Anda di halaman 1dari 36

PERTENTANGAN SOSIAL DALAM NOEL PASAR KARYA KUNTOWIJOYO

Anisa Wahyu Ifanti


Program Pascasarjana
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
anisawahyu262@gmail.com

ABSTRAK
Pertentangan sosial adalah suatu konflik yang timbul akibat faktor-faktor sosial yag
dilandasi oleh adanya kesalahpahaan antar individu maupun antar kelompok. Salah
satu penyebab pertentangan sosial adalah adanya perbedaan-perbedaan norma yang
menyimpang dikehidupan masyarakat. Norma dan nilai-nilai tersebut dijadikan
sebagai alat untuk mengontrol anggota masyarakat agar tidak terlepas dari rel
ketentan yag telah disepakati. Pada dasarnya, suatu masyarakat memiliki suatu ikatan
yang dikuatkan oleh rasa solider, toleransi, dan tepa slira diantara para anggotannya.
Tujuan penelitian ini adalah 1) Menguraikan bentuk pertentangan sosial dalam novel
Pasar karya Kuntowijoyo. 2) Menguraikan konsep pertentagan sosial yang terdapat
dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif, pendekatan sosiologis, serta teknik analisis
melalui pembacaan hermeneutic sehingga diperoleh informasi yang komprehensif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pertentangan sosial ditunjukkan dengan
adanya sikap ketidaksopnan, berlaku sombong, pertengkaran mulut, bersitegang,
prasangka, dan berlaku seenaknya sendiri. Hal tersebut merupakan pemicu dari
adanya pertentangan sosial. Sedankan konsep dari pertentangan sosial adalah adanya
status sosial yang tercipta di lingkungan masyarakat, sehingga terjadi kesalahpahaman
yang menyebabkan pertentangan sosial.
Kata Kunci : Pertentangan Sosial, Sopan Santun, Pertengkaran Mulut, Bersitegang,
Prasangka, Berlaku seenaknya sendiri, Sosiologi Sastra

ABSTRACT
Social conflict is a conflict that arises due to social factors which are based on
misunderstanding between individuals and between groups. One of the causes of
social conflict is the existence of differences in norms that deviate from the life of the
community. These norms and values serve as a tool to control community members so
that they cannot be separated from the agreed rail lines. Basically, a society has a
bond strengthened by a sense of solidarity, tolerance, and tepira slira among its
members. The purpose of this study is 1) Describe the form of social conflict in the
novel Pasar Kuntowijoyo. 2) Describe the concept of social conflict contained in the
novel by Pasar Kuntowijoyo. The method used in this research is descriptive method,
sociological approach, as well as analytical techniques through hermeneutic reading
in order to obtain comprehensive information. The results showed that the existence
of social conflict is shown by the presence of impoliteness, acting arrogant,
quarreling, arguing, prejudice, and acting arbitrarily. This is a trigger of social
conflict. While the concept of social conflict is the existence of social status created in
the community, resulting in misunderstandings that cause social conflict.
Keywords: Social Disagreement, Polite Behavior, Mouth Fights, Arguments,
Prejudice, Self-Acting, Literary Sociology

1
Pendahuluan

Fenomena-fenomena yang diangkat oleh sastrawan dalam sebuah karya sastra meliputi
segala aspek kehidupan yang dialami oleh masyarakat. Pendapat Wellek dan Warren
mengenai sastra merupakan gambaran kehidupan masyarakat dan juga meniru alam dan
dunia subjektif manusia (1998:109). Karya sastra merupakan suatu bentuk dokumen sosial
yang mengangkat permasalahan yang terdapat di lingkungan masyarakat. Salah satu isu yang
sering muncul dikalangan masyarakat adalah tentang pertentangan sosial yang disebabkan
oleh banyak hal, salah satunya adalah tengang stratifikasi sosial atau lapisan masyarakat.
Adanya lapisan masyarakat (stratifikasi sosial) ini dipicu dengan dikemukakannya perbedaan,
baik perbedaan di antara individu dengan individu maupun perbedaan antara kelompok
dengan kelompok. Perbedaan itu terletak pada pemilikan atau penguasaan kekayaan, prestige
(hak-hak istimewa), dan kekuasaan.
Pertentangan sosial adalah suatu konflik yang timbul akibat faktor-faktor sosial yag
dilandasi oleh adanya kesalahpahaan antar individu maupun antar kelompok. Salah satu
penyebab pertentangan sosial adalah adanya perbedaan-perbedaan norma yang menyimpang
dikehidupan masyarakat. Norma dan nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai alat untuk
mengontrol anggota masyarakat agar tidak terlepas dari rel ketentan yag telah disepakati.
Pada dasarnya, suatu masyarakat memiliki suatu ikatan yang dikuatkan oleh rasa solider,
toleransi, dan tepa slira diantara para anggotannya.
Pertentangan yang terjadi di lingkungan masyarakat banyak disebabkan oleh cara
menyikapi perbedaan-perbedaan yang muncul, baik perbedaan kepentingan, idntitas,
pekerjaan dan jabatan. Adapun faktor lain yakni adanya kelompok-kelompok kepentingan,
lembaga-lembaga organisasi, dan kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang tidak selalu
memiliki kepentingan yang sama dan serasi (Subakti, 1992:189). Beberapa factor tersebut
juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah masyarakat yang heterogen baik dari suku
maupun agama.
Potensi pertentangan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat yang heterogen, tetapi juga
masyarakat yang homogen. Pertentangan yang terjadi pada masyarakat homogeny umumnya
dipicu oleh perbedaan individu dan kelompok, kepentingan pribadi maupun kelompoknya
dengan motif sosial tertentu. Di Jawa khususnya, keadaan masyarakatnya relatif homogen.
Baik dari segi strata sosial, ekonomi, pendidikan maupun agama. Sekaligus masyarakat
memiliki karakter seperti itu semestinya menghindarkan masyarakat desa dari konflik. Akan
teapi, pada kenyataannya konflik atau pertentangan masih sering terjadi pada sebuah desa.

2
Novel Pasar merupakan gambaran proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan perubahan sosial
di sebuah kecamatan. Benturan tokoh-tokoh yang mewakili kelas priyayi agraris, wong cilik,
birokrat, dan pedagang kapitalis digambarkan oleh Kuntowijoyo dengan tersurat. Adanya
penggolongan kelas atau lapisan masarakat tersebut merupakan penyebab terjadinya
pertentangan. Kuntowijoyo menggambarkan pertentangan itu secara tersurat melalui dialog
yang dituturkan oleh tokoh. Pertentangan banyak terjadi pada tokoh utama yakni Pak Mantri.
Bermula dari matinya burung-burung daranya Pak Mantri, Kuntowijoyo menggambarkan
pertentangan melalui konflik-konflik yang muncul antar kelompok. Kelompok tersebut
adalah pedagang dan pegawai pemerintahan yakni pasar (Pak Mantri dan Paijo). Hal tersebut
menggambarkan adanya pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan ha
kantar kelompok.
Kehadiran novel Pasar karya Kuntowijoyo menambah khasanah sastra Indonesia. novel
tersebut hadir dengan berbagai keunikannya. Sekalipun telah banyak novel-novel yang
mengangkat tema tentang stratifikasi sosial, namun novel Pasar memiliki keunikan tersendiri
yaitu Kuntowijoyo menyajikan sebuah alur konflik yang rumit dari konsep cerita sederhana.
Konflik yang dimulai dari pergulatan antara diri sendiri hinga akhirnya merambah ke dunia
perekonomian sebuah pasar. Pasar menggambarkan sebuah birokrasi yang sederhana, tetapi
dengan permasalahan yang kompleks. Kuntowijoyo ingin menyampaikan pesan moral
tentang nilai-nilai luhur Jawa yang masih dianut oleh seorang priyayi. Akan tetapi pesan
tersebut dibalut dengan adanya pertentangan sosial masyarakat Jawa pada umumnya.
Pemilihan novel Pasar karya Kuntowijoyo dalam dalam penelitian ini didasarkan pada
subjek novel yang merupakan representasi penggambaran pertentangan sosial yang ada
dilingkungan masyarakat. Pertentangan sosial yang digambarkan dalam novel Pasar melalui
dialog antar tokoh. Kuntowijoyo tidak luput memasukkan unsur nilai-nilai Jawa yang mulai
luntur oleh modernisasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa dijadikan prinsip
hidup masyarakat yang pada akhirnya membentuk sebuah karakter. Karakter yang tercipta
itulah yang akhirnya membedakan kelas sosial dalam masyarakat. Kelas sosial dalam novel
Pasar diungkapkan Kuntowijoyo secara kritis tentang bagaimana sebenarnya kelas sosial itu
berjalan dimasyarakat khususnya masyarakat Jawa. Novel Pasar mengeksplorasi praktik
kelas sosial dalam masyarakat Jawa dan bagaimana strategi tokoh-tokoh dalam
mempertahankan kelas sosialnya masing-masing. Adanya kelas-kelas sosial itulah yang
menyebabkan timbulnya pertentangan dalam masyarakat.
Sebagai tolok ukur, terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang cukup relevan dengan
penelitian ini. Pertama, dilakukan oleh Rony Pigome (Jurnal Penidikan Bahasa dan Sastra
3
Indoensia, Tahun 10, No. 2, Juli 2011) berjudul “Pertentangan Kelas di Indonesia dalam
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer”. Fokus penelitiannya adalah tentang
bentuk pertentangan kelas dan makna estetisnya dalam novel Bumi Manuisa karya
Pramoedya Ananta Toer. Hasil penelitiannya adalah bahwa pengarang ingin mengungkapkan
kondisi Indonesia ditegah arus politik dan ekonomi kapitalis. Dalam arus kapitalis, Indonesia
terbagi dalam kelas-kelas sosial yang saling bertentangan antara kelas penguasa dan kelas
bawah. Di tengah pertentangan ini muncul kelas menengah yang kehadirannya merupakan
pembela kelas bawah.
Kedua, dilakukan oleh M. Habib Syafaat (Jurnal UNESA, Vol, 01, No. 01, 2017) dengan
judul “Teori Kelas Karl Marx dalam Novel Entrok karya Okky Madasari (Kajian Sosiologi
Sastra)”. Focus penelitian terebut yakni terdiri dari dua rumusan masalah diantaranya konfik
sosial dan aliensi dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Hasil penelitiannya adalah
bahwa konflik sosial memicu terjadiya perjuangan kelas yang memiliki kepentingan berbeda
yang kemudian melahirkan serangkaian tindakan kolektif. Sedangkan aliensi yang terdapat
dalam novel yakni kelompok masyarakat kelas kecil merasakan terasingkan oleh kelompok
kelas atas.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Anis Setiyanti (Bahtera:Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra Vol. 14, No. 2, Juli 2015). Dengan judul “Konflik Sosial Pada Tokoh Utama
dalam Novel I Am Malala Karya Christina Lamb (Suatu Penelitian Sosiologi Sastra).
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai macam informasi tentang bentuk-
bentuk, penyebab, dan penyelesaian terhadap konflik sosial yang dijelaskan oleh penulis
dalam novel I am Malala karya Christina Lamb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel
ini mengandung nilai-nilai positif yang dapat dijadikan acuan untuk menelaah sastra dan
isinovel tersebut lekat dengan kehidupan masyarakat,walaupun berisi tentang konflik
sosial. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan bahwa novel “I am Malala,” karya
ChristinaLamb bias menjadi media dalam mengajar nilai sosial dan dapat berupaya
menangani masalah konflik sosial pada anak didik yang terjadi dalam proses pembelajaran
kesusastraan.
Dari ketiga penelitian tersebut maka, kebaruan dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan pertentangan sosial yang terjadi di masyarakat Jawa yang disebabkan oleh
perubahan sosial dan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Sehingga penelitian ini
merupakan kombinasi antara penelitian sebelumnya. Bahwasanya dalam penelitian ini akan
menguraikan beberapa pokok permasalahan yang telah dijelaskan pada rumusan masalah.

4
Serta akan membangun sebuah konsep tentang peran pertentangan sosial dalam kehidupan
masyarakat khususnya Jawa.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk pertentangan sosial dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo?
2. Bagaimana konsep pertentangan sosial dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo?

Tinjauan Pustaka

Sastra sebagai Replika Kehidupan Masyarakat


Karya sastra merupakan fenomena sosial yang melibatkan kreativitas manusia. Sebagai
karya seni kreatif, karya sastra menghasilkan suatu karya yang indah dan menyalurkan
kebutuhan manusia. Hal tersebut sama halnya dengan pernyataan bahwa sastra merupakan
replika kehidupan manusia yang dirangkum dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi
karya yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Karya sastra selalu menghadirkan segugus
pengalaman, dikomposisikan oleh imajinasi, dan mengusung nilai-nilai atau pesan yang ingin
dikomunikasikan (Anwar, 2007:7). Setiap karya sastra ingin menginput nilai-nilai yang hidup
di masyarakat, yang selanjutnya dijadikan pegangan oleh masyarakat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa sastra lahir dari masyarakat, untuk masayarakat dan kembali kepada
masyarakat sebagai pembaca dan pemberi interpretasi.
Walaupun karya sastra merupakan hasil imajinasi, karya sastra sangat bermanfaat bagi
kehidupan. Karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-
kebenaran hidup, meskipun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan
kegembiraan dan kepuasan batin. Hal itu dikarenakan karya sastra dapat berupa gambaran
perasaan atau isi hati pengarang yang disampaikan secara lugas dalam karyanya. Melalui
karya sastra, siapapun dapat menuangkan perasaan, pemikiran dan visi misi hidup untuk
dibagikan kepada pembaca.
Karya sastra sebagai symbol verbal mempunyai beberapa peranan diantaranya sebagai
cara pemahaman (made ofe comprehension), cara perhubungan (made of communication),
dan cara penciptaan (made of creation). Objek karya sastra adalah realitas. Apabila realitas
itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat: pertama, mencoba menterjemahkan
peristiwa, dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan
pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk

5
menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai peristiwa sejarah. Ketiga, karya
sastra dapat merupakan penciptaan kembali suatu peristiwa sejarah (Kuntowijoyo, 1987:127).
Dalam penulisan sastra, sejarah berperan aktif dalam merekontruksi alur cerita agar pembaca
juga mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.
Realitas yang ditangkap oleh pengarang tidak serta merta dituangkan dalam karya sasra,
akan etapi melalui proses kreatif. Karena itulah sastra merupakan peroaduan antara mimesis
dan creation, yakni antara kenyataan dan khayalan (Teuww, 1988:237). Dengan memadukan
kedua unsur tersebut pengarang menciptakan sebuah model yang diinginkannya, yang
dibangun melalui unsur-unsur pembangun karya sastra.

Pendekatan Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra meruipakan kajian sastra dalam kaitannya dengan masyaraat. Sosiologi
sastra berarti mengkaji sastra dengan cara menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial
yang ada dalam kehidupan masyarakat. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik
sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya
sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan ,
maupuin memberikan pengakuan terhadap gejala kemasyarakatan.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret
fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling
kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena
itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis,
interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat
dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka,
memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama
yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak
digambarkan. Namun Wellek dan Warren (dalam Ratna:338) mengingatkan, bahwa karya
sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan
selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam
karya sastra tidak sengaja dilukiskan oleh pengarang. Pengarang dapat juga memasukkan
fenomena sosial karena latar belakang kehidupannya sehingga karya sastranya menyangkut
tentng fenomena yang sedang hangat terjadi.

6
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang
berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak
terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-
tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan,
peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Kuntowijoyo sebagai pengarang
novel sekaligus sebagai pencetus jenis priyayi terpelajar di antara dua jenis priyayi lain
ditengarai akan mengarahkan jalan cerita sesuai dengan teorinya (Untoro, 2017). Dengan
demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya
sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan
kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra
dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspek-aspek
kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat, agama,
ekonomi dan politik. Dalam penelitian sosiologi sastra, yang perlu diperhatikan adalah
dominasi karya sastra, sedangkaan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat digunakan untuk mengupas
permasalahan sosial yang ada dalam karya sastra, sedangkan ilmu lain untuk memperkuat
teori yang digunakan.
Pertentangan Sosial
Petentangan adalah suatu proses sosial antara individu atau kelompok berusaha
memenuhi tujuannya dengan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman maupun
kekerasan. Pertentangan sama halnya dengan konflik. Konflik merupakan suatu perinstiwa
yang Pertentangan sosial merupakan terjadinya konflik yang timbul akibat adanya faktor-
faktor sosial di lingkungan masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat berupa ketidakselarasan
maupun ketidakharmonisan hubungan antar kelompok. Pertentangan sosial merupakan akibat
dari adanya perbedaan-perbedaan dari norma yang menyimpang di kehidupan masyarakat.
Pertentangan adalah bagian dari interaksi sosial antara masyarakat. Sehingga akan muncul
konflik yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, kebudayaan dan perilaku
(Gillin;Pruit&Robin).

Pertentangan memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan manusia, baik secara


kelompok maupun secara individu. Pertentangan memiliki pengaruh positif maupun negative.
Pengaruh positif berarti masyarakat dapat mengambil hikmah yang terjadi akibat konflik atau
pertentangan. Sedangkan pengaruh negative yakni dapat menyebabkan perubahan sosial dan

7
munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Kedua pengaruh tersebut menciptkan
perubahan bagi manusia. Pertentangan mengubah dan mengembangkan kehidupan menjadi
lebih baik.

Pertentangan sosial merupakan suatu konflik yang timbul akibat adanya kesalahpahaman,
ketidakselarasan maupun perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Pertentangan
sosial ini adalah akibat dari perbedaan norma-norma yang menyimpang dikehidupan
masyarakat. Pertentangan sosial dapat terjadi di lingkungan masyarakat. Masyarakat hidup
saling berdampingan, sehingga pertentangan-pertentangan dapat terjadi antar individu
maupun antar kelompok. Adapun faktor yang mempengaruhi pertentangan pada masyarakat
antara lain:

a. Rasa iri antara satu individu dengan individu lain


b. Rasa tidak puas akan perlakuan atau tindakan yang diterima dan diberikan orang lain
c. Adu domba diantara masyarakat, kelompok maupun dalam lingkup pemerintahan.

Pertentangan dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. Adapun perbedaan tersebut dapat dilihat dari segi fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan dan norma-norma yang dianut. Soekanto (2007) menyatakan bahwa
konfik sebagai pertikaian atau pertentangan, yaitu suatu proses sosial baik individu maupun
kelompok berusaha unuk memenuhi tujuan dengan cara menentang pihak lawan yang disertai
dengan ancaman atau kekerasan. Masalah yang timbul akibat dari hubungan sosial, interaksi
sosial atau adanya sesutau yang bertentangan dalam interaksi antarindividu, sehingga
menimbulkan friksi yang dapat menjurus pada kekerasan, kerusuhan, percekcokan bahkan
peperangan.

Pertentangan muncul akibat adanya interaksi sosial dalam masyarakat, salah satunya
adalah aktivitas komunikasi. Masyarakat Jawa tidak pernah melupakan unsur etika dala setiap
tingkah lakunya, apalagi perihal berkomunikasi. Masyarakat Jawa menyebut etika atau ajaan
moral dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata karma, tata susila, sopan santun,
budi pekerti, wulang wuruk, pitutur, wejangan, wursita , dan weweruh.

Unggah-Ungguh dalam Masyarakat Jawa

Isilah unggah-ungguh dalam bausastra Jawa, Poerwadarminta (1939) mempunyai makna


atau arti tata aturan berbahasa yang sesuai engan tata norma nilai masyarakat (Jawa).
Dikuatkan oleh Mangunsuwito (2002), unggah-ungguh yaitu sopan santun atau tata karma.

8
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unggah-ungguh merupakan tata karma, sopan
santun yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat Jawa. Inti maupun pokok dari
unggah-ungguh adalah perilah sikap seseorang bertindak sopan, menghormati, bertindak
sesuai, berperilaku semestinya (baik), menghargai, dan juga berbahasa yang sesuai dengan
nilai-nilaik dan norma masyarakat yang berlaku.

Masyarakat Jawa dan adat istiadatnya merupakan satu kesatuan dalam suatu tatanan
kehidupannya. Unggah-ungguh dalam norma masyarakat Jawa umumnya dilakukan oleh
orang yang memiliki status sosial lebih rendah ke status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi,
konsep masyarakat Jawa yang baik, unggah-ungguh dapat diberlakukan oleh dan kepada
siapapun. Baik seseorang yang memiliki status sosial rendah maupun status sosial yang
tinggi. Hal tersebut menghindari adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Perbedaan
dalam penerapan unggah-ungguh adalah dalam hal penarapan yaitu perbedan penggunaan
bahasa yang dituturkan oleh orang tua kepada yang lebih muda.

Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa

Kehidupan sosial masyarakat Jawa tidak jauh dari etika atau unggah-ungguh. Bentuk
etika itu, kini kian hari kian tergeser oleh budaya modernisasi yang semakin merambah pada
karakter sosialmasyarakat. Jumlah masyarakat Jawa kurang lebih 41,7% dari penduduk
Indonesia. Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kesehariannya masyarakat Jawa
menggunakan bahasa Jawa. Adapun penggunaan bahasa Jawa dibedakan antara kaum tua dan
kaum muda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari gaya bahasa yang digunakan. Jika untuk
teman sebaya disebut bahasa jawa ngoko, sedangkan untuk orang yang lebih tua
menggunakan bahasa jawa kromo inggil.
Magnis Susebno, menggolongkan orang jawa yang terdiri dari wong cilik dan priyayi.
Wong cilik terdiri dari petani atau masyarakat dengan pendapatan rendah. Sedangkan priyayi
adalah golonan dari kaum pegawai dan orang-orang intelektual atau kaum ningrat. Di dalam
kenyataan hidup masyarakat Jawa, masyarakat masih membedakan antara priyayi dan wong
cilik. Priyayi yakni masyarakat yang berstatus pegawai negeri dan kaum terpelajar.
Sedangkan wong cilik terdiri dari petani, tukang, dan pekerja kasar lainnya, di sampig
keluarga keratin dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara (Koentjaraningrat,
1979:337). Kedua masyarakat tersebut tidak dapat dipisahkan dan dalam batas-batas tertentu
kedua masyarakat yang saling membutuhkan. Priyayi merupkan pemasok kultur dan filsafat

9
yang menjadi pegangan bagi wong cilik. Sebaliknya, wong cilik menjadi pemasok hasil-hasil
pertanian bagi hidup priyayi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keduanya saling
membutuhkan satu sama lain.

Tekanan kekuasaan dari raja-raja dan bangsawan-bangsawan feudal dari zaman kejayaan
kejaraan-kerajaan Jawa dahulu dan juga tekanan kekuasaan dari pemerintah colonial telah
mempunyai efek yang dalam terhadap kehidupan rakyat petani di Jawa (Koentjoroningrat,
1979:343). Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sikap hormat merupakan hal yang wajib
dilakukan oleh setiap orang, baik dilingkungan wong cilik maupun priyayi (De Jong dalam
Suwondo, 1994:129). Selain umumnya mudah terkesan oleh bangsawan dan keterpelajaran
orang, manusia (dalam hal ini masyarakat) Jawa pun gampang terkesan oleh kekayaan orang.
Antara wong cilik dan priyayi tidak jarang terjadi pertentangan dalam berbegai hal. Salah
satuya adalah mengenai perbedaan pendapat maupun pemikiran. Priyayi selalu memegang
teguh prinsip kejawennya sedangkan wong cilik adalah kaum yang mudah dimasuki oleh
budaya lain. Dalam hal ini wong cilik lebih mudah terpengaruh dengan hasutan dari orang
lain, sehingga lebih mudah muncul pertentangan antara wong cilik dan kaum priyayi.
Pertentangan terjadi karena kurangnya perhatian masyarakat terhadap lingkungan sosialnya.
Penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan musyawarah, karena akan menghasilkan
kesepakatan beresama.
Menurut Magnus-suseno (1984) Masyarakat Jawa memiliki keunggulan dalam
penyelesaian masalah, yakni dengan cara musyawarah. Tujuan musyawarah adalah agar
setiap orang dapat mengemukakan pendapatnya dan tidak terdapat keputusan yang diambil
oleh salah satu pihak sehingga semua pihak dapat menyetujui keputusan bersama. Adanya
musyawarah membuat masyarakat berlaku rukun, sehingga tidak terjadi pertetangan.

Metodologi Peneitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis
dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini data berwujud kata-kata dalam satuan
cerita yang terdapat dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo. Pendekatan kualitatif ini
digunakan dengan tujuan untuk mengungkapkan dan memberikan gambaran bentuk
pertentangan sosial dan konsep pertentangan sosial masyarakat Jawa dalam novel Pasar karya
Kuntowijoyo dengan menggunakan teori sosiologi karya sastra. Untuk itulah, dapat dikatakan
bahwa metode deskriptif digunakan tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyususnan
data melainkan juga meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data. Dengan demikian,
metode ini berupaya mendeskripsikan fakta secara logis mengungkap pertentangan sosial
10
dalam masyarakat Jawa berupa bentuk dan konsep pertentangan sosial dalam novel Pasar
karya Kuntowijoyo.
Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Dalam
penelitain sastra, sumber data dapat berupa teks novel, cerita pendek, drama atau puisi.
Sementara itu, sumber data dalam penelitan ini adalah teks novel yang berjudul Pasar karya
Kuntowijoyo yang diterbitkan oleh Diva Press dan Mata Angin, cetakan pertama Februari
2017. Tebal buku 378 halaman. Ukuran buku 14 cm x 20 cm dengan sampul warna putih dan
tulisan Kuntowijoyo berwarna hitam. Kemudian warna tulisan judul Pasar adalah coklat, di
cover depan terdapat gambar sosok priyayi tua dengan udeng dikepala..
Sumber data utama (primer) adalah teks novel Pasar secara utuh. Data seluruh aspek
yang termasuk dalam pertentangan kelas sosial merupakan keseluruhan sumber data. Selain
itu, terdapat data pendukung (skunder), yaitu yang mendukung data utama yang berupa
sumber tertulis dalam bentuk artikel, jurnal, buku, hasil penelitian terdahulu yang memiliki
relevansi dengan penelitian berikut.
Data penelitian ini adalah berbentuk kutipan-kutipan atau satuan cerita yang terdapat
dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo. Kutipan-kutipan yang digunakan sebagai data
peelitian adalah yang berhubungan dengan fokus masalah penelitian yaitu meliputi. (a) teks
novel Pasar yang merepresentasikan bentuk pertentangan, (b) teks novel yang
merepresentasikan bentuk konsep pertentangan sosial dalam novel.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi.
Adapun langkah pengumpulan data dilakukan sebagai yakni pertama, Membaca novel Pasar
karya Kuntowijoyo secara berulang-ulang untuk mendapat aspek-aspek yang akan dikaji,
sehingga tidak terjadi penafsiran yang tidak sesuai dengan topik yang akan diteliti. Kedua
mengidentifikasi isi novel (berupa satuan kalimat-kalimat) yang terdapat dalam karya sastra
yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Jawa dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo. Wujud
sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan. Ketiga, menguraikan data-data
tentang penanda dan petanda pada novel Pasar karya Kuntowijoyo sesuai dengan rumusan
masalah yang telah ditentukan.
Teknik analisi data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif. Peneliti
menganalisis kemudian mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan pertentangan kelas
sosial pada novel Pasar karya Kuntowijoyo. Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan,
baik berupa kalimat maupun paragraf yang terdapat dalam novel Pasar karya Kuntowijoyo
dengan cara menganalisis. Adapun langah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Reduiksi Data. Tahap reduksi data terdapat
11
sembilan langkah yakni, meringkas data, pengkodean, pembuatan catatan objektif, memuat
catatan reflektif, membuat catatan marginal, penyimpanan data, pembuatan memo, analisis
data, dan pembuatan ringkasan sementara. 2) Penyajian data. Proses penyajian data yakni
melakukan interpretasi pada data yang telah terkumpul. 3) Penarikan kesimpulan dan
verifikasi data. Data yang telah diseleksi kemudian dipaparkan dalam tabel instrumen data
untuk melihat kejelasan data dan kemudian ditari kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan


Pertentangan Nilai
Pertentangan nilai merupakan terjadinya perubahan nilai-nilai yang sudah ada
dimasyarakat. Perubahan tersebut mengakibatkan adanya pertentangan. Pertentangan nilai
berarti, adanya ketidakseimbangan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya yang dahulu
dengan masyarakat modern. Pada dasarnya perubahan nilai merupakan perubahan yang
terjadi secara bertahap yang dapat mengubah suatu kebiasaan di lingkungan masyarakat.
Perubahan nilai-nilai inilah dapat mengakibatkan suatu pertentangan sosial, baik antar
individu maupun antar kelompok.

Sopan Santun
Pasar yang dipimpin oleh Pak Mantri dengan asistennya yang bekerja sebagai tukang
karcis dulunya merupakan Pasar yang harmonis. Tatanan structural Pasar berjalan dengan
lancer, hingga akhirnya burung dara membawa masalah pada Pasar yang dipimpin oleh Pak
Mantri. Semua pedagang kesal dengan adanya burung-burung dara yang hinggap di los-los
pasar dan menghabiskan dangangan para pedagang tersebut. Kasan Ngali adalah orang kaya
yang tinggal dilingkungan pasar. Dia mempunyai solusi untuk para pedagang, yaitu dengan
membangun pasar baru dengan los-los yang lebih bagus dan rapi serta tanpa adanya burung
dara. Hal tersebut membuat geram Pak Mantri, karena Kasan Ngali membangun pasar tanpa
ijin Pak Mantri. Hal tersebut membuat Pak Mantri iri dan selalu mengawasi seluruh tindak
tanduknya. Seperti halnya dalam kutipan sebagai berikut.

“Pak,” seru Paijo dari kejauhan. “Cuma menabung saja.” Itu disesalkan Pak Mantri.
Beberapa kali sudah, tukang karcis itu selalu lupa untuk tidak berteriak begitu. Seperti
pada orang tuli saja. “Tidak bicara-bicara? Ke sini. Jangan dari situ. Itu tak
sopan. Jo, apa dia bilang pada Siti Zaitun?” “tidak ada.” (P/PN/SS/01)

Berbicara dengan lawan bicara yang lebih tua, maka harus memiliki unggah ungguh.
Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi adab berbicara khususnya dengan lawan bicara

12
yang berusia lebih tua dari pebicara. Dalam istilah Jawa berbicara dengan lawan bicara yang
lebih tua harus menggunakan bahasa kromo. Untuk masyarakat daerah perkotaan bahasa
kromo sudah mulai mengalami pergeseran dengan bahasa Indonesia yang lebih telihat
modern. Akan tetapi di daerah pedesaan adab tersebut masih berlaku (Hidayat, 2016).
Dengan demikian orang Jawa khususnya Pak Mantri yang merupakan seorang priyayi tentu
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Jawa khususnya nilai kesopanan. Hal tersebut
merupakan pertentangan nilai dari segi ketidaksopanan sikap Paijo terhadap Pak Mantri.

Paijo selalu menurut dengan apa yang dinasehatkan Pak Mantri kepadanya dan patuh
dengan semua yang diperintahkannya, meskipun itu bertentangan dengan pribadinya. Selain
Paijo, ada Siti Zaitun yang mulai berlaku tidak sopan akibat permasalahn burung dara di
Pasar. Akibat ulah burung dara yang memakan semua dagangan para pedagang di Pasar,
maka berimbas pada bank pasar yang sepi dengan penabung. Pedagang merasa dirugikan
dengan adanya burung dara yang kian hari kian bertambah banyak. Sehingga pedagang
beranggapan bahwa dengan dagangan yang dimakan oleh burung dara mengurangi untung
yang diperoleh sehingga tidak dapat menabung di bank pasar. Kejadian tersebut berimbas
pada SIti Zaitun sang pegawai bank yang merasa bahwa akibat ulah burung dara Pak Mantri,
bank akan segera ditutup karena tidak ada penabung. Hal tersebut membuat Siti Zaitun geram
pula dengan setiap apa yang dibicarakan oleh Pak Mantri. Seperti halnya kutipan sebagai
berikut.

“Engkau akan mengerti itu. Tidak sekarang, tentu kelak. Kebenaran itu datangnya
tidak seperti hujan yang segera membuatmu basah. Tetapi lambat-lambat, seperti
datangnya fajar pagi.”
“Aduh! Saya punya usul, Pak!”
“Apa Ning,?”
“Pak Mantri lekas saja minta pensiun!”
Kata-kata seperti itu! Diucapkan oleh Siti Zaitun! Pak Mantri berpegangan daun
pintu. Tidak dimengertinya dunia ini. Dan ia yang tua dan berhak memarahi, lalu
meninggalkan kemarahan, dan dengan rendah hati minta maaf…. (P/PN/SS/02)

Pak Mantri adalah orang yang berpegang teguh dengan nilai-nilai jawa, sehingga
mendapat perkataan yang demikian merasa direndahkan. Jika dalam istilah jawa maka
perbuatan siti Zaitun itu disebut dengan tidak ada unggah-ungguh atau tidak bertata krama.
Meskipun merasa jengkel dengan perilaku orang yang lebih tua, seharusnya tetap
memperhatikan adab berbicara. Hal tersebut merupakan bentuk pertentangan nilai, karena
terjadinya perubahan sosial akibat adanya pertentangan nilai dari segi ketidaksopanan. Dalam

13
hal ini menunjukkan bahwa merosotnya nilai-nilai yang ada dilingkungan bahkan di daerah
pedesaan sekaligus.

Terjadinya pertentangan yang disebabkan oleh burung dara terus berlanjut, hingga
muncul pertentangan antara Pak Mantri dengan pegawai bank. Siti Zaitun yang biasanya
mendengarkan semua nasehat-nasehat dari Pak Mantri, kini merasa nasehat-nasehat tersebut
tidak berlaku lagi. Dia merasa bahwa percuma nasehat itu dilontarkan untuknya jika Pak
Mantri sendiri tidak sadar akan perbuatannya. Dengan berpegang pada pemikiran tersebut,
Siti Zaitun berani melawan Pak Mantri dengan membalas pembicaraan dengan kata-kata
yang kasar. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data sebagai berikut.

“Ku harap suatu kali engkau akan mengerti, Ning.”meskipun itu


penutupan untuk pertemuan singkat yang menyiksakan itu. Tetapi
Zaitun melanjutkan juga.
“Mengerti bagaimana Pak? Pak Mantrilah sekarang yang bertanggung jawab
untuk tutupnya bank ini. Setiap hari saya mencatat peristiwa burung dara itu.
Mereka tak mau menabung karna untungnya habis dimakan burung dara. Tetai
syukurlah. Itu kebetulan. Makn cepat bank bangkrut makin baik. Segera saya
dipindahkan dari kota gurem di gunung begini. Daerah setandus ini!”
(P/PN/SS/03).

Adab berbicara dalam masyarakat Jawa merupakan salah satu aspek kehidupan yang
membawa pada keadaan rukun. Akan tetapi, adanya pertentangan nilai ketidaksopanan
membuat tatanan hidup masyarakat berubah. Ketidaksopanan adalah satu satu pemicu
adanya pertentangan atau konflik antar individu dengan individu maupun kelompok dengan
kelompok. Jika seorang individu tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai seperti halnya pak
Mantri yang merupakan seorang priyayi, tentu hal tersebut akan berimbas pada konflik antar
pribadi. Seperti halnya pada kutiapan berikut ini yang menggambarkan ketidaksopanan siti
zaitun kepada Pak Mantri dengan membentak Pak Mantri.

…. Tiba-tiba ada suara perempuan menyela. Itu Siti Zaitun.


“Apa urusan Pak Mantri?”
Mata Pak Mantri Pasar terbelalak. Orang bersalah mestinya minta maaf, itu yang
betul. Siti Zaitun yang menurut Pak Mantri bersalah mallah membentaknya. Darah
melonjak ke kepala. Suara perempuan itu keras, menusuk nusuk. Berani-beraninya!
Apa urusan Pak Mantri, sungguh kurang ajar mengatakan itu. Di tengah pasar,
merendahkan kekuasaan Mantri pasar! Urusan lain boleh saja disigkirkan, tetapi soal-
soal pasar dan burung-burung adalah haknya. …. (P/PN/SS/04).

14
Berbicara dengan kata-kata kasar merupakan bentuk ketidaksopanan dalam adab
berbicara. Perubahan sikap tersebut merupakan salah satu penyebab pertentangan yang ada di
lingkungan masyarakat. Oekanto (1987) yang mengungkapkan bahwa lingkungan sosial
maupun lingkungan biologis serta lingkungan fisik akan selalu mengalami perubahan sesuai
dengan zamannya. Agar lingkungan tersebut dapat dipertahankan keselarasan hidupnya,
maka manusia harus melakukan penyesuaian terhadap perubahan sosial.

Berlaku Sombong

Kesombongan merupakan sikap sombong atau angkuh dan membanggakan apa yang
telah dimilikinya dengan sengaja kepada orang lain. Kesombongan adalah salah satu bentuk
dari pertentangan nilai. Pertentngan nilai berupa kesombongan ditunjukkan oleh Kasan Ngali
yang tiba-tiba membangun pasar baru dan berjanji akan menjamin pekerjaan kepada Paijo
tukang karcis. Akan tetapi, Kasan Ngali bertindak seenaknya dan berlaku sombong karena
hal tersebut. Seperti halnya terdapat pada kutipan sebagai beriut.

“Pekerjaanmu, Jo.”
“Pekerjaan apa?”
“Karcis itu, bagaimana?”
“Tidak ada harapan.”
“itulah. Engkau mesti yakin. Swasta itu lebih benefid dari usaha pemeintah. Sebab
kita menyadari bahwa langganan itu raja. Lihatlah bagaimana aku bekerja.
Menjadi pedagang bukan menjadi raja. Tetapi pelayan. Disini aku suka pakai
kolor. Itu mengunungkan pekerjaan. Pedagang gaplek bukan pegawai kantor.
Lihat saja, pasar yang kubuka itu!” (P/PN/BS/01)

Kesombongan Kasan Ngali bermula dari pamernya kesuksesan menjadi pengusaha


dari pada pegawai pemerintah yang hidupnya gak jelas. Perkataan itu seolah menyayat bagi
Paijo. Meskipun dia hanya tukang karcis, tapi kesetiaannya pada pak Mantri tidak ada
duanya. Kesombongan yang ditunjukkan tersebut menggambarkan bahwa dengan jabatan
seseorang dapat membanggakan diri sendiri. Sikap pamer, merupakan salah satu indikator
kesombongan. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pertentangan antar individu, yaitu
antara Paijo dan Kasan Ngali.

Tanpa berfikir panjang dan tanpa ijin Kasan Ngali mendirikan sebuah pasar untuk
menyaingi pasar Pak Mantri. Alih-alih meminta ijin kepada Pak Camat, sebagai pimpinan
daerah tersebut, Kasan Ngali malah memasang papan nama pasar barunya itu. Hal itu
membuat Pak Mantri kesal dan geram. Tetapi, dengan sombongnya Kasan Ngali

15
memamerkan papan nama yang baru saja dipasangnya. Hal tersebut tergambar pada kutipan
sebagai berikut.

“Kasan Ngali bukan pengemis. Kasan Ngali orang kaya! Lihatlah, karena itu
saya sudah pasang papan nama segala. Apa boleh buat, karena engkau yang
memulai. Engkau yang bertanggung jawab. Dan saya dipanggil Pak Camat.
Memalukan. Kurang uang apa saya, he! Tunjukkan siapa yang kaya disini?”
“ya, hanya Pak Kasan.”
“jangan menjilat, aku tak suka!”
“Kalau salah, ya maaf, to Pak.”
“itu gending lama! saya itu seleh. Bukan lantas minta maaf. Mesti ada lanjutannya.”
(P/PN/BS/02).

Kesombongan yang ditunjukkan Kasan Ngali menimbulkan pertentangan antara


Kasan Ngali dengan Paijo maupun Pak Mantri. Sifat sombong yang dilakukan oleh Kasan
Ngali memunculkan petentangan antara Paijo dan Kasan Ngali sendiri. Paijo merasa Kesal
dan geram pada kasan Ngali. Setiap apa yang dilakukan oleh Kasan Ngali selalu jadi bahan
pembicaraan antara Paijo dan Pak Mantri. Hal tersebut terlihat dari kutipan sebagai berikut.

Namun cara Kasan Ngali turun dari mobil di muka kantor bank itu agak menyakitkan
hati juga. Ia tahu apa maksudnya turun di situ memerintah-memerintah sopir.
Tentu akan memamerkannya pada gadis bank itu. Dalam hati berharap suapaya
Zaitun bias memahami tingkah si badut tua itu…. (P/PN/BS/03).

Kesombongan Kasan Ngali semakin menjadi-jadi ketika dia mampu membeli mobil
dengan tujuan untuk pamer pada Siti Zaitun. Tujuan Kasan Ngali berlaku sombong adalah
untuk memperebutkan hati Siti Zaitun agar mau menikah dengan dia. Dapat disimpulkan
bahwa sifat sombong muncul karena adanya dorongan seseorang untuk pamer terhadap apa
yang dimiliki agar diakui oleh orang lain. Kesombongan Kasan Ngali membuahkan suatu
pertentagan yang terjdi antara Paijo dan Kasan Ngali. Pertentangan nilai yang tergambar dari
kutipan-kutipan tersebut merupakan hasil dari dorongan seseorang untuk meminta pengakuan
dari orang lain akan keberadaannya.

Pertentangan Tujuan

Pertentangan tujuan adalah konflik yang terjadi antar individu maupun antar
kelompok yang ingin mencapai tujuan yang berbeda. Pertentangan tujuan ini terjadi pada
masyarakat yang memiliki tujuan yang berbeda, sehingga terjadi bersitegang dan
pertengkaran mulut diantara keduanya. Hal itulah yang membuat pertentanan tujuan timbul.

16
Bersitegang merupakan kondisi tegang yag terjadi diantara individu atau kelompok yang
diakibarkan oleh adanya perbedaan tujuan satu sama lain. Sedangkan pertengkaran ulut
merupakan adu bicara yang terjadi antar individu karena perbedaan pendapat dan perbedaan
tujuan yang ingin dicapai.

Pada novel Pasar terdapat banyak pertentangan antar individu maupun kelompok.
Antar individu yang terjadi pada Paijo dan Kasan Ngali, pada Pak Mantri dan Paijo, dan pada
Pak Mantri dan Siti zaitun. Sedangkan antar kelompok yakni antara Pegawai pemerintah dan
Kasang Ngali dan Pak Mantri dan para pedagang. Pertentana tujuan ini ga terjadi pada Paijo
dan Pak Mantri yang ingin memeri makan burung dara Pak Mantri. Teapi Paijo sudah tidak
mempunyai persediaan makanan untuk burung-burung dara tersebut. Sedangkan Pak Mantri
kekeh pada pendiriannya bahwa makanan burung dapat diperoleh dengan meminta pada
pedagang pasar. Hal tersebut membuat suasana menjadi tegang. Seperti halnya kutipan
sebagai berikut.

“Jo, mana makanan burung-burung ini?” Paijo sedang menyapu dekat jendela. “Habis,
Pak.” “Iya, aku tahu sudah habis. Artiya carilah makanan.” “tetapi, Pak. Tak ada lagi
yang mau member.” “persetan. Dikira apa pasar ini. Siapa yang tak mau kasih?” “Ya,
yang punya makanan.” “Lalu apa kaubilang? Katakana, mereka tak berjualan di pasar
kakeknya. Tetapi di sini. Keterlaluan!” “saya malu Pak.” “Tobat. Jadi mau kau
biarkan burung-burung ini mati ya?” “seperti pengeis saja, mereka bilang tak mau
beri.” “Jahat. Tidak berperi –mm- kah kau ini? Kita mesti tahu. Orang berbudi ialah
orang yang bertanggung jawab… (P/PT/Bst/01).

Paijo berpendapat bahwa lebih baik makanan burung membeli dengan uang sendiri
dari pada meminta pada para pedagang. Sedangkan Pak Mantri berprinsip bahwa pedagang
seharusnya member makanan gratis pada burung dara, karena mereka telah berdagang di
pasar yang dia pimpin. Hal inilah yang menimbulkan adanya pertentangan di antara
keduanya. Bukan hanya persoalan makanan burung yang membuat suasana tegang antara
Paijo dan Pak Mantri. Ketika terdapat bburung dara yang mati akibat adanya pemburuan liar,
ketegangan juga terjadi antara Pak Mantri dan Siti Zaitun. Sebagaimana kutipan sebagai
berikut.

“Bagaimana, Ning?”
“sebentar Pak. Belum memutuskan akal juga.” Siti Zaitun memikir-mikir. Dan rasa
muaknya timbul. Ingatannya ialah pada tahi-tahi burung.
“Bagaimana sebaiknya?”
“Bawa saja ke dokter hewan, Pak.” Usul Zaitun.

17
“Maksud saya, pertolongan dari Ning Zaitun dulu, begitu.”
“untuk sementara, ya. Biarkan saja Pak.”
“Biarkan bagaimana?”
“Ya begitu saja.”
“Begitu saja bagaimana?” Pak Mantri mendesak.
“Nanti sembuh sendiri Pak.”
“Sembuh sendiri bagaimana?”…. (P/PT/Bst/02).

Ketegangan bermula dari Pak Mantri yang meminta bantuan kepada Zaitu perihal
burung dara yang diburu oleh para pedagang, sehingga menyebabkan burung dara lemah dan
tak berdaya. Terjadi adu bicara antara Pak Mantri dan Zaitun untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapi Pak Mantri. Akan tetapi, pak Mantri kekeh dengan pendiriannya bahwa urung
dara harus segera diobati agar sembuh kembali. Sedangkan Zaitun perberilaku cuek, karena
kesal dengan Pak Mantri yang tidak menyadari bahwa karena ulah burug daralah, bank pasar
menjadi sepi penabung. Sikap Zaitun kepada Pak Mantri menunjukkan ketidaksopanan
sehingga terjadi ketegangan antara Pak Mantri dan Zaitun. Setelah ketegangan yang terjadi
pada Zaitun dan Pak Mantri, kini suasana tegang terjadi pada Paijo dan pedagang pasar. Para
pedagang pasar menuntun Paijo karena ulah burung dara yang merugikan para pedagang.
Sebagaimana kutipan berikut.

Siti Zaitun diam saja, tidak usah melibatkan diri, engkau pegawai bank bukan hakim.
Kerumunan itu menjadi banyak. Kesempatan itu digunakan Zaitun untuk menyelinap,
menjauh. Dan Paijo masih berdiri tegang. Dan: “Nah, ini Pak Polisi!” Tukang
karcis itu menangkap tangan polisi yang lewat. Polisi itu berhenti. Orang memberi
jalan padanya. “Coba Bapak pelindung keadilan. Tidak bayar karcis! Membangkang.
Coba!” (P/PT/Bst/03)

Bersitegang merupakan suasana tegang yang terjadi antar individu yang diakibatkan
oleh adanya perbedaan tujuan. Hal tersebut tergambar pada kutipan di atas yang
memperlihatkan perbedaan tujuan antara Paijo dengan para pedagang pasar. Paijo ingin
menarik karcis, tetapi para pedagang malah memprotes karena uang karcis sudah
terbayarkan. Paijo tidak merasa bahwa mereka telah membayar karcis. Sampai pada akhirnya
ketegangan muncul karena adanya protes dari pedagang bahwa uang karcis telah digantikan
oleh makanan burung dara yang diperoeh dari dagangan para pedagang. Adapun kutipan
yang menunjukkan keadaan bersitegang antara Paijo dengan para pedagang sebagai berikut.

“Jo, berhenti. Lihat akibatnya,” tidak disangkanya seseorang menghentikannya.


Segera ia dikerumuni orang. Orang ramai mengurungnya.
“Aku menuntut!” kata seeorang.

18
“Tidak terima!” kata orang lain.
“Burung setan! Mengepalkan tinju.
“Seperti itu masih mau narik karcis lagi,” mencibir.
“Tidak tahu malu,” menuding Paijo.
“Bunuh saja burung-burung itu!” hamper bersama.
Tukang karcis itu mencari kesempatan keluar dari orang ramai. Mereka menuding-
nudingnya. Dana tidak bias lagi dibantah. Burung-burung itu menimbulkan keributan.
Hanya untuk dipersalahkan sebagai terdakwa ia tak mau. (P/PT/Bst/04).

Tergambar jelas bahwa ketegangan muncul dari perkataan para pedagang tentang
burung dara yang membuat mereka kesal. Burung-burung dara tersebut telah memakan
dagangan para pedagang sehingga menimbulkan kerugian para pedagang. Kesesalan tersebut
akirnya diungkapkan pada Paijo si tukang karcis yang tidak tau duduk perkara. Hal itulah
yang memunculkan adanya perdebatan sehingga timbul suasana tegang antara para pedagang
dengan Paijo. Beritegang yang terjadi menimbulkan pertentangan antar kelompok, yaiu
antara pegawai pasar (Paijo dan Pak Mantri) dan para pedagang pasar. Pertentangan tersebut
beruba pembangkangan para pedagang yanag tidak lagi mau membayar karcis pada Paijo.
Hal tersebut sebagaimana kutipan berikut.

“Ini bukan dagangan, Saudara-saudara. Ini tongkat untuk jalan.”


“Tidak mungkin,” bantah Paijo.
“Mungkin saja.”
“Tidak bisa!” “jalan-jalan.” Tidak bisa!”
Laki-laki tua itu berhenti sebentar, menarik napas. Orang banyak menonton.
“tetapi,” kataya.
“Apa?” “Tadi sudah.” “kapan?” “Tadi sudah.” “Mana buktinya?” “tidak diberi
karcis.” “Kalau begitu belum!” “Sudah!” “Siapa?” “Burung-burung dara itu.”
(P/PT/Bst/05)

Ketegangan yang terjadi pada kutipan di atas ditimbulkan dari pembangkangan


pedagang yang tidak ingin membayar uang karcis sebagai pajak harian pada pasar. Paijo
merasa kesal karena dia merasa belum mendapat uang karcis dari pedagang tongkat tersebut.
Tetapi pedagang merasa bahwa uang karcis sudah dia bayar melalui burung-burung dara yang
menghalangi pembeli untuk membeli dagangannya. Terjadi perdebatan antara pedagang
dengan Paijo. Perdebatan tersebut merupakan bentuk dari pertentangan tujuan, yakni terdapat
perbedaan tujuan antara pedagang dan Paijo. Tujuan paijo adalah untuk menarik pajak dalam
bentuk uang karcis, karena ituu merupakan kewajiban para pedagang untuk membayarnya.
Sedangkan para pedagang bersikukuh tidak ingin membayar pajak dengan tujuan untuk
membuat jera pegawai pasar agar burung dara dimusnahkan sehingga pasar ramai dikunjungi
oleh pembeli.

19
Pembangkangan yang disebabkan oleh ulah burung dara tersebut akhirnya dilaporkan
Pak Mantri kepada Camat dan polisi. Pak Mantri geram dengan tingkah para pedagang yang
tidak mau membayar karcis hanya karena burung dara memakan sebagian dari dagangan
mereka. Pak Mantri beranggapan bahwa burung dara juga makhluk hidup yang butuh
makanan sama seperti manusia. Akan tetapi pedagang berpendapat lain. Yaitu burug-burung
dara itu telah merugikan mereka. Permasalahan ini akhirnya berujung pada seringnya terjadi
pembunuhan pada burung dara. Hingga akhirnya Pak Mantri menulis nama-nama pembunuh
burung dara dan dilaporkan pada polisi. Polisi pun meninjau perkara tersebut dengan
mendatangi pasar guna mencari bukti-bukti tentang pembunuhan tersebut. Sebagaimana
kutipan berikut.

“Tidak. Mesti diselesaikan di sini!”


“Kami hanya bertindak atas landasan yang pasti. Sebagai alat Negara, kami tidak
boleh gegabah, Pak.”
“Pegacau-pengacau, itu!”
“Sabar, Paka. Tentang itu belum diatur dalam hokum, barangkali. Maksudnya tidak
menjadi urusan polisi.” “Ada pasalnya! Perkara pembunuhan mesti ada hukumnya!”
“Tetapi kami digaji tidak untuk melindungi burung-burung dara.”
“Rakyat membayar pajak. Pajak dibayarkan pada pegawai. Polisi adalah pegawai.
Polisi makan pajak rakyat. Polisi harus bertindak melindungi rakyat yang
memerlukan.” (P/PT/Bst/06)

Ketegangan terjadi ketika polisi menanyakan ulang perihal yang terjadi di pasar.
Sedangkan Pak Mantri sudah tidak sabar untuk menghukum para pedagang agar mereka jera
dan mau lagi membayar pajak berupa uang karcis. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa bersitegang merupakan keadaan tegang di antara individu dengan individu maupun
kelompok dengan kelompok. Ketegangan tersebut mengakibatkan adanya pertentangan
dalam bentuk pembangkangan. Hal tersebut menunjukkan perbedaan tujuan yang ingin
dicapai pada masing-masing individu maupun kelompok.

Pertengkaran Mulut

Pertengakaran mulut sering terjadi antar individu yang mendebatkan persoalan


perbedaan pendapat. Begitu juga yang terjadi pada Pak Mantri dan pedagang kambing yang
membangkang membayar karcis. pedagan kambing yang lewat di pasar mengelak untuk
membayar karcis sehingga terjadi pertengkaran mulut antara Pak Mantri dengan pedagang
tersebut. Pedagang mengaku hanya mengembala kambing hingga pasar, sehingga tidak mau
membayar karcis. pada hari pasar, biasanya pedagang hewan akan ramai, tetapi hal tersebut
tidak terlihat di pasar pak mantra. Sebagaimana kutipan sebagai berikut.
20
“He!” ia menegur. “ini kambing siapa?” menghentikan dengan tangan.
“saya Pak.” Terus saja menggiring kambing itu.
“aku mantri pasar, tahu?”
“Ya, Pak.”
“Orang mana kau?”
Tanon.” Itu nama kecamatan jauh d sebelah timur.
“Sudah beli karcis?”
“Karcis apa?”
“kambing-kambing ini?”
“Saya tidak menjual kambing Pak.”
“lau untuk apa kambing ini digiring. Begitu jauh dari Tanon?”
“Hanya mengembala Pak.”
“Di pasar? Mengemballa kambing? Pada hari pasar pula? Akalmu tidak jalan, he.
Mengembala itu di lapanagan, bukan di pasar begini. “Iya saya mau ke lapangan”
“tidak bisa” (P/PT/PM/01)

Perbedaan tersebut yang menimbulka konflik atau pertentanga di antara keduanya.


Pertentangan yang terjadi antara pak mantri dengan pedagang kambing membuat adanya
pertengkaran mulut diantara keduanya. Beradu pendapat yang terjadi pada kutipan di atas
menunjukkan bahwa seseorang yang tidak memiliki tujuan yang sama akan saling
mempertahankan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga muncul pertengkaran mulut dan adu
pendapat diantara keduanya. Perbedaan tujuan seseorang terhadap orang lain merupakan hal
wajar yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Perbebdaan tujuan dapat dihalangi dengan
adanya musyawarah di antara keduanya.

Burung-burung dara Pak Mantri telah menyebabkan berbagai pertentangan antar


individu maupun kelompok. Paijo sebagai pegawai Pak Mantri merasa kualahan dengan
adanya masalah tersebut, hingga harus berhadapan dengan para pedagang maupun pegawai
bank. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip Paijo yang harus menurut dengan pak mantri
sebagai atasanya. Paijo diperintahkan oleh Zaitun untuk memindahkan pagupon yang ada di
kantor bank, tetapi Paijo tidak bisa melakukan hal itu tanpa persetujuan Pak Mantri. Kejadian
tersebut menyebabkan pertengkaran mulut antara Paijo dengan Zaitun. Sebagaimana kutipan
berikut.

“Jangan Ning, kita bisa celaka kalau begitu.”


“kalau tak mau cepat dibuang.”
“kalau Cuma sebentar, kan tidak apa.”
“sebentar atau selamanya sama saja.”
“Nanti saya lepas. Sesudah keliling dulu, Ning.”

21
“tidak, sekarang juga.”
“saya takut.”
“aku yang tanggung jawab.”
“ah bagaimana ya?”
“cepat. Kalau tidak biar ku labrak Pak Mantri.”
“tunggulah, Ning. Biar ku piker sebentar.”
Tukang karcis itu diam sebentar. Siti Zaitun mendesaknya lagi.
“tidak usah dipikir.”
“semua perbuatan itu harus dipikir Ning.”
“Tidak usah pakai nasihat segala!”… (P/PT/PM/02).

Pertengakaran tersebut terjadi karena ulah Zaitun yang ingin membersihkan pagupon
yang ada di kantor bank. Zaitun merasa risih dengan adanya burung-burung dara tersebut,
karena membuat kantor bank menjadi kotor. Pertengakaran mulut yang terdapat dalam
kutipan di atas merupakan gambaran adanya perbedaan tujuan antara Paijo dengan Zaitun.
Paijo menginginkan agar pagupon tetap berada pada tempatnya karena itu kehendak Pak
Mantri. Jika harus dipindahkan maa harus dengan ijin Pak Mantri. Akan tetapi berbeda denan
Zaitun yang tidak peduli dengan adanya ijin atau tidak dari Pak Mantri. Karena Zaitun
merasa bahwa kantor itu adalah miliknya. Pertegkaran mulut di antara mereka terjadi karena
perbedaan pendapat dan tujuan yang ingin dicapai dan dipertahankan. Paijo adalah wong cilik
yang harus patuh teradap priyayi yaitu pak Mantri pasar yang merupakan pimpinannya. Hal
tersebut menimbulkan pertentangan antara Zaitun dan Paijo dalam bentuk pertengkaran
mulut.

Pertengkaran mulut juga terjadi pada Pak Mantri dan Zaitun. Hal tersebut terjadi
dikarenakan oleh Zaitun yang tiba-tiba muncul di kantornya dengan marah-marah tidak jelas.
Kemarahan Zaitun tidak diketahu penyebabnya oleh Pak Mantri maupun Paijo. Tiba-tiba
Zaitun dating dengan memerintahkan Paijo untuk menyebut nama-nama pedagang yang
membunuh burung dara. Tetapi Pak Mantri tidak mengetahui tujuan Zaitun melakukan hal
tersebut. Hingga akhirnya Pak Mantri menanyakannya pada Zaitun, tetapi Zaitun kekeh tidak
menghiraukan perkataan Pak Mantri. Hingga akhirnya terjadi pertengkaran mulut antara pak
Mantri dan Zaitun. Zaitun mengeluarkan kata-kata kasar pada pak mantra. Sebagaimana
kutipan berikut.

Cepat mengemasi tas itu dan berkelebet lagi. “jahatnya! Liciknya! Menghina!” zaitun
mengucapakan kata-kata itu sementara meninggalkan mereka yang tidak tahu urusan.
Pak Mantri membututi. Ada sedikit yang membuatnya berharap yang baik. Terang
Siti Zaitun bukan marah padanya. Maka ia pun berani membubui: “jelas. Tidak lain.

22
Tidak ada yang lebih dari itu!” dan terus dikejarnya. Di luar Zaitun berhenti,
menatap Pak Mantri. “Cukup, ini urusanku sendiri. Saya tak butuh pertolongan.” Ini
mengejutkan Pak Mantri. Mukanya berubah jadi cemas. “Lho! Ini soal apa, Nak.
Soal apa ini? Jangan membuat kami kebingungan”. (P/PT/PM/03).

Pertentangan di atas disebabkan oleh kesalah pahaman antar individu yang


mengakibarkan adanya pertengkaran mulut di antara keduanya. Pertengakaran mulut antara
pak mantra dengan Zaitun merupakan bentuk pertentangan tujuan. Hal ini dapat dilihat dari
tujuan Pak Mantri yang ingin membantu masalah yang diadapi oleh Zaitun. Sedangkan
Zaitun memiliki tujuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Kesalah pahaman ini dapat
diuraikan dengan membicarakan dengan baik, tetapi Zaitun sudah merasa jengkel dengan
kondisi pasar yang semakin tidak kondusif, sehingga memunclkan rasa kekesalan terhadap
pak mantra. Hal itu menyebabkan, setiap yang diucapkan Pak Mantri membuatnya kesal dan
berujung pada pertengakaran mulut. Seperti halnya yang terjadi pada kutipan di bawah ini.

“tenanglah Ning, urusan mesti dikembalikan pada pangkalnya. Jangan salah, mana
ekor mana kepalanya”
“tidak bisa. Aku bisa membuktikan bahwa akulah penguasa kantor bank ini. Habis
perkara!”
“Ya, dimanakah bank itu? Di pasar bukan?”
“Bank itu di pasar.”
“dan burung dara itu? Adakah ia milikmu?”
“justru itu soalnya. Soalnyaa justru burung-burung itu bukan milikku.”
“Tunggu. Nak, eh Ning.”
“teruskan pekerjaan. Kalau diperiksa atasan dan ketahuan bahwa kantor bank
menjadi saraang burung macam ini, bisa celaka.” (P/PT/PM/05)

Pertengakaran mulut berbeda dengan pertengakaran fisik yang menimbulkan


seseorang merasa kesakitan secara fisik. Dalam hal ini, pertentangan mulut menimbulkan
sakit hati pada setiap individu yang mengalaminya. Pertentangan sosial dapat berupa
terjadinya permusuhan antara satu orang dengan orang lain yang disebabkan oleh sikap.
Lingkungan sosial yang sudah mulai berubah mengakibatkan adanya hubungan
ketidakharmonisan dalam tatanan masyarakat. Hal ini lah yang menyebabkan sebuah
pertentangan sosial. Salah satu bentuk pertentangan sosial adalah pertengkaran mulut yang
terjadi di antara individu maupun kelompok.

Pertentangan Kebijakan

23
Pertentangan kebijakan merupakan pertentangan yang disebabkan oleh munculnya
kebijakan yang merugikan orang lain. Munculnya kebijakan tersebut menyebabkan seseorang
dirugikan dan menjadikan tidak seimbangnya tatanan kehidupan seseorang. Bentuk
pertentangan kebijakan dapat berupa prasangka dan berlaku seenaknya sendiri. Prasangka
merupakan timbulnya pikiran-pikiran negative terhadap seseorang, sehingga menimbulkan
adanya perasaan iri. Hal tersebut dapat menyebabkan pertentanga kebijakan yang diambil
oleh seseorang. Sedangkan berlaku seenaknya sendiri merupakan perbuatan yang dilakukan
tanpa menghiraukan untung ruginya terhadap orang lain. Berlaku seenaknya sendiri juga
dapat mengakibatkan pertentangan kebijakan. Keputusan yang diambil ole seseorang yang
berlaku seenaknya sendiri cenderung merugikan orang lain, karena tidak memikirkan sebab
akibat yang akan terjadi.

Prasangka

Persoalan burung-burung dara yang tinggal di los-los pasar sudah menyebabkan


seluruh warga pasar merasa resah. Tidak hanya pedagang pasar yang geram akan adanya
burung dara yang berkeliaran di area pasar, tetapi juga pegawai bank yang merasa terkena
imbas dari burung dara. Bank pasar sepi penabung karena pedagang merasa bahwa
keuntungannya sudah diambil oleh burung-burung dara yang memakan dagangan mereka.
Sampai akhirnya, para pedagang diam-diam memburu burung dara tersebut. Pak mantri mulai
curiga dengan kelakuan para pedagang dan pegawai bank yang disangkanya ikut membunuh
burung dara. Sebagaimana kutipan data berikut.

Muka Pak Mantri tegak. Ia tak percaya pendengarannya. Siti Zaitun tahu dan ia
mengulang lagi: “Burung-burung dara itu akan membunuh bank ku.” Pak Mantri
terhenyak: “Jadi yang membunuh burung itu?”
“Tidak. Bukan saya, Pak.”
“siapa kalau begitu?”
“Pak Mantri menuduh saya?”
“Habis!” (P/PK/P/01).

Prasangka Pak Mantri terhadap Zaitun membuat Zaitun menjadi geram pula. Bahkan
Zaitun juga merasa resah dengan tingkah burung dara yang kian hari kian banyak karena
bertelur dan beranak. Pak Mantri asal menuduh Zaitun dengan dugaan dia yang ikut
membunuh burung dara. Timbulnya prasangka tersebut dikarenakan kurang adanya bukti
yang mendukung atas perbuatan yang dilakukan oleh Zaitun. Pak Mantri selalu menaruh
kecurigaan terhadap orang-orang pasar yang dengan sengaja membunuh burung-burung

24
daranya. Selain Zaitun Pak Mantri juga menuduh kusing milik Kasan Ngali yang membunuh
burung dara tersebut. Terlihat pada kutipan sebagai berikut.

… Orang bijaksana mesti tahu diri, kalau hatimu sedang risau jangan mengurus
sesuatu yang sangat penting. Entah, lagi pula penyelesaian soal kucing kurang ajar itu.
Siapa lagi, kalau bukan si Anu itu. Tetapi jangan berburuk sangka, itu tak boleh. Ia
tak berani menyebut nama orang itu sebelum jelas. … (P/PK/P/02).

Hal tersebut mempengaruhi pandangan orang lain, seperti Paijo terhadap Kasan Ngali.
Prasangka terhadap orang lain mengakibatkan buruknya hubungan antar individu maupun
kelompok. Perkara yang melibatka burung-burung dara tersebut sampai dilaporkan ke polisi.
Pak mantra pun geram karena polisi tidak segera menindak perkara dengan cepat. Sampai
akhirnya pak mantri berprasangka bahwa seorang polisi tidak tegas dalam menangani kasus
kecil seperti itu. Hal tersebut tertuang pada kutipan sebagai berikut.

“Sabar Pak. Coba bagaimana duduk perkaranya. Kalau tidak salah Pak Mantri
melaporkan bahwa burung-burung, bagaimana?”
“Dipukuli!”
Tidak sabar lagi. Semua orang sudah tahu. Polisi macam apa ini! Mestinya kerja polisi
itu bukan hanya menerima laporan dengan duduk-duduk di kantor. Polisi harus giat.
Kalau semua diurus sesudah ada pengaduan, mana yang disebut inisiatif itu!...
(P/PK/P/03).

Prasangka yang dipikirkan oleh pak Mantri terhadap polisi membawa efek buruk,
yakni menimbulkan polisi lebih malas lagi untuk mengerjakan kasus yang sedang ditangani.
Bukan hanya berprasagka, pak mantri juga melontarkan kata-kata yang tidak sopan kepada
polisi. Hal tersebut menumbuhkan adanya petentangan antara individu dengan individu,
yakni antara pak mantri dengan polisi. Prasangka buruk itu jga menimpa Kasan Ngali yang
dianggapnya pergi kedukun untuk membuat Pak Mantri lupa pada akan laporannya kepada
camat tentang nama-nama pembunuh dan pembangkang karcis yang terjadi di pasar. Seperti
tergambar pada kutipan sebagai berikut.

… Kembalikah atau membiarkan soal itu tak terurus?. Pembangkagan karcis,


pembunuh burung atau pasar baru? Soal pembangkangan juga tak dibicarakan. Tetapi
itu sudah diurus pada camat. Soal Kasan Ngali itu! Rupanya Kasan Ngali telah
mengupah dukun untuk membuatnya lupa, barangkali. Ia menghapus keringat.
Tenggelam di tegah orang banyak di jalanan. Tidak, dia tidak mengharapkan orang-
orang itu menegurnya. Syukurlah kalau mereka tak melihatnya. (P/PK/P/04).

25
Pak mantri tidak memiliki bukti yang kuat jika Kasan Ngali pergi ke dukun untuk
membuat Pak Mantri lupa melaporkan pembunuh-pembunuh dan pembangkang karcis.
Berprasangka pada orang lain juga akan menimbulkan kebencian terhadap orang tersebut.
Hal tersebbut terbbukti dengan adanya prasangka-prasangka lain dari pak mantri terhadap
kasan ngali. Seperti halnya kutipan berikut.

“he, Jo. Aku tahu sekarang. Ini semua tentu ada biang kladinya. Tidak ada asap tanpa
api. Tentu ada yang di belakang. Siapa, coba?”
“siapa Pak?”
“Orang itu tentu.”
“Orang itu siapa?”
“Ya orang itu.” Ah pantang bagi mulutku menyebu namanya.
“Kasan Ngali, Pak?”
“Trus bagaimana Pak?”
“Aku akan menggugatnya.”
“Caranya?” “serahkan saja padaku”…. (P/PK/P/05).

Kutipan tersebut menggambarkan munculnya rasa benci Pak Mantri terhadap Kasan
Ngali akibat dari berprasangka buruk terus. Seseorang yang memiliki prasangka buruk
terhadap orang lain, akan memunculkan efek buruk pula terhadap diri sendiri. Berprasangka
merupakan perbuatan yang tidak baik, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Ketika
seseorang mulai mempunyai pikiran buruk tentang orang lain, hal itu akan mengakibatkan
pengaruhnya hubungan antar individu. Hubungan itulah yang nantinya akan mempengaruhi
pengambilan kebijakan atas perbuatan orang tersebut.

Berlaku Seenaknya
Pertentangan kebijakan yang diakibatkan oleh berlaku seenaknya sendiri membuat
pecahnya hubungan antar individu. Berlaku seenaknya sendiri layaknya bos yang harus
dipatuhi segala ucapannya, membuat Paijo sering beradu debat dengan Pak Mantri. Paijo
sering sekali mendapat perlakuan tidak enak dari Pak Mantri. Pak Mantri selalu berbuat
seenaknya sendiri terhadap Paijo. Tugas Paijo adalah menarik karcis dan membersihkan
kantor Pasar, tetapi bagi Pak Mantri Paijo juga harus membereskan burung-burung yang
dipelihara pak mantri. Member makan, menaikkan burung agar mendapat sinar matahari dan
juga menurunkan burung-burung dikala sore menjelang. Sebagaimana yang terdapat pada
kutipan berikut.
Selesai menaruh makanan burung, Paijo masih juga mau pergi. Gelagat itu diketahui
Pak Mantri. “Ke mana?” “Menyapu, Pak.” Pak Mantri berdiri, melihat-lihat, ia
mengingat-ingat. “ada yang terlupa lagi,” katanya. “apa Pak?”

26
“Ini.” Menunjuk sangkar-sangkar burung itu. (P/PK/Bss/01).

Kebijakan berarti rangkaian konsep yang menjadi pedoman dasar dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan. Jika kebijakan sudah tidak ditegakkan maka, seseorang akan merasa
dirugikan dan timbul suatu pertentangan. Dalam hal ini pimpinan memberikan kebijakan
yang tidak sesuai dengan pedoman, maka akan menimbulkan kemalasan bekerja
karyawannya. Pak Mantri berlaku seenaknya kepada Paijo menunjukkan
ketidakprofesionalannya terhadap karyawannya. Timbulnya pertentangan yang diakibatkan
oleh berlaku seenaknya sendiri akan membawa dampak buruk terhadap sikap karywannya.
Hal ini terjadi pada Paijo, ketika ditawari pekerjaan oleh Kasan Ngali. Paijo hampir
menerima tawaran tersebut. Akan tetapi karena perilaku kasan ngali yang berlaku seenaknya
juga dan bersikap sombong maka Paijo pun merasa direndahkan dan tidak menerima tawaran
tersebut.

Tingkah Kasan Ngali yang tambah berulah dengan memasang papan nama pasar di
pasar barunya menimbulkan pertentangan antara pak Mantri dan dirinya. Kasan Ngali
berperilaku seenaknya sendiri dengan member nama pasar barunya sama dengan pasar Pak
Mantri. Tanpa ijin dari Pak Camat dan Pak Mantri, perbuatan Kasan Ngali dianggap
seenaknya sendiri dan tidak tau aturan. Sebagaimana tertuang pada kutipan sebagai berikut.

Ia lewat dan melirik papan nama. Tidak Nampak juga. Lalu diusahakannya pergi agak
jauh, asal masih sempat membaca. Sebenarnya ia bisa langsung ke Kasan Ngali dan
bertanya apa arti itu semua. Tetapi agak tidak enak. Orang itu mesti puya perasaan.
Sekalipun Kasan Ngali selalu mengaku sebagai orang yang blak-blakan, agak segan
juga ia menemui. Kecuali kalau yag butuh iu Kasan Ngali, itu soal lain. Sikap yang
baik ialah sikap yang wajar. Jangan kautunjukkan bahwa kau sangat memerlukan
orang lain…. (P/PK/Bss/02).

Berlaku seenaknya sendiri dapat menimbulkan pertentangan kebijakan. Hal ini


disebabkan oleh tindakan yang dilakukan melenceng dari norma yang berlaku di masyarakat.
Kasan Ngali tidak mengantongi ijin dari Pak Camat maupun Pak Mantri tentang
pembangunan pasar baru miliknya. Hal tersebut merupakan bentuk pertentangan kebijakan.
Keputusan yang diambil kasan ngali adalah keputusan sepihak. Sedangkan dalam tatanan
masyarakat jelas untuk membangun pasar harus melalui prosedur yang berlaku di
masyarakat.

Konsep Pertentangan Sosial dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo

27
Pertantangan sosial merupakan suatu proses sosial yang terjadi antara dua pihak atau
lebih. Dalam hal ini salah satu pihak berupaya untuk menyingkirkan pihak lainnya dengan
cara menghancurkan atau membuatnya tak berdaya. Dalam novel Pasar pertentangan sosial
yang terjadi akibat adanya perubahan sosial dan pembagian kelas sosial dalam masyarakat.
Perbahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat seperti
halnya perubahan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Sedangkan kelas-kelas sosial dibentuk karena adanya stratifikasi sosial dalam
masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan penggolongan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (Sorokin, 1959:11).

Adannya perubahan sosial dan stratifikasi sosial tersebut dapat menimbulkan


pertentangan antar individu maupun antar kelompok. Novel Pasar karya Kuntowijoyo
merupakan salah satu karya sastra yang mengangkat masalah lapisan masyarakat (stratifikasi
sosial) khususnya masyarakat Jawa. Stratifikasi sosial dalam masyarakat Jawa umumnya
terjadi karena adanya perbedaan hak dan kewajiban seseorang. Seperti halnya dalam novel
Pasar, lapisan masyarakat yang terbentuk karena adanya status sosial tinggi dan rendah yaitu
kaum priyayi dan wong cilik. Kaum priyayi merupakan golongan elit yang bekerja sebagai
birokrat, sedangkan wong cilik merupakan golongan rakyat biasa yang terdiri dari petani,
pedagang maupun pesuruh.

Pertentangan Sosial Akibat dari Perubahan Sosial

Kehidupan masyarakat selalu diidentikkan dengan sebuah perubahan. Baik itu


perubahan secara individu maupun dalam kehidupan sosial yang dijalaninya. Banyak sekali
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial tersebut. Salah satunya adalah dengan
semakin berkembangnya teknologi yang semakin maju, akan semakin mendorong pula para
perubahan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat, khususnya di Indonesia. Perubahan
sosial sering diartikan sebagai sebuah dinamika atau kejadian sosial dimana norma sosial,
ciri-ciri sosial, sistem lapisan sosial, maupun kelompok-kelompok sosial yang mengalami
perubahan dalam segala sisi kehidupan. Definisi perubahan sosial biasanya lebih mengacu
kepada sebuah perubahan struktur maupun fungsi yang berlaku dalam suatu kelompok
masyarakat.

Perubahan sosial mencakup perubahan dalam segi struktur dan hubungan antar
masyarakat. Masyarakat yang mengalami perubahan sosial akibat pergerseran budaya
tradisional dan budaya modern. Perubahan sosial yang terjadi dari negatif menjadi positif.

28
Perubahan sosial yang terjadi yaitu lunturnya rasa hormat masyarakat terhadap pemimpin,
lunturnya nilai-nilai kesopanan anak muda kepada orang tua, dan pemimpin yang tidak
bertanggung jawab menunjukkan perubahan sosial yang bersifat negatif. Perubahan-
perubahan tersebut ditimbulkan dengan adanya pertentangan antar individu.

Pertentangan Sosial yang Disebabkan oleh Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial merujuk kepada pengelompokkan orang ke dalam tingkatan atau strata
dalam hierarki secara vertical. Stratifikasi sosial mengkaji posisi atau kedudukan antar orang
atau kelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat (Setiadi & Kolip, 2011:399).
Terbentuknya system pelapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam
proses pertumbuhan masyarakat, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar
suatu tujuan bersama (Soekanto, 2005:229). Stratifikasi dapat dilihat dari berbagai dimensi,
diantaranya yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis atau ras tertentu,
tingkat Pendidikan, pekerjaan, besarnya kekuasaan, kewenangan, status sosial, tempat
tinggal, maupun ekonomi. Dalam struktur masyarakat modern, perbedaan sosial yang
terbentuk dan berkembang di dalam struktur masyarakat pada umumnya bukan lagi tentang
hal yang disebut di atas, melainkan pada dimensi ekonomi, status sosial maupun polotik.
Status didefinisikan sebagai kelompok yang anggotanya memiliki gaya hidup sosial
tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan sosial dan kehormatan sosial tertentu pula.
Secara sederhana, stratifikasi atas dasar status masyarakat dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu kelompok masyarakat yang disegani dan kelompok masyarakat biasa. Kelompok
masyarakat disegani, biasanya, menggunakan pentingnya akar sejarah untuk dijadikan dasar
pembenar kedudukan mereka yang istimewa.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Muchtarom, 1988:3-5) mengahtakan bahwa masyarakat
Jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status, yaitu ndara
(bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang (pedagang) dan wong cilik (rayat kecil). Dalam
hal ini, yang termasuk golongan ndara adalah orang-orang yang memiliki keturunan
bangsawan. Priyayi menempati kedudukan di pemerintahan dan tersusun menurut hierarki
(tata tingkat) birokrasi, mulai dari priyayi rendahan (seperti juru tulis, guru sekolah, pegawai
kantor maupun mantri pasar) sampai priyayi tinggi yang berpangkat tinggi di kota-kota besar.
Stratifikasi sosial yang terdapat dalam novel pasar tergambar pada konflik-konflik
yang digambarkan pengarang melalui tokoh-tokohnya. Pertentangan atau konflik yang terjadi
pada tokoh Pak Mantri dan Paijo yang merupakan pertentanan antara kaun priyayi dan wong
cilik. Pak Mantri selalu menganggap bahwa dirinya adalah seseorang yang harus dihormati.

29
Selayaknya kutipan-kutipan data di atas bahwa Pak Mantri sering melakukan perbuatan
seenaknya sendiri kepada Paijo. Hal itu merupakan bentuk pertentangan yang disebabkan
oleh adanya stratifikasi sosial. Dalam masyarakat Jawa memang terdapat aturan-aturan dalam
hal unggah-ungguh atau sopan santun. Akan tetapi yang dilakukan oleh Pak Mantri terhadap
Paijo merupakan hal yang tidak professional.

Priyayi selalu unggul dibandingkan dengan wong cilik, sehingga perlakuan priyayi
terhadap wong cilik juga dapat seenaknya sendiri. Hal inilah yang membuat adanya batasan
antara priyayi dan wong cilik. Hal yang patut dicatat adalah bahwa priyayi sebagai sebuah
strata sosial, sebagai sebuah elit sosial memiliki keterbukaan untuk dimasuki oleh kalangan
bawah. Ada keterbukaan bagi mobilitas sosial dalam strata ini. Mobilitas sosial adalah
keterbukaan pergerakan naik atau turun dalam strata sosial, baik dalam kelompok kelas
maupun status (Waters and Crook 1990: 165-166).

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pembahasan terhadap penelitian yang berjudul “Pertentangan


Sosial dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo”, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
sebagai berikut.
1. Bentuk pertentangan sosial terdiri dari tiga yakni pertentangan nilai, pertentangan
tujuan dan pertentangan kebijakan. Masing-masing bentuk tersebut memiliki
indikator. Pertama, pertentangan nilai terdiri dari ketidaksopanan dan kesombongan.
Kedua, pertentangan tujuan terdiri dari bersitegang dan pertengkaran mulut. Ketiga,
pertentangan kebijakan terdiri dari prasangka dan berlaku seenaknya sendiri.
2. Pertentangan nilai merupakan Pertentangan nilai merupakan terjadinya perubahan
nilai-nilai yang sudah ada dimasyarakat. Perubahan tersebut mengakibatkan adanya
pertentangan. Pertentangan nilai berarti, adanya ketidakseimbangan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakatnya yang dahulu dengan masyarakat modern.
3. Pertentangan tujuan Pertentangan tujuan adalah konflik yang terjadi antar individu
maupun antar kelompok yang ingin mencapai tujuan yang berbeda. Pertentangan
tujuan ini terjadi pada masyarakat yang memiliki tujuan yang berbeda, sehingga
terjadi bersitegang dan pertengkaran mulut diantara keduanya.
4. Pertentangan kebijakan Pertentangan kebijakan merupakan pertentangan yang
disebabkan oleh munculnya kebijakan yang merugikan orang lain. Munculnya
kebijakan tersebut menyebabkan seseorang dirugikan dan menjadikan tidak

30
seimbangnya tatanan kehidupan seseorang. Bentuk pertentangan kebijakan dapat
berupa prasangka dan berlaku seenaknya sendiri.
5. Pertentangan sosial yang diakibatkan oleh perubahan sosial masyarakat. Perubahan
sosial yang terjadi yaitu lunturnya rasa hormat masyarakat terhadap pemimpin,
lunturnya nilai-nilai kesopanan anak muda kepada orang tua, dan pemimpin yang
tidak bertanggung jawab menunjukkan perubahan sosial yang bersifat negatif.
6. Pertentangan sosial akibat adaya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Adanya kelas-
kelas sosial dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa yaitu priyayi dan wong
cilik.

Rujukan

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Anwar, Wan. 2007. Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.

Basir, indriaty ismail dan moch zuhaili kamal. (2016). Creation of a Combined Liquid
Phenolfomaldehyde Antioxidant-Modifier for Improving Periclase-Carbon Refractory
Life. Internasional Journal of Islamic Thought, 56(6), 644–647.
https://doi.org/10.1007/s11148-016-9905-x

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Ekasiswanto, U. (2013). Pergeseran Makna Priyayi Dalam Novel Para Priyayi Karya Umar
Kayam. Poetika, 1(1), 47–54. https://doi.org/10.22146/poetika.10382

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidayat, A (2016). Lunturnya Budaya Jawa di Era Globalsasi.Imadiklus. Diunduh dari


Https://imadiklus.com/lunturnya-budaya-jawa-di-era-globalisasi/

Koentjaraningrat.1988. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Kuntowijoyo. 2017. Pasar. Yogyakarta: PT. Diva Press.

Lefebvre, Henri. 2015. Marxisme-Seri Panduan. Yogyakarta: Jalasutra.

Lenin, Ilyich Vladimir. 2016. The Teachings of Karl Marx: Pengantar Memahami Karl Marx
dan Pemikirannya. Yogyakarta: Cakrawangsa

Nurgiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity
Press.

31
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Pigome, R. (2011). Pertentangan Kelas di Indonesia dalam Novel Bumi Manusia Karya
Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, Vol.10 No.(2), 108–
126. Retrieved from
http://portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=201261

Putri, L. (2010). Konflik Kelas Sosial dalam Novel Orang-Orang Pulau Karya Giyan. Jurnal
Bahasa Dan Seni, 2(1).

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Soleh, Dwi Rohman. 2016. Etika Jawa dalam Novel La Grande Bore karya NH. Dini. Jurnal
Widyabastra. Volume, 04, no. 2. Des 2016.

Susanto, Agus. Etika Jawa sebagai “Global Ethic” Baru. Prosiding The 5th Internasional
Conference on Indonesian Studies: “Ethnicty and Globalization”.

Suseno, Frans Magnis. 2000. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Syafaat, M. H. (2017). Teori Kelas Karl Marx Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari (
Kajian Sosiologi Sastra ) Abstrak. Bapala, 4(2), 1–14.

Untoro, R. (2017). Priyayi Dan Kawula Dalam Pasar Karya Kuntowijoyo (Priyayi And
Kawula In The Novel Entitled Pasar Written By Kuntowijoyo). Metasastra: Jurnal
Penelitian Sastra, 5(1), 83. Https://Doi.Org/10.26610/Metasastra.2012.V5i1.83-91.

Wardani, Fivien Lutfhia dan Zahrotul Uyun. Ngajeni Wong Liyo: “Menghormti Orang Lebih
Tua Pada Remaja Etnis Jawa. Indegeneous. Jurnal Ilmiah Psikologi vol. 2 no. 2 th. 2017.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melanie Budianta).
Jakarta: Gramedia.

Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.

32
Lampiran 1
PERTENTANGAN SOSIAL DALAM NOVEL PASAR KARYA KUNTOWIJOYO
Korpus Data Bentuk Pertentangan Sosial dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo

1.1 Pertentangan Nilai


No. Data Kode Data Deskripsi Interpretasi
Sopan Santun
1. “Pak,” seru Paijo dari kejauhan. “Cuma P/PN/SS/01 Dalam struktural fungsional di Ketidaksopanan yang dilakukan
menabung saja.” sebuah pasar, Mantri pasar oleh tokoh Paijo membuat geram
Itu disesalkan Pak Mantri. Beberapa merupakan pimpinan paling tinggi. Pak Mantri karena menimbulkan
kali sudah, tukang karcis itu selalu lupa Tokoh Paijo dengan lantangnya pertentangan nilai yakni tidak
untuk tidak berteriak begitu. Seperti memanggil atasannya, padahal bias sopan. Nilai kesopanan sangat
pada orang tuli saja. dilakukan dengan mendekat dan dijunjung tinggi khususnya oleh
“Tidak bicara-bicara? Ke sini. bicara dengan sopan. masyarakat Jawa. Dalam hal ini
Jangan dari situ. Itu tak sopan. Jo, terjadi pertentangan nilai
apa dia bilang pada Siti Zaitun?” kesopanan.
“tidak ada.” (Kuntowijoyo, 2017:97)
Berlaku Sombong
2. “Pekerjaanmu, Jo.” P/PN/Bs/01 Kasan Ngali merupakan seseorang Kesombongan Kasan Ngali
“Pekerjaan apa?” pedagang kapitalis. Kaya raya. membuat Pak Mantri dan Paijo
“Karcis itu, bagaimana?” Kasan Ngali merendahkan tokoh geram. Pertentangan niali perihal
“Tidak ada harapan.” Paijo dengan menyombongkan kesombongan yang tidak
“itulah. Engkau mesti yakin. Swasta pekerjaannya sebagai pegawai terdapat dalam nilai-nilai yang
itu lebih benefid dari usaha swasta bukan pegawai pemerintah. dianut oleh masyarakat Jawa.
pemeintah. Sebab kita menyadari
bahwa langganan itu raja. Lihatlah
bagaimana aku bekerja. Menjadi
pedagang bukan menjadi raja.

33
Tetapi pelayan. Disini aku suka
pakai kolor. Itu mengunungkan
pekerjaan. Pedagang gaplek bukan
pegawai kantor. Lihat saja, pasar
yang kubuka itu!” (Kuntowijoyo,
2007:113)

1.2 Pertentangan Tujuan


No. Data Kode Data Deskripsi Interpretasi
Bersitegang
1 “Jo, mana makanan burung-burung Paijo, si tukang karcis yang Tokoh Pak Mantri dan Paijo
ini?” Paijo sedang menyapu dekat merangkap sebagai pegawai sering beradu pendapat tentang
jendela. “Habis, Pak.” “Iya, aku tahu serabutan Pak Mantri. Mengerjakan tujuan yang ingin mereka capai.
sudah habis. Artiya carilah makanan.” apapun yang diperintahkan Pak Beradu debat tersebut
“tetapi, Pak. Tak ada lagi yang mau Mantri. Sekalipun itu tugas pribadi menghasilkan suasana yang
member.” “persetan. Dikira apa pasar dari Pak Mantri. Salah satunya tegang sehingga menimbulkan
ini. Siapa yang tak mau kasih?” “Ya, adalah mengeluarkan burung-burung pertentangan tujuan diantara
yang punya makanan.” “Lalu apa peliharaan Pak Mantri yang keduanya.
kaubilang? Katakana, mereka tak diletakkan di kantor pasar.
berjualan di pasar kakeknya. Tetapi di
sini. Keterlaluan!” “saya malu Pak.”
“Tobat. Jadi mau kau biarkan burung-
burung ini mati ya?” “seperti pengeis
saja, mereka bilang tak mau beri.”
“Jahat. Tidak berperi –mm- kah kau
ini? Kita mesti tahu. Orang berbudi
ialah orang yang bertanggung jawab…

34
(Kuntowijoyo, 2007:11)
P/PT/Bst/01
Pertengkaran Mulut
2 “He!” ia menegur. “ini kambing siapa?” P/PT/PM/01 Pak Mantri menghentikan pedagang Suasana pertengkaran mulut
menghentikan dengan tangan. kambing yang tidak mengkui bahwa menimbulkan pertentangan
“saya Pak.” Terus saja menggiring dia berdagang kambing dengan antara pedagang dan mantra
kambing itu. alasan tidak mau ditarik karcis. Pasar.
“aku mantri pasar, tahu?”
“Ya, Pak.”
“Orang mana kau?”
Tanon.” Itu nama kecamatan jauh d
sebelah timur.
“Sudah beli karcis?”
“Karcis apa?”
“kambing-kambing ini?”
“Saya tidak menjual kambing Pak.”
“lau untuk apa kambing ini digiring.
Begitu jauh dari Tanon?”
“Hanya mengembala Pak.”
“Di pasar? Mengemballa kambing?
Pada hari pasar pula? Akalmu tidak
jalan, he. Mengembala itu di lapanagan,
bukan di pasar begini. “Iya saya mau ke
lapangan”
“tidak bisa” (Kuntowijoyo, 2007:90-91)

35
1.3 Pertentangan Tujuan
No. Data Kode Data Deskripsi Interpretasi
Prasangka
19. Muka Pak Mantri tegak. Ia tak percaya P/PK/P/01 Pak mantra menuduh pegawai bank Kurangnya bukti terhadap
pendengarannya. Siti Zaitun tahu dan sebagai pembunuh burung-burung tinkdakan yang dilakukan oleh
ia mengulang lagi: “Burung-burung dara yang tinggal di pasar. orang lain membuat adanya
dara itu akan membunuh bank ku.” Pak prasangka sesame individu.
Mantri terhenyak: “Jadi yang
membunuh burung itu?”
“Tidak. Bukan saya, Pak.”
“siapa kalau begitu?”
“Pak Mantri menuduh saya?”
“Habis!” (Kuntowijoyo, 2007:56)
Berlaku Seenaknya Sendiri
26. Selesai menaruh makanan burung, P/PK/Bss/01 Tugas Paijo adalah membersihkan kebijakan berarti rangkaian
Paijo masih juga mau pergi. Gelagat itu kantor sekaligus menarik karcis para konsep yang menjadi pedoman
diketahui Pak Mantri. “Ke mana?” pedagang yang berjualan di pasar. dasar dalam pelaksanaan suatu
“Menyapu, Pak.” Pak Mantri berdiri, Tetapi tugas Paijo bertambah pekerjaan. Jika kebijakan sudah
melihat-lihat, ia mengingat-ingat. “ada dengan mengurus burung-burung tidak ditegakkan maka,
yang terlupa lagi,” katanya. “apa Pak?” Pak Mantri. seseorang akan merasa dirugikan
“Ini.” Menunjuk sangkar-sangkar dan timbul suatu pertentanga.
burung itu. (Kuntowijoyo, 2007:13) Dalam hal ini pimpinan
memberikan kebijakan yang
tidak sesuai dengan pedoman,
maka akan menimbulkan
kemalasan bekerja karyawannya.

36

Anda mungkin juga menyukai