Anda di halaman 1dari 18

ESSAY

PATOFISIOLOGI SISTEM SYARAF

Disusun Oleh :

Salomi Ndawi Ngana (P1337424818082)


Shofia Dina Salsabila (P1337424818083)
Singgih Widhiawati (P1337424818084)
Siti Nekmatus Saidah (P1337424818085)
Sutiyah (P1337424818086)
Tesa Yulike W (P1337424818087)
Tri Puji Lestari (P1337424818088)
Ulva Nurul Fajriyah (P1337424818089)

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2018
SISTEM SARAF

Sistem persyarafan mempunyai kemampuan untuk mengoordinasi, menafsirkan,

dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem

persyarafan mengatur kebanyakan aktivitas sistem- sistem tubuh lainnya.

Pengaturan syaraf tersebut menyebabkan tubuh berfungsi sebagai unit yang

harmonis. Dalam sistem ini terdapat berbagai fenomena kesadaran, pikiran, ingatan,

bahasa, sensasi, dan gerakan. Jadi, kemampuan untuk dapat memahami,

mempelajari, dan merespons suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi

sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah

laku individu. Sistem persarafan dan sistem hormonal merupakan bagian-bagian

tubuh yang saling berkomunikasi dan saling berhubungan (Muttaqin, 2008).

Sistem persyarafan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem syaraf pusat dan

sistem syaraf tepi. Sistem syaraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem

syaraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem syaraf somatis (SSS) serta

neuron syaraf otonom/ viseral (Muttaqin, 2008).

Salah satu gangguan sistem persarafan pada neonatal adalah kejang. Kejang

pada neonatal secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik

misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf yang terjadi

pada bayi yang berumur sampai 28 hari. Kejang adalah pelepasan muatan oleh

neuron–neuron otak yang mendadak dan tidak terkontrol, yang menyebabkan

perubahan pada fungsi otak. Kejang terjadi ketika neuron-neuron serebrum tertentu

berada dalam keadaan hipereksitasi atau mudah mengalami depolarisasi. Neuron-

1
neuron ini memiliki potensial membran istirahat yang lebih rendah daripada normal

atau kehilangan hubungan-hubungan inhibitorik yang penting. Akibatnya neuron

ini memiliki potensial ambang yang diperlukan untuk melepaskan potensial aksi

yang disebut fokus epileptogenik. Neuron tersebut berespon terhadap rangsangan

yang pada neuron lain tidak menimbulkan pelepasan muatan yang berlebihan.

Selama kejang kebutuhan oksigen serebrum meningkat lebih dari 200%. Apabila

kebutuhan oksigen tidak dapat terpenuhi, akan terjadi hipoksia dan kerusakan otak

(IDAI, 2014)(Corwin, 2000).

Angka kejadian kejang pada neonatal tidak diketahui secara pasti. Di

Indonesia kasus epilepsi berjumlah paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus dengan

pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan sekitar 40%-50% dari

prevalensi tersebut terjadi pada anak-anak (Andrianti et al., 2016).

Epilepsi adalah suatu kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang

refersibel. Penyebab kejang pada neonatal terjadi karena susunan saraf pusat.

Secara primer terjadi karena proses intrakranialseperti meningitis, cerebrovaskuler

accident, enchepalitis, perdarahan intrakranial, tumor. Penyebab sekunder terjadi

karena masalah sistemik atau metabolik misalnya iskemik hipoksik, hipokalsemia,

hipoglikemia, hiponatremia. Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan

muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang

mengakibatkan gerakan berulang. Terjadinya depolarisasi pada saraf akibat

masuknya natrium dan repolarisasi terjadi karena keluarnya kalium melalui

membran sel. Untuk mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang

berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium

2
dan masuknya kalium. Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang

tajam kadar glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau

meningkat disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme

transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada.

Kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi

kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang dan pH

arteri sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah naik

(Corwin, 2000)(IDAI, 2014).

Gambaran klinis dari epilepsi dapat berkaitan dengan ketidaksadaran yang

biasanya disertai dengan jatuhnya tubuh. Adanya gerakan menyentak pada lengan

dan tungkai yang tidak terkontrol. Epilepsi juga dapat menimbulkan periode apneu

yang singkat serta pengeluaran air liur dan mulut berbusa. Stadium pascaiktus

berupa stupor atau koma, diikuti oleh kebingungan, nyeri kepala dan kelelahan.

Pada semua kejang dapat timbul prodroma yaitu perasaan atau gejala tertentu yang

mungkin mendahului kejang selama beberapa jam atau hari. Selain itu, pada kejang

dapat timbul aura yang merupakan sensasi sensorik tertentu yang sering timbul

sesaat menjelang kejang. Komplikasi dari kejang yaitu kerusakan otak akibat

hipoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang. Penderita dapat

mengalami depresi dan keadaan cemas (Corwin, 2000).

Penatalaksanaan kejang pada neonatus meliputi stabilisasi keadaan umum

bayi, menghentikan kejang dan identifikasi serta pengobatan faktor etiologi dan

suportif untuk mencegah kejang berulang. Pastikan bayi dijaga tetap hangat dengan

membungkus bayi menggunakan kain lunak, kering, diselimuti dan memakai topi

3
untuk menghindari kehilangan panas, kemudian merujuk ke fasilitas pelayanan

yang lebih lengkap (Saiffudin and Dkk, 2010).

Menurut IDAI (2014), manajemen awal kejang adalah:

1. Pengawasan jalan nafas bersih dan terbuka, pemberian oksigen.

2. Pasang jalur infus IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.

3. Bila kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL, tangani hipoglikemia sebelum

melanjutkan manejemen kejang.

4. Bila bayi dalam kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam terakhir, beri

injeksi fenobarbital 20 mg/ kg BB secara IV diberikan pelan-pelan dalam waktu

5 menit.

a. Bila jalur IV belum terpasang, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg dosis

tunggal secara IM atau dosis dapat ditingkatkan 10-15% dibanding dosis IV.

1) Bila kejang tidak berhenti dalam 30 menit, beri ulangan fenobarbital 10

mg/kg BB secara IV atau IM. Dapat diulangi sekali lagi 30 menit

kemudian bila perlu. Dosis maksimal 40 mg/kg BB perhari.

2) Bila kejang masih berlanjut atau berulang beri fenitoin 20 mg/kg, dengan

memperhatikan hal-hal sebagai berikut: fenitoin hanya boleh diberikan

secara IV. Campur dosis fenitoin kedalam 15 ml garam fisiologis dan

diberikan dengan kecepatan 0,5 mL/menit selama 30 menit. Fenitoin

hanya boleh dicampur dengan larutan garam fisiologis sebab cairan lain

akan mengakibatkan kristalisasi. Monitor denyut jantung selama

pemberian fenitoin IV.

4
Terapi suportif yang dapat dilakukan menurut IDAI (2014) adalah sebagai

berikut:

1. Pemantauan ketat dengan memasang monitor jantung dan pernapasan serta

“pulse oxymeter”.

2. Pasang jalur intravena, berikan infus dextrose.

3. Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan.

4. Koreksi gangguan metabolik dengan tepat.

Terapi medikamentosa yaitu pemberian antikonvulsan merupakan indikasi

pada manajemen awal.

1. Fenobarbital

a. Dosis awal (loading dose) 20- 40 mg/kgBB intravena diberikan mulai dengan

20 mg/kgBB selama 5- 10 menit.

b. Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah.

c. Dosis rumatan3- 5 mg/kgBB dibagi dalam dua dosis.

d. Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian intravena atau

2- 4 jam setelah pemberian peroral dengan kadar 15- 45 ugm/mL.

2. Fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak memberi respon

yang adekuat terhadap pemberian fenobarbital.

a. Dosis awal (loading dose) untuk status epileptikus 15- 20 mg/kgBB intravena

pelan- pelan.

b. Karena efek alami obat yang iritatif, maka beri pembilas larutan garam

fisiologis sebelu dan sesudah pemberian obat.

5
c. Pengawasan terhadap gejala bradikardi, aritmia dan hipotensi selama

pemberian infus.

d. Dosis rumat hanya dengan jalur intravena (karena pemberian oral tidak

efektif) 5- 8 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua atau tiga dosis.

e. Kadar terapeutik dalam darah (fenitoin bebas dan terikat) 12- 20 mg/L atau

1- 2 mg/L (hanya untuk fenitoin bebas).

3. Lorazepam (Ativan) biasanya diberikan kepada neonatal yang tidak memberi

respon terhadap pemberian fenobarbitaldan fenitoin secara berurutan.

a. Dosis efektif 0,05- 0,10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai dengan 0, 05

mg/kgBB pelan- pelan dalam beberapa menit.

b. Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk efek

antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang 5 menit.

c. Pengawasan terhadap depresi pernapasan dan hipotensi.

4. Asam Valproat biasanya dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkita.

Dosis untuk anak- anak yaitu 30- 60 mg/kgBB/ hari (dosis terbagi).

Pengobatan epilepsi sebaiknya dimulai dengan satu macam obat. Idealnya,

pemilihan jenis obat tergantung pada tipe epilepsi dan tipe serangan atau bangkitan

(seizure)(Andrianti et al., 2016) .

6
STUDI KASUS

Diagnose epilepsi didasarkan terutama pada anamnesa berikut aloanamnesa.

Disamping itu pemeriksaan klinis umum dan pemeriksaan neurologi umum dan

khusus dapat menghasilkan data yang harus diintergrasikan dalam

anamnesa/aloanamnesa supaya diagnose yang mantap dapat tercapai.

1. Anamnesa/aloanamnesa

a. Fokalitas : dari penderita/orang-orang yang pernah menyaksikan serangan

epileptiknya harus didapati lukisan lengkap. Serangan epileplik fokal,

serangan epileptic yang mengenai daerah tubuh setempat, baik yang bersifat

motoric, sensorik maupun otonom. Bila fokalitas itu sudah ditetapkan, maka

interogasi harus diarahkan ke bantuan serangan fokal. Bila mana unsur

fokalitas tidak ada, maka jenis epilepsy umum idiopatik harus ditentukan.

Jenis serangan epilepsy:

1) Gerakan otot skeletal seluruh tubuh yang tonik klonikdengan hilang

kesadaran serentak (green mal = epilepsy umum idiopatik)

2) Gerakan otot skeletal seluruh tubuh dengan hilang kesadaran serentak

yang didahului oleh suatu aura (epilepsy umum vocal)

3) Epilepsy umum focal dengan aura yang bersifat

outomastismus/ganggguan kesadaran kognitif (epilepsy fokal lobus

temporalis)

7
4) Epilepsy umum yang didahului gerakan okuler konjugat kesalah satu sisi

dengan badan yang berputar sambil mengeluarkan suara seperti

tercekik/jeritan (epilepsy fokal adversif)

5) Epilepsy umum yang bangkit hanya jika sinar tv merangsang mata

penderita atau jika ada stimulus auditoring, seperti letusan peluru atau

rangsangan terhadap panca indera (epilepsy umum idiopatik reflektorik)

6) Kejang tonik atau klonik pada salah satu angggota tubuh tanpa hilang

kesadaran (epilepsy Jackson motoric).

7) Serangan gejala defisit neurologic yang bersifat sensorik (paresthesia,

hipestesia, anesthesia) pada salah satu anggota tubuh tanpa hilang

kesadaran (epilepsy Jackson motoric).

8) Serangan jakson sensorik dan motoric yang meluas dari satu ke lain daerah

tubuh (“Jacksonian march).

9) Serangan hilang kesadaran sejenak tanpamanifestasi motoric (petit mal).

10) Serangan pada mana otot skeletal tidak dapat bergerak sejenak dengan

hilang kesadaran, sehinggga badan jatuh lunglai (epilepsy umum idiopatik

akinetik).

11) Serangan yang berupa kontraksi sejenak sekelompok otot skeletal secara

unilateral atau bilateral tanpa hilang kesadaran (epilepsy mioklonik).

12) Kejang tonik sejenak yang hanya timbul pada bayi (infatile spams)

13) Serangan hilang kesadaran sejenak pada mana timbul gerakan moiklonik

regional unilateral atau bilateral sejenak ppula, sehinggga badan sering

8
jatuh dan penderita banyak menngidap luka-luka (petit mal mioklonik

astatic).

14) Epilepsy umum pada anak-anak dibawah umur 5 tahun yang bangkit setiap

kali ada febris (febrile convulsion).

15) Serangan yang berupa perasaan didalam perut seperti mules, kolik dan

sebagainya

( epilepsy abdominal).

Serangan ialah suatu gejala yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang

secara tiba-tiba pula. Serangan yang hanya bangkit sekali saja tidak boleh dianggap

sebagai serangan epilepsy. Tetapi serangan yang timbul secara berkala pada waktu-

waktu tertentu barulah disebut epilepsy.

Konvulsi berarti gerakan otot tonik klonik yang involunter. Istilah kejang

dapat digunakan sebagai sinonim konvulsi, tetapi baik kejang maupun konvulsi

tidak boleh dianggap sinonim dari epilepsy oleh karena serangan epilepsy tidak

selamanya bersifat motoric.

b. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga dapat mengungkapkan adanya anggota keluarga yang

epilepssi atau penyakit-penyakit yang erat hubungannya dengan epilepsy.

Bila kedua orang epileptik, maka anaknya mempunyai 25% kemungkinan

epilepsy juga. Jenis epilepsy yang menunjukkan faktor keturunan ialah petit

mal.

9
c. Riwayat penyakit dahulu

Mungkin dapat memberikan informasi tentang faktor kausatif yang relevan.

Infeksi cerebral (encephalitis, meningitis), riwayat stroke ataupun trauma

kapitis dan kontusio cerebri dapat dihubungkan dengan kejadian sfokus

epileptogenic.

d. Riwayat kehamilan dan kelahiran dapat memberikan data yang mungkin

mendasari anggapan atau perkiraan adanya trauma lahir atau ganggguan

cerebral dalam masa intra unterin, seperti infeksi firal ataupun trauma

abdominal atau keadaan hipokalsemia atau hipoglikemia yang pernah dialami

ibu dimasa kehamilan.

2. Pemeriksaan klinis

Dapat mengungkapkan adanya suatu penyakit yang mempunyai hubungan

patogenetik dengan epilepsy (sclerosis tuberosa, neurofibromatosis, sindrom

sturge-weber).

3. Pemeriksaan neurologic umum dan khusus

Dengan pemeriksaan neurologic, gejala defisit unilateral atau bilateral dapat

ditemukan. Hemiparesis bahkan adanya hanya spastisitas, hiper-refleksia tendon

atau babinsky yang positif sesisi sudah memberikan penngarahan yang berharga

bagi penilaian epilepsy umum fokal. Pemeriksaan neurologi khusus yang

relefan, tetapi yang tidak selalu musti dikerjakan ialah elektroensevalografi.

Hasilnya (EEG) merupakan bahan informative. Hasil dari EEG bersifat

informative atau tidak harus dipertimbangkan dalam penganalisaan klinis

dimana anamnesa memegang peranan penting. Terapi yang diberikan harus

10
berdasarkan adanya serangan epileptic, dan tidak boleh berdasarkan atas hasil

EEG semata-mata.

4. Tata laksana epilepsi

Tata laksana epilepsi terdiri dari :

a. Penkes (pendidikan kesehatan) tentang epilepsy

b. Advice cara hidup sehari-hari

c. Follow up pemberian obat consulvan.

d. Advice mengenai tindakan yang harus dikerjakan bila serangan epilepsi

timbul.

Berdasarkan penelitian Pravita Tri Andrianti,* Prastiya Indra Gunawan,*

Faroek Hoesin** *Departemen Ilmu Kesehatan Anak **Departemen Patologi

Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya (2013) pada Jurnal

Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan Pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo

Tahun 2013 disebutkan bahwa.

Kasus baru epilepsi anak di Unit Rawat Jalan (URJ) RSUD Dr. Soetomo

Surabaya, pada tahun 2013 tercatat 103 pasien baru. Menurut penelitian di RSUP

Sanglah Denpasar, rerata kasus per tahun 69 pasien, di RSAB Harapan Kita rerata

per tahun 64 kasus. Terdapat perbedaan jumlah kasus disebabkan jumlah pasien

yang ditangani RSUD Dr. Soetomo, sebagai rumah sakit rujukan Indonesia Timur,

lebih banyak sehingga jumlah kasus baru terlihat lebih banyak. Kelompok umur

terbanyak mengalami epilepsi adalah usia 1-5 tahun sesuai dengan penelitian

Suwarba (42%).

11
Benarjee dan Hauser melaporkan bahwa kejadian epilepsi tetap pada

kelompok usia termuda, dengan insiden tertinggi pada beberapa bulan pertama

kehidupan. Insiden turun setelah setahun pertama kehidupan dan akan menetap

selama sepuluh tahun pertama. Kami mendapatkan hasil usia yang berbeda karena

populasi yang digunakan adalah kasus rumah sakit bukan populasi komunitas.

Jumlah kasus laki-laki (71,8%) didapatkan lebih banyak daripada perempuan. Hal

tersebut sesuai dengan penelitian Suwarba yang melaporkan persentase pasien baru

anak laki-laki 56,9%, sementara Putri di RSUP Fatmawati melaporkan 51,3%, dan

Tjandrajani di RSAB Harapan Kita, Jakarta, melaporkan 53,9%. Pada kebanyakan

studi populasi, insiden epilepsi didapatkan lebih banyak pada laki-laki dibanding

perempuan. Asadi dan Hojabri melaporkan bahwa laki-laki dapat menjadi faktor

risiko pada epilepsi. Hal tersebut belum dapat dijelaskan dengan pasti mengapa

laki-laki dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi. Pada penelitian kami, 34%

pasien telah mendapat terapi obat kejang sebelumnya. Riwayat obat yang sering

digunakan adalah monoterapi asam valproat. Hal tersebut sesuai dengan teori

bahwa pengobatan epilepsi dimulai dengan satu macam obat saja. Pilihan asam

valproat yang digunakan untuk berbagai tipe bangkitan kejang karena umumnya

terapi awal pasien sebelum masuk RSUD Dr. Soetomo belum diketahui pasti. Pada

93,2% kasus baru tidak dimiliki riwayat keluarga epilepsi ataupun kejang

sebelumnya, sama dengan laporan Suwarba dengan 87%. Riwayat dalam keluarga

meningkatkan risiko terjadinya epilepsi 4,75 kali dalam laporan Cansu dkk dan 3

kali dalam laporan Asadi dan Hojabri.

12
Riwayat epilepsi/kejang pada keluarga hanya sebagai faktor risiko bukan

penyebab langsung terjadinya epilepsi. Kelainan perinatal dialami 16,5% pasien,

seperti bayi biru, tidak langsung menangis, tidak bernafas spontan, dan bayi lahir

kuning, serta ada beberapa kelainan pada ketuban ibu. Berbagai kelainan perinatal

dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak. Cansu dkk melaporkan

bahwa skor Apgar yang rendah meningkatkan risiko epilepsi. Laporan lain

menyatakan asfiksia atau respiratory distress syndrome dan nilai Apgar yang

rendah menjadi faktor risikonya. Beberapa studi yang melaporkan ikterus pada

neonatus ada hubungannya dengan epilepsi pada anak. Cansu dkk melaporkan

bahwa dari univariate analysis, neonatal jaundice meningkatkan risiko epilepsi 3

kali. Didapatkan 63,1% kasus tidak mengalami gangguan tumbuh kembang,

sisanya mengalami beberapa kelainan tumbuh kembang, antara lain belum dapat

bicara, duduk sendiri, berdiri atau dengan jalan yang masih menyeret dan sering

terjatuh, serta palsi serebral. Suwarba juga melaporkan bahwa sebagian besar (75%)

tumbuh kembang anak dengan epilepsi normal.

Kejang pada epilepsi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab

kerusakan neuron di otak sehingga akan menyebabkan gangguan pada proses

tumbuh kembang anak. Di antara 81 pasien, hasil EEG abnormal 59 (72,8%), serupa

dengan penelitian Tjandrajani yang melaporkan 82,3% tidak normal. Hampir selalu

terlihat sinyal abnormal di EEG selama serangan epilepsi. Namun, pada penelitian

kami, sebagian (27,2%) hasil EEG normal. Bagaimanapun, EEG yang normal tidak

mengesampingkan adanya epilepsi. Interpretasi EEG dapat dipercaya hanya jika

direkam dengan baik dan diinterpretasikan oleh ahli yang telah berpengalaman

13
dengan sedikitnya pelatihan selama setahun. Rekaman EEG 3-4 hari setelah

serangan epilepsi (seizure) yang terakhir untuk menghindari gangguan interpretasi

akibat keadaan post-ictal. Prosedur aktivasi minimum, seperti hiperventilasi dan

stimulasi cahaya seharusnya digunakan sebab abnormalitas epilepsi biasanya dapat

ditimbulkan oleh kedua hal ini. Pengurangan jam tidur juga dapat dilakukan sebagai

aktivasi sebelum pemeriksaan EEG. Penghentian penggunaan anti-epileptic drug

(AED) saat perekaman tidak direkomendasikan. Hasil EEG yang tidak normal

terbanyak berada di lobus temporal. Sesuai dengan hasil telaah Zenteno dan

Ronquillo bahwa pada kasus epilepsi yang dirujuk ke rumah sakit paling banyak

ditemukan kelainan di lobus temporal. Pada penelitian kami, 12,6% pasien baru

anak dengan epilepsi yang dilakukan pemeriksaan CT -scan kepala, sebagian besar

kasus normal (61,53%). Sementara hasil CT -scan tidak normal, antara lain brain

atrophy, subdural effusion, asymetical brain parencym dengan ventrikulomegali

lateral kiri, encephalomacia cyst, serta adanya massa solid kistik dan peningkatan

tekanan intrakranial. Dalam hal ini Suwarba melaporkan 51,3% kasus abnormal.6

Perbedaan tersebut karena jumlah pasien yang dilakukan pemeriksaan CT scan

dalam penelitian kami lebih sedikit dibandingkan penelitian Suwarba yang

mencapai 40% pasien. Penelitian lain melaporkan bahwa pada anak epilepsi

ditemukan hasil CT scan kepala abnormal pada 7%-24% kasus. Kami mendapatkan

7 dari 103 pasien baru anak dengan epilepsi yang dilakukan pemeriksaan MRI.

Hasil pemeriksaan MRI didapatkan 42,9% abnormal. Hasil MRI yang tidak normal,

antara lain atrophy and sclerotic hypocampus serta brain atrophy pada

frontoparietal. Pada pasien yang didiagnosis epilepsi, sekitar 12%-14% terlihat

14
adanya lesi penyebab pada pemeriksaan MRI. Sekitar 80% pasien dengan serangan

berulang memperlihatkan adanya abnormalitas pada pemeriksaan MRI. Pada

penelitian kami, hasil MRI lebih banyak abnormal dan karena jumlah pasien

diperiksa MRI hanya sedikit (6,8%) maka tidak dapat mewakili sampel

keseluruhan. Dari revisi klasifikasi menurut ILAE pada tahun 2010, tipe kejang

dapat dikelompokkan menjadi serangan umum (generalized seizure), serangan

fokal (focal seizure) serta serangan yang tidak diketahui (unknown). Kami

menemukan 55,3% generalized seizure, 37,9% focal seizure, dan 6,8% unknown.

Suwarba juga melaporkan hasil serupa dengan tipe generalized 80,4%, sementara

Tjandrajani melaporkan 78,6% generalized seizure. Menurut Banerjee dan Hauser

yang menelaah beberapa penelitian di beberapa negara, tipe generalized seizure

adalah yang paling sering ditemui pada studi populasi. Pengobatan pasien epilepsi

dengan anti-epileptic drug (AED), bertujuan untuk pencegahan bangkitan

selanjutnya, baik secara keseluruhan ataupun mengurangi frekuensi dan tingkat

keparahan dengan sedikit mungkin efek samping yang ditimbulkan. Pengobatan

sebaiknya dimulai dengan satu macam obat. Idealnya, pemilihan jenis obat

tergantung.

Pada tipe epilepsi dan tipe serangan atau bangkitan (seizure). Kami

mendapatkan 96,1% menggunakan monoterapi. Obat terbanyak digunakan adalah

asam valproat (89,3%). Obat epilepsi yang digunakan merupakan obat pilihan

pertama. Asam valproat banyak digunakan karena tingkat keberhasilannya lebih

tinggi sebagai monoterapi (64,7%). Pemakaian fenitoin dan fenobarbital dalam

monoterapi terlihat hampir sama antara gagal dan berhasilnya monoterapi. Bahkan,

15
pemakaian carbamazepine lebih banyak gagal dalam monoterapi epilepsi anak.

Selain digunakan karena tingkat keberhasilannya yang tinggi, asam valproat juga

efektif pada semua tipe kejang, terutama tipe absans. Asam valproat dapat

digunakan baik pada tipe generalized maupun focal-partial seizure. Fenitoin juga

merupakan obat anti kejang yang efektif untuk parsial dan GTCS, serta bangkitan

(seizure) selama tidur. Masalah utama adalah batas terendah antara kadar terapi

dengan kenaikan kadar dalam serum yang dapat menyebabkan toksisitas obat

tersebut. Obat lain seperti barbiturat dan golongan benzodiazepine yang merupakan

obat sedatif, terdapat kecenderungan untuk dibatasi penggunaannya. Kami

mendapatkan keberhasilan terapi 6 bulan pertama 75,7% pasien baru epilepsi anak

dapat terkontrol. Penelitian lain melaporkan dalam 6 bulan pertama pengobatan,

epilepsi dengan kejang ≥3 kali ditemukan 31,1% remisi. Sementara itu, dalam 6

bulan kedua pengobatan, epilepsi dengan kejang sama atau lebih dari 3 kali

didapatkan 18,9% remisi. Keberhasilan terapi pada pasien epilepsi dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Menurut Triono, faktor yang berhubungan dengan keberhasilan

atau kegagalan terapi pasien epilepsi, antara lain, frekuensi kejang sebelum terapi

>10 kali, status epileptikus, terdapat defisit neurologis, kelainan neurologis

penyerta, dan pemberian obat antiepilepsi yang terlambat. Pada penelitian kami,

kelima faktor tersebut sangat minimal sehingga keberhasilan terapi yang dicapai

cukup tinggi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Andrianti, P. T. et al. (2016) ‘Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan


Pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2013’, Sari Pediatri, 18(1), pp.
34–39.

Corwin, E. J. (2000) Buku Saku Patofisiologi. Edited by E. Pakaryaningsih. Jakarta:


EGC.

IDAI (2014) Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Muttaqin, A. (2008) Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Saiffudin, A. B. and Dkk (2010) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

17

Anda mungkin juga menyukai