Anda di halaman 1dari 4

SETIAP tanggal 14 Februari kita di Sulawesi Utara, khususnya di Minahasa,

senantiasa memperingati momen bersejarah Peristiwa Merah Putih. Momen


bersejarah tersebut adalah saat-saat sangat menegangkan di mana pada lewat
tengah malam tepatnya pada pukul 01.00 dinihari 14 Februari 1946, prajurit-
prajurit KNIL yang berbalik menjadi pejuang kemerdekaan, dengan semangat
berani mati mengokang senjata laras panjang keras-keras dan berhasil
melumpuhkan saraf dan nyali prajurit KNIL di pos penjagaan tangsi Teling yang
terkesiap, terperanjat, dan menyerah kepada prajurit-Prajurit nekat yang
menodong dengan senapan kosong tanpa peluru sebutir pun sambil berteriak
garang agar menyerah atau ditembak mati.

Sebenarnyalah para prajurit pejuang kemerdekaan tersebut sudah dicurigai


oleh komandannya, Kapten Blom. Kapten Belanda tersebut sudah dilapori oleh
bagian intelijennya bahwa para prajurit anak buahnya ada yang mungkin akan
melakukan 'sesuatu' sebagai ekor desas desus yang beredar luas di kalangan
pasukan KNIL sendiri, bahwa telah timbul rasa ketidakpuasan atas perbedaan
gaji dan hak-hak prajurit yang amat mencolok antara prajurit bangsa Belanda
dan prajurit bangsa Indonesia. Ditambah dengan suasana gejolak semangat
ingin merdeka yang telah dikumandangkan Soekarno-Hatta enam bulan yang
lalu pada 17 Agustus 1945, maka suhu 'panas' sudah terasa sampai di Manado
dengan tindakan-tindakan berani barisan pemuda yang mulai terang-terangan
melakukan tindakan provokatif terhadap kekuasaan Belanda yang sedang
kembali ke Minahasa membonceng pasukan Australia yang mewakili pasukan
sekutu.

Maka sebagai tindakan pengamanan, semua prajurit KNIL dikonsinyir dan


semua peluru dilucuti. Tapi ternyata biar tanpa peluru sebutir pun, para
prajurit pejuang kemerdekaan tanpa ragu telah berjibaku dan berhasil meraih
kemenangan gilang-gemilang. Senjata-senjata dan peluru dari pasukan Belanda
yang sudah ditaklukkan dirampas dan digunakan untuk melakukan operasi
penyergapan selanjutnya, yaitu melucuti seluruh tangsi Teling dan bahkan
menawan Komandan Garnizun KNIL di Sario, Manado, yaitu Kapten Blom, dan
diteruskan menawan Komandan KNIL Letkol De Vries di markas besarnya di
Tomohon, serta Kepala Pemerintahan NICA yaitu Residen Coomans de Ruijter
yang berkantor di RS Bukit Maria, dan terus ke Wangurer untuk melucuti
pasukan Belanda yang sedang mengawal 8.000 tentara Jepang yang sudah
menyerah dan siap dipulangkan ke tanah airnya.

Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia Sulawesi Utara yang berlangsung


selama 25 hari dari 14 Februari 1946 sampai dengan 11 Maret 1946, telah
terjadi dua kali drama pengibaran bendera Merah Putih. Tentu saja selama 25
hari mengecap suasana kemerdekaan tersebut, ada banyak kali dilakukan
upacara pengibaran bendera Merah Putih di seluruh Sulut. Tetapi dua
peristiwa paling istimewa yang telah terjadi pada saat pos penjagaan tangsi
Teling direbut pada dinihari kira-kira pukul 02.00 tanggal 14 Februari 1946, dan
pada saat Markas NICA di Tomohon direbut beberapa jam kemudian pada pagi
hari itu juga, merupakan drama teramat istimewa yang patut kita kenang dan
diteruskan ke generasi berikutnya.

Pertama, dalam hal waktunya, yaitu mengibarkan bendera pada lewat tengah
malam pada jam dua dinihari, sungguh tidak ada dalam tata upacara militer
maupun sipil di manapun!

Kedua, dalam hal benderanya, yaitu karena tidak ada, atau tepatnya belum ada
bendera Merah Putih yang tersedia (ingat, pada waktu itu bendera Merah
Putih adalah benda terlarang) maka bendera yang ada yaitu bendera Belanda
yang berwarna merah-putih-biru, seolah ditakdirkan menjadi objek yang
dengan sangat mudah bisa disobek warna birunya sehingga tercipta Sang
Merah Putih yang memang menjadi idaman!

Maka bayangkanlah, dalam suasana penuh ketegangan antara hidup dan mati
setelah menawan prajurit-prajurit KNIL di pos penjagaan, maka Prajurit Frans
W Sumanti sambil terus mengepit senapannya segera memasuki pos
penjagaan, menuju meja tempat menyimpan bendera Belanda,
mengeluarkannya dari dalam laci lalu tanpa ragu menyobek warna biru
sehingga yang tersisa ialah Bendera Merah Putih dan bersama-sama dengan
Prajurit Mambi Runtukahu, Prajurit Jos Kotambunan, dan Prajurit Mas Sitam,
mereka naikkan Sang Saka Merah Putih itu ke atas tiang di tangsi Teling
sebagai tanda kemenangan, dalam keheningan malam yang dingin dan sepi,
tanpa diiringi musik atau lagu kebangsaan Indonesia Raya, kecuali degupan
jantung yang berpacu dan semangat juang yang membara, diiringi suara
jangkrik yang seolah riuh bersorak menyemangati prajurit-prajurit pejuang
kemerdekaan, dan disaksikan bumi dan langit pertiwi yang memandanginya
dengan senyap sambil tersenyum bangga. Betul-betul sebuah drama yang
berubah menjadi epos luar biasa.

Drama yang kedua ketika bendera Belanda merah-putih-biru diturunkan dari


tiangnya di Markas KNIL di Tomohon. Sambil disaksikan Komandan KNIL Letkol
De Vries beserta seluruh stafnya yang menjadi tawanan, mereka menyaksikan
dengan perasaan geram bercampur haru biru disertai linangan air mata,
melihat dan menyaksikan tanpa daya, bendera lambang kebesaran negaranya,
kini diturunkan tanpa rasa hormat, lalu warna birunya digunting, dan bendera
Merah Putih yang dibencinya, kini sedang dikerek merayap naik ke puncak
tiang dengan penuh kebanggaan penuh kemegahan oleh pejuang-pejuang
yang terdiri dari Ben Wowiling, Tommy Mantow, Dirk Kapoyos, AS Rombot,
dan lain-lain.

Banyak kisah tentang merah-putih-biru yang disobek birunya sehingga


menjelma menjadi Sang Merah Putih. Tetapi situasi dan kondisinya jelas tidak
sama seperti kedua peristiwa tersebut di atas. Yang bisa menyamainya
hanyalah Peristiwa Hotel Oranye di Jalan Tunjungan Surabaya yang memicu
terjadinya pertempuran besar-besaran pada 10 November 1945.
Kelompok 3 :
- R. Natasyha Gabriella
-Fara Octaviani
-Dinda Febiola
-M. Rihan Alvansya
-Roy Purwita
-Ardian Karunia

Sebagai :
Tentara KNIL : -Roy Purwita
-M. Rihan Alvansya
Kapten Blom : Fara Octaviani
Protokol : Dinda Febiola
Masyarakat : -Natasyha Gabriella
-Ardian Kurnia

Anda mungkin juga menyukai