Anda di halaman 1dari 175

Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister


Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

i
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan
Jaten Kabupaten Karanganyar

Oleh:

Larmanto
NIM. S. 2405017

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing


Dewan Pembimbing :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.

Pembimbing II Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.


NIP. 131 884 423

ii
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di
Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Oleh:

Larmanto
NIM. S. 2405017

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Nama Tanda Tangan Tanggal


Jabatan

Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.


Ketua

Dra, Kristina Setyowati, M.Si.


Sekretaris

Dr. P. Israwan Setyoko, M.S.


Anggota Penguji

Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si.


Anggota Penguji

Mengetahui

Ketua Program Dr. Dradjat Tri Kartono, M.Si.


Studi MAP NIP. 131 884 423

Direktur Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D.


Program NIP 131 472 192
PascaSarjana

iii
PERNYATAAN

: Larmanto
Nama : S. 2405017
NIM.

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Implementasi Kebijakan


Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya,
dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia,
menerima sangksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.

Surakarta, Februari 2008


Yang membuat pernyataan

Larmanto

iv
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas limpahan

Kasih dan KaruniaNya penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan

tesis dengan judul Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Magister pada Program Studi Magister Administrasi Publik dengan

konsentrasi Kebijakan Publik. Tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan dan

dukungan banyak pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D. Direktur Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta beserta staf yang telah memberikan segala fasilitas dan

kesempatan untuk penyelesaian tesis ini..

2. Bapak. Dr. P. Israwan Setyoko, MS. selaku Pembimbing I yang dengan sabar dan

bijaksana senantiasa memberikan pengarahan dan bimbingan yang terbaik untuk

penulisan tesis ini.

4. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa

dengan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan koreksi dalam penulisan tesis

ini.yang telah membantu dan memotivasi dalam penyelasaian tesis ini.

5. Segenap staf pengajar Magister Administrasi Publik atas pengetahuan dan

ketrampilan yang telah diberikan.

v
6. Drs. Sugiharto, Selaku Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, dan para staf yang

telah dengan sabar memberikan informasi dan data untuk tesis ini.

7. Orang Tua, Istri, dan Anakku yang tak henti-hentinya membangkitkan semangat

hidup untuk lebih maju.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Karenanya segala sesuatu yang menjadi kekurangan dari tesis ini

dapat dijadikan renungan bagi semua pihak untuk mengadakan penelitian yang lebih

tajam dan mendalam berkaitan dengan permasalahan tesis ini.

Akhirnya Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat membangkitkan

kepedulian terhadap upaya peningkatan pembangunan bangsa. Kiranya Tuhan

Memberkati kita semua, Amin.

Surakarta, Februari 2008

Larmanto
S. 2405017

vi
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul……………………………………………………..…… i.
Halaman Pengesahan Pembimbing ……………………………………. ii.
Halaman Pengesahan Tesis ……………………………………………. iii.
Pernyataan……………………………………………………………... iv.
Persembahan…………………………………………………………… v.
Kata Pengantar………………………………………………………… vi.
Daftar Isi………………………………………………………………. vii.
Daftar Tabel…………………………………………………………… viii.
Daftar Gambar………………………………………………………… ix.
Abstract………………………..……………………………………… x.

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah…………………..…………….. 1
B. Perumusan Masalah……………………………………... 6
C. Tujuan Penelitian………………………………………... 7
D. Manfaat Penelitian……………………………………… 7

BAB II KAJIAN TEORI . . . . . . ………………………………….. 8


A. Konsep Implementasi Kebijakan...…………………….. 8
B Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik ..……….. 19
C. Pemungutan dan Pembayaran PBB . . ..………………. 25
D. Kerangka Berpikir ......……………………………. 32

BAB III METODE PENELITIAN 35


A Lokasi …………………….…………………………. 35
B. Jenis Penelitian………………………………………… 35
C. Fokus dan aspek Kajian . ……………………………… 37
D. Data dan Sumber Data. ..………………………………. 37
E. Teknik Teknik Penentuan Informan …………................ 38
F. Teknik Pengumpulan data …………..………………… 38
G. Uji Validitas Data ……………………………………. 38
H. Teknik Analisis Data…………………………………… 39

vii
Halaman
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 41
A. Hasil Penelitian. .............................………………… 41
B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten 44
Karanganyar ……………………………………
I. Isi Kebijakan …………………………………… 46
2. Sumber Daya manusia. …………………………… 55
3. Kepatuhan Pelaksana. . . .…………………………… 59
4. Komunikasi………………………………………… 67
5. Faktor Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap 75
Implementasi Pemungutan PBB ………………

BAB V PENUTUP 86
A. Kesimpulan………………………………………… 86
B. Implikasi…………………………………………… 89
C. Saran………………………………………………… 90

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005


di Kabupaten Karanganyar
2

Tabel 2 Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten 3

Tabel 3 Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten


dibandingkan Penerimaan PBB Tingkat kabupaten
Karanganyar 4

Tabe 4 Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten 42


Karanganyar

Tabel 5 Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten


Kabupaten Karanganyar Tahun 2005 58

ix
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Model Implementasi Kebijakan Grindle 13

Gambar 2 Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier 15


dan Mazmanian

Gambar 3 Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter 18


& Van Horn

Gambar 1 Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan 28

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi 29


Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar

Gambar 3 Fokus dan aspek kajian penelitian 34

Gambar 4 Model Analisis Interaktif 38

x
ABSTRAK

Larmanto S. 2405017, 2007. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak


Bumi dan Bangunan (PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Tesis
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi pemungutan
PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dan untuk mengetahui faktor
penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.
Teori yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah model
implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975) dan model Grindle (1980).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan dukungan data kualitatif
dan kuantitatif. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi.
Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Teknik analisis data yang digunakan
adalah teknik analisis data interaktif.
Hasil analisis dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
(1) Dalam kebijakan Pemungutan PBB terdapat pemisahan kewenangan yang
bersifat administratif dan operasional antara Departemen Keuangan dengan
Pemerintah Kabupaten Karanganyar (2) Sumber daya manusia terdiri dari para
kepala dusun sebagai petugas pemungut yang sangat mengetahui situasi wilayahnya.
(3) kepatuhan pelaksana dalam menyalurkan SPPT PBB tidak dapat dilakukan tepat
sesuai dengan alokasi waktu (4) Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum
berjalan dengan baik, (5) Sistem penghargaan (rewards) dan hukuman (punisment)
telah dilakukan (6) Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas.
faktor yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan
PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar antara lain keterlambatan dan
kesalahan dalam SPPT yang dikeluarkan KP PBB, belum ada shock therapy
terhadap wajib pajak yang tidak membayar PBB, Kepatuhan aparat pelaksana masih
kurang, lemahnya pengadministrasian dalam mutasi SPPT PBB. Banyak Pemilik
tanah di Kecamatan Jaten yang berdomisili di luar wilayah Kecamatan
Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di
Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut : Komitmen pimpinan wilayah, Sistem
rewards berupa hadiah undian,
Saran dalam penelitian ini adalah (1) Perlu ada shock therapy berupa sanksi
yang tegas terhadap wajib pajak yang menunggak PBB (2) Perlu adanya
penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang mengatur kewajiban dan
kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan
KP PBB agar setiap mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan
mutasi SPPT PBB (3) Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara
Dipenda, Kantor KP PBB, Kecamatan dan Desa (4) mekanisme upah pungut perlu
ditata ulang.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin

maju, dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak

diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih

kreatif mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya.

Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan

Asli Daerah Sendiri (PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang

terdiri dari dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus

(DAK), Pinjaman daerah dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan

daerah dari sektor pajak termasuk dalam komponen pendapatan asli

daerah yang nilainya signifikan dibandingkan dengan sumber pendapatan

lainnya. Pada sektor pajak, sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten

Karanganyar diberikan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu

sebesar 23,3 % pada tahun 2005.

Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-

undang nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan,

sebagimana telah disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun

1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan., dimana pembagiannya

ditetapkan untuk pemerintah pusat 10 %, Pemerintah Provinsi 16,2 %,

Pemerintah Kabupaten 64,8 % dan Upah Pungut 9 %. Bagi pemerintah


daerah pemasukan dari pembagian pemasukan PBB ini cukup penting

dalam menopang jalannya

1
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena

itu dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan

penagihan PBB ini.

Kenyataan yang terjadi di Kabupaten Karanganyar, pendapatan

dari sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan.

Data penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang

fluktuatif. Kecenderungan fluktuasi Penerimaan PBB ini dapat dilihat

dalam tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1

Penerimaan PBB dari Tahun 2000 sampai dengan 2005


di Kabupaten Karanganyar

No Tahun Target Realisasi Persentase


( Rp) ( Rp) ( %)
1. 2000 2.500.000.000,00 3.096.663.334,00 123,87

2 2001 5.175.278.000,00 4.397.408.000,00 84,97

3 2002 6.156.457.000,00 5.377.052.075,00 87.34

4 2003 6.323.031.000,00 6.060.879.291,00 95,85

5 2004 7.601.407.000,00 8.298.622.990,00 109,17

6 2005 10.645.923.221,00 10.004.563.346,00 98,21

Sumber : Kantor Dipenda Kabupaten Karanganyar, 2006.

Data diatas menunjukkan rata-rata setiap tahun terjadi peningkatan

realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya

masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya

tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan

melainkan bersifat fluktuatif.


2
Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun

2000 juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB sebagaimana yang

terjadi di Kecamatan Jaten seperti data berikut :

Tabel 2

Data Realisasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten

Tahun Target Realisasi Persentase


(Rp) (Rp) (%)

2000 854.847.525,00 716.060.558,00 83,76

2001 1.384.583.500,00 1.327.980.832,00 95,91

2002 1.713.769.040,00 1.396.148.053,00 81,47

2003 2.100.950.110,00 1.680.916.882,00 80,01

2004 2.706.644.926,00 2.435.084.236,00 89,97

2005 2.864.118.090,00 2.443.639.849,00 85,32

Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.

Data diatas menunjukkan dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB

yang berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan

PBB di Kecamatan Jaten Membutuhkan perhatian serius karena

Kecamatan Jaten merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi

terbesar dari penerimaan sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya

di wilayah Kabupaten Karanganyar.

Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan Jaten terhadap total

penerimaan PBB tingkat Kabupaten Karanganyar cukup signifikan

sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3 berikut ini :

3
Tabel 3

Data Kontribusi Penerimaan PBB Kecamatan Jaten dibandingkan


Penerimaan PBB Tingkat kabupaten Karanganyar
Realisasi Persentase
Realisasi Kabupaten Kontribusi dari
Tahun Kecamatan Jaten Karanganyar Kecamatan jaten

(Rp) (Rp) (%)


2000 716.060.558,00
3.096.663.334,00 23,12

2001 1.327.980.832,00
4.397.408.000,00 30,20

2002 1.396.148.053,00
5.377.052.075,00 25,96

2003 1.680.916.882,00
6.060.879.291,00 27,73

2004 2.435.084.236,00
8.298.622.990,00
29,34

2005 2.443.639.849,00 10.004.563.346,00


24,43
Sumber : Kantor Kecamatan Jaten.

Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi Penerimaan PBB dari

Kecamatan Jaten menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total

penerimaan PBB di Kabupaten Karanganyar.

Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan

permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk

menjawab permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk

memberikan arah bagi pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan

menyentuh akar permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat

membutuhkan informasi yang cukup dan akurat mengenai hambatan-


hambatan dalam proses implementasi Pemungutan Pajak Bumi dan

Bangunan di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar.

4
Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan

PBB dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan

publik yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari

segi otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan

Pemungutan PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada

Bupati / Walikota melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor

1007/KMK/04/1995. Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan

mekanisme penagihannya sedangkan urusan prinsipal mengenai

pendataan subyek dan obyak pajak, penetapan besarnya nilai PBB sampai

pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada Departemen Keuangan

dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah

Kabupaten dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan

dan kendala dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat

Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan

kepada masyarakat maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan

administratif mengenai data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan

Pajak Terhutang (SPPT) harus diselesaikan melalui KP PBB. 3.

Penentuan besaran pajak oleh KP PBB seringkali tidak akurat sehingga

masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil atau merasa

keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk mengajukan

keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB Surakarta memiliki

cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten Sragen,

Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar dengan jumlah Wajib


5
pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak

dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan

sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang

seharusnya diberikan.

Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai

juga menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya

koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal

pengadministrasian mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya

mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi

PBB, sehingga pada saat penagihan nama yang tercantum dalam SPPT

tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang

tercantum dalam SPPT PBB nya ditagihkan kepadanya. Akibatnya

petugas pemungut yang notabene merupakan aparat pemerintah desa

setempat pun menemui kesulitan untuk melakukan penagihan. Tidak

adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para

penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak optimalnya

pemungutan PBB.

Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan

pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100 %, tetapi

selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana

implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar?”
6
C. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam

implementasi kebijakan pemungutan PBB.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

masukan bagi Pemerintah Kecamatan Jaten Kabupaten

Karanganyar dalam rangka meningkatkan penerimaan dari sektor

PBB.

2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh

para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan

penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB.

3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk

mlelaksanakan penelitian sejenis.


7
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan bagian dari studi kebijakan (publik),

disamping studi formulasi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan. Terdapat

beberapa pengertian mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik itu.

Menurut Anderson (1975 : 5) menyatakan kebijakan publik sebagai berikut :

public policy are those policies developed by govermental bodies and


officials (kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan
atau pejabat pemerintah), dan maknanya adalah :
a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau suatu
tindakan berorientasi pada tujuan;
b. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan atau pola-pola
tindakan pejabat pemerintah;
c. Kebijakan tersebut merupakan apa yang benar-benar dilakukan
oleh pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan
melakukan atau menyatakan sesuatu;
d. Kebijakan publik didasari oleh suatu peraturan perundang-
undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen

dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran dan yang terakhir adalah cara mencapai

sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara

rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menerjemahkan sebagai program-

program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa

komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya,

berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya,

bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan

bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian

8
komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang

berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan

dan sasaran khusus. Cara ini biasa disebut implementasi (Samodra

Wibowo,1994: 15).

Studi implementasi mengkaji seluk beluk proses implementasi

kebijakan yakni “the execution and steering of policy actions over time”

(Dunn, 1994 : 85). Studi Implementasi menurut Dunn sebagaimana dikutip

Samodra Wibowo adalah membantu mengkaji tingkat kepatuhan,

menemukan konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang tak diharapkan,

mengidentifikasi hambatan dan kendala implementasi, dan menentukan siapa

saja yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan (Samodra Wibowo

1994 : 3 )

Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi

kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups)

that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy

decisions”. Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar

bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik

ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan

lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang

memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980:3).

Di sini Grindle telah memperkirakan adanya berbagai hambatan yang

berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan

diimplementasikan, sehingga setelah suatu kebijakan di terjemahkan kedalam

program aksi, belum tentu implementasi akan berjalan dengan lancar dan ini
tergantung dari kemampuan mengimplementasikan program tersebut

(implementability).

9
1. Model Grindle

Implementasi suatu kebijakan, menurut grindle (1980:8-12) sangat

ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan

(context of policy). Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu

organisasi, yakni tujuan, pelaksanaan tugas dan kaitan organisasi dengan

lingkungan. a). Isi Kebijakan mencakup :

1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan

Dalam memformulasikan suatu kebijakan hendaknya diminimalisir

terjadinya banyak kepentingan yang berbeda yang dipengaruhinya,

karena semakin kompleks kepentingan yang dipengaruhi maka proses

implementasinya akan semakin sulit.

2) Jenis manfaat yang dihasilkan

Manfaat suatu kebijakan yang dapat dinikmati secara realistis oleh

kelompok sasaran berpengaruh terhadap dukungan atas perubahan

tersebut. Kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara nyata

akan memperoleh dukungan yang kuat dalam proses implementasinya

dibanding kebijakan yang kurang dirasakan manfaatnya bagi publik.

3) Derajad perubahan yang diinginkan

Apabila suatu kebijakan mempunyai tujuan yang menyangkut

perubahan nilai-nilai atau norma-norma, diamana antara kebijakan

yang telah dibuat dan nilai yang sudah dianut oleh kelompok sasaran

bertentangan sekali, biasanya kebijakan tersebut akan sulit

dimplementasikan.
10
4) Kedudukan pembuat kebijakan

Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan

sekali bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan

kebijakan harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang

diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan

memiliki peluang gagal yang lebih besar.

5) Siapa pelaksana program

Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku

program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang

memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya

lain yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan

memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan.

6) Sumber daya yang dikerahkan.

Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang

diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif

diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang

berkepentingan atas kebijakan tersebut.

b). Konteks kebijakan meliputi :

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

Nilai-nilai yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi

suatu kebijakan kadangkala bertentangan dengan tujuan kebijakan,

manakala nilai-nilai tersebut sesuai dengan apa yang menjadi

kepentingannyadan mendukung jabatan yang dimbannya maka

kebijakan akan semakin mudah


11
dimplementasikan. Demikian pula strategi yang dibuat seharusnya

dibangun dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang memadai.

2) Karakteristik lembaga dan penguasa

Untuk mempermudah implementasi, dibutuhkan kesesuaian nilai-nilai

budaya lembaga dan penguasa dengan apa yang seharusnya atau

diharapkan oleh kebijakan tersebut. Ketika lembaga dan penguasa

yang berperan dalam implementasi memiliki nilai-nilai budaya yang

bertentangan dengan apa yang seharusnya diharapkan dari program

kebijakan tersebut, maka hal ini akan menghambat proses

implementasi.

3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana

Kebijakan yang sudah diformulasikan dari tingkat pusat, agar lebih

mudah dalam implementasinya dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan

tingkat dibawahnya sehingga ada kejelasan bagi pelaksana kebijakan

tersebut.

Model implementasi Kebijakan menurut Grindle dapat


digambarkan sebagai berikut:
12
Gambar 1 : Model Implementasi Kebijakan Grindle

Tujuan Kebijakan
Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh :
a)Isi Kebijakan
(1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
(2) Jenis manfaat yang dihasilkan
(3) Derajad perubahan yang diinginkan
(4) Kedudukan pembuat kebijakan
(5) Siapa pelaksana program
(6) Sumber daya yang dikerahkan.
b). Konteks kebijakan meliputi :
(1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor
yang terlibat
(2) Karakteristik lembaga dan penguasa
(3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana

Hasil kebijakan:
o Dampak pada
masyarakat, individu
dan kelompok,
o Perubahan dan
penerimaan oleh
masyarakat
Tujuan yang
Ingin dicapai

Program aksi dan Proyek


individu didesain dan dibiayai

Program yang dijalankan sesuai rencana?

Mengukur keberhasilan
Sumber : (Grindle, Merilee S,1980)

13
b. Model Implementasi Sabatier dan Mazmanian

Sabatier dan Mazmanian (dalam Wibawa, 1994) melihat implementasi

kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik

masalah, (b) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai

macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor

di luar peraturan kebijakan.

Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu

kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana

mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh

karenanya model ini sering disebut sebagai model top-down. Dengan

pendekatan semacam ini sudah seharusnya tujuan dan sasaran yang akan

dituju hendaknya dituangkan dalam program maupun proyek yang jelas, dan

mudah dipahami sehingga para birokrat akan mudah untuk memahaminya

kemana arah tujuan atau sasaran yang hendak dituju. Sebagai contoh,

Program Pemberdayaan Jurusan dimaksudkan untuk memberikan

kemandirian kepada jurusan, maka pengaturan hak-hak dan kewajiban harus

diatur dengan secara jelas dan terperinci tidak hanya bersifat teoritis belaka,

dengan cara seperti ini para birokrasi pelaksana akan semakin mudah untuk

menjalankannya.

Model Implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian

dapat digambarkan sebagai berikut :


14
Gambar 2 : Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan
Mazmanian

Karakteristik Masalah
1. Ketersedian tehnologi & teori teknis
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Sifat populasi
4. Derajad perubahan perilaku yg diharapkan

Variabel Non
Daya Dukung Peraturan Peraturan
1. Kejelasan/konsistensi 1. Kondisi sosio ekonomi
tujuan Sasaran dan teknologi
Perhatian pers thd
2. Teori kausal yg 2. masalah
memadai 3. Dukungan public
3. Sumber keuangan yang 4. Sikap & sumber daya
Kelompok sasaran
Memadai 5. utama
Dukungan Komitemen
4. Integrasi organisasi 6. dan
pelaksana kemam puan pejabat
5. Diskresi pelaksana pelaksana kewenangan
6. Rekrutmen
pejabat
pelaksana
7. Akses formal pelaks

Keluaran Dampak Dampak


Kesesuaian
Kebijakan actual yang
keluaran
dari keluaran diperkira
dengan
pelaksana kebijakan kan
sasaran
organisasi

Perbaikan
peraturan
Sumber : Samodra Wibawa, 1994

15
c. Model Van Horn dan Van Meter

Model yang dikembangkan oleh Van Horn dan Van Meter ini disebut

sebagai “A Model Of Policy Implementation Process” (model proses

implementasi kebijakan). Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa

perbedaan perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat

kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Van Horn dan Van Meter menegaskan

bahwa perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep

penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar konsep tersebut,

maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-

hambatan apa yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi?

Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994 : 19-22), suatu

kebijakan harus dapat secara eksplist menegaskan ada lima faktor yang

mempengaruhi implementasi suatu program yaitu :

1) Standar Dan Sasaran Kebijakan

Suatu kebijakan harus memiliki standar dan sasaran tertentu yang

harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Standar dan sasaran

menjelaskan rincian tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penentuan standar

dan sasaran berguna untuk menilai tingkat keberhasilan atas pelaksanaan

suatu program . Kinerja kebijakan merupakan penilaian atas tingkat

ketercapaian standar dan sasaran. Maka standar dan sasaran harus

dirumuskan secara spesifik dan kongkret.

2) Sumber Daya

Supaya dapat diimplementasikan dengan baik kebijakan menuntut

tersedianya Sumber daya baik berupa dana, teknologi maupun sarana dan
16
prasarana. Kinerja kebijakan akan rendah jika dana yang dibutuhkan untuk

mengimplementasikan kebijakan ini tidak tersedia secara memadai.

3) Komunikasi Antar Organisasi ,

Keberhasilan Implementasi juga ditentukan oleh adanya komunikasi

antar organisasi , yaitu semua pelaksana harus memahami standar, sasaran

dan tujuan kebijakan yang akan mereka implementasikan. Komunikasai ini

penting untuk dilakukan agar implementasi program dijamin kepatuhannya

terhadap standar yang telah ditentukan.

4) Karakteristik Birokrasi Pelaksana

Struktur birokrasi pelaksana yang meliputi karakteristik, norma, pola

hubungan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Ripley

1973:10). Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa (1994:21) organisasi

pelaksana memiliki enam variabel yaitu (1) kompetensi dan jumlah staf, (2)

rentang kendali, (3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi,

(5) derajad keterbukaan, dan (6) keterkaitan dengan pembuatan kebijakan.

5) Kondisi Ekonomi Sosial dan Politik

Kondisi sosial ekonomi dan politik berpengaruh terhadap efektifitas

implementasi kebijakan. Hal ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik

yang berkaitan dengan publik. Semua variabel diatas dapat membentuk sikap

pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk akhirnya

menentukan seberapa tinggi tingkat kinerja kebijakannya.

Model Implementasi kebijakan menurut Van Meter & Van Horn

dapat digambarkan sebagai berikut :

17
Gambar 3 : Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter &
Van Horn

Komunikasi antar
Organisasi dan
Pengukuhan aktivitas

Standar dan
Sasaran kebijakan

Karakteristik
Organisasi Sikap Kinerja
Komunikasi Pelaksana Kebijakan
Antar orgs.
Sumber daya

Kondisi Sosial
Ekonomi dan politik

Sumber : (Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975)

Model implementasi inilah yang nantinya akan dijadikan landasan

dalam membangun kerangka teori guna menjawab pertanyaan penelitian.

Dari model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle,

Van Meter dan Van Horn, maupun Sabatier dan Mazmanian diambil beberapa

aspek kajian yang menurut pengamatan peneliti berdasarkan gejala umum,

fakta dan data yang ada menunjukkan pengaruh terhadap proses

implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi

yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang

berpengaruh
18
terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : (1) Isi

Kebijakan diadopsi dari model Grindle, (2) Sumber daya manusia. Diadopsi

dari model Van Horn Van Meter (3) Komunikasi Diadopsi dari model Van

Horn Van Meter (4) Kepatuhan petugas pelaksana diadopsi dari model

Grindle. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan

mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh

pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan

mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta yang yang ada di dalam

masyarakat.

B. Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik

Chandler dan Plano (1988) mengemukakan bahwa Kebijakan publik

adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang

ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

Selanjutnya dikatakan pula bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk

intervensi terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang

kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut

berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Thomas R Dye (1981)

memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang

tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah.

Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang

yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna

menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai

kesejahteraan umum.. Pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat

untuk menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara yang

disebabkan suatu keadaan, kejadian dan


19
perbuatan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan suatu

hukuman. Pajak ditetapkan menurut peraturan pemerintah, dapat dipaksakan,

tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara

kesejahteraan secara umum (Munawir, 2000:3) Dengan demikian pajak

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat.

2. Dipungut disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan

yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.

3. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan

yang telah ditetapkan.

4. Pemungutannya dapat dipaksakan.

5. Pembayaran pajak oleh subyek pajak tak akan mendapat imbalan

secara langsung dari Pemerintah.

6. Pajak digunakan oleh Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan

guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua

bagian, yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah (Mardiasmo, 1997). Pajak

Negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan Negara atau

Pemerintah Pusat. Termasuk dalam pajak ini antara lain adalah Pajak

Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atasa barang dan Jasa (PPN) dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak bumi dan bangunan

(PBB) dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang

dipungut Daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah

untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Daerah,


20
yang ruang lingkupnya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh

negara.

Bumi dan bangunan merupakan aset yang dapat memberikan

keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau

badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat

daripadanya, maka wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian

dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui

pajak, untuk selanjutnya negara mendistribusikan hasil pajak tersebut bagi

kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Undang-undang nomor 12 tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan

Bangunan menandai dicabutnya berbagai peraturan perpajakan yang meliputi

Ordonansi Pajak Rumah tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923,

Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi pajak kekayaan 1932, Ordonansi

Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j,k,dan l Undang-undang darurat Nomor 11

tahun 1957 tentang peraturan Umum Pajak Daerah, PERPU Nomor 11 tahun

1959 tentang Pajak Hasil Bumi. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun

1986 ini bertujuan memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia agar lebih

sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum.

Sebelum berlakunya UU pajak Bumi dan Bangunan, sebenarnya

Verponding-verponding Indonesia dan pajak hasil Bumi telah diganti dangan

IPEDA. Tetapi karena dasar Hukum Ipeda kurang kuat maka penghapusan

verponding tersebut dipertegas lagi dalam Undang-undang nomor 12 tahun

1986. Verponding mengenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan

hukum
21
barat, dan verponding Indonesia dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki

berdasarkan hukum adat yang ada di kota-kota. Pajak Hasil Bumi dikenakan

atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di daerah

luar kota. Setelah verponding diganti dengan IPEDA orang merasakan

membayar dua kali untuk Obyek Pajak yang sama karena tanah dan

bangunan yang ia miliki dikenai pajak kekayaan maupun IPEDA. Dengan

berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 diharapkan ada kepastian

hukum dan tidak ada lagi pajak ganda yang menimbulkan keresahan

masyarakat.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif yang dikenakan atas

bumi dan bangunan. Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986,

berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 1986. Dengan demikian yang

menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Adapun yang dimaksud

dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.

Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-

rawa dan tambak) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah

konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan

atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang

diusahakan. Termasuk dalam pengertian bangunan ini antara lain: (1) Jalan

lingkungan dalam suatu kesatuan dengan komplek bangunan, (2) Jalan tol,

(3) Kolam renang, (4) Pagar mewah,

(4) Tempat Olah raga, (5) Galangan kapal, dermaga, (6) Taman mewah, (7)

Tempat penampungan/ kilang minyak, gas, air dan pipa minyak, (8) Fasilitas

lain yang memberikan manfaat. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah


22
diperhatikan faktor-faktor seperti: (1) Letak, (2) Peruntukan, (3)

Pemanfaatan, (4) Kondisi lingkungan, dll.

Menurut Rochmat Soemitro (1989 : 79) faktor-faktor itu ditambah

dengan: (1) Luas tanah, bumi, bangunan, (2) Kesuburan atau hasil

tanah/bangunan, (3) Adanya irigasi atau tidak. Sementara dalam menentukan

klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (1) Bahan

yang digunakan, (2) Rekayasa, (3) Letak, (4) Kondisi Lingkungan dll.

Subyek pajak dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata

mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas

bangunan. Kepada subyek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar

pajak menjadi wajib pajak. Adapun azas dari Pajak Bumi dan Bangunan

adalah: (1) Memberikan kemudahan dan kesederhanaan, (2) Adanya

kepastian hukum, (3) Mudah dimengerti dan adil, (4) Menghindari pajak

berganda. Dengan memperhatikan azas-azas tersebut diharapkan berbagai

persoalan yang berkaitan dengan penetapan dan pemungutan pajak mestinya

dapat dihindarkan.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak

bergerak, maka oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan

keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidaklah penting,

sehingga tidak mempengaruhi besarnya pajak (Soemitro, 1989:5). Walaupun

pajak ini merupakan pajak obyektif, tetapi pemungutannya didasarkan atas

surat ketetapan pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Setiap

tahun wajib pajak diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan yang untuk

PBB disebut sebagai Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan

berdasarkan itu oleh kantor PBB


23
kemudian dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dimana untuk PBB

disebut sebagai Surat Pemberitahun Pajak Terhutang (SPPT).

Penetapan nilai jual obyek pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan

dengan mendengar pertimbangan Gubernur Provinsi yang bersangkutan.

Untuk saat ini klasifikasi nilai jual obyek pajak untuk bumi dan bangunan

dikenakan sesuai dengan keputusan menteri keuangan nomor

174/KMK.04/1993, dimana untuk klasifikasi NJOP untuk bumi

dikelompokkan menjadi 50 kelas dan untuk bangunan menjadi 20 kelas.

Penghitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya nilai jual kena

pajak yaitu besarnya NJOP sesuai dengan SK Menteri Keuangan setelah

dikurangi dengan nilai jual obyek pajak tak kena pajak (NJOPTKP) yang

besarnya untuk masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Besarnya NJKP

adalah 20% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarip

PBB adalah 0,5%. Dengan demikian besarnya pajak yang harus dibayar

adalah 0,5% X 20% X NJOP atau sebesar 0,5% X NJKP.

Besarnya pajak yang harus dibayar (SPPT PBB) diberikan setiap

tahun oleh kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setelah ditentukan

NJKPnya atas dasar surat pemberitahuan obyek pajak (SPOP) yang diisi oleh

wajib pajak. Secara teoritis SPOP ini harus diisi oleh wajib pajak dan harus

ditandatangani sendiri. Namun demikian dalam banyak kasus, hal ini jarang

dilakukan. Biasanya pihak Kantor PBB meminta bantuan pada Pemerintah

setempat untuk mengisinya. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi

kesenjangan yang menyebabkan tidak selarasnya harga pasar atas nilai jual

obyek pajak, yang pada akhirnya berbuntut


24
dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak,

khususnya jika terjadi perubahan NJOP.

Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu

dipergunakan untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan

daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985

tentang Pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah, menetapkan hasil sebagai berikut:

1) 10% dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan

harus sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.

2) 90% merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan

biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90%, kemudian

dibagi untuk pemerintah Provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 80%.

Dengan demikian bagian masing-masing adalah sebagai berikut :

a) Pemerintah pusat : 10 %

b) Biaya pemungutan: 10% X 90% :9%


16,2
c) Pemerintah Provinsi: 20% X 81% :%

d) Pemerintah kabupaten: 80% X 81% : 64,8%

C. Pemungutan dan Pembayaran PBB

Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara

nyata sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan

atau bangunan. (pasal 8 ayat 1). Wajib Pajak adalah orang atau badan yang

memenuhi
25
syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan

manfaat daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib

Pajak PBB. Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi

syarat-syarat obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB.

Sedangkan obyek pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan (pasal 2).

Diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam

penyelenggaraan sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari paradigma

government menuju governance. Paradigma government (paradigma klasik)

menempatkan negara (pemerintah) sebagai satu-satunya penyelenggara

pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang

penyelenggaraan pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam

pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu dalam

masyarakat (Kooiman, 1993: 255). Proses penyelenggaraan pemerintahan

(governing) pada saat ini merupakan proses koordinasi, pengendalian

(steering), pemengaruhan (influencing) dan penyeimbangan (balancing)

setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses tersebut, maka pola

penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan diri pada

persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach”

menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan

governance dalam penyelenggaraan pemerintahan (Kooiman, 1993: 255 –

258).
Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah

ditinjau dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso (2001)

ke dalam lima kategori, yaitu:

26
(1) Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh
adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap,
dan etos kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang
memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat
diterapkannya manajemen pelayanan publik dalam konteks total
quality management dalam era reformasi yang berciri
desentralistik;
(2) Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan
teknologi pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen
pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada
etos dan budaya manajemen pelayanan publik berkualitas;
(3) Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang
melayani (public server) kepada yang dilayani (public served)
dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas
kotribusi/pengorbanan yang diberikan masyarakat;
(4) Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik
yang berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government
productivity yang masih mengandung keretakan dalam
penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan
berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang
pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang
terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak
desentralistik dan globalisasi;
(5) Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus
dengan adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan
yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen
partai, klien, dan kelompok sasaran.

Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan

dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk

mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak.

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya

bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Kewenangan

pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang

otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses

pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang

memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.


27
Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan

kemakmuran masyarakat.

Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan

asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk

daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih

sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah

maupun melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah.

Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari pendapatan asli daerah yaitu hasil

pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut

pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan

lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara pendapatan daerah cukup

besar diperoleh dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), suatu jenis pajak yang

pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat, namun hasilnya

diperuntukan bagi pemerintah daerah.

Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya

untuk memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak,

yang letaknya di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk

mempermudah pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut

karena selalu terkait dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya.

Pengelolaan dimaksud adalah pembagian perimbangan hasil penerimaan

PBB dibagi antara pemerintah pusat dengan daerah yaitu imbangan


pembagian 90% untuk pemerintah daerah (baik kabupaten maupun Provinsi),

sedangkan 10% merupakan bagian pemerintah

28
pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun

dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar

penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari

pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk

peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan

keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban

menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang

(Tjokroamidjojo, 1987:206). Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam

pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo

(Munawir, 2000:7) adalah:

”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit


pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur
ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta
sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini
tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat
pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi
masyarakat yang kurang tahu mengenai seluk beluk pajak, maka
mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah
adanya perlawanan aktif yaitu berupa semua usaha dan perbuatan
yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari
pajak. Nyata-nyata ada usaha wajib pajak untuk tidak membayar
pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha
melalaikan pajak.”

Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang

tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak. Dalam proses

penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan

segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh
29
pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari

kebijakan itu sendiri.

Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loket-

loket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai

lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia (BCA) dan Badan

Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)) se Kabupaten

Karanganyar. Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran

PBB adalah melalui petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB

ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun.

Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan

dan memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas

yang ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para

Kepala Dusun /Perangkat Desa.

Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah

diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke

dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan

SPPT dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme

tersebut dapat dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para

Kepala Dusun sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan

wajib pajak. Lebih jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah

sebagai berikut.
30
Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan

TIM INTENSIFIKASI PBB


TINGKAT KABUPATEN

TIM INTENSIFIKASI PBB


TINGKAT KECAMATAN

KADES SELAKU PETUGAS


KOORDINATOR ADMINISTRA
PETUGAS SI
PEMUNGUT PBB DESA

KADUS PETUGAS
PEMUNGUT DUSUN

BANK PERSEPSI

WAJIB PAJAK
PENERIMA SPPT

Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September 2005


Nomor : 973/354 Tahun 2005.
31
D. KERANGKA BERPIKIR

Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Penelitian Implementasi Pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Kebijakan PBB
UU No 12 Tahun Peningkatan
Implementasi
1986 penerimaan PBB
Pemungutan PBB
Disempurnakan sesuai target
dengan UU no 12
tahun 1994

(operasionalisasi :
Kep Men Keu
1007/KMK/
04/1995)

1. Isi Kebijakan
2. SDM
3. Komunikasi
4. Kepatuhan Pelaksana

Salah satu aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam

pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan penerimaan

guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan .

Undang-undang No 12 tahun 1994 dan Undang-undang no. 32 tahun

2004 memberi kesempatan kepada daerah untuk mendapatkan

pendapatan yang cukup besar dari sektor PBB. Data pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa dalam

lima tahun terakhir target penerimaan PBB tidak pernah tercapai.


Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih ada permasalahan dalam

implementasi kebijakan pemungutan PBB.

32
Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi

yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang

berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara

lain : (1) Isi Kebijakan (2) Sumber daya manusia.(3) Komunikasi (4)

Kepatuhan petugas pelaksana. Pengambilan keempat fokus kajian ini

dilakukan dengan mengadopsi model-model implementasi kebijakan

yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi kebijakan dan

disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-fakta

yang yang ada di dalam masyarakat.

Isi Kebijakan merupakan salah satu fokus kajian yang diadopsi dari

model Grindle, dimana kejelasan suatu kebijakan dalam mengatur

mekanisme kewenangan dan kepentingan para pihak dalam kebijakan

sangat menentukan keberhasilan proses implementasi. Isi kebijakan dan

pengaruhnya terhadap proses implementasi dapat dilihat dari aspek

kewenangan dan sistem rewards and punishment dalam kebijakan

pemungutan PBB .

Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam

pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana meningkatkan pendapatan

atau penerimaan guna membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan

pembangunan. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan

antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Pajak adalah suatu pungutan

yang merupakan hak prerogatif Pemerintah, pungutan tersebut didasarkan

pada Undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek

pajak
33
untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan

penggunaannya (Mangkusubroto, 1993:181).

Mengingat akan pentingnya peran pajak bagi kesinambungan

pembangunan di negara Indonesia maka peningkatan penerimaan dari

sektor PBB mutlak diperlukan, maka upaya mengoptimalkan faktor

pendukung dan mengatasi faktor penghambat dalam penarikan PBB perlu

dilaksanakan secara tepat.

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi

Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dengan pertimbangan Kecamatan Jaten

adalah Wilayah Kecamatan yang sebagian besar obyek pajak PBB nya adalah

pabrik / perusahaan. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Jaten cukup

bervariasi yaitu terdiri dari masyarakat modern yang bertempat tinggal di

kompleks perumahan dan masyarakat tradisional yang berdomisili di daerah

pedesaan. Atas dasar pertimbangan itu maka menurut hemat penulis

Kecamatan Jaten tepat untuk dijadikan obyek penelitian karena akan

memberikan gambaran yang lebih lengkap berkaitan dengan proses

pemungutan PBB.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Ada beberapa pendapat tentang metode penelitian deskriptif diantaranya

adalah :

Metode penelitian deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah


yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan
subyek atau obyek penelitian ( seseorang, lembaga, masyaraakat,
dan lain – lain. ) pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya ( surakhmad, 1989 : 140 )

Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.

Dalam hubungan dengan riset kualititatif yang memusatkan pada deskriptif,

35
HB Sutopo ( 2002 : 35 ) mengemukakan bahwa data yang dikumpulkan

berwujud kata – kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti

lebih dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan yang mengambarkan

situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data.

C. Fokus Kajian dan Aspek Kajian

Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat maka fokus dan

aspek kajian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Matrik 1

Fokus dan Aspek kajian Penelitian

No Fokus kajian Aspek Kajian

1 Isi Kebijakan a. Kewenangan


b. Sistem rewards and punishment

2 SDM a. Kuantitas SDM


b. Kualitas SDM

3 Kepatuhan Pelaksana a. Ketepatan waktu penyampaian SPPT


b. Kepatuhan pengadministrasian

4 Komunikasi a. Komunikasi dengan wajib pajak


b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi
PBB

Dalam penelitian ini fokus kajian juga diarahkan pada upaya

mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dan upaya yang

dilakukan dalam pelaksanaan pemungutan PBB. Dalam hal ini di

identifikasi berbagai hambatan yang bersumber pada wajib pajak dan

obyek pajak, hambatan dari


36
sisi petugas pemungut pajak dan juga hambatan yang berhubungan

dengan sistem penarikan pajaknya.

D. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam dua kelompok

sebagai berikut:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan, yaitu

pegawai Kantor Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, Kepala

Desa dan Perangkat Desa, petugas Badan Kredit Kecamatan (BKK)

Kecamatan Jaten yang menjadi sample penelitian. Dalam hal ini

pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara

(interview).

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data yang telah

diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain seperti data struktur

organisasi, uraian tugas dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder ini

menggunakan teknik dokumenter untuk mendapatkan data pendukung

yang digunakan untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil

penelitian.

3. Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri atas Camat Jaten Kabupaten Karanganyar, petugas pemungut

pajak bumi dan bangunan di Kecamatan Jaten, perangkat desa,

petugas Bank persepsi atau Badan Kredit Kecamatan (BKK) serta

beberapa wajib pajak yang ada di Kecamatan Jaten. Sedangkan data

sekunder diperoleh dari kantor Kecamatan Jaten dan Kantor Dinas

Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar.


37
E. Teknik Penentuan Informan

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian deskriptif maka

informan atau narasumber yang digunakan dalam penelitian ini

ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Namun demikian

mengingat keterbatasan kemampuan peneliti maka dimungkinkan pula

menggunakan snow ball sampling jika penjelasan informan belum

memberikan informasi secara jelas dan perlu tambahan informasi dari

informan lain di bawahnya yang lebih tau atau yang direkomendasikan

oleh informan utama. Hal ini dilakukan untuk memperoleh dan

menyempurnakan data dari sumber-sumber yang belum ditentukan

peneliti dengan teknik purposive. Hal ini juga dilakukan untuk melakukan

triangulasi data atas jawaban dari nara sumber/ informan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan berbagai pertimbangan berdasar konsep teknis yang

digunakan, keinginan pribadi, karakteristik empiris dan sebagainya

(Sutopo, 1988:21). Untuk itu data dalam penelitian ini dikumpulkan

melalui beberapa cara yaitu:

a. Wawancara mendalam guna memperoleh data tentang berbagai upaya

pemungutan PBB yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten,

Kabupaten Karanganyar.

b. Studi dokumentasi dan observasi guna melengkapi data yang

diperlukan dalam penelitian ini.

G. Uji Validitas Data


Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu mengukur

apa yang ingin diukur. Guna menjamin validitas data yang dikumpulkan

dalam

38
penelitian ini maka teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi.

Teknik Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

perbandingan terhadap data itu (Moleong, 1998:178). Triangulasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan

membandingkan antara sumber yang diperoleh dari hasil wawancara satu

informan dengan informan yang lain dalam satu masalah agar didapat

simpulan yang obyektif.

H. Teknik Analisis Data


Secara umum analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif,

analisis data dilakukan dengan teknik interaktif, dimana ketiga komponen

analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan

dilakukan secara interaktif dengan proses pengumpulan data yang

menggunakan proses siklus. Dalam hal proses analisis data tidak

dilakukan setelah semua data terkumpul. Analisis dilakukan sepanjang

penelitian, termasuk baik pada waktu pengumpulan data. Bila analisis

data dilakukan dalam penelitian, maka peneliti dapat menyusun

pertanyaan baru dan dilanjutkan dengan pengumpulan data berikutnya.

Adapun ketiga komponen analisis data tersebut adalah:

1. Reduksi data: yaitu merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan dan abstraksi data yang dilaksanakan selama

berlangsungnya proses penelitian dan mengatur data sedemikian rupa

sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir.


2. Sajian data: yaitu rangkaian informasi yang memungkinkan

kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat penyajian data

maka peneliti

39
akan dapat mengerti apa yang akan terjadi serta analisis atas tindakan

lain berdasar pengertian tersebut.

3. Penarikan Kesimpulan

Aktivitas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6

Model Analisis Interaktif

Pengumpulan data

Reduksi Data
Sajian Data

Penarikan Kesimpulan

Sumber : HB Sutopo, 1998:37

40
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A Hasil Penelitian

Kecamatan Jaten adalah salah satu kecamatan di Kabupaten

Karanganyar yang berbatasan dengan Kota Surakarta dan menjadi daerah

penyangga bagi Kota Surakarta. Secara geografis Kecamatan Jaten

berbatasan dengan :

a. Sebelah utara :Kecamatan Kebakkramat

b. Sebelah timur :Kecamatan Karanganyar

c. Sebelah selatan :Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo

d. Sebelah barat :Kecamatan Jebres, Kota Surakarta.

Secara administratif Kecamatan Jaten dibagi menjadi 8 desa yaitu:

1. Desa Suruhkalang

2. Desa Jati

3. Desa Jaten

4. Desa Dagen

5. Desa Ngringo

6. Desa Jetis

7. Desa Sroyo

8. Desa Brujul

Luas wilayah Kecamatan Jaten adalah 2.554,81 Ha terdiri dari

sawah 1.277,59 Ha, tanah kering 1.277,22 Ha. Diantara delapan desa

yang ada di
41
Kecamatan Jaten tersebut, Desa Sroyo adalah desa yang paling luas

wilayahnya dan Desa Jetis adalah yang paling kecil wilayahnya. Adapun

data luas wilayah masing-masing desa selengkapnya adalah sebagai

berikut:

Tabel 4

Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Nomor Desa Luas wilayah


( ha )

1 Suruhkalang 302,58

2 Jati 265,47

3 Jaten 277,37

4 Dagen 283,50

5 Ngringo 420,27

6 Jetis 262,61

7 Sroyo 459,78

8 Brujul 283,23

Jumlah 2.554,81

Sumber : Kecamatan Jaten dalam angka, 2005

Jumlah penduduk di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar pada

akhir bulan Desember 2005 sejumlah 68.100 jiwa yang terdiri dari laki-

laki 34.556 jiwa dan perempuan 34.554 jiwa. Dibandingkan dengan tahun

2004 maka terdapat pertambahan penduduk 930 jiwa, atau mengalami

pertumbuhan sebesar 1,38 %. Desa dengan jumlah penduduk terbanyak

adalah Desa Ngringo yaitu 22.876 Jiwa (33,59 %), disusul Desa Jaten

sebanyak 12.673 Jiwa (18,61%), dan Desa Sroyo Sebanyak 7.495 Jiwa
(11,01%), sedangkan desa yang paling sedikit penduduknya adalah Desa

jetis dengan jumlah

42
penduduk sebanyak 7.495 Jiwa (6,78%), Desa Dagen sebanyak 4.699

Jiwa (6,78%), kemudian Desa Suruhkalang Sebanyak 4.625 Jiwa

(6,79%).

Kepadatan penduduk Kecamatan Jaten pada tahun 2005 mencapai

2.655 jiwa / Km² dengan persebaran penduduk yang belum merata.

Seluruh desa di Kecamatan Jaten sudah merupakan desa perkotaan

(urban) sehingga mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Desa yang

memiliki kepadatan paling tinggi adalah Desa Ngringo yaitu 5.447 jiwa /

Km², dan yang paling rendah adalah Desa Suruhkalang yaitu 1.526

jiwa/Km².

Sesuai dengan kondisi Kecamatan Jaten yang sudah

mencerminkan daerah perkotaan dengan banyak industri, maka sebagian

besar penduduknya juga menggantungkan mata pencahariannya di sektor

industri. Komposisi ketenagakerjaan di Kecamatan Jaten menunjukkan

sebanyak 15.107 (26,69%) orang bekerja di sektor industri, selanjutnya di

sektor pertanian sebagai tani dan buruh tani sebanyak 4.936 orang

(8,72%), kemudian buruh bangunan sebanyak 3.401 orang (6.01%), dan

pedagang sebanyak 1.146 orang (2,02%), selebihnya bekerja di sektor

angkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan, jasa-jasa dan lain-lain.

Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di wilayah Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005

masih cukup besar. Potensi ini berupa masih banyaknya tunggakan yang

belum terbayar. Tidak terbayarnya PBB ini bisa terjadi karena berbagai

hal karena kesalahan dan belum sadarnya Wajib Pajak sendiri, maupun
karena kesalahan administrasi di KP PBB. Sedangkan kesulitas yang lain

adalah adanya tanah

43
yang dimiliki oleh orang-orang diluar daerah dan tidak diserahkan

pengel;olaannya kepada warga setempat, sehingga pada saatnya

membayar pajak subyek pajak tersebut tidak jelas domisilinya. Jika hal ini

dikejar pelunasannya terutama pada lahan yang tidak luas akan

mengakibatkan biaya penarikan bisa lebih besar daripada besaran pajak

itu sendiri.

Selama lima tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2001 sampai tahun

2005 masih ada tunggakan pajak yang belum dibayar. Adanya tunggakan

yang masih cukup banyak menggambarkan implementasi kebijakan

pemungutan PBB belum sepenuhnya mencapai sasaran seperti yang

diharapkan.

B. Implementasi Pemungutan PBB di Kabupaten Karanganyar

Proses pemungutan PBB diawali dengan menyampaikan SPPT

kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan surat ketetapan yang yang

dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP PBB. Mekanisme penyampaian

SPPT ini di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan

oleh Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru

didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa

selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB

masing-masing dusung sambil di cek kebenaran datanya.

Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas

melaporkan hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn

kepada camat dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan


perkembangan penyampaian SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris

Daerah dengan tembusan Kepala

44
Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

Surakarta. Di tingkat desa yaitu koordinator, sebulan sekali melaporkan

perkembangan penyampaian SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan

Kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat

Camat Jaten dan menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi

dan Bangunan lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas

pemungut mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang

tertera dalam DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT

Wajib pajak, karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak

jelas, Jumlah Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang

tertera dalam DHKP, SPPT wajib pajak yang dobel nama.

Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari

Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada

para Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan

hal yang wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak

masih dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak

yaitu dengan dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor

Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan di Surakarta, di karenakan

penetapan pajak yang terlalu tinggi, luas tanah yang tidak sesuai dengan

kenyataan dilapangan atau nama Wajib Pajak yang tertulis di SPPT tidak

sesuai dengan nama yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk.

Untuk mendata pemasukan PBB, Petugas Pemungut di Desa harus

membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang dibuat oleh

45
petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa para wajib

pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan kepada

Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah membayar

lunas PBB dan yang belum membayar PBB nya.

Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat

secara rutin oleh Camat dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar, serta

tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Kepala

Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor Pelayanan PBB

Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten, untuk

mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta langkah-

langkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang telah

ditetapkan.

1. Isi Kebijakan

a).

Kewenangan

Menurut grindle (1980:8-12) Implementasi suatu kebijakan sangat

ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan

(context of policy). Studi ini melihat adanya salah satu aspek penting dari isi

kebijakan yang sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan

yaitu aspek kejelasan kebijakan dalam mengatur peran masing-masing

pelaksana kebijakan Pemungutan PBB. Posisi dari pejabat selaku pembuat

kebijakan sangatlah menentukan sekali bagi keberhasilan implementasi,

maka dalam menformulasikan kebijakan harus diperhatikan implementornya.

Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas

implementor akan memiliki peluang gagal yang lebih besar.


46
Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku

program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang memadai.

Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi

sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan memudahkan dalam pencapaian

tujuan kebijakan. Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang

memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif

diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang

berkepentingan atas kebijakan tersebut.

Tentang pihak yang berwenang dan berkepentingan terhadap PPBB ini,

berdasarkan wawancara tanggal 15 Oktober 2006, Kepala Dinas Pendapatan

Daerah Kabupaten Karanganyar mengemukakan :

“Ketentuan yang ada secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan


dalam kebijakan PBB pada prinsipnya berada di Pemerintah Pusat
dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dan Pemerintah
Daerah. Tetapi diluar itu sebenarnya ada Badan Pertanahan Nasional
(BPN) yang juga perlu berperan dalam kebijakan PBB. Selanjutnya agar
kebijakan ini dapat dijalankan secara baik maka dimana masing masing
pihak mengerahkan instansi dibawahnya yang terkait.

Berdasarkan keterangan tersebut diketahui bahwa ada lebih dari satu

pihak yang berperan dalam melaksanakan kebijakan PBB. Pemerintah Pusat

memiliki Dirjen Pajak yang menggunakan Kantor Pelayanan PBB (KP PBB)

sebagai tangan panjangnya dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur dan

Bupati/Walikota yang menggunakan instansi Dinas Pendapatan dan para pamong

praja yang ada di daerah sebagai pelaksana di lapangan. Instansi lain yang juga

47
terkait dengan PBB adalah badan pertanahan nasional (BPN) sebagi institusi yang

membidangi administrasi pertanahan.

Penjelasan Undang-undang PBB sebagaimana dikutip


Soemitro

(1989:53) menyebutkan pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan dengan obyek

PBB antara lain adalah :

1) Pejabat pembuat Akte Tanah (PPAT) baik dipegang oleh Camat atau

Notaris.

2) Kepala kelurahan atau kepala desa.

3) Pejabat Tata Kota (berkaitan dengan perijinan mendirikan bangunan)

4) Pejabat agraria sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat tanah.

5) Pejabat Pengawasan Bangunan.

6) Pejabat balai Harta Peninggalan

Sedangkan pejabat yang bertanggung jawab secara langsung mengenai kebijakan

PBB adalah Direktorat Jenderal Pajak. Di daerah tugas Dirjen Pajak dilaksanakan

oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB).

Tugas KP PBB dalam Kebijakan PBB ini sebagaimana keterangan

petugas di kantor Pelayanan PBB dalam wawancara tanggal 16 Oktober 2006,

dikemukakan sebagai berikut :

“Kami di KP PBB menentukan Subyek Pajak, Obyekl Pajak dan


besarnya NJOP dari masing masing Obyek pajak yang nantinya akan
dijadikan dasar menentukan berapa pajak yang harus dibayar oleh wajib
pajak. Kami juga melayani keberatan atas beban pajak terhutang dari
wajib pajak. Pada prinsipnya KP PBB melayani pelayanan secara
administratif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian sampai
pada evaluasi Kebijakan PBB.”
48
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kewenangan KP PBB adalah

melaksanakan kegiatan administratif dalam hal penentuan Obyek, Subyek dan

Nilai PBB. Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB juga

menjadi tanggung jawab KP PBB.

Peran Pemerintah Daerah dalam kebijakan PBB adalah melaksanakan

pemungutan PBB dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan yang

telah ditunjuk. Tentang peran Pemerintah daerah ini Kepala Dinas Pendapatan

dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan :

“Pemerintah Daerah sebenarnya mendapatkan manfaat yang terbesar


dari pemasukan PBB, maka Pemerintah Daerah yang diberikan
kewenangan melaksanakan Pemungutan PBB harus bekerja intensif
agar target pendapatan PBB dapat masuk. Hal ini sungguh sangat
strategis untuk dimanfaatkan secara optimal mengingat PBB
Merupuakan komponen yang memnyumbang kontribusi terbesar
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PADS)”.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh camat Jaten sebagaimana terungkap

dalam hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2006 sebagai berikut :

“Tugas kami selaku aparat Pemerintah Daerah adalah mengoptimalkan


penerimaan PBB dan membantu masyarakat agar lebih mudah
melaksanakan pembayaran PBB”.

Berdasarkan berbagai informasi diatas terungkap bahwa secara umum isi

kebijakan PBB telah secara jelas mengatur kewenangan masing masing instansi

dalam mendukung proses implementasinya. Tetapi yang menjadi catatan adalah

peran BPN sebagai institusi yang menguasai data dan administrasi pertanahan

49
secara lebih komprehensif belum diatur keterlibatannya secara eksplisit.

Keterkaitan beberapa institusi dalam pelaksanaan sebuah kebijakan

membutuhkan komunikasi dan pengendalian yang baik agar terjadi hubungan

sinergis yang saling membantu demi tercapainya tujuan kebijakan tersebut.

B). Sistem Rewards And Punishmet

Kebijakan PBB telah mengatur secara jelas pembagian hasil

penerimaan PBB, dimana sebagian besar hasil PBB diserahkan kepada

daerah. Dalam Undang-undang PBB nomor 12 tahun 1986 pasal 18 ayat 1

telah diatur bahwa hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan negara

yang dibagi antara pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dengan

perimbangan sekurang-kurangnya 90 % untuk pemda Tingkat I dan Pemda

Tingkat II dan 10 % selebihnya untuk pemerintah pusat. Dari 90 % bagian

pemda, sebagian besar diberikan kepada PemerintahKabupaten (pasal 18 ayat

2). Perimbangan hasil sebagaimana disebutkan diatas diatur dengan Peraturan

Pemerintah RI nomor 47 tahun 1985 yang mengatur sebagai berikut:

1) 10 % dari hasil penerimaan PBB merupakan bagian penerimaan

pemerintah pusat oleh karena itu harus sepenuhnya disetorkan ke kas

negara.

2) 90 % dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk

pemerintah daerah yang harus dikurangi terlebih dahulu dengan biaya

pemungutan sebesar 10 %. Dan setelah itu sisanya dibagi antara

pemerintah propinsi dan kabupaten dengan perbandingan pemerintah

Propinsi sebesar 20 % dan Pemerintah kabupaten sebesar 80 %. Bagian

ini merupakan bagian pemerintah daerah sehingga sertiap tahun harus

dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan


50
Belanja Daerah (APBD). Hasil PBB ini digunakan untuk kepentingan

masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Sistem pembagian ini dapat dijadikan sebagai pemicu semangat

daerah untuk melaksanakan pemungutan PBB sebaik mungkin agar dapat

meraih pendapatan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kapasitas APBD di

daerahnya. Di sisi lain tersedianya upah pungut sebesar 10 % yang

diambilkan dari bagian Pemerintah Daerah merupakan perwujudan

penghargaan bagi institusi pemungut PBB. Dengan mekanisme ini maka

setiap institusi yang terkait dengan pemungutan PBB dan aparat yang ada

didalamnya akan termotivasi meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.

Pajak adalah suatu pungutan oleh negara yang dikenakan kepada

warga negara yang bersifat wajib dan harus ditaati oleh setiap warga negara.

Kebijakan PBB dalam UU nomor 12 tahun 1986 sebagaimana disebutkan

dalam konsideran menimbang melihat bahwa bumi dan bangunan

memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi

orang atau badan yang mempunyai hak atasnya, atau memperoleh manfaat

daripadanya, maka wajar jika mereka diwajibkan memberikan sebagian dari

manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.

Dalam UU PBB maupun peraturan-peraturan turunannya tidak mengatur

rewards bagi wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik.

Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk

mendapatkan pemasukan dari sektor PBB berusaha memberikan penghargaan

kepada wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah

51
mendukung keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar rewards

atau bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar

pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pemberian hadiah undian bagi Wajib

pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan Agustus setip tahunnya. Tentang

hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006 mengemukakan sebagai

berikut :

Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar


membayar pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara
yang kami tempuh adalah dengan memberikan stimulan berupa
berbagai hadiah yang menarik bagi wajib pajak yang kami undi untuk
para wajib pajak yang telah lunas PBB sampai akhir bulan Juli tahun
yang bersangkutan. Program ini kami mulai sejak tahun 2004 dan
ternyata hasilnya luar biasa di kabupaten Karanganyar yang pada tahun
tahun sebelumnya tidak pernah menutup terget ternyata pada tahun
2004 pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100
% Memang pasti ada indikator lain yang mendukung keberhasilan ini
tetapi tentunya pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang
signifikan terhadap keberhasilan tersebut.

Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan Dipenda

kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena berdasarkan data

pemasukan PBB (tabel 1 hal 2) sejak tahun 2001 sampai 2003 pemasukan

pungutan PBB berkisar antara 80 % sd 96 %, tetapi pada tahun 2004 meningkat

drastis menjadi 109, 17 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem

penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak merupakan salah satu faktor

pendukung keberhasilan implementasi kebijakan pemungutan PBB.


52
Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif

tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment bagi

yang melanggar. Kebijakan PBB telah memuat sanksi terhadap para

pelanggar kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar kebijakan

PBB diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi

administratif diberikan jika wajib pajak terlambat mengembalikan Surat

Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib pajak terlambat

membayar pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi administratif ini

dikenakan dalam bentuk denda, misalnya untuk wajib pajak yang terlambat

membayaer PBB dikenakan denda administratif sebesar 2 % dari pajak

terhutang per bulan keterlambatan pembayaran.

Sedangkan sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada wajib pajak

melalui penetapan oleh hakim pidana. Ketentuan Pidana dalam kebiajakan

PBB dibagi dalam dua kategori yaitu :

a. Tindak pidana yang disebabkan karena kealpaan (Pasal 24 UU PBB

dan Pasal 38 UU no. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara perpajakan.)

b. Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (pasal 25 UU PBB

dan Pasal 39 UU no 6 tahun 1983.

Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak

mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP), menyampaikan

SPOP yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau lampirannya tidak

memberikan
53
keterangan yang benar, tidak mengembalikan SPOP, menunjukkan dokumen

palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan dokumen yang dibutuhkan

oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap pelanggaran-pelanggaran

tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda

paling tinggi Rp. 2.000.000.000,- (dua juta rupiah).

Tentang berbagai sanksi yang diatur terhadap pelanggaran – pelanggaran

dalam UU PBB tersebut Camat Jaten dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006

mengemukakan :

“Sanksi yang diatur dalam Undang-undang PBB kebanyakan


mengatur tentang proses terbitnya SPPT, tetapi Justru yang mengatur
sanksi terhadap wajib pajak yang tidak mau membayar PBB menurut
saya kurang tegas. Dalam hal ini Wajib Pajak hanya dikenai denda 2
% setiap bulan keterlambatan. Sebaiknya untuk meningkatkan
keberhasilan pemungutan PBB perlu ada sanksi yang lebih keras yang
diberikan kepada Wajib Pajak yang tidak membayar PBB, karena di
Jaten ini ada wajib pajak yang tidak membayar PBB selama bertahun
– tahun dan kami sendiri tidak bisa berbuat apa apa selain hanya
menagih dan menagih. Disamping itu saya belum pernah mengetahui
orang yang dikurung karena pelanggaran terhadap UU PBB. Jadi bagi
saya masalah law enforcement menjadi sebuah persyaratan yang
penting untuk diwujudkan jika kita ingin implementasi kebijakan
pemungutan PBB ini sukses.

Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam


penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan
Jaten dalam wawancara tanggal 17 oktober 2006 yang mengemukakan :

“Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja


keengganan Wajib Pajak untuk menyetor PBB, hal ini disebabkan
karena mereka
54
mengamati para penunggak yang sudah lebih dari satu tahun
menunggak PBB pun tidak diberi sangksi yang tegas sehingga
mendorong keberanian mereka untuk tidak membayar PBB. Menurut
saya perlu ada shok terapi dengan memberikan hukuman kepada
penunggak PBB yang sudah lebih dari satu tahun menunggak PBB
dan dipublikasikan secara luas untuk menimbulkan efek kepatuhan
bagi wajib pajak”.

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya sebuah ruang yang menjadi

celah dan dapat menjadi faktor penghambat dalam mengupayakan keberhasilan

implementasi pemungutan PBB di wilayah Kecamatan Jaten. Tidak tegasnya

sanksi terhadap para penunggak PBB dan penegakan hukum yang tidak berjalan

menyebabkan implementasi kebijakan pemungutan PBB tidak dapat berhasil

sesuai target yang diharapkan.

2. Sumber Daya Manusia (SDM)

a) Kuantitas SDM

Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para petugas

yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati Karanganyar nomor

973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim Intensifikasi PBB Kabupaten

Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim Intensifikasi dibentuk berjenjang mulai

dari Kabupaten sampai Kacamatan. Selanjutnya di Desa / Kelurahan Kepala Desa

/Lurah ditunjuk sebagai koordinator petugas pemungut, Sekretaris Desa/Sekretaris

Kelurahan sebagai Petugas Administrasi PBB Desa dan Kepala Dusun sebagai

Petugas Pemungut PBB.


55
Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat sebagai

penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi Pemerintahan dan

beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat Kecamatan ini bertugas

memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari Penyampaian SPPT sampai

pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Selanjutnya Tim tingkat kecamatan Ini

menendalikan dan mengkorrdinasikan Tugas Tugas Tim Intensifikasi Pemungutan

PBB Tingkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa selaku Penanggung jawab,

Sekdes sebagai petugas administrasi dan Kepala Dusun sebagai Petugas

Pemungut PBB.

Di Kecamatan jaten Tim Intensifikasi PBB Tingkat kecamatan terdiri

dari 5 orang yang masing-masing telah memahami peran dan fungsinya masing-

masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat jaten Sebagai Berikut :

“Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima


orang termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar
yang sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi
mereka dalam wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota
tim kecuali saya membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan
mereka lebih bertanggungjawab dan tahu betul dan fokus terhadap
permasalahan di desa binaannya masing masing. Sebenarnya saya
ingin satu orang membina satu desa saja tetapi komposisi Tim
Intensifikasi ini sudah ditentukan dari Kabupaten, mungkin ada
kaitannya dengan hak upah pungut yang diberikan. Oleh karena itu
disini yang ikut saja toh 5 orang kalau bekerja dengan efektif itu sudah
cukup”.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat

Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai pengendali
56
proses pemungutan PBB di Kecamatan jaten. Tolok ukur yang dapat

digunakan untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi PBB di

Kecamatan Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap

kesulitan dari Desa dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan

Sekretaris Desa Dagen yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

“Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan


berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu
dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu
semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang
membandel”.

Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara administratif

persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja persoalan Wajib

Pajak yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk tingkat desa di

Kecamatan Jaten, jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang Koordinator

Petugas Pemungut, 8 orang petugas administrasi, dan 46 orang Petugas

Pemungut. Jumlah tersebut sesuai dengan komposisi Kecamatan jaten yang

terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka jumlah tersebut secara umum sudah

cukup memadai. Permasalahan muncul ketika sebuah dusun memiliki

penduduk yang sangat besar seperti di Desa Ngringo. Di desa ini ada satu

orang Petugas Pemungut yang harus menangani lebih dari 3.000 Wajib Pajak.

Hal ini terjadi karena lingkungan ngringo adalah kompleks perumahan yang

sangat padat sehingga jumlah penduduknya sangat banyak. Atas dasar

kenyataan tersebut perlu dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas

pemungut PBB khusus untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa

Ngringo tersebut.
57
b). Kualitas SDM

Secara umum kapasitas petugas PBB di Kecamatan Jaten jika

ditinjau dari aspek tingkat Pendidikan cukup baik. Hal ini terlihat pada

komposisi tingkat pendidikan Kepala Dusun di Kecamatan Jaten

sebagaimana Tabel 5 berikut ini :

Tabel 5

Tingkat Pendidikan Kepala Dusun Di Kecamartan Jaten


Kabupaten Karanganyar
Tahun 2005

Jumlah persentase
No Tingkat Pendidikan
(orang) (%)
1 SD 2 4,35

2 SLTP 11 23,91

3 SLTA 30 65,22

Sarjan
4 a 3 6,52

Jumla
h 46 100

Sumber : Data Kecamatan Jaten

Data tersebut menunjukkan rata rata petugas pemungut PBB di

Kecamatan jaten berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan kondisi yang

cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan juga akan

berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan langsung antara

Tingkat Pendidikan Petugas Pemungut dengan keberhasilan Pemungutan

PBB, setidaknya dengan tingkat pendidikan yang cukup maka tingkat


pemahaman dan kreatifitas seseorang dalam memahami suatu kebijakan

akan lebih baik.

58
Disamping pendidikan formal juga dibutuhkan pendidikan dan

pelatihan yang lebih bersifat fungsional yang langsung mengarah pada

suatu program. Diklat semacam ini belum pernah dilaksanakan. Dalam

rangka meningkatkan kecakapan pegawai dan membantu para pegawai

melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien maka pendidikan dan

latihan sangatlah penting untuk dilaksanakan. Menurut Camat Jaten

Pelatihan bagi Petugas pemungut PBB Selama ini belum dapat

dilaksanakan karena keterbatasan sumber daya dan dana yang ada di

kecamatan Jaten, sehingga kegiatan Rapat Koordinasi dan Apel PBB

dijadikan sarana untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman Petugas

pemungut dalam penangihan PBB.

Sedangkan menurut Kasubdin Penagihan Dinas Pendapatan

Kabupaten Karanganyar, Dipenda Pernah Mengadakan Pembinaan dalam

rangka peningkatan pemasukan PBB tetapi sasarannya masih terbatas

sampai pada tim intensifikasi tingkat kecamatan se Kabupaten

Karanganyar.

3. Kepatuhan Pelaksana

a). Ketepatan Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang

(SPPT)

Tugas awal yang harus dilaksanakan oleh para petugas pemungut

PBB adalah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan

surat ketetapan yang yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak Melalui KP

PBB. Penetapan Nilai PBB dalam SPPT Mengacu pada SPOP.


Mekanisme penyampaian SPPT ini sebagaimana dikemukakan oleh Kasi

Pemerintahan

59
Kecamatan Jaten di mulai dari pencetakan oleh KP PBB kemudian diteruskan

oleh Dinas Pendapatan Kabupaten Karanganyar selanjutnya baru

didistribusikan ke desa/kelurahan melaui kecamatan-kecamatan. Di Desa

selanjutnya di pilah-pilah perdusun dan dibuatkan daftar nominatif PBB

masing-masing dusun sambil di cek kebenaran datanya. Setelah proses

administrasi di desa selesai baru diedarkan oleh para kepala dusun kepada

masyarakat.

Menurut Kepala Dusun Jati Kecamatan Jaten SPPT sering terlambat

sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:

“Biasanya penyampaian SPPT disini agak molor pak, karena


biasanya SPPT sampai di desa bulan Juli dan baru beredar di
masyarakat pada bulan Agustus hal ini karena penelitian di desa
membutuhkan waktu yang cukup lama. Kalau SPPT dapat lebih
awal kami terima tentunya SPPT juga akan lebih cepat sampai ke
masyarakat. Kalau tahun ini agak lumayan pak bulan Mei kemarin
sudah sampai di Desa makanya di masyarakat pun tahun ini bisa
lebih cepat”.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa terjadinya keterlambatan

penyampaiamn SPPT tidak terjadi karena semata-mata kesalahan petugas

Kadus di lapangan tetapi juga diakibatkan keterlambatan KP PBB

menerbitkan SPPT PBB. Keterlambatan Penyampaian SPPT ini jika tidak

diatasi akan merugikan Wajib Pajak karena sebenarnya wajib pajak diberi

kesempatan membayar pajak paling lambat enam bulan setelah SPPT

diterima. Jika SPPT terlambat diterima maka 6 bulan kedepan setelah SPPT
60
diterima bisa jadi sudah berganti tahun yang berarti jangka waktu

pembayaran menjadi lebih singkat .

Setelah menyampaikan SPPT kepada Wajib Pajak petugas

melaporkan hasilnya kepada petugas administrasi desa untuk dilaporkabn

kepada camat dan selanjutnya Camat menyampaikan laporan

perkembangan penyampaian SPPT kepada Bupati melalui Sekretaris

Daerah dengan tembusan Kepala Dinas Pendapatan dan Kepala Kantor

Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Surakarta. Di tingkat desa yaitu

koordinator, sebulan sekali melaporkan perkembangan penyampaian

SPPT dan STTS Pajak Bumi dan Bangunan Kepada Kepala Dinas

Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar lewat Camat Jaten dan

menyerahkan Berita Acara penyetotan uang Pajak Bumi dan Bangunan

lembar ketiga dan keempat kepada Camat Jaten. Petugas pemungut

mempunyai tugas mencocokan nama-nama wajib pajak yang tertera

dalam DHKP ( Daftar Himpunan Ketetapan Pajak ) dengan SPPT Wajib

pajak, karena banyak dijumpai SPPT dengan alamat yang tidak jelas,

Jumlah Ketetapan Pajak dalam SPPT tidak sama dengan yang tertera

dalam DHKP, SPPT wajib pajak yang dobel nama.

Penyampaian SPPT ( Surat Pemberitahuan Pajak terhutang ) dari

Pemerintah Kecamatan Jaten kepada Desa-desa serta dari Desa kepada

para Pemungut Pajak kemudian sampai pada para Wajib Pajak merupakan

hal yang wajib dilaksanakan. Setelah SPPT sampai kepada Wajib Pajak

masih dimungkinkan merasa kurang puas, ketidak puasan Wajib Pajak

yaitu dengan dengan cara mengajukan keberatan kepada Kantor

Pelayanan Pajak Bumi dan


61
Bangunan di Surakarta, di karenakan penetapan pajak yang terlalu tinggi,

luas tanah yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan atau nama

Wajib Pajak yang tertulis di SPPT tidak sesuai dengan nama yang tertera

pada Kartu Tanda Penduduk. Alur administrasi sebagaimana diatas

menimbulkan terjadinya permasalahan dalam distribusi SPPT sampai ke

wajib pajak.

2. Kepatuhan Pengadministrasian

Pengadministrasian PBB meliputi pembuatan laporan hasil

perkembangan penyampaian SPPT PBB tahun yang bersangkutan kepada

wajib pajak lewat koordinator pemungut pajak..Petugas Pemungut di

Desa harus membuat Daftar Penerimaan Harian (DPH). DPH PBB yang

dibuat oleh petugas pemungut di tiap-tiap desa, menjadi surat bukti bahwa

para wajib pajak telah menitipkan uang setoran PBB nya untuk disetorkan

kepada Bank persepsi, serta untuk mengetahui wajib pajak yang telah

membayar lunas PBB dan yang belum membayar PBB nya.

Laporan bulanan penerimaan PBB tahun yang bersangkutan dibuat

secara rutin oleh Camat Jaten dan dilaporkan kepada Bupati Karanganyar,

serta tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah,

Kepala Badan Pengawas Kabupaten Karanganyar, Kepala Kantor

Pelayanan PBB Surakarta dan Kepala Desa se-Wilayah Kecamatan Jaten,

untuk mengetahui realisasi PBB pada bulan yang bersangkutan serta

langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengejar target yang

telah ditetapkan. Keterlambatan dalam menyampaikan laporan bulanan

kepada
62
Bupati Karanganyar, akan berakibat target yang telah ditetapkan dalam bulan

yang bersangkutan tidak diketahui sehingga pimpinan terlambat dalam

mengambil keputusan.

Kesulitan administrasi yang sering dijumpai adalah ketidak sesuaian

data obyek pajak dengan wajib pajaknya, hal ini disebabkan oleh tidak

terintegrasinya sistem administrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di BPN

dengan Administrasi PBB di KP PBB. Sebagaimana dikemukakan oleh

petugas administrasi PBB Kecamatan Jaten sebagai Berikut :

“para pelaksana di lapangan sering kesulitan menyesuaikan data


PBB dengan data kepemilikan tanah yang sering terjadi
perubahan. Di Kecamatan Jaten yang merupakan daerah
perkotaan, frekuensi mutasi tanah sangat tinggi, tetapi hal ini
tidak diikuti oleh mutasi tagihan PBB sebagaimana tercatat
dalam SPPT sehingga sering terjadi komplain dan keengganan
masyarakat untuk membayar PBB karena Tanah yang menjadi
obyek pajak tersebut sudah tidak berada dalam penguasaanya
atau mereka sudah tidak menikmati manfaat atas tanah tersebut.”

Tanggung jawab administrasi perubahan atas SPPT yang diberikan

kepada wajib pajak berada di tangan KP PBB sebagai instansi induk yang

menangani PBB. Tetapi data dan informasi untuk keperluan mutasi data

Objek pajak dan wajib pajak berasal dari para Pejabat Pembuat Akte tanah

di bawah koordinasi Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan pihak yang

mendistribusilkan dan menagih PBB adalah aparat Pemda dengan

infrastrukturnya berupa aparat kecamatan dan aparat desa/kelurahan.

63
Pengadministrasian PBB juga meliputi penentuan Nilai jual

Obyek Pajak (NJOP) Yang dijadikan Dasar Nilai Jual Kena Pajak

(NJKP) dan untuk menentukan besarnya pajak dari masing-masing

obyek pajak turut pula berpengaruh terhadap keterlambatan

penyampaian SPPT sampai ke wajib Pajak.

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang

dievaluasi setiap tiga tahun ditetapkan oleh Menteri Keuangan kecuali

untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun. Jangka waktu tiga tahun ini

dianggap wajar karena pada umumnya NJOP itu tidak cepat

perubahannya kecuali apabila terjadi perubahan klasifikasi, seperti

perubahan penggunaan tanah dari tanah ladang menjadi pemukiman atau

menjadi tanah perindustrian.

Dalam menentukan nilai jual ini Menteri Keuangan mendengar

dan memperhatikan pertimbangan dari Gubernur dan Bupati setempat.

Walaupun nilai jual obyek PBB ditetapkan tiga tahun sekali, namun surat

Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dikenakan setiap tahun. Dari

NJOP ini ditetapkan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Penetapan NJKP

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1985 dalam

pasal 6 ayat 3 dan 4 diatur NJKP ditetapkan sebesar 20 % dari NJOP.

Tentang penetapan besarnya NJKP ini petugas KP PBB Surakarta

mengemukakan :

Penetapan NJKP 20 % itu karena ada dua pertimbangan yaitu,


pertama karena PBB pada umumnya menggantikan pajak-pajak
yang menjadi sumber penerimaan daerah, maka diusahakan
dengan adanya PBB akan memberikan sumber pendapatan bagi
daerah yang memadai untuk membiayai kegiatan
pembangunannya. Kedua, melihat

64
kemampuan ekonomi masyarakat secara keseluruhan untuk
membayar pajak agar tidak timbul gejolak yang terlalu
memberatkan masyarakat.

Pernyataan diatas mengandung makna bahwa dengan penetapan

NJKP 20 % dari NJOP penerimaan daerah tidak akan berkurang

dibandingkan dengan jika menggunakan peraturan yang lama, dan rakyat

tidak terlalu berat menanggungnya.

Tanah dan bangunan memiliki banyak keragaman yang nilainya

tidak mungkin disamaratakan, maka dalam PBB dilakukan klasifikasi dan

kategorisasi untuk mengelompokkan bumi dan bangunan berdasarkan

nilai jualnya. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan

faktor-faktor antara lain letak, peruntukan, pemaanfaatan, dan kondisi

lingkungan Tanah/bangunan tersebut. Sedangkan secara lebih spesifik

faktor yang dapat membedakan besarnya NJOP adalah Luas tanah dan

bangunan, hasil yang bisa didapatkan dari tanah/bangunan, adanya irigasi,

dan sebagainya. Sedangkan untuk bangunan klasifikasinya

memperhatikan faktor faktor bahan bangunan, rekayasa teknologi yang

digunakan, letak, kondisi lingkungan, dan lain-lain.

Nilai Jual Tanah yang dijadikan dasar penentuan NJOP adalah

harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara

wajar. Mengingat transaksi jual beli tanah dalam suatu kawasan tidak

sering terjadi dan harga suatu bidang tanah belum dapat mewakili harga

tanah untuk bidang lain dalam satu kawasan, maka perlu ada metode lain

dalam menentukan besarnya NJOP. Sebagai kriteria lain yang dapat


digunakan adalah menggunakan perbandingan berdasarkan kategori dan

klasifikasi tertentu.

65
Pendekatan lain yang digunakan dalam penentuan NJOP adalah metode nilai

perolehan baru, yaitu suatu pendekatan metode penetuan NJOP dengan cara

menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperolrh obyek tersebut

pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan berdasarkan

kondisi fisik obyek tersebut.

Masing masing metode yang digunakan selalu memiliki kelebihan dan

kelemahan, maka dalam tataran operasional setelah ditetapkan ternyata selalu

ada pihak yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima NJOP yang

muaranya muncul dalam SPPT. Hal Ini seperti yang dikemukakan oleh Kepala

desa Dagen sebagai berikut :

Di sini ini kebanyakan rakyatnya petani dan buruh kecil tapi pajak
PBB nya tinggi, mungkin karena lokasinya dekat dengan kawasan
industri, bagi masyarakat ini tentu sangat memberatkan, apalagi
hampir setiap tahun selalu ada peningkatan. Kami sendiri tidak
tahu benar apa yang dijadikan dasar penghitungan, yang jelas jika
pajaknya besar banyak warga kami yang tidak mau membayar.
Untuk memperlancar pembayaran terpaksa kami membantu
mengurus pengurangan ke KP PBB tetapi tahun berikutnya
nilainya selalu kembali ke nilai yang besar.

Hai ini menunjukkan bahwa kriteria dan cara penentuan besarnya PBB

yang diawali dengan penentuan NJOP tidak dipahami secara baik di tingkat

aparat pemerintahan yang terbawah. Maka dapat dipahami jika masyarakat

juga tidak mengetahui dasar-dasar pengenaan PBB. Tentang hal ini Petugas

KP PBB mengemukakan :

66
Penentuan besarnya NJOP ini telah melalui tahapan pendataan
yang melibatkan aparat pemerintah di desa dan rata rata nilai jual
yang dijadikan dasar penghitungan PBB masih berada di bawah
harga pasar yang berlaku. Atas dasar ini maka sebenarnya tidak
ada alasan untuk tidak membayar PBB. Bahkan kami juga
memberi kesempatan jika mereka merasa keberatan dengan
besarnya pajak yang harus dibayar, mereka dapat mengajukan
keberatan. Jika alasannya mendasar kami melalui Pimpinan kami
di KP PBB pasti akan mengakomodasi permohonan keberatan
tersebut.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dari institusi KP PBB

sebagai tangan panjang menteri keuangan yang menetapkan besarnya PBB

yang harus dibayar masyarakat sudah berupaya memberikan layanan yang

baik kepada masyarakat, tetapi karena tidak semua informasi dapt sampai

kepada masyarakat maka masih selalu ada komplain atas penetapan

besarnya PBB atas obyek pajak yang dimiliki masyarakat.

3. Komunikasi

a. Komunikasi dengan wajib pajak

Dari sisi wajib pajak salah satu upaya yang dilakukan adalah

dengan memberikan penyadaran bagi wajib pajak mengenai perlunya

membayar PBB. Bentuk penyadaran terhadap wajib pajak yang pertama

kali dilakukan adalah dengan memberikan penyuluhan kepada wajib pajak

pada saat pertemuan tingkat RT maupun tingkat Dusun dan Desa. Dalam

hal ini pihak kecamatan bekerja sama dengan Dinas Pendapatan Daerah

Kabupaten Karanganyar. Dalam hal ini biasanya dilakukan setelah para


67
wajib pajak menerima SPPT dari Petugas pemungut pajak di tingkat

Dusun. Ini seperti dikemukakan Camat Jaten sebagai berikut :

Penyadaran terhadap wajib pajak kami lakukan dengan cara


pemberian sosialisasi pada mereka. Hal yang pertama dilakukan
melalui perangkat desa, pada saat kami memberikan SPPT lewat
Kepala Desa. Kemudian kami lanjutkan pada saat pertemuan
ditingkat Dusun maupun Desa.

Hal tersebut dibenarkan oleh seorang kepala dusun yang

menyatakan sebagai berikut :

Setiap tahun kami mendapatkan pengarahan dari Dinas Pendapatan


daerah Kabupaten Karanganyar dan Bapak Camat setelah
menerima SPPT yang harus disampaikan kepada wajib pajak.
SPPT untuk dikoreksi kebenarannya mungkin saja ada kesalahan,
namun apabila telah benar keseluruhannya, masyarakat dalam hal
ini wajib pajak dimohonkan untuk segera membayarnya tidak
perlu menunggu jatuh tempo.

Disamping dalam bentuk pertemuan secara langsung upaya

penyadaran para wajib pajak juga dilakukan melalui pemasangan spanduk

yang dipasang ditempat-tempat yang startegis misalnya perempatan jalan,

kantor desa maupun bank persepsi dalam hal ini Badan Kredit Kecamatan

(BKK) Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jaten yang mengatakan sebagai

berikut:

Seperti petunjuk yang disampaikan oleh bapak Camat Jaten


kamipun memasang spanduk ditempat-tempat yang strategis, kami
mendapatkan 3 spanduk satu kami pasang dibalai desa sedangkan
yang lain di tempat tempat yang strategis.

68
Upaya lain yang dilakukan dalam rangka penyadaran wajib pajak

untuk membayar pajak khususnya Pajak Bumi dan Bangunan juga

dilakukan melalui media elektronik yaitu lewat RSPD Karanganyar.

Dalam pemberitaan tersebut dikemukakan pentingnya membayar pajak

tepat pada waktunya dan kegunaan dana tersebut untuk kelangsungan

pembangunan di daerah Kabupaten Karanganyar.

Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten

dalam hal meningkatkan kesadaran wajib pajak tersebut nampaknya

memang telah cukup memadai, sebab semua jalan telah ditempuh

misalnya memanfaatkan pertemuan-pertemuan di tingkat Dusun,

ditempat jamuan orang punya kerja, pemasangan spanduk ditempat-

tempat yang strategis serta memanfaatkan siaran Radio RSPD

Karanganyar di setiap Minggu. Berbagai kendala khususnya dalam hal

pemberian sosialisasi masih terjadi, karena dalam pertemuan baik

ditingkat RT maupun Dusun ada masyarakat wajib pajak yang tidak bisa

hadir secara pribadi, atau pada waktu siaran radio lewat RSPD kurang

diperhatikan karena media Radio sudah tidak menarik lagi

dibandingkan media Televisi.

b. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB

Dari sisi petugas pajak persoalan yang muncul biasanya

berhubungan dengan kurangnya komitmen dan pemahaman petugas

pajak. Dalam hal ini berkaitan dengan budaya sendiko dawuh. Kalau

pimpinan belum memberikan komando untuk terjun kebawah biasanya

staf juga belum


69
bergerak untuk mengadakan sosialisasi, pengecekan dilapangan apakah

SPPT telah disampaikan kepada wajib pajak maupun penarikan PBB

dari wajib pajak. Dalam mengantisipasi tentang hal ini pihak

Kecamatan Jaten melakukan berbagai langkah sebagai berikut :

1) Kecamatan Jaten melibatkan beberapa Kepala Seksi dan staf untuk

menangani masalah Pajak Bumi dan Bangunan masing-masing

personil diberikan tanggung jawab per desa dari monitoring

penyampaian SPPT sampai pada wajib pajak membayar

kewajibannya dan mendapatkan STTS dari Bank persepsi dalam

hal ini BKK Jaten. Menurut Camat Jaten hal ini dilakukan dengan

berbagai pertimbangan mengoptimalkan hasil pemungutan PBB,

sebagaimana dikemukakan Camat Jaten dalam wawancara sebagai

berikut :

Sebenarnya PBB menjadi tugas pokok dan fungsi Kepala


Seksi Pemerintahan, namun karena banyaknya permasalahan
yang menyangkut tentang PBB, maka kami melibatkan
seluruh kepala seksi untuk ikut serta menangani PBB dan
diharapkan PBB bisa terselesaikan tepat pada waktunya.

2) Kecamatan bekerja sama dengan Kepala Desa untuk menentukan

Kepala Dusun mana yang akan diusulkan menjadi pemungut

pajak, dan Kepala Dusun mana yang tidak diusulkan serta diganti

dengan perangkat desa yang lain misalnya Kaur ditingkat desa.

Hal ini penting dilakukan karena dari pengalaman tahun-tahun

sebelumnya, Kepala Dusun yang itu-itu saja yang menggunakan

uang setoran PBB untuk


70
kepentingan pribadinya. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Jetis

Kecamatan Jaten sebagai berikut:

Kalau memang ada petunjuk tertulis dari bapak Camat Jaten,


kaur boleh diserahi tugas untuk menarik PBB dari
masyarakat, kami harapkan sekali sebab banyak kepala dusun
sebagai pemungut pajak malah menghabiskan dana setoran
PBB nya untuk kepentingan pribadinya. Kalau sudah
demikian akhirnya Kepala Desa yang harus bertanggung
jawab untuk menyelesaikan PBB yang digunakan oleh
Kepala Dusun tersebut, karena Kepala Desa merasa malu.

Sementara itu berkaitan dengan munculnya kenyataan bahwa

pajak yang telah diterima oleh petugas pemungut tidak disetorkan

semua, dalam hal ini pihak Kecamatan Jaten mengantisipasinya dengan

lebih banyak turun pada pertemuan-pertemuan ditingkat dusun dengan

cara jemput bola, walau memerlukan waktu yang cukup lama namun

cukup efektif karena wajib pajak dapat membayar pada pertemuan

tersebut secara kolektif dan pada pagi harinya telah mendapatkan Surat

tanda lunas membayar PBB dari Badan Kredit Kecamatan (BKK) Jaten.

Hal tersebut dibenarkan oleh perangkat desa di Desa Sroyo

sebagai berikut:

Kalau setiap tahun tim tingkat Kecamatan mau jemput


bola seperti ini, saya yakin sekali PBB akan lunas tepat
pada waktunya karena tidak dipakai oleh petugas
pemungut, sekaligus Bapak Camat dapat memberikan
informasi kepada masyarakat secara langsung tidak hanya
masalah PBB
71
namun, informasi yang lain yang sangat diperlukan oleh
warga masyarakat.

Dalam berbagai hal nampaknya upaya ini cukup berhasil, akan

tetapi persoalannya akan kembali pada pemberian upah pungut yang

kurang jelas yang diterima oleh petugas pemungut pajak. Selama ini upah

pungut yang diberikan pada petugas pemungut PBB lewat Kepala Desa

masih terkesan belum dilakukan secara transparan, karena Kepala Desa

tidak menjelaskan secara terbuka berapa yang telah diterima. Kepala Desa

hanya diberikan upah sebesar persentase tertentu yang dipengaruhi oleh

oleh seberapa besar realisasi dari target yang diberikan. Hal ini

menyebabkan para petugas pemungut pajak tidak menyetorkan seluruh

perolehannya kepada Bank Persepsi dalam hal ini BKK Jaten. Hal ini

dibenarkan oleh seorang Kepala Dusun yang sebagai pemungut pajak di

Desa Jetis sebagai berikut:

Sebenarnya kami harus menerima upah dari jerih payah kami


sebagai pemungut pajak, namun kami tidak pernah menerima
upah pungut tersebut, kalaupun menerima upah pungut sangat
sedikit sekali dan tidak sesuai dengan apa yang telah kami
keluarkan.

Berkaitan dengan hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris

Kecamatan Jaten yang mengatakan sebagai berikut:

Tidak semua Kepala Desa yang ada di Kecamatan Jaten ini nakal
memang ada beberapa yang nakal, yang masih berlaku jujurpun
juga banyak sehingga apa yang semestinya diterima oleh para
petugas pemungut pajak dalam hal ini upah pungut sampai juga
pada
72
alamatnya misalnya di Desa Jaten tidak ada keluhan dan Desa
Jetis karena upah pungut disampaikan kepada yang berhak
menerima.

Hal tersebut berarti bahwa mekanisme atau sistem penarikan dan

pemberian upah pungut belum dapat dilaksanakan secara terbuka kepada

para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun.

Persoalan yang berkaitan dengan sistem penarikan lebih banyak

berhubungan dengan mekanisme pajak dan ketidak jelasan upah

pemungutan pajak, serta ketidak jelasan sangsi terhadap para pelanggar

baik dari kalangan petugas pemungut pajak maupun dari wajib pajak.

Berkaitan dengan hal ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah

Kecamatan Jaten seperti yang dikemukakan oleh Kepala Seksi

Pemerintahan kecamatan sebagai berikut.

Berkaitan dengan sistem penarikan PBB di daerah pedesaan


kami juga menginstruksikan kepada petugas pemungut pajak
dan Kepala Desa untuk ditarik bersama-sama pada waktu
kegiatan rapat ditingkat dusun. Jadi wajib pajak tinggal
menyetor sebesar nominal yang ada pada SPPT, petugas dari
Kecamatan Jaten dan BKK menerima setoran dan
membukukan sekaligus diberikan tanda lunas PBB. Sehingga
tidak terjadi uang setoran dipakai oleh pemungut pajak dengan
alasan untuk upah pungut.

Sementara itu berkaitan dengan sangsi atas ketidak taatan

membayar pajak, pihak Kecamatan Jaten memberikan persyaratan tertentu

tentang penggunaan bukti pembayaran PBB sebagai sarana mengurus

berbagai urusan di tingkat kecamatan, seperti pembuatan KK dan KTP.


73
Hal ini seperti dikemukanan oleh Sekretaris Kecamatan Jaten sebagai

berikut :

Masyarakat kami yang akan mengurus pembuatan KK dan


KTP, diwajibkan untuk membawa juga tanda lunas telah
membayar PBB tahun yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan
untuk mengingatkan kepada warga selain kartu KK dan KTP
membayar PBB juga menjadi kewajiban warga masyarakat
untuk membayarnya.

Hal ini juga kami konfirmasikan kepada bapak Camat Jaten


yang menyatakan sebagai berikut:
Memang kami menganjurkan setiap pemohon kartu KK dan
KTP untuk membawa tanda lunas PBB tahun yang
bersangkutan, namun kalau mereka tidak membawa kami juga
melayaninya karena ketentuan ini memang tidak ada. Kami
hanya menghimbau saja kepada masyarakat kami untuk
membayar PBB tepat pada waktunya.

Sementara upaya di tingkat Pemerintah Desa dalam hal ini

dilakukan dengan pemberian panggilan ulang dibalai desa. Biasanya

setelah waktu akan jatuh tempo pembayaran selesai. Hal ini seperti

dikemukakan Kepala Desa Jetis Kecamatan Jaten sebagai berikut:

Apabila jatuh tempo pembayaran PBB di desa kami belum 100


%, kami adakan pemanggilan di Kantor desa, bersama Kepala
Dusun setempat untuk mengetahui kesulitan apa yang ada saat
ini dan biasanya dapat terselesaikan dengan baik karena masih
ada rasa pakewuh kepada Kepala Desa.

74
Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Jaten

dan Pemerintah Desa di wilayah Kecamatan Jaten, adalah wujud dari

upaya yang dilakukan dari segi pengawasan atas kewajiban membayar

dari wajib pajak dan pengawasan untuk petugas pemungut pajak untuk

tidak menggunakan dana setoran PBB.

C. Faktor –Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Implementasi


Pemungutan PBB

1. Mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pemungutan PBB

Petugas yang terlibat dalam Pemungutan PBB terdiri dari para

petugas

yang telah ditetapkan Bupati Karanganyar melalui SK Bupati

Karanganyar nomor 973/354 tahun 2005 tentang Penetapan Tim

Intensifikasi PBB Kabupaten Karanganyar. Dalam Tim tersebut Tim

Intensifikasi dibentuk berjenjang mulai dari Kabupaten sampai

Kacamatan. Selanjutnya Kepala Desa ditunjuk sebagai koordinator

petugas pemungut, Sekretaris Desa sebagai Petugas Administrasi PBB

Desa dan Kepala Dusun sebagai Petugas Pemungut PBB.

Di Tingkat Kecamatan Tim Intensifikasi PBB terdiri dari Camat

sebagai penanggungjawab dengan anggota Sekretaris Kecamatan, Kasi

Pemerintahan dan beberapa staf yang membidangi. Tim Tingkat

Kecamatan ini bertugas memobilisasi proses pemungutan PBB mulai dari

Penyampaian SPPT sampai pada pelaporan realisasi pelunasan PBB. Di

Kecamatan Jaten Tim ini terdiri dari 5 orang yang masing-masing telah

memahami peran dan


75
fungsinya masing-masing sebagaimana diungkapkan oleh Camat Jaten

Sebagai Berikut :

“Tim Intensifikasi PBB di Kecamatan Jaten ini jumlahnya ada lima


orang termasuk saya, meskipun hanya lima orang saya berupaya agar
yang sedikit ini bisa bekerja dengan efektif, maka saya membagi
mereka dalam wilayah desa binaan, dimana masing masing anggota
tim kecuali saya membina di 2 desa. Dengan begitu saya harapkan
mereka lebih bertanggungjawab dan tahu betul, sehingga mereka lebih
fokus terhadap permasalahan di desa binaannya masing masing.
Sebenarnya saya ingin satu orang membina satu desa saja tetapi
komposisi Tim Intensifikasi ini sudah ditentukan dari Kabupaten,
mungkin ada kaitannya dengan hak upah pungut yang diberikan.
Disini ada 5 orang petugas, sebenarnya jumlah tersebut masih kurang,
tetapi kalau bekerja dengan efektif jumlah itu saya rasa sudah cukup”.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Tim Intensifikasi Tingkat

Kecamatan yang berjumlah lima orang telah cukup berfungsi sebagai

pengendali proses pemungutan PBB di Kecamatan Jaten. Tolok ukur yang

dapat digunakan untuk melakukan penilaian ini adalah semua administrasi

PBB di Kecamatan Jaten tertata dan berjalan dengan Baik disamping itu setiap

kesulitan dari Desa dapat teratasi dengan baik sebagimana dikemukakan

Sekretaris Desa Dagen yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

“Selama ini tidak ada masalah mas komunikasi dengan Kecamatan


berjalan dengan baik setiap persoalan yang muncul selalu bisa dibantu
dengan baik oleh petugas kecamatan, tetapi kalau soal lunasnya ya itu
semua sudah kami usahakan tetapi ada saja wajib pajak yang
membandel”.
76
Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa secara

administratif persoalan-persoalan PBB dapat teratasi, tetapi tetap saja

persoalan Wajib Pajak yang menunggak masih ada. Selanjutnya untuk

tingkat desa di Kecamatan Jaten, jumlah petugas PBB terdiri dari 8 orang

Koordinator Petugas Pemungut, 8 orang petugas administrasi, dan 46

orang Petugas Pemungut. Jumlah tersebut sesuai dengan komposisi

Kecamatan Jaten yang terdiri dari 8 desa dan 46 dusun. Maka jumlah

tersebut secara umum sudah cukup memadai. Permasalahan muncul

ketika sebuah dusun memiliki penduduk yang sangat besar seperti di Desa

Ngringo. Di desa ini ada satu orang Petugas Pemungut yang harus

menangani lebih dari 3.000 Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena Ngringo

adalah kompleks perumahan yang sangat padat sehingga jumlah

penduduknya sangat banyak. Atas dasar kenyataan tersebut perlu

dipikirkan untuk diusulkan penambahan petugas pemungut PBB khusus

untuk desa dengan karakteristik khusus seperti Desa Ngringo tersebut.

Data tingkat pendidikan petugas pemungut PBB di Kecamatan Jaten

menunjukkan rata – rata berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan

kondisi yang cukup baik dan tingkat pendidikan yang baik ini diharapkan

juga akan berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan

pemungutan PBB. Meskipun tidak ada data yang menunjukkan kaitan

langsung antara Tingkat Pendidikan Petugas Pemungut dengan

keberhasilan Pemungutan PBB, setidaknya dengan tingkat pendidikan

yang cukup maka tingkat pemahaman dan kreatifitas seseorang dalam

memahami suatu kebijakan akan lebih baik.


77
2. Penerapan Sistem rewards and punishmet dalam Pemungutan PBB.

Dalam UU PBB maupun peraturan-peraturan turunannya tidak

mengatur rewards bagi wajib pajak yang telah membayar pajak dengan baik.

Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan

pemasukan dari sektor PBB telah berusaha memberikan penghargaan kepada

wajib pajak maupun institusi pemungut di lapangan yang telah mendukung

keberhasilan pemungutan PBB. Di Kabupaten Karanganyar, rewards atau

bentuk penghargaan yang diberikan kepada wajib pajak yang telah membayar

pajak lebih awal diberikan dalam bentuk pembarian hadiah undian bagi Wajib

pajak yang telah melunasi PBB sebelum bulan agustus setip tahunnya.

Tentang hal ini Kasubdin Penagihan pada Dinas Pendapatan daerah

Kabupaten Karanganyar dalam wawancara tanggal 15 Oktober 2006

mengemukakan sebagai berikut :

Kami telah mendesain cara agar masyarakat tergugah untuk sadar


membayar pajak lebih awal dari jatuh tempo yang ditentukan. Cara
yang kami tempuh adalah dengan memberikan stimulan berupa
berbagai hadiah yang menarik bagi wajib pajak yang kami undi
untuk para wajib pajak yang telah lunas PBB sampai akhir bulan Juli
tahun yang bersangkutan. Program ini kami mulai sejak tahun 2004
dan ternyata hasilnya luar biasa di Kabupaten Karanganyar yang
opada tahun tahun sebelumnya tidah pernah menutup terget ternyata
pada tahun 2004 pemasukan PBB tahun 2004 lebih dari 100 %.
Memang pasti ada indikator lain yang mendukung keberhasilan ini
tetapi tentunya pemberian hadiah ini turut memberi kontribusi yang
signifikan terhadap keberhasilan tersebut.

78
Keberhasilan sebagaimana diungkapkan Kasubdin Penagihan

Dipenda Kabupaten Karanganyar tersebut memang benar karena

berdasarkan data pemasukan PBB (tabel 1) sejak tahun 2001 sampai 2003

pemasukan pungutan PBB di Tingkat Kabupaten Karanganyar berkisar

antara 80 % sd 96 %, tetapi pada tahun 2004 meningkat drastis menjadi

109, 17 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem penghargaan yang

diberikan kepada wajib pajak merupakan salah satu faktor pendukung

keberhasilan implementasi kebijakan pemungutan PBB.

Adanya Penghargaan bagi yang berprestasi atau yang kooperatif

tentunya juga perlu dibarengi dengan adanya hukuman atau punishment

bagi yang melanggar. Dalam Kebijakan PBB telah memuat sanksi

terhadap para pelanggar kebijakan ini. Sanksi yang dikenakan terhadap

pelanggar kebijakan PBB diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan

sanksi pidana. Sanksi administratif diberikan jika wajib pajak terlambat

mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dan jika wajib

pajak terlambat membayar pajak terhutang yang telah jatuh tempo. Sanksi

administratif ini dikenakan dalam bentuk denda, misalnya untuk wajib

pajak yang terlambat membayar PBB dikenakan denda administratif

sebesar 2 % dari pajak terhutang per bulan keterlambatan pembayaran.

Tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana antara lain : Tidak

mengembalikan Surat Pemberitahuan Obyek pajak (SPOP),

menyampaikan SPOP yang isinya tidak benar, tidak lengkap, dan atau

lampirannya tidak memberikan keterangan yang benar, tidak

mengembalikan SPOP,
79
menunjukkan dokumen palsu atau yang dipalsukan, dan tidak memperlihatkan

dokumen yang dibutuhkan oleh Ditjen pajak dalam penetapan PBB. Terhadap

pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling

lama satu tahun atau denda paling tinggi Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

Sanksi sebagaimana diatur dalam undang undang PBB tersebut hanya

mengatur hukuman bagi para Wajib pajak yang tidak taat dalam

menyampaikan informasi perpajakan yang menjadi tanggungjawabnya. UU

PBB tidak mengatur sanksi yang keras terhadap Wajib Pajak yang terlambat

atau tidak membayar PBB. Sanksi yang diatur hanyalah sanksi denda atas

keterlambatan pembayaran yang besarnya ditetapkan sebesar 2 % per bulan

keterlambatan dari ketetapan pajak yang telah ditentukan.

Pernyataan Camat Jaten yang mengungkap adanya kelemahan dalam

penegakan hukum tersebut diperkuat oleh Kasi Pemerintahan Kecamatan

Jaten dalam wawancara tanggal 17 Oktober 2006 yang mengemukakan :

“Permasalahan yang saya alami selama ini adalah selalu saja ada
perangkat Desa yang terlambat menyetor PBB dari masyarakat ke
bank persepsi, sebenarnya kalau bicara sanksi sudah jelas bagi
perangkat desa yang melanggar dapat diproses hukuman disiplin,
bahkan jika petugas ini menggunakan uang PBB bisa dikenakan
pasal KUHP tentang penggelapan atau karena mengakibatkan
kerugian negara dapat dijerat
UU Korupsi, tetapi untuk sejauh itu saya rasanya belum bisa
melaksanakannya karena berbagai pertimbangan terutama
pertimbangan manusiawi. Yang jelas menurut saya akarnya adalah
masalah penegakan hukum yang tidak berjalan seperti tadi yang
saya katakan sayapun belum mampu melakukan itu”.
80
Mencermati pernyataan diatas penerapan sanksi perlu juga

diterapkan terhadap para petugas pemungut karena menurut pengamatan

Tim Intensifikasi PBB Kecamatan Jaten kendala dalam pemungutan PBB

seringkali muncul dari petugas pemungut sendiri. Selama ini masih ada

saja petugas Pemungut yang tidak menyetorkan uang PBB yang mereka

pungut dari masyarakat. Permasalahan ini akan menimbulkan

kekecewaan dari masyarakat yang telah membayar pajak dengan tertib.

Kekecewaan tersebut jika tidak segera diatasi akan menimbulkan sikap

wajib pajak yang menolak membayar PBB karena menganggap negara

sudah tidak bisa dipercaya karena aparatnya yang nakal.

Untuk menjawab pemrmasalahan ini, tim intensifikasi

Kabupaten Karanganyar telah menjalin kerjasama dengan Kantor Satuan

Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) yang akan mengerahkan Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk melakukan penegakan hukum

terhadap para petugas pemungut yang menggunakan atau

menyelewengkan setoran PBB. PPNS dari Kantor Satpol PP ini akan

dikerahkan untuk menindaklanjuti laporan camat atas penyelewengan

yang dilakukan petugas Pemungut. Menurut Kasi Penagihan Dinas

Pendapatan Kabupaten Karanganyar, kerjasama ini merupakan sebuah

langkah yang sudah rutin dilakukan tetapi mulai tahun 2005 ini

implementasinya akan lebih dioptimalkan sebagaimana diungkapkan

dalam wawancaera sebagai berikut :

Kerjasama ini bukan barang baru, tetapi tahun ini kami akan
berusaha agar pelaksanaannya lebih efektif, agar menimbulkan
efek jera bagi para petugas yang melanggar ketentuan.
Permasalahannya selama ini
81
laporan yang disampaiakan para camat tidak jelas sehingga sulit
untuk ditindaklanjuti, maka tahun ini kita dorong para camat
untuk membuat laporan yang jelas dan valid untuk dapat
ditindaklanjuti secara tepat oleh PPNS Satpol PP.

Kerjasama tersebut disambut baik oleh Kepala Kantor Satpol PP

sebagaimana terungkap dalam wawancara sebagai berikut :

Kami siap melaksanakan kerjasama ini, apalagi secara fungsional


kami juga masuk dalam keanggotaan tim intensifikasi PBB
Kabupaten Karanganyar. Hanya saja permasalahannya hingga saat
ini kami baru memiliki petugas PPNS sebanyak 10 orang, padahal
cakupan tugas kami sangat luas meliputi penegakan semua
Peraturan Daerah di Kabupaten Karanganyar. Jika semua
Kecamatan menyerahkan sepenuhnya kepada PPNS tentu saja
kami akan sangat kesulitan, tetapi kami punya komitmen untuk
mendukung program ini dengan sebaik-baiknya.

Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa perangkat untuk melakukan

penegakan hukum telah tersedia, selanjutnya sejauh mana perangkat tersebut

dapat dimobilisasi secara efektif untuk pencapaian tujuan keberhasilan

pemungutan PBB sangat tergantung pada kesadaran pihak-pihak tersebut

dalam menjalankan tugas tanggung jawabnya masing-masing.

3. Koordinasi dalam pemungutan PBB

Koordinasi ini dilakukan untuk memadukan langkah terkait dengan

pelaksanaan intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan di kecamatan Jaten,

antara lain tim tingkat Kecamatan yang terdiri, Camat, Sekretaris Camat,

82
Petugas administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, Para Kepala seksi dan

Staf dan Kepala Bank Persepsi dalam hal ini Kepala BKK Kecamatan

Jaten. Koordinasi bersama tim tingkat kecamatan Jaten dilakukan setiap

seminggu sekali, untuk mengetahui potensi wajib pajak, realisasi

pemasukan Pajak Bumi dan Bangunan atau target dan sisa target yang

ada, serta hambatan –hambatan yang dijumpai dilapangan.

Koordinasi tim tingkat Kecamatan, bersama Kepala BKK dilakukan

setiap saat untuk mengetahui apakah hasil pemungutan kepada para wajib

pajak telah disetorkan kepada Bank persepsi, karena berdasarkan

pengalaman sudah banyak setoran yang dipungut oleh para pemungut

pajak, namun tidak segera disetorkan, bahkan dipakai oleh para pemungut

pajak sehingga terjadi tunggakan.

Koordinasi dengan Muspika juga di perlukan, terutama apabila

dijumpai para pemungut pajak dalam hal ini Kepala Dusun menggunakan

uang titipan setoran PBB tersebut untuk kepentingan pribadi. Sebelum

perkara ini diserahkan kepada tim tingkat Kabupaten Karanganyar,

biasanya masalah tersebut diselesaikan lebih dulu di tingkat kecamatan.

Koordinasi Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan Kecamatan

Jaten dengan para Kordinator pemungut pajak, dalam hal ini semua

Kepala Desa se Wilayah Kecamatan Jaten beserta para pemungut pajak

dalam hal ini Semua Kepala Dusun se Kecamatan Jatendilaksanakan satu

bulan sekali. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan sekali pada tanggal

17 setelah
83
pelaksanaan Upacara bendera bertempat di ruang rapat Kantor Kecamatan

Jaten.

Koordinasi instansi Kecamatan Jaten dengan Tim Tingkat Kabupaten

Karanganyar dilakukan rutine setiap bulan sekali di Kantor Dinas Pendapatan

Daerah, yang dipimpin langsung oleh Bapak Wakil Bupati Karanganyar.

Dalam pertemuan ini Camat melaporkan jumlah baku Pajak Bumi dan

Bangunan yang ada diwilayahnya, realisasi selama satu bulan, sisa target yang

ada, serta langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mencapai target

yang telah ditetapkan, sekaligus untuk mengetahui kinerja Camat dalam hal

intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan.

Koordinasi dengan instusi lain seperti KP PBB dilakukan sesuai

kebutuhan. Tim Kecamatan selalu memberikan perkembangan data terutama

mengenai perubahan hak milik tanah yang dilanjutkan dengan perubahan

Wajib Pajak yang tertulis di SPPT. Untuk pengajuan perubahan ini biasa

dilakukan sendiri oleh masyarakat atau di bantu oleh petugas administrasi desa

setelah mendapatkan pengesahan dan rekomendasi dari Camat.

Keluhan yang terjadi dan adalah pengurusan perubahan terbentur pada

persyaratan birokrasi yang rumit seperti yang dikemukakan oleh Sekdes Jaten

dalam wawancara tanggal 17 Oktober 006 sebagaio berikut :

“Pengurusan Perubahan SPPT itu butuh persyaratan yang banyak


dan bertele-tele padahal kami hanya ingin membantu agar
tunggakan yang dulu menjadi terbayar. Untuk bisa meningkatkan
penerimaan negara mestinya diberi kemudahan. Dengan banyaknya
persyaratan kami kesulitan jika harus menghubungi orang-orang
diluar kota padahal kan tidak ada pos biaya untuk itu”.

84
Pernyataan Sekdes Jaten tersebut dikemukakan berkaitan dengan

perubahan data dalam SPPT mengingat wajib pajak tidak mau membayar

pajak selama data yang ada dalam SPPT tidak benar, sedangkan yang

bersangkutan tidak mau mengurus perubahannya. Beberapa wajib pajak

yang seperti itu ada yang berdomisili di luar kota, selama ini SPPT ini

menjadi beban tunggakan bagi Desa Jaten. Pihak KP PBB menanggapi

hal ini, menyatakan bahwa tidak ada yang sulit sejauh persyaratan

lengkap semua dapat terlayani dengan baik, dan menurut petugas di KP

PBB hal ini sudah ada aturan baku dan prosedur tetapnya.

Kesenjangan Koordinasi yang terjadi ketika petugas administrasi

desa mencoba membantu kelancaran PBB dengan mengurus pembetulan

data dengan institusi KP PBB yang tetap mempertahankan bahwa

persyaratan harus lengkap untuk dapat dilayani. Keadaan ini sulit untuk

mendapat titik temu karena masing masing pihak bersikap kaku pada kaca

mata kepentingan masing-masing yang sama memiliki argumen yang

dapat dipertanggungjawabkan.

85
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan tentang

implementasi Pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

sebagai berikut :

1. Kepatuhan Pelaksana dalam Menyalurkan SPPT PBB tidak dapat

dilakukan tepat sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan karena

pengiriman SPPT dari KP PBB sebagai Pihak yang mengeluarkan

SPPT sudah terlambat.

2. Kepatuhan dalam pengadministrasian PBB belum berjalan dengan

baik, disebabkan karena belum padunya koordinasi antar instansi yang

menangani Pertanahan dan KP PBB yang menangani penerbitan SPPT

PBB.

3. Telah ada upaya memberlakukan sistem penghargaan (rewards) bagi

wajib pajak dan petugas pemunut yang patuh terhadap ketentuan PBB.

Dan juga diberlakukan hukuman (punisment) bagi pelanggar

ketentuan, tetapi jenis hukuman yang hanya berupa denda bagi para

penunggak dan peringatan bagi aparat yang tidak tertib menyetor

menyebabkan masih adanya tunggakan PBB di Kecamatan Jaten.

4. Peraturan PBB kurang memberi sanksi yang jelas dan tegas terhadap

para wajib pajak yang tidak membayar pajak, sehingga petugas

pemungut
86
seperti tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong agar

wajib pajak mau membayar PBB nya.

5. Komunikasi dalam Tim Intensifikasi PBB dilaksanakan melalui rapat

koordinasi dan konsultasi, Selanjutnya untuk mengoptimalkan

keberhasilan pemungutan PBB dijalin kerjasama dengan Satpol PP

Kabupaten Karanganyar.

Secara lebih spesifik penelitian ini menemukan beberapa faktor

yang dapat menghambat keberhasilan implementasi pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar sebagai berikut :

1. masih adanya keterlambatan dan kesalahan dalam SPPT yang

dikeluarkan KP PBB mengakibatkan keterlambatan dan permasalahan

petugas pemungut di lapangan.

2. Belum ada shock therapy berupa sanksi berat yang diterapkan terhadap

wajib pajak yang tidak membayar PBB mengakibatkan tidak adanya

rasa takut bagi wajib pajak yang menolak membayar PBB.

3. Jumlah petugas intensifikasi di Tingkat Kecamatan Jaten yang memiliki

target PBB tertinggi di wilayah Kabupaten Karanganyar diperlakukan

sama dengan kecamatan lain tanpa melihat besaran target yang menjadi

tanggung jawabnya.

4. Kepatuhan aparat pelaksana dalam hal ini petugas pemungut PBB

masih kurang hal ini ditandai dengan masih adanya petugas pemungut

yang menggunakan dana PBB untuk kepentingan pribadi.

87
5. Di Kecamatan Jaten yang sebagian besar merupakan wilayah perkotaan

sangat sering terjadi mutasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah, tetapi

tidak diikuti dengan mutasi data dalam SPPT sehingga SPPT yang

disampaikan tidak valid lagi dan dijadikan alasan untuk menolak

membayar PBB.

6. Komunikasi antara pelaksana di lapangan dengan pihak KP PBB sering

tidak berjalan dengan baik karena besarnya cakupan layanan KP PBB

Surakarta yang sangat luas.

Faktor pendukung yang mendorong keberhasilan Pemungutan PBB di

Kecamatan Jaten adalah sebagai berikut :

1. Komitmen pimpinan wilayah dalam hal ini Camat dalam mensukseskan

Pemungutan PBB sangat tinggi sehingga bisa mendorong motivasi

petugas di bawahnya untuk lebih giat dalam menjalankan tugasnya.

2. Sistem rewards berupa hadiah undian bagi wajib pajak yang membayar

PBB sebelum bulan agustus cukup membantu peningkatan pemasukan

PBB. Tetapi pemberian hadiah lunas awal bagi desa yang lunas PBB

100 % belum mampu dinikmati karena target PBB di Kecamatan Jaten

sangat tinggi.

3. Sumber Daya Manusia yang dikerahkan untuk melaksanakan

pemungutan PBB sudah cukup memadai dan secara umum tahu kondisi

wilayah tugasnya masing-masing.


88
B. Implikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan

pemungutan PBB yang dilaksanakan oleh pemerintah Kecamatan Jaten

didasari pada kewajiban melaksanakan UU nomor 12 tahun 1986 Juncto.

UU no 12 tahun 1994 serta sebagai upaya meningkatkan pendapatan

daerah dari sektor pajak. Penyadaran pada wajib pajak dan para petugas

pemungut pajak merupakan faktor penting demi keberhasilan pemungutan

PBB. Disamping itu upaya mengatasi kendala kendala lain sepeti

lemahnya komunikasi dengan wajib pajak dan koordinasi antar instansi,

tidak tegasnya penegakan hukum, penerapan sistem insentif yang tidak

optimal harus segera dilakukan. Jika hal ini tidak segera dilaksanakan

akan membawa implikasi semakin meningkatnya tunggakan PBB dari

tahun ke tahun yang tentu saja semakin menjadi beban bagi instansi dan

petugas pemungut. Besarnya tunggakan tersebut dapat pula menimbulkan

preseden buruk bagi wajib pajak, dimana mereka akan beranggapan

bahwa tidak membayar PBB tidak ada resikonya, terbukti tunggakan PBB

tahun-tahun sebelumnya juga tidak ada sanksi yang tegas.

Hal ini akan membawa konsekuensi kurangnya efektifitas

pemungutan PBB dalam rangka peningkatan penerimaan pendapatan

daerah. Membangun kesadaran para wajib pajak adalah merupakan proses

yang cukup panjang. Ketidaktegasan pejabat yang berwenang dalam

menerapkan sangsi bagi para pelanggar, baik bagi para wajib pajak
maupun petugas pemungut pajak, dapat dijadikan alasan untuk menunda

membayar pajak.

89
C. Saran

Atas dasar temuan penelitian diatas, beberapa saran yang diajukan

untuk meningkatkan keberhasilan Implementasi Kebijakan Pemungutan

PBB adalah sebagai berikut :

1. Perlu ada shock therapy berupa sanksi yang tegas terhadap wajib pajak

yang menunggak PBB terutama bagi yang menunggak lebih dari 1 tahun.

Sanksi tegas juga perlu diterapkan untuk petugas pemungut yang

menggunakan uang PBB dari wajib pajak untuk kepentingan pribadi.

2. Perlu adanya penyempurnaan sistem administrasi pertanahan yang

mengatur kewajiban dan kewenangan Pejabat Pembuat Akte Tanah,

Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan KP PBB agar setiap mutasi

kepemilikan dan pemanfaatan tanah diikuti dengan mutasi SPPT PBB.

3. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektoral antara Dipenda, Kantor

KP PBB, Kecalamatan dan Desa.

4. Mekanisme pemberian upah pungut perlu ditata ulang agar mekanisme

upah pungut benar-benar dapat dirasakan dan mampu memotivasi para

petugas di lapangan untuk bekerja maksimal sehingga hasilnya juga

maskimal.
90
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar

Tesis

Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan


Memperoleh Derajad Magister

Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

Larmanto

NIM. S. 2405017

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ADMINISTRASI


PUBLIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

91
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E, 1975, Public Policy making An Introduction, Houghton


Miflin Company, Boston USA.
Dye, Thomas R, 1978, Understanding Public Policy, New jearsey: prentice
Hall Inc. Engelwood Cliffs,
Dunn, N. William, Muhadjir Darwin (Penyunting), 2001, Analisis
Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan Dasar Prosedur
Perumusan Masalah, Yogyakarta, Hanindita.

Guritno Mangkoesoebroto, 1993, ”Ekonomi Publik”, BPFE UGM, Yogyakarta.

Grindle, Merilee S, 1980, Politics and Policy Implementation in The Third


World, New York, Princenton University Press.
HB Sutopo, 1998, ”Penelitian Kualitatif” , UNS Press, Surakarta.
Josep Riwu Kaho, 1997, Prospek Otonomi daerah di negara Republik
Indonesia, (Identifikasi beberapa factor yang Mempengaruhinya), Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta.

Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975, The Policy
Implementation Process, A Conceptual Framework, Ohio, Sage
Publication inc. Ohio State University.

Mardiasmo, 1987, ”Perpajakan”, Andi Offset, Yogyakarta.


Miles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta
Mikkelsen, Britha, 2003, Metode Penelitian Partisipatoris dan upaya-upaya
pemberdayaan, sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Muhajir Darwin, 1994, ”Kebijaksanaan Publik”, UNS Press, Surakarta.

Lexy J Moleong, ,. Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung.


Munawir, H.S, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung-Jakarta.

Wahyu Nurharjadmo, 2004, Laporan Penelitian Berbagai Upaya yang


dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Klaten Utara dalam
Meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). UNS Surakarta.

Pal, Leslie A., 1987, “Public Policy Analysis An Introduction”, Departement


of Political Sience, University of Calgary.

92
Pariata Westra, 1994, manajemen Pembangunan Daerah, Ghalia Indonesia,
Jakarta.

Parkin, M & Bade, R.,1986, Macro Economics and The Australian Economy,
Allen & Unwim.

Ripley, Randall B., & Franklin Grace A.,1986, “Policy Implementation and
Bureaucracy”, The Dorcey Press, Chicago.

Rochmat Soemitro, 1989, “Pajak Bumi dan Bangunan”, PT Eresco, Bandung.

Syaukani, Afan Gaffar & Ryaas Rasyid, 2002, ”Otonomi Daerah”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

Steers, Richard M, 1985, ”Efektivitas Organisasi”, Erlangga, Jakarta.

Sugiyono, 2003, “Metode Penelitian Administrasi”.Edisi ke-10 (edisi


revisi), Bandung : Alfabeta.

Winarno Surakhmad, 1989, “Metode Penelitian Administrasi”, Bandung,


Alfabeta.

Samodra Wibawa, 1994, ” Evaluasi Kebijakan” , PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Sumber Lain :
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.
Undang-Undang No 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
93

Anda mungkin juga menyukai