Anda di halaman 1dari 22

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................2
Lembar Pengesahan..................................................................................... .......... .........4
Daftar Isi.......................................................................................... ...............................5
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................6
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1 Anatomi dan Fisiologi...............................................................................7
2.1.1 Anatomi...................................................................................7
2.1.2 Fisiologi...................................................................................9
2.2 Penyakit Ginjal kronis (PGK).................................................................11
2.2.1 Definisi...................................................................................11
2.2.2 Etiologi...................................................................................12
2.2.3 Klasifikasi...............................................................................14
2.2.4 Patogenesis..............................................................................14
2.2.5 Manifestasi Klinis.....................................................................18
2.2.6 Pendekatan Diagnostik..............................................................18
2.2.7 Penatalaksanaan........................................................................19
2.2.8 Komplikasi..............................................................................24
2.2.9 Prognosis.................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia.
Menurut WHO tahun 2001 dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Penyakit ginjal kronik
merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal ireversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.1 Di masa depan penderita Penyakit Ginjal Kronik digambarkan akan meningkat
jumlah penderitanya. Hal ini disebabkan prediksi akan terjadi suatu peningkatan luar biasa dari
diabetes mellitus dan hipertensi di dunia ini karena meningkatnya kemakmuran akan disertai
dengan bertambahnya umur manusia, obesitas dan penyakit degeneratif. Prediksi menyebutkan
bahwa pada tahun 2015 tiga juta penduduk dunia perlu menjalani pengobatan pengganti untuk gagal
ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (ESRD) dengan perkiraan peningkatan 5% per
tahunnya.2
Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Kejadian PGK di Indonesia diduga masih
sangat tinggi. Namun data nasional mengenai PGK masih belum ada. Studi mengenai prevalensi
PGK di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004 mendapatkan hasil bahwa jumlah penduduk Indonesia
yang menderita PGK berjumlah 3640 penduduk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah
penderita PGK tertinggi yaitu di Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali. Banyak
penderita PGK meninggal lebih awal. Namun, seringkali penyebab kematian itu tidak terkait
langsung dengan masalah ginjal. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa hampir setengah
dari jumlah kematian pada penderita PGK diakibatkan oleh PGK yang telah berkomplikasi pada
penyakit arteri koroner.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.1.1 Anatomi
Berikut ini adalah struktur dan anatomi ginjal menurut Pearce dan Wilson :
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal, disebelah kanan dan kiri
tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal dibelakang peritoneum. Kedudukan ginjal
dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra
lumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati.

Gambar 2.1Anatomi Ginjal6


Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan tebalnya antara 1,5 sampai
2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140 sampai 150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang
dan sisi dalamnya atau hilus menghadap kearah tulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk
cembung. Pembuluh darah ginjal semuanya masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal
menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dan jaringan fibrus yang membungkusnya, dan
membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya terdapat setruktur-setruktur ginjal. Setruktur
ginjal berwarna ungu tua dan terdiri dari bagian kapiler disebelah luar, dan medulla disebelah
dalam. Bagian medula tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang disebut
sebagai piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir di kalises, kalises akan
menghubungkan dengan pelvis ginjal.

Gambar 2.2 Potongan vertikal ginjal.7

Setruktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal,
dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai
berkas kapiler (Badan Malpighi / Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada
unineferus. Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus. Bagian pertama tubulus berkelok-kelok
dan kelokan pertama disebut tubulus proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang
disebut simpai henle. Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang disebut
tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan melintasi kortek dan
medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.

Gambar 2.3. Bagian microscopic ginjal7


Selain tubulus urineferus, setruktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu arteri renalis yang
membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan bercabang-cabang di ginjal dan
membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes), serta masing-masing membentuk simpul didalam
salah satu glomerulus. Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola
eferentes), yang bercabang-cabang membentuk jaring
kapiler disekeliling tubulus uriniferus. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk
membentuk vena renalis, yang membawa darah ke vena kava inferior. Maka darah yang beredar
dalam ginjal mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama disekeliling
tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.

2.1.2 Fisiologi
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan urin :
1. Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam sistem organ tubuh.
Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain dan sistem lain dalam tubuh. Ginjal punya
dua peranan penting yaitu sebagai organ ekresi dan non ekresi. Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja
sebagai filtran senyawa yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-
lain dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem
ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan
elektrolit tubuh serta fungsi hormonal.
Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah
(sistem renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif
sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan hormon
dihydroxycholecalcipherol (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam absorbsi ion kalsium dalam
usus.

2. Proses pembentukan urin.


Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal. Darah ini terdiri
dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga
tahap yaitu filtrasi, reabsorsi dan ekresi:8

i. Proses filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena proses aferen lebih besar dari
permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian
cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpay bowman yang terdiri dari
glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.

ii. Proses reabsorsi.


Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, natrium, klorida,
fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan proses obligator.
Reabsorsi terjadi pada tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali
natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan
reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.

iii. Proses ekresi.


Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan pada piala ginjal
selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.

3. Fungsi hormonal
Ginjal menghasilkan berbagai hormon yang sangat perlu bagi tubuh, seperti :
i. Renin, hormon ini menyebabkan pembentukan angiotensin II yaitu protein yang bersifat
vasokonstriktor kuat yang berguna untuk memacu retensi garam. Hormon ini perlu untuk
pemeliharaan tekanan darah.
ii.Vitamin D, merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal menjadi bentuk aktif
1,25-dihidroksikolekalsiferol, yang terutama berperan meningkatkan absorpsi kalsium dan
fosfat dari usus.
iii. Eritropoetin, merupakan protein yang diproduksi di ginjal; hormon ini meningkatkan
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
iv. Prostaglandin, diproduksi di ginjal, memiliki berbagai efek, terutama pada tonus
pembuluh darah ginjal.
2.2 PENYAKIT GINJAL KRONIS
2.2.1 Definisi

Berdasarkan pedoman Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (K/DOQI), definisi


Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan atau lebih,
berdasarkan kelainan patologik atau pertanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada pemeriksaan
urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ataupun tidak. Selain itu definisi ini
juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau LFG, seperti yang terlihat pada tabel 1.1

Kriteria Penyakit Ginjal kronis:

Kriteria

Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:
kelainan patologis
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

Tabel 1. Definisi PGK1

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari
60ml/mnt/1,73m2, tidak termasuk kedalam penyakit ginjal kronik.1

2.2.2 Etiologi

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2011 mencatat penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 2.4
Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2011

Penyebab Insiden
Hipertensi 34%

Diabetes melitus 27%

Glomerulonefritis 14%

Obstruksi 8%

Pielonefritis Chronic 6%

Sebab lain 6%

Tabel 2. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 20114

2.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar
diagnosis etiologi.

1.Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFg (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x berat badan * )

72 x Cr plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Derajat Penjelasan LFG
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal/↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89

3a Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 45 – 59

3b Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 44

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Tabel 3. Klasifikasi PGK atas Dasar Derajat Penyakit1

2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi, yaitu:

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vascular

Penyakit pembuluh darah besar, hipertensi


mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial

(pielonefritis kronik, batu, ostruksi, keracunan


obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik


Keracunan obat (siklosproin, takrolismus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy
Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik4

Eksresi urin dan dibersihkannya zat sisa dan kelebihan elektrolit dari plasma merupakan hal
penting bagi pemeliharaan homeostasis. Ketika fungsi kedua ginjal sedemikian terganggu sehingga
keduanya tidak dapat melakukan fungsi regulasi dan eksresnya untuk mempertahankan homeostasis
maka timbul gagal ginjal. Gagal ginjal memiliki banyak sebab, beberapa diantaranya dmulai dari
bagian tubuh lain dan mempengaruhi fungsi ginjal secara sekunder. Berikut ini adalah sebagian
penyebabnya5:

1. Organisme penginfeksi, baik melalui darah maupun masuk saluran kemih melalui uretra.

2. Bahan toksik, misalnya timbal, arsen pestisida atau bahkan pejanan berkepanjangan aspirin
dosis tinggi.

3. Respon imun yang tidak sesuai, misalnya glomerulonefritis yang kadang menyertai infeksi
streptokokus di tenggorokan karena terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
menyebabkan kerusakan inflamatorik lokal di glomerulus.

4. Obstruksi aliran urin akibat batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat, dengan
tekanan balik mengurangi filtrasi glomerulus serta merusak jaringan ginjal.

5. Insufisiensi aliran darah ginjal yang menyebabkan tekanan filtrasi, akibat sekunder
gangguan sirkulasi, misalnya gagal jantung, perdarahan, syok atau penyempitan dan
pengerasan arteri renalis oleh arterosklesrosis.

Meskipun keadaan-keadaan ini memiliki sebab beragam, namun hampir semua sedikit
banyaknya dapat menyebabkan kerusakan nefron. Glomerulus dan tubulus mungkin terkena secara
independen, atau keduanya mungkin disfungsional. Apapun penyebabnya , gagal ginjal dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal akut, yang ditandai oleh kemerosotan produksi urin yang
berlangsung cepat dan muncul mendadak sampai produksi kurang dari 500ml/hari (produksi
minimal esensial); atau gagal ginjal kronik, yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal yang
berlangsung lambat dan progresif. Seseorang dapat meninggal akibat gagal ginjal akut, atau kondisi
ini bersifat reversibel dan menghasilkan penyembuhan sempurna. Gagal ginjal kronik, sebaliknya
tidak reversibel. Kerusakan jaringan ginjal yang gradual dan permanen akhirnya berakibat fatal.
Gagal ginjal kronik berakibat fatal. Gagal ginjal kronik bersifat samar karena jaringan ginjal dapat
rusak hingga 75% sebelum penurunan fungsi ginjal menjadi nyata. Karena besarnya cadangan
fungsi ginjal, maka hanya 25% dari jaringan ginjal yang diperlukan intuk memperthankan semua
fungsi ekskresi dan regulasi ginjal yang esensial. Namun, dengan kurang dari 25% jaringan ginjal
yang tersisa, insufisiensi ginjal akan tampak. Gagal ginjal stadium akhir terjadi jika 90% fungsi
ginjal telah lenyap.5

2.2.4 Patogenesis

Dasar patogenesis PGK adalah penurunan fungsi ginjal. Hal ini akan mengakibatkan produk
akhir metabolisme protein yang normalnya dieksresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah,
terjadi uremia dan menyebabkan efek sistemik dalam tubuh. Sebagai akibatnya, banyak masalah
akan muncul sebagai akibat dari penurunan fungsi glomerulus. Hal ini akan menyebabkan
penurunan klirens dan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.9

Derajat keparahan dari gangguan gnjal dapat ditentukan dari beberapa gejala seperti :

1. Penurunan GFR (azotemia)

2. Sedimen urin abnormal seperti eritrosit, leukosit dan kristal

3. Proteinuria

4. Oligouria/poliuria/anuria

5. Hipertensi atau peningkatan volume cairan tubuh (edema)

6. Ketidakseimbangan elektrolit

7. Demam atau nyeri pada pemeriksaan fisik10

Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan pemeriksaan klirens
kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus diakibatkan tidak berfungsinya glomerulus. Hal ini akan
mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Kreatinin
serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi
secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tetapi dipengaruhi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan, dan medikasi seperti steroid. Retensi
cairan dan natrium terjadi akibat ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan
urin secara normal. Pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit tidak terjadi. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivitas aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya serta peningkatan eksresi aldosteron. Pasien dengan PGK
memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan risiko hipertensi dan hipovolemi,
episode muntah dan diare. Hal ini akan menyebabkan penipisan jumlah air dan natrium yang
semakin memperburuk status uremik.

Asidosis metabolik merupakan akibat dari penurunan fungsi ginjal. Hal ini karena
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang belebihan. Penurunan sekresi
asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresikan amonia dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat. Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecendrungan untuk mengalami perdarahan akibat status anemia
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal, eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi
distensi, keletihan, angina, dan sesak nafas. Hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan
kalsium dan fosfat. Abnormalitas utama yang lain pada PGK adalah gangguan metabolisme
kalsium dan posfat. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka yang lainnya akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi glomerulus
ginjal terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium akan
mengakibatkan sekresi parat hormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian pada gagal ginjal,
tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parat hormon. Sebagai akibatnya
kalsium di tulang menurun dan menyebabkan perubahan pada tulang (penyakit tulang uremik
atau osteo distropi renal). Proses perubahan pada tulang yang direlasikan pada keseimbangan
fosfat dapat dilihat pada gambar 2.4. Selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25dihidrokolekalsitriol)
pada ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.

Gambar 2.4 Keseimbangan fosfat, Penurunan absorbsi kalsium dan hipokalsemia


merangsang sekresi hormon paratiroid. Absorbsi PO4 disimpan dalam tulang melalui
pembentukan tulang atau diekskresikan oleh ginjal. Adanya peran dari osteosit dalam
pembentukan tulang, dan ketika PO4 melebihi jumlah yang diperlukan dalam pembentukan
tulang, maka akan dikeluarkan FGF23 yang akan menstimulasi ginjal untuk
mengekskresikan kelebihan PO4. Pada PGK, ekskresi PO4 pada ginjal gagal untuk
menjaga keseimbangan PO4, meskipun adanya stimulasi dari PTH dan FGF23 untuk
mengekskresikan PO4 (panah kuning). Hal ini mengakibatkan peningkatan PO4 dalam
serum. Ini adalah proses mineralisasi heterotopik (panah merah dan kalsifikasi vaskular
sebagai bentuk mineralisasi heterotopik)11

Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara sindrom metabolik dengan kejadian PGK .
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian PGK lebih besar pada sindrom
metabolik dibandingkan dengan diabetes. Mikroalbuminuria merupakan manifestasi awal pada
sindroma metabolik yang dikaitkan dengan PGK. Selanjutnya mikroalbuminuria ini akan
menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus. Sindroma metabolik sering dikaitkan dengan peningkatan
aktivitas renin plasma, angiotensin converting enzyme, angiotensin II, dan angiotensinogen.
Keadaan ini bersama dengan hiperinsulinemia pada resistensi insulin merupakan aktivator terhadap
faktor β1. Faktor β1 merupakan sitokin fibrogenik yang berperan dalam proses injuri glomerulus.
Hiperinsulinemia pada resistensi insulin dimediasi oleh TNF-α. Selain itu, pada sindroma metabolik
juga terjadi peningkatan jaringan adipose dan penurunan adinopektin. Jaringan adipose akan
mensekresi sitokin yang berlebihan yaitu adipokin seperti TNF-α, IL-6, dan resistin dimana sitokin
ini akan meningkatkan terjadinya inflamasi. Adinopektin merupakan agen protektif pada
kardiorenal (Kershaw dan Klier, 2004). Penurunan adinopektin mengindikasikan terjadinya
kerusakan kardiorenal dikarenakan disfungsi vaskuler. Lebih jelasnya, proses kerusakan
kardiorenal pada PGK dapat dilihat pada gambar 2.5. Sementara peningkatan aktivitas sistem renin
angiotensisn aldosteron akan meningkatkan volume ekstraseluler. Hal ini mengindikasikan
terjadinya edema. Peningkatan sistem renin angiotensin aldosteron diduga karena perubahan
hemodinamik (aliran darah renal), stimulus simpatetik (hiperleptinemia dan hiperinsulinemia), dan
sintesis protein pada sistem renin angiotensin aldosteron oleh jaringan lemak (Engeli et al., 2003).
Gambar 2.5. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap sistem
kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara merokok, obesitas,
hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati primer,
dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan
interstisial disebut dengan PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik,
abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal ini juga dapat
menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis dan
fibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan resistensi insulin, metabolisme
otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut,
menurunkan appetite, remodeling tulang, dan disfungsi endotel.

Selain itu, hipertensi juga merupakan faktor yang sangat penting dalam terjadinya PGK.
Hipertensi melalui angiotensin II akan menyebabkan peningkatan tekanan glomerulus, proteinuria,
dan menginduksi sitokin inflamasi intrarenal. Hal ini akan meningkatkan terjadinya kerusakan pada
ginjal

2.2.4 MANIFESTASI KLINIS


Pada PGK setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan
menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan
tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari. Manifestasi yang terjadi pada PGK
antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler, dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner,
muskuloskletal dan psiko-sosial diantaranya adalah9 :
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti pruritus, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai dengan terjadinya
muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi,
kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol, sampai
terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan pengeroposan
tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsiferon.
7. Psiko sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga diri rendah
(HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.

2.2.5 PENDEKATAN DIAGNOSTIK


A. Anamnesis

Pada anamnesis dapat dicari gambaran klinis yang mungkin terjadi pada pasien gagal ginjal. Diawali
dengan keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit pasien sehingga ditemukan faktor-faktor risiko
pada pasien. Dari gambaran klinis adalah sesuai dengan penyakit yang mendasari misalnya diabetes
melitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, lupus eritematosus sistemik dan sebagainya.
Yang kedua yaitu sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang, sampai
koma. Dan yang ketiga adalah gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, osteodistropi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). 1,9

B. Temuan Laboratorium

Gambaran laboratorium pada penyakit ginjal kronik meliputi 1) berdasarkan penyakit yang
mendasarinya. 2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan serum kreatinin, dan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dihitung dengan rumus Kockcroft-Gault. Kadar serum
kreatinin saja tidak dapat digunakan untuk menentukan fungsi ginjal. 3) kelainan biokimia darah meliputi
kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau
hiperkloremia, hiperfospatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik dan 4) Kelainan urinalisis meliputi
proteinuria, hematuria, leukosuria, dan cast.1,9

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal ginjal kronis meliputi 1) foto polos abdomen dimana
dapat ditemukan gambaran batu radio-opak, 2) ultrasonografi abdomen biasanya menunjukkan ukuran
ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi, 3) pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran efek toksik yang dapat merusak ginjal lebih lanjut. 1

2.2.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 1) terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, 2)
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, 3) memperlambat progresi perburukan fungsi ginjal, 4)
memperkecil risiko kardiovaskuler dan 5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi serta 6) terapi
pengganti ginjal. Penatalaksanaan pasien penyakit ginjal kronis dapat disesuaikan dengan derajat LFGnya. 1

LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/min/1,73m2)
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi
1 >90
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal

Tabel 5. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Derajatnya 1

A. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin uremia, memperbaiki metabolisme secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit1.
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin
uremia. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk memperlambat perburukannya adalah dengan pembatasan asupan
protein. Pembatasan asupan protein dimulai pada LFG kurang atau sama dengan 60 ml/menit,
sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak dianjurkan. Protein yang
diberikan adalah 0,6-0,8gr/kgbb/hari.1 Hal ini penting karena mengingat kelebihan protein dalam
tubuh tidak disimpan dalam tubuh seperti lemak dan karbohidrat melainkan dipecah menjadi
urea dan nitrogen yang terutama diekskresikan oleh ginjal. Selain itu, ion hidrogen, fospat, sulfat
dan ion anorganik lainnya juga diekskresikan lewat ginjal. Oleh karena itu pemberian diet tinggi
protein pada pasien PGK akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen yang menimbulkan
manifestasi klinis yang disebut uremia. Masalah penting lainnya adalah diet tinggi protein akan
mengakibatkan perubahan hemodinamika ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerular (interglomerular hyperfiltration) yang akan mempercepat perburukan fungsi
ginjal. Pembatasan fungsi ginjal juga bermanfaat untuk mencegah hiperfospatemia mengingat
protein dan fospat berasal dari sumber yang sama.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan tujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara
status gizi. Jumlah kalori yang dibutuhkan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari.1
3) Kebutuhan cairan
Pembatasan asupan air pada pasien PGK sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan
air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Air yang masuk adalah sejumlah
urin yang keluar ditambah insensible water loss (sekitar 500-800ml/hari).1
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). Elektrolit yang harus diawasi terutama adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia akan membuat aritmia
yang fatal. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung kalium harus dibatasi
termasuk makanan (sayuran dan buah). Jumlah kalium yang optimal adalah 3,5-5,5 Meq/Lt.
Tujuan pengurangan asupan natrium adalah untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah
garam natrium yang diberikan adalah sesuai dengan derajat hipertensi dan edema yang terjadi.1
B. Terapi Spesifik
Waktu yang paling tepat untuk mengobati penyakit dasar adalah ketika laju filtrasi
glomerulus masih normal, ukuran ginjal pada pemeriksaan foto abdomen belum mengecil, sehingga
perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Jika LFG sudah menurun 20-30% nya terapi penyakit dasar
sudah tidak bermanfaat.1

C. Terapi Penyakit Komorbid


Faktor-faktor komorbid yang memperburuk keadaan pasien contohnya gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
Maka dari itu penting sekali untuk mengikuti atau mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
panyakit ginjal kronik. Melalui pemantauan ini dapat diketahui kondisi komorbid yang
memperburuk keadaan pasien.1

D. Terapi Simptomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus diperhatikan. Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) dapat dipertimbangkan
diberikan intravena bila pH < 7,35 atau serum bikarbonat < 20 mmol/L.1
2) Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada PGK adalah defisiensi eritropoietin namun dapat
juga terjadi karena hal lain.1Hal lain yang ikut berperan misalnya defisiensi besi, kehilangan
darah (misalnya pendarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
adanya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimualai saat kadar hemoglobin kurang
atau sama dengan 10 g % atau hematokrit kuang atau sama dengan 30 g% meliputi evaluasi
terhadap status besi (kadar besi/serum iron, total iron binding capacity, serum feritin), mencari
sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya pendarahan, dan sebagainya. Jika
penyebabnya karena defisiensi EPO, pemberian EPO merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian eritropoietin (EPO) status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan zat besi dalam mekanisme kerjanya. Transfusi darah misalnya Packed Red Cell
(PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Transfusi mulai
diberikan pada pasien dengan keadaan anemia berat < 6 gr/dL yang nampak secara klinis
memberatkan pasien, pasien dengan gagal jantung, pasien dalam kehamilan trimester ketiga, dan
pasien yang akan mendapatkan tindakan operatif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati dan teliti karena jika tidak teliti dapat menimbulkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia,
dan perburukan fungsi ginjal.1
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada PGK.
Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. Keluhan mual
dan muntah dapat diberikan metoklopramid pada pasien.1
4) Hipertensi
Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi pada
gagal ginjal kronik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek
perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ
kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi.

Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis.
Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat
badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam.
Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi
berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau
pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang
ditargetkan apapun jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek antiprotein
uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai
awal pengobatan hipertensi pada pasien penyakit gagal ginjal kronik. Pada pasien hipertensi
dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB merupakan terapi
utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan hasil yang
kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine Calcium–Channel
Blockers (NDCCBs).1

5) Kelainan sistem kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang penting
mengingat 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh komplikasi
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam terapi kardiovaskuler adalah pengendalian tekanan
darah, pengendalian gula darah, dislipidemia, pengendalian anemia, hiperfospatemia, dan terrapi
terhadapi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.1
6) Mengatasi CKD-MBD
Penatalaksanaan CKD-MBD dapat dilaksanakan dengan mengatasi hiperfospatemia dan
pemberian hormon kalsitriol (1,25 (OH)2D3). Mengatasi hiperfospatemia dapat dilakukan
dengan pembatasan asupan fospat (600-800mg/hari) dan pemberian pengikat fospat seperti
garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium dan kalsium asetat untuk mengikat
fospat di saluran cerna. Tujuan pemberiannya adalah untuk mengikat fospat dan kalsium di
saluran cerna. Pemberian hormon kalsitriol tidak digunakan begitu luas karena dikawatirkan
mengakibatkan penumpukan kalsium karbonat di jaringan dan menyebabkan penekanan
berlebihan pada kelenjar paratiroid. Maka dari itu pemberiannya dibatasi pada pasien dengan
kadar fospat darah normal dan kadar PTH > 2,5 kali normal.1

E. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal.1

1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik uremia, dan malnutrisi.
Terdapat 2 indikasi dalam terapi dialisis yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati uremik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.1

2) Dialisis peritoneal (DP)


Indikasi medik CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), yaitu (1)pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), (2)pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, (3)pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, (4)kesulitan pembuatan AV shunting, (5)pasien dengan stroke, (6)pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan (7)pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat perawatan ginjal. 1

3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.

b) Kualitas hidup normal kembali.


c) Masa hidup (survival rate) lebih lama.
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan tubuh terhadap ginjal donor.
2.2.6 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita PGK akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari PGK menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara
lain adalah1 :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme dan masukan diit
berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi ureum dan dialisis yang tidak
adekuat.
3. Anemia akibat penurunan eritropoietin.
4. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang
rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat
peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
5. sindroma uremik akibat ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit, asam basa, retensi
nitrogen, metabolisme lain, gangguan hormonal.
6. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
7. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
8. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan PGK menurut data epidemiologi menunjukkan bahwa PGK sering
menyebabkan kematian. Tingkat kematian secara keseluruhan meningkat oleh karena penurunan
fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan PGK adalah penyakit jantung. Hal ini
lebih sering karena perkembangan PGK ke tahap 5.
Sementara terapi transplantasi ginjal dapat mempertahankan kondisi pasien dan
memperpanjang kehidupan dan kualitas hidup. Transplantasi ginjal dapat meningkatkan
kelangsungan hidup pasien dengan PGK stadium 5 secara signifikan bila dibandingkan dengan
terapi pilihan lain. Namun, hal ini dapat meningkatkan mortalitas jangka pendek. Hal ini lebih
sering terjadi akibat komplikasi dari operasi transplantasi ginjal tersebut. Pilihan terapi lain seperti
home hemodialysis menunjukkan peningkatan kehidupan dan kualitas hidup dibandingkan dengan
hemodialisis secara konvensional (3 kali dalam seminggu) dan peritoneal dialysis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, S., 2009.Penyakit Ginjal Kronik. In: Ketut suwitra, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,
1035-49.
2. Roesma, J. Masa depan hipertensi dan PGK: Adakah harapan?. dalam: Lubis, H.R., et al
(eds). Hipertensi dan Ginjal. Medan: USU Press;2008:133-9.
3. Prodjosudjadi, W. Glomerulonefritis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2006:527-30.
th
4. PERNEFR. 2011. Naskah lengkap & abstrak makalah bebas, The 11 national congress of
InaSN & Annual meeting of nephrology 201.
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;2011:591-3.
6. Kindangen, Ardhi, 2006. Penyakit Gagal Ginjal, Retrieved November 9th 2010, from
http://digiboxnet.wordpress.com/2010/06/06/penyakit-gagal-ginjal/i.
7. Adam, 2011, Medikal Images, Retrieved Januari 18, 2011, from
http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kidney
8. Syaefudin, Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa keperawatan, Ester M ed, edisi ketiga,
EGC: Jakarta;2006.
9. Smeltzer, Suzanne, Bare BG. (2001). Buku ajar keperawatan medical bedah. Jakarta: EGC
10. Chung, R. T., Podolsky, D. K., 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Azotemia
and urinary abnormalities.18th editing, New York: McGraw-Hill. Harrison's Online Chapter
44.
11. Hruska KA, Mathew S, Lund R, pratt R. Kidney International: Hyperphosphatemia of
Chronic Kidney Disease.USA:ISN.2008:74:148-157

Anda mungkin juga menyukai