Anda di halaman 1dari 56

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi berasal dari kata Yunani yaitu epilapsia yang berarti serangan.

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang ditemukan pada

semua umur yang dapat menyebabkan kecacatan serta kematian1. Epilepsi

merupakan suatu keadaan yang ditandaidengan adanya bangkitan yang

terjadisecara berulang akibat dari gangguanfungsi otak yang disebabkan

adanyamuatan listrik yang abnormal pada neuron-neuronotak2. Epilepsi adalah

suatu sindrom yang dapat ditimbulkan oleh bermacam penyakit3.

Menurut World Health Organization (2015), diperkirakan terdapat 50 juta

orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi. Epilepsi mengenai sekitar 1% dari

populasi warga Asia, sekitar ± 15 juta penderita epilepsi. Sekitar 80% dari seluruh

populasi dunia yang mengidap epilepsi tinggal didaerah dengan pendapatan

perkapita menengah dan rendah. Besar populasi penderita epilepsi yang

mendapatkan penanganan hanya sekitar 10-25%5,6.

Di Indonesia kasus epilepsi berjumlah paling sedikit 700.000-1.400.000

kasus dengan pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahunnya. Prevalensi epilepsi

di Indonesia 5-10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang

per tahun. Rerata usia pasien adalah usia produktif. Menurut penelitian Tendean

tahun 2014, golongan usia yang paling sering terkena epilepsi adalah golongan

usia 15-24 tahun (34,7%), sedangkan golongan usia 65-74 tahun tidak ditemukan.

Berdasarkan jenis kelamin, epilepsi lebih sering mengenai laki-laki (56,3%)

dibandingkan perempuan (43,7%)1,7.


2

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas

bangkitan dengan efek samping seminimal mungkin sehingga penyandang

epilepsi dapat hidup secara normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal.

Terapi penyandang epilepsi terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologis

(edukasi dan konseling). Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat

tergantung pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang diberikan. Oleh

karena itu, sebagai dokter layanan primer berperan penting dalam memantau

perkembangan terapi serta memberikan edukasi tentang penyakit yang

dideritanya8.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Konseptual
a. Epilepsi:

Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan

bangkitan epilepsi secara terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya

minimal 1 kali bangkitan epilepsi 9 .

b. Bangkitan epileptik:

Manifestasi klinik yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang

abnormal dan berlebihan di otak. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-

tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang strereotipik, dapat

menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom,

ataupun psikis9,10.

2.1.2 Definisi Operasional / Definisi Praktis


Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala

berikut:

a. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks

dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.

b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan

kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama

dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan

reflex (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian


4

stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural dan

epileptic form dischargers).

c. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi11.

Bangkitan reflex adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor

pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan

somatomotor9.

2.2 Epidemiologi
Prevalensi epilepsi didunia diduga terdapat sekitar 50 juta orang. Di

Indonesia belum terdapat data pasti mengenai penyandang epilepsi, tetapi

diperkirakan terdapat 1-2 juta penyandang epilepsi. Prevalensi epilepsi di

Indonesia 5-10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per

tahun. Prevalensi di negara sedang berkembang lebih tinggi dari pada negara

maju. Prevalensi penderita epilepsi dinegara maju berkisar antara 4-7 kasus per

1000 orang, sedangkan prevalensi penderita epilepsi dinegara berkembang

berkisar antara 5-74 kasus per 1000 orang. Daerah pedalaman memiliki angka

prevalensi lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan yaitu 15,4 kasus per 1000

orang pada daerah pedalaman dan 10,3 kasus per 1000 orang pada daerah

perkotaan1,5,9.

Prevalensi epilepsi pada negara maju lebih tinggi didapatkan pada usia

lanjut (>65 tahun), sementara prevalensi epilepsi pada negara berkembang lebih

tinggi pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan

penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata di

negara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-

negara Asia, dilaporkan laki-laki prevalensinya lebih tinggi dibandingkan


5

perempuan. Berdasarkan penelitian Andrianti di RSUD Dr. Soetomo pada tahun

2013, prevalensi epilepsi terbanyak terjadi pada usia 1-5 tahun (45,63%) dan

prevalensi epilepsi pada laki-laki (71,84%) lebih tinggi dibandingkan perempuan

(28,16%)7,9.

2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE

2010, mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau kriptogenik, menjadi

genetik, struktural/metabolik, dan tidak diketahui.

a. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang diketahui/diduga

disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi

utama. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain :

 Kelainan kromosom : sindrom fragile X, sindrom Rett.

 Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum

awitan lambat dan leukoensefalopati.

b. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan

struktural/metabolik yang menyebabkan seseorang beresiko mengalami

epilepsi, contohnya: epilepsi setelah sebelumnya mengalami stroke,

trauma, infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis

dengan kelainan pada struktur otak, dan lainnya.

c. Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum

diketahui12.

2.4 Faktor Risiko


Faktor resiko epilepsi antara lain herediter, asfiksia neonatorium, riwayat

demam tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
6

belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma

kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan,

riwayat intoksikasi obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada

masa anak-anak (campak, mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan

gizi. Menurut penelitian Setianingsih pada tahun 2012, faktor risiko terjadinya

epilepsi yang yang paling berpengaruh adalah riwayat kejang demam kompleks

dan riwayat trauma kepala13,14.

Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer ± 4%. Bila

orang tua dan salah satu anknya sama-sama menderita epilepsi primer, maka anak

yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%. Kejang demam kompleks

merupakan kejang demam dengan salah satu ciri berikut yaitu: (1) lama kejang

>15 menit, (2) kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang

didahului kejang parsial, (3) berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam.

Pasca trauma kelahiran juga merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi. Faktor

predisposisi trauma lahir antara lain: primigravida, disproporsi sefalopelvik (ibu

pendek, kelainan rongga panggul), presentasi bayi abnormal, persalinan yang

lama, ekstraksi forceps, bayi dengan berat badan lahir rendah, prematur,

makrosomia, ukuran kepala janin besar, dan anomali janin14.

2.5 Patogenesis
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps.Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter

eksitasi yang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter

inhibisi (inhibitifterhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang

menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
7

melepaskan listrik. Neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi diantaranya adalah

glutamat, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter

inhibisiyang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika

hasil pengaruh kedua jenis melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls.

Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu

dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan

depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik15,16.

Oleh berbagai faktor seperti keadaan patologik, dapat mengubah fungsi

membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari

ruangan ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi

membran dan melepaskan muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.

Lepasnya muatan listrik dengan jumlah besar neuron secara sinkron merupakan

dasar suatu serangan kejang. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa

beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi

ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar tempat epileptik. Selain itu juga

sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron

tidak terus-menerus melepaskan muatan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan

suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya

zat-zat yang penting untuk fungsi otak15,16.

2.6 Klasifikasi
Pada tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE)

mengklasifikasikan epilepsi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi antara lain9,10:


8

1. Bangkitan Parsial/Fokal

Bangkitan parsial atau bangkitan fokal bermula dari struktur kortikal atau

subkortikal dari satu hemisfer, namun dapat menyebar ke area lain, baik ipsilateral

maupun kontralateral. Bangkitan parsial dibagi menjadi tiga kategori, yaitu

bangkitan parsial sederhana, bangkitan parsial kompleks dan bangkitan parsial

menjadi umum12.

a. Bangkitan Parsial Sederhana

Bangkitan parsial sederhana adalah bangkitan fokal tanpa disertai gangguan

kesadaran. Gambaran EEG iktal akan menunjukan gelombang epileptiform

fokal kontralateral dimulai dari area korteks yang terpengaruh. Bangkitan

parsial sederhana ini dapat menunjukan kejang disertai gejala motorik,

somatosensorik, autonom, atau perilaku. Berikut pembagian bangkitan parsial

sederhana, yaitu9,12:

1) Dengan gejala motorik

a) Fokal motorik tidak menjalar

b) Fokal motorik menjalar (epilepsi Jackson)

c) Versif

d) Postural

e) Disertai gangguan fonasi

2) Dengan gejala somatosensorik atau sensoris special (halusinasi

sederhana).

a) Somatosensoris

b) Visual
9

c) Auditorius

d) Olfaktorius

e) Gustatorius

f) Vertigo

3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf autonom (sensasi epigastrium,

pucat, berkeringat, piloereksi, dilatasi pupil).

4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur).

a) Disfasia

b) Demensia

c) Kognitif

d) Afektif

e) Ilusi

f) Halusinasi

b. Bangkitan Parsial Kompleks

Bangkitan parsial kompleks adalah bangkitan fokal disertai hilang atau

perubahan kesadaran. Gambaran EEG iktal menunjukan adanya cetusan

unilateral atau terkadang bilateral tidak bersamaan. Bangkitan parsial kompleks

dapat mengambil salah satu dari dua menifestasi di bawah ini9,12:

1) Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

2) Bangkitan parsial sederhana yang disertai gangguan kesadaran sejak

awal bangkitan
10

c. Bangkitan Parsial yang Berkembang Menjadi Bangkitan Umum

Bangkitan parsial menjadi umum ditandai dengan bangkitan fokal yang diikuti

bangkitan umum. Bangkitan umum dapat berbentuk tonik, klonik, atau tonik-

klonik. Gambaran EEG iktal menunjukan cetusan lokal dimulai dari korteks

yang terpengaruh, diikuti gambaran cetusan umum. Berikut pembagian

bangkitan parsial yang berkembang menjadi umum, yaitu9,12:

1) Bangkitan parsial sederhana yang menjadi bangkitan umum.

2) Bangkitan parsial kompleks yang menjadi bangkitan umum.

3) Bangkitan parsial sederhana menjadi bangkitan parsial kompleks, lalu

berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Bangkitan Umum (konvulsif atau non-konvulsif)

Pada bangkitan umum terjadi penurunan kesadaran yang dapat merupakan

gejala awal manifestasi kejang dan gejala motorik yang tampak bersifat bilateral.

Beberapa tipe bangkitan umum ditandai dengan gejala dan gerakan motorik yang

terlihat antara lain tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonik, dan atonik12.

a. Bangkitan Lena (absence)

Bangkitan lena (absence) ditandai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat

sementara. Subkelas bangkitan lena terdiri atas lena tipikal, dan atipikal.

Bangkitan lena tipikal ditandai dua manifestasi utama yakni hilangnya

kesadaran dan gambaran EEG khas berupa gelombang paku-ombak atau paku

majemuk-ombak dengan frekuensi 2,5-3 Hz. Meskipun umumnya tipe ini

muncul tanpa disertai bentuk bangkitanlain, beberapa penderita dapat

memperlihatkan manifestasi motorik, yaitu komponen klonik (kedutan kelopak


11

mata, alis, dan mulut), komponen atonik (hilangnya tonus otot mendadak yang

menyebabkan kepala terkulai, kehilangan daya genggam, tapi jarang

menyebabkan pasien terjatuh), komponen tonik (mata berputar dan kepala

bergerak ke belakang, batang tubuh melengkung), atau automatisasi (gerakan

repetitif yang intens misalnya gerakan mengecap-ngecap, menelan,

berjalan).Berikut adalah manifestasi dari bangkitan lena tipikal (typical

absence)9,12:

1) Hanya penurunan kesadaran

2) Dengan komponen klonik ringan

3) Dengan komponen atonik

4) Dengan komponen tonik

5) Dengan automatisme

6) Dengan komponen autonom.

Komponen klonik ringan hingga komponen autonom dapat tersendiri atau

dalam kombinasi.

Lena atipikal(atypical absence) memiliki gambaran motorik yang sama dengan

tipikal namun lebih berat (misalnya atonia menyebabkan penderita terjatuh),

namun proses kehilangan kesadaran berlangsung lebih perlahan dan progresif,

demikian pula pemulihannya memerlukan waktu lebih lama (tidak seperti

bentuk tipikal yang terjadi secara cepat dan mendadak). Gambaran EEG

memperlihatkan gambaran paku-ombak dengan frekuensi <2,5 Hz. Lena tak

khas (atypical absence), dapat disertai9,12:

1) Gangguan tonus yang lebih jelas.


12

2) Awitan dan handekan yang tidak mendadak.

b. Bangkitan Mioklonik

Bangkitan mioklonik adalah kontraksi otot tunggal atau multiple yang terjadi

secara tiba-tiba, cepat (100 milidetik), dengan topografi yang bervariasi (aksial,

ekstremitas proksimal, distal). Bangkitan mioklonik dapat terjadi unilateral

atau bilateral. Gambaran EEG tipikal memperlihatkan gambaran kompleks

paku majemuk-ombak, atau lebih jarang berupa gambaran paku-ombak, atau

tajam-ombak. Bangkitan mioklonik-atonik, sebelumnya disebut bangkitan

mioklonik-astatik, merupakan bentuk bangkitan atonia yang didahuli bangkitan

mioklonik yang umumnya menyebabkan penderita terjatuh tiba-tiba (drop

attacks). Gambaran EEG memperlihatkan gelombang paku-ombak :

gelombang paku terbentuk saat kejang mioklonik dan gelombang ombak

menyertai atonia12.

c. Bangkitan Klonik

Bangkitan klonik adalah bangkitan yang ditandai dengan sentakan sekelompok

otot dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3 siklus per detik serta

berlangsung lama, biasanya melibatkan kedua sisi tubuh. Gerakan tersebut

tampak menyerupai serangan mioklonik, namun bangkitan klonik bersifat

repetitiv dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding serangan mioklonik.

Gambaran EEG tipikal pada bangkitan klonik adalah adanya kompleks paku-

ombak lambat dengan frekuensi tinggi (≥10 Hz)12.


13

d. Bangkitan Tonik

Bangkitan tonik adalah bangkitan yang ditandai dengan kontraksi otot yang

berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ekstremitas dan

tubuh dapat terlihat kaku. Bangkitan tonik lebih sering terjadi saat tidur, bila

terjadi saat periode bangun dapat mengakibatkan penderita terjatuh.

Karakteristik gambaran EEG adalah adanya perlambatan aktivitas yang bersifat

umum, atau tampak gelombang epileptiform dengan voltase tinggi dan

frekuensi cepat (≥9-10 Hz)12.

e. Bangkitan Tonik-klonik

Bangkitan tonik-klonik merupakan bangkitan dengan kombinasi kedua elemen

tipe bangkitan di atas, dapat tonik-klonik atau klonik-tonik-klonik. Termasuk

dalam klasifikasi ini adalah bangkitan tonik-klonik umum yang sering disebut

grand mal. Bangkitan tonik-klonik ditandai dengan kontraksi tonik simetris,

diikuti dengan kontraksi klonik bilateral otot-otot somatik. bangkitan jenis ini

disertai dengan fenomena otonom, termasuk penurunan kesadaran atau apnea12.

f. Bangkitan Atonik

Bangkitan atonik adalah bangkitan yang ditandai dengan hilangnya tonus otot

tanpa didahului kejang mioklonik atau tonik yang berlangsung ≥1-2 detik,

melibatkan kepala, batang tubuh, rahang, atau otot-otot ekstremitas12.

3. Bangkitan Tak Tergolongkan

Bangkitan epilepsi dapat timbul :

a. Tak terduga, tak tentu waktunya


14

b. Siklus, timbul pada waktu-waktu tertentu (berhubung dengan siklus haid,

bangun-tidur).

c. Setelah mendapat rangsangan :

1) Non-sensorik (lelah, alkohol, emosi)

2) Sensoris (misalnya cahaya yang berkedip)9

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi, yaitu9,10:

I. Fokal/Partial(localized related)

1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

a. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal

(childhood epilepsy with centrotemporal spikes).

b. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.

c. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy).

2. Simtomatik

a. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak

(Kojenikow’s Syndrome).

b. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca).

c. Epilepsi lobus temporal.

d. Epilepsi lobus frontal.

e. Epilepsi lobus parietal.

f. Epilepsi lobus oksipital

3. Kriptogenik
15

II. Epilepsi umum

1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

a. Kejang neonatus familial benigna.

b. Kejang neonatus benigna.

c. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi.

d. Epilepsi lena pada anak.

e. Epilepsi lena pada remaja.

f. Epilepsi mioklonik pada remaja.

g. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga.

h. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.

i. Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik.

2. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

a. Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam).

b. Sindrom Lennox-Gastaut.

c. Epilepsi mioklonik astatik.

d. Epilepsi mioklonik lena.

3. Simtomatik

a. Etiologi non spesifik

 Ensefalopati mioklonik dini.

 Ensefalopati pada infantil dini dengan brust supresi.

 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas.

b. Sindrom spesifik.

c. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.


16

III. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

1. Bangkitan umum dan fokal

a. Bangkitan neonatal.

b. Epilepsi mioklonik berat pada bayi.

c. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam.

d. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner).

e. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.

2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

IV. Sindrom khusus

1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

a. Kejang demam.

b. Bangkitan kejang atau status epileptikus yang timbul hanya sekali

(isolated).

c. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut,

atau toksik, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik.

d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi refrektorik).

2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung

dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Terdapat tiga langkah

menuju diagnosis epilepsi, yaitu9–11:

1. Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat

paroksismal merupakan bangkitan epilepsi.


17

2. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka

tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana

berdasarkan klasifikasi ILAE 1981.

3. Langkah ketiga: tentukanlah etiologi, tentukan sindrom epilepsi apa yang

ditunjukan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita

oleh pasien berdasarkan klasifikasi ILAE 1989.

Berdasarkan konsensus ILAE 2014, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan

pada tiga kondisi yaitu11,13:

1. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks

yang berselang lebih dari 24 jam.

2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan

adanya kemungkinan bangkitan berulang dengan resiko rekurensi sama

dengan dua bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang dapat

timbul hingga 10 tahun ke depan. (Bangkitan refleks adalah bangkitan

yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu seperti stimulasi

visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotorik)

3. Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi (berdasarkan

pemeriksaan EEG).

Secara sistematis, urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis epilepsi

adalah sebagai berikut9–11:

Langkah pertama: ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,

diagnosis epilepsi dapat ditegakan berdasarkan informasi akurat yang diperoleh


18

dari anamnesis yang mencakup auto- dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi

mata.

a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :

 Sebelum bangkitan/gejala prodormal (preiktal) :

- Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya

bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,

hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.

 Selama bangkitan/iktal :

- Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?

- Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan

kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, otomatisasi, gerakan pada salah

satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,

inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan

lebih baik bila keluarga dapat diminta untuk menirukan gerakan

bangkitan atau merekam video saat bangkitan)

- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?

- Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat

terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.

 Pasca bangkitan/post iktal :

- Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s

paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.


19

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar

bangkitan, kesadaran antar bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya :

 Jenis obat antiepilepsi (OAE)

 Dosis OAE

 Jadwal minum OAE

 Kepatuhan minum OAE

 Kadar OAEdalamplasma

 KombinasiterapiOAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologik, psikiatri

maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang

h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-

lain.

Langkah kedua: untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan

memperhatikan klasifikasi ILAE 1981.

Langkah ketiga: untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau penyakit

epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan memperhatikan

klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan

respon terhadap OAE.


20

Pemeriksaan Fisik Umum Dan Neurologik

a. Pemeriksaan fisik umum

Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-

tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma

kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol

atau obat terlarang, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda-tanda

keganasan9,10.

b. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit

neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Hasil

yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat bergantung dari interval

antara saat dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.

 Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka

akan tampak tanda pasca-iktal terutama tanda fokal seperti Todd’s

paresis, transient aphasic symptoms, yang dapat menjadi petunjuk

lokalisasi.

 Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,

sasaran utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda

disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi simtomatik) dan walaupun

jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial9,10.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaan

memungkinkan. Pemeriksaan ini mencakup:


21

a. Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan

suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis

dan membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada

keadaan tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan penentuan

perlu/tidaknya pengobatan dengan AED9,10.

b. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)

Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam

mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi

berbagai macam lesi patologik dapat terdiagnosis secara non-invasif,

misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi

kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor).

Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada epilepsy yang

refrakter terhadap OAE. Functional brain imaging seperti Positron

Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed

Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)

bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan mengenai dampak

perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan

dengan bangkitan9,10.

Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CTscan kepala atau MRI kepala) pada

kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia

dewasa.Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk

mencari adanya lesi struktural penyebab kejang. CT scan kepala lebih


22

ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya

lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila

ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka MRI

lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala9.

c. Pemeriksaan laboratorium

 Pemeriksaan hematologik

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit,

apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium),

kadar gula, fungsi hati, ureum, kreatinin. Pemeriksaan ini dilakukan

pada beberapa waktu, yaitu:

- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam

menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE

- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping

OAE

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek

samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping

OAE9.

 Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai

steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.

Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan

pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali,

atau bila terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat
23

lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat

perubahan fisiologi pada tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar,

gangguan fungsi ginjal)10.

2.8 Diagnosis Banding


Terdapat beberapa kondisi atau keadaan yang harus dipertimbangkan dalam

menegakkan diagnosis epilepsi, termasuk diagnosis banding. Adapun diagnosis

banding dari kejang epilepsi adalah pingsan (syncope), reaksi konversi, bangkitan

panik (panic disorders), aritmia dan gerakan movement disorder. Tabel 2.1 akan

menunjukkan beberapa perbedaan antara kejang epilepsi dengan berbagai kondisi

yang menyerupainya9.
24

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Kejang Epilepsi9

Hiperventilasi
Non-epileptic attack
Kejang epileptic Syncope Aritmia cardiac atau serangan
disorder
panik
Riwayat penyakit dahulu.
Riwayat:
Trauma kepala, alkohol, ketergantungan Menggunakan obat Wanita (3:1) Penyakit jantung Ansietas
obat, kejang demam yang berkepanjangan, antihipertensi, ketergantungan seksual congenital
meningitis, encephalitis, stroke, riwayat antidepresan (terutama dan fisik
keluarga (+) trisiklik)
Faktor pencetus saat serangan
- Sleep deprivation - Perubahan posisi - Stress Olahraga Situasi sosial
- Putus alcohol - Prosedur medis - Distress social
- Stimulasi fotik - Berdiri lama
- Gerakan leher (carotis
baroreseptor)
Karakter klinis menjelang serangan
Sterotipik, paroksismal (detik), bisa - Lightheadedness Gejala awal tidak khas Palpitasi Ketakutan,
disertai aura - Gejala visual perasaan tidak
- Gelap, kabur realistis, sulit
bernafas,
kesemutan
25

Lanjutan Tabel 2.1 Diagnosis Banding Kejang Epilepsi9

Non-epileptic attack Hiperventilasi atau


Kejang epileptic Syncope Aritmia cardiac
disorder serangan panik
Karakteristik klinis pada saat serangan
- Gerakan tonik (kaku) diikuti gerakan - Pucat Mirip dengan kejang - Pucat - Agitasi
jerking yang ritmis - Bisa disertai kaku epileptic, akan tetapi - Bisa disertai - Napas cepat
- Gerakan otomatism atau menghentak- gerakan lengan tidak kaku atau - Kaku pada tangan
- Cyanosis hentak sebentar beraturan, menghentak- (carpopedal spasm)
- Bisa terjadi dimana saja dan kapan pun pengangkatan pelvis, hentak
kadang tidak bergerak sebentar
sama sekali
Gejala sisa setelah serangan
- Mengantuk Lesu Lesu
- Lidah tergigit
- Nyeri anggota gerak
- Deficit neurologis fokal (todd’s
paralisis)
27

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan tercapainya kualitas

hidup optimal untuk penyandang epilepsi sesuai dengan perjalanan penyakit dan

disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk penyandang epilepsi,

tujuannya adalah “bebas bangkitan, tanpa efek samping”. Untuk tercapinya tujuan

tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi

frekuensi bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal,

menurunkan angka kesakitan dan kematian9,10.

2.9.2 Prinsip Terapi Farmakologi

1. Obat anti epilepsi (OAE) diberikan bila:

- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

- Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari (misalnya : alkohol,

kurang tidur, stress, dll)

- Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun

- Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang

tujuan pengobatan

- Penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu tentang

kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE

2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai

dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai

dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.

4. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:


28

- Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif

- Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit hati,

penyakit ginjal, gangguan absorbsi OAE)

- Diduga penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan

- Setelah penggantian dosis atau regimen OAE

- Untuk melihat interaksi antar OAE atau obat lain

Dilakukan rutin setiap tahun pada penggunaan phenitoin.

5. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol

bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar

terapi, maka OAE pertama di turunkan bertahap (tapering off) perlahan

lahan. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua

OAE harus tetap diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua OAE

harus diganti dengan OAE yang lain.

6. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak

dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

7. OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE

pertama.

8. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai

terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:

- Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG

- Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang

berkorelasi dengan bangkitan : misalnya meningioma, neoplasma otak,

AVM, abses otak, ensefalitis herpes.


29

- Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada

adanya kerusakan otak.

- Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang

tua)

- Riwayat bangkitan simtomatik

- Terdapat sindrom epilepsi yang beresiko tinggi seperti JME (Juvenile

Myclonic Epilepsy)

- Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,

stroke, infeksi SSP

- Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

9. Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan

interaksi farmakokinetik antar OAE.

10. Strategi untuk mencegah efek samping :

- Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan

kerugian pemberian terapi

- Pilihan OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang

- Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu

pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang epilepsi9,10.

2.9.3 Jenis Obat Anti Epilepsi dan Mekanisme Kerjanya

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek

samping OAE, profil farmakologi, dan interaksi antar OAE. Berikut pembagian

OAE berdasarkan bentuk bangkitan dalam tabel 2.29.


30

Tabel 2.2 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan9


Bangkitan Bangkitan
Bangkitan Bangkitan Bangkitan
OAE Umum Tonik
Fokal lena mioklonik
Sekunder Klonik
Phenitoin + (A) + (A) + (C) - -
Carbamazepin + (A) + (A) + (C) - -
Valproic Acid + (B) + (B) + (C) + (A) + (D)
Phenobarbital + (C) +(C) + (C) 0 ?+
Gabapentin + (C) +(C) ?+ (D) 0 ?-
Lamotrigine + (C) +(C) + (C) + (A) +
Topiramate + (C) +(C) + (C) ? ?+ (D)
Zonisamide + (A) + (A) ?+ ?+ ?+
Levetiracetam + (A) + (A) ?+ (D) ?+ ?+
Oxcarbazepine + (C) + (C) + (C) - -
Clonazepam + (C) - - - -

Level of confidence :
A : Efektif sebagai monoterapi
B : Sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
C : Mungkin efektif sebagai monoterapi
D : Berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi
31

Tabel 2.3 Dosis OAE untuk orang dewasa9

Waktu Waktu
Dosis
Dosis Awal Jumlah Dosis Paruh Tercapainya
OAE Rumatan Titrasi OAE
(Mg/Hari) Per Hari Plasma Steady State
(Mg/Hari)
(Jam) (Hari)
2-3 x (untuk Mulai 100/200 mg/hr ↑ sampai target dalam 1-
Carbamazepin 400-600 400-1600 15-25 2-7
yang CR 2x) 4 minggu
Mulai 100 mg/hr ↑ sampai target dalam 3-7
Phenytoin 200-300 200-400 1-2 x 10-80 3-15
hari
2-3 x (untuk yg
Valproic Acid 500-1000 500-2500 Mulai 500 mg/hr ↑ bila perlu setelah 7 hari 12-18 2-4
CR 1-2 x)
Mulai 30-50 mg malam hari ↑ bila perlu setelah
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170 8-30
10-15 hari
Clonazepam 1 4 1/2 20-60 2-10
Mulai 10 mg/hr bila perlu ↑ sampai 20 mg/hr
Clobazam 10 10-30 1-2 x setelah 1-2 minggu 10-30 2-6

Mulai 300 mg/hr ↑ sampai target dalam 1-3


Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3 x 8-15 2-4
minggu
Mulai 500/1000 mg/hr ↑ bila perlu setelah 2
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2
minggu
Topiramate 100 100-400 2x Mulai 25 mg/hr ↑ 25-50 mg/hr tiap 2 minggu 20-30 2-5
Mulai 300-900 mg/hr ↑ sampai target dalam 5-
Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3 x 5-7 2
10 hr
Mulai 25 mg/hr selama 2 minggu ↑ sampai 50
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2 x 15-35 2-6
mg/hr selama 2 minggu, ↑ 50 mg/2 minggu
Zonisamid 100-200 100-400 1-2 x Mulai 200-400 mg/hr ↑ sampai 1-2 minggu 60 1-2
Pregabalin 50-75 50-600 2-3 x 6,3 1-2
32

Tabel 2.4 Efek Samping OAE9

Efek Samping Yang Mengancam


Obat Efek Samping Minor
Jiwa
Dizziness, ataksia, diplopia, mual, kelelahan, agranulositosis, lekopeni,
Anemia aplastik, hepatotoksik,
trombositopenia, hiponatremia, ruam, gangguan perilaku, tiks,
Carbamazepine sindrom Steven-Johnson, lupuslike
peningkatan berat badan, disfungsi seksual, disfungsi hormon tiroid,
syndrome
neuropati perifer.
Anemia aplastik, gangguan fungsi Hipertrofi gusi, hirsutisme, ataksia, nistagmus, diplopia, ruam,
hati, sindrom Steven-Johnson, anoreksia, mual, macroxytosis, neuropati perifer, agranulositosis,
Phenytoin
lupuslike syndrome, trombositopeni, disfungsi seksual, disfungsi serebellar, penurunan
pseudolymphoma absorbs kalsium pada usus.
Hepatotoksik, gangguan jaringan
Mengantuk, ataksia, nistagmus, ruam kulit, depresi, hiperaktif (pada
Phenobarbital ikat dan sumsum tulang, sindrom
anak), gangguan belajar (pada anak), disfungsi seksual.
Steven-Johnson
Hepatotoksik, hiperamonemia, Mual, muntah, rambut menipis, tremor, amenore, peningkatan berat
Valproat lekopeni, trombositopeni, badan, konstipasi, hirsustisime, alopesia pada perempuan, POS
pankreatitis. (Polycystic Ovarii Syndrome)
Mual, nyeri kepala, dizziness, kelemahan, mengantuk, gangguan
Levetiracetam Belum diketahui
perilaku, agitasi, anxietas, trombositopeni, leukopenia
Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, peningkatan berat badan,
Gabapentin Teratogenik
gangguan perilaku (pada anak).
Sindrom Steven-Johnson, gangguan Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, pandangan kabur, nyeri
Lamotrigine hepar akut, kegagalan multi organ, kepala, mual, muntah, insomnia, trombositopenia, nistagmus, truncal
teratogenik ataksia, tics.
33

Lanjutan Tabel 2.4 Efek Samping OAE9


Efek Samping Yang Mengancam
Obat Efek Samping Minor
Jiwa
Dizziness, ataksia, nyeri kepala, mual, kelelahan, hiponatremia,
Oxcarbazepine Ruam, teratogenik
insomnia, tremor, disfungsi visual
Batu ginjal, hipohidrosis, gangguan Gangguan kognitif, kesulitan menemukan kata, dizziness, ataksia, nyeri
Topiramate
fungsi hati, teratogenik kepala, kelelahan mual, penurunan berat badan, paresthesia, glukoma.
Batu ginjal, hipohidrosis, anemia Mual, nyeri kepala, dizziness, kelelahan, parasthesia, ruam, gangguan
Zonisamide
aplastik, skin rash berbahasa, glaucoma, letargi, ataxia.
Pregabalin Belum diketahui Peningkatan berat badan.

Tabel 2.5Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE9

Obat Mekanisme kerja Ekskresi


Blok sodium-channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA,
Carbamazepine >95% hati
monoamine dan asetilkolin
Blok sodium-chanel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan neurotransmitter
Phenytoin >90% hati
yang voltage dependent
Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan eksitabilitas glutamate, menurunkan 75% hati
Phenobarbital
konduktan natrium, kalium, dan kalsium. 25% ginjal
Valproat Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium dan kalium >95% hati
Cairan tubuh (66%
Levetiracetam Tidak diketahui ginjal, 27%
metabolit inaktif)
34

Lanjutan Tabel 2.5Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE9

Obat Mekanisme Kerja Ekskresi


Gabapentin Modulasi calcium channel tipe N, aktivitas GABAergik 100% ginjal
Lamotrigine Blok konduktan natrium yang voltage dependent 85% hati
Oxcarbazepine Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas calcium channel 45% hati
45% ginjal
Topiramate Blok sodium channel, meningkatkan influx GABA-Mediated chloride, modulasi efek
90% hati
reseptor GABAA, bekerja pada reseptor AMPA
Zonisamide Blok sodium, potassium, calcium channels, inhibisi eksitasi glutamate >90% hati
Felbamat Blok NMDA, Aktivitas respon GABAergik >90% ginjal
Pregabalin Modulasi calcium channel, menghambat GABA >90% ginjal
Rufinamide Blok natrium channel >90% ginjal
Tiagabine Selective GABA Reuptake Inhibitor (SGRI) >90% hati
Vigabatrin Inhibisi GABA >82% ginjal
35

2.9.4 Penghentian OAE

Setelah bangkitan epilepsi terkontrol, OAE dapat dihentikan tanpa

kekambuhan pada 60% pasien. Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap

dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. Dalam hal penghentian

OAE, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk

menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah OAE

dihentikan9,10.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:

1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEGnormal

2. Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.

3. Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan

dalam jangka waktu 3-6 bulan.

4. Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1

OAE yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya

pada keadaan sebagai berikut:

1. Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi.

2. Epilepsi simtomatik.

3. Gambaran EEG yang abnormal.

4. Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE.

5. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang

pada sindrom epilepsy benigna dengan gelombang tajam pada daerah

sentro temporal, 5-25% pada epilepsy lena masa anak kecil, 25-75%,
36

epilepsy parsial kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsy

mioklonik pada anak, dan JME.

6. Penggunaan lebih dari satu OAE.

7. Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan

lebih kecil pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5

tahun, atau lebih dari lima tahun)9,10.

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir

(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.

Rujukan ke spesialis epilepsy perlu dipertimbangkan bila:

1. Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama.

2. Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi.

3. Berencana untuk hamil.

4. Dipertimbangkan untuk penghentian terapi9,10.

2.9.5 Terapi Terhadap Epilepsi Resisten OAE

Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah

mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis (baik sebagai

monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan.Sekitar25-

30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsy resisten OAE. Penanganan

epilepsy resisten OAE mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Kombinasi OAE

2. Mengurangi dosis OAE (pada OAE induced seizure)

3. Terapi bedah

4. Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis9.


37

Terapi nonfarmakologis yang dapat digunakan pada epilepsi resisten OAE

yaitu:

1. Stimulasi N.Vagus

Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan padap enyandang

epilepsi refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi

syaratoperasi. Dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan

umum.

2. Deep Brain Stimulation

3. Diet ketogenik

4. Intervensi Psikologi

Relaksasi,behavioralcognitivetherapy, danbiofeedback9.

Tabel 2.6 Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy resisten
OAE9
Kombinasi OAE Indikasi
Sodium valproat + Etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamazepin + Sodium valproat Bangkitan Parsial/Kompleks
Sodium Valproat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/ Bangkitan Umum
Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/ Bangkitan Umum

2.9.6 Penatalaksanaan Status Epileptikus


Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30

menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan di antara bangkitan-bangkitan

tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan

konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-

10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan

penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30


38

menit). SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures), yaitu bangkitan

tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam9,10.

Dikenal dua tipe SE berdasarkan klinis, yaitu: SE konvulsif (terdapat

bangkitan motorik) dan SE non-konvulsif (tidak terdapat bangkitan motorik).

Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,

atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara

bangkitan. Status epileptikus nonkonvulsif adalah bangkitan epileptik berupa

perubahan kesadaran maupun perilaku tanpa disertai manifestasi motorik yang

jelas namun didapatkan aktivitas bangkitan elektrografik pada perekaman

elektroensefalografi (EEG). Berdasarkan durasi SE dibagi menjadi:

1. Status epileptikus dini (5-30 menit)

2. Status epileptikus menetap/estabilished (>30 menit)

3. Status epileptikus refrakter (bangkitan tetap ada setelah mendapat dua

atau tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)9.

Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif

Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit:

1. Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi

yang utama selama diperjalanan menuju rumah sakit.

2. Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:

 Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan

 Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan

serial/bangkitan konvulsi.
39

 Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau

tanda vital lain9.

Terapi OAE harus diberikan bersama-sama dengan terapi emergensi.

Pilihan obat tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun

OAE yang digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila

phenitoin atau Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis

rumatan dapat diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat

dalam serum. OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral.

Bila pasien sudah bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar obat

dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan9.

Tabel 2.7 Protokol Penanganan Status Epileptikus Konvulsif9


Pemeriksaan Umum
Stadium1 (0-10 menit)
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen SE Dini
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infus
Stadium2 (0-30 menit)
Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi nonepileptic
Terapi anti epilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi(lihat dibawah)
Berikan glukosa (D50%50ml) dan/ atau thiamine 250mg i.v bila
ada kecurigaan penyalahgunaan alkohl atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap
Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit)
Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
40

Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium,
magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obata ntiepilepsi.
Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab status
epileptikus tidakjelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi
kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis,
bisa meliputi pencitraan otak dan pungsi lumbal.
Pengawasan
Observasi status neurologis,tanda vital, ECG, biokimia, gas darah,
pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas
ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli neurologi.
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter.
Pertimbangkan kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada
status epileptikus konvulsi frefrakter, tujuan utama adalah supresi
aktivitas epileptic pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah
munculnya pola burst suppression.

Tabel 2.8 OAE Untuk Status Epileptikus Konvulsif9


Stadium Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit
premonitor kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam 10
(sebelum ke rumah mg diberikan intrabuccal (belum tersedia di Indonesia.Bila
sakit) bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut.
SE Dini Lorazepam (intravena) 0,1mg/kgBB (dapat diberikan 4
mg bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah
pernah mendapat terapiOAE
SE Menetap Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai
berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital
10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100mg/
menit.
SE Refrakter Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah
ini:
(Anestesi umum - Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10
dilakukan 60/90 mg/kg/jam di titrasi naik sampai SEterkontrol
- Midazolam 0,1-0,2mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5
menit setelah terapi
mg/kg/jam di titrasi naik sampai SE terkontrol
awal gagal) - Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus, dilanjut 3-5
mg/kg/jam di titrasi naik sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan
karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau ektrografis terakhir, kemudian
dosis diturunkan perlahan
41

Pengelolaan Status Epileptikus Non Konvulsif

Status epileptikus non konvulsif:


1. Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE

2. Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE

nonkonvulsivus pada penyandang dengan koma, dan SE pada

penyandang dengan gangguan belajar

3. Pemilihan terapi untuk status epileptikus non konvulsif bermacam-

macam sesuai jenis bangkitan9,10.

Tabel 2.9 Terapi Status Epileptikus (SE) Non Konvulsi9


Tipe Terapi pilihan Terapi lain
SE Lena Benzodiazepin I.V./ oral Valproate i.v
SE Parsial kompleks Clobazam oral Lorazepam/Phenytoin/
Phenobarbital i.v.
SE Lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine, Lamotrigine,
topiramate, methylphenidate,
steroid oral
SE Tonik Lamotrigine oral Methylphenidate, steroid

SE nonkonvulsivus Phenytoin i.v. atau Anestesia dengan thiopentone,


pada penyandang Phenobarbital Phenobarbital, propofol atau
koma midazolam

2.10 Prognosis
Prognosis epilepsi dapat diklasifikasikan berdasar kelompok prognosis,

yaitu sangat baik, baik, bergantung obat antiepilepsi (OAE), dan buruk. Kelompok

prognosis sangat baik ditemukan pada 20%-30% dari semua orang yang

mengalami bangkitan kejang tanpa provokasi dan kemungkinan besar remisi

spontan. Kelompok prognosis baik ditemukan pada 30%-40% kasus, kejang

biasanya terkontrol dengan baik dengan OAE dan ketika remisi tercapai sifatnya
42

permanen dan OAE dapat dengan baik diturunkan atau dihentikan.Kelompok

tergantung OAE terdapat pada 10%-20% kasus, kejang dapat ditekan dan

mengalami remisi, tetapi kemudian relaps jika OAE dihentikan. Kelompok

prognosis buruk terdapat pada 10%-20% kasus epilepsi, kejang sulit diatasi

meskipun telah mendapat terapi OAE generasi baru18.

Pemberian terapi epilepsi sebisa mungkin dengan obat tunggal, pemberian

obat tunggal (monoterapi) akan menurunkan risiko timbulnya efek samping,

meningkatkan kepatuhan, dan menghindari timbulnya interaksi obat. Pemberian

obat tunggal juga lebih bernilai ekonomis. Dengan terapi yang efektif, 80%

kejang pasien epilepsi dapat dihentikan dengan monoterapi. Beberapa penelitian

terdahulu menunjukkan respon awal yang baik terhadap terapi sehingga

merupakan petanda prognosis yang baik. Jika kejang tidak terkontrol di tahun

pertama pengobatan setelah didiagnosis, hanya 60% pasien yang mencapai remisi.

Kegagalan fase awal terapi sangat memengaruhi keberhasilan terapi berikutnya

dan prognosis epilepsi. Menurut penelitian Triono pada tahun 2014, jumlah

bangkitan kejang sering (>10kali) yang terjadi sebelum pasien mendapat terapi

OAE dan adanya kelainan neurologis penyerta merupakan faktor prognostik yang

kuat untuk memprediksi kejadian kegagalan monoterapi. Kegagalan monoterapi

berpengaruh pada kegagalan terapi epilepsi secara keseluruhan18.


43

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : ERK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 37 tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Larantuka
Agama : Katolik
Alamat : Ds. Ilegerong, Kec. Titihena Larantuka
Pekerjaan : Aparat desa
No. RM : 239559
Tanggal MRS : 10 Juni 2019
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juni 2019
Tanggal KRS : 13 Juni 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: kejang lebih dari 10 kali sejak 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan: penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS
Kronologi:
Pasien laki-laki berumur 37 tahun, merupakan pasien rujukan dari
PKM Lewolaga dengan diagnosa klinis obs epilepsy ec meningitis, datang
ke UGD tanggal 10 Juni 2019 jam 12.30 dengan keluhan utama kejang
berulang lebih dari 10 kali sejak ± 2 hari SMRS dan terjadi penurunan
kesadaran sejak ± 1 hari SMRS.
Preictal: Tidak ada perubahan perilaku sebelum kejang, perasaan lapar,
berkeringat, mengantuk, dll.
Ictal: Sesaat sebelum kejang dimulai biasanya pasien menoleh ke
kanan/kiri. Pasien tidak mendengar suara-suara, mencium bau-bau aneh
44

atau melihat sesuatu secara sekilas sesaat sebelum kejang. Durasi kejang ±
5-10 menit, posisi saat kejang: terkadang tangan kaku dan menghentak-
hentak, mata mendelik ke atas, ada busa/air liur yang keluar, mengompol
(+), berkeringat (+), lidah dan pipi bagian dalam tergigit (+). Pada saat
kejang berlangsung pasien tidak sadar, dan saat setelah kejang pasien tidak
sadar.. Muntah (-). Kejang biasanya terjadi mendadak saat istirahat
maupun aktivitas tanpa adanya provokasi.
Post ictal: Pasien biasanya kehilangan ingatannya sesaat setelah kejang
namun berangsur-angsur membaik. Pasien sempat mengeluhkan sakit
kepala sebelum adanya penurunan kesadaran.
Riwayat penyakit sebelumnya: Ada riwayat batuk pilek ±3 hari sebelum
kejang terjadi. Kejadian ini sudah terjadi beberapa kali. Kejadian kejang
pertama dimulai pada bulan Maret 2019, kejang yang terjadi ± 5-6 kali,
juga diawali dengan riwayat batuk, pilek dan demam ±1 minggu sebelum
kejang. Pasien sempat mendapatkan pengobatan untuk kejangnya
sebelumnya, tetapi terjadi putus obat selama 5 hari, dan kemudian terjadi
kejang-kejang berikutnya. Riwayat kejang demam sewaktu kecil
disangkal.
Riwayat trauma: keluarga pasien mengatakan pasien sering terjatuh dari
motor akibat mabuk dan kepala pasien pernah dihantam dengan kursi pada
bulan Agustus 2018.
Riwayat keluarga: Riwayat keluarga yang pernah kejang disangkal.
Riwayat social: Riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+). Sehari-hari
pasien bekerja sebagai aparat desa. Pasien sudah menikah dan memiliki 1
orang anak.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran: GCS : E4V5M6 (compos mentis)
Tanda Vital :
45

- TD : 121/83 mmHg
- Nadi : 82 x/menit, regular dan kuat angkat
- Pernapasan: 18 x/menit
- SpO2 : 100%
- Suhu : 36 ºC
Kepala : dalam batas normal, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemi (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : tidak dievaluasi
Mulut : mukosa bibir lembab, terdapat luka dibagian
lateral lidah (akibat
tergigit saat kejang).
Leher : tidak dievaluasi
Thoraks/pulmo : tidak dievaluasi
Jantung : tidak dievaluasi
Abdomen : tidak dievaluasi
Ekstremitas :
Superior : - Edema :-/-
- Sianosis :-/-
- Akral : hangat
- Sensoris : tidak dievaluasi
Inferior : - Edema :-/-
- Sianosis :-/-
- Akral : hangat
- Sensoris : tidak dievaluasi

3.3.2 Status Neurologis


1. Rangsangan selaput otak
- Kaku kuduk :-
- Kernig’s sign : -
- Brudzinski 1 : -
- Brudzinski 2 : -
46

- Brudzinski 3 : -
- Brudzinski 4 : -
2. Nervus Cranialis
a. Nervus Olfaktorius (N. I)
- Subyektif : tidak dievaluasi
- Obtektif : tidak dievaluasi
b. Nervus Opticus (N. II)
- Visus : tidak dievaluasi
- Kampus : tidak dievaluasi
- Hemianopsia : tidak dievaluasi
- Melihat warna : tidak dievaluasi
- Skotoma : tidak dievaluasi
- Fundus : tidak dievaluasi
c. Nervus Occulomotoris (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV), Nervus
Abducens (N. VI)
- Kedudukan bola mata : di tengah dan setangkup
- Pergerakan bola mata : ke segala arah
- Nistagmus : tidak terdapat nistagmus
- Celah mata : tidak ada celah
- Ptosis : tidak ada
- Pupil : pupil bentuk bulat, ukuran 3mm/3mm,
isokor
- Refleks pupil :
Refleks cahaya langsung : (+) / (+)
Refleks cahaya tidak langsung: (+) / (+)
d. Nervus Trigeminus (N. V)
- Motorik : tidak dievaluasi
- Sensibilitas : tidak dievaluasi
- Refleks kornea : tidak dievaluasi
- Refleks bersin : tidak dievaluasi
- Refleks maseter : tidak dievaluasi
47

- Trismus : tidak dievaluasi


- Nyeri tekan : tidak dievaluasi
e. Nervus Facialis (N. VII)
- Otot wajah dalam keadaan istirahat :
 Kerutan dahi simetris
 Tinggi alis sejajar
 Sulcus nasolabialis dan sudut bibir simetris
- Otot wajah dalam keadaan aktivitas:
 Mengangkat dahi : kerutan dahi simetris
 Menutup mata : kuat dan tidak ada celah mata
 Meringis : sulcus nasolabialis dan sudut bibir simetris
 Mencucu : tidak terlihat adanya deviasi
f. Nervus Vestibulocochlearis (N. VIII)
- Mendengar suara bisik / gerakan jari tangan : tidak dievaluasi
- Tes Garputala (Rinne, Swabach, Weber, Bing) : tidak dievaluasi
- Tinnitus : tidak dievaluasi
- Keseimbangan : tidak dievaluasi
- Vertigo : tidak dievaluasi
g. Nervus Glossopharyngeus (IX), Nervus Vagus (N. X)
Bagian motorik
- Menelan : tidak dievaluasi
- Kedudukakn arcus pharynx : tidak dievaluasi
- Kedudukan uvula : tidak dievaluasi
- Pergerakan arcus pharynx : tidak dievaluasi
- Disfonia : tidak dievaluasi
Bagian sensorik
- Pengecapan 1/3 lidah belakang : tidak dievaluasi
- Refleks muntah : tidak dievaluasi
h. Nervus Accesorius (N. XI)
- Mengangkat bahu : tidak dievaluasi
- Memalingkan kepala : tidak dievaluasi
48

i. Nervus Hipoglossus (N. XII)


- Saat istirahat : tak tampak deviasi lidah, tremor (-), fasikulasi (-),
dan atrofi
- Saat aktivitas : tak tampak deviasi lidah, tremor (-), fasikulasi (-),
atrofi (-) dan disartri (-)
3. Pemeriksaan Motorik
Kanan Kiri
Anggota gerak atas 5555 5555
Anggota gerak bawah 5555 5555
Tonus Normotonus Normotonus
Trofik tidak ada atrofi Tidak ada atrofi
Refleks Fisiologi
- Biceps +2 +2
- Triceps +2 +2
- Patella +2 +2
- Achilles +2 +2
Refleks Patologi
- Hoffman-Tromner - -
- Babinski - -
- Chaddock - -
- Oppenheim - -
- Gordon - -
- Schaeffer - -
- Bing - -
- Stransky - -
- Gonda - -
- Rossolimo - -
- Mendel-Bechterew - -
4. Fungsi luhur : tidak dievaluasi

3.4 Pemeriksaan Laboratorium (10 Juni 2019)


49

a. Darah rutin : Hasil Satuan Nilai Rujukan


- WBC : 17,31 (H) (10^3/μL) (4,00 – 11,00)
- LYMPH : 1,50 (10^3/μL) (1,50 - 4,00)
- MONO : 1,31 (H) (10^3/μL) (0,20 – 0,60)
- EO : 0,00 (10^3/μL) (0,00 – 0,40)
- BASO : 0,00 (10^3/μL) (0,00 – 0,10)
- NEUT : 14,50 (H) (10^3/μL) (2,00 – 7,50)
- RBC : 4,58 (10^6/μL) (4,5 - 6,5)
- HGB : 13,7 (g/dL) (13,0 – 18,0)
- HCT : 37,8 (L) (%) (40,0 – 75,0)
- MCV : 82,5 (fL) (76,0 – 96,0)
- MCH : 29,9 (pg) (27,0 – 32,0)
- MCHC : 36,2 (H) (g/dL) (30,0 – 35,0)
- PLT : 256 (10^3/μL) (150 - 450)
- MPV : 10,3 (H) (fL) (5,3 – 8,7)
b. Fungsi Hati : Hasil Satuan Nilai Rujukan
- SGOT : 23 U/L 10 – 40
- SGPT : 28 U/L 10 – 40
c. Fungsi Ginjal : Hasil Satuan Nilai Rujukan
- Ureum : 54 (H) mg/dL 17,1 – 42,8
- Kreatinin : 2,13 mg/dL 0,7 – 1,3
d. Urine Rutin : Hasil Nilai Rujukan
- Warna : Kuning Kuning
- Kejernihan : Keruh Jernih
- BJ : 1,015 1,003 – 1,030
- pH : 6,0 4,6 – 8,5
- Protein : Negatif Negatif
- Glukosa : Negatif Negatif
- Keton : Negatif Negatif
- Bilirubin : Negatif Negatif
- Urobilinogen : Negatif Negatif
50

- Nitrit : Negatif Negatif


- Darah : Negatif Negatif
- Lekosit esterase : (+1) Negatif
- Sedimen eritrosit : 1–3 (+) 0–2
- Sedimen lekosit : 10 – 12 (H) 0–5
- Sedimen silinder : Negatif Negatif
- Sedimen Kristal : Negatif Negatif
- Sedimen epitel : Positif
- Sedimen lain-lain : Amor (+1) Negatif
Bakteri: (+1) Negatif
3.5 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Status Epilepsi
Diagnosis Topis : Sentrum dan Segmentum
Diagnosis Etiologi : 1. Status Epilepsi
2. Leukositosis (ISK)
3. Insomnia
4. Azotemia
3.6 Penatalaksanaan
- O2 4L nasal canul
- Diet bebas TKTP
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit
- Diazepam 10 mg IV jika kejang
- Ceftriaxon 2x1 gr IV
- Dexamethasone 3x10 mg IV
- Paracetamol 3x500 mg IV jika demam
- Phenytoin 3x100 mg PO
- Asam folat 1x1 PO

3.7 Follow Up
12 Juni 2019
S: tidak ada kejang, pasien batuk sesekali, sulit tidur pada malam hari
51

O: GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)


TD : 123/79 mmHg
HR : 86x/menit, regular dan kuat angkat
SpO2 : 98%
Suhu : 36,7 ºC
R. Meningeal : (-)
Nervus Cranialis : dbn
Motorik : dbn
Refleks fisiologis : +2/+2
Refleks patologis : -/-
A: DK : status epilepsy, tonik-klonik general
DT : sentrum dan segmentum
DE : status epilepsy
P:
- Diet bebas TKTP
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit
- Diazepam 10 mg IV jika kejang
- Ceftriaxon 2x1 gr IV (H3)
- Dexametahsone 3x10 mg IV
- Phenytoin 3x100 mg PO
- Asam folat 1x1 PO

13 Juni 2019
S: tidak ada kejang, pasien batuk sesekali, sulit tidur pada malam hari (hari
ke 2)
O: GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
TD : 130/88 mmHg
HR : 87x/menit, regular dan kuat angkat
SpO2 : 96%
Suhu : 36,4 ºC
R. Meningeal : (-)
52

Nervus Cranialis : dbn


Motorik : dbn
Refleks fisiologis : +2/+2
Refleks patologis : -/-
A: DK : status epilepsy, tonik-klonik general
DT : sentrum dan segmentum
DE : 1. status epilepsy
2. Leukositosis  ISK
3. Insomnia
P:
- Diet bebas TKTP
- Diazepam 10 mg IV jika kejang
- Phenytoin 3x100 mg PO
- Asam folat 1x1 PO
- Clobazam 10 mg 0-0- ½ PO
- Cefixime 2x200 mg PO

3.8 Resume
Pasien laki-laki berumur 37 tahun, merupakan pasien rujukan dari
PKM Lewolaga dengan diagnosa klinis obs epilepsy ec meningitis, datang
ke UGD tanggal 10 Juni 2019 jam 12.30 dengan keluhan utama kejang
berulang lebih dari 10 kali sejak ± 2 hari SMRS dan terjadi penurunan
kesadaran sejak ± 1 hari SMRS.
Sesaat sebelum kejang dimulai biasanya pasien menoleh ke
kanan/kiri. Durasi kejang ± 5-10 menit, posisi saat kejang: terkadang
tangan kaku dan menghentak-hentak, mata mendelik ke atas, ada busa/air
liur yang keluar, mengompol (+), berkeringat (+), lidah dan pipi bagian
dalam tergigit (+). Pada saat kejang berlangsung pasien tidak sadar, dan
saat setelah kejang pasien tidak sadar.. Muntah (-). Kejang biasanya terjadi
mendadak saat istirahat maupun aktivitas tanpa adanya provokasi. Pasien
biasanya kehilangan ingatannya sesaat setelah kejang namun berangsur-
53

angsur membaik. Pasien sempat mengeluhkan sakit kepala sebelum


adanya penurunan kesadaran.
Ada riwayat batuk pilek ±3 hari sebelum kejang terjadi. Kejadian
ini sudah terjadi beberapa kali. Kejadian kejang pertama dimulai pada
bulan Maret 2019, kejang yang terjadi ± 5-6 kali, juga diawali dengan
riwayat batuk, pilek dan demam ±1 minggu sebelum kejang. Pasien
sempat mendapatkan pengobatan untuk kejangnya sebelumnya, tetapi
terjadi putus obat selama 5 hari, dan kemudian terjadi kejang-kejang
berikutnya. Riwayat kejang demam sewaktu kecil disangkal.
Keluarga pasien mengatakan pasien sering terjatuh dari motor
akibat mabuk dan kepala pasien pernah dihantam dengan kursi pada bulan
Agustus 2018. Riwayat keluarga yang pernah kejang disangkal. Riwayat
merokok (+), konsumsi alcohol (+). Sehari-hari pasien bekerja sebagai
aparat desa. Pasien sudah menikah dan memiliki 1 orang anak.
54

BAB 4
PEMBAHASAN

Pada kasus ini diketahui pasien berumur 37 tahun dan berjenis kelamin
laki-laki. Menurut Center for Disease and Prevention (CDC) pada tahun 2010 di
AS, epilepsy mempengaruhi 2,5 juta orang. Survey dari dokter, pelaporan diri,
dan penelitian dari campuran beberapa sumber ini, disimpulkan bahwa
kejadiandan prevalensi kejang dan epilepsy, kejadian kejang epilepsy pertama
terjadi pada 300.000 orang per tahunnya, 120.000 orang berusia >18 tahun. Laki-
laki sedikit lebih berisiko daripada perempuan.
Pasien datang dengan keluhan utama kejang >10 kali sejak 2 hari SMRS
(8 Juni 2019) disertai penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS (9 Juni 2019).
Keluhan dirasakan terjadi secara mendadak tanpa adanya provokasi. Saat kejang,
pasien tidak sadar, ekstremitas superior dan inferior kaku dan terhentak-hentak,
bola mata mendelik ke atas, keluar busa/ air liur, mengompol dan berkeringat.
Dasar serangan epilepsy adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi diantaranya:
glutamate, aspartat, norepinefrin, dan setilkolin, sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika
hasil pengaruh kedua jenis melepaskan muatan listrik terjadi transmisi impuls.
Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu
dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah:
- Phenytoin 3x100 mg
- Asam folat 1x1
55

Tujuan pemberian phenytoin selain sebagai obat lini pertama adalah untuk
memblokade pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion
Na+ yang tersisa maupun aliran ion Na+ yang mengalir selama penyebaran
potensial aksi, selain itu fenitoin memblokade dan mencegah potensial pos
tetanik, membatasi perkembangan aktivitas serangan maksimal dan mengurangi
penyebaran serangan. Dosis phenytoin yang diberikan sudah sesuai dengan dosis
awal, yaitu 200-300 mg/ hari. Tujuan pemberian asam folat dimaksudkan untuk
mempertahankan fungsi neuron di otak.
56

DAFTAR PUSTAKA

1. Tendean PG, Karema W, Mawuntu A. Gambaran penyandang epilepsi


berdasarkan ILAE 1989 di Poliklinik Saraf RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado tahun 2014 1. 2016;4:2014–7.
2. Fitrina R. Epilepsi [Internet]. 2018 [cited 2019 May 12]. Available from:
http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html
3. Ngoerah IGNG. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Denpasar: Udayana
University Press; 2017. 550 p.
4. Catur N, Maryanti W, Psikologi F, Gadjah U. Epilepsi dan Budaya.
2016;24(1):22–31.
5. World Health Organization. Infographic Epilepsy. 2015;
6. World Health Organization. Epilepsy in the WHO South-East Asian
Region Regional Office for.
7. Andrianti PT, Gunawan PI, Hoesin F, Ilmu D, Anak K, Patologi D, et al.
Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan Pengobatannya di RSUD Dr.
Soetomo Tahun 2013. 2016;18(1):34–9.
8. Isti’fart YM. Hubungan lama menderita epilepsi dengan kualitas hidup
penderita di RSUD Dr. Moewardi. 2014;
9. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelima. Airlangga University
Press; 2014. 1-96 p.
10. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Bagian NEurologi FKUI;
2011. 82 p.
11. PERDOSSI. Panduan praktik klinis neurologi. 2016.
12. Indonesia KKR. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Epilepsi Pada Anak. 2017;1–79.
13. Kristanto A. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. 2017;8(1):69–73.
14. Setianingsih PR. Faktor-faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak di
RSUD Dr. Moewardi. 2012;
57

15. Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umun. Jakarta: Dian Rakyat;
2007.
16. Hasanuddin U. Bahan Ajar Kejang. 1-17 p.
17. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. v. Vol. v. Surabaya: Pusat
Penerbit dan Percetakan Unair (AUP); 2014. 96 p.
18. Triono A, Herini ES. Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada
Anak dengan Monoterapi. 2014;16(4):4–9.

Anda mungkin juga menyukai