Sistem Saraf
Sistem Saraf
Disusun Oleh :
harmonis. Dalam sistem ini terdapat berbagai fenomena kesadaran, pikiran, ingatan,
sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah
Sistem persyarafan dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem syaraf pusat dan
sistem syaraf tepi. Sistem syaraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem
syaraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem syaraf somatis (SSS) serta
Salah satu gangguan sistem persarafan pada neonatal adalah kejang. Kejang
pada neonatal secara klinis adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik
misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf yang terjadi
pada bayi yang berumur sampai 28 hari. Kejang adalah pelepasan muatan oleh
perubahan pada fungsi otak. Kejang terjadi ketika neuron-neuron serebrum tertentu
1
neuron ini memiliki potensial membran istirahat yang lebih rendah daripada normal
ini memiliki potensial ambang yang diperlukan untuk melepaskan potensial aksi
yang pada neuron lain tidak menimbulkan pelepasan muatan yang berlebihan.
Selama kejang kebutuhan oksigen serebrum meningkat lebih dari 200%. Apabila
kebutuhan oksigen tidak dapat terpenuhi, akan terjadi hipoksia dan kerusakan otak
pertambahan 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan sekitar 40%-50% dari
Epilepsi adalah suatu kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang
refersibel. Penyebab kejang pada neonatal terjadi karena susunan saraf pusat.
muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang
berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium
2
dan masuknya kalium. Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang
tajam kadar glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau
transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada.
Kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi
kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang dan pH
arteri sangat menurun. Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah naik
biasanya disertai dengan jatuhnya tubuh. Adanya gerakan menyentak pada lengan
dan tungkai yang tidak terkontrol. Epilepsi juga dapat menimbulkan periode apneu
yang singkat serta pengeluaran air liur dan mulut berbusa. Stadium pascaiktus
berupa stupor atau koma, diikuti oleh kebingungan, nyeri kepala dan kelelahan.
Pada semua kejang dapat timbul prodroma yaitu perasaan atau gejala tertentu yang
mungkin mendahului kejang selama beberapa jam atau hari. Selain itu, pada kejang
dapat timbul aura yang merupakan sensasi sensorik tertentu yang sering timbul
sesaat menjelang kejang. Komplikasi dari kejang yaitu kerusakan otak akibat
hipoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang berulang. Penderita dapat
bayi, menghentikan kejang dan identifikasi serta pengobatan faktor etiologi dan
suportif untuk mencegah kejang berulang. Pastikan bayi dijaga tetap hangat dengan
membungkus bayi menggunakan kain lunak, kering, diselimuti dan memakai topi
3
untuk menghindari kehilangan panas, kemudian merujuk ke fasilitas pelayanan
3. Bila kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL, tangani hipoglikemia sebelum
4. Bila bayi dalam kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam terakhir, beri
5 menit.
tunggal secara IM atau dosis dapat ditingkatkan 10-15% dibanding dosis IV.
2) Bila kejang masih berlanjut atau berulang beri fenitoin 20 mg/kg, dengan
hanya boleh dicampur dengan larutan garam fisiologis sebab cairan lain
4
Terapi suportif yang dapat dilakukan menurut IDAI (2014) adalah sebagai
berikut:
“pulse oxymeter”.
1. Fenobarbital
a. Dosis awal (loading dose) 20- 40 mg/kgBB intravena diberikan mulai dengan
d. Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian intravena atau
2. Fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak memberi respon
a. Dosis awal (loading dose) untuk status epileptikus 15- 20 mg/kgBB intravena
pelan- pelan.
b. Karena efek alami obat yang iritatif, maka beri pembilas larutan garam
5
c. Pengawasan terhadap gejala bradikardi, aritmia dan hipotensi selama
pemberian infus.
d. Dosis rumat hanya dengan jalur intravena (karena pemberian oral tidak
e. Kadar terapeutik dalam darah (fenitoin bebas dan terikat) 12- 20 mg/L atau
b. Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk efek
4. Asam Valproat biasanya dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkita.
Dosis untuk anak- anak yaitu 30- 60 mg/kgBB/ hari (dosis terbagi).
pemilihan jenis obat tergantung pada tipe epilepsi dan tipe serangan atau bangkitan
6
STUDI KASUS
Disamping itu pemeriksaan klinis umum dan pemeriksaan neurologi umum dan
1. Anamnesa/aloanamnesa
serangan epileptic yang mengenai daerah tubuh setempat, baik yang bersifat
motoric, sensorik maupun otonom. Bila fokalitas itu sudah ditetapkan, maka
fokalitas tidak ada, maka jenis epilepsy umum idiopatik harus ditentukan.
temporalis)
7
4) Epilepsy umum yang didahului gerakan okuler konjugat kesalah satu sisi
penderita atau jika ada stimulus auditoring, seperti letusan peluru atau
6) Kejang tonik atau klonik pada salah satu angggota tubuh tanpa hilang
8) Serangan jakson sensorik dan motoric yang meluas dari satu ke lain daerah
10) Serangan pada mana otot skeletal tidak dapat bergerak sejenak dengan
akinetik).
11) Serangan yang berupa kontraksi sejenak sekelompok otot skeletal secara
12) Kejang tonik sejenak yang hanya timbul pada bayi (infatile spams)
13) Serangan hilang kesadaran sejenak pada mana timbul gerakan moiklonik
8
jatuh dan penderita banyak menngidap luka-luka (petit mal mioklonik
astatic).
14) Epilepsy umum pada anak-anak dibawah umur 5 tahun yang bangkit setiap
15) Serangan yang berupa perasaan didalam perut seperti mules, kolik dan
sebagainya
( epilepsy abdominal).
Serangan ialah suatu gejala yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang
secara tiba-tiba pula. Serangan yang hanya bangkit sekali saja tidak boleh dianggap
sebagai serangan epilepsy. Tetapi serangan yang timbul secara berkala pada waktu-
Konvulsi berarti gerakan otot tonik klonik yang involunter. Istilah kejang
dapat digunakan sebagai sinonim konvulsi, tetapi baik kejang maupun konvulsi
tidak boleh dianggap sinonim dari epilepsy oleh karena serangan epilepsy tidak
b. Riwayat keluarga
epilepsy juga. Jenis epilepsy yang menunjukkan faktor keturunan ialah petit
mal.
9
c. Riwayat penyakit dahulu
epileptogenic.
cerebral dalam masa intra unterin, seperti infeksi firal ataupun trauma
2. Pemeriksaan klinis
sturge-weber).
atau babinsky yang positif sesisi sudah memberikan penngarahan yang berharga
10
berdasarkan adanya serangan epileptic, dan tidak boleh berdasarkan atas hasil
EEG semata-mata.
timbul.
Kasus baru epilepsi anak di Unit Rawat Jalan (URJ) RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, pada tahun 2013 tercatat 103 pasien baru. Menurut penelitian di RSUP
Sanglah Denpasar, rerata kasus per tahun 69 pasien, di RSAB Harapan Kita rerata
per tahun 64 kasus. Terdapat perbedaan jumlah kasus disebabkan jumlah pasien
yang ditangani RSUD Dr. Soetomo, sebagai rumah sakit rujukan Indonesia Timur,
lebih banyak sehingga jumlah kasus baru terlihat lebih banyak. Kelompok umur
terbanyak mengalami epilepsi adalah usia 1-5 tahun sesuai dengan penelitian
Suwarba (42%).
11
Benarjee dan Hauser melaporkan bahwa kejadian epilepsi tetap pada
kelompok usia termuda, dengan insiden tertinggi pada beberapa bulan pertama
kehidupan. Insiden turun setelah setahun pertama kehidupan dan akan menetap
selama sepuluh tahun pertama. Kami mendapatkan hasil usia yang berbeda karena
populasi yang digunakan adalah kasus rumah sakit bukan populasi komunitas.
Jumlah kasus laki-laki (71,8%) didapatkan lebih banyak daripada perempuan. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Suwarba yang melaporkan persentase pasien baru
anak laki-laki 56,9%, sementara Putri di RSUP Fatmawati melaporkan 51,3%, dan
studi populasi, insiden epilepsi didapatkan lebih banyak pada laki-laki dibanding
perempuan. Asadi dan Hojabri melaporkan bahwa laki-laki dapat menjadi faktor
risiko pada epilepsi. Hal tersebut belum dapat dijelaskan dengan pasti mengapa
laki-laki dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi. Pada penelitian kami, 34%
pasien telah mendapat terapi obat kejang sebelumnya. Riwayat obat yang sering
digunakan adalah monoterapi asam valproat. Hal tersebut sesuai dengan teori
bahwa pengobatan epilepsi dimulai dengan satu macam obat saja. Pilihan asam
valproat yang digunakan untuk berbagai tipe bangkitan kejang karena umumnya
terapi awal pasien sebelum masuk RSUD Dr. Soetomo belum diketahui pasti. Pada
93,2% kasus baru tidak dimiliki riwayat keluarga epilepsi ataupun kejang
sebelumnya, sama dengan laporan Suwarba dengan 87%. Riwayat dalam keluarga
meningkatkan risiko terjadinya epilepsi 4,75 kali dalam laporan Cansu dkk dan 3
12
Riwayat epilepsi/kejang pada keluarga hanya sebagai faktor risiko bukan
seperti bayi biru, tidak langsung menangis, tidak bernafas spontan, dan bayi lahir
kuning, serta ada beberapa kelainan pada ketuban ibu. Berbagai kelainan perinatal
dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak. Cansu dkk melaporkan
bahwa skor Apgar yang rendah meningkatkan risiko epilepsi. Laporan lain
menyatakan asfiksia atau respiratory distress syndrome dan nilai Apgar yang
rendah menjadi faktor risikonya. Beberapa studi yang melaporkan ikterus pada
neonatus ada hubungannya dengan epilepsi pada anak. Cansu dkk melaporkan
sisanya mengalami beberapa kelainan tumbuh kembang, antara lain belum dapat
bicara, duduk sendiri, berdiri atau dengan jalan yang masih menyeret dan sering
terjatuh, serta palsi serebral. Suwarba juga melaporkan bahwa sebagian besar (75%)
tumbuh kembang anak. Di antara 81 pasien, hasil EEG abnormal 59 (72,8%), serupa
dengan penelitian Tjandrajani yang melaporkan 82,3% tidak normal. Hampir selalu
terlihat sinyal abnormal di EEG selama serangan epilepsi. Namun, pada penelitian
kami, sebagian (27,2%) hasil EEG normal. Bagaimanapun, EEG yang normal tidak
direkam dengan baik dan diinterpretasikan oleh ahli yang telah berpengalaman
13
dengan sedikitnya pelatihan selama setahun. Rekaman EEG 3-4 hari setelah
ditimbulkan oleh kedua hal ini. Pengurangan jam tidur juga dapat dilakukan sebagai
(AED) saat perekaman tidak direkomendasikan. Hasil EEG yang tidak normal
terbanyak berada di lobus temporal. Sesuai dengan hasil telaah Zenteno dan
Ronquillo bahwa pada kasus epilepsi yang dirujuk ke rumah sakit paling banyak
ditemukan kelainan di lobus temporal. Pada penelitian kami, 12,6% pasien baru
anak dengan epilepsi yang dilakukan pemeriksaan CT -scan kepala, sebagian besar
kasus normal (61,53%). Sementara hasil CT -scan tidak normal, antara lain brain
lateral kiri, encephalomacia cyst, serta adanya massa solid kistik dan peningkatan
tekanan intrakranial. Dalam hal ini Suwarba melaporkan 51,3% kasus abnormal.6
mencapai 40% pasien. Penelitian lain melaporkan bahwa pada anak epilepsi
ditemukan hasil CT scan kepala abnormal pada 7%-24% kasus. Kami mendapatkan
7 dari 103 pasien baru anak dengan epilepsi yang dilakukan pemeriksaan MRI.
Hasil pemeriksaan MRI didapatkan 42,9% abnormal. Hasil MRI yang tidak normal,
antara lain atrophy and sclerotic hypocampus serta brain atrophy pada
14
adanya lesi penyebab pada pemeriksaan MRI. Sekitar 80% pasien dengan serangan
penelitian kami, hasil MRI lebih banyak abnormal dan karena jumlah pasien
diperiksa MRI hanya sedikit (6,8%) maka tidak dapat mewakili sampel
keseluruhan. Dari revisi klasifikasi menurut ILAE pada tahun 2010, tipe kejang
fokal (focal seizure) serta serangan yang tidak diketahui (unknown). Kami
menemukan 55,3% generalized seizure, 37,9% focal seizure, dan 6,8% unknown.
Suwarba juga melaporkan hasil serupa dengan tipe generalized 80,4%, sementara
adalah yang paling sering ditemui pada studi populasi. Pengobatan pasien epilepsi
sebaiknya dimulai dengan satu macam obat. Idealnya, pemilihan jenis obat
tergantung.
Pada tipe epilepsi dan tipe serangan atau bangkitan (seizure). Kami
asam valproat (89,3%). Obat epilepsi yang digunakan merupakan obat pilihan
monoterapi terlihat hampir sama antara gagal dan berhasilnya monoterapi. Bahkan,
15
pemakaian carbamazepine lebih banyak gagal dalam monoterapi epilepsi anak.
Selain digunakan karena tingkat keberhasilannya yang tinggi, asam valproat juga
efektif pada semua tipe kejang, terutama tipe absans. Asam valproat dapat
digunakan baik pada tipe generalized maupun focal-partial seizure. Fenitoin juga
merupakan obat anti kejang yang efektif untuk parsial dan GTCS, serta bangkitan
(seizure) selama tidur. Masalah utama adalah batas terendah antara kadar terapi
dengan kenaikan kadar dalam serum yang dapat menyebabkan toksisitas obat
tersebut. Obat lain seperti barbiturat dan golongan benzodiazepine yang merupakan
mendapatkan keberhasilan terapi 6 bulan pertama 75,7% pasien baru epilepsi anak
epilepsi dengan kejang ≥3 kali ditemukan 31,1% remisi. Sementara itu, dalam 6
bulan kedua pengobatan, epilepsi dengan kejang sama atau lebih dari 3 kali
didapatkan 18,9% remisi. Keberhasilan terapi pada pasien epilepsi dipengaruhi oleh
atau kegagalan terapi pasien epilepsi, antara lain, frekuensi kejang sebelum terapi
penyerta, dan pemberian obat antiepilepsi yang terlambat. Pada penelitian kami,
kelima faktor tersebut sangat minimal sehingga keberhasilan terapi yang dicapai
cukup tinggi.
16
DAFTAR PUSTAKA
IDAI (2014) Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
17