Anda di halaman 1dari 13

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016

MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN


PENDIDIKAN LUAR BIASA

BAB VI
PENGEMBANGAN PRIBADI DAN SOSIAL BAGI
PESERTA DIDIK TUNALARAS

Dra. Endang Purbaningrum, M.Pd

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
BAB VI
PENGEMBANGAN PRIBADI DAN SOSIAL BAGI PESERTA DIDIK
TUNALARAS
A. PENDAHULUAN
Setelah mempelajari bab ini, pembaca diharapkan dapat menguasai materi, struktur,
konsep dan pola pikir keilmuan terkait pengembangan pribadi dan social bagi peserta
didik tunalaras. sertamenguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran yang diampu
1. Kompetensi Inti
Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung
mata pelajaran yang diampu
2. Kompetensi Dasar (KD)/Kelompok Kompetensi Dasar (KKD).
a. menguasai konsep pengembangan pribadi dan sosial sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan dasar peserta didik tunalaras
b. menguasai prinsip, teknik dan prosedural pembelajaran pengembangan
pribadi dan sosial peserta didik tunalaras
c. menguasai prosedur, teknik, dan prosedural pembelajaran bina pribadi dan
sosial
d. menguasai materi bina pribadi dan sosial untuk pengembangan diri

B. Materi
1. Konsep Pengembangan Pribadi Dan Social Bagi Peserta Didik
Tunalaras
a. Konsep Hambatan Emosi Dan Social (Anak Tunalaras)
Di masyarkata kita bayak istilah untuk memberikan label kepada anak tunalaras.
Istilah yang digunakan biasanya tergantung pada sudut pandang keilmuan yang
mereka geluti.Misalnya, guru menyebut anak sulit diatur, anak sukar, anak
nakal.Pedagog menyebutnya anak tunalaras. Dalam literatur asing banyak istilah
yang mengupas tentang pendidikan dan psikoterapi bagi anak yang mengalami
gangguan emosi dan sosial, banyak ditemukan istilah yang bermakna sama dengan

1
istilah anak tunalaras, seperti: serious emotional disturbance children, emotional
conflict children, emotional disturbance children, emotional handicap children,
emotional impairment children, behavior disorder children, behavior handicap
children, behavior impairment children, severebehavior children, social and
emotional children, dan sebaginya.
Menurut Samuel A. Kirk bahwa anak tunalaras adalah mereka yang terganggu
perkembangan emosi, menunjukkan adanya konflik dan tekanan batin,
menunjukkan kecemasan, penderita neurotis atau bertingkahlaku psikotis.
Dengan terganggunya aspek emosi dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain
atau lingkungannya. Anak tunalaras adalah suatu tingkahlaku yang tidak sesuai
dengan cultur permissive atau menurut norma keluarga, sekolah dan masyarakat
luas. Sedangkan menurut Nelson (1981), seorang anak dikatakan tunalaras apabila
tigkahlaku mereka menyimpang dari ukuran menurut norma, usia, jenis kelamin,
dilakukan dengan frekwensi dan intensitas relatif tinggi, serta dalam waktu relatif
lama.
Maud A.Merril, seorang anak digolongkan tunalaras apabila tingkahlaku mereka
ada kecenderungan-kecenderungan anti social yang memuncak dan menimbulkan
gangguan-gangguan, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan
dengan jalan menangkap dan mengasingkannya.
Ibrahim Husien, mejelaskan bahwa anak-anak menjadi delinquent apabila
tingkahlakunya menyeret dia ke dalam daerah hukum. Dan menurut Romli
Atmasasmita, delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yeng dilakukan
oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku disuatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan dan ditafsirkan
sebagai perbuatan tercela.

b. Klasifikasi dan Karakteristik


Dalam konteks ini, yang dimaksud klasifikasi adalah pengelompokan ketunalarasan
berdasarkan jenis dan tingkat penyimpangan prilaku yang dialami anak.Sedangkan
karakteristik dimaksudkan yaitu ciri-ciri khusus yang pada umumnya disandang
oleh anak tunalaras, baik dalam aspek kognitif, emosi, sosial, kemampuan
akademik, maupun kepribadiannya.

2
Pengklasifikasian anak tunalaras tidak mudah, hal ini karena belum adanya
batasan/ konsep yang jelas.Tetap bukan berarti tidak mungkin dilakukan, nyatanya
banyak para ahli yang berupaya untuk membuatnya.
Samuel A. Kirk membuat klasifikasi anak tunalaras melalui proses pengamatan
gejala-gejala tingkah lakunya, secara garis besar ia mengelompokan menjadi tiga
katagori yaitu:
1) Socially Maladjusted Children
Socially maladjusted children yaitu kelompok anak yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kelompok anak ini menunjukkan
tingkahlaku yang tidak sesuai dengan ukuran “cultural permissive” atau
norma-norma masyarakat dan kebudayaan yang berlaku, baik di rumah,
sekolah, maupun masyarakat.
2) Delinquency
Delinquency adalah tingkah laku anak atau remja yang melanggar norma-
norma hukum tertulis atau merupakan salah satu bentuk penyesuaian anak
yang salah, tidak sesuai dengan tuntutan dan harapan lingkungan masyarakat
3) Emotionally Disturbed Children
Emotionally disturbed children yaitu kelompok anak yang terganggu atau
terhambat perkembangan emosinya, dengan menunjukan adanya gejala
ketegangan atau konflik batin, menunjukan kecemasan, penderita neurotis
atau bertingkahlaku psikotis. Beberapa tingkah laku dari anak ini dapat
dikatagorikan sebagai tingkahlaku socially maladjusted. Apabila tingkah laku
tersebut sudah merugikan dan mengganggu kehidupan orang lain, seperti
mencuri, mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, dan sebagainya.

Sedangakan beberapa ahli lain yakni Quay mengelompokkan anak tunalaras


menjadi empat kelompok, yaitu :
1) Conduct Disorder/Unsocialized Aggression
Kelompok anak yang tidak mampu untuk mengendalikan diri. Jenis prilaku yang
sering nampak pada anak-anak tersebut seperti berkelahi, pemarah, tidak patuh,
merusak barang/benda orang lain, mencari perhatian, sombong, hiperaktif, tidak

3
jujur, bicara kasar, iri hati, tidak bertanggung jawaab, mudah beralih perhatian,
kejam dsb.
2) Socialized Aggresion
Prilaku agresi yang dilakukan secara kelompok, seperti tawuran, mencuri secara
berkelompok, menjadi anggota suatu gang, bolos, dan keluar rumah sampai larut
malam.
3) Anxiety Withdrawal/Personality Problem
Jenis gangguan berupa kecemasan, dan kekhawatiran yang tidak jelas, tidak
beralasan atau karakter pribadi yang membatasi diri sehingga menganggu
pencapaian hubungan harmonis dengan orang lain. Prilaku yang menonjol pada
kelompok ini seperti: cemas, pemalu, sedih, mudah tersinggung/sensitive, rendah
diri, kurang percaya diri, mudah bingung, sering menangis tanpa alasan, dan
tertutup.
4) Immaturity/Inadequacy
Yaitu kelompok anak yang menunjukkan sikap dan prilaku tidak dewasa. Prilaku
yang sering nampak diantaranya: kurang dapat berkonsentrasi, perhatian singkat,
sering melamun, gerak motorik kaku, pasif/ kurang inisiatif, mudah dipengaruhi,
sering mengalami kegagalan, dan ceroboh dalam segala hal.

Dari empat pendapat yang diuraikan di atas, klasifikasi anak tunalaras dapat disimpulkan,
bahwa: Anak tunalaras menurut bentuknya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu anak
tunalaras yang mengalami gangguan emosi dan anak tunalaras yang mengalami
penyimpangan sosial. Menurut tingkat penyimpangannya dikelompokkan menjadi anak
tunalaras taraf sedang, taraf berat, dan taraf sangat berat.

Setiap bentuk dan tingkat ketunalarasan memiliki karakteristik secara umum yang
disandang anak tunalaras dan karakteristik khusus yang disandang setiap jenis dan tingkat
ketunalarasan.Baik dalam aspek social, emosi kognitif, prestasi akademik maupun
kepribadian.

Klasifikasi dan karakteristik tersebut penting dipahami oleh mahasiswa sebagai calon
pendidik anak tunalaras karena akan membantu kelancaran dalam menyusun program
dan pelayanan pendidikannya.

4
2. Konsep Teori Pengembangan Pribadi Anak Tunalaras
Shepherd (2010) mengatakan bahwa anak dengan gangguan perilaku mengalami
hambatan keterampilan sosial sehingga mereka sering ditolak baik oleh guru ataupun
sebaya, gagal dalam menjalankan tugas sekolah, dan tidak mampu bersosialisasi dengan
baik. US. Department of Education (dalam Sheperd, 2010) menyebut karakteristik
gangguan perilaku dalam hubungannya dengan interaksi sosial, sebagai berikut :

a) ketidakmampuan untuk membangun atau menjaga hubungan interpersonal dengan


sebaya dan guru, dan
b) perilaku atau perasaan yang tidak sesuai dengan situasi di sekitar.

Menurut teori perspective taking Selman, anak yang rendah keterampilan sosialnya dan
berperilaku agresif mengalami kesulitan membayangkan pikiran dan perasaan orang lain,
mereka selalu memperlakukan orang lain dengan buruk tanpa rasa bersalah dan tanpa
menyadari pandangan orang lain akan perilakunya (Berk, 2006). Anak dengan gangguan
perilaku mengalami kesulitan berempati, mengidentifikasi perilaku yang benar dalam
hubungan interpersonal dan sosial, dan sulit berinisiatif melakukan kontak sosial sesuai
perkembangan usianya (Shepherd, 2010, Cohen & Strayer dalam Burke dkk., 2002).

Kesulitan keterampilan sosial pada anak dengan gangguan perilaku berbeda dengan anak
normal pada umumnya. Teori perspective taking Selman menyatakan bahwa pada
rentang usia 7-14 tahun, anak seharusnya mampu menilai dirinya dari sudut pandang
orang lain, mampu memahami situasi atau mengatasi masalah dari perspektif
lingkungannya, dan mampu menghubungkan pikiran dan perilakunya pada sistem sosial
yang lebih luas (Berk, 2006).

3. Konsep Teori Pengembangan Sosial Anak Tunalaras


Proses menjalin hubungan dengan lingkungan sosial memerlukan suatu kemampuan yang
disebut keterampilan sosial. Keterampilan sosial secara umum diartikan sebagai perilaku
yang membantu seseorang untuk berhubungan sosial dengan lingkungan (Gresham dalam
Shepherd, 2010; Maag, 2006).

Sedangkan keterampilan sosial meliputi beberapa perilaku dan kemampuan yang


berhubungan dengan konteks sosial. Constantino, dalam Mazurik-Charles & Stefanou

5
(2010) menyebutkan aspek-aspek dalam keterampilan sosial dalam the Social
Responsiveness Scales meliputi:

a) kesadaran sosial atau kemauan untuk memahami harapan lingkungan.


b) kognisi sosial atau kemampuan untuk menginterpretasikan harapan lingkungan dan
berperilaku sesuai dengan harapan lingkungan.
c) kemampuan berkomunikasi sosial; dan
d) motivasi untuk terlibat dalam interaksi sosial-interpersonal.

Adapun Gresham & Elliot; Guerrero & Jones, Marlowe, dan Yüksel dalam Samanci (2010)
menyebutkan bahwa kemampuan individu yang menggambarkan keterampilan sosial
meliputi kemampuan berkomunikasi, memahami orang lain, bertindak sesuai dengan
lingkungan sosialnya, berteman, berperilaku yang diterima lingkungan, mengekpresikan
diri sendiri, mampu menghadapi problem, dan menciptakan hubungan yang baik dengan
lingkungan.

Gilay dkk. (dalam Gulay, Akman,& Kargi, 2009) menyebutkan manfaat keterampilan sosial
dalam kehidupan anak di sekolah, yakni mendukung keterampilan komunikasi,
keberhasilan akademik, adaptasi di sekolah, hubungan pertemanan, dan mendukung
lingkungan pembelajaran yang positif.Keterampilan sosial yang diperlukan anak untuk
kesiapan sekolah yakni keterampilan komunikasi sederhana, berbagi ide, perilaku patuh
pada peraturan dan mengikuti arahan, dan kemampuan menyusun target dan membuat
keputusan.

Walker & Mc.Connell (dalam Merrell, 2001) menyebutkan tiga kategori perilaku yang
menjadi indikator keterampilan sosial yang mendukung kegiatan pembelajaran pada anak
usia sekolah dasar, yaitu:

a) Teacher-Preferred Social Behavior yang meliputi perilaku sosial dasar dalam interaksi
sosial umum (kontak dan komunikasi, simpati dan empati, kompromi dan kerjasama),
dan perilaku mengatasi masalah (merespon gangguan dan masalah dan mengatasi
dorongan perilaku agresi).
b) Peer-Preferred Social Behavior, meliputi perilaku sosial interaksi berteman di luar
pembelajaran, meliputi penerimaan teman terhadap anak, perilaku interaksi

6
berteman, adaptasi, perilaku membantu, inisiatif, dan kemampuan menunjukkan
bakat positif.
c) School Adjustment Behavior atau penyesuaian diri terhadap aktivitas pembelajaran,
meliputi kemampuan manajemen waktu, mengikuti arahan pembelajaran,
kemampuan berkarya, dan respon terhadap pembelajaran.

4. Mengembangkan Keterampilan Sosial Empati


Empati adalah sebuah sikap yang dimiliki seseorang, yang membuat seseorang tersebut
mampu memahami perasaan orang lain sekaligus perasaan yang dimilikinya bergabung
atau menyatu dengan perasaan orang lain (Hernowo, 2005:11). Psikolog Michael Nichols
dari Albany Medical Collage berkata bahwa empati mempunyai dua bahan yang penting,
yakni pengertian akan perasaan orang lain tersebut. Ditambah penerimaan akan perilaku
yang ditampakan oleh orang lain yang sedang menghadapi suatu tekanan dalam hidupnya
atau kebahagian yang menggelora. Sehingga orang lain berempati atas perihal yang
terjadi pada dirinya.

Dalam buku Social Psychology karangan Robert A Baron dinyatakan: empati adalah
kemampuan seseorang untuk bereaksi terhadap emosi negatif atau positif orang lain
seolah-olah emosi itu dialami sendiri (Eko June,2008).

Seorang anak terkadang menunjukkan bentuk primitif dari sikap empati, misalnya dengan
menangis saat melihat ibunya sedang menangis memikirkan sesuatu yang tidak langsung
ia rasakan. Begitupun dengan orang dewasa, apalagi wanita yang cendrung lebih peka
perasaannya ketimbang lelaki.

Melihat konsep di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa empati adalah sebuah
perasaan dimana seseorang mengerti dan menerima perasaan orang lain. Karena itu,
seseorang tersebut akan cendrung melakukan sesuatu untuk orang lain itu, walau dengan
hal sekecil apa pun yang bisa ia perbuat. Ada sebuah penelitian yang menyatakan juga
bahwa rasa empati pada anak berhubungan erat dengan pola asuh ibu dan stimulasi yang
diberikan oleh ibu sebelum usia lima tahun ke atas. Membina keterampilan empati:

1) Mulai dari diri sendiri. Merekam perasaan kita dengan menuliskannya dan berbagi
pada peserta didik kita.

7
2) Mengajari mereka menjadi pendengar cerita yang baik, masalah dan perasaan orang
lain maka perasaan kita akan semakin kaya dan pada akhirnya bisa semakin tau cara
memahami masalah dan perasaan orang lain tersebut.
3) Kalah kejadian sama saya. Coba untuk membayangkan apa yang bakal kita rasakan
kalau mengalami satu perasaan atau kondisi yang sedang dialami orang lain. Dengan
begitu akan muncul emosi yang sama baik positif maupun negatif entah itu marah,
sedih, gembira. Memposisikan diri kita dalam posisi orang lain.
4) Memperlihatkan pada anak bahwa kita ber-empati .
a) Beri tahu apa akibatnya.
Coba pikirkan perilaku dan perkataan kita ke orang lain sebelum kita
melakukannya atau mengucapkannya. Apakah akan menyakitinya, apakah cukup
bijak dll.
b) Adil, jangan menyuruh orang lain melakukan sesuatu yang kita sendiri malas atau
tidak melakukannya. Misal menyuruh orang lain untuk berjualan door to door
padahal kita sendiri malas melakukannya, maka jangan menyuruh seperti itu.
c) Kasih bantuan. Beri aksi nyata dengan menanyakan apa yang bisa kita lakukan
untuk membantu seseorang. Jika tidak bisa memberikan apa yang diminta cari
alternatif lain atau menanyakan apakah ada orang lain yang juga bisa ikut
membantu. Marilah kita asah selalu rasa empati kita. Bukan bermaksud riya
bahwa kita telah memilikinya dan kita berjiwa sok sosial namun siapa tau suatu
saat kitalah yang mengalami posisi yang sama sulitnya dan tanpa disangka
karena kita sudah berempati maka akan ada yang berempati balik tanpa kita
harapkan.

5. Mengembangkan Kemandirian
Kemandirian berasal dari kata dasar mandiri yang sering orang mengatakan berdiri di atas
kaki sendiri, merupakan kemampuan seorang untuk tidak tergantung pada orang lain
serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukanya. Selain itu dalam Studi Kasus
Hambatan Psikologis Dependensi terhadap Orangtua, Musdalifah mengatakan bahwa
kemandirian adalah hasrat untuk melakukan segala sesuatu bagi diri sendiri. Secara
singkat dapat dipahami bahwa kemandirian mengandung pengertian:

8
a) Suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi
kebaikan dirinya.
b) Mampu mengambil keputusan dan berinisiatif untuk mengatasi masalah yang
dihadapi.
c) Memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugas- tugasnya.
d) Bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.

Rober (dalam Santrock) mengatakan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi
dimana seseorang relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat, dan kenyakinan orang
lain. Dengan otonomi tersebut seorang remaja diharapkan akan lebih bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri.

Jadi kemandirian adalah suatu sikap yang dihasilkan secara kumulatif selama
perkembangan seorang anak, dimana individu akan terus belajar untuk menghadapi
berbagai situasi di lingkungannya, sehingga pada akhirnya individu tersebut akan mampu
bertindak dan berpikir sendiri. Agar anak dapat mandiri, dukungan dan dorongan dari
keluarga serta lingkungan disekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri
sendiri.Peran orangtua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai
“penguat” bagi setiap perilakunya.Apa saja yang bias kita lakukan untuk mereka?
Diantaranya adalah:

a) Melatih anak berani berjalan sendiri tanpa ditemani, dan atau orang tua melihat dari
jauh.
b) Membiasakan anak mempunyai catatan, atau hapal alamat dan nomor telepon yang
mudah dihubungi.
c) Melatih anak mengenal lingkungan tempat tinggal.
d) Melatih anak agar tak mudah mempercayai orang yang baru dikenal
e) Melatih anak mengerjakan pekerjaannya.
f) Sebagai orang tua, hendaknya sedini mungkin mendeteksi kebohongan anak, dan
berilah pengertian dan pemahaman bahwa ia tidak sepatutnya berkata yang tidak
sesuai dengan faktanya. Beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan orang tua
terkait dengan ini misalnya.

9
6. Mengembangkan Kejujuran
Jujur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah tulus, tidak culas, lurus
hati.Sedangkan jujur menurut Al Quran adalah Shidq, yang mempunyai makna dasar
“kuat”. Orang yang shidq (benar / jujur) adalah orang yang kuat, karena itu dia berani
menyatakan kebenaran walau sepahit apa pun.

Namun menurut Albert Hendra Wijaya, jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui,
berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Secara
hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa
yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila
berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak
sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang
sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu,
mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

Dengan demikian kejujuran ini bisa kita definisikan sebagai sikap yang berlandaskan pada
kebenaran dan keobjektifan dalam menilai, menerima, memperjuangkan dan mengakui
sesuatu perbuatan.

C. LATIHAN SOAL

kerjakan soal di bawah ini dengan memberi tanda X pada jawaban yang benar
1. Amir siswa kelas 1 SD sejak masuk sekolah sering menujukan perilaku yang aneh
seperti perilaku agresif ,mudah marah,emosional ,sering
mbolos,keraskepala,sering berantem dengan temanya,sering mencuri tapi kalau di
tanya selalu berbohong perilakunya itu sangat mengganggu teman-teman
disekitarnya.Kalau melihat karakter Amir tersebut sebagai guru saudara
mengidentifikas kelainan yang dialami Amir cenderung mengarah kemana?
A.Tunasusila B. Tunalaras C. Tunagrahita D.Hiperaktif

2. Sebagai guru anda harus melatih siswa untuk mengembangkan perasaan empati
maka kegiatan dibawah ini dapat anda lakukan kecuali :

10
A.Melatih siswa untuk menjadi pendengar cerita,masalah yang dialami orang lain.
B.Melatih Siswa berada diposisi orang yang sedang bermasalah.
C.Selalu membantu siswa mengatasi masalah
D.Memperlihatkan kepada anak kalau kita memahami dia

3. Hasil assesmen menunjukan bahwa Heru termasuk anak tunalaras ,dimana


penyebabnya utamanya karena pengaruh lingkungan.Lingkungan dibawah yang
memiliki potensi menjadi penyebab utama kecuali.......
A.Lingkungan pola asuh keluarga
B.Lingkungan pendidikan disekolah
C.Lingkungan interpersonal anak
D.Lingkungan masyarakat dimana anak tinggal

4. Anak tunalaras mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemampuan


interaksi sosial,oleh sebab itu keterampilan sosial harus dilatihkan pada mereka,
karena manfaat keterampilan sosial terutama dalam kehidupan di sekolah dapat
mendukung keberhasilan dalam melakukan kegiatan di sekolah di bawah ini
kecuali.....
A.Mendukung keterampilan komunikasi di sekolah
B.Mendukung keberhasilan akademik
C.Mendukung hubungan pertemanan di sekolah
D.Mendukung terbentuknya sifat individualistik

5. Anak dengan gangguan perilaku sering mengalami kesulitan dalam melakukan


kegiatan-kegiatan berikut ini kecuali....
A.Mengidentivikasi perilaku yang benar
B.Selalu merasa bersalah atas perilakunya
B.Sulit berinisiatif melakukan kontak sosial
C.Sulit berempati pada orang disekitarnya

11
D.REFERENSI

Baron,Robert A &Byrne,Donn(2004)Psikilogi Sosial,Jakarta:Erlangga

Berk,Laura(2006)Child DevolopmentPearson Education,Inc.:Boston.

Gulay,H.Akman,K.&Kargi,F.(2009). Sosial Skill offirst-grade primary school studens


andpreschool education.Education,133(3),663-679

Hallahan,D.P.Kauffman,J.M.Pullen,CP.Exceptional Learners Intruduction to Special


education.11 th.ed.USA Pearson

Hernowo,(2005).Menjadi Guru yang Mau dan Mampu mengajar Secara Menyenangkan


Bandung:Mizan Learning Cenrer

Shephend,T.(2010).Working with Students with Emotional and Bihavior Disorders


Characteristik and Bihavior Disorder. New Jersey.Pearson

Wijaya,Albert Hendra.htt://Indonesia.siutao.com/tetesan/kejujuran.php

12

Anda mungkin juga menyukai