Anda di halaman 1dari 10

JURNAL MATEMATIKA “MANTIK”

Edisi: Mei 2018. Vol. 04 No. 01


ISSN: 2527-3159 E-ISSN: 2527-3167

Analisis Angka Harapan Lama Sekolah di Indonesia Timur


Menggunakan Weighted Least Squares Regression

Arifin M. Kahar
Prodi Magister Statistika Terapan, Universitas Padjajaran, ipinputera@gmail.com

DOI:https://doi.org/10.15642/mantik.2018.4.1.32-41

Abstrak

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu data dan informasi yang
digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia
dengan sejumlah komponen dasar kualitas hidup yaitu angka harapan hidup yang
mewakili dimensi kesehatan, angka harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama
sekolah (RLS) mewakili dimensi pendidikan, dan rata-rata pengeluaran per kapita
disesuaikan yang mewakili dimensi hidup layak. IPM khususnya di wilayah Indonesia
Timur pada tiga tahun terakhir terus meningkat namun angkanya selalu berada di bawah
angka nasional. Salah satu dimensi yang masih rendah pencapaiannya adalah dimensi
pendidikan. HLS merupakan salah satu indikator pada dimensi pendidikan yang masih
rendah pencapaiannya. Untuk itu, penelitian ini ingin mengetahui pengaruh persentase
penduduk miskin, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, angka partisipasi
murni (APM) SMP, dan rasio fasilitas pendidikan terhadap HLS di wilayah Indonesia
Timur pada 2016. Dengan metode Weighted Least Squares (WLS) diperoleh kesimpulan
bahwa keempat variabel prediktor berpengaruh signifikan terhadap HLS di Indonesia
Timur.

Kata Kunci : Angka Harapan Lama Sekolah, Heteroskedastisitas, Weighted Least Squares

Abstract

Human Development Index (HDI) is one of the data and information used by the local
government to measure the achievement of human development with the basic
components of quality of life that is life expectancy that represents health dimension,
expected years of schooling (EYS) and mean years of schooling (MYS) represents the
educational dimension, and purchasing power parity that represents decent living
dimension. HDI especially in eastern Indonesia in the last three years has continued to
increase but the figure is always below from the national figure even left behind if
compared with West Indonesia. One dimension that is still low achievement is the
educational dimension. EYS is one of the indicators on the educational dimension that is
still a low achievement. Therefore, this research would like to know the influence of
percentage of poor people, Gross Regional Domestic Product (GRDP) per capita, net
enrollment rate (NER) of junior high school, and a ratio of educational facilities to EYS
in eastern Indonesia. Using Weighted Least Squares (WLS) method concluded that the
four predictor variables used were able to influence EYS in Eastern Indonesia.

Keywords: Expected Years of Schooling, Heteroscedasticity, Weighted Least Squares

32
1. Pendahuluan Papua dan Papua Barat masih jauh
Secara sederhana pembangunan dapat tertinggal. Hasil ini memberi gambaran
dimaknai sebagai usaha atau proses untuk bahwa masih terdapat perbedaan angka
melakukan perubahan ke arah yang lebih yang cukup jauh dengan angka nasional
baik. Pada pelaksanaannya pembangunan terutama di Papua dan Papua Barat.
bersifat multi dimensi dan memiliki Secara nasional, penduduk Indonesia
berbagai kompleksitas masalah. Proses usia tujuh tahun ke atas berpotensi
pembangunan terjadi di semua aspek menempuh pendidikan hingga Diploma I
kehidupan masyarakat, baik aspek pada 2016. Hal ini dapat dilihat dari angka
ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. HLS yang mencapai 12,72 tahun (12,72
Sejak diberlakukannya otonomi ≈13 tahun = SD 6 tahun + SMP 3 tahun +
daerah di Indonesia, pemerintah daerah SMA 3 tahun + Perguruan Tinggi 1 Tahun).
diberikan wewenang untuk mengelola Pada tahun yang sama, HLS wilayah timur
daerahnya masing-masing. Hal tersebut Indonesia khususnya di Papua Barat
berdampak pada meningkatnya kebutuhan mencapai 12,26 tahun. Artinya pada tahun
akan data atau informasi yang lebih detail tersebut penduduk usia 7 tahun ke atas di
mengenai keadaan suatu daerah. Data provinsi tersebut berpotensi menempuh
tersebut selain berguna untuk mengetahui pendidikan hingga tamat SMA (12
dan mengevaluasi hasil pembangunan juga tahun=SD 6 tahun + SMP 3 tahun + SMA 3
digunakan sebagai acuan dalam tahun). Sementara HLS di Papua baru
merumuskan kebijakan pembangunan di mencapai 10,23 tahun, artinya pada tahun
tingkat daerah. Indeks Pembangunan tersebut penduduk usia 7 tahun ke atas di
Manusia (IPM) merupakan salah satu data provinsi ini berpotensi menempuh
dan informasi yang digunakan oleh pendidikan hingga jenjang SMA kelas I
pemerintah daerah untuk mengukur (10 tahun = SD 6 tahun + SMP 3 tahun +
pencapaian pembangunan manusia dengan SMA 1 tahun).
sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Perbedaan pembangunan pendidikan
Komponen yang digunakan dalam tampak begitu nyata antara wilayah barat
perhitungan IPM adalah angka harapan dengan timur Indonesia. Meskipun Maluku
hidup yang mewakili dimensi kesehatan, dan Maluku Utara memiliki HLS yang
angka harapan lama sekolah (HLS) dan sudah berada di atas angka nasional. Akan
rata-rata lama sekolah (RLS) mewakili tetapi keempat provinsi di wilayah timur
dimensi pendidikan, dan rata-rata Indonesia ini masih sangat jauh tertinggal
pengeluaran per kapita yang disesuaikan jika dibandingkan dengan wilayah barat
mewakili capaian pembangunan untuk Indonesia seperti Daerah Istimewa
hidup layak. Yogyakarta.
Data IPM yang dikeluarkan BPS
khususnya di wilayah timur Indonesia pada 2. Tinjauan Pustaka
tiga tahun terakhir terus meningkat namun 2.1 Angka Harapan Lama Sekolah
angkanya selalu berada di bawah angka HLS merupakan salah satu output
nasional. Pada 2016, IPM Indonesia sudah yang dapat digunakan untuk memotret
mencapai 70,18 namun angka IPM Maluku, pemerataan pembangunan pendidikan di
Maluku Utara, Papua Barat dan Papua Indonesia. Karena HLS mengukur
belum mampu menyentuh angka tersebut. kesempatan pendidikan seorang penduduk
Salah satu dimensi penyebab IPM pada di mulai pada usia tujuh tahun. Secara
keempat provinsi tersebut rendah adalah sederhana, HLS dapat didefinisikan sebagai
dimensi pendidikan yang diukur dari HLS angka partisipasi sekolah menurut umur
dan RLS [1]. tunggal. HLS merupakan indikator yang
Data BPS menunjukkan bahwa HLS menggambarkan lamanya sekolah (dalam
dan RLS Maluku dan Maluku Utara sudah tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh
berada di atas angka nasional. Akan tetapi, anak pada umur tertentu di masa
mendatang. Angka ini diperoleh dengan
33
cara membagi banyaknya partisipasi menyebarluaskan pengetahuan. Namun
sekolah penduduk pada usia a pada tahun t akses terhadap pendidikan tidak tersebar
dengan jumlah penduduk yang bersekolah secara merata dan golongan miskin paling
pada usia a pada tahun t. Sebagai catatan sedikit mendapat bagian. Kasus ini dapat
indikator ini dianggap peka dalam ditemukan di Indonesia yang
menggambarkan variasi antar provinsi. pendidikannya belum merata antara
Menurut United Nation Development masyarakat miskin dan golongan
Programme (UNDP), HLS dihitung dengan masyarakat menengah ke atas.
cara sebagai berikut [2]: 2. Keadaan geografis
𝑡 Secara geografis, wilayah Indonesia yang
𝐸𝑖𝑡
𝐻𝐿𝑆𝑎𝑡 =∑ cukup luas sebagai negara kepulauan
𝑃𝑖𝑡 ternyata menjadi salah satu penghambat
𝑖=𝑎
Dimana: pemerataan pembangunan pendidikan. Hal
𝐻𝐿𝑆𝑎𝑡 : Harapan lama sekolah pada tersebut berakibat bahwa pembangunan
usia a dan pada tahun t pendidikan tidak dapat terlaksana dengan
𝑡
𝐸𝑖 : Partisipasi sekolah penduduk optimal khususnya di daerah Indonesia
usia i pada tahun t Timur. Ketimpangan pembangunan
𝑃𝑖𝑡 : Populasi penduduk usia i pendidikan antara satu wilayah dengan
yang bersekolah pada tahun t wilayah yang lain sangat terlihat sekali,
𝑖 : Usia (a, a+1, ..., n) baik secara fisik maupun non fisik.
3. Sebaran sekolah tidak merata
Salah satu tujuan Sustainable
Sebagian besar pendirian lembaga
Develompment Goals (SDGs) yaitu tujuan
pendidikan masih berada dan berorientasi
keempat adalah menjamin kualitas
di wilayah perkotaan, sedangkan minat
pendidikan yang adil dan inklusif serta
untuk membangun lembaga pendidikan di
meningkatkan kesempatan belajar seumur
daerah pedesaan masih sangat kurang.
hidup untuk semua. Pada target 4b,
dinyatakan bahwa memastikan semua anak Kemudian pembangunan sekolah yang
perempuan dan anak laki-laki memiliki hanya terpusat di Wilayah Barat khususnya
akses ke pengembangan anak usia dini yang Pulau Jawa membuat sebaran sekolah
setara, perawatan, dan pendidikan anak usia menjadi tidak merata. Padahal dengan
dini sehingga mereka siap untuk pendidikan kebutuhan pendidikan yang sangat besar di
dasar. Pada target ini, diharapkan angka Indonesia Timur seharusnya di prioritaskan
kelulusan baik SD, SMP, maupun SMA pembangunan yang cukup besar pula.
ditingkatkan. Secara langsung, ketika target
ini dicapai maka angka HLS dan RLS yang 2.2 Ordinary Least Squares (OLS)
merupakan dua indikator penghitungan Bentuk umum model regresi linier
IPM akan ikut meningkat [3]. berganda dengan k variabel bebas adalah
Akan tetapi, kondisi saat ini dapat sebagai berikut [5]:
dikatakan bahwa target 4b pada SDGs akan 𝑌𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + ⋯
sulit tercapai untuk wilayah timur Indonesia +𝛽𝑘 𝑋𝑘 + 𝜀𝑖 (1)
dalam waktu dekat. Belum meratanya dengan:
pembangunan pendidikan di Indonesia • 𝑌𝑖 adalah variabel respon untuk
menjadi salah satu penyebab target tersebut pengamatan ke-i, untuk i = 1, 2, …, n.
tidak tercapai. • 𝛽0 , 𝛽1 , 𝛽2 , … , 𝛽𝑘 adalah parameter
Menurut Darisandi, beberapa hal • 𝑋0 , 𝑋1 , 𝑋2 , … , 𝑋𝑘 adalah variabel
yang menjadi penyebab belum meratanya
pendidikan di Indonesia diantaranya adalah prediktor
[4]: • 𝜀𝑖 adalah sisa (error) untuk pengamatan
1. Perbedaan tingkat sosial ke-i.
Pernyataan World Development Report Dalam notasi matriks, persamaan (1)
bahwa pendidikan adalah kunci untuk dapat dutulis sebagai berikut:
menciptakan, menyerap, dan 𝒀 = 𝑿𝜷 + 𝜺 (2)
34
dimana: tidak menghasilkan estimator yang Best
𝑌1 𝑋11 𝑋12 ⋯ 𝑋1𝑘 Linear Unbiased Estimator (BLUE) dan
𝑌 𝑋 𝑋22 ⋯ 𝑋2𝑘 hanya menghasilkan estimator OLS yang
𝒀 = [ 2 ], 𝑿 = [ 21 ],
⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ linear unbiased estimator (LUE).
𝑌𝑛 𝑋𝑛1 𝑋𝑛2 ⋯ 𝑋𝑛𝑘 Selanjutnya untuk mendeteksi adanya
𝜀1 heteroskedastisitas pada model OLS dapat
𝜀2 menggunakan uji Goldfeld-Quandt. Berikut
𝜺=[⋮]
adalah tahapan pengujiannya [6]:
𝜀𝑛 a. Asumsi:
• n  2(k); k adalah banyaknya variabel
dengan: bebas.
• 𝒀 adalah vektor variabel tidak bebas • Error berdistribusi normal.
berukuran n x 1. b. Hipotesis:
• 𝑿 adalah matriks variabel bebas H0 : ei Homoskedastisitas
berukuran n x (k+1). H1 : ei Heteroskedastisitas
• 𝜷 adalah vektor parameter berukuran c. Prosedur:
(k+1) x 1.
• Urutkan nilai-nilai Xi
• 𝜺 adalah vektor error berukuran n x 1.
Bentuk umum model regresi taksiran • Untuk n besar maka hilangkan c
adalah sebagai berikut: pengamatan yang ditengah-tengah
sehingga terdapat 2 bagian yang sama
𝑌̂𝑖 = 𝛽̂0 + 𝛽̂1 𝑋1 + 𝛽̂2 𝑋2 + ⋯ . +𝛽̂𝑘 𝑋𝑘 (3) masing-masing ½(n-c) bagian nilai X
yang kecil dan ½(n-c) bagian nilai X
2.3 Deteksi Heteroskedastisitas yang besar.
Menurut Gujarati [5] asumsi-asumsi
• Dengan OLS taksir secara terpisah
pada model regresi linier berganda adalah
sebagai berikut: setiap bagian kemudian hitung
a. Model regresinya adalah linier dalam masing-masing residunya i sehingga
parameter. diperoleh i2kecil dan i2besar.
b. Nilai rata-rata dari error adalah nol. • Hitung statistik ujinya:
c. Variansi dari error adalah konstan
(homoskedastitisitas).
d. Tidak terjadi autokorelasi pada error. ∑𝑛𝑖=1
2 2
𝜀𝑖𝐵𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹= ~𝐹(1/2(𝑛−𝑐)−(𝑘+1),
e. Tidak terjadi multikolinieritas pada ∑𝑛𝑗=1
1 2
𝜀𝑖𝐾𝑒𝑐𝑖𝑙 1/2(𝑛−𝑐)−(𝑘+1))
variabel bebas.
f. Error berdistribusi normal. Dimana,
Salah satu pelanggaran asumsi yang
sering terjadi pada model OLS adalah n : banyaknya pengamatan,
asumsi variansi dari error tidak konstan untuk n > 30, maka c
(heteroskedastisitas). Dampak adanya optimum =n/4
heteroskedastisitas adalah walaupun c : banyaknya pengamatan
estimator OLS masih linier dan tidak bias, yang ditengah-tengah
tetapi tidak lagi mempunyai variansi yang k+1 : banyaknya parameter yang
minimum dan menyebabkan perhitungan ditaksir. Untuk k>1, maka
standard error metode OLS tidak bisa pilih salah satu X yang di
dipercaya kebenarannya. Selain itu interval urutkan.
estimasi maupun pengujian hipotesis yang d. Keputusan:
didasarkan pada distribusi t maupun F tidak Terdapat homoskedastisitas jika nilai F
bisa lagi dipercaya untuk evaluasi hasil ~1, jika Fhitung > Ftabel atau p-value < α
regresi. maka H0 ditolak, artinya terdapat
Akibat dari dampak heteroskedas- heteroskedastisitas.
tisitas tersebut menyebabkan estimator OLS

35
2.4 Weighted Least Squares (WLS) 3. Metode Penelitian
Salah satu cara untuk mengatasi 3.1 Sumber Data dan Variabel
pelanggaran asumsi homoskedastisitas Penelitian
adalah menggunakan metode WLS. Metode Penelitian ini menggunakan data
ini merupakan salah satu metode sekunder tahun 2016 yang diperoleh dari
penaksiran yang digunakan ketika error Badan Pusat Statistik Republik Indonesia
tidak saling berkorelasi namun memiliki (BPS RI) kemudian diolah dengan sofware
varians yang sama. Ketika  adalah matriks R seri 3.4.3. Adapun data yang digunakan
diagonal, maka dapat diinterpretasikan adalah angka harapan lama sekolah sebagai
bahwa error tidak saling berkorelasi namun variabel repon serta variabel prediktornya
varians error tidak homogen. Jika=diag adalah persentase penduduk miskin (X1),
(√1/𝑊𝑖 ,…, √1/𝑊𝑛 ), maka kita dapat PDRB per kapita (dalam juta rupiah, X2),
meregresikan √wi x𝑖 pada √wi y𝑖 (kolom APM SMP (X3) dan rasio fasilitas
satuan pada matriks X perlu diganti dengan pendidikan per 10.000 penduduk (X4). Unit
√wi ) [7]. observasi pada penelitian ini adalah seluruh
Misalkan: E(i2)=i2 dan kabupaten/kota di Indonesia timur.
∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖 e2𝑖 = ∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖 (𝑌𝑖 − 𝛽0 − 𝛽1 𝑋𝑖 )2
3.2 Tahapan Penelitian
Maka akan diperoleh taksiran untuk Tahapan penelitian yang dilakukan
parameter 1 dan varians ( 1) sebagai adalah sebagai berikut:
berikut: 1. Melakukan uji linearitas dalam
𝑛 𝑛 𝑛 𝑛 parameter,
(∑ 𝑤 )(∑ 𝑤𝑖𝑥𝑖𝑦𝑖 )−(∑𝑖=1 𝑤𝑖𝑥𝑖 )(∑𝑖=1 𝑤𝑖𝑦𝑖 )
𝛽̂1 = 𝑖=1 (∑𝑖𝑛 𝑖=1
𝑤 )(∑𝑛 𝑤 𝑥 2 )−(∑𝑛 𝑤 𝑥 )2
2. Melakukan pemodelan dengan metode
𝑖=1 𝑖 𝑖=1 𝑖 𝑖 𝑖=1 𝑖 𝑖
Ordinary Least Squares (OLS),
∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖
𝑣𝑎𝑟(𝛽̂1 ) = 3. Melakukan uji asumsi klasik
(∑𝑖=1 𝑤𝑖)(∑𝑖=1 𝑤𝑖𝑥𝑖2 )−(∑𝑛
𝑛 𝑛
𝑖=1 𝑤𝑖𝑥𝑖 )
2

1 (normalitas, homogenitas, dan


dengan: 𝑤𝑖 = 𝜎2 multikolinearitas),
𝑖
Penentuan 𝑊𝑖 juga dapat dilakukan 4. Melakukan pemodelan dengan metode
dengan beberapa cara diantaranya adalah Weighted Least Squares (WLS) untuk
[8]: mengatasi pelanggaran asumsi
• Jika varians error proporsional terhadap homoskedastisitas,
variabel respon (𝑣𝑎𝑟 (𝑖 ) ∝ 𝑌𝑖 ) maka 5. Melakukan uji asumsi normalitas dan
1 multikolinearitas untuk model WLS,
disarankan 𝑊𝑖 = . 6. Melakukan uji parameter model WLS,
𝑌𝑖
• Jika 𝑌𝑖 adalah rata-rata dari 𝑛𝑖 observasi 7. Analisis pengaruh variabel prediktor
𝜎𝑖2 terhadap variabel respon.
dengan 𝑣𝑎𝑟 (Y𝑖 ) ∝ 𝑣𝑎𝑟 (𝑖 ) ∝ ,
𝑛𝑖
disarankan 𝑊𝑖 = 𝑛𝑖 . 4. Hasil dan Pembahasan
• Jika varians error proporsional terhadap Sebelum melakukan analisis lebih
prediktor (𝑣𝑎𝑟 (𝑖 ) ∝ 𝑋𝑖 ) maka lanjut terlebih dahulu diuji apakah variabel
1
disarankan 𝑊𝑖 = . yang digunakan memenuhi asumsi
𝑋𝑖
linearitas dalam parameter atau tidak.
• Jika varians error proporsional terhadap
Asumsi ini dapat menggunakan pendekatan
prediktor kuadrat (𝑣𝑎𝑟 (𝑖 ) ∝ 𝑋𝑖2 ) maka grafis untuk mendeteksi apakah variabel
1
disarankan 𝑊𝑖 = . prediktor yang digunakan memiliki
√ Xi
• Jika varians error proporsional terhadap hubungan yang linear atau tidak dengan
1 variabel responnya. Berikut adalah bentuk
[𝐸(𝑌𝑖 )]2 maka disarankan 𝑊𝑖 = ̂ . dari scatter plot untuk keempat variabel
𝑌𝑖
prediktor dengan variabel respon.

36
terdapat multikolinearitas pada variabel
prediktor.

4.2 Penanganan Heteroskedastisitas


Karena model OLS yang terbentuk
terdapat heteroskedastisitas, maka langkah
selanjutnya adalah mengatasi pelanggaran
asumsi tersebut menggunakan metode
WLS.
Langkah awal pada metode WLS
Gambar 1. Scatter Plot variabel respon adalah menentukan pembobot yaitu dengan
dengan variabel prediktor melihat pola yang ditunjukkan error
terhadap variabel bebas. Berdasarkan pola
Pada gambar 1 terlihat bahwa keempat tersebut maka pada penelitian ini akan
variabel prediktor yang akan digunakan di menggunakan beberapa pembobot
dalam model memiliki hubungan yang
linear. Variabel prediktor X2, X3 dan X4 diantaranya adalah 1/X1, 1/√X2 , 1/X3, 1/X4.
memiliki hubungan linear yang positif. Berikut hasil pendeteksian
Artinya apabila semakin besar nilai X maka heteroskedastisitas dengan Uji Goldfeld-
nilai Y juga semakin besar. Sebaliknya Quandt:
untuk variabel X1, semakin besar nilai X1
Tabel 1. Hasil Uji Goldfeld-Quandt (GQ)
maka nilai Y akan semakin menurun atau dengan Metode WLS
memiliki hubungan linear yang negatif.
Pembobot Nilai GQ p-value
4.1 Pengujian Asumsi Model OLS (1) (2) (3)
Normalitas 1/√X1 1.062 0.440
Hasil pengujian normalitas 1/X2 12.588 0.000
menggunakan Uji Shapiro Wilks dengan 1/√X3 10.174 0.000
nilai p-value yang diperoleh sebesar 0.113, 1/X4 20.926 0.000
lebih besar dari α=0.05. Hasil ini
memberikan kesimpulan bahwa model OLS Berdasarkan hasil pada tabel 1 di atas
berasal dari sampel berdistribusi normal. disimpulkan bahwa pembobot 1/√X1 yang
dapat memenuhi asumsi homoskedastisitas
Homoskedastisitas karena nilai p-value lebih besar dari
Melalui uji Goldfeld-Quandt α=0.05.
diperoleh nilai p-value sebesar 0.000138,
lebih kecil dari α=0.05. Dari hasil ini 4.3 Pengujian Asumsi Model WLS
diputuskan bahwa tidak cukup bukti untuk Normalitas
mengatakan varians error adalah homogen Hasil uji Shapiro Wilks diperoleh
sehingga dapat disimpulkan bahwa variansi nilai W sebesar 0.9794 dan p-value sebesar
error pada model adalah tidak konstan atau 0.371. Karena nilai p-value lebih besar dari
terdapat heteroskedastisitas. α=0.05 maka dapat disimpulkan bahwa
model WLS berasal dari sampel yang
Multikolinearitas berdistribusi normal.
Variance Inflation Factor (VIF) yang
digunakan sebagai alat deteksi Multikolinearitas
multikolinearitas menunjukkan nilai untuk Nilai VIF yang diperoleh untuk
keempat variabel prediktor sebagai berikut model WLS dengan pembobot
X1=2,72; X2=1,79; X3=1,14; dan X4=2,51.
1/√X1 adalah X1=5.52; X2=1.67; X3=6.28;
Keempat nilai ini lebih kecil dari 10
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak dan X4=5.36. Keempat nilai ini lebih kecil
dari 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa

37
tidak terdapat multikolinearitas pada Vari- Ko-
SE thitung
p-
variabel prediktor. abel efisien value
X2 0.007 0.003 2.064 0.044
4.4 Pengujian Parameter Model WLS X3 0.065 0.014 4.719 0.000
Statistik Uji F X4 0.016 0.006 2.676 0.009
Statistik uji F dapat digunakan untuk
Hasil pengolahan pada tabel 2
mengetahui secara serentak seluruh variabel
prediktor yang digunakan signifikan di menunjukkan bahwa nilai absolut thitung
yang dihasilkan pada model dengan
dalam model. Berikut hipotesis dan kriteria
penolakannya: pembobot 1/√X1 untuk semua variabel
Hipotesis: prediktor lebih besar dari 2,00172 atau p-
H 0 : βi = 0 value kurang dari 0.05 sehingga dapat
H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 disimpulkan bahwa secara parsial seluruh
Keputusan: variabel prediktor yang digunakan
H0 ditolak jika Fhitung > Fα;5;58 = 2,37 atau p- signifikan di dalam model.
value < α.
Nilai Fhitung yang dihasilkan pada 4.5 Analisis Pengaruh Variabel
model dengan pembobot 1/√X1 adalah Prediktor terhadap HLS
926.3 dengan p-value sebesar 0.000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Karena nilai p-value kurang dari α=0.05 persentase penduduk miskin, PDRB per
maka dapat disimpulkan bahwa secara kapita, APM SMP dan rasio fasilitas
serentak seluruh variabel prediktor yang pendidikan per 10.000 penduduk
digunakan signifikan di dalam model. berpengaruh signifikan terhadap angka
Koefisien determinasi (R2 adjusted) harapan lama sekolah di Indonesia Timur
terkoreksi yang dihasilkan pada uji serentak pada 2016. Model akhir yang terbentuk
model WLS adalah 0.9866. Artinya, dengan metode WLS adalah sebagai
sebesar 98,66 persen variansi keragaman berikut:
data HLS mampu dijelaskan oleh keempat
variabel prediktor di dalam model. 𝐻𝐿𝑆 = 7.646 − 0.052 𝑀𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛 +
0.007 𝑃𝐷𝑅𝐵 + 0.065 𝐴𝑃𝑀 +
Statistik Uji t 0.016 𝐹𝑎𝑠𝑑𝑖𝑘 (4)
Statistik uji t digunakan untuk
mengetahui secara parsial variabel Persentase Penduduk Miskin
prediktor yang digunakan signifikan atau Persamaan (4) memperlihatkan
tidak di dalam model. Berikut hipotesis dan bahwa terdapat hubungan yang negatif
kriteria penolakannya: antara persentase penduduk miskin (X 1)
Hipotesis: dengan HLS. Dapat dilihat bahwa koefisien
H0 : βi = 0 (tidak ada pengaruh peubah X i regresi pada variabel persentase penduduk
terhadap Y) miskin (X1) bernilai negatif. Jika
H1 : βi≠ 0 (ada pengaruh peubah Xi terhadap diinterpretasikan, maka setiap peningkatan
Y) persentase penduduk miskin sebesar 1
Keputusan: persen akan diikuti dengan penurunan
H0 ditolak jika |thitung| > 𝑡𝛼,58=2,00172 harapan lama sekolah sebesar 0.052 tahun
2 dengan asumsi variabel lain dianggap tidak
atau berubah. Sebaliknya jika terjadi penurunan
p-value < α. penduduk miskin sebesar 1 persen akan
meningkatkan harapan lama sekolah
Tabel 2. Estimasi Parameter Regresi sebesar 0.052 tahun.
Vari- Ko- p- Pada 2016, BPS melaporkan bahwa
SE thitung
abel efisien value
(1) (2) (3) (4) (5)
penduduk miskin yang tidak tamat atau
C 7.646 1.396 5.477 0.000 tidak pernah mengenyam pendidikan SD
X1 -0.052 0.022 -2.416 0.019 mencapai 54,70 persen di Papua, 23,21

38
persen di Papua Barat, 17, 71 persen di pada beberapa kabupaten di Papua
Maluku dan 29,73 persen di Maluku Utara. tergolong rendah dan memiliki HLS
Jika dilihat pada tingkat kabupaten/kota, terendah. Sebaliknya untuk kabupaten/kota
terdapat 15 kabupaten di Papua memiliki yang memiliki PDRB per kapita tinggi
persentase penduduk miskin yang tidak cenderung memiliki HLS yang juga tinggi.
pernah sekolah atau tidak tamat SD lebih
dari 40 persen, Papua Barat terdapat 2 APM SMP
kabupaten, Maluku Utara terdapat 1 Dari persamaan (4) dapat dilihat
kabupaten, dan Maluku tidak ada. Kondisi bahwa nilai koefisien regresi pada variabel
ini memberi gambaran bahwa tingkat APM SMP (X3) positif, menunjukkan
pendidikan yang rendah begitu dekat terdapat hubungan yang positif antara
dengan kemiskinan [9]. variabel APM SMP dengan HLS. Jika
Selain tingkat pendidikan, BPS diinterpretasikan, maka setiap peningkatan
juga melaporkan bahwa pada tahun yang APM SMP sebesar 1 persen maka akan
sama, belum semua penduduk miskin di diikuti dengan peningkatan angka HLS
Indonesia Timur mengakses pendidikan sebesar 0.065 tahun dengan asumsi
formal. Angka partisipasi sekolah (APS) variabel lain dianggap tidak berubah.
penduduk miskin untuk usia 7-12 tahun APM SMP adalah variabel yang
dan 13-15 tahun pada beberapa kabupaten berhubungan langsung dengan HLS.
di Indonesia Timur masih rendah. Di Hal ini dapat dilihat dari lebih besar
Papua, APS usia 7-12 tahun di Kabupaten pengaruhnya terhadap angka HLS
Puncak dan Nduga adalah yang terendah
dibandingkan dengan tiga variabel
yaitu 46,44 persen dan 47,20 persen.
lainnya. APM SMP pada 2016, untuk
Sementara APS usia 13-15 tahun terendah
di Kabupaten Puncak (10,03 persen), beberapa kabupaten kota di Papua
Kabupaten Deiyai (38,50 persen), berbanding lurus dengan angka HLS.
Kabupaten Yalimo (40,36 persen), dan Umumnya, kabupaten/kota yang
Kabupaten Intan Jaya (41,30 persen). APS memiliki APM SMP 50 persen ke atas
penduduk miskin usia 7-12 tahun dan 13- memiliki angka HLS 10 tahun ke atas.
15 tahun untuk Papua Barat, Maluku dan Sebaliknya, terdapat beberapa
Maluku Utara telah mencapai lebih dari 70 kabupaten yang memiliki APM SMP
persen pada seluruh kabupaten/kota. di bawah 50 persen dan memiliki
Keadaan ini mengindikasikan bahwa angka HLS di bawah 10 tahun.
pembangunan pendidikan untuk beberapa
kabupaten di Indonesia Timur masih Rasio Fasilitas Pendidikan
tertinggal. Dari persamaan (4), terdapat
hubungan yang positif antara variabel
PDRB per Kapita rasio fasilitas pendidikan per 10.000
Pada persamaan (4) juga dapat penduduk (X4) dengan HLS, dapat dilihat
dilihat hubungan yang positif antara dari koefisien regresinya yang bernilai
variabel PDRB per kapita dengan HLS
positif. Jika diinterpretasikan, maka
karena koefisien regresinya bernilai
setiap peningkatan rasio fasilitas
positif. Jika diinterpretasikan, maka setiap
pendidikan per 10.000 penduduk (X4)
peningkatan PDRB per kapita sebesar
sebesar 1 unit maka akan diikuti dengan
Rp1.000.000,00 maka akan diikuti dengan
peningkatan angka harapan lama sekolah
peningkatan angka HLS sebesar 0.007
sebesar 0.016 tahun dengan asumsi
tahun dengan asumsi variabel lain
variabel lain dianggap tidak berubah.
dianggap tidak berubah. Jika PDRB per
Ditinjau dari fasilitas pendidikan,
kapita semakin besar maka HLS juga akan
tiga provinsi di Indonesia Timur yaitu
semakin besar dan berlaku juga
Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat
sebaliknya. Hal ini sejalan dengan data
memiliki pencapaian yang lebih baik
yang dipublikasikan oleh BPS pada 2016
dibandingkan dengan Papua.
menunjukkan bahwa PDRB per kapita
39
Kabupaten/kota pada ketiga provinsi ini untuk memperoleh pendidikan formal yang
memiliki rasio fasilitas pendidikan yang lebih baik.
sebagain besar mencapai 40 unit per
10.000 penduduk atau lebih dan memiliki Referensi
angka HLS cukup besar. Sedangkan di [1] Badan Pusat Statistik, diambil dari
Papua terdapat sejumlah kabupaten yaitu www.bps.go.id/subject/26/indeks-
Intan Jaya, Nduga, Puncak Jaya, Tolikara, pembangunan-
Lanny Jaya, Dogiayai, dan Yalimo yang manusia.html#subjekViewTab3, pada
memiliki rasio rasio fasilitas pendidikan tanggal 18 Januari 2018.
kurang dari 40 unit per 10.000 penduduk [2] Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten
dan memiliki HLS rendah. Halmahera Selatan, Indeks Pembangunan
Manusia Kabupaten Halmahera Selatan
5. Kesimpulan 2015, BPS Kabupaten Halmahera Selatan,
Hasil penelitian ini memberikan Labuha. (2016).
kesimpulan bahwa persentase penduduk [3] Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks
miskin, PDRB per kapita, APM SMP dan Pembangunan Manusia 2016, Badan Pusat
rasio fasilitas pendidikan per 10.000 Statistik, Jakarta. (2017).
penduduk berpengaruh signifikan terhadap [4] Darisandi, Roby. diambil dari
angka harapan lama sekolah di Indonesia www.academia.edu/7310798/Pemerataan_
Timur pada 2016. Secara umum, Provinsi Pendidikan_untuk_Wilayah_Indonesia_Ti
Papua menyimpan persoalan yang paling mur, pada tanggal 18 Januari 2018.
banyak ditinjau dari keempat variabel [5] Gujarati, N.D, Basic Econometrics, 4th
prediktor dan angka HLS dibandingkan edition. McGraw-Hill Companies, Inc,
dengan tiga provinsi lainnya. Penyediaan New York. (2003).
sarana dan prasaran pendidikan yang [6] Goldfeld, S.M., Quandt, R. E., Some Tests
memadai adalah langkah utama yang harus for Homoscedasticity. Journal of the
dilaksanakan noleh pemerintah baik pusat American Statistical Association. 60 (310),
maupun daerah karena fasilitas pendidikan (June 1965) 539–547.
memegang peranan penting dalam [7] Jaya, I.G.N.M, Diktat Kuliah Analisis
meningkatkan angka harapan lama sekolah Regresi, Departemen Statistika Universitas
di Indonesia Timur. Jika fasilitas Padjajaran. (2016).
pendidikan tersedia dengan memadai salah [8] Setyaningsih, Y.D, Noeryanti, Penggunaan
satunya untuk jenjang SMP terutama untuk Metode Weighted Least Square untuk
wilayah-wilayah terisolir dan terpencil di Mengatasi Masalah Heteroskedastisitas
Papua maka perlahan akan memperbaiki dalam Analisis Regresi (Studi Kasus Pada
APM SMP. Jika AMP SMP terkoreksi naik Data Balita Gizi Buruk Tahun 2014 di
maka akan meningkatkan Angka harapan Provinsi Jawa Tengah), Jurnal Statistika
lama sekolah. Industri dan Komputasi (2017), 2(1), 51-
Langkah selanjutnya adalah 58.
menurunkan angka kemiskinan. Penduduk [9] Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi
yang hidup di bawah garis kemiskinan akan Kemiskinan Kabupaten/Kota 2016, Badan
susah memperoleh pendidikan yang layak. Pusat Statistik, Jakarta. (2017).
Jika mereka dikeluarkan dari lingkaran
kemiskinan maka mereka akan berpeluang

40
Lampiran
Tabel 3. IPM Beberapa Provinsi dan Indonesia, 2014-2016
IPM/
Provinsi/
HLS/ 2014 2015 2016
Indonesia
RLS
(1) (2) (3) (4) (5)
Maluku IPM 66.74 67.05 67.60
HLS 13.53 13.56 13.73
RLS 9.15 9.16 9.27
Maluku Utara IPM 65.18 65.91 66.63
HLS 12.72 13.10 13.45
RLS 8.34 8.37 8.52
Papua Barat IPM 61.28 61.73 62.21
HLS 11.87 12.06 12.26
RLS 6.96 7.01 7.06
Papua IPM 56.75 57.25 58.05
HLS 9.94 9.95 10.23
RLS 5.76 5.99 6.15
DIY IPM 76.81 77.59 78.38
HLS 14.85 15.03 15.23
RLS 8.84 9.00 9.12
Indonesia IPM 68.90 69.55 70.18
HLS 12.39 12.55 12.72
RLS 7.73 7.84 7.95

41

Anda mungkin juga menyukai