Anda di halaman 1dari 6

ENSIKLOPEDI ISLAM

Sarana Belajar Islam Online

Beranda ▼

Senin, 04 Juni 2012

Amalan antara Azan dan Iqamat

‫اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬ ‫ﺑﺴﻢ ا‬


Amalan Antara Azan dan Iqamat
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita melantunkan syair-syair atau bacaan-
bacaan tertentu dengan pengeras suara antara azan dan iqamat. Namun apakah
perbuatan tersebut sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau
tidak? Nah, maka pada kesempatan kali ini insya Allah penulis akan menerangkan
amalan yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam antara
azan dan iqamat, semoga Allah menjadikan tulisan ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Jika kita melihat Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita akan
temukan, bahwa sunnah Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang dilakukan antara
 azan dan iqamat adalah melakukan shalat sunnah dan memanfaatkan waktu tersebut
dengan berdoa.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«‫ﺎء‬ َ ‫ َﺛ‬،‫ﻼ ٌة‬
َ ‫ﻼ ًﺛﺎ ِﻟ َﻤ ْﻦ َﺷ‬ َ ‫»ﺑ َْﻴ َﻦ ﻛُﻞ ا َذا َﻧ ْﻴ ِﻦ َﺻ‬
"Antara dua azan (azan dan iqamat) ada shalat." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga
kali dan menambahkan, "Bagi siapa yang mau." (HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu, antara azan dan iqamat merupakan waktu pelaksanaan shalat sunah
rawatib, baik yang mu'akkadah (ditekankan), seperti dua rakaat sebelum Subuh dan dua
rakaat atau empat rakaat sebelum Zhuhur, maupun yang ghairu mu'akkadah (tidak
begitu ditekankan), seperti dua rakaat atau empat rakaat sebelum Ashar, dua rakaat
sebelum Maghrib, dan dua rakaat sebelum Isya.
Adapun dalil bahwa antara azan dan iqamat disyariatkan berdoa adalah sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
َ ‫ان َو ْاﻻ َﻗ‬
«‫ﺎﻣ ِﺔ‬ ْ
ِ ‫ﺎء ﺑ َْﻴ َﻦ اﻻ َذ‬
َ
ُ َ‫»ﻻ ﻳُ َﺮد اﻟﺪﻋ‬
"Doa antara azan dan iqamat tidak ditolak." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i,
dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3408)
Tentang hadits ini penyusun kitab Subulussalam berkata, "Hadits tersebut
menunjukkan dikabulkannya doa di waktu-waktu ini, karena tidak ditolak berarti
dikabulkan dan diijabahkan. Dan hadits tersebut umum untuk semua doa, namun tetap
harus dibatasi berdasarkan hadits-hadits yang lain, yaitu selama doanya tidak
mengandung dosa atau memutuskan tali silaturrahim."
Dan perlu diketahui, bahwa urutan yang dilakukan setelah menjawab panggilan azan
adalah bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
‫ ُﺛﻢ‬،‫ َﻓﺎﻧ ُﻪ َﻣ ْﻦ َﺻﻠﻰ ﻋَ ﻠَﻲ َﺻ َﻼ ًة َﺻﻠﻰ ا ﻋَ ﻠَ ْﻴ ِﻪ ِﺑﻬَ ﺎ ﻋَ ْﺸ ًﺮا‬،‫ﻮل ُﺛﻢ َﺻﻠﻮا ﻋَ ﻠَﻲ‬ ُ ‫ﻮﻟﻮا ِﻣ ْﺜ َﻞ َﻣﺎ ﻳَ ُﻘ‬ ُ ‫ َﻓ ُﻘ‬،‫ا َذا َﺳ ِﻤﻌْ ﺘُ ُﻢ ْاﻟ ُﻤ َﺆذ َن‬
‫ َﻓ َﻤ ْﻦ َﺳﺎ َل ِﻟﻲ‬،‫ﻮن ا َﻧﺎ ُﻫ َﻮ‬
َ ُ‫ َوا ْر ُﺟﻮ ا ْن اﻛ‬، ِ ‫ﺎد ا‬ ِ ‫ َﻓﺎﻧﻬَ ﺎ َﻣﻨ ِْﺰﻟَ ٌﺔ ِﻓﻲ ْاﻟ َﺠ‬،‫َﺳ ُﻠﻮا ا َ ِﻟ َﻲ ْاﻟ َﻮ ِﺳﻴﻠَ َﺔ‬
ِ ‫ َﻻ َﺗ ْﻨ َﺒ ِﻐﻲ اﻻ ﻟِﻌَ ْﺒ ٍﺪ ِﻣ ْﻦ ِﻋ َﺒ‬،‫ﻨﺔ‬
‫ْاﻟ َﻮ ِﺳﻴﻠَ َﺔ َﺣﻠ ْﺖ ﻟَ ُﻪ اﻟﺸ َﻔﺎﻋَ ُﺔ‬
"Apabila kalian mendengar muazin, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muazin,
kemudian bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat
kepadaku satu shalawat saja, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali. Kemudian
mintakanlah kepada Allah untukku wasilah, karena ia adalah sebuah kedudukan di
surga yang tidak patut diberikan kecuali untuk salah seorang di antara hamba Allah.
Aku berharap orang itu adalah aku. Barang siapa yang memintakan wasilah untukku,
maka ia akan mendapatkan syafaatku." (HR. Muslim)
Menurut Ibnul Qayyim dalam Al Hadyu, bahwa ucapan shalawat yang paling lengkap
adalah ucapan shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
umatnya, karena tidak ada ucapan shalawat yang lebih sempurna daripadanya.
Ucapan shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada beberapa
macamnya, di antaranya seperti dalam hadits Ka'ab bin Ujrah radhiyallahu 'anhu berikut,
ia berkata,
َ ‫ ﻛَﻤَ ﺎ‬،‫آل ﻣُ ﺤَ ﻤ ٍﺪ‬
َ ‫ﺻﻠ ْﻴ‬ َ َ َ ‫ﻮﻟﻮا اﻟﻠ ُﻬﻢ‬ُ ‫»ﻗ‬ُ :‫ﺎل‬َ ‫َﻗﺪْ ﻋَ َﺮ ْﻓﻨَﺎ ﻛ َ ْﻴ َﻒ ُﻧ َﺴﻠ ُﻢ ﻋَ ﻠَ ْﻴ َﻚ َﻓﻜ َ ْﻴ َﻒ ُﻧ َﺼﻠﻲ ﻋَ ﻠَ ْﻴ َﻚ؟ َﻗ‬
‫ﺖ‬ ِ ‫ وَ ﻋَ ﻠﻰ‬،‫ﺻﻞ ﻋَ ﻠﻰ ﻣُ ﺤَ ﻤ ٍﺪ‬
َ َ ْ‫ ﻛَﻤَ ﺎ ﺑَﺎرَ ﻛ‬،‫اﻟﻠﻬﻢ ﺑَﺎركْ ﻋَ ﻠَﻰ ﻣُ ﺤَ ﻤ ٍﺪ وَ ﻋَ ﻠَﻰ آل ﻣُ ﺤَ ﻤ ٍﺪ‬ُ ،‫ﻴﺪ‬ٌ ‫ﻴﺪ ﻣَ ِﺠ‬ ٌ ‫ اﻧ َﻚ ﺣَ ِﻤ‬، َ‫اﻫﻴﻢ‬ َ
‫ اﻧ َﻚ‬، َ‫اﻫﻴﻢ‬ ِ ‫ﺖ ﻋَ ﻠﻰ‬
ِ َ‫آل اﺑْﺮ‬ ِ ِ ِ َ‫آل اﺑْﺮ‬ ِ ‫ﻋَ ﻠﻰ‬
«‫ﻴﺪ‬ٌ ‫ﻴﺪ ﻣَ ِﺠ‬ ٌ ‫ﺣَ ِﻤ‬
"Kami telah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana
kami bershalawat kepadamu?" Beliau menjawab: "Katakanlah, "Allahumma shalli 'alaa
Muhammad…dst." (artinya: “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan
kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat
kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya
Allah, berilah keberkahan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan keberkahan kepada keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita memperhatikan hadits di atas, kita dapat mengetahui bahwa para sahabat
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berani membuat bacaan shalawat tertentu,
bahkan mereka bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang cara
bershalawat kepada Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengapa sebagian
orang berani membuat shalawat kemudian menganjurkan manusia untuk
membacanya, seperti shalawat Badar, shalawat Nariyah, dan sebagainya?
Adapun permintaan wasilah yang diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar
kita memintakannya, telah diajarkan juga oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu
mengucapkan:
ً ُ‫آت ﻣُ ﺤَ ﻤ ًﺪا ْاﻟﻮَ ِﺳﻴﻠَ َﺔ وَ ْاﻟ َﻔ ِﻀﻴﻠَ َﺔ وَ اﺑْﻌَ ْﺜ ُﻪ ﻣَ َﻘﺎﻣً ﺎ ﻣَ ْﺤﻤ‬
‫ﻮدا اﻟ ِﺬي‬ ِ ،‫ وَ اﻟﺼ َﻼ ِة ْاﻟ َﻘﺎ ِﺋﻤَ ِﺔ‬،‫اﻟﻠ ُﻬﻢ رَ ب َﻫ ِﺬ ِه اﻟﺪﻋْ ﻮَ ِة اﻟﺘﺎﻣ ِﺔ‬
  ‫وَ ﻋَ ْﺪ َﺗ ُﻪ‬
“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, pemilik shalat yang akan
ditegakkan. Berikanlah kepada Muhammad wasiilah (derajat tinggi) dan keutamaan,
bangkitkanlah ia ke tempat yang terpuji (maqam mahmud) yang telah Engkau
janjikan[i].” (HR. Empat orang penyusun kitab Sunan)
Dan tidak ada tambahan "sayyidina" dalam doa tersebut, demikianlah yang disebutkan
dalam hadits.
Selanjutnya, kita melakukan shalat sunnah, dan setelah shalat sunnah kita berdoa
dengan doa apa saja yang kita inginkan selama tidak mengandung dosa dan
memutuskan tali silaturrahim. Namun sebaik-baik doa yang kita panjatkan adalah
meminta 'afw (dihapuskan dosa) dan 'afiyat (keselamatan dalam agama dari fitnah dan
keselamatan pada diri dari penyakit dan ujian yang berat). Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,
ِ َ‫اﻟﻴ ِﻘ ْﻴ ِﻦ َﺧ ْﻴ ًﺮا ِﻣ َﻦ اﻟﻌ‬
‫ﺎﻓ َﻴ ِﺔ‬ ِ َ‫اﺳﺎ ُﻟﻮا ا َ اﻟﻌَ ْﻔ َﻮ َواﻟﻌ‬
َ َ‫ َﻓﺎن ا َﺣﺪً ا ﻟَ ْﻢ ﻳُ ﻌْ َﻂ ﺑَﻌْ ﺪ‬،‫ﺎﻓ َﻴ َﺔ‬ ْ
"Mintalah kepada Allah 'afw dan 'afiyat. Sesungguhnya seseorang tidaklah diberikan
pemberian yang lebih baik setelah keyakinan daripada 'afiyat." (HR. Ahmad dan Tirmidzi,
dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3632)
Oleh karena waktu antara azan dan iqamat disyariatkan melakukan shalat sunnah atau
berdoa, maka hendaknya jarak antara azan dan iqamat tidak terlalu cepat di samping
tidak terlalu lama sekali. Ibnu Baththal berkata, "Tidak ada batasan jaraknya selain
memberikan kesempatan masuk pada waktunya dan berkumpulnya orang-orang yang
shalat." Yang demikian untuk memberikan kesempatan orang-orang yang berada di
rumah pergi ke masjid dan dapat berkumpul bersama, demikian pula agar orang-orang
bisa melakukan shalat sunat, dan sebagainya. Selanjutnya, ketika imam datang, maka
iqamat dikumandangkan, dan hendaknya makmum tidak berdiri sampai melihat imam
datang. Al Hafizh berkata, "Dipadukan antara kedua hadts itu (yang disebutkan oleh Al
Hafizh), yaitu bahwa Bilal memperhatikan waktu keluarnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam (dari rumah). Ketika ia telah melihat Beliau, maka ia segera iqamat sebelum
orang-orang melihat Beliau. Kemudian setelah orang-orang melihat Beliau, mereka pun
berdiri."
Demikianlah Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tetapi apabila imam sudah berada di masjid, maka menurut sebagian besar ulama,
bahwa makmum tidak berdiri sampai iqamat selesai dikumandangkan. Menurut Imam
malik, bahwa berdirinya orang-orang (makmum) ketika diiqamatkan tidak ada
batasannya, bahkan menurutnya sesuai kemampuan manusia, karena di antara mereka
ada yang berat (berdiri) dan ada yang ringan. Adapun Anas, maka ia berdiri ketika orang
yang iqamat telah mengucapkan "Qadqaamatish shalah," (sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnul Mundzir dan lainnya). Menurut Ibnul Musayyib, "Apabila yang iqamat
mengucapkan "Allahu akbar," maka makmum harus berdiri. Apabila yang iqamat telah
mengucapkan, "Hayya 'alash shalah," maka shaf-shaf diratakan, dan apabila yang
iqamat mengucapkan, "Laailaahaillallah," maka imam bertakbir." Namun pendapat ini
sebagaimana diterangkan Imam Ash Shan'aniy dalam Subulussalam adalah sekedar
pendapat beliau saja, dan tidak disebutkan Sunnahnya (dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam). Di antara pendapat-pendapat tersebut, tampaknya pendapat Imam Malik
sangat tepat, wallahu a'lam.
Saudaraku, inilah petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dilakukan antara
azan dan iqamat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian saudara kita berupa
melantunkan pujian-pujian atau syair-syair dengan pengeras suara adalah perbuatan
yang tidak benar, menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
merupakan perkara yang baru (bid'ah) dalam agama ini, terlebih hal itu dilakukan ketika
ada yang sedang shalat sunat, maka lebih tidak dibenarkan lagi. Jika mengeraskan
bacaan Al Qur'an saja ketika ada yang shalat diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk dipelankan, apalagi ini pujian-pujian dan syair-syair atau shalawat-
shalawat buatan yang bahkan di antaranya ada yang mengandung syirk seperti dalam
shalawat nariyah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
‫ َو َﻻ ﻳَ ْﺠﻬَ ْﺮ ﺑَﻌْ ُﻀﻜُ ْﻢ ﻋَ ﻠَﻰ ﺑَﻌْ ٍﺾ‬،‫ﺑﻪ‬ ِ ‫ َﻓ ْﻠ َﻴﻌْ ﻠَ ْﻢ ا َﺣﺪُ ﻛُ ْﻢ َﻣﺎ ﻳُ ﻨ‬،‫ﺑﻪ‬
ُ ‫َﺎﺟﻲ َر‬ ِ ‫ َﻓﺎﻧ ُﻪ ﻳُ ﻨ‬،‫ﺎم ِﻓﻲ اﻟﺼ َﻼ ِة‬
ُ ‫َﺎﺟﻲ َر‬ َ ‫ا َﻣﺎ ان ا َﺣﺪَ ﻛُ ْﻢ ا َذا َﻗ‬
‫اء ِة ِﻓﻲ اﻟﺼ َﻼ ِة‬ َ ‫ِﺑ ْﺎﻟ ِﻘ َﺮ‬
"Sesungguhnya salah seorang di antara kamu ketika berdiri shalat sedang bermunajat
dengan Tuhannya, maka hendaknya salah seorang di antara kamu mengetahui apa
munajatnya, dan janganlah satu sama lain mengeraskan bacaan dalam shalat." (HR.
Ahmad, dan dinyatakan isnadnya shahih oleh Pentahqiq Musnad).
Demikianlah pembahasan tentang amalan yang dilakukan antara azan dan iqamat,
semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji: Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Al Mausu'ah Al Haditsiyyah Al
Mushaghgharah, Al Qaulul Mubin fii Akhthaa'il Mushallin, dll.

Tambahan Risalah
Kesalahan yang terjadi antara azan dan Iqamat
Alhamdulilah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ala alihihi wa shahbihi
ajma’in, amma ba’du:
Sebagian orang awam ketika berada antara azan dan iqamat ada yang melantunkan
atau menyanyikan puji-pujian dan sholawat yang tidak syar’i dengan pengeras suara
padahal di sana ada ada orang yang sedang melakukan shalat. Hal ini adalah keliru,
karena beberapa alasan di bawah ini:
1.      Antara azan dan iqamat disyariatkan melakukan shalat sunah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Baina kulli adzanain shalah” (antara azan
dan iqamat ada shalat) HR. Bukhari dan Muslim. Dan Ketika ada yang sedang shalat
kita dilarang mengeraskan suara agar saudara kita dapat khusyu dalam shalatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ ِ ‫ﺑﻪ َﻓ ْﻠ َﻴﻨ ُْﻈ ْﺮ ِﺑ َﻢ ﻳُ ﻨ‬ ِ ‫ان ْاﻟ ُﻤ َﺼﻠ َﻲ ﻳُ ﻨ‬
ِ ‫َﺎﺟ ْﻴ ِﻪ َو ﻻَ ﻳَ ْﺠﻬَ ْﺮ ﺑَﻌْ ُﻀﻜُ ْﻢ ﻋَ ﻠﻰ ﺑَﻌْ ٍﺾ ِﺑﺎﻟ ُﻘ ْﺮ‬
‫آن‬ ُ ‫َﺎﺟﻲ َر‬
“Sesungguhnya orang yang sedang shalat sedang bermunajat kepada Rabbnya,
maka hendaknya  ia perhatikan munajatnya itu, dan janganlah sebagian kalian
mengeraskan bacaan Al Qur’an kepada sebagian yang lain (yang sedang shalat).”
(HR. Thabrani, Shahihul Jami no. 1951)
Sangat disayangkan, anak-anak dilarang berisik di dalam masjid karena ada yang
sedang shalat sunah, tetapi orang yang menyanyikan puji-pujian dengan pengeras
suara dibiarkan, padahal suaranya lebih keras daripada anak-anak.
2.    Antara azan dan iqamat di samping ada shalat sunah, juga merupakan saat yang
mustajab untuk berdoa (berdasarkan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Dawud, dan lain-lain, lihat Shahihul Jami no. 3408). Oleh karena itu,
menggunakan waktu ini untuk melantunkan atau menyanyikan puji-pujian adalah
menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3.      Jika seseorang berkata, “Kami menyanyikan doa ini adalah sebagai bentuk
memanfaatkan waktu antara azan dan iqamat dengan berdoa,” Kita jawab, “Allah
menyuruh kita berdoa dengan sikap tadharru (merendah diri) dan suara yang
lembut, tidak dengan cara bersenandung. Dia berfirman, “Berdoalah kepada
Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Terj. QS. Al A’raf: 55)
4.    Jika seseorang berkata, “Tetapi ini ‘kan baik?” Kita jawab, “Kalau hal itu baik, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya, dan para sahabat
telah melakukannya. Di samping itu, pada saat tersebut adalah saat dimana
seseorang dianjurkan melakukan shalat sunah dan berdoa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau anda memanfaatkannya dengan bersenandung
berarti anda keliru dan menyelisihi perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Padahal bukti cinta keada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan
mengikuti sunnah Beliau, tidak cukup hanya di lisan.
5.    Terkadang sebagian orang awam melantunkan puji-pujian dan sholawatan yang
tidak diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti melantunkan
shalawat nariyah, yaitu “Allahumma shalli shalatan wa sallam salaman tamma ‘ala
sayidina Muhammadiniladzi tanhallu bihil uqad…dst.” Shalawat ini di samping tidak
diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga di dalamnya
terdapat kemusyrikan, yaitu pada kata “tanhallu bihil uqadu wa tanfariju bihil kurab,”
dimana di sana dinyatakan, bahwa karena Nabi semua ikatan lepas dan karena Nabi
semua penderitaan hilang. Padahal yang menghilangkan penderitaan adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan demikian, melantunkan puji-pujian antara azan dan iqamat dengan pengeras
suara padahal ada yang sedang shalat adalah perbuatan yang keliru, menyelisih
petunjuk Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam, bahkan melanggar perintah Beliau untuk
tidak mengganggu orang yang sedang shalat. Maka hendaknya mereka berhenti dari
sikapnya ini setelah mengetahui.
Wallahu a’lam.
Wa shalllahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.PdI

[i] Dalam As Sunan Al Kubra oleh Baihaqi ditambahkan, "Innaka laa tukhliful mii'aad, "
namun menurut Syaikh Masyhur dalam Al Qaulul Mubin, bahwa tambahan tersebut
adalah syadz, karena tidak disebutkan dalam semua jalur hadits itu dari Ali bin Iyasy,
kecuali dalam riwayat Al Kasymihiniy terhadap Shahih Bukhari namun menyelisihi yang
lain, sehingga menjadi syadz karena menyelisihi riwayat yang lain terhadap Shahih
Bukhari.

Tsaqafah Islamiyyah di 23.54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

‹ Beranda ›
Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai