Beranda ▼
Tambahan Risalah
Kesalahan yang terjadi antara azan dan Iqamat
Alhamdulilah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ala alihihi wa shahbihi
ajma’in, amma ba’du:
Sebagian orang awam ketika berada antara azan dan iqamat ada yang melantunkan
atau menyanyikan puji-pujian dan sholawat yang tidak syar’i dengan pengeras suara
padahal di sana ada ada orang yang sedang melakukan shalat. Hal ini adalah keliru,
karena beberapa alasan di bawah ini:
1. Antara azan dan iqamat disyariatkan melakukan shalat sunah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Baina kulli adzanain shalah” (antara azan
dan iqamat ada shalat) HR. Bukhari dan Muslim. Dan Ketika ada yang sedang shalat
kita dilarang mengeraskan suara agar saudara kita dapat khusyu dalam shalatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ ِ ﺑﻪ َﻓ ْﻠ َﻴﻨ ُْﻈ ْﺮ ِﺑ َﻢ ﻳُ ﻨ ِ ان ْاﻟ ُﻤ َﺼﻠ َﻲ ﻳُ ﻨ
ِ َﺎﺟ ْﻴ ِﻪ َو ﻻَ ﻳَ ْﺠﻬَ ْﺮ ﺑَﻌْ ُﻀﻜُ ْﻢ ﻋَ ﻠﻰ ﺑَﻌْ ٍﺾ ِﺑﺎﻟ ُﻘ ْﺮ
آن ُ َﺎﺟﻲ َر
“Sesungguhnya orang yang sedang shalat sedang bermunajat kepada Rabbnya,
maka hendaknya ia perhatikan munajatnya itu, dan janganlah sebagian kalian
mengeraskan bacaan Al Qur’an kepada sebagian yang lain (yang sedang shalat).”
(HR. Thabrani, Shahihul Jami no. 1951)
Sangat disayangkan, anak-anak dilarang berisik di dalam masjid karena ada yang
sedang shalat sunah, tetapi orang yang menyanyikan puji-pujian dengan pengeras
suara dibiarkan, padahal suaranya lebih keras daripada anak-anak.
2. Antara azan dan iqamat di samping ada shalat sunah, juga merupakan saat yang
mustajab untuk berdoa (berdasarkan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Dawud, dan lain-lain, lihat Shahihul Jami no. 3408). Oleh karena itu,
menggunakan waktu ini untuk melantunkan atau menyanyikan puji-pujian adalah
menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Jika seseorang berkata, “Kami menyanyikan doa ini adalah sebagai bentuk
memanfaatkan waktu antara azan dan iqamat dengan berdoa,” Kita jawab, “Allah
menyuruh kita berdoa dengan sikap tadharru (merendah diri) dan suara yang
lembut, tidak dengan cara bersenandung. Dia berfirman, “Berdoalah kepada
Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Terj. QS. Al A’raf: 55)
4. Jika seseorang berkata, “Tetapi ini ‘kan baik?” Kita jawab, “Kalau hal itu baik, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya, dan para sahabat
telah melakukannya. Di samping itu, pada saat tersebut adalah saat dimana
seseorang dianjurkan melakukan shalat sunah dan berdoa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau anda memanfaatkannya dengan bersenandung
berarti anda keliru dan menyelisihi perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Padahal bukti cinta keada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan
mengikuti sunnah Beliau, tidak cukup hanya di lisan.
5. Terkadang sebagian orang awam melantunkan puji-pujian dan sholawatan yang
tidak diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti melantunkan
shalawat nariyah, yaitu “Allahumma shalli shalatan wa sallam salaman tamma ‘ala
sayidina Muhammadiniladzi tanhallu bihil uqad…dst.” Shalawat ini di samping tidak
diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga di dalamnya
terdapat kemusyrikan, yaitu pada kata “tanhallu bihil uqadu wa tanfariju bihil kurab,”
dimana di sana dinyatakan, bahwa karena Nabi semua ikatan lepas dan karena Nabi
semua penderitaan hilang. Padahal yang menghilangkan penderitaan adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan demikian, melantunkan puji-pujian antara azan dan iqamat dengan pengeras
suara padahal ada yang sedang shalat adalah perbuatan yang keliru, menyelisih
petunjuk Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam, bahkan melanggar perintah Beliau untuk
tidak mengganggu orang yang sedang shalat. Maka hendaknya mereka berhenti dari
sikapnya ini setelah mengetahui.
Wallahu a’lam.
Wa shalllahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan Hadidi, M.PdI
[i] Dalam As Sunan Al Kubra oleh Baihaqi ditambahkan, "Innaka laa tukhliful mii'aad, "
namun menurut Syaikh Masyhur dalam Al Qaulul Mubin, bahwa tambahan tersebut
adalah syadz, karena tidak disebutkan dalam semua jalur hadits itu dari Ali bin Iyasy,
kecuali dalam riwayat Al Kasymihiniy terhadap Shahih Bukhari namun menyelisihi yang
lain, sehingga menjadi syadz karena menyelisihi riwayat yang lain terhadap Shahih
Bukhari.
Posting Komentar
‹ Beranda ›
Lihat versi web