Anda di halaman 1dari 16

INSTITUSI EKSTRAKTIF DI INDONESIA

PERSPEKTIF ACEMOGLU DAN ROBINSON

Disusun Oleh:
Asyari
18011865009

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
2019
A. Pendahuluan

Daron Acemoglu adalah seorang Proffesor Ilmu Ekonomi dari MIT


(Massacusetts Institute of Technology). Pada 2005 ia pernah memenangkan John
Bates Clark Medal sebagai ekonom berusia di bawah 40 tahun yang dianggap telah
memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran dan ilmu ekonomi.
James A. Robinson merupakan pakar politik, ekonomi dan Proffesor ilmu
pemerintahan di Harvard University. Pakar masalah ekonomi-politik di Amerika
Latin dan Afrika itu pernah bekerja di Bostwana, Mauritius, Sierra Lone, Afrika
Selatan. Kedua penulis ini menghabiskan waktu selama 15 tahun untuk
menyelesaikan risetnya mengenai latar belakang negara-negara gagal di dunia dari
sudut pandang ekonomi dan politik.

Buku dengan judul “Why Nation Fail –Origin of Power, Prosperity and
Proverty” ini, diterbitkan pertama kali oleh Crown Publishing Group di New York
tahun 2012. Tesis awal yang diajukan oleh Acemoglu dan Robinson dari karyanya
“Mengapa Negara Gagal” ialah sistem ekonomi yang bersifat inklusif dengan
perlembagaan ekonomi yang inklusif akan mendorong kemajuan ekonomi,
kemudian sistem ekonomi ekstraktif dengan perlembagaan ekonomi yang ekstraktif
pula akan mendorong kemunduran ekonomi dan menyisakan penderitaan.
Sedangkan dari sudut pandang politik kedua penulis buku tersebut mengungkapkan
kemajuan politik didorong oleh sistem dan perlembagaan politik yang inklusif.

Bagaimana dengan kemiskinan yang terjadi di Indonesia? Jika dilihat dari


kaca mata teori Acemoglu dan Robinson, maka dapat dikatakan bahwa kemiskinan
yang terjadi di Indonesia juga disebakan karena institusi politik-ekonomi yang
berlaku di Indonesia. Selama ini, para penguasa menerapkan sistem politik-
ekonomi ektraktif, dimana hanya sebagian kecil orang-orang yang berada dalam
lingkaran kekuasaan yang memiliki akses terhadap politik dan menggunakannya
untuk menguasai ekonomi, sehingga hanya mereka yang menikmati kekayaan dan
kesejahteraan, semntara rakyat kebanyakan hidup dalam kemiskinan. Namun untuk
mencapai kesimpulan ini, terlebih dahulu kita harus melihat institusi politik
utamanya di era kepemimpinan Jokowi-Jk.
Makalah ini berupaya membahas dua point utama; (1) Menjabarkan secara
ringkas buku Why Nation Fail kemudian (2) mengaitkannya dengan krisis yang
dialami negara Indonesia 5 tahun belakang.

B. Sekilas Buku Why Nation Fail

Dalam buku tersebut, Acemoglu dan Robinson menekankan pada momen-


momen bersejarah seperti revolusi industri yang memiliki peran dalam bagaimana
negara-negara berkembang “memainkan” beberapa Negara, mengambil apa yang
diberikan kepada mereka dan menggunakannya untuk kepentingan mereka.
Institusi ekstraktif dan Inklusif adalah tema utama buku ini dan menganalisis
mengapa ketidaksetaraan masih tampak jelas di sebagian besar dunia.

"World inequality today exists because during the nineteenth and


twentieth centuries some countries were able to take advantage of the
Industrial Revolution and the technologies and methods of organizations that
it brought while others were unable to do so."1

Acemoglu dan Robinson mengungkapkan bahwa Kemajuan Amerika Serikat


bukanlah karena faktor kekayaan alam, contoh yang dikemukakan ialah Nagolas di
Arizona Amerika Serikat dengan Nagolas di Sonora Mexico, dimana Nagolas di
Arizona lebih sejahtera dibandingkan Nagolas di Sorona. Dari contoh kasus ini
dijawab dengan kota yang terpisah dalam dua negara terebut memiliki budaya yang
sama, iklim yang sama, letak geografis yang sama, mengapa kondisi ekonominya
berbeda? Kondisi Nagolas yang berada dibawah kekuasaan politik Amerika Serikat
cenderung lebih bebas dalam mencari pekerjaan, mendapatkan fasilitas publik dan
insentif yang memadai bagi warganya dikarenakan konstitusi Amerika Serikat
menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan tanpa harus khawatir untuk dijarah.

Sedangkan kondisi Nagolas pada Negara Mexico kebalikannya, dimana


negara ini cenderung otoriter dan tidak memiliki keleluasaan bagi masyarakatnya
dalam jaminan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan sehingga tidak mendapatkan

1
Daron Acemoglu dan James A. Robinson, Why Nations Fail: The Origins of Power,
Prosperity and Poverty, (London: Profile Books, 2012) h. 271
insentif yang memadai bagi kehidupannya di negara tersebut, bahkan angka
harapan hidupnya jauh berbeda dengan Nagolas di Amerika Serikat.Untuk
menjawab lebih jauh terkait permasalahan kedua negara ini, Acemoglu dan
Robinson mengungkapkan dalam sejarah penguasaan negara-negara tersebut oleh
bangsa Eropa, bermula dari Bangsa Spanyol yang mendaratkan kakinya di wilayah
Amerika Selatan atas ketertarikannya pada sumberdaya alam yang terkandung
disana, membuat orang-orang Spanyol menjadikan Amerika Latin menjadi daerah
jajahannya, dengan memperlakukannya secara kejam, dimana kepala-
kepalasuku/raja pada wilayah-wilayah yang dikuasainya ditawan dan dirampas
hartanya, kemudian menjarah seluruh kekayaan masyarakat dan alamnya.

Mereka datang menjadi tuan baru di tanah Amerika, yang menjadikan


pribumi sebagai budak, akhirnya bangsa pribumi menjadi masyarakat tertindas,
budak dan hidup melarat. Sedangkan Amerika Serikat awalnya adalah hamparan
yang tidak terlalu subur dengan cakupan wilayah yang cukup luas, dimana suku-
suku adat hidup disana, pencaharian mereka adalah bertani, tidak ada sumber daya
mineral dan tambang disana (kondisi berbeda dengan Amerika Selatan).

Amerika Utara (AS dan Kanada) dijadikan koloni Inggris bukan tanpa alasan,
tetapi memang sudah tidak mendapatkan negara jajahan (habis dikuasai oleh
Spanyol dan Portugis), Akhirnya bangsa Inggris harus bersusah payah dalam
menguasai AmerikaSerikat, mereka akhirnya merumuskan konstitusi untuk setiap
warga negara harus bekerja, setiap keluarga diberikan 50 Ha tanah untuk dikelola,
sehingga kemajuan bidang pertanian berkembang pesat yang mengakibatkan setiap
orang Amerika Serikat yang menguasai tanah untuk dikelola mendapatkan insentif
yang memadai, bahkan dapat ikut serta dalam merumuskan undang-undang,
kebalikan dari wilayah yang dikuasai oleh Spanyol hanya menjadi negara budak
yang tetap miskin. Latar belakang kedua negara tersebut menerangkan cukup
menerangkan bahwa sistem kolonial yang dilakukanlah pembentuk penindasan itu
sendiri, kemudian pada bagian-bagian selanjutnya dalam buku ini disebut sebagai
sistem ekstraktif.

Bab selanjutnya Acemoglu dan Robinson secara terang menolak teori Jared
Diamond (1997) dan Sach (2006) yang mengungkapkan bukanlah iklim, letak
geografis maupun budaya yang menentukan kemakmuran itu sendiri. Ia juga
menolak toeri Max Weber (2002) yang menyatakan bahwa kebangkitan industri
modern di Eropa Barat merupakan merupakan refleksi dari etika Protestan pasca
reformasi agama, atau pandangan Landes (1999) yang berpendapat bahwa negara-
negara Eropa Barat maju berkat kultur yang unik yang mendorong mereka untuk
bekerjakeras dan inovatif.

Baginya Ketimpangan ekonomi antara Meksiko dan AS, Jerman Timur dan
Jerman Barat sebelum akhirnya bersatu, dan Korea Selatan dan Korea Utara
merupakan bukti bahwa kekayaan negara tidak ditentukan oleh faktor geografis,
namun karena faktor institusi politik.Selanjutnya menurut mereka, Amerika Serikat
dan Kanada merupakan dua bekas negara jajahan Inggris sama seperti Sierra Leone
dan Nigeria. Namun kedua negara yang disebutkan pertama mampu menjadi negara
besar, sementara dua negara terakhir, masih berkutat sebagai negara berkembang.

Lebih jauh, menurut Acemoglu dan Robinson, berbagai etika yang muncul
seperti semangat gotong royong merupakan hasil dari penerapan dari sebuah
institusi dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, keyakininan, nilai-nilai dan
etika tidak dapat menentukan kemajuan suatu negara. Dalam teori First Welfare
Theorem, disebutkan bahwa pasar ekonomi berasal dari sudut pandang tertentu.
Tidak adanya kebebasan dalam produksi, jual beli barang dan jasa, akan
menghasilkan kegagalan pasar. Kondisi inilah yang menjadi dasar dari teori
ketimpangan dunia. Negara kaya menjadi kaya karena mereka menerapkan
kebijakan terbaik dan sukses mengeliminasi kegagalan pasar tersebut.

Sebaliknya, negara miskin terjadi akibat penguasanya memilih kebijakan


menciptakan kemiskinan. Seperti yang sudah disampaikan di awal, teori yang
dikembangkan oleh Acemoglu dan Robinson adalah perekonomian suatu negara
akan maju jika menerapkan ekonomi inklusif, sebaliknya, negara akan menjadi
miskin jika menerapkan ekoniomi ekstraktif. Penentu dari pilihan tersebut kembali
kepada institusi politik yang menjadi operator dari kebijakan-kebijakan ekonomi
yang diambil. Sebuah negara disebut memiliki institusi politik ekstraktif jika desain
kebijakan ekonominya berorientasi untuk memperkaya elit dengan berupaya
mempertahankan kekuasannya meskipun mengorbankan rakyatnya. Sistem
ekonomi inklusif memiliki ciri adanya lembaga yang mendorong propertyrights
(Hak Kepemilikan), menciptakan level playing field, mendorong investasi pada
teknologi.

Inti dari pemikiran Acemoglu dan Robinson menjelaskan ekonomi tumbuh di


bawah naungan lembaga ekonomi yang inklusif. Lembaga itu menjamin hak
kepemilikan pribadi, hukum dan ketertiban, hingga akses pendidikan. Lembaga
ekonomi bersifat terbuka dan relatif bebas dimasuki bisnis baru, memberikan
peluang bagi sebagian besar warga negara, misalnya untuk berinvestasi dan
berinovasi. Lembaga ekonomi inklusif butuh lembaga politik yang tersentralisasi
dan plural.

Sebaliknya, lembaga ekonomi ekstraktif dirancang segelintir elit untuk


menghisap sumber daya dari seluruh masyarakat. Ia tumbuh di lembaga politik
absolut. Negara dengan lembaga ekonomi yang inklusif cenderung kaya. Misalnya,
Korea Selatan dan Jerman Barat. Sedangkan negara dengan lembaga ekonomi yang
ekstraktif seperti Jerman Timur dan Korea Utara cenderung miskin.

Selain faktor lembaga, Why Nations Fail juga menunjukkan "pembalikan


keberuntungan" (reversal of fortune) dan "kutukan sumber daya alam" (the curse
of natural resources) sebagai faktor penentu kekayaan suatu negara. Faktor
pembalikan keberuntungan menjelaskan negara-negara non-Eropa eks jajahan
Eropa, semacam Indonesia dan Peru, yang mulanya kaya dan maju sekarang lebih
miskin sebab Eropa memperkenalkan lembaga ekonomi ekstraktif kepada mereka.

Sedangkan faktor kutukan sumber daya alam menjelaskan mengapa negara-


negara yang punya sumber daya alam melimpah justru jatuh miskin. Contoh dari
negara ini ialah Sierra Leone dengan berliannya yang melimpah, atau Nigeria dan
Kongo dengan minyak bumi dan mineralnya. Ketergantungan negara akan sumber
daya alam tipe tertentu cenderung mengarah pada korupsi, perang saudara, dan
inflasi. Negara dengan tipe ini juga mengabaikan pendidikan.

C. Institusi Ekstraktif di Indonesia


Bagaimana dengan Indonesia? Apakah sepenuhnya menerapkan institusi
politik inklusif? Tentu jawabannya belum, karena Indonesia belum bisa melepaskan
belenggu institusi ekstraktif dari Belanda (VOC). Setelah itu diperparah lagi dengan
Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun. Setelah bertahun-tahun dikuasai
Belanda dan ditambah dengan Orde Baru yang selama 32 tahun itu, tentu tak bisa
melepaskan sepenuhnya dari intitusi ekstraktif buah karya Belanda dan Orde Baru.

Data dari Fragile State Index 2015 menetapkan Indonesia berada di posisi 88
dari 178 negara. Bisa dikatakan Indonesia masih di posisi tengah, yaitu antara
belum aman dan belum gagal juga. Ini pun tak terlepas dari efek intitusi ekstraktif.
Sehingga menyebabkan negara Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari jaring
korupsi yang begitu mengikat.

Reformasi yang dilakukan sejak terjadinya krisis multidimensi tahun 1998


atau lebih dari sepuluh tahun terakhir telah berhasil meletakkan landasan politik
yang lebih baik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Berbagai perubahan dalam
sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga negara, dan
membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam bidang
ekonomi, reformasi juga telah mampu membawa kondisi ekonomi yang semakin
baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income
countries (MICs). Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa
krisis dengan baik. Namun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat
Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara
diwilayah Asia Tenggara maupun di Asiadalam mewujudkan pemerintahan yang
bersih, akuntabel, responsif, dan transparan.

Perkembangan reformasi di Indonesia menunjukkan reformasi di bidang


birokrasi mengalami ketertinggalan dibandingkan reformasi di bidang politik,
ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pemerintah pada tahun 2004
menegaskanakan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean government dan good
governance yang secara universal diyakini diperlukan untuk memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat.2 Berkaitan dengan hal tersebut, program
utama yang dilakukan pemerintah adalah membangun aparatur negara melalui
penerapan reformasi birokrasi. Tujuan yang ingin dicapai darireformasi birokrasi,
diantarnya untukmengurangi dan/atau menghilangkan setiap penyalahgunaan
kewenangan oleh pejabatdi instansi yang bersangkutan, menjadikan negara yang
memiliki most-improved bureaucracy, meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat, meningkatkan mutu dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
instansi, meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi
tugas organisasi, menjadikan birokrasi Indonesia yang proaktif, dan efektif dalam
menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.

Pemerintah Indonesia dalam rangka melakukan reformasi institusi politik


utamanya pada persoalan birokrasi juga telah mengembangkan grand design
reformasi birokrasi yang dijadikan rancangan induk arah kebijakan pelaksanaan
reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010-2025.3 Road map reformasi
birokrasi sebagai bentuk operasionalisasi grand design reformasi birokrasidisusun
setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci reformasi birokrasi dari
satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun
yang jelas.

Di tahun 2014 reformasi birokrasi seharusnya sudah berhasil mencapai


penguatan dalam beberapa hal yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bebas
KKN, bersih, dengan kualitas pelayanan publik, kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi, profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan
promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong
mobilitas aparatur antar daerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah, serta
memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang memadai. Pada tahun
2019 diharapkan dapat terwujud kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik,
bersih, dan bebas KKN. Selain itu, diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan
publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang

2
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melayani Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006), h. 179
3
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025.
semakin maju dan mampu bersaing dalam dinamika global yang semakin ketat,
kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin
profesional, serta mind-set dan culture-set yang mencerminkan integritas dan
kinerja semakin tinggi. Pada tahun 2025, diharapkan telah terwujud tata
pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintahan baik di pusat maupun di
daerahyang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan
abdi negara.

Melalui reformasi birokrasi diharapkan dapat ditata ulang proses birokrasi


dari tingkat (level) tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru
(innovation breakthrough) dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis,
sungguh-sungguh, berpikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada (out of the box
thinking), perubahan paradigma (a new paradigm shift), dan dengan upaya
luarbiasa (business not as usual). Reformasi birokrasi diharapkan juga dapat
menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bersih serta bebas KKN, mampu melayani publik,
netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik
aparatur negara. Dalam hal ini, reformasi birokrasi secara nasional perlu merevisi
dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek
manajemen pemerintah pusat dan daerah, sertamenyesuaikan tugas fungsi instansi
pemerintah dengan paradigma maupunperan barunya sebagai pelayan masyarakat
dan abdi negara.

Untuk mewujudkan birokrasi yang bebas korupsi, masih banyak tantangan


yang perlu diselesaikan. Artinya institusi politik inklusif masih sangat jauh untuk
dicapai. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu
banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) atas laporan keuangan kementerian/lembagadan pemerintah daerah masih
banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP).4 Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan

4
Lihat BPK: http://www.bpkp.go.id/%20jateng/%20konten/1910/Berburu-Opini-WTP.bpkp
pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu
perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global
yang semakin ketat. Hasil survei integritas sektor publik yang dilakukan oleh KPK
menunjukkan indeks integritas unit layanan di kementerian/lembaga pada tahun
2014 mencapai 7,22, di atas standar minimal yang ditetapkan oleh KPK yakni 6,00.5
Indeks ini terdiri dari indeks pengalaman integritasdan indeks potensi integritas.

KPK menyatakan meskipun indeks integritas sudah melampaui nilai yang


ditetapkan, unit layanan tetap perlu memperbaiki dan memberikan layanan optimal
bagi pengguna layanan. Caranya, dapat melalui edukasi anti korupsi dan
pengelolaan pengaduan masyarakat,mengkomunikasikan untuk memanfaatkan
sarana media yang ada,meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi dalam
rangka menciptakan pelayanan yang transparan,serta upaya yang lebih serius dalam
menghilangkan praktik gratifikasi dalam layanan. 6 Disamping ituskor integritas
berkaitan dengan karakteristik kualitas yang dilaksanakan dalam pelayanan publik,
seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya SOP, kesesuaian proses pelayanan dengan
SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian
pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan. Pada pihak lain,
dalam hal kemudahan berusaha (doing business)menunjukkan bahwa Indonesia
belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang berbisnis
atau akan berbisnis di Indonesia.

Buruknya pelayanan publik di Indonesia memang bukan hal baru, fakta di


lapangan masih banyak dijumpai. GDS menemukan tiga masalah penting yang
sering terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pertama,
besarnya diskriminasi pelayananyang dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an,
kesamaan afiliasi politik, etnis,dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak
walaupun telah diberlakukan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan
keharusan adanyakesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua,tidak adanya

5
Komisi Pemberantasan Korupsi.2014. Integritas Sektor Publik Tahun 2014, Fakta Korupsi
Dalam Layanan Publik.
6
Komisi Pemberantasan Korupsi.2014. Integritas Sektor Publik Tahun 2014
kepastian biayadan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab
munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan
biayatinggi kepada aparatpelayanan untuk mendapatkan kepastian, kecepatan,dan
kualitaspelayanan. Ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
adanya diskriminasidan ketidakpastian pelayanan.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui program Nawa Cita (sembilan


agenda prioritas)7 dalam upaya mewujudkan kualitas pelayanan publik di instansi
politik pemerintahan telah berupaya menghadirkan kembali peran Negara. Hal ini
tercermin dari program Nawa Cita kedua yang menetapkan “Kami akan membuat
Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya”.8 Untuk mewujudkannya, antara lain akan
dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan agenda reformasi birokrasi dengan
restrukturisasi kelembagaan, perbaikan kualitas pelayanan publik, meningkatkan
kompetensi aparatur, memperkuat monitoring dan supervisi atas kinerja pelayanan
publik, serta membuka ruang partisipasi publik melalui citizen charter dalam
Undang-Undang Kontrak Layanan Publik.

Pada program Nawa Cita ketiga ditetapkan bahwa “Kami akan membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
Kerangka Negara Kesatuan”. Program ini antara lain akan diwujudkan melalui
pengembangan desentralisasi asimetris dengan membantu daerah-daerah yang
kapasitas kepemerintahannya belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan
publik, pengurangan overhead cost (biaya rutin), mengalokasikan dana yang lebih
optimaluntuk pelayanan publik, serta reformasi pelayanan publik melalui
penguatan desa, kelurahan, dan kecamatan sebagai ujung tombak pelayanan publik.
Pada program Nawa Cita keenam ditetapkan “Kami akan meningkatkan
produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa

7
Jokowi-Jusuf Kalla. Visi-Misi dan Program Aksi 2014-2019
8
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015 –2019
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya”. Program
ketiga ini antara lain akan dilaksanakan dengan menciptakan layanan satu atap
untuk investasi, efisiensi perizinan bisnis menjadi maksimal 15 (lima belas) hari.
Hal di atas menunjukkan pelayanan publik di bidang perizinan menjadi prioritas
pemerintahan Jokowi dalam mendorong pertumbuhan investasi
untukdapatmeningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai amanat alinea
keempat Pembukaan UUD 1945. Hal ini sejalan dengan baseline yang ditentukan
dalam 156 indikator sasaran pokok pembangunan nasional pada pelaksanaan
Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Tahun 2015, yakni meningkatkan iklim
investasi dan iklim usaha dengan indikator sasaran pokok beruparealisasi PMA,
PMDN, dan kinerja dari badan/dinas/kantor pelayanan perizinan terpadu satu
pintu.9

Optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan birokrasi pemerintahan


bukanlah pekerjaan mudah, mengingat pembaharuan tersebut menyangkut perbagai
aspek yang telah mengakar dalam lingkaran birokrasi pemerintahan, seperti kultur
birokrasi tidak kondusif sejakera kolonial yang telah mewarnai pola pikir dan
prilaku birokrat (ningrat-pangreh). Dengan demikian, dalam mewujudkan
pelayanan publik dibutuhkan adanya standar pelayanan berupatolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan
penilaiankualitas pelayanan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban dan janji
penyelenggara kepada masyarakat dalam mewujudkan pelayanan yang berkualitas,
cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. Sementara itu, adapun sasaran dari
pelayanan publik adalah masyarakat, yakni seluruh pihak, baik warga
negaramaupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan
hukum yang berkedudukan di suatu kabupaten/kota sebagai penerima manfaat
pelayanan publik, baik secaralangsung maupun tidak langsung.

Namun sayangnya, hasil dari institusi ekstraktif membuat korupsi yang ada
di Indonesia tersistem dan tersusun rapi. Karena institusi ekstraktif tidak pernah
lepas dari KKN imbasnya pun tidak kalah besar, dan seakan-akan Indonesia tidak

9
Kementerian PPN/Bappenas. 2016. Panduan EKPD (Evaluasi Kinerja Pembangunan
Daerah) di 34 Provinsi.
bisa lepas dari rantai institusi ekstraktif ini. Menjadi rantai yang tak bisa dilepaskan
dari tubuh negara Indonesia. Dengan hanya memodifikasinya dan kekuasaan elit
tetap berkuasa.

Terdapat beberapa contoh yang bisa digunakan sebagai indikator empiris,


yaitu pada akhir 2015 dari kasus penangkapan anggota DPR Dewie Yasin Limpo
oleh KPK yang menerima uang sebanyak 7% pada proyek pembangkit listrik
mikro-hidro di Papua.10 Kemudian pada awal 2016 kasus penangkapan anggota
DPR Damayanti Wisnu Putranti oleh KPK yang menerima uang sebanyak 6% pada
proyek infrastruktur jalan di Maluku.11 Ini tentu bisa dijadikan data empiris betapa
hancurnya Indonesia karena korupsi yang menjalar terus menerus.

Korupsi membuat seseorang gagal dalam perebutan bisnis. Ia hilang rasa


kerja kerasnya, karena ia bisa membayar suap untuk memenangkan apa yang
diinginkan. Sebagaimana kata Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK), kepentingan
sempit kelompok masih memenjarakan birokrat, swasta, parpol dan anggota DPR. 12
Membuat SDM yang ada sebuah negara menjadi tidak memadai, dan tidak ada
sokongan dari pemerintah. Terlebih lagi dana yang masuk itu jatuh ke kantong
penguasa elit, dan membuat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih tetap
subur.

Bagaimana memperbaiki kekacauan yang sudah sangat terlanjur ini? Menurut


J. Kristiadi selaku peneliti di CSIS adalah dengan mengubah episentrum
persoalannya. Yaitu dengan memperbaiki dari partai politiknya, karena partai
politik adalah produsen penghasil calon penguasa baik nasional/internasional.

10
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Kronologi Penangkapan Dewie
Yasin Limpo dkk",
https://nasional.kompas.com/read/2015/10/21/17131581/Ini.Kronologi.Penangkapan.Dewie.Yasin.
Limpo.dkk?page=all.
11
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Kronologi Tangkap Tangan
Kasus Suap yang Libatkan Politisi PDI-P",
https://nasional.kompas.com/read/2016/01/14/19363541/Ini.Kronologi.Tangkap.Tangan.Kasus.Su
ap.yang.Libatkan.Politisi.PDI-P.
12
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Parpol, Korupsi, dan Penguasaan
Elite",
https://nasional.kompas.com/read/2016/03/07/05100071/Parpol.Korupsi.dan.Penguasaan.Elite?pag
e=all.
Pembenahan pada partai politik dibenarkan oleh Agus Rahardjo selaku Ketua KPK
yang menilai perlu adanya saluran dana APBN kepada parpol. Sehingga nantinya
parpol tidak perlu mencari dana ke mana-mana, karena sudah mendapat jatah dari
total keseluruhan anggaran yang mencapai 2.100 triliun.

Bantuan kepada parpol pun dibenarkan oleh Indonesia Corruption Watch


(ICW) yang mengatakan bahwa sejauh ini negara baru menutup 0,63% dari total
pengeluaran parpol. Dengan kondisi yang seperti ini membuat adanya pintu masuk
untuk membangun relasi patron antara penguasa dan pengusaha. Selain dengan
pembenahan pada parpol, perlu juga adanya perpaduan dari sisi internal dan
eksternal intuisi politik. Perlu adanya individu-individu yang menginginkan
perubahan baik dari masyarakat sipil maupun media, dikarenakan saat ini
internalnya sudah ada namun masih lemah.

D. Penutup

Suatu kelembagaan yang baik akan dapat meningkatkan investasi dan


mempercepat kemajuan teknologi suatu bangsa. Acemoglu dan Robinson secara
eksplisit menyebutkan kelembagaan menjadisumber terpenting yang menentukan
suatu negara/bangsa gagal atau maju perekonomiannya.

Negara yang kelembagaannya mapan atau inklusif (inclusive economic


institutions) akan cenderung kinerja ekonominya bagus. Negara ini ditandai oleh
adanya kelembagaan hak kepemilikan privatyang aman, sistem hukum yang
menjamin kepastian, dan adanya penyediaan layanan publik yang luas. Sebaliknya,
negara yang kelembagaannya buruk/ekstraktif (extractive economic institutions)
akan mempunyai kinerja ekonomi yang jelek, misalnya pertumbuhan ekonomi yang
tidak berlanjut, produktivitas yang rendah dan kesejahteraan ekonomi yang
terbatas.

Indonesia di era kepemimpinan Jokowi-JK, meski tak bisa disebut sebagai


negara miskin, secara sistem intitusional jelas masih termasuk dalam kategori
insititusi ekstraktif. Tentu saja tidak mudah kelembagaan inklusif dapat diraih
dengan cepat, kita sudah harus siap melawan serangan balik dari kaum elit dengan
melakukan cara apapun untuk tetap berkuasa dalam institusi ekstraktif ini. Usaha
keras untuk selalu mendobrak itu perlu dan harus, agar kelak Indonesia tidak
menjadi negara yang gagal. Sebagaimana kata Damon Acemoglu dan Robinson,
“perubahan itu tidak mudah, namun bukan berarti mustahil.”
Daftar Pustaka

Acemoglu, Daron dan James A. Robinson. Why Nations Fail: The Origins of
Power. London: Prosperity and Poverty. Profile Books. 2012
Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melayani
Publik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2006
Jokowi-Jusuf Kalla. Visi-Misi dan Program Aksi 2014-2019
Kementerian PPN/Bappenas. 2016. Panduan EKPD (Evaluasi Kinerja
Pembangunan Daerah) di 34 Provinsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi.2014. Integritas Sektor Publik Tahun 2014,
Fakta Korupsi Dalam Layanan Publik.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015 –2019.

Sumber Online
BPK. Berburu Opini WTP. 2018
(http://www.bpkp.go.id/%20jateng/%20konten/1910/Berburu-Opini-WTP.bpkp)
Kompas.com dengan judul “Ini Kronologi Penangkapan Dewie Yasin
Limpo dkk” 2015
(https://nasional.kompas.com/read/2015/10/21/17131581/Ini.Kronologi.Penangka
pan.Dewie.Yasin.Limpo.dkk?page=all)
Kompas.com dengan judul "Ini Kronologi Tangkap Tangan Kasus Suap
yang Libatkan Politisi PDI-P" 2016
(https://nasional.kompas.com/read/2016/01/14/19363541/Ini.Kronologi.Tangkap.
Tangan.Kasus.Suap.yang.Libatkan.Politisi.PDI-P)
Kompas.com dengan judul "Parpol, Korupsi, dan Penguasaan Elite", 2016
(https://nasional.kompas.com/read/2016/03/07/05100071/Parpol.Korupsi.dan.Pen
guasaan.Elite?page=all)

Anda mungkin juga menyukai