Disusun Oleh :
1. Khumaidah ( 15490005 )
2. Andika Mukti ( 15490006 )
3. Erni Ritonga ( 15490007 )
4. Siti Barkah( 15490008 )
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini.
Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksudkan untuk mewujudkan kesempurnaan
makalah ini penulis sangat hargai.
Penulis
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam islam terdapat sumber dari segala sumber hukum yakni Al-Qur‟an. Namun,
terdapat sumber lain yakni Hadist, Ijma‟ dan Qiyas. Semua dari hukum yang terkandung
wajib untuk diterapkan dalam kehidupan. Suatu permasalahan di dunia pasti telah
diterangkan penyelesaiaanya dalam Al- Qur‟an tetapi apabila dalam Al-Qur‟an tidak
dijelaskan secara rinci maka, dapat mengambil hukum dalam Hadit, Ijma‟ dan Qiyas. Dalam
realita kehidupan sekarang, dengan perkembangan zaman yang semakin pesat serta
problematika yang semakin banyak maka pondasi hukum baru lebih dapat dipahami agar
dalam penyelesaiaan masalah tidak keluar dari hukum yang berlaku di masyarakat maupun
agama.
1.2 Tujuan
Untuk memahami tentang Ijma‟
Untuk mengetahui macam-macam ijma‟
Untuk memahami tentang Qiyas
Untuk mengetahui Rukun Qiyas
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijma’
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan
dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
(ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat
Yunus, 10 : 71:
71. dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai
kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah,
Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah
terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
5
Pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang
berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk
pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.1
ﺍﺗﻔﺎﻖﻣﺠﺗﻬﺪﻯﺃﻣﺔﻣﺤﻣﺪﺼﺎﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢﺒﻌﺪﻮﻔﺎﺘﻪﻔﻰﻰﻋﺼﺮﻤﻦﺍﻷﻋﺼﺎﺮﻋﺎﻰﺃﻤﺮﻤﻦﺍﻷﻤﻭﺮ
Artinya:
“Kesamaan pendapat para mujtahid untuk Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada
suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu.”
Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang-orang yang bukan
mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang-orang yang semasa dengan Nabi
tidaklah disebut sebagai ijma‟.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat
sebagai ijma‟. Namun pendapat jumhur ijma‟ itu disyaratkan setuju paham mujtahid (ulama)
yang ada pada masa itu. Tidak sah ijma‟ jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup
pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma‟ ini harus berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan
sunnah dan tidak boleh didasarkan kepada yang lainnya.
Contoh mengenai ijma‟ antara lain adalah menjadikan sunnah sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Semua mujtahid dan bahkan semua umat Islam sepakat (ijma‟)
menetapkan sunah sebagai salah satu sumber hukum umat Islam. Contoh lain ialah tentang
pembukuan Al-Qur‟an yang dilakukan pada zaman Khalifa Abu Bakar Ash-Shiddiq.
1
Saif al-Din al-Amidi, op. Cit, hal.101; ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari, op. Cit., hal. 946; dan al-Syaukani, op. Cit., hal 63
6
2.2 Rukun dan Syarat ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma‟ itu ada lima, yaitu :
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma‟ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,
maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma‟.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahsan hukum itu adallah seluruh mujtahid yang
ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dan tidak
hukumnya secara rinci dalam Al-Qur‟an.
5. Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Qur‟an dan atau hadist Rasulullah saw.
Di samping kelima rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-
syarat ijmaط, yaitu :
7
Ijma tidak mungkin terjadi, tidak akan ada dan tidak akan pernah ada, karena
persoalan agama sejak diutusnya nabi hingga kiamat merupakan masalah yang
disepakati.
Ijma‟ kauli/ijma‟ sharih, yaitu ijma‟ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan
maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain pada
zamannya.
Ijma‟ sukuti/ijma‟ ghairul sharih, yaitu ijma‟ yang dikeluarkan oleh para mujtahid
dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatnya yang diartikan setuju atas
pendapat mujtahid lainnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma‟ yang dapat dijadikan landasan hukum adalah
ijma‟ sharih, sedangkan ijma‟ sukuti tidak.
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma‟ dibagi dalam beberapa
macam:
Ijma‟ Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu
masa tertentu.
Ijma‟ Shahaby yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
Ijma‟ Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Madinah dalam suatu masalah.
Ijma‟ Ahli Kufah, yaitu kesepakatan ulama-ulama Kufah dalam suatu masalah.
Ijma‟ Khalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali)
Ijma‟ Syaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab
dalam suatu masalah.
Ijma‟ Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat para ahli bait (keluarga Rasul).
Menurut ulama Hanafiah yang dipandang sebagai ijma‟ yang sebenarnya adalah ijma
kauli dan ijma‟ sukuti. Adapun ulama syafiyah mengatakan bahwa hanya ijma kauli yang
dipandang sebagai ijma, sedangkan mujtahid yang dinyatakan benar-benar ijma hanya ijma
sahabat, oleh karena itu, selain ijma sahabat berarti bukan ijma yang sesugguhnya yang dapat
8
dijadikan sumber hukum atau dalil. Kalaupun disebut ijma, tidak dapat dijadikan hujjrah
syar’iyah. Kehujjahan ijma‟ didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut :
سﻮل ِﻣ ْﻦ ب ْﻌ ِﺪ ﻣﺎ ﺗﺒﻴَّﻦ لﻪُ ْﺍل ُﻬﺪﻯ ﻭيﺘَّﺒِ ْع غﻴْﺮ سﺒِﻴ ِل ْﺍل ُﻤؤْ ِﻣنِﻴﻦ
ُ ﺍلﺮ
َّ ﻖِ ِﻭﻣ ْﻦ يُشﺎق
ﻴﺮﺍ
ً ﺼِ تﻣ ْ ُنُﻮ ِلّ ِﻪ ﻣﺎ ﺗﻮلَّﻰ ﻭن
ْ ﺼ ِﻠ ِﻪ جﻬنَّﻢ ﻭسﺎء
Artinya : “ Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu. dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka
Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali “
Dalil Kedua : Surah Al-Baqarah : 143
143. dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-
nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.
9
103. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Akan tetapi Ibrahim ibn Siyar al-Nazzzam (tokoh Mu‟tazilah) , ulama Khawarij dan
ulama Syi‟ah, berpendapat bahwa ijma‟ tidak bisa dijadikan hujjah. Menurut al-Nazzam,
ijma‟ digambarkan Jumhur Ulama tersebut tidak mungkin terjadi , karena tidak mungkin
menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk
berkumpul, membahas suatu kasus, dan menyepakatinya bersama. Selain itu, masing-masing
daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda.
Adapun bagi kalangan syi‟ah, ijma‟ tidak mereka terima sebagai hujjah karena
pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah imam yang mereka anggap ma‟shum
(terhindar dari dosa). Ulama khawarij dapat menerima ijma‟ sahabat sebelum terjadinya
perpecahan politik di kalangan sahabat.
Ijma‟ yang didefinisikan Jumhur Ulama ushul fiqh di atas tidak dapat mereka terima,
karena sesuai dengan keyakinan mereka bahwa ijma‟ itu harus disepakati umat Islam, dan
orang yang tidak seiman dengan mereka dipandang bukan mu‟min.
10
Alasan jumhur ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ijma‟ merupakan hujjah
yang qath‟i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara adalah:
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu bersifat umum,
mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia
(pemimpin masyarakat, negara dan perangkatnya). Ibn „abbas menafsirkan uli al-amr ini
dengan para ulama. Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah,
2:143; Ali Imron, 3:110; dan al-Syura, 42:10. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda
Rasulullah saw:
ﺃﻣﺗﻲﻻﺗﺠﺗﻣﻊﻋﺎﻰﺍﻠﺧﻁﺄ
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al Tirmidzi)
ﻻﺗﺠﺗﻣﻊﺃﻣﺗﻲﻋﻠﻰﻀﻼﻠﺔ
ﻮﺴﺄﻠﺖﺍﻠﻠﻪﺃﻥﻻﺗﺠﺗﻤﻊﺃﻤﺗﻲﻋﻠﻰﺿﻼﻠﺔﻔﺎﻋﻄﺎﻨﻴﻬﺎ
Saya mohon pada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesesatan, lalu Allah
mengabulkannya. (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Thabrani).
11
Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda:
ﻻﺗﺯﺍﻞﻃﺎﺌﻔﺔﻤﻦﺃﻤﺗﻲﻋﻠﻰﺍﻠﺤﻖﻈﺎﻫﺮﻴﻦﻻﻴﻀﺮﻫﻢﻤﻥﺨﻠﻓﻬﻢ
Golongan umatku senantiasa dalam kebenaran yang nyata dan mereka tidak akan mudarat
dari orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Seluruh hadits itu menurut „Abdul Wahab Khalaf, menunjukkan bahwa suatu hukum
yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya meupakan hukum umat Islam seluruhnya yang
diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-
hadits di atas, tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat, melalui para mujtahid mereka maka tidaka ada
alasan untuk menolaknya.
Ijma‟ sharih lafzhi ialah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui
perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam sidang
ijma‟ setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang
dibahas. Ijma‟ seperti ini, sangat langka terjadi, apalagi bila dilakukan kesepakatan itu di
dalam satu majelis atau pertemuan yang dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu.
Bahkan al-Nazzam, seperti dikemukakan diatas, berpendapat bahwa ijma‟ seperti ini tidak
mungin terjadi. Namun demikian menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, apabila ijma‟ seperti ini
berlangsung dan menghasilkan kesepakatan tentang suatu hukum, maka biss dijadikan hujjah
dan kekuatan hukumnya bersifat qath‟i (pasti).
Adapun ijma‟ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang
hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam
saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak
pendapat tersebut. Ijma‟ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan,
karenanya ulama ushul fiqh menempatkannya sebagai dalil zhanni.
Dalam persoalan ijma‟ sukuti terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam
menetapkan apakah kesepakatan yang seperti itu dapat dikatakan ijma‟ dan mengikat seluruh
umat islam serta bisa dijadikan hujjah?
12
Ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Abu Bakr al Baqillani (w. 403 H, ahli fiqh Maliki),
berpendapat bahwa ijma‟ sukuti bukanlah ijma‟ dan tidak dapat dijadikan hujjah. Mayoritas
ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal (162-241 H/780-855 M) mengatakan bahwa
kesepakatan seperti itu bisa termasuk ijma‟ dan dapat dijadikan hujjah yang qath‟i (pasti).
Pendapat ketiga dikemukakan Abu „Ali al-Jubba‟i (tokoh Mu‟tazilah), bahwa ijma‟ sukuti
bisa dikatakan ijma‟ apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut telah habis,
karena apabila mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati sebagian
mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya mujtahid yang membantah
hukum tersebut tidak ada lagi.
Al-Amidi (551-631 H / 1156-1233 M), Ibn al-Hajib (570-646 H/ 1174-1248 M), dan al-
Karkhi (260-340 H/870-952 M, ahli ushul fiqh Hanafi), berpendapat bahwa ijma‟ sukuti tidak
bisa dikatakan ijma‟ tetapi dapat dijadikan hujjah, sedangkan kehujjahannya mereka adalah
zhanni.
Adapun alasan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah dalam menetapkan kehujjahan ijma‟
sukuti hanya melalui logika (dalil akal). Dalil akal yang mereka kemukakan adalah bahwa
ijma‟ sharih harus disepakati oleh setiap mujtahid yang hidup pada waktu terjadinya ijma‟
dan masing-masing mereka mengemukakan pendapat serta menyetujui hukum yang
ditetapkan. Hal ini tidak mungin terjadi, karena biasanya ijma yang dikemukakan ulama
tersebut berawal dari pendapat seseorang atau sekelompok mujtahid, sedangkan mujtahid
lainnya diam saja. Di samping itu, para ulama sepakat mengatakan bahwa ijma‟ sukuti bisa
dijadikan hujjah dalam masalah keyakinan (i‟tiqad), maka demikian juga dalam masalah
hukum.
1. Diamnya (al-Sukuti) para ulama setelah menegtahui suatu hukum hasil ijtihad yang
dikemukakan seorang mujtahid adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil
ijtihad itu dari berbagai segi. Adalah kewajiban para ulama untuk mempelajari hasil
ijtihad ulama lain yang diungkapkan di zaman mereka. Apabila seorang ulama
mengemukakan dan menyebarluaskan hasil ijtihadnya dalam suatu kasus, sementara
ulama lain setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad itu diam saja, maka hali
itu menunjukkan persetujuannya. Karena, para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan:
ﺍﻠﺴﻜﻮﺖﻔﻲﻣﻮﺿﻊﺍﻠﺒﻴﺎﻦﺒﻴﺎﻦ
13
Diam (saja) ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan.
Maksudnya, sikap diam para ulama dianggap sebagai penjelasan atau persetujuan
mereka terhadap suatu hasil ijtihad yang telah diungkapkan.
2. Adalah tidak dapat diterima (tidak layak) jika para ahli fatwa diam saja ketika
mendengar adanya fatwa ulama lain. Karena sesuai dengan kebiasaan di lingkungan
para ulama fatwa yaitu jika ada seorang ulama mengemukakan pendapatnya tentang
hukum suatu kasus, maka para ulama lain harus menanggapinya jika fatwa itu
dianggap tidak benar. Karenanya, apabila para ulama itu diam saja, maka sikap
tersebut dianggap sebagai pertanda setuju. Di samping itu, apabila para ulama lain
(yang tidak mengeluarkan fatwa hukum) menganggap fatwa itu menyimpang dari
nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode yang telah disepakati
bersama, lalu mereka diam saja, maka mereka berdosa. Adalah kewajiban bagi
mereka untuk mempelajari, menganalisis dan membantah suatu fatwa apabila ternyata
tidak sejalan dengan nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dengan metode
yang ada.
Jumhur ulama yang menolak kehujjahan ijma‟ sukuti mengatakan bahwa hukum dan
syarat ijma‟ itu adalah kesepakatan seluruh mujtahid yang hidup dizaman terjadinya ijma‟
tersebut, dan masing-masing mereka terlibat membicarakan hukum yang akan ditetapkan.
Sedangkan ijma‟ sukuti merupakan pendapat pribadi yang disebarluaskan, sedangkan
mujtahid lainnya diam saja. Diamnya mujtahid lain tidak bisa ditafsirkan sebagai tanda
persetujuan mereka, karena diamnya mereka mungkin disebabkan kondisi pribadi dan kondisi
lingkungan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, menurut Jumhur Ulama, posisi ijtihad yang
dilakukan seorang atau sekelompok mujtahid itu tidak lebih dari ijtihad yang sifatnya zhanni
(relatif) dan tidak wajib diikuti mujtahid lain, karena itu pula maka tidak dikatakan ijma‟.
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma‟ itu bisa dari dalil yang
qath‟i, yaitu al-Qur‟an, Sunnah mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil zhanni seperti
14
hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai
tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma‟ yang dilakukan para sahabat
tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma‟ ini, menurut mereka,
adalah hadits ahad. Demikian juga kesepakatan para sahabat menetapkan Abu bakar sebagai
pengganti (khalifah) Nabi saw. dengan mengqiyaskannya kepada sikap Nabi saw. yang
menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat ketika beliau berhalangan. Para sahabat juga ber-
ijma‟ bahwa lemak babi adalah haram dengan menganalogikannya kepada daging babi. Para
sahabt di zaman „Umar ibn al-Khattab bersepakat menjadikan hukuman sebanyak 80 kali
bagi orang yang meminum minuman keras. Seluruh kesepakatan yang dikemukakan di atas
dasarnya adalah zhanni.
Ulama Zhahiriyyah, Syi‟ah dan Ibn Jarir al-Thabari mengatakan bahwa landasan
ijma‟ itu harus dalil yang qath‟i. Menurut mereka, ijma‟ itu dalil yang qath‟i. Suatu dalil yang
qath‟i tidak mungkin didasarkan kepada dalil yang zhanni seperti hadits ahad dan qiyas,
karena hasil dari yang zhanni tetap zhanni. Di samping itu, seorang mujtahid boleh menolak
ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas. Apabila sandaran ijma‟ tersebut adalah
qiyas, maka seorang mujtahid tidak boleh mengingkarinya.
Sejalan dengan perbedaan pendapat tentang menjadikan qiyas sebagai landasan ijma‟,
para ulama juga berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan
ijma‟. Para ulama yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung
oleh nash yang rinci, tidak pula ditolak oleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna nash)
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum yang menyatakan bahwa ijma‟ didasarkan
kepada maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubahn, maka ijma‟
pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqh Madinah berpendapat bahwa
penetapan harga (al ta‟sir al jabari) hukumnya boleh, sedangkan para sahabat sebelumnya
tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah
mursalah. Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan
kekerabatan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya atau sebaliknya.
15
disepakati seperti kesepakatan pembagian warisan bagi nenek seperenam dari harta warisan
dan larangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa
siapa yang mengatakan adanya ijma‟ terhadap hukum suatu masalah, maka ia berdusta,
karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit
untuk mengetahui adanya ijma‟ terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada orang yang
bertanya apakah ijma‟ itu ada dan secara aktual terjadi, menurut Imam Ahmad ibn Hanbal,
jawaban yang paling tepat adalah “kami tidak mengetahui adanya mujtahid yang tidak setuju
dengan hukum ini.”
Sedang menurut Istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada
ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status
hukumnya dalam nash.
Berbeda dengan ijma‟, qiyas bisa dilakukan oleh individu, sedang ijma‟ harus
dilakukan bersama oleh para mujtahid.
Dari beberapa definisi dalil tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan qiyas adalah menetapkan hukum suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya,
16
berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Syarat utama dalam pendekatan
analogi atau qiyas adalah adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian, qiyas akan lebih
mengutamakan logika, karena dari kasus khusus ditarik ke kasus yang sifatnya umum. Dalam
qiyas terdapat proses generalisasi, sehingga memerlukan penalaran yang serius dan proses
analisis kebeberapa sudut pandang,mulai pemaknaan bahasa, pemahaman peritiwa asal dan
sifat-sifat hukum yang dikatagorikan memiliki indikasi yang serupa.
Di antara contoh qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Ini
disamakan dengan hukum khamr (arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis minuman ini
adalah sifatnya memabukkan. Contoh lain adalah harta anak-anak wajib dikeluarkan
zakatnya. Ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu wajib dizakati. Menurut Imam
Syafi‟i, keduanya memiliki kesamaan, yaitu bahwa kedua jenis harta (harta anak-anak dan
harta orang dewasa) tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat
memberikan pertolongan kepada fakir miskin.
1. Ashl atau pokok, yakni suatu peristiwa yang sudah ada nash nya yang dijadikan
tempat menganalogikan
2. Fur‟u atau cabang, yakni peristiwa yang tidak ada nash nya, yang akan dipersamakan
hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikan dan
diserupakan)
3. Hukum ashl, yakni hukum syara yang telah ditentukan oleh nash
4. Illat, yakni sifat yang terdapat pada sifat ashl. Dengan adanya illat hukum inilah,
proses mempersamakan hukum dapat dilakukan.
2. qiyas musawi, illat suatu hukm sama, seperti halnya kasus kesamaan hukum membakar
harta anak dengan memakan hartanya. Illat keduanya sama-sama menghilangkannya.
17
3. qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al hukm
(penunjukkan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan
harta orang dewasa. Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembang (al-nama’).
4. qiyas Syibh, yakni terjadinya keraguan dalam mngqiyaskan, ke asal mana illat ditujukan;
kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya. Seperti
pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya diqiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak
cucu Nabi Adam as., atau barang yang bisa diperjualbelikan.
)٢ : ﻔﺎﻋﺘﺒﺭﻮﺍﻴﺄﻮﻠﻰﺍﻷﺒﺼﺎﺭ (ﺍﻠﺣشﺮ
Artinya :
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!” (Q.S Al-Hasyr / 59: 2)
Setelah Allah menjelaskan tentang kisah yang terjadi pada orang-orang kafir dari Bani
Nadhar dan menjelaskan duduk persoalan apa-apa yang berada di sekelilingnya itu, Allah
mendatangkan hukuman dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Kemudian Allah
berfirman: “Ambillah pelajaran olehmu wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Artinya qiyaskanlah dirimu dengan mereka. Kamu adalah seperti mereka itu. Perbuatanmu
sama dengan perbuatan mereka.
Dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyah
Khusya‟miyah bertanya kepada Rasul,”Hai Rasul Allah, ayahku adalah seorang yang sangat
tua. Dia sudah tidak sanggup menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji untuk dia, apakah
ada manfaat bagi dia?” Rasul menjawab, “Bagaimanakah pendapatmu jika ayahmu
mempunyai utang dan kamu yang membayar utang itu. Apakah yang demikian itu
18
bermanfaat baginya?” Jariyah menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah bersabda, “Utang
kepada Allah itu lebih berhak dibayarkan.”
19
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Secara etimologi, ijma‟ ( )ﺍﻹﺠﻤﺎﻉberarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini
dijumpai dalam surat Yusuf, 12 : 15, yaitu:
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu
mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada
Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."
(ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat
Yunus, 10 : 71:
71. dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada
kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan
janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
20
Qiyas berasal dari kata qasa-yaqisu-qaisan artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas
diartikan ukuran, timbangan dan lain-lain yang searti dengan itu atau pengukuran sesuatu
dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya
3.2 SARAN
Qiyas sebagai kaum muslim dan muslimah hendaknya senantiasa mengetahui,
mempelajari serta mengamalkan hokum-hukum yang telah Allah SWT tentukan. Ijma dan
qiyas merupakan hokum yang telah Allah SWT berikan apabila tidak tertera dalam Al-Qur‟an
dan As-Sunnah. Betapa pentingnya hokum dalam islam dan islam(Allah SWT) telah
memberikan kemudahan kepada hambanya.
21
DAFTAR PUSTAKA
httphttp://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ushul-
fiqih/allsub/133/ijma.html://almanhaj.or.id/content/2944/slash/0/peran-ijma-dalam-penetapan-
hukum-islam
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/133/ijma.html
22