Anggota kelompok :
1. Muhammad Miftahul Hadi (H1A016055)
2. Ni Made Dwi Anggraeni (H1A016064)
3. Safira Salsabila Az-Zahro (H1A016076)
4. Siti Fadhila Musafira (H1A016081)
5. Umitha Rahmi Sani (H1A016084)
Dosen Pembimbing :
dr. Didit Yudhanto, M.Sc., Sp.THT-KL
Telinga akan terasa gatal dan lambat laun akan terasa nyeri (otalgia), pada kanal akan
ditemukan kulitnya eritem,edem dan discharge. Rasa nyeri akan diperburuk apabila
dilakukan penekanan pada tragus atau pinna. Terkadang pasien juga mengalami kehilangan
pendengaran konduktif (Wiegand dkk, 2019).
Keterangan (dari atas ke bawah) :
Onset gejala biasanya cepat, umumnya dalam 48 jam. Nyeri telinga, keluarnya cairan dan
kehilangan pendengaran adalah gejala paling umum. Dalam 3 Minggu terakhir ini gejala
dan tanda radang pada telinga telah ada seperti:
1. Otalgia (biasanya parah), gatal atau merasa penuh, dengan atau tanpa gangguan
pendengaran atau rahang sakit
2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tragus yg lembut atau pinna adalah gejala khas
pada otitis eksternal. Atau keduanya atau difus pada membran timpani telinga
disertai edema, eritema atau keduanya. Dengan atau tanpa otorrhea, limfadenitis
regional, eritema pada membran timpani atau selulitis pada pinna atau disekitarnya.
3. Pada otitis eksterna yang disebabkan oleh Aspergillus akan ditemukan bagian
yang putih dengan terdapat bola berwarna hitam diatasnya. Sementara pada
Candida akan ditemukan cairan sebaseous berwarna putih (Jill Gore, 2018 ;
Rosendeld, et al, 2016).
G. Tatalaksana
Dari gambar di atas, pengobatan pada otitis externa akut tanpa komplikasi meliputi
membersihkan saluran telinga, pengobatan antiseptic dan antimikroba topical, serta
analgesic. Penggunaan antibiotic sistemik digunakan ketika pengobatan antibiotic topical
tidak cukup adekuat atau jika terdapat gejala klinik sistemik.
b. Pengobatan topical
Penggunaan obat topical seperti agen antiseptik, antimikroba (antibiotic), kortikosteroid,
atau kombinasi dapat memperbaiki manifestasi klinis pada 65-90% pasien dalam 7-10 hari.
Dalam percobaan meta-analisis dan randomized control trial, agen antiseptic dan antibiotic
menghasilkan gejala klinis yang sama-sama baik, tidak terdapat perbedaan yang ditemukan
antara penggunaan tunggal ataupun kombinasi, dengan atau tanpa tambahan
kortikosteroid. Meski demikian, kortikosteroid topical dapat mengurangi eritem dan
sekresi.
1. Antiseptic topikal
Keuntungan dari agen antiseptic topical adalah memiliki spektrum yang luas,
mengandung alkohol yang merupakan desinfektan efek yang pada konsentrasi yang
tinggi dapat menghilangkan air dari jaringan sehingga mengurangi edema. Obat yang
termasuk dalam agen antiseptic topical ini adalah asam asetat 2%, klorheksidin, dan
alumunium asetat. Penurunan pH oleh preparat asam daopat menghambat pertumbuhan
bakteri yang sebagian besar tumbuh pada pH netral. Penggunaan antiseptic topical
selama 7 hari akan memberikan efek yang sama seperti penggunaan tetes antibiotic
atau kortikosteroid.
2. Antibiotic topical
Antibiotic yang digunakan harus sensitive terhadap Pseudomonas aeruginosa dan
Staphylococcus aureus. Yang termasuk dalam agen antibiotic ini adalah kuinolon
(siprofloksasin), aminoglikosida (neomisin), atau polimiksin (polimiksin B).
penggunaan antibiotic ini dapat mengurangi gejala, mempercepat pertumbuhan, serta
menurunkan angka kekambuhan.
Kuinolon sangat efektif dan tidak menyebabkan iritasi local, namun, kontak yang
terlalu lama akan menyebabkan resistensi. Sedangkan neomisin efektif namun bersifat
ototoksik, harus diberikan pada pasien dengan gendang telinga yang utuh, serta dapat
menimbulkan dermatitis kontak pada 15-30% pasien. Dan penggunaan polimiksin
tunggal tidak efektif dalam melawan staphylokokus dan bakteri gram positif lainnya.
3. Kortikosteroid topical
Penggunaan kortikosteroid topical bermanfaat dalam mengurangi edema, nyeri,
inflamasi seperti eritema, dan sebagai efek antibakteri dan antijamur. Pengaruh
kortikosteroid terbesar ada pada beberapa hari pertama pengobatan.
4. Pengobatan antijamur
Dalam kasus infeksi jamur, dapat digunakan ciclopirox, nystatin, klotrimazole, atau
miconazole. Dye solution sudah tidak dianjurkan lagi karena potensi toksisitas pada
telinga dalam dan efikasinya rendah, Pada pasien dengan gendang telinga yang
berlubang, dapat diberikan antifungal sistemik seperti fluconazole atau itraconazole.
5. Analgesic
Sakit telinga yang parah dapat disebabkan oleh periosteum yang sangat sensitive
terlibat dalam proses inflamasi. Analgesic yang dapat digunakan yaitu ibuprofen dan
derivate asetaminofen.
Telinga sehat berawal dari telinga yang bersih, dan pendengaran yang baik berawal dari
telinga sehat. Dengan kata lain, telinga yang bersih prasyarat telinga sehat dan pendengaran baik.
1. Cuci tangan
Dewasa ini kesadaran akan kebersihan dan mencuci tangan sudah mulai banyak dilakukan.
Cuci tangan 6 langkah pakai sabun merupakan sebuah kampanye global yang dicanangkan
oleh PBB dan organisasi kepemerintahan ataupun swasta. Mencuci tangan merupakan
salah satu pencegahan terhadap adanya infeksi di tubuh, salah satunya infeksi telinga. Cuci
tangan 6 langkah menggunakan sabun diperkirakan dapat menurunkan angka infeksi
sebesar 6,1 – 16% (Kemenkes, 2014).
2. Membersihkan telinga
Kebiasaan membersihkan telinga biasanya dilakukan dengan mengorek telinga
menggunakan benda seperti kunci, jepit rambut, tissue yang dipilin, atau bahkan benda
lainnya yang kotor dan dapat membuat telinga menjadi iritasi. Tindakan tersebut bukan
hanya merangsang terbentuknya serumen lebih banyak, namun juga berisiko terinfesi
akibat iritasi saat membersihkan liang telinga. Tindakan pembersihan liang telinga dengan
cotton bud,tissue atau ujung handuk juga menyebabkan serumen makin terdorong kedalam
serumen pada orang normal merupakan cairan pembersih liang telinga. Tindakan
mengorek liang telinga juga berisiko menyebabkan pecahnya gendang telinga. Kebanyak
orang mungkin beranggapan bahwa membersihkan telinga dengan cotton bud secara rutin
merupakan hal yang baik. Namun, ternyata anggapan ini salah. Justru, tidak dianjurkan
untuk memasukkan cotton bud atau sesuatu lainnya ke dalam telinga untuk membersihkan
telinga. Memasukkan cotton bud ke dalam telinga justru berisiko untuk mendorong
kotoran telinga masuk ke dalam. Selain itu, memasukkan sesuatu ke dalam rongga telinga
juga berisiko dapat merusak organ sensitif dalam telinga, seperti gendang telinga. Jadi, cara
yang tepat untuk membersihkan telinga dengan menggunakan handuk lembut dan bersih
membersihkan hanya di bagian luarnya saja.
Begitu juga dengan ear candling atau lilin telinga, terapi ini diyakini oleh banyak
masyarakat dapat mengeluarkan kotoran telinga dalam waktu singkat. Terapi lilin diklaim
dapat membersihkan kotoran telinga dan menyembuhkan berbagai macam keluhan pasien.
Hal ini tentu saja tidak benar, karena sudah dibuktikan dengan dilakukannya penelitian
terhadap proses tersebut. Yang pertama, ternyata proses pembakaran lilin tidak
menghasilkan tekanan negatif di telinga, apalagi menghisap kotoran telinga hingga bersih.
Kotoran yang muncul dan menempel pada lilin ternyata adalah hasil pembarakan dari lilin
bukan kotoran telinga (serumen) yang terhisap oleh proses pembakaran. Dari hasil
penelitian terhadap bahan yang dikeluarkan dari telinga mengandung molekul Alkana yang
merupakan bahan pembuat lilin tersebut. Jadi dapat disimpulkan penggunaan lilin telinga
ini tidak dapat mengeluarkan kotoran ataupun membersihkan telinga serta menyembuhkan
penyakit. Selain itu, bahayanya menggunakan ear candle atau lilin telinga adalah sisa
cairan hasil pembakaran lilin tersebut dapat tersisa dan menempel di dinding telinga
sehingga lama kelamaan akan menyebabkan penyumbatan pada telinga kemudia terjadilah
gangguan pendengaran. Selain itu dapat juga terjadi otitis eksterna dan luka bakar pada
liang telinga ( Husni, 2015).
3. Menghindari dan memilih pemakaian sumbat telinga seperti headset dalam jangka waktu
lama. Penggunaan headset yang masuk ke dalam liang telinga sebaiknya dihindari karena
dapat menyebabkan pembersihan pada liang telinga oleh serumen menjadi terhambat
sehingga serumen akan menumpuk dan menimbulkan penyumbatan pada liang telinga.
Apabila memang harus menggunakan headset, dianjurkan menggunakan headset yang saat
penggunaannya hanya menutupi daun telinga saja, hal ini mengurangi memiliki risiko lebih
rendah untuk terjadinya penyumbatan oleh serumen. Selain itu, bila terlalu sering
menggukan headset atau pada pengguna alat bantu dengar dengan tipe alatnya masuk
dalam liang telinga, pembersihan secara berkala mengurangi risiko terjadinya penumpukan
serumen.
4. Jaga liang telinga agar tetap kering
Telinga yang selalu basah atau kelembaban telinga yang berlebihan dapat memungkinkan
bakteri untuk masuk ke dalam saluran telinga. Hal ini dapat menyebabkan infeksi pada
telinga yang disebut dengan telinga perenang (swimmer’s ear) atau otitis eksterna.
Swimmer’s ear adalah infeksi pada telinga luar yang disebabkan oleh air yang terjebak di
saluran telinga sehingga mengakibatkan bakteri terperangkap. Dalam lingkungan yang
hangat dan lembab, bakteri ini semakin banyak jumlahnya sehingga menyebabkan iritasi
dan infeksi pada saluran telinga. Oleh karena itu, pastikan telinga selalu kering. Jika Anda
hobi berenang, ada baiknya menggunakan penyumbat telinga untuk renang untuk
mencegah air masuk ke dalam telinga. Tetapi penggunaan penyumbat telinga ini juga harus
dibatasi, agar telinga tidak menjadi teriritasi sehingga mempermudah terjadinya infeksi.
Jika merasa ada air yang masuk ke dalam telinga, jangan malah menambahkan air, segera
miringkan kepala dan tarik cuping telinga untuk membantu agar air bisa ke luar. Jangan
lupa, untuk selalu mengeringkan telinga dengan handuk kering setiap selesai berenang dan
juga setiap selesai mandi.
Setelah melakukan aktivitas mandi atau berenang, untuk mengeringkan air yang ada di
dalam telinga juga dapat digunakan hair dryer atau pengering rambut dengan pengaturan
panas yang paling kecil. Untuk seseorang yang memiliki hobi berenang, sebaiknya
memberikan jarak dari jadwal renang yang satu dan lainnya minimal tujuh sampai 10 hari
guna menjaga kesehatan telinga.
5. Lakukan pemeriksaan telinga secara rutin
Memeriksakan telinga ke dokter penting untuk dilakukan, terlebih lagi saat usia mulai
menua. Gangguan pendengaran berkembang secara bertahap, sehingga Anda perlu
memastikan kondisi telinga dalam keadaan sehat setiap waktu. Anda perlu untuk
melakukan tes awal pendengaran sehingga dapat mengukur dan mengambil tindakan setiap
ada gangguan pendengaran yang dirasakan. Pemeriksaan telinga juga dilakukan untuk
memastikan tidak ada penumpukan kotoran telinga di dalam telinga. Hindari mengobati
sendiri jika telinga terasa sakit atau bergending, lebih baik berkonsultasi dengan dokter
THT yang akan memeriksa kesehatan telinga Anda. Apa pun yang terjadi pada telinga
anda, dokter akan memberikan saran tentang menjaga kesehatan telinga ( Kemenkes,
2018).
Daftar Pustaka
Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, 2018. “Rencana
Strategis Kemenkes Tanggulangi Gangguan Pendengaran”. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.http://www.depkes.go.id/article/view/17030300004/rencana-strategis-kemenkes-
tanggulangi-gangguan-pendengaran.html
Hajioff, D., and Mackeith, S., 2015. ‘Otitis externa’. pp. 1–23.
Wiegand, S., et al, 2019. Otitis Externa. pp. 224–235. doi: 10.3238/arztebl.2019.0224.
Adams, G.L., Boeis, L.R., Higler, P.A., 2012. Buku Ajar Penyakit THT BOIES. edisi 6,
Jakarta :EGC.
Mustafa, M., et al, 2015. Acute Otitis Externa: Pathophysioogy, Clinical Presentation, And
Treatment. Journal of Dental and Medical Sciences. 14(7), 73-78. doi: 10.9790/0853-1471 7378
Rosenfeld, Richard M., Seth R.S., Cannon C.R., Roland P.S., Simon G.R., Kumar K.A.,
Huang W.W., Haskell H.W., & Robertson P.J., 2016. Clinical Practice Guideline: Acute Otitis
Externa vol. 150. American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Foundation :
America.
Gore J., 2018. Otitis externa. Journal of the American Academy of Physician Assistants
(JAAPA) vol. 31 no. 2. : America.
Kementrian Kesehatan RI, 2014. Perilaku Mencuci Tangan Pakai Sabun di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi (InfoDATIN).
Husni, T., 2015. Komplikasi Tindakan Ear Candle. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Vol.
15, No.1, April.