungan Ropang, Lunyuk dan
Batu Lante, mereka terdesak oleh para pendatang yang menempati
pesisir utara dan barat. Secara fisik sebenarnya orang Sumbawa
tidak berbeda dengan orang-orang Sasak, penduduk asli pulau
Lombok. Bahkan menurut Jasper, penduduk kasultanan Sumbawa
berasal dari suku Sasak.47 Ligvoet membagi penduduk kerajaan
Sumbawa pada masa pemerintahan Sultan Amarullah dalam lima
kelas yaitu ; bangsawan (adel), taujuran, tau kamutar, orang-orang
asing (vreemdelingen) dan budak.48 Menurut Helius Syamsuddin
penggolongan Ligvoet tersebut kurang tepat, karena memasukkan
orang-orang asing seperti Makasar, Bugis, Selayar, Mandar dan
Arab, bahkan Cina, kulit putih atau orang-orang non Sumbawa
lainnya yang tidak terkait dengan pelapisan sosial itu. Sumbawa
kata Helius Syamsuddin, mempunyai pelapisan masyarakat tersen-
diri yang dalam garis besarnya terdiri atas: bangsawan, rakyat dan
budak.49 Sanggahan Helius Syamsuddin terhadap Ligvoet di atas
mungkin benar, tetapi yang digolongkan oleh Ligvoet menjadi lima
kelas itu adalah penduduk (bevolking) kerajaan Sumbawa, bukan
orang-orang atau masyarakat Sumbawa itu sendiri. Di antara kelas
bangsawan paling sedikit ada dua tingkatan yang terbentuk
berdasarkan atau menurut jauh dekat hubungannya dengan sultan
melalui perkawinan yaitu, Datu dan Dea, bahkan pada abad ke-20
terjadi mobilitas vertikal dari Dea ke Datu.50 Sebaliknya, Kuperus

47
J.E Jasper. Op.cit. h. 100.
48
A.Ligvoet, Op. cit. h. 556. Periksa juga : G. Kuperus, Het Cultuurland
schap van West – Soembawa. Bij. J.B. Wolters Uitgevers – Maatschappij, (N.V.
Groningen-Batavia, 1936), h. 73-74.
49
Helius Syamsuddin, : Op.cit. h. 62
50
Loc.cit. Dalam Kamus Sumbawa-Indonesia, datu diterjemahkan dengan
raja, sedangkan dea dengan pangeran. Periksa: Sumarsono dkk., Kamus Sum-
bawa-Indonesia. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depar-
temen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 29.

20
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

membagi kelas bangsawan itu menjadi dua yaitu bangsawan yang


berdarah murni (zuiveren bloede) atau ruwe datu dan bangsawan
berdarah campuran (gemengden bloede) atau ruwe Ai’kuning.51
Hirarki tertinggi dari kelas atau golongan bangsawan adalah
sultan dan keluarganya serta para pejabat kerajaan lainnya. Dalam
bahasa setempat, sultan disebut Datu Mutar, sedangkan rakyat
menyebutnya Dewa. Selain itu sultan juga memiliki berbagai nama
atau gelar misalnya Dewa Meraja atau Dewa Mas Samawa. Gelar-
gelar tersebut memperlihatkan pengaruh pra Islam, yaitu konsep
“dewa raja.” Setelah wafat, raja atau sultan mendapatkan gelar
anumerta sesuai dengan nama tempat dia dimakamkan, misalnya
Dewa Loka Ling Sampar, Dewa Ling Gunung Satia, Dewa Lenget
Ling Dima dan lain-lain. Gelar anumerta seperti itu dipakai juga
oleh raja atau sultan Bima dan Bugis-Makasar. Anak laki-laki
sultan dari perkawinannya dengan wanita sederajat disebut Datu,
sedangkan anak dari Datu disebut Daeng. Gelar Datu tidak hanya
dipakai oleh putra-putri kerajaan, juga oleh penguasa suatu daerah
atau dikaitkan dengan nama tempat misalnya Datu Busing,
penguasa daerah Ree. Kebiasaan ini lazim dalam system titulatur
kerajaan Goa misalnya nama-nama Karaeng Bontolangkosa,
Karaeng Mandalle dan Karaeng Manjalieng.52 Anak dari Datu yang
kawin dengan wanita golongan Dea bergelar lalu atau raden masak
untuk laki-laki, lala untuk perempuan, gelar ini dipakai juga oleh
anak-anak sultan dari perkawinannya dengan perempuan yang
bukan bangsawan. Anak laki-laki sultan oleh kelas yang lebih
rendah ada kalanya dipanggil Intan atau Mas dan pada usia 10 atau
12 tahun mereka akan mendapatkan gelar Daeng. Anak yang lahir
dari perkawinan lalu dan lala disebut raden penganten, sedangkan
anak yang dilahirkan dari perkawinan raden penganten bergelar
raden. Menurut Ligvoet53 gelar Raden sama dengan Dea, termasuk
gelar kebangsawanan yang tidak berasal dari kerajaan Sumbawa
tetapi masih termasuk keturunan atau memiliki hubungan darah
dengan dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Ai’-Koening. Anak
Raden atau Dea dari perkawinannya dengan wanita kelas rendah

51
G. Kuperus, op.cit., h. 73-74.
52
Ligvoet, op.cit.,h. 556.
53
Ligvoet, Op.cit. h. 558-559.

21
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

tidak diberi gelar kebangsawanan, oleh karena itu mereka tidak bisa
disebut sebagai keturunan Ai’-Koening, tetapi hanya berasal (atsal)
dari Ai’-Koening saja. Demikian juga anak yang lahir dari
perkawinan seorang yang bergelar dea dengan perempuan dari
rakyat biasa tidak mendapatkan gelar, tetapi mereka dipandang
sengai keluarga kerajaan dikenal dengan nama Ai’-Koening atau
Atsal Ai’-Koening. Anak datu yang kawin dengan wanita biasa
disebut raden atau panggilannya lalu (untuk laki-laki) dan lala
untuk anak pertempuan. Perkawinan campuran antara golongan
bangsawan dengan wanita biasa, dapat menurunkan nilai
kebangsawanan sehingga sedapat mungkin dihindari. Putri (anak
wanita) seorang Datu tidak diizinkan kawin dengan lelaki dari
golongan yang lebih rendah. Sebelum terbentuknya kerajaan,
golongan Dea adalah penguasa daerah tertentu misalnya : Dea
Longan. Dea Ngeru, Dea Sekayin, dan lain-lain. Oleh karena itu
gelar Dea itu ada dua, pertama yang asli dan turun-temurun
(adellijk titels), sedangkan yang kedua, diberikan oleh raja
(ambtelijk titels) karena jasa-jasanya. Setelah kemerdekaan para
dea ini menjadi kepala distrik dengan sebutan demung, sedangkan
wilayahnya disebut kademungan. Jabatan demung kemudian
berganti nama menjadi camat, sedangkan wilayah kekuasaannya
disebut kecamatan. Anak dari Dea disebut lalu (untuk laki-laki) dan
lala untuk perempuan. Anak dari lalu (golongan Dea) yang kawin
dengan orang biasa disebut anak ajang.
Tau Juran dan Tau Kamutar adalah lapisan (strata) bawah dari
orang-orang Sumbawa yang merdeka, tetapi semua beban pajak
baik dalam bentuk uang maupun benda/barang (in natura) dibe-
bankan kepada kelompok ini, termasuk kerja paksa (heerendien-
sten). Jika Tau Juran lebih banyak yang membayar pajak maka Tau
Kamutar umumnya lebih banyak melakukan kerja paksa.54 Karena
nilai uang dianggap lebih tinggi dari pada nilai kerja, maka
diferensiasi terjadi antara kedua golongan rakyat tersebut.
Meskipun terjadi hubungan horinzontal antara keduanya, tetapi Tau
Juran menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya dari pada
Tau Kamutar. Menurut Helius Syamsuddin, dilihat dari hubungan
patron-client (sultan-Tau Juran dan sultan Tau-Kamutar), justru

54
A.Ligvoet, op.cit. h. 565.

22
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

Tau Kamutar adalah orang-orang sultan, artinya mereka langsung


di bawah Datu Mutar (sultan Sumbawa).55 Sebagian besar Tau
Juran bermukim di ibukota kerajaan sehingga ibukota kerajaan
disebut juga Tanah Juran. Mungkin karena lokasi bermukimnya
lebih dekat dengan tempat tinggal sultan (istana) maka status
mereka menjadi lebih tinggi dari pada tau kamutar. Di luar ibukota
kerajaan Tau Juran bermukim di Kampung Panyaring, di sebelah
timur ibukota. Tau Juran bertugas membantu mengerjakan dan
menanami tanah sawah sultan atau umaji (dari uma= ladang dan
aji= raja, jadi berarti sawah/ladang raja) tanpa mendapatkan upah
atau im-balan. Jika ada seorang laki-laki Tau Juran kawin dengan
wanita dari Tau Kamutar, anak yang pertama (tertua) menjadi Tau
Juran, anak yang kedua menjadi Tau Kamutar dan anak yang ketiga
kembali lagi menjadi Tau Juran, demikian seterusnya.
Menurut Ligvoet, Tau Kamutar dapat dibagi menjadi lima kelas
(ruwe) yaitu: bone balla (dayang-dayang atau pembantu rumah
tangga), jowa (pesuruh laki-laki), tuwan (ibu susuan/zoog-moeder),
tanuma (pengasuh anak/kindermeiden) dan tau rabowat aji (orang
pekerja sultan) khusus dari Ropang.56 Meskipun dari sisi hubungan
patron-client, Tau Kamutar lebih dekat dengan sultan, namun dari
sisi pekerjaannya, tau juran lebih terhormat sehingga menganggap
diri mereka lebih tinggi dari pada tau kamutar. Sebutan “kelas”
disini kurang tepat karena perbedaan itu merupakan pembagian
pekerjaan saja.57 Jika seorang laki-laki Tau Kamutar kawin dengan
perempuan dari Tau Juran, anak tertuanya menjadi Tau Kamutar,
anak kedua menjadi Tau Juran dan anak ketiga kembali lagi men-
jadi Tau Kamutar, demikian seterusnya. Menurut Ligvoet, Tau
Kamutar bertugas mensuplay kayu sappan kepada gubernement,
sedangkan rabowat aji (raboat = bekerja dan aji = raja ) adalah “de
werkleieden van den vorst“ (pekerja untuk raja) artinya hampir
identik dengan para abdidalem di keraton-keraton Jawa.58
Orang asing maksudnya adalah pendatang dari luar Sumbawa,
jumlah mereka di kerajaan Sumbawa cukup besar, sekitar 10.000
jiwa dari seluruh rakyat kerajaan Sumbawa yang jumlahnya sekitar
55
Helius Syamsuddin, op.cit. h. 621.
56
A.Ligvoet, op.cit. h. 565.
57
Helius Syamsuddin, op.cit. h. 621.
58
A.Ligvoet, op.cit. h. 565.; Periksa juga : G. Kuperus, op.cit.h. 75-76.

23
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

50.000 jiwa.59 Mereka terdiri dari orang-orang Makasar, Bugis,


Selayar, Mandar dan Arab. Pada masa kemudian, awal abad ke-19
pendatang ke Sumbawa tidak hanya dari Lombok, tetapi juga dari
Bali, Jawa dan orang-orang Cina. Para pendatang ini pada
umumnya bermukim di antara ibukota dan daerah pesisir (pantai).
Perkampungan orang Bugis misalnya terdapat di Panyorong dan
Labu Padi di pantai barat, sedangkan di daerah pesisir di kampong
Labuaji, Labu Jammu, Labu Bontong dan sebagian besar
diantaranya bermukim di di sekitar pelabuhan Sumbawa, misalnya
di Empang. Jika sultan pergi ke Makasar, tanpa ganti rugi mereka
menyediakan kapal/perahu untuk sultan karena perdagangan laut di
tangan mereka. Jika sultan, Dea Ranga atau pejabat kerajaan
lainnya mengirim sesuatu dari tempat tinggalnya, pedagang Bugis-
Makasar menyediakan sampan dengan dua pendayung untuk
mengangkut kiriman tersebut. Ada juga kemungkinan bahwa
sebagian terbesar sahbandar di pelabuhan Sumbawa adalah orang
Bugis.60
Munculnya golongan budak (tau ulin) dikalangan orang-orang
Sumbawa pada awalnya karena bahaya kelaparan akibat
meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815. Pada waktu itu
banyak orang Sumbawa yang menjual diri atau menjual anak-anak
mereka dengan segantang beras. Kelak keturunan mereka tetap
menjadi budak. Sebelum meletusnya Gunung Tambora, di
Sumbawa sudah dikenal budak yang dibawa dari Ende (Flores),
atau perempuan-perempuan dari Jawa yang dirampas oleh bajak-
bajak laut yang merajalela abad ke-19 dan dijual. Selain budak atau
tau ulin biasa, ada juga yang disebut budak hadat (tau ulin adat).
Mereka menjadi budak karena tidak sanggup membayar denda
setelah melakukan pelanggaran adat, sehingga mereka wajib kerja
pada mangkubumi.61 Akhirnya ada juga budak karena hutang yang
disebut pandelingen. Mereka berasal dari luar Sumbawa dan pada
umumnya adalah para onderdanen (kawula) Belanda. Dengan
alasan sebagai pandelingen mereka dibawa dengan perahu ke

59
Ibid, h. 569.
60
Ibid. h. 570.
61
Loc.cit.

24
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

Sumbawa dan dijual, sehingga dengan demikian mereka praktis


diperlukan sebagai budak.

Penghasilan sultan dan pejabat kerajaan


Penghasilan atau income sultan diperoleh dari hasil lahan
pertanian milik sultan dan dari pajak (belasting) baik pajak hasil
bumi maupun pajak perdagangan, terutama perdagangan ternak dan
opium. Sultan Samawa memiliki ladang atau sawah yang digarap
dan ditanami oleh penduduk ibukota kerajaan (tau juran) tanpa
upah (imbalan). Selain itu, ada tiga peganton luar, yaitu Demung
Mapin, Bumi Ngampo dan Demung Kroya, setiap tahunnya
masing-masing menyetor 300 ikat padi kepada sultan sebagai pajak
yang disebut pamangan. Padi ini disimpan oleh seorang pejabat
yang disebut Dea Batĕkal dikampung Karang Tunggal. Padi ini
ditumbuk menjadi beras oleh penduduk kampung Karang Tunggal
untuk memenuhi kebutuhan hidup sultan sekeluarga. Jika para
pejabat kompeni berkunjung ke Sumbawa, selama berada di ibu-
kota kerajaan mereka diperlakukan sebagai tamu dan dijamu oleh
Dea Batekal, makanan yang dihidangkan diambilkan dari padi atau
beras milik sultan.
Sultan juga mendapatkan penghasilan dari pajak antara lain
pajak penjualan (perdagangan) hasil bumi, ternak dan opium.
Menurut Ligvoet, tiga persen dari harga kuda yang terjual, (harga
kuda setiap ekornya rata-rata f 2,50) dan 5 atau 6 gulden perkoyang
dari 40 pikul beras yang dibeli oleh pedagang diserahkan kepada
sultan, sedangkan petani menyetor 1 gantang untuk setiap
pikulnya.62 Ber-dasarkan kontrak yang ditandatangani bulan Mei
1905, jenis pajak yang dipungut oleh sultan, adalah: 1) pajak
penjualan kuda untuk setiap ekornya f 3,75 sedangkan untuk setiap
ekor kerbau f.3, untuk beras dan kacang ijo f 10 per koyan dari 40
pikul dan untuk padi f 0.30 per pikul, untuk kofi f 2.50 per pikul
dan untuk lebah f 1,875 per pikul, 2).Tanaman padi yang jumlah
1/20 atau 5 ikat dari 100 ikat, dibagi antara sultan dan pejabat
kerajaan, 3). Pajak rumah yang jumlahnya f 2.50 dan 1 pikul beras
per rumah; 4). Penjualan opium, 5). Pembelian/penjualan ternak
kerbau yang dipungut oleh Datu Kademongan sebesar f 2.50 per

62
A.Ligvoet, op.cit. h. 583

25
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

ekor, 6). Penebangan kayu kuning atau kayu tegerang oleh rakyat,
untuk setiap pikul harus membayar pajak f 1. Ketika itu bea keluar
(ekspor) ada di tangan gubernemen, kepada sultan diserahkan uang
ganti rugi (konpensasi) f 6000 per tahun. Untuk setiap ekor kuda
dan kerbau yang diekspor, sultan mendapatkan f 2,50 per ekor,
Setiap tahun dari Sumbawa diekspor 2500 ekor kuda dan 2000 ekor
kerbau, sehingga total pendapatan sultan setiap tahunnya f 11.000
lebih. Pajak perdagang-an opium dipungut oleh pemerintah
gubernemen dan sultan mendapatkan kompensasi sebesar f 8000
setiap tahunnya.63 Di Sumbawa terdapat sejumlah tempat penjualan
opium, 1 di Sumbawa Labuan, 2 di kampong Bugis, 5 di Utan, 2 di
Panyorong, 3 di Alas, 2 di Seteluk, 5 di Taliwang, 1 di Jambu, 1 di
Labuan Ampang, 1 di Labuan Bonto, 2 di Kuris, 2 di Rei dan masih
banyak lagi di Plampang.64
Pada tahun 1884 mulai ditanam kofi di hutan-hutan di distrik
Ropang. Karena tanahnya milik sultan, kopi itupun dijual dengan
harga murah kepada sultan dan jika sultan mengadakan pesta
diperlukan makanan yang disediakan oleh rakyat. Jika Sultan jatuh
sakit atau mendapatkan musibah, rakyat kerajaan Sumbawa dari
semua lapisan masyarakat mengirimkan sesuatu yang disebut
nguri. Jika sultan hendak pergi ke Makasar, setiap negara vazal
(Tali-wang, Seran dan Jereweh) menyetor uang 100 rijkdaalders
dan sejumlah beras dengan harga tertentu. Sedangkan
penduduk/rakyat Sumbawa lainnya diharuskan menyetor uang 1
rijksdaalder, 1 pikul dan 1 gantang (5 kati) beras. Uang dan beras
yang disetorkan itu digunakan untuk biaya perjalanan pulang-pergi
Sumbawa-Makasar dan biaya hidup selama tinggal di Makasar.

Penutup
Sebagai bukti keberadaan kasultanan Sumbawa di masa
lampau, di kota Sumbawa Besar hingga saat ini masih berdiri
kokoh sebuah bangunan bekas istana Sultan Sumbawa yang disebut
Dalem Loka (Istana Tua) atau disebut juga Bale Rea (Rumah Besar
atau Rumah Raja). Tidak jauh dari Dalem Loka terdapat Makam

63
J.E. Jasper, op.cit.h. 130-131.
64
Ibid. h. 112-113.

26
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

Sampar, kompleks makam sultan-sultan Sumbawa dan


keluarganya.
Secara administratif Dalem Loka termasuk wilayah Desa
Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Besar.
Nama Dalem Loka diberikan untuk membedakannya dengan istana
baru yang dibangun pada tahun 1931-1932. Istana ini dibangun
pada tahun 1885 pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Jalaluddin Syah III (1883- 1931) oleh rakyat secara gotong royong.
Tukang-tukangnya didatangkan dari seluruh wilayah kerajaan
dipimpin oleh Iman Haji Hasyim. Bahan bangunan diambil dari
hutan jati Timung, atapnya dari seng yang didatangkan dari
Singapura, diangkut dengan kapal layar milik kerajaan bernama
Mastera. Dalem Loka bukanlah satu-satunya bangunan istana yang
pernah berdiri di lokasi tersebut, karena di tempat yang sama
sebelumnya telah dibangun sejumlah bangunan istana kerajaan
Sumbawa antara lain Istana Bala Balong, Istana Gunung Setia dan
Istana Bala Sawo. Istana Tua atau Dalem Loka pernah dipugar
dengan dana Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui
kegiatan Proyek Sasana Budaya Jakarta, Bagian Proyek Sasana
Budaya Nusa Tenggara Barat pada tahun anggaran 1979/1980 s.d.
1980/1981, kemudian dilanjutkan dengan melalui Proyek
Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Nusa Tenggara Barat pada tahun anggaran 1981/1982 s.d
1984/1985. Duplikat istana ini masih berdiri tegak dianjungan
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Taman Mini Indonesia,
Jakarta.
Dalem Loka berdiri di atas lahan seluas 8.239 meter persegi,
sedangkan luas bangunannya 904 meter persegi. Didirikan di atas
tiang yang jumlahnya 99 buah (rumah panggung) dan berlantai dua.
Bahan dasar bangunan adalah kayu jati dan beratap sirap. Pada
bagian depan terdapat sebuah ruangan disebut Lunyuk Agung atau
Paseban Agung dan Lunyuk Mas. Lunyuk Agung berfungsi sebagai
ruang musyawarah (pertemuan) kerajaan, sehingga disebut juga
Balairung Sari. Sedangkan Lunyuk Mas adalah adalah tempat
duduk permaisuri dan para istri pembesar kerajaan. Selain itu Istana
ini memiliki sejumlah ruangan (kamar-kamar) yang dibatasi
dengan sekat-sekat dari kain yang dalam bahasa Sumbawa disebut
repang, misalnya repang sholat, repang peraduan, repang

27
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

permaisuri, ruangan tempat berkumpulnya para dayang, dapur dan


lain sebagainya.
Sesuai dengan namanya, Makam Sampar berlokasi di bukit
Sampar yang secara administrative termasuk wilayah Desa
Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Besar.
Lokasi ini berada dipinggiran kota Sumbawa Besar dan dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua (motor) maupun roda empat
(mobil), jaraknya tidak begitu jauh dari Bale Rea atau Dalem Loka,
bekas istana Sultan Sumbawa. Makam Bukit Sampar adalah tempat
pemakaman raja/sultan Sumbawa beserta keluarganya, antara lain
Datu Sawo atau Dewa Loka Ling Sampar65 dan sultan yang ke-13,
Sultan Amrullah yang memerintah tahun 1836-1882.66 Ketika pada
tahun 1982 penulis mengunjungi situs ini, lokasi makam masih
ditumbuhi semak belukar dan alang-alang, sejumlah jirat dan nisan
makam terbuat dari kayu, diantaranya jirat dan nisan makam Sultan
Amarullah. Pada nisan makam Sultan Amarullah terdapat inskripsi
pendek dengan tulisan Arab berbahasa Melayu menyebut nama
tokoh yang dimakamkan. Nampaknya, lokasi pemakaman
raja/sultan di atas bukit atau tempat yang sengaja ditinggikan bukan
hanya monopoli penguasa-penguasa di pulau Jawa, yang oleh para
pakar dipandang/dihubungkan dengan pengaruh budaya pra Islam.
Makam Sampar dikelilingi tembok bata yang diplester semen,
tinggi sekitar 2 meter dan tidak digunakan lagi sebagai tempat
pemakaman atau sudah menjadi monumen mati (dead monument).
Sebagian besar jirat dan nisan terbuat dari batu kali andesit, baik
yang masih utuh maupun yang pecahan. Diantaranya terdapat
sejumlah batu nisan dari balok-balok batu yang relatif besar,
mengingatkan pada bentuk menhir dari kebudayaan pra sejarah.

65
Periksa; Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. (Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1977/1978), h. 53.
66
Periksa Lalu Manca, Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjuan Sejarah).
(Penerbit “Rinta” Surabaya, 1984), h. 153. tetapi menurut J. Noorduyn, Sultan
Amarullah adalah sultan yang ke-17, memerintah tahun 1837-1883. (Periksa: J.
Noorduyn, Bima en Sumbawa , Bidragen Tot De Geschiedenis Van De
Sultanaten Bima En Sumbawa Door A. Ligtvoet en G.P. Rouffaer. (Foris
Publications, Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijlage I.

28
Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris

Apakah batu nisan menhir tersebut buatan manusia atau terbentuk


karena proses alamiah menarik untuk dikaji lebih jauh.

Daftar Pustaka
Anonim, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977/1997.
Berg, L.W.C van den. 1902. “De Mohammedaansche Vorsten in
Nederlandsch Indie“, Bijdragen van het Koninklijk Instituut,
LIII.
Cortesao, Armando. 1944.The Suma Oriental of Tome Pires : An
Account of the East from Read Sea to Japan, Written in
Malacca and India in 1511-1644. Translated from Portuguese
MS in the Bibliothique de la chamber des Deputes, Faris and
Edited by Armando Cortesao. London: The Hakluyt Society.
Faille, P. de Roo de la. 1918. “Studie over Lomboksch Adatrecht,
Bali en Lombok”, dalam Adatrecht Bundels, XV, s-Gravenhage
Martnis Nijhoff.
Graaf, H.J.de. 1941. “Lombok In De 17e Eeuw”, Djawa, Tijdschrift
van het Java-Instituut, XXI.
Jasper, J.E., 1908. “Het Eiland Soembawa En Zijn Bevolking”,
Tijdschrift voor het Binnenlandsche Bestuur, deel 34.
Kementerian Penerangan RI, (tanpa tahun). Republik Indonesia:
Sunda Ketjil.
Kuperus, G. 1936. Het Cultuurlandschap van West Soembawa. Bij.
J. B. Wolters Uitgevers Maatschappijn, N.V, Groningen-
Batavia.
Ligvoet, A. 1876. ”Aanteekeningen Betreffende den Economischen
Toestand en de Ethnographie van het Rijk van Sumbawa”,
Tijdschrift voor Indische Taal, Land , en Volkenkunde, deel 23.
Manca, Lalu. 1984. Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjuan
Sejarah). Surabaya: Penerbit “Rinta”.
Mills, J.V. 1979. “Chinese Navigators in Insulinde About A.D.
1500”. Archipel 18.
Naerssen, F.H. van. 1938. ”Hindoejavaansche Overblijfselen op
Soembawa”, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch
Aardrijkskundige Genootschap, deel LV.

29
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30

Noorduyn, J. 1987. “Makasar and The Islamization of Bima,”


(Bijdragen van het Koninklijk Instituut., deel 142).
Noorduyn, J. 1987. ”Bima en Sumbawa, Bidragen tot de
Geschiedenis van de Sultanaten Bima en Sumbawa door A.
Ligtvoet en G.P. Rouffaer.”VKI, 129, Dordrecht-
Holland/Providence-USA: Foris Publications.
Pigeaud, Th. 1960. Java in the Fourteenth Century Vol. I: Javanese
Texs in Transcription. Koninklijk Instituut voor Taal, Land en
Volkenkunde, The Hague Martinus Nijhoff.
Resink, G.J. 2013. Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Syamsuddin, Helius. 1985. “Perubahan Politik dan Sosial di Pulau
Sumbawa: Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa (1815-
1950),” Makalah pada Seminar Sejarah Nasional IV di
Yogyakarta 16-19 Desember 1985, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tibbetts, G.R. 1957. ”Early Muslim Traders in Southeast Asia”,
Journal of Royal Asiatic Society.
Tjandrasasmita, Uka, (editor). 1984. Sejarah Nasional Indonesia
III. Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-
Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka.
Wacana, Lalu. 1979. Babad Lombok. Jakarta: Departemen Pendi-
dikan Dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan
Sastra Indonesia dan Daerah.
Zollinger, H. 1850. “Verslag van eene reis naar Bima en
Soembawa en eenige plaatsen op Celebes, Saleir en Flores
geduren de Maanden Mei tot December 1847”, VBG. XXIII.

30

Anda mungkin juga menyukai