BAB 1
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang ditemukan pada
orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi. Epilepsi mengenai sekitar 1% dari
populasi warga Asia, sekitar ± 15 juta penderita epilepsi. Sekitar 80% dari seluruh
kasus dengan pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahunnya. Prevalensi epilepsi
di Indonesia 5-10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang
per tahun. Rerata usia pasien adalah usia produktif. Menurut penelitian Tendean
tahun 2014, golongan usia yang paling sering terkena epilepsi adalah golongan
usia 15-24 tahun (34,7%), sedangkan golongan usia 65-74 tahun tidak ditemukan.
epilepsi dapat hidup secara normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal.
Terapi penyandang epilepsi terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologis
tergantung pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang diberikan. Oleh
karena itu, sebagai dokter layanan primer berperan penting dalam memantau
dideritanya8.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Konseptual
a. Epilepsi:
b. Bangkitan epileptik:
abnormal dan berlebihan di otak. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-
ataupun psikis9,10.
berikut:
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural dan
Bangkitan reflex adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
somatomotor9.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi epilepsi didunia diduga terdapat sekitar 50 juta orang. Di
Indonesia 5-10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per
tahun. Prevalensi di negara sedang berkembang lebih tinggi dari pada negara
maju. Prevalensi penderita epilepsi dinegara maju berkisar antara 4-7 kasus per
berkisar antara 5-74 kasus per 1000 orang. Daerah pedalaman memiliki angka
prevalensi lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan yaitu 15,4 kasus per 1000
orang pada daerah pedalaman dan 10,3 kasus per 1000 orang pada daerah
perkotaan1,5,9.
Prevalensi epilepsi pada negara maju lebih tinggi didapatkan pada usia
lanjut (>65 tahun), sementara prevalensi epilepsi pada negara berkembang lebih
tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan
penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata di
negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-
2013, prevalensi epilepsi terbanyak terjadi pada usia 1-5 tahun (45,63%) dan
(28,16%)7,9.
2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE
diketahui12.
demam tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
6
kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan,
gizi. Menurut penelitian Setianingsih pada tahun 2012, faktor risiko terjadinya
epilepsi yang yang paling berpengaruh adalah riwayat kejang demam kompleks
Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer ± 4%. Bila
orang tua dan salah satu anknya sama-sama menderita epilepsi primer, maka anak
yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%. Kejang demam kompleks
merupakan kejang demam dengan salah satu ciri berikut yaitu: (1) lama kejang
>15 menit, (2) kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial, (3) berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam.
Pasca trauma kelahiran juga merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi. Faktor
lama, ekstraksi forceps, bayi dengan berat badan lahir rendah, prematur,
2.5 Patogenesis
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
7
inhibisiyang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika
hasil pengaruh kedua jenis melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls.
depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik15,16.
membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari
membran dan melepaskan muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepasnya muatan listrik dengan jumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan kejang. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa
beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi
ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar tempat epileptik. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
2.6 Klasifikasi
Pada tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE)
1. Bangkitan Parsial/Fokal
Bangkitan parsial atau bangkitan fokal bermula dari struktur kortikal atau
subkortikal dari satu hemisfer, namun dapat menyebar ke area lain, baik ipsilateral
menjadi umum12.
sederhana, yaitu9,12:
c) Versif
d) Postural
sederhana).
a) Somatosensoris
b) Visual
9
c) Auditorius
d) Olfaktorius
e) Gustatorius
f) Vertigo
a) Disfasia
b) Demensia
c) Kognitif
d) Afektif
e) Ilusi
f) Halusinasi
awal bangkitan
10
Bangkitan parsial menjadi umum ditandai dengan bangkitan fokal yang diikuti
bangkitan umum. Bangkitan umum dapat berbentuk tonik, klonik, atau tonik-
klonik. Gambaran EEG iktal menunjukan cetusan lokal dimulai dari korteks
gejala awal manifestasi kejang dan gejala motorik yang tampak bersifat bilateral.
Beberapa tipe bangkitan umum ditandai dengan gejala dan gerakan motorik yang
sementara. Subkelas bangkitan lena terdiri atas lena tipikal, dan atipikal.
kesadaran dan gambaran EEG khas berupa gelombang paku-ombak atau paku
mata, alis, dan mulut), komponen atonik (hilangnya tonus otot mendadak yang
absence)9,12:
5) Dengan automatisme
dalam kombinasi.
bentuk tipikal yang terjadi secara cepat dan mendadak). Gambaran EEG
b. Bangkitan Mioklonik
Bangkitan mioklonik adalah kontraksi otot tunggal atau multiple yang terjadi
secara tiba-tiba, cepat (100 milidetik), dengan topografi yang bervariasi (aksial,
menyertai atonia12.
c. Bangkitan Klonik
otot dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta
Gambaran EEG tipikal pada bangkitan klonik adalah adanya kompleks paku-
d. Bangkitan Tonik
Bangkitan tonik adalah bangkitan yang ditandai dengan kontraksi otot yang
tubuh dapat terlihat kaku. Bangkitan tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila
e. Bangkitan Tonik-klonik
dalam klasifikasi ini adalah bangkitan tonik-klonik umum yang sering disebut
diikuti dengan kontraksi klonik bilateral otot-otot somatik. bangkitan jenis ini
f. Bangkitan Atonik
Bangkitan atonik adalah bangkitan yang ditandai dengan hilangnya tonus otot
tanpa didahului kejang mioklonik atau tonik yang berlangsung ≥1-2 detik,
bangun-tidur).
I. Fokal/Partial(localized related)
2. Simtomatik
(Kojenikow’s Syndrome).
3. Kriptogenik
15
h. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.
b. Sindrom Lennox-Gastaut.
3. Simtomatik
b. Sindrom spesifik.
III. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan neonatal.
a. Kejang demam.
(isolated).
2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
ditunjukan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita
1. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks
yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu seperti stimulasi
pemeriksaan EEG).
dari anamnesis yang mencakup auto- dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi
mata.
Selama bangkitan/iktal :
paresis.
Dosis OAE
Kadar OAEdalamplasma
KombinasiterapiOAE
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-
lain.
klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan
keganasan9,10.
b. Pemeriksaan neurologis
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Hasil
Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
lokalisasi.
Pemeriksaan Penunjang
dengan bangkitan9,10.
kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia
lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila
ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hematologik
OAE
samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping
OAE9.
steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
atau bila terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat
23
lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat
banding dari kejang epilepsi adalah pingsan (syncope), reaksi konversi, bangkitan
panik (panic disorders), aritmia dan gerakan movement disorder. Tabel 2.1 akan
yang menyerupainya9.
24
Hiperventilasi
Non-epileptic attack
Kejang epileptic Syncope Aritmia cardiac atau serangan
disorder
panik
Riwayat penyakit dahulu.
Riwayat:
Trauma kepala, alkohol, ketergantungan Menggunakan obat Wanita (3:1) Penyakit jantung Ansietas
obat, kejang demam yang berkepanjangan, antihipertensi, ketergantungan seksual congenital
meningitis, encephalitis, stroke, riwayat antidepresan (terutama dan fisik
keluarga (+) trisiklik)
Faktor pencetus saat serangan
- Sleep deprivation - Perubahan posisi - Stress Olahraga Situasi sosial
- Putus alcohol - Prosedur medis - Distress social
- Stimulasi fotik - Berdiri lama
- Gerakan leher (carotis
baroreseptor)
Karakter klinis menjelang serangan
Sterotipik, paroksismal (detik), bisa - Lightheadedness Gejala awal tidak khas Palpitasi Ketakutan,
disertai aura - Gejala visual perasaan tidak
- Gelap, kabur realistis, sulit
bernafas,
kesemutan
25
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas
hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan
tujuannya adalah “bebas bangkitan, tanpa efek samping”. Untuk tercapinya tujuan
frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal,
tujuan pengobatan
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
lahan. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua
OAE harus tetap diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua OAE
7. OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE
pertama.
tua)
Myclonic Epilepsy)
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek
samping OAE, profil farmakologi, dan interaksi antar OAE. Berikut pembagian
Level of confidence :
A : Efektif sebagai monoterapi
B : Sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
C : Mungkin efektif sebagai monoterapi
D : Berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi
31
Waktu Waktu
Dosis
Dosis Awal Jumlah Dosis Paruh Tercapainya
OAE Rumatan Titrasi OAE
(Mg/Hari) Per Hari Plasma Steady State
(Mg/Hari)
(Jam) (Hari)
2-3 x (untuk Mulai 100/200 mg/hr ↑ sampai target dalam 1-
Carbamazepin 400-600 400-1600 15-25 2-7
yang CR 2x) 4 minggu
Mulai 100 mg/hr ↑ sampai target dalam 3-7
Phenytoin 200-300 200-400 1-2 x 10-80 3-15
hari
2-3 x (untuk yg
Valproic Acid 500-1000 500-2500 Mulai 500 mg/hr ↑ bila perlu setelah 7 hari 12-18 2-4
CR 1-2 x)
Mulai 30-50 mg malam hari ↑ bila perlu setelah
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170 8-30
10-15 hari
Clonazepam 1 4 1/2 20-60 2-10
Mulai 10 mg/hr bila perlu ↑ sampai 20 mg/hr
Clobazam 10 10-30 1-2 x setelah 1-2 minggu 10-30 2-6
kekambuhan pada 60% pasien. Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap
dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. Dalam hal penghentian
OAE, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
dihentikan9,10.
3. Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan
2. Epilepsi simtomatik.
sentro temporal, 5-25% pada epilepsy lena masa anak kecil, 25-75%,
36
lebih kecil pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5
mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis (baik sebagai
1. Kombinasi OAE
3. Terapi bedah
yaitu:
1. Stimulasi N.Vagus
umum.
3. Diet ketogenik
4. Intervensi Psikologi
Relaksasi,behavioralcognitivetherapy, danbiofeedback9.
Tabel 2.6 Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy resisten
OAE9
Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproat + Etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + Sodium valproat Bangkitan Parsial/Kompleks
Sodium Valproat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/ Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/ Bangkitan Umum
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan di antara bangkitan-bangkitan
konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-
tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam9,10.
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
serial/bangkitan konvulsi.
39
Pilihan obat tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun
OAE yang digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila
rumatan dapat diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat
dalam serum. OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral.
Bila pasien sudah bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar obat
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium,
magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obata ntiepilepsi.
Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab status
epileptikus tidakjelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis,
bisa meliputi pencitraan otak dan pungsi lumbal.
Pengawasan
Observasi status neurologis,tanda vital, ECG, biokimia, gas darah,
pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas
ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli neurologi.
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter.
Pertimbangkan kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada
status epileptikus konvulsi frefrakter, tujuan utama adalah supresi
aktivitas epileptic pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah
munculnya pola burst suppression.
2.10 Prognosis
Prognosis epilepsi dapat diklasifikasikan berdasar kelompok prognosis,
yaitu sangat baik, baik, bergantung obat antiepilepsi (OAE), dan buruk. Kelompok
prognosis sangat baik ditemukan pada 20%-30% dari semua orang yang
biasanya terkontrol dengan baik dengan OAE dan ketika remisi tercapai sifatnya
42
tergantung OAE terdapat pada 10%-20% kasus, kejang dapat ditekan dan
prognosis buruk terdapat pada 10%-20% kasus epilepsi, kejang sulit diatasi
obat tunggal juga lebih bernilai ekonomis. Dengan terapi yang efektif, 80%
merupakan petanda prognosis yang baik. Jika kejang tidak terkontrol di tahun
pertama pengobatan setelah didiagnosis, hanya 60% pasien yang mencapai remisi.
dan prognosis epilepsi. Menurut penelitian Triono pada tahun 2014, jumlah
bangkitan kejang sering (>10kali) yang terjadi sebelum pasien mendapat terapi
OAE dan adanya kelainan neurologis penyerta merupakan faktor prognostik yang
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : ERK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 37 tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Larantuka
Agama : Katolik
Alamat : Ds. Ilegerong, Kec. Titihena Larantuka
Pekerjaan : Aparat desa
No. RM : 239559
Tanggal MRS : 10 Juni 2019
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juni 2019
Tanggal KRS : 13 Juni 2019
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: kejang lebih dari 10 kali sejak 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan: penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS
Kronologi:
Pasien laki-laki berumur 37 tahun, merupakan pasien rujukan dari
PKM Lewolaga dengan diagnosa klinis obs epilepsy ec meningitis, datang
ke UGD tanggal 10 Juni 2019 jam 12.30 dengan keluhan utama kejang
berulang lebih dari 10 kali sejak ± 2 hari SMRS dan terjadi penurunan
kesadaran sejak ± 1 hari SMRS.
Preictal: Tidak ada perubahan perilaku sebelum kejang, perasaan lapar,
berkeringat, mengantuk, dll.
Ictal: Sesaat sebelum kejang dimulai biasanya pasien menoleh ke
kanan/kiri. Pasien tidak mendengar suara-suara, mencium bau-bau aneh
44
atau melihat sesuatu secara sekilas sesaat sebelum kejang. Durasi kejang ±
5-10 menit, posisi saat kejang: terkadang tangan kaku dan menghentak-
hentak, mata mendelik ke atas, ada busa/air liur yang keluar, mengompol
(+), berkeringat (+), lidah dan pipi bagian dalam tergigit (+). Pada saat
kejang berlangsung pasien tidak sadar, dan saat setelah kejang pasien tidak
sadar.. Muntah (-). Kejang biasanya terjadi mendadak saat istirahat
maupun aktivitas tanpa adanya provokasi.
Post ictal: Pasien biasanya kehilangan ingatannya sesaat setelah kejang
namun berangsur-angsur membaik. Pasien sempat mengeluhkan sakit
kepala sebelum adanya penurunan kesadaran.
Riwayat penyakit sebelumnya: Ada riwayat batuk pilek ±3 hari sebelum
kejang terjadi. Kejadian ini sudah terjadi beberapa kali. Kejadian kejang
pertama dimulai pada bulan Maret 2019, kejang yang terjadi ± 5-6 kali,
juga diawali dengan riwayat batuk, pilek dan demam ±1 minggu sebelum
kejang. Pasien sempat mendapatkan pengobatan untuk kejangnya
sebelumnya, tetapi terjadi putus obat selama 5 hari, dan kemudian terjadi
kejang-kejang berikutnya. Riwayat kejang demam sewaktu kecil
disangkal.
Riwayat trauma: keluarga pasien mengatakan pasien sering terjatuh dari
motor akibat mabuk dan kepala pasien pernah dihantam dengan kursi pada
bulan Agustus 2018.
Riwayat keluarga: Riwayat keluarga yang pernah kejang disangkal.
Riwayat social: Riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+). Sehari-hari
pasien bekerja sebagai aparat desa. Pasien sudah menikah dan memiliki 1
orang anak.
- TD : 121/83 mmHg
- Nadi : 82 x/menit, regular dan kuat angkat
- Pernapasan: 18 x/menit
- SpO2 : 100%
- Suhu : 36 ºC
Kepala : dalam batas normal, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemi (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : tidak dievaluasi
Mulut : mukosa bibir lembab, terdapat luka dibagian
lateral lidah (akibat
tergigit saat kejang).
Leher : tidak dievaluasi
Thoraks/pulmo : tidak dievaluasi
Jantung : tidak dievaluasi
Abdomen : tidak dievaluasi
Ekstremitas :
Superior : - Edema :-/-
- Sianosis :-/-
- Akral : hangat
- Sensoris : tidak dievaluasi
Inferior : - Edema :-/-
- Sianosis :-/-
- Akral : hangat
- Sensoris : tidak dievaluasi
- Brudzinski 3 : -
- Brudzinski 4 : -
2. Nervus Cranialis
a. Nervus Olfaktorius (N. I)
- Subyektif : tidak dievaluasi
- Obtektif : tidak dievaluasi
b. Nervus Opticus (N. II)
- Visus : tidak dievaluasi
- Kampus : tidak dievaluasi
- Hemianopsia : tidak dievaluasi
- Melihat warna : tidak dievaluasi
- Skotoma : tidak dievaluasi
- Fundus : tidak dievaluasi
c. Nervus Occulomotoris (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV), Nervus
Abducens (N. VI)
- Kedudukan bola mata : di tengah dan setangkup
- Pergerakan bola mata : ke segala arah
- Nistagmus : tidak terdapat nistagmus
- Celah mata : tidak ada celah
- Ptosis : tidak ada
- Pupil : pupil bentuk bulat, ukuran 3mm/3mm,
isokor
- Refleks pupil :
Refleks cahaya langsung : (+) / (+)
Refleks cahaya tidak langsung: (+) / (+)
d. Nervus Trigeminus (N. V)
- Motorik : tidak dievaluasi
- Sensibilitas : tidak dievaluasi
- Refleks kornea : tidak dievaluasi
- Refleks bersin : tidak dievaluasi
- Refleks maseter : tidak dievaluasi
47
3.7 Follow Up
12 Juni 2019
S: tidak ada kejang, pasien batuk sesekali, sulit tidur pada malam hari
51
13 Juni 2019
S: tidak ada kejang, pasien batuk sesekali, sulit tidur pada malam hari (hari
ke 2)
O: GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
TD : 130/88 mmHg
HR : 87x/menit, regular dan kuat angkat
SpO2 : 96%
Suhu : 36,4 ºC
R. Meningeal : (-)
52
3.8 Resume
Pasien laki-laki berumur 37 tahun, merupakan pasien rujukan dari
PKM Lewolaga dengan diagnosa klinis obs epilepsy ec meningitis, datang
ke UGD tanggal 10 Juni 2019 jam 12.30 dengan keluhan utama kejang
berulang lebih dari 10 kali sejak ± 2 hari SMRS dan terjadi penurunan
kesadaran sejak ± 1 hari SMRS.
Sesaat sebelum kejang dimulai biasanya pasien menoleh ke
kanan/kiri. Durasi kejang ± 5-10 menit, posisi saat kejang: terkadang
tangan kaku dan menghentak-hentak, mata mendelik ke atas, ada busa/air
liur yang keluar, mengompol (+), berkeringat (+), lidah dan pipi bagian
dalam tergigit (+). Pada saat kejang berlangsung pasien tidak sadar, dan
saat setelah kejang pasien tidak sadar.. Muntah (-). Kejang biasanya terjadi
mendadak saat istirahat maupun aktivitas tanpa adanya provokasi. Pasien
biasanya kehilangan ingatannya sesaat setelah kejang namun berangsur-
53
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada kasus ini diketahui pasien berumur 37 tahun dan berjenis kelamin
laki-laki. Menurut Center for Disease and Prevention (CDC) pada tahun 2010 di
AS, epilepsy mempengaruhi 2,5 juta orang. Survey dari dokter, pelaporan diri,
dan penelitian dari campuran beberapa sumber ini, disimpulkan bahwa
kejadiandan prevalensi kejang dan epilepsy, kejadian kejang epilepsy pertama
terjadi pada 300.000 orang per tahunnya, 120.000 orang berusia >18 tahun. Laki-
laki sedikit lebih berisiko daripada perempuan.
Pasien datang dengan keluhan utama kejang >10 kali sejak 2 hari SMRS
(8 Juni 2019) disertai penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS (9 Juni 2019).
Keluhan dirasakan terjadi secara mendadak tanpa adanya provokasi. Saat kejang,
pasien tidak sadar, ekstremitas superior dan inferior kaku dan terhentak-hentak,
bola mata mendelik ke atas, keluar busa/ air liur, mengompol dan berkeringat.
Dasar serangan epilepsy adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi diantaranya:
glutamate, aspartat, norepinefrin, dan setilkolin, sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika
hasil pengaruh kedua jenis melepaskan muatan listrik terjadi transmisi impuls.
Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu
dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah:
- Phenytoin 3x100 mg
- Asam folat 1x1
55
Tujuan pemberian phenytoin selain sebagai obat lini pertama adalah untuk
memblokade pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion
Na+ yang tersisa maupun aliran ion Na+ yang mengalir selama penyebaran
potensial aksi, selain itu fenitoin memblokade dan mencegah potensial pos
tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan maksimal dan mengurangi
penyebaran serangan. Dosis phenytoin yang diberikan sudah sesuai dengan dosis
awal, yaitu 200-300 mg/ hari. Tujuan pemberian asam folat dimaksudkan untuk
mempertahankan fungsi neuron di otak.
56
DAFTAR PUSTAKA
15. Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umun. Jakarta: Dian Rakyat;
2007.
16. Hasanuddin U. Bahan Ajar Kejang. 1-17 p.
17. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. v. Vol. v. Surabaya: Pusat
Penerbit dan Percetakan Unair (AUP); 2014. 96 p.
18. Triono A, Herini ES. Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada
Anak dengan Monoterapi. 2014;16(4):4–9.