Anda di halaman 1dari 6

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada era globalisasi yang terjadi dewasa ini, perdagangan internasional
dianggap semakin penting karena dapat menciptakan hubungan antar negara
menjadi semakin erat. Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar
kesepakatan bersama. Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh karena
melakukan perdagangan internasional, diantaranya adalah dapat mendorong
industrialisasi, kemajuan transportasi, dan kehadiran perusahaan multinasional
(Oktaviani dan Novianti, 2009).
Impor merupakan salah satu kegiatan dalam perdagangan internasional
yang memegang peranan penting bagi perekonomian. Dengan melakukan impor,
maka dapat memudahkan bagi suatu negara dalam memenuhi kebutuhan
masyarakatnya yang semakin banyak dan beragam yang tidak dapat dipenuhi oleh
pasar dalam negeri atau pasar domestik. Selain itu, impor juga dapat mendorong
kelancaran arus perdagangan luar negeri dan memberikan multiplier effect
terhadap kegiatan ekonomi lainnya. Dengan melakukan impor, maka industri-
industri di suatu negara dapat memenuhi kebutuhannya dalam penyediaan bahan
baku yang tidak terdapat di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan kinerja
industri lokal.
Impor memiliki banyak peran dalam suatu negara, tetapi peningkatan
impor secara terus menerus dapat berbahaya bagi perekonomian. Peningkatan
impor yang terus menerus dapat menyebabkan neraca pembayaran menjadi defisit
dan defisit tersebut harus ditutupi oleh negara. Defisit yang terjadi dalam jangka
panjang perlu diwaspadai karena membutuhkan pendanaan terus menerus.
Pendanaan ini biasanya berupa pijaman dari luar negeri yang tentu saja harus
dikembalikan di masa depan. Sehingga defisit neraca pembayaran secara tidak
langsung akan berakibat pada posisi pinjaman hutang luar negeri suatu negara.
Sebagian besar perekonomian dunia adalah perekonomian terbuka karena
mereka mengekspor barang dan jasa keluar negeri, mengimpor barang dan jasa
dari luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar modal dunia.
2

Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem perekonomian terbuka.


Secara teoritis, impor di negara dengan sistem perekonomian yang terbuka
memiliki hubungan yang positif dengan pendapatan riil serta berhubungan negatif
dengan harga relatif. Namun, sejak terjadinya krisis finansial di Asia yang
menyebabkan Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang (floating
exchange rate) maka nilai tukar menjadi berfluktuasi dan memiliki volatilitas
(resiko). Hal ini menyebabkan impor di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh
pendapatan riil dan harga relatif saja, tetapi volatilitas nilai tukar juga
diperkirakan memiliki pengaruh terhadap impor di Indonesia.
Krisis Finansial Asia (Asian Financial Crisis) terjadi karena adanya aliran
modal ke luar negeri secara besar-besaran sehingga neraca pembayaran
internasional menjadi defisit dan terpuruknya nilai tukar mata uang lokal sehingga
terjadi pembengkakan hutang luar negeri yang dihadapi oleh beberapa negara di
Asia Tenggara dan Asia Timur. Krisis finansial Asia merupakan krisis finansial
yang dimulai pada tahun 1997 di Thailand. Pelarian modal secara besar-besaran
yang tejadi di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan ini berpuncak
pada tanggal 2 Juli 1997 dimana pemerintah Thailand tidak sanggup lagi menjaga
nilai tukar Bath terhadap Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan dana
cadangannya. Hal ini membuat pemerintah Thailand menyerahkan nilai tukar
mereka kepada mekanisme pasar. Indonesia juga melakukan hal yang sama
dengan Thailand, dimana pada tanggal 14 Agustus 1997 Menteri Keuangan
Indonesia mengumumkan untuk menerapkan rezim nilai tukar mengambang. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan yang tidak sanggup lagi menjaga
nilai tukar Won terhadap Dolar Amerika Serikat (Hadiwinata, 2002). Krisis
finansial ini menyebabkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah
ASEAN.
Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul karena
mekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi atau moneter yang
diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi
dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan
kondisi ekonomi dan politik. Selain itu, efek ini muncul karena sebuah kiblat
terhadap negara tertentu (suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara
3

lainnya). Contohnya depesiasi Bath Thailand mempengaruhi depresiasi Rupiah


karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan ekonomi (Fauzi,
2007).
Sejak terjadinya krisis Asia tahun 1997, negara yang dulunya menerapkan
sistem nilai tukar tetap, beralih ke sistem nilai tukar mengambang, termasuk
Indonesia. Pada saat pergantian sistem nilai tukar mengambang, Indonesia juga
mengalami krisis moneter sehingga nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika
Serikat menjadi terdepresiasi dan mempunyai tingkat volatilitas yang cukup
tinggi. Tidak hanya Indonesia saja yang mengalami depresiasi nilai tukar, krisis
ini juga menyebabkan nilai tukar negara-negara ASEAN dan beberapa negara
Asia Timur terdepresiasi tajam.
Volatilitas nilai tukar tidak hanya mengukur perubahan, tetapi lebih
menunjukan resiko dari mata uang. Semakin volatile mata uang berarti semakin
besar resiko mata uang tersebut. Menurut Arize (1998), volatilitas nilai tukar
berhubungan negatif dengan arus perdagangan internasonal. Hal ini karena
volatilitas nilai tukar akan menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi karena
adanya biaya yang digunakan untuk menghindari resiko dalam perdagangan.
Namun menurut Cheong (2004), hubungan volatilitas nilai tukar terhadap
perdagangan internasional bisa berbeda antar negara, tergantung perilaku dari
masing-masing pelaku perdagangan internasional di negara tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat penting untuk meneliti bagaimana
hubungan antara volatilitas nilai tukar terhadap impor di berbagai negara. Terkait
dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia
diwarnai dengan peningkatan kerjasama antara ASEAN dengan India, Cina, New
Zealand, Korea Selatan, Australia, dan Jepang, yang dikenal dengan ASEAN+6.
Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara kini ketiga lingkup kerjasama
regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor, khususnya
hubungan volatilitas nilai tukar riil dan impor di kawasan ASEAN+6, selain itu
juga akan dibandingkan dengan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika
Utara).
4

1.2 Rumusan Masalah


Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berkaitan dengan
kondisi perekonomian Amerika Serikat yang memburuk. Krisis keuangan yang
terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius.
Guncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah
memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Dampak krisis keuangan
global di setiap negara akan berbeda, karena sangat bergantung pada kebijakan
yang diambil dan fundamental ekonomi negara yang bersangkutan. Perekonomian
Amerika Serikat diprediksi akan melemah, sehingga negara-negara di kawasan
Eropa dan Asia akan melemah pula.
250

200

Indonesia
Volume Impor

150
Malaysia
Singapura
100
Filipina

50 Thailand

0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber: WDI, diolah


Gambar 1.1. Pergerakan Indeks Volume Impor (2000=100) ASEAN
Tahun 2002-2010

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 menyebabkan


macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas
dunia dan perdagangan dunia. Dampak krisis keuangan global sudah mulai terjadi
pada tahun 2008. Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa dampak penurunan indeks
volume impor di Indonesia sebagai akibat dari krisis keuangan global terjadi pada
tahun 2009 dimana indeks volume impor turun dari indeks 173,96 pada tahun
2008 menjadi 138,76 pada tahun 2009 atau turun sekitar 20,24 persen. Hal ini
juga terjadi pada negara ASEAN lainnya. Di Malaysia penurunan indeks volume
impor terjadi sejak tahun 2008 yaitu sebesar 1,2 persen dan turun kembali pada
5

tahun 2009 yaitu sebesar 19,5 persen. Hal yang sama juga terjadi di Filipia,
penurunan indeks volume impor sudah terjadi sejak tahun 2008 dimana pada
tahun tersebut, impor di Filipina turun sekitar 9,3 persen dan kemudian turun
kembali pada tahun 2009 sebesar 15,8 persen.
Penurunan indeks volume impor juga terjadi di salah satu negara maju di
ASEAN yaitu Singapura. Penurunan impor di Singapura merupakan penurunan
yang paling kecil dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar
14,11 persen. Sedangkan penurunan indeks volume impor yang paling besar di
antara negara-negara ASEAN terjadi di Thailand, dimana impor Thailand turun
sebesar 22,33 persen.
Mengingat semakin pentingnya impor bagi suatu negara maka dalam
penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor
suatu negara, khususnya hubungan volatilitas nilai tukar dan impor. Penelitian
tentang hubungan volatilitas nilai tukar riil dengan impor telah menjadi banyak
perhatian bagi para ekonom di dunia. Hal ini karena dampak volatilitas nilai tukar
riil terhadap impor dapat berbeda di setiap negara, sehingga akan berpengaruh
terhadap kebijakan apa yang harus diterapkan oleh negara tersebut. Oleh karena
itu, permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan
(ASEAN+6 dan non ASEAN+6)?
2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6
dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara)?

1.3 Tujuan Penelitian


Bertolak dari latar belakang dan permasalahan yang sudah dijelaskan,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan
(ASEAN+6 dan non ASEAN+6).
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan
ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara).
6

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor
di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6
2. Memberikan informasi tentang hubungan antara volatilitas nilai tukar riil
dengan impor di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6
3. Bagi para pembuat kebijakan, dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
membuat kebijakan di tingkat nasional maupun internasional.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini menggunakan analisis secara eksploratif dan kuantitatif
dengan menggunakan ekonometrika. Analisis dalam penelitian ini hanya terbatas
pada analisis mengenai faktor-faktor yang memengauhi impor di kawasan
ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Oleh karena itu,
dalam analisis ini faktor-faktor eksternal yang mungkin memengaruhi dalam
analisis dianggap konstan.
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan lima negara ASEAN yaitu
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Terkait dengan kerjasama
perdagangan bebas ASEAN yang melibatkan India, Cina, New-Zealand, Korea
Selatan, Australia, dan Jepang, maka penulis memasukkan enam negara tersebut
dalam lingkup kawasan ASEAN+6. Sebagai pembanding, untuk kawasan non
ASEAN+6 diwakili oleh Uni Eropa dan Amerika Utara. Untuk kawasan Uni
Eropa diwakili oleh Jerman, Perancis, dan Inggris, sedangkan untuk kawasan
Amerika Utara diwakili oleh Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat.

Anda mungkin juga menyukai