Anda di halaman 1dari 23

BAB III

GANGGUAN CEMAS PADA LANSIA

3.1. Pendahuluan

Pada dasarnya, kecemasan (ansietas) adalah respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri
dan arti hidup. Kecemasan juga merupakan sinyal kewaspadaan terhadap ancaman internal
maupun eksternal. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun dan merupakan
respons adaptif yang bersifat lifesaving. Namun, cemas yang berlebihan, apalagi yang
sudah menjadi gangguan, akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.21

Gangguan cemas merupakan gangguan mental dengan prevalensi yang cukup tinggi
pada populasi masyarakat. Sebanyak 30 juta penduduk di Amerika Serikat didiagnosis
mengalami gangguan cemas, dengan jumlah wanita dua kali lipat lebih banyak daripada
pria. Gangguan cemas berhubungan dengan morbiditas yang signifikan, kronis, dan sulit
untuk mendapatkan tata laksana yang tepat.21

Gangguan cemas terjadi sebagai akibat interaksi faktor-faktor biopsikososial,


termasuk kerentanan genetik yang berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress, atau trauma
yang menimbulka gejala klinis yang bermakna.22 Melihat tingginya angka prevalensi
gangguan ansietas pada lansia dan kebutuhan tata laksana yang tepat bagi penderitanya,
maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang masalah ini.

3.2. Diagnosa Klinis Gangguan Cemas

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR),


gangguan cemas dapat diklasifikasikan menjadi gangguan panik dengan atau tanpa
agoraphobia, agoraphobia dengan atau tanpa gangguan panik, gangguan ansietas phobia
spesifik, gangguan ansietas phobia sosial, gangguan obsesif-kompulsif, post-traumatic

1
stress disorder (PTSD), gangguan stress akut, dan gangguan cemas menyeluruh (gangguan
ansietas menyeluruh / GAM).21

Diagnosa Klinis
 Rasa takut yang berlebihan, tanpa alasan, dan tidak masuk
akal terhadap objek atau situasi spesifik tertentu, seperti
terbang, ruangan tertutup, ketinggian, badai, suntikan,
darah-injeksi-luka, beberapa jenis binatang tertentu (ular,
laba-laba, kecoak), dan sebagainya.
 Rasa takut dicetuskan oleh respons kecemasan yang
langsung.
Gangguan Ansietas  Menyadari bahwa rasa takut itu berlebihan dan tidak
Phobia Spesifik masuk akal.
 Situasi phobia dihindari, atau dijalani dengan kecemasan
atau distress yang kuat.
 Penghindaran, antisipasi kecemasan atau distress pada
situasi yang ditakuti secara bermakna, dapat menyebabkan
terjadinya distress yang nyata serta mengganggu kegiatan
rutin yang normal, fungsi pekerjaan atau akademik, atau
aktivitas-aktivitas sosial dan relasi dengan orang lain.
Gangguan Ansietas  Ketakutan yang persisten pada satu atau beberapa situasi
Phobia Sosial sosial, dimana dirinya sedang diperhatikan atau dievaluasi
oleh publik atau orang di sekitarnya, seperti saat sedang
melakukan public speaking, memulai atau
mempertahankan pembicaraan dengan orang lain, serta
makan, minum, atau menulis di depan publik.
 Takut mendapatkan hinaan atau takut melakukan hal yang
memalukan, dan biasanya diikuti oleh blushing ataupun
berkeringat.
 Menghindari situasi sosial atau performance di hadapan
orang lain, terkadang masih dapat melakukan
performance, tetapi diikuti oleh kecemasan yang terus
menerus atau distress yang berat.
 Menyadari bahwa rasa takut itu berlebihan dan tidak
masuk akal.
 Penghindaran, antisipasi kecemasan atau distress pada

2
situasi sosial atau tampil di depan umum secara bermakna,
dapat menyebabkan terjadinya distress yang nyata serta
mengganggu kegiatan rutin yang normal, fungsi pekerjaan
atau akademik, atau aktivitas-aktivitas sosial dan relasi
dengan orang lain.
 Merasa takut berada di tempat atau situasi dimana
kesempatan untuk melarikan diri menjadi sulit ataupun
memalukan.
 Biasanya akan mengakibatkan ketakutan berada di
Agoraphobia
beberapa tempat atau situasi, seperti keramaian, pertokoan,
jembatan, terowongan, bioskop, ruangan kecil yang
tertutup, berdiri dalam antrian panjang, dan bepergian
dengan bus, kereta api, ataupun pesawat terbang.
 Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan pada berbagai
peristiwa kehidupan atau aktivitas (terutama aktivitas yang
akan dilakukan), yang terjadi minimal selama 6 bulan.
 Kecemasan sulit untuk dikontrol.
 Kecemasan berhubungan dengan minimal 3 gejala, yaitu :
Gangguan Ansietas
mudah merasa lelah, sulit untuk berkonsentrasi, iritabilitas,
Menyeluruh
tegang otot, gangguan tidur, dan selalu merasa di ujung
tanduk.
 Kecemasan dan kekhawatiran dapat menyebabkan distress
yang signifikan dan disfungsi dalam kehidupan sosial,
okupational, atapun fungsi kehidupan lainnya.
Gangguan Panik  Serangan panik yang tiba-tiba terjadi dengan diikuti oleh
minimal 4 hal, yaitu : palpitasi, berkeringat, tubuh
gemetar, nafas pendek-pendek, merasa tercekik (air
hunger), nyeri dada, nausea atau nyeri perut, merasa
pusing / light head / pingsan, derealisasi atau
depersonalisasi, takut kehilangan kontrol / takut
mengalami gangguan jiwa, takut meninggal, baal atau
kesemutan, serta kedinginan atau kepanasan.
 Peduli yang persisten terhadap serangan panik berikutnya.
 Cemas akan konsekuensi dari adanya serangan panik,
seperti serangan jantung ataupun stroke.
 Adanya perubahan perilaku yang signifikan, yang
3
berhubungan dengan serangan panik, misalnya
menghindari tempat dimana serangan panik pernah terjadi
sebelumnya.
Post-Traumatic Stress  Pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa saksi
Disorder mata atau berhadapan langsung dengan satu atau beberapa
kejadian yang mengerikan, atau mengancam kehidupan,
atau kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap
integritas fisik diri sendiri dan orang lain ; serta respons
akibat terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,
keputusasaan, atau ketakutan yang luar biasa.
 Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang
dalam salah satu bentuk di bawah ini, yaitu :
1. Adanya bayangan, pikiran, atau persepsi yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik yang timbul
secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi
individu yang bersangkutan.
2. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang
menimbulkan penderitaan.
3. Berperilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa
traumatik yang dialami itu terjadi kembali.
4. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan
hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan
aspek peristiwa traumatik, baik sebagian atau
seluruhnya, secara internal maupun eksternal.
5. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-
hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek
peristiwa traumatik, baik sebagian atau seluruhnya,
secara internal maupun eksternal.
 Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap
stimulus-stimulus yang berkaitan dengan peristiwa
traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi
yang membeku secara keseluruhan, yang ditunjukkan oleh
3 atau lebih gejala di bawah ini, yaitu :
1. Adanya usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau
pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik

4
yang dialaminya.
2. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau
orang-orang yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang
peristiwa traumatik yang dialaminya.
3. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting
yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang
dialaminya.
4. Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi
dalam aktivitas-aktivitas.
5. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau
orang-orang di sekitarnya.
6. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak
mampu lagi merasakan perasaan dicintai.
7. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya,
misalnya tidak mempunyai keinginan lagi untuk
mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh
anak, atau dalam aktivitas sehari-harinya.
 Adanya gejala yang menetap dari peningkatan
kewaspadaan, yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala di
bawah ini, yaitu :
1. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur.
2. Iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan.
3. Kesulitan berkonsentrasi.
4. Hypervigilance
5. Respons yang kacau dan tidak terkendali.
 Durasi dari gejala-gejala tersebut berlangsung lebih dari 1
bulan.
 Gejala-gejala itu menimbulkan distress dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Gangguan Obsesif-  Memiliki obsesi atau kompulsif. Obsesi adalah pemikiran,
Kompulsif impuls, atau gambaran yang persisten dan rekuren, dan
bersifat intrusif dan tidak layak, seperti terkontaminasi,
permintaan, impuls, serta gambaran seksual. Kompulsif
adalah perilaku atau sikap mental yang dilakukan berulang
kali, dengan tujuan untuk mencegah atau untuk
mengurangi kecemasan, seperti mencuci tangan, meminta,
melakukan pengecekan, berdoa, menghitung, dan

5
mengulang kata-kata.
 Menyadari bahwa rasa takut itu berlebihan dan tidak
masuk akal.
 Obsesi tersebut menyebabkan distress, menghabiskan
waktu lebih dari 1 jam per hari, dan menggangu berbagai
aktivitas harian lainnya.
Tabel 3.2. Diagnosa Klinis Gangguan cemas Berdasarkan DSM-IV-TR.1

3.3. Definisi Gangguan Cemas pada Lansia

Gangguan cemas adalah kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional, bahkan terkadang tidak realistik terhadap
berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari, yang dikarakteristik oleh gejala-gejala fisik dan
diikuti oleh rasa takut, obsesi, dan sebagainya. 23 Kecemasan dapat melingkupi berbagai
aspek kehidupan seorang individu lansia. Pada aspek emosional, kecemasan akan
menimbulkan perasaan terancam, perasaan tertekan, ketidakmampuan untuk bersantai, dan
kesulitan untuk membuat sebuah keputusan. Pada aspek kognitif, kecemasan biasanya
dapat menyebabkan deteriorasi konsentrasi, sehingga berakibat pada pemikiran yang tidak
rasional terhadap situasi saat ini. Pada aspek perilaku, kecemasan akan ditunjukkan dengan
aktivitas yang berlebihan, seperti ketidakmampuan untuk beristirahat pada satu posisi saat
sedang duduk atau berbaring, sering berjalan mondar mandir atau melipat tangan.24

3.4. Epidemiologi Gangguan Cemas pada Lansia

6
Terdapat sejumlah perbedaan diantara gangguan cemas pada dewasa dan lansia
(Grafik 3.4.). Pasien lansia dengan gangguan ansietas phobia cenderung memiliki ketakutan
berlebih pada situasi tertentu, seperti halilintar, hujan badai, dan terjatuh, sedangkan pasien
dewasa biasanya cenderung memiliki gangguan ansietas phobia pada binatang tertentu,
seperti ular, kecoak, dan laba-laba.25

Grafik 3.4. Prevalensi Gangguan Psikiatri Berdasarkan Usia Individu selama 12 Bulan oleh National
Epidemiologic Survey of Alcoholism and Related Conditions pada Tahun 2009. Di dalam grafik ini, dapat
terlihat adanya angka gangguan psikiatri yang tinggi pada lansia di tipe gangguan cemas, seperti gangguan
ansietas phobia spesifik, gangguan ansietas sosial, dan gangguan ansietas menyeluruh. 25

Prevalensi gangguan psikiatrik yang terbanyak pada individu dengan usia di atas 60
tahun adalah gangguan cemas sebanyak 39%, yang terdiri dari gangguan ansietas phobia
spesifik (7,5%), gangguan ansietas phobia sosial (6,6%), gangguan ansietas menyeluruh
(GAM) (3,6%), post-traumatic stress disorder (PTSD) (2,5%), gangguan panik (2%),

agoraphobia tanpa panik (1%), gangguan obsesif-kompulsif (0,7%), dan gangguan cemas
lainnya (15,2%) ; gangguan mood sebanyak 24,8%, yang terdiri dari depresi berat (10,6%),
7
mood distimik (1,2%), gangguan bipolar (1%), dan gangguan mood lainnya (12%) ; serta
gangguan penggunaan zat sebanyak 15,4%, yang terdiri dari penyalahgunaan alkohol
(6,2%), ketergantungan alkohol (2,2%), penyalahgunaan obat (0,4%), ketergantungan obat
(0,3%), dan gangguan penggunaan substansi lainnya (6,3%).25

3.5. Faktor Resiko Gangguan Cemas pada Lansia

Gangguan cemas pada lansia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan
rasio 1,5 : 1. Faktor resiko gangguan cemas pada lansia adalah adanya gangguan psikiatrik
yang lain, gangguan neurologi, kehilangan pasangan hidup atau tidak menikah selama
hidupnya, tidak memiliki anak, hidup seorang diri, ketidakmampuan memahami peran
sebagai seorang lansia, keadaan ekonomi yang buruk atau pendapatan rendah, pengalaman
traumatik semasa hidupnya, dan relasi sosial yang buruk dengan orang lain (Tabel 3.5.1.).
Adanya gangguan cemas dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup lansia.25

Gangguan Cemas pada Lansia Faktor Resiko

Agoraphobia Jenis kelamin perempuan


Kehilangan pasangan hidup (janda / duda /
bercerai)
Adanya komorbiditas dengan gangguan
psikiatrik lain, seperti depresi berat dan
gangguan ansietas phobia sosial

Gangguan panik Cenderung berhubungan dengan


ketidakmampuan, baik fisik, mental, sosial,
maupun ekonomi

Gangguan ansietas phobia Penghasilan rendah / ekonomi buruk


Trauma ditinggalkan orang tua saat masih
kecil

PTSD Trauma masa kecil


Jenis kelamin perempuan
Kepercayaan diri yang rendah
Tabel 3.5.1. Faktor Resiko pada Gangguan Cemas Lansia.25

8
Gangguan cemas biasanya disertai dengan gangguan mood, terutama depresi pada
pasien lansia, dan demikian pula sebaliknya (Tabel 3.5.2.).26 Sebanyak 35% dari lansia
dengan gangguan depresi memiliki sedikitnya satu kali diagnosis gangguan cemas semasa
hidupnya.27 Sangat jarang ditemukan seorang lansia yang memiliki gangguan cemas, tetapi
tidak disertai dengan depresi. Makin tinggi tingkat depresi seseorang, maka akan
menyebabkan makin tingginya tingkat kecemasan individu tersebut. Keadaan ini akan
memicu munculnya ide-ide bunuh diri pada individu tersebut.24

Gangguan Psikis dan Fisik yang Persentase Tingginya Korelasi


Berkorelasi dengan Depresi dengan Depresi (0-100%)

Gangguan cemas 81%

Mood depresif 70%

Tekanan 64%

Insomnia 55%

Gangguan kognitif 53%

Perilaku saat wawancara 53%

Gangguan sistem kardiovaskular 53%

Gangguan sistem otonom 52%

Gangguan sistem gastrointestinal 48%

Ketakutan 44%

Gangguan sistem genitourinal 40%

Gangguan sistem respirasi 37%

Keluhan somatik muskular 29%

Keluhan somatik sensoris 24%


Tabel 3.5.2. Korelasi antara depresi terhadap berbagai gangguan psikis dan fisik lansia. Tabel ini
menunjukkan bahwa adanya depresi pada lansia berkorelasi dengan kuat terhadap timbulnya gangguan cemas
pada lansia.27

Angka kejadian bunuh diri mengalami peningkatan sesuai dengan pertambahan usia
(Grafik 3.5.). Prevalensi tertinggi kejadian bunuh diri berkisar pada usia 60-80 tahun. 24
Gangguan cemas pada lansia jarang berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol, dimana
gangguan cemasnya berkorelasi seperti pada dewasa muda.25

9
Grafik 3.5. Angka kematian akibat bunuh diri per 100.000 populasi penduduk di Amerika
Serikat tahun 1950-2004. Grafik ini menunjukkan adanya angka kematian akibat bunuh diri yang tinggi pada
lansia (usia 65 tahun ke atas) dari tahun 1950 hingga tahun 2004.25

Sebanyak 30% pasien lansia dengan gangguan kardiovaskular, seperti penyakit


jantung koroner dan atrial fibrillation, dilaporkan mengalami gangguan cemas. Prevalensi
gangguan cemas pada pasien lansia dengan obstruksi pulmonari kronis adalah sebanyak
8%-32%. GAM juga terjadi pada 15%-20% pasien dengan gejala neurologis, seperti stroke
dan Alzheimer.25 Gangguan cemas juga dapat memperburuk prognosis penyakit pasien.
Gangguan cemas akan menurunkan kualitas hidup, menurunkan kemampuan memori, dan
meningkatkan perasaan kesepian pada lansia.28 Meskipun masalah gangguan cemas
memiliki angka prevalensi yang tinggi, tetapi nursing home patient dan caregiver lansia
kurang mendapatkan perhatian lebih sehingga seringkali pasien tidak mendapatkan
penanganan yang tepat.25

3.6. Etiologi Gangguan Cemas pada Lansia

Etiologi dari gangguan cemas belum diketahui secara pasti, tetapi dihipotesiskan
terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu faktor biologi, faktor genetik, dan faktor
psiko-sosial. Salah satu faktor biologi yang berperan dalam gangguan cemas adalah
neurotransmitter. Penurunan aktivitas Gamma-Aminobutyric Acid (GABA) terjadi pada
individu dengan gangguan cemas. Selain itu, ditemukan juga adanya peningkatan kadar
serotonin dan norepinefrin pada individu dengan gangguan cemas.29 Gangguan kecemasan
10
disebabkan oleh hiperaktivitas dari sistem limbik susunan saraf pusat (SSP) yang terdiri
dari “dopaminergic, noradrenergic, serotoninergic neurons”, yang dikendalikan oleh
GABA-ergic neurons.30

Pada individu yang normal, norepinefrin bersifat merangsang timbulnya kecemasan,


sebaliknya GABA berperan untuk menghambat terjadinya kecemasan. Benzodiazepine dan
GABA akan membentuk “kompleks Benzodiazepine-GABA”, yang akan menurunkan
kecemasan. Mengenai peranan serotonin dalam gangguan cemas, didapatkan dari hasil
pengamatan efektivitas obat-obatan golongan serotonergik terhadap kecemasan, seperti
buspirone, yang merupakan agonis reseptor serotonergik tipe 1A (5-HT 1A ). Diduga bahwa
serotonin mempengaruhi “kompleks Benzodiazepine-GABA”, sehingga buspirone dapat
berperan sebagai obat anti cemas.31

Terdapat 3 tipe reseptor serotonin, yaitu 5-HT 1, 5-HT2, dan 5-HT3. Reseptor 5-HT1
bersifat sebagai inhibitorik, sedangkan reseptor 5-HT2 dan 5-HT3 bersifat sebagai
eksitatorik. Neurotransmitter yang memegang peranan utama pada GAM adalah serotonin,
sedangkan norepinefrin berperan utama pada gangguan panik.32

3.7. Patofisiologi Gangguan Cemas pada Lansia

Dalam melakukan public speaking, pasien lansia wanita dengan gangguan ansietas
phobia sosial, akan mengalami respon hemodinamik yang tinggi dan aktivasi vasomotor
simpatik, daripada pasien lansia tanpa gangguan ansietas. Pasien lansia dengan gangguan
ansietas phobia spesifik dan GAM, akan mengalami respons kortisol terhadap stress yang
lebih panjang daripada lansia tanpa gangguan ansietas. Pasien lansia dengan GAM
memiliki fungsi eksekutif dan kemampuan memori yang menurun, dibandingkan dengan
lansia tanpa GAM.25

3.8. Klasifikasi Gangguan Cemas pada Lansia

3.8.1. Gangguan Ansietas Phobia

3.8.1.1. Definisi

11
Gangguan ansietas phobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap, dan
berlebihan terhadap suatu objek spesifik, keadaan, atau situasi.22 Rasa kecemasan
dicetuskan oleh adanya suatu situasi atau objek yang jelas, tertentu (dari luar individu
tersebut), yang sebenarnya secara umum tidak berbahaya. Perhatian terhadap individu
tersebut dapat terfokus pada gejala-gejala individual, seperti palpitasi, perasaan mau
pingsan, dan sering kali disertai dengan perasaan takut mati, takut kehilangan kendali, atau
takut menjadi gila. Kecemasan tersebut tidak berkurang meskipun individu tersebut
mengetahui bahwa orang lain tidak menganggap situasi yang dihadapi tersebut berbahaya
atau mengancam. Membayangkan menghapai situasi phobia itu saja umumnya sudah dapat
menimbulkan kecemasan pada individu tersebut.33

Berdasarkan jenis objek atau situasi ketakutan, gangguan ansietas phobia dibedakan
menjadi gangguan ansietas phobia spesifik, gangguan ansietas phobia sosial, dan
agoraphobia. Agoraphobia adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak, serta
adanya kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat yang aman. Gangguan ansietas phobia
spesifik adalah ketakutan irasional terhadap objek tertentu. Gangguan ansietas phobia sosial
adalah ketakutan irasional pada situasi sosial tertentu.22

3.8.1.2. Epidemiologi

Gangguan ansietas phobia lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki,
dengan rasio 7 : 3.28, 29 Prevalensi gangguan ansietas phobia dua kali lebih banyak pada ras
African-American dibandingkan dengan ras kulit putih dan Hispanic. Insidens gangguan
ansietas phobia diperkirakan mencapai 4,29 kasus per 100 orang lansia.25

Tidak ada perbedaan angka yang signifikan antara prevalensi gangguan ansietas
phobia spesifik pada lansia dibandingkan dengan remaja dan dewasa. Walaupun hal yang
dicemaskan dan ditakutkan adalah berbeda. Pasien lansia dengan gangguan ansietas phobia
spesifik cenderung memiliki ketakutan berlebih pada situasi tertentu, seperti halilintar dan
hujan badai, sedangkan pasien dewasa biasanya cenderung memiliki gangguan ansietas
phobia spesifik pada binatang tertentu, seperti ular, kecoak, dan laba-laba.25

Prevalensi pasien lansia dengan gangguan ansietas phobia sosial cenderung lebih
sedikit jumlahnya dibandingkan dengan gangguan ansietas phobia sosial pada dewasa,

12
terutama pada usia 20-40 tahun. Jumlah pasien lansia dengan agoraphobia lebih sedikit
dibandingkan dengan pasien lansia dengan gangguan phobia lainnya.25

3.8.1.3. Faktor Resiko

Beberapa penelitian menemukan adanya peningkatan resiko individu mengalami


gangguan ansietas phobia sosial sebanyak tiga kali lipat, jika memiliki sanak keluarga
derajat pertama yang mengalami gangguan ansietas phobia. Gangguan ansietas phobia
spesifik cenderung terdapat dalam satu keluarga, terutama tipe darah, injeksi, dan luka.
Sebanyak 67%-75% individu dengan gangguan ansietas phobia spesifik memiliki
sekurangnya satu sanak keluarga derajat pertama dengan gangguan ansietas phobia spesifik
dari tipe yang sama.33

3.8.1.4. Etiologi

Penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak dengan predisposisi konstitusional


terhadap phobia memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap hal-hal yang tidak dikenal
(behavioral inhibiton to the unfamiliar). Jika hal itu ditambah dengan stress lingkungan
yang kronis, akan mencetuskan timbulnya gangguan ansietas phobia. Misalnya perpisahan
dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, dapat menginduksi terjadinya gangguan
ansietas phobia dengan gejala-gejala yang nyata pada saat dewasa dan lansia. Menurut
Freud, objek phobia merupakan simbolisasi dari sesuatu yang berhubungan dengan tidak
terselesaikannya suatu konflik.33

3.8.1.5. Gambaran Klinis

Gangguan ansietas phobia spesifik ditandai dengan timbulnya kecemasan berat jika
individu terpapar dengan situasi atau objek spesifik, atau jika individu mengantisipasi akan
terpapar dengan situasi atau objek spesifik. Pemaparan atau mengantisipasi dengan
stimulus phobia sering menimbulkan serangan panik. Gangguan ansietas phobia spesifik ini
terbagi menjadi tipe hewan (ular, kecoak, laba-laba), lingkungan alam (ketinggian, hujan
badai), darah-injeksi-luka, dan situasional (transportasi umum, jembatan, lift, tempat
tertutup, pesawat udara). Pada lansia, gangguan ansietas phobia spesifik yang paling sering
adalah takut akan terjatuh. Akibat ketakutannya ini, mereka akan menolak melakukan
aktivitas.25, 33

13
Pasien dengan gangguan ansietas phobia sosial memiliki kecemasan yang berat
terhadap situasi sosial atau tampil di depan orang-orang yang belum dikenal, atau situasi
yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain, atau menjadi pusat perhatian, atau merasa
takut akan berperilaku memalukan atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya. Terdapat
dua jenis gangguan ansietas phobia sosial, yaitu phobia sosial menyeluruh dan phobia
sosial terbatas (performance anxiety).25, 33

Pasien dengan agoraphobia menghindari situasi di saat sulit untuk mendapatkan


bantuan. Individu tersebut lebih suka ditemani teman atau anggota keluarga di tempat
tertentu, seperti jalan yang ramai, toko yang padat, ruang tertutup (terowongan, jembatan,
dan lift), serta kendaraan tertutup (kereta bawah tanah, bus, dan pesawat terbang). Mereka
menghendaki ditemani setiap kali harus bepergian keluar rumah.25, 33

3.8.2. Gangguan Ansietas Menyeluruh

3.8.2.1. Definisi

GAM merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan


kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional, bahkan terkadang tidak realistik terhadap
berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari,
berlangsung sekurangnya selama 6 bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk
dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala somatik, seperti ketegangan otot,
iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas
dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan.22

3.8.2.2. Epidemiologi

GAM biasanya dimulai pada usia dewasa muda, dan lebih banyak terjadi pada
lansia wanita daripada lansia pria, dengan rasio 2 : 1.22 GAM pada lansia memiliki
prevalensi dua kali lebih rendah daripada GAM pada dewasa. Prevalensi GAM pada lansia
pria dengan ras kulit putih lebih tinggi daripada ras African-American. Sementara pada
lansia wanita, tidak ditemukan perbedaan yang berarti antara ras kulit putih dengan rasa
African-American.25

3.8.2.3. Faktor Resiko

14
Adanya riwayat keluarga dengan GAM, peningkatan stress individual, dan riwayat
trauma fisik atau emosional, meningkatkan faktor resiko GAM. Orang tua pasien GAM
biasanya terlalu banyak mengkritik pasien dan memiliki ekspetasi yang tinggi pada
kehidupan pasien.33 Sebuah studi juga melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
merokok dan GAM. Seorang perokok berat memiliki resiko 5-6 kali lebih tinggi menderita
GAM daripada non-perokok. Berbagai penyakit organik juga turut memicu terjadinya
GAM pada seorang pasien. Sebagai contoh, sebanyak 14% pasien diabetes mellitus (DM)
mengalami GAM.34,36

3.8.2.4. Etiologi

Teori biologi menyatakan bahwa area otak yang diduga terlibat pada timbulnya
GAM adalah lobus oksipitalis, yang mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di otak.
Neurotransmitter yang berkaitan dengan GAM adalah GABA, serotonin, norepinefrin,
glutamat, dan kolesistokinin. Teori genetik menyatakan bahwa terdapat hubungan genetik
pada pasien GAM. Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama penderita GAM juga
menderita gangguan yang sama. Pada penelitian yang dilakukan pada pasangan kembar,
didapatkan angka 50% pada kembar monozigot dan 15% pada kembar dizigot.

Menurut teori psikoanalitik, kecemasan adalah gejala dari konflik bawah sadar yang
tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif, kecemasan dihubungkan dengan
perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi, kecemasan
dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Menuru teori kognitif-
perilaku, penderita GAM merespons ancaman secara salah dan tidak tepat, karena perhatian
yang selektif terhadap hal-hal negatif pada lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan
informasi, dan pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi
ancaman.22

3.8.2.5. Gambaran Klinis

Gejala utama GAM adalah kecemasan, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom,


dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi dengan tubuh
gemetaran, kelelahan, dan sakit kepala. Hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk

15
pernafasan yang pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran pencernaan.
Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.35

3.8.2.6. Pemeriksaan Penunjang

Sebuah studi menunjukkan bahwa penggunaan spektroskopi proton magnetic


resonance dapat melihat adanya peningkatan asimetris rasio N-acetylaspartate-creatine
pada pasien GAM. N-acetylaspartate-creatine adalah marker untuk melihat viabilitas
persarafan dorsolateral dextra pada korteks prefrontal.23

3.8.3. Gangguan Panik


3.8.3.1. Definisi
Gangguan panik adalah adanya serangan kecemasan tiba-tiba yang berat dan
berulang, tidak terbatas pada situasi tertentu ataupun suatu rangkaian kejadian, sehingga
seringkali tidak terduga.33
3.8.3.2. Epidemiologi
Pasien lansia wanita dengan gangguan panik kebanyakan diderita pada ras kulit
putih dan Hispanic. Sementara pada pasien lansia pria, tidak ditemukan adanya perbedaan
yang berarti antara ras kulit putih dan ras African-American. Insidens gangguan panik pada
lansia adalah 0,04% per 100 orang.25
3.8.3.3. Faktor Resiko
Gangguan ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (rasio
3:2). Prevalensi sepanjang hidup gangguan panik mencapai 5%, sedangkan serangan panik
sebanyak 5,6%. Individu yang pernah mengalami gangguan cemas perpisahan ketika
pertama kali masuk sekolah, maka bisa jadi ketika dewasa dan lansia mungkin akan
mengalami gangguan panik.22
Sebanyak 91% pasien dengan gangguan panik dan 84% pasien dengan agoraphobia,
mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya. Gangguan depresi berat juga
menyertai 10%-15% pasien dengan gangguan panik. Kecemasan juga sering terdapat pada
gangguan panik, yaitu sebanyak 15%-30% mengalami phobia sosial, 2%-20% mengalami
phobia spesifik, 15%-30% mengalami GAM, dan 30% mengalami gangguan obsesif-
kompulsif. Kondisi komorbiditas lainnya adalah hipokondriasis, gangguan kepribadian, dan
gangguan penggunaan zat.22
3.8.3.4. Etiologi
Gangguan panik disebabkan oleh faktor-faktor organobiologik, psikoedukatif, dan
sosiokultural. Pada faktor organobiologik, ditemukan bahwa terdapat penurunan

16
neurotransmitter serotonin di otak. Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut
yang terkondisi, yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala,
korteks prefrontal, dan hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya panik. Dalam
kondisi ini, seseorang dengan gangguan panik menjadi takut akan terjadinya serangan
panik.22
Pada faktor psikososial, pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki gaya
kelekatan yang bermasalah, antara lain dalam bentuk preokupasi terhadap kelekatannya itu
Mereka sering berpandangan bahwa perpisahan dan kelekatan sebagai sesuatu yang
mutually exclusive. Hal ini disebabkan karena sensitivitas yang tinggi akan kehilangan
kebebasan, maupun kehilangan akan rasa aman dan perlindungan. Kesulitan ini tampak
dalam keseharian pasien yang cenderung menghindari perpisahan yang terlalu menakutkan,
dan pada saat yang sama, secara simultan juga menghindari kelekatan yang terlalu intens.
Keadaan ini tampak dalam gaya interaksi pasien yang terlalu mengontrol orang lain.22
3.8.3.5. Gambaran Klinis
Gangguan panik ditandai dengan serangan panik yang berulang. Serangan panik
terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai gejala otonom yang kuat, terutama sistem
kardiovaskular dan sistem pernafasan. Serangan sering dimulai selama 10 menit, dan gejala
akan meningkat secara cepat. Kondisi cemas pada gangguan panik biasanya terjadi secara
tiba-tiba, dapat meningkat hingga sangat tinggi, serta disertai gejala-gejala yang mirip
gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa
seperti tercekik. Hal ini dialami tidak terbatas pada situasi atau rangkaian kejadian tertentu
dan biasanya tidak terduga sebelumnya.33
Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya menjadi
sangat khawatir bahwa ia akan mengalami lagi keadaan tersebut (anticipatory anxiety). Hal
itu membuatny berulang kali berusaha mencari pertolongan dengan pergi ke rumah sakit
terdekat.33
Sistem pernafasan merupakan topik yang penting dalam investigasi pasien dengan
gangguan panik, karena pernafasan yang cepat dan pendek merupakan gejala yang sangat
jelas dirasakan oleh pasien (suffocation false alarm). Berbeda dengan abnormalitas sistem
kardiovaskular, pernafasan yang tidak stabil adalah spesifik pada gangguan panik, termasuk
sindrom hiperventilasi dan peningkatan variasi pernafasan.25
Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat dan ancaman kematian
atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang
menyertai adalah takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat. Penderita akan segera

17
berusaha ‘keluar’ dari situasi tersebut dan mencari pertolongan. Serangan dapat
berlangsung selama 20-30 menit.33
Pada pemeriksaan status mental saat serangan, akan dijumpai adanya kesulitan
berbicara, seperti gagap, depresi, derealisasi, depersonalisasi, dan gangguan memori. Fokus
perhatian somatik pasien adalah perasaan takut mati karena masalah jantung atau
pernafasan. Seringkali pasien merasa seperti akan menjadi gila.33

3.9. Gambaran Klinis Gangguan Cemas pada Lansia

Kecemasan memiliki dua komponen, yaitu adanya sensasi fisiologis, seperti


palpitasi dan berkeringat; serta adanya perasaan cemas atau ketakutan. Perasaan malu akan
menyebabkan intensitas cemas menjadi semakin tinggi. Kecemasan dapat mempengaruhi
cara berpikir, persepsi, dan cara belajar seseorang. Kecemasan akan cenderung
menyebabkan kebingungan dan perubahan persepsi, termasuk persepsi tempat dan waktu,
persepsi terhadap seseorang, serta persepsi terhadap peristiwa tertentu ataupun lingkungan
sekitar. Berbagai perubahan yang ada itu, dapat mengganggu pembelajaran seseorang
karena terjadi penurunan daya ingat dan konsentrasi, serta merusak kemampuan untuk
menghubungkan satu hal dengan hal yang lainnya.21

Anxietas akan menimbulkan reaksi “fight or flight”. Flight merupakan reaksi tubuh
untuk melarikan diri, dimana terjadi peningkatan sekresi adrenalin ke dalam sirkulasi darah
yang akan menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah sistolik,
sedangkan fight merupakan reaksi agresif untuk menyerang, yang akan menyebabkan
sekresi noradrenalin, rennin, dan angiotensin, sehingga tekanan darah meningkat, baik
sistolik maupun diastolik.36

Manifestasi fisiologis dari kecemasan adalah diare, merasa pusing dan melayang
(light-headedness), hiperhidrosis, hiperrefleks, hipertensi, palpitasi, midriasis pupil, tidak
bisa beristirahat atau tidak bisa bersantai, sinkop, takikardia, kesemutan di ekstremitas
tubuh, tremor, dan peningkatan frekuensi buang air kecil.21 Ada dua faktor yang paling
berpengaruh pada tekanan darah, yaitu curah jantung (cardiac output) dan tahanan perifer
(peripheral resistance). Kecemasan akan merangsang respon hormonal dari hipotalamus,
yang akan mensekresi Corticotropin Releasing Factor (RF) yang menyebabkan sekresi
hormon-hormon hipofisis. Salah satu dari hormon tersebut adalah Adreno-Corticotropin
18
Hormone (ACTH). Hormon tersebut akan merangsang korteks adrenal untuk mensekresi
kortisol ke dalam sirkulasi darah. Peningkatan kadar kortisol dalam darah akan
mengakibatkan peningkatan renin, angiotensin II, dan peningkatan sensitisitas pembuluh
darah terhadap katekolamin, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.36

3.10. Pemeriksaan Penunjang Gangguan Cemas pada Lansia

Pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis gangguan cemas pada


lansia adalah Geriatric Anxiety Scale (GAS). Tujuannya adalah untuk melihat gejala-gejala
klinis dari gangguan cemas pada lansia. Skala berawal dari 0 sampai dengan 15. Makin
tinggi nilainya, maka makin jelas indikasi terhaap gangguan cemas.37

Gambar 3.10. Geriatric Anxiety Scale (GAS). Skala bernilai 0-15. Setiap jawaban BENAR, bernilai 1.
Makin tinggi nilai GAS, maka makin tinggi indikasi terhadap gangguan cemas pada lansia. 37

3.11. Diagnosis Banding Gangguan Cemas pada Lansia

Diagnosis banding yang paling utama pada gangguan cemas lansia adalah kondisi
medis dan depresi. Adanya gejala somatik dari gangguan cemas sangat sulit dibedakan
dengan penyakit atau gangguan respiratori, kardiovaskular, endokrin, gastrointestinal,
metabolik, neurologis; serta efek dari pengobatan, seperti obat-obatan anti hipertensi,
kortikosteroid, Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS), dan digitalis.
19
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan fungsi tiroid, dan pemeriksaan elektrolit, diperlukan untuk menegakkan
diagnosis klinis yang tepat.25, 38

Meskipun seringkali gangguan cemas disertai oleh depresi, tetapi perlu dibedakan gejala
dan karakterisasi dari kedua gangguan psikiatri ini (Tabel 3.7.).

Gambaran Khas Gangguan Cemas Depresi

Gejala somatik Otonom (palpitasi, pusing, Vegetatif (nafsu makan turun,


gangguan gastrointestinal) mudah lelah)

Tingkatan aktivitas Agitasi atau kesulitan untuk Retardasi psikomotor


beristirahat

Kesenangan hidup Tidak berkurang, tetapi pasien Berkurang


merasa bahwa tidak memiliki
waktu untuk menikmati hidup

Gangguan tidur Kesulitan untuk jatuh tertidur Bangun lebih pagi


atau tetap tidur

Isi pikir Khawatir tentang ancaman dan Berpikir tentang kegagalan atau
bahaya sekarang atau yang akan kehilangan di masa lalu, muncul
datang ide-ide untuk bunuh diri

Perilaku Menunjukkan aktivitas yang Berkurangnya aktivitas


berlebihan (membersihan
ruangan, mengambil banyak
tugas untuk diselesaikan,
bersikap tanggung jawab)

Hubungan dengan Terlalu mencampuri urusan Tidak berhubungan dengan


keluarga keluarga atau merasa bosan keluarga
dengan keluarga

Relasi dengan sosial Tidak terganggu, tetapi pasien Berkurangnya relasi dengan
akan menyembunyikan gejala orang lain
gangguan cemas ini dari orang
lain

Perjalanan penyakit Kronis Episodik

Tambahan gambaran Pasien percaya bahwa gejala- Pasien percaya bahwa gejala-
khas yang lain gejala ini merupakan bagian dari gejala ini adalah bagian yang
kepribadian atau respon yang normal dari proses penuaan atau
wajar terhadap berbagai respon yang wajar terhadap
peristiwa hidup berbagai peristiwa hidup

20
Tabel 3.7. Karakterisasi dari Gangguan Cemas dan Depresi pada Lansia.24

3.12. Tata Laksana Gangguan Cemas pada Lansia

Prinsip pemberian obat-obatan anti cemas terhadap lansia adalah “start low and go
slow”.25 Berbagai faktor, terutama efek samping yang ditimbulkan, adanya komplikasi
berbagai penyakit lain, dan kerugian konsumsi multi-drugs, perlu dipertimbangkan dalam
pemberian obat-obatan untuk lansia dengan gangguan cemas.39 Efek samping obat anti-
ansietas adalah sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif melemah) dan relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah).
Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala putus obat (rebound
phenomena) sehingga pasien menjadi irritable, bingung, gelisah, insomnia, dan tremor.40
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI), Selective Serotonin-Norepinephrine
Reuptake Inhibors (SSNI), dan 5-HT2 antagonis merupakan terapi lini pertama untuk
gangguan cemas dan gangguan campuran cemas-depresi.25

Gangguan Terapi Lini Pertama Terapi Lini Kedua

Gangguan panik dengan atau SSRI, SSNI, TCA, MAOI


tanpa agoraphobia benzodiazepine

GAM SSRI, SSNI, Benzodiazepine, 5-HT2 antagonis,


azapirone TCA

Gangguan obsesif-kompulsif SSRI TCA (clomipramine)

Gangguan ansietas phobia SSRI, SSNI MAOI


sosial

Gangguan ansietas phobia Benzodiazepine (jika Beta-bloker, azapirone


spesifik diperlukan)

PTSD SSRI 5-HT2 antagonis


Tabel 3.8.1. Strategi tata laksana farmakologis yang dapat diberikan untuk pasien lansia dengan
gangguan cemas. TCA = Tricyclic Anti Depresssants, MAOI = Monoamine Oxidase Inhibitors.25, 33

1. SSRI

SSRI yang biasanya digunakan untuk lansia di Amerika Serikat adalah citalopram, escitalopram, fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, dan

sertraline. SSRI merupakan obat-obatan utama yang dapat digunakan untuk menangani pasien dengan gangguan panik, GAM, gangguan

obsesif-kompulsif, dan PTSD. Efek samping yang dapat ditimbulkan SSRI adalah gangguan gastrointestinal. Lansia sebaiknya memulai

konsumsi SSRI dengan dosis yang kecil (contoh : setengah tablet sertraline 25 mg atau setengah tablet escitalopram 5 mg).25

21
Dosis Awal Dosis Minimum Dosis Maksimum
Obat-obatan
(mg/hari) (mg/hari) (mg/hari)

Citalopram 5 20 40

Escitalopram 10 10 20

Sertraline 12.5 50 200

Fluvoxamine 25 100 300


Tabel 3.8.2. Dosis obat-obatan SSRI yang digunakan pada pasien lansia dengan gangguan cemas 24

2. SSNI

SSNI yang biasa digunakan untuk lansia adalah venlafaxine dan duloxetine. SSNI
cukup efektif digunakan untuk pasien dengan gangguan panik dan GAM.25

3. Benzodiazepine

Benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptor benzodiazepine, akan memperkuat


kemampuan GABA untuk melakukan aksi inhibitorik. 30 Benzodiazepine yang biasa
digunakan untuk lansia adalah alprazolam dan clonazepam. Dosis benzodiazepine
yang dapat dipergunakan bagi lansia adalah dosis rendah. Hal ini disebabkan
karena dosis yang tinggi, yang dapat dikonsumsi oleh orang dewasa, dapat bersifat
toksik bagi lansia. Lama pengobatan rata-rata adalah 2-6 minggu, dilanjutkan
dengan masa tapering off selama 1-2 minggu, kemudian menghentikan
konsumsinya. Ketergantungan terhadap benzodiazepine dapat terjadi ketika telah
dikonsumsi selama lebih dari 3 bulan, meskipun reaksi withdrawal ringan dapat
juga terjadi setelah periode konsumsi benzodiazepine yang singkat. Penggunaan
benzodiazepine dalam jangka waktu yang lama pada lansia dapat menyebabkan
mengantuk sepanjang hari, kerusakan kemampuan kognitif dan kebingungan,
kerusakan psikomotor dan resiko untuk terjatuh, depresi, amnesia, dan gangguan
respiratori. Akibat adanya efek samping yang banyak terhadap penggunaan
benzodiazepine yang lama, maka sangat dianjurkan pengkonsumsiannya terbatas
untuk beberapa hari saja.22, 24

Terapi yang perlu dilakukan untuk melakukan tata laksana gangguan cemas pada
pasien geriatri adalah terapi kognitif-perilaku (cognitive-behavioral therapy / CBT), terapi

22
suportif, psikoterapi berorientasi tilikan, dan mind-body theraphy, yang terdiri dari meditasi
(relaksasi), terapi musik, dan yoga / qi gong.25 CBT mampu membentuk kembali pola
perilau dan pikiran yang irasional dan menggantinya dengan yang lebih rasional
(restrukturisasi kognitif).40 Dalam terapi suportif, pasien diberikan reassurance dan
kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar
lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi berorientasi tilikan mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan
konflik bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan diri pasien. Dari
pemahaman akan komponen-komponen tersebut, maka dapat diperkirakan sejauh mana
pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur. Bila tidak tercapai pun, minimal terapis
dapat memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.22

Yoga, terapi relaksasi, dan berolahraga ringan mampu memberikan efek yang baik
pada gangguan cemas. Terapi relaksasi dapat melatih pernafasan, mengendurkan seluruh
otot tubuh, dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang diinginkan, akan dicapai.
Dalam penelitian yang menggunakan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) untuk
melihat kadar GABA di dalam otak, menunjukkan hasil bahwa seorang ahli praktisi yoga
mengalami peningkatan kadar GABA di otak sebanyak 27% setelah 60 menit berlatih yoga.
Hal ini dibandingkan dengan tidak adanya peningkatan GABA di otak setelah 60 menit
membaca buku. Pelatihan yoga dengan rutin mampu memperbaiki mood dan menurunkan
kecemasan individu.29

Kesulitan lain dalam melakukan tata laksana bagi pasien gangguan cemas adalah
tidak adanya kesadaran diri dari pasien untuk mencari bantuan ke psikiatri. Dalam studi
yang dilakukan di Belanda pada pasien berusia 55-85 tahun, hanya 2,6% pasien yang
mencari bantuan kepada psikiatri, 2,5% pasien mengunjungi pekerja sosial, dan 3,8%
mengunjungi komunitas kesehatan mental. Hal ini menuntut usaha dari keluarga dan
lingkungan pasien. Keluarga dan caregiver sangat diperlukan untuk memberikan dukungan
dan bantuan terhadap pasien.38 Penatalaksanaan pasien lansia dengan gejala kecemasan
memerlukan suatu upaya yang holistik dan mencakup berbagai terapi yang bermanfaat bagi
pasien tersebut.22

23

Anda mungkin juga menyukai