Anda di halaman 1dari 134

ETIKA PROFESI BIMBINGAN

KONSELING

Penulis
Dr. Hunainah, MM
ETIKA PROFESI BIMBINGAN KONSELING

ISBN 979-602-9098-67-9

Penulis Dr. Hunainah, MM

Cetakan I : November 2013


Cetakan II : Maret 2016

Penerbit RIZQI PRESS


Jl. Cidadap Girang 26
Ledeng Bandung 40143
Tlp. (022) 2005869 Fax. (022) 2003656
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrohiim,
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas keterbatasan
penulis buku ETIKA PROFESI BIMBINGAN dan KONSELING
ini, telah terbit untuk ke-2 setelah cetak perdana pada
November 2013. Penerbitan yang ke-2 ini dilakukan atas dasar
desakan kebutuhan perkuliahan mahasiswa jurusan BKI Intitut
Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Selanjutnya kepada mahasiswa yang menempuh mata
kuliah ini diharapkan dapat memberikan fakta-fakta riil di
lapangan terkait dengan isu etika konseling dalam berbagai
seting baik dalam seting pendidikan maupun seting luar
pendidikan.
Pada awal penulisan buku ini telah dilakukan upaya
pendalaman dan pengembangan melalui kajian literature yang
relevan, diskusi dengan rekan sejawat dan para pakar dalam
pertemuan organisasi profesi, diskusi intensif dalam sesi
perkuliahan, penelitian, studi kasus dan sebagainya. Sepanjang
pengalaman penulis – terlepas dari kelebihan dan
kekurangannya – pendalaman kajian dan pengembangan
materi buku ini lebih mudah dilakukan melalui diskusi intensif
dalam sesi perkuliahan disbanding dengan upaya lain yang
telah disebutkan di atas. Dengan demikian, mengampu mata
kuliah ini menjadi suatu keniscayaan bagi penulis.
Penulis berharap pada rekan sejawat yang peduli (concern)
pada pengembangan keilmuan khususnya kajian etika profesi
konseling untuk dapat memebrikan saran, pendapat dalam
pengembangan buku ini. Semoga Allah SWT., memebri balasan
kebaikan yang berlipat dan semoga buku ini dapat memberi
wawasan keilmuan di bdiang etika konseling bagi para calon
konselor, para praktisi, akademisi dan siapa saja yang
membacanya. Amin
Serang, Maret 2016
Penulis

Hunainah

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................... v

BAB I PENGERTIAN & RUANG LINGKUP


A. Pengertian Etika & Profesi……..................................... 1
B. Perlunya Kode Etik Profesi……............................. 3
C. Ruang Lingkup Kode Etika Profesi Bimbingan &
Konseling.................................................................. 4
D. Tujuan & Fungsi Kode Etik…….............................. 5

BAB II ASPEK ETIK DAN LEGAL KONSELING


A. Etik, Hukum dan Konseling…............................ 8
B. Prinsip-prinsip Etis dalam
Konseling……………………................................ 10
C. Batas-batas Kewenangan
Konselor………………………............................. 11
D. Problem Etik dan Hukum dalam
Konseling…………………..…............................. 14

BAB III MENGAMBIL KEPUTUSAN ETIK DALAM


KONSELING
A. Isu-Isu Etik dalam Konseling................................. 18
B. Sumber Etika Bimbingan dan Konseling........... 30
C. Panduan untuk Bertindak Secara Etik.................. 31
D. Praktek Pengambilan Keputusan Etik dalam
Konseling………................................................... 34

BAB IV KODE ETIK PROFESI KONSELOR INDONESIA


A. Subyek Kode Etik Profesi……............................ 41
B. Dasar Kode Etik Profesi Konselor......................... 42
C. Keterbatasan dan Pengembangan Kode Etik… 43
D. Konflik di Dalam dan di Antara Kode Etik....... 45

BAB V PROBLEM PELAKSANAAN KODE ETIK


A. Bentuk Pelanggaran Kode Etik….......................... 47
B. Sebab Pelanggaran Kode Etik…............................ 47
C. Bentuk Sanksi bagi Pelanggar Kode Etik................... 49

v
D. Pihak yang Berwenang Menindak Pelanggar Kode
Etik..................................................................................... 49
E. Mekanisme Pemberian Sanksi Pelanggaran Kode
Etik.............................................................................. 50

BAB VI UPAYA PENEGAKAN KODE ETIK……………… 52

LAMP-1 KODE ETIK BIMBINGAN & KONSELING..................... 55


LAMP-2 KODE ETIK AMERICAN COUNSELING
ASSOCIATION ........................................................................ 62

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 126

vi
BAB I

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP

A. Pengertian Etika dan Profesi


Kata ”etika” dalam bahasa Inggris ”ethics” artinya ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak; hal tingkah laku dan
kesusilaan. Dalam bahasa Yunani kuno ”Ethos” berarti timbul
dari kebiasaan adalah cabang utama filsafat yang mempelajari
nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan
penilaian moral.1 Namun dalam bahasa Indonesia etik dan
etika diartikan berbeda. Kata ”etik” mempunyai dua arti yaitu
1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; 2) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Sementara etika adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).2
Arti etika telah banyak dikemukakan beberapa ahli berikut.
Pertama, etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan
keseluruhan budi (baik dan buruk)3; Kedua, etika adalah filsafat
tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk, juga merupakan
pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri4; Ketiga, etika ialah
studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan
kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki
manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia5;
Keempat, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan
mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia
sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran6; Kelima,
1
Efendy, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan Keehatan Komunitas Teori dan
Praktis dalam Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. 2009. h.25
2
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,2003. h.309
3
Sastrapraja. M, kamus Istilah Pendidikan Umum, Surabaya: Usaha Nasional, 1981,
h. 144.
4
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Jati, 1981, h.82.
5
Asmaran A.S, Pengantar Studi Ahlak, Jakarta: Rajawali Press, 1992, h.6-7.
6
Ya’kub. Hamzah, Etika Islam, Bandung:CV. Diponegoro, 1983, h.13.

1
menurut Van Hoose & Kottler, 1985 dalam Gladding (2012:66)
mendefinisikan etika (ethics) sebagai ilmu filsafat mengenai
tingkah laku manusia dan pengambilan keputusan moral7.
Kata profesi diartikan sebagai bidang pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan
sebagainya) tertentu8. Kata profesi dalam bahasa Inggris yaitu
”profession” yang memiliki beberapa arti yaitu: 1) pekerjaan
tertentu yang mensyaratkan pendidikan pada perguruan tinggi
(misal sarjana hukum, dokter, arsitek, konselor dan sebagainya);
2) pernyataan; pengakuan9; Pendapat lain dikemukakan George
dalam Daryl Koehn, profesi adalah pekerjaan yang dilakukan
sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan
yang mengandalkan keahlian.10 Sedangkan kata profesional
merupakan kata sifat dari profesi yang artinya 1) ahli; 2)
berkenaan dengan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang memerlukan
keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan
mendapat pengakuan serta pembayaran dari pekerjaan tersebut.
Mengacu pada arti kata profesi di atas, maka tidak semua
pekerjaan dapat dikatakan profesi. Beberapa contoh ’pekerjaan’
seperti dukun beranak, calo, pengemis dan sebagainya. Dukun
beranak yaitu orang yang pekerjaanya menolong perempuan
melahirkan namun tidak pernah mengikuti pendidikan untuk
memperoleh keahlian dan keterampilan tersebut ; calo yaitu orang
yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk
menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Dukun beranak dan calo
tidak dapat dikatakan sebagai profesi karena kedua pekerjaan
tersebut tidak ada pendidikan khusus meskipun pekerjaan
tersebut sama-sama mendapat bayaran atau upah dan
keberadaannya diterima oleh sebagian masyarakat. Berbeda
dengan dukun beranak yang mendapat bayaran tidak pasti,

7 Gladding, Counseling: a Comprehensive Profession, alih bahasa: Winarno & Lilian


Yuwono, Jakarta: PT. Indeks, 2012, h. 66.
8 Op.Cit. , Jakarta: Balai Pustaka, 2003,h.897.
9 Hornby & Parnwell, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:PT. Pustaka Ilmu, 1992. h.
252-253.
10 Daryl Koehn. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta: Kanisius Medika. 2008, h.35

2
maka pembayaran bidan sebaliknya telah diatur dan
ditetapkan resmi pihak yang berkompeten.
Berikut dikemukakan pengertian kode etik profesi dari dua
sumber. Pertama, kode etik adalah sistem norma atau aturan yang
tertulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang
baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan
perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh
seorang profesional.11Kedua, kode Etik merupakan aturan-aturan
susila, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati
bersama oleh para anggota, yang tergabung dalam suatu
kumpulan atau organisasi (organisasi profesi).12 Oleh karena itu,
kode etik merupakan suatu bentuk persetujuan bersama, yang
timbul secara murni dari diri pribada para anggota atau dengan
kata lain kode etik merupakan serangkaian ketentuan dan
peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku
para anggota organisasi.

B. Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi Sekurang-kurangnya


ada empat alasan mengapa etika
perlu13. Pertama, tidak ada kesatuan tatanan normatif msehingga
kita berhadapan dengan banyak pandangan moral yang sering
saling bertentangan. Dalam situasi demikian kita sering bingung,
tatanan norma dan pandangan moral mana yang harus diikuti.
Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-
pandangan moral tersebut, etika diperlukan. Kedua, etika
diperlukan untuk membantu kita agar tidak kehilangan orientasi
dalam situasi transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan
budaya tradisional ke modern dan dapat menangkap makna
hakiki dari perubahan nilai-nilai serta mampu mengambil sikap
yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, etika dapat membuat
kita sanggup untuk menghadapi ideologi baru secara kritis dan
objektif serta untuk membentuk penilaian
11 Ondi Saondi & Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, 2010. Refika Aditama,
Bandung., h.99
12 Ibid
13 Franz Mgnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
Kanisius: Yogyakarta, 1987, h. 15-16

3
sendiri agar kita tidak mudah menerima atau menolak nilai-
nilai baru. Keempat, etika diperlukan oleh kaum agama untuk
menyelaraskan kepercayaan yang dianut dengan keiinginan
turut berpartisipasi dalam dimensi kehidupan masyarakat.
Selanjutnya menurut Van Hoose dan Kottler (1985) dalam
Gladding (2012:68) ada tiga alasan kode etik profesi diperlukan
yaitu:
1. Kode etik melindungi profesi dari pemerintah.
2. Kode etik mengontrol ketidaksepakatan internal dan
pertengkaran sehingga memelihara kestabilan dalam profesi.
3. Kode etik melindungi praktisi dari publik, terutama untuk
pengaduan malpraktik.
Pendapat lain mengatakan bahwa kode etik profesi
diperlukan agar profesi atau konselor dapat tetap menjaga
standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas yang
jelas dengan anggota profesi lainnya sehingga dapat
dihindarkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan
tugas oleh mereka yang tidak berkecimpung dalam bidang
bimbingan dan konseling.14 Alasan lain perlunyan kode etik
profesi yaitu membantu meningkatkan kepercayaan publik
terhadap integritas sebuah profesi dan melindungi konseli dari
tindakan konselor yang kurang berkompeten.15 Dari beberapa
alasan di atas dapat disimpulkan bahwa kode etik profesi
diperlukan sebagai landasan, acuan dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawab profesi serta sebagai jaminan perlindungan
bagi pemberi dan penerima jasa layanan bantuan.

C. Ruang Lingkup Etika Profesi Bimbingan dan Konseling


Mengacu pada Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia
tahun 2010, maka ruang lingkup etika profesi bimbingan dan
konseling Indonesia membahas 5 bab berikut:

14 Yusuf, Syamsu. Kode Etik Profesi Konselor Indonesia (Draf). Bandung: ABKIN.
2009.
15 Gladding, Counseling: a Comprehensive Profession, alih bahasa P.M Winarno dan
Lilian Yuwono, PT. Indeks jakarta, 2012, h. 69

4
1. Dasar Kode Etik Profesi BK
2. Kualifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor
3. Hubungan Kelembagaan
4. Praktik Mandiri dan Laporan kepada Pihak Lain
5. Ketaatan kepada Profesi
Sementara Kode Etik American Counseling association
(ACA) terdiri atas delapan bagian yang membahas bidang-
bidang berikut:
1. Hubungan Konseling
2. Kerahasiaan, Komunikasi Pribadi dan Privasi
3. Tanggungjawab Profesional
4. Hubungan dengan Profesi Lain
5. Evaluasi, Penilaian, dan Interpretasi
6. Pengawasan, Pelatihan, dan Interpretasi
7. Penelitian dan Publikasi
8. Pemecahan Masalah Etika
Jika dilakukan perbandingan atas dua kode etik bimbingan
di atas, secara mudah dapat disimpulkan bahwa kode etik ACA
lebih komprehensif. Hal itu, wajar mengingat ACA telah
melakukan lima kali revisi secara periodik yaitu pada tahun
1974, 1981, 1988, 1995, dan 2005. Sementara kode etik ABKIN
dalam kurun waktu dua dasa warsa belum dilakukan revisi
secara menyeluruh. Pembahasan kode etik ABKIN terakhir
dalam konggres XII tahun 2013 di Denpasar Bali baru
mengakomodir ide-ide yang dianggap penting untuk
dilakukan revisi lebih lanjut.

D. Tujuan dan Fungsi Kode


Etik 1. Tujuan Etik Profesi16
a. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para
anggota
c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
d. Untuk meningkatkan mutu profesi

16 Op.cit., Ondi Saondi & Aris Suherman, 2010, h. 99

5
e. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
f. Untuk meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi
g. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin
erat
h. Menentukan baku standarnya sendiri
2. Fungsi
a. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi
tentang prinsip profesionalitas yang digariskan
b. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas
profesi yang bersangkutan
c. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi
tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika
profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang.
Tujuan kode etik American Counseling association (ACA)
2005, yaitu17:
1. Untuk menjelaskan kepada anggota saat ini, calon anggota
masa depan dan mereka yang mendapat layanan dari
anggota, sifat dari tanggung jawab etika yang secara umum
dianut oleh anggota ACA.
2. Untuk mendukung misi asosiasi
3. Menegakkan prinsip dan perilaku etika terbaik bagi anggota
asosiasi
4. Memberi pedoman dan mekanisme yang jelas dalam
memberi layanan profesi konseling yang berkualitas.
5. Memberi dasar acuan dalam memproses keluhan tentang etika
dan mengatasi permasalahan pelanggaran etika profesi.

Tugas:
1. Berdasarkan pengertian etika dan profesi dari beberapa
pendapat, buatlah kesimpulan arti etika profesi menurut
saudara!
2. Menurut saudara apa alasan utama perlunya kode etik
profesi? Jelaskan!

17 Kode Etik American Counseling Association, tahun 2005.

6
3. Bandingkan ruang lingkup Kode Etik Bimbingan dan
Konseling versi ABKIN dengan American Counseling
Association (ACA)! Mana yang lebih komprehensif? Beri
alasan saudara dan temukan kesesuaian di antara keduanya.
4. Dilihat dari tujuan adanya kode etik, nampak bahwa
orientasinya lebih dominan pada konselor, mengapa?
Adakah tujuan yang diorientasikan untuk konseli? Jika ada,
terdapat pada tujuan yang mana? Beri alasan?
5. Jelaskan maksud dan beri contoh praktek profesi yang
dilindungi kode etik dari intervensi pemerintah?
6. Beri contoh kasus konflik internal yang mengganggu
stabilitas profesi dan jelaskan penyebabnya!
7. Cari contoh kasus pengaduan (dugaan) malpraktik sebuah
profesi yang dapat dibantah karena kode etik profesi
tersebut telah mengaturnya!

7
BAB II

ASPEK ETIK DAN LEGAL KONSELING

A. Etik, Hukum dan Konseling


Konseling sejatinya merupakan hubungan membantu
(helping relationship) yang dilakukan oleh tenaga profesional
terlatih dalam bidang konseling. Proses konseling dibangun
dengan menciptakan hubungan komunikasi mendalam antara
klien (konseli) dan konselor. Hubungan mendalam dapat
tercipta secara bertahap terutama jika antara konselor dan
konseli belum saling kenal. Oleh karenanya, diperlukan
beberapa kali pertemuan untuk sampai pada hubungan
komunikasi yang mendalam.
Dalam prakteknya, hubungan membantu ini tidak selalu
berjalan mulus. Ada banyak persoalan, baik yang menyangkut
masalah etik maupun masalah hukum yang terkadang
keduanya tidak selalu sejalan. Sependapat dengan Gladding
bahwa etik dan hukum merupakan dua cara berfikir yang
berbeda. Dalam bukunya, Gladding menunjukkan bahwa
pengacara dan konselor cenderung dengan cara yang berbeda.
Ke dua profesi dalam spesialisasi tersebut menghabiskan
sebagian besar kehidupannya dalam dua budaya yang berbeda
dan mendasarkan praktik mereka pada cara pandang yang
unik. Untuk alasan inilah, ada “alasan kuat untuk
mempertimbangkan konseling dan sistem legal dari perspektif
lintas budaya” (Rowley & MacDonald, 2001, p.425). 18
Untuk melihat perbedaan cara berfikir ke dua profesi
tersebut, Gladding menyajikan perbedaan relatif dalam budaya
antara konseling dan hukum berikut.19

18 Loc. Cit. Gladding. h. 91


19 Ibid

8
Konseling
• Sistematis dan pemikiran linier
• Artistik, pengertian subyektif-obyektif
• Pertumbuhan, memperioritaskan terapi
• Fokus pada individu atau kelompok kecil
• Perioritas pada perubahan
• Relativitas, pengertian kontekstual
• Kooperatif, menekankan pada relasi
• Rekomendasi, menekankan konsultasi
• Berdasarkan etik, pengalaman, pendidikan
• Cara pandang deterministik atau yang tidak diketahui, atau
keduanya, diterima

Sedangkan cara berpikir Hukum


• Pemikiran linier
• Objektif, pengertian keadilan
• Permintaan, memprioritaskan perlindungan
• Fokus pada masyarakat
• Prioritas pada stabilitas
• Pengertian dikotomi normatif
• Dakwaan, menekankan pada fakta yang ditemukan
• Sanksi legal dan menekankan batasan
• Berdasarkan pemikiran legal
• Cara pandang deterministik

Agar sukses dalam menjalankan profesi konselor,


Gladding menyarankan menempuh beberapa cara berikut:20
1. Menjadi “lebih berpengetahuan dengan elemen-elemen
yang umum dalam kesehatan mental dan dalam hukum”
2. Mengerti dan mempersiapkan diri untuk bekerja dengan
elemen-elemen hukum tersebut yang berbeda dengan
budaya dengan kesehatan mental” seperti mencari
informasi dari konselor tanpa pemberitahuan yang layak.

20 Op. Cit., Gladding. h. 92

9
3. Meninjau kembali Kode etik profesi BK dan kode etik
relevan lainnya setiap tahun
4. Berpartisipasi dalam program pendidikan berkelanjutan
yang meninjau kembali hukum-hukum yang tepat untuk
konseling khusus.
5. Mempelajari kembali sistem legal termasuk “organisasi dan
publikasi yang mempertemukan kesehatan mental dengan
sistem legal” (misalnya, American Psychology-Law Society
News)
6. Membuat hubungan kolaborasi dengan pengacara, hakim
atau praktisi legal lainnya
7. Membangun hubungan dengan konselor yang lebih
mengetahui dunia hukum dan
8. Berkonsultasi atau menerima umpan balik atas keputusan
yang mungkin terjadi, ketika ada dilema etik-legal (Rowley
& MacDonald, 2001, pp.427-428).

B. Prinsip-prinsip Etis dalam Profesi Konseling


Konselor profesional akan memperhatikan kinerjanya untuk
selalu mengutamakan kesejahteraan konseli dan kepercayaan
masyarakat. Sistem nilai yang diyakini konselor merupakan
penentu dalam perilaku etis. Prinsip-prinsip etis yang didasarkan
kepada nilai-nilai sosial dalam profesi konseling antara lain21:
1. Tanggung jawab; konselor memiliki tanggung jawab untuk
melakukan performa dan standar layanan profesi yang
terbaik.
2. Kompetensi; konselor perlu memelihara standar kompetensi
profesi yang terbaik.
3. Standar moral dan legal; publik akan sangat peka terhadap
kualitas layanan yang diberikan para konselor.
4. Kerahasiaan; melindungi infomasi konseli dari pihak yang
tidak semestinya.
5. Kesejahteraan konseli; konselor menghormati dan melindungi

21 Aprilia, Imas Diana. (2005). Hubungan Konseling dan Batas-batas Pelaksana


Profesional Konselor. Makalah Program studi Bimbingan dan Konseling,
Pascasarjana UPI Bandung, h. 7, tidak diterbitkan.

10
kesejahteraan konseli. Konseli juga harus memiliki
kebebasan memilih untuk memperoleh kesejahteraannya.
6. Hubungan profesional; konselor harus memberikan hak,
kompetensi, dan kewajiban-kewajiban sejawat, profesional
lain dan organisasi profesi tempat mereka bernaung.
7. Penggunaan instrumen; konselor menggunakan instrumen
yang relevan untuk mengembangkan dan menggunakan
teknik-teknik pengukuran yang diarahkan untuk
kepentingan dan kesejahteraan konseli.
Remley & Herlhy, 2005; Wilcoxon et al., 2007 dalam
Gladding menuliskan lima prinsip etik yang berhubungan
dengan aktivitas dan pilihan etik konselor, yaitu:22
1. Benefience/perbuatan baik artinya melakukan yang baik
dan mencegah kerugian.
2. Nonmaleficence artinya tidak mengakibatkan kerugian/rasa
sakit.
3. Autonomy/otonom artinya memberikan kebebasan dalam
memilih dan pengambilan keputusan sendiri.
4. Justice/adil.
5. Fidelity/kesetiaan artinya berpegang teguh pada komitmen.

C. Batas-batas Kewenangan Profesi Konselor


Dalam literatur konseling masih sedikit pembahasan
tentang topik batas-batas profesional (professional boundaries).
Kalaupun ada, kesimpulan-kesimpulan yang diambil
kebanyakan berdasarkan catatan anekdot dan opini pribadi
konselor. Upaya untuk melakukan eksplorasi terhadap topik
ini sering terdistorsi karena persoalan batas-batas profesional
sangat kompleks dan kadang tidak jelas, karena tergantung
pada kesadaran konselor apakah perilakunya bersifat
membantu atau tidak. Ketika keseimbangan perilaku konselor
terganggu, maka hubungan menjadi terdistorsi dan bersamaan
dengan itu persoalan batas-batas kewenangan konselor
(boudaries) menjadi isu yang mengemuka.

22 Op.Cit. Gladding, 2012:72

11
Batas profesional terkait dengan pemberian layanan
profesional dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dituntut
untuk bersikap responsif terhadap masalah batas tersebut.
Menurut Freud, kalangan psikoterapis perlu merespon
perasaan yang diproyeksikan konseli dengan perspektif ”tabula
rasa” atau ”blank state”. Isu-isu yang terkait dengan batas-
batas profesional seperti kerahasiaan, hegemoni politik, dan
tekanan kemasyarakatan merupakan hal yang sangat penting
untuk disorot. Namun ketika hal ini muncul selalu saja ada
debat panjang dan perubahan perspektif terhadap hak individu
di satu pihak dan hak masyarakat di lain pihak. Oleh karena
itu, keberadaan konvensi, aturan main dan hukum sangat
penting untuk merespon persoalan batas-batas profesional.
Hubungan profesional merupakan ”fiduciary contract”
dalam arti konseli menginvestasikan kepercayaannya kepada
konselor, namun kedua belah pihak tetap memiliki tugas dan
tanggung jawab masing-masing. Mempertahankan batas
profesional selalu menjadi hal yang sulit dalam hubungan
membantu (helping relationship). Berikut ini beberapa contoh
bentuk pelanggaran terhadap batas profesional yang dijumpai
dalam buku ”The Secret Ring: Freud inner Circle and Politics of
Psychoanalysis” dan buku yang berjudul ”A Dangerous
Method”. Dalam buku itu dipaparkan berbagai bentuk perilaku
terapis yang bersinggungan dengan isu-isu batas profesional.
Sebagai contoh adalah Melanie Klein-pakar yang berorientasi
psikoanalisis, meminta kliennya untuk berlibur bersama dan
memberikan terapi sambil tiduran di kamar hotel; atau Ernes
Jones yang menggunakan anggota keluarganya sendiri sebagai
unit analisis ketika mengembangkan teori stress. Tidak kalah
fenomenal adalah Sigmund Freud menganalisis perilaku
anaknya sendiri yang bernama Anna Freud yang belakangan
diungkapkan oleh anaknya bahwa dirinya merasa dieksploitasi
ketika memperoleh terapi dari orang tuanya23.
Selain itu ada beberapa pakar juga memiliki hubungan
23 Schoener R. Gary, (1997). Boudaries in Professional Relationship. Makalah pada
konferensi Norwegian Psychological Association.

12
romantik atau keterlibatan seksual dengan bekas kliennya.
Misalnya Carl jung yang terlibat hubungan asmara dengan
mahasiswanya yang bernama Sabina Spielrein ketika ia
mengalami gangguan emosional dan Kren Horney memiliki
hubungan seksual dengan salah seorang kliennya yang
bernama Leon Soul, Otto Rank dengan bekas pasiennya24.
Dalam beberapa kode etik, istilah ”dual relationship” atau
multiple realtionship, berpotensi untuk diselewengkan menjadi
keintiman yang tidak pada tempatnya. Sonne (1994)
mengemukakan bahwa kode etik Asosiasi Psikologi Amerika
belum memberikan makna yang jelas tentang ”multiple
relationship” dan ekses negatifnya. Bagaimananpun kontak
dengan klien di luar hubungan psikoterapi tidak dapat dibatasi
sehingga potensial terjadinya konflik kepentingan dan merusak
hubungan profesional. Dengan kata lain terjadi ”overlapping
relationship” antara konselor dan konseli sulit dihindari.
Penelitian yang dilakukan Borys (1988) tentang
”boundaries issues” yang pengumpulan datanya menggunakan
instrumen ”social scale involvement” menunjukkan bahwa 40
dari 44 terapis melakukan pelanggaran berbentuk ”post
termination sexual relationship” dan jika diklasifikasikan
sebanyak 55% masuk kategori erotik dan 79,4% bersifat non
erotik, termasuk diantaranya adalah (a) menjadi sahabat klien
setelah terapi berakhir, (b) menceritakan stress pribadi kepada
klien, (c) mengundang klien ke kantor atau klinik, (d) makan di
luar bersama klien setelah sesi terapi, dan (e) mengundang
klien ke pesta pribadi atau acara sosial.
Isu lain yang berkaitan dengan batas-batas profesional
adalah keterbukaan diri yang eksesif. Keterbukaan diri yang
eksesif merupakan jalan bagi terjadinya hubungan seksual
terapis dan klien. Bentuk keterbukaan yang eksesif adalah (a)
terapis menceritakan tentang kebutuhan dan masalahnya,
(b) keterbukaan diri yang tidak wajar selama sesi terapi, (c)
menceritakan hal yang tidak terkait dengan masalah klien,

24 Op. Cit., Aprilia, D. Imas. (2005). h. 10.

13
(d) bercerita tentang diri begitu lama dan (e) keterbukaan diri
sebagai bentuk romantisme25.

D. Problem Etik dan Hukum dalam Konseling


Diakui bahwa kajian hukum dalam layanan konseling di
bangku kuliah nyaris tidak tersentuh sehingga tidak heran jika
sebagian besar konselor muda dan sebagian praktisi bimbingan
dan konseling sangat awam pemahaman aspek legal hubungan
konseling. Padahal profesi ini juga diatur oleh standar legal.
Legal menunjuk pada ”hukum atau keadaan yang sesuai
dengan hukum,” dan hukum menunjuk pada ”seperangkat
aturan yang diakui oleh negara”. Meskipun diakui tidak ada
bentuk hukum yang umum , yang memayungi profesi pemberi
bantuan26. Namun, ada beberapa keputusan pengadilan dan
undang-undang yang mempengaruhi opini legal dalam
konseling dan konselor harus terus memperbaharuinya.
Contoh kasus Napa County, California 1993 yang
melibatkan Gary Ramona adalah salah satu keputusan legal
semacam itu. Pada persidangan yang banyak dipublikasikan,
Ramona menggugat terapis anak perempuannya, karena
dianggap telah ”menanamkan memori yang salah tentang
pelecehan seksual dalam pikiran anak perempuannya”27.
Persidangan dimenangkan Ramona dan ia mendapat ganti rugi
setelah hakim memutuskan bahwa terapis tersebut lalai karena
memperkuat memori yang salah pada anak perempuannya.
Opini legal yang menjadi dasar keputusan kasus ini adalah
kewajiban memberi perawatan-kewajiban legal bagi tenaga
kesehatan agar tidak melakukan kelalaian.
Kasus legal penting lainnya ialah keputusan Mahkamah
Agung Amerika Serikat dalam kasus Jaffee vs Redmond yang
menyatakan bahwa komunikasi antara psikoterapis berlisensi dan
pasiennya adalah hak istimewa dan tidak harus diungkapkan

25 Op.cit., Schoener R. Gary, (1997)


26 Van Hoose & Kotler, 1985, p. 45 dalam Gladding, 2012, h. 83.
27 Buttler, 1994, p.10 dalam Gladding, 2012, h. 83.

14
dalam pengadilan28. Efek kasus ini dalam konseling bahwa telah
dibuat preseden hukum mengenai kerahasiaan antara klinis
dengan kliennya. Kasus ini juga mengundang perhatian positif
terhadap pelayanan kesehatan mental termasuk konseling.
Kasus legal ketiga yang mempengaruhi konselor adalah
Amicus Curiae Brief yang diperdebatkan sebelum keputusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat 1997. Laporan singkat ini
berisi masalah kesehatan mental yang berhubungan dengan
”bantuan bunuh diri medis”29. Dalam pengadilan ini , ACA
bergabung dengan beberapa kelompok kesehatan mental
lainnya untu melindungi hak-hak konselor dan spesialis lain
dalam kaitannya dengan membantu kematian seseorang,
khususnya melindungi si penderita, orang-orang lain yang
berarti baginya dan masyarakat keseluruhan dari masalah yang
mungkin terjadi sehubungan dengan kematian yang disengaja.
Itu tiga contoh kasus terkait dengan aspek legal layanan
bantuan, termasuk layanan konseling.
Berbeda dengan di Amerika, kasus sejenis atau kasus
pelanggaran kode etik bimbingan dan konseling sampai saat ini
di Indonesia -dalam pengetahuan penulis- belum ditemukan
ada yang disidangkan ke pengadilan. Namun hal itu tidak
berarti tidak ada pelanggaran kode etik oleh para praktisi
layanan konseling baik dalam seting pendidikan maupun
dalam seting komunitas (kemasyarakatan). Sebagai contoh
pelanggaran kode etik konselor sekolah (guru BK) yang
memanfaatkan konselinya untuk memperoleh sejumlah uang
dengan modus pinjaman pribadi. Jika pinjam uang dilakukan
konselor kepada orang yang tidak sedang ditangani kasusnya,
tentu tidak masuk dalam pelanggaran kode etik.
Kaitan hukum dan konseling tidak hanya berurusan dengan
penanganan atau tindakan atas dugaan pelanggaran kode etik
atau malpraktek tetapi juga perlu untuk mendapat lisensi dan
sertifikasi. Stude & McKelvey, 1979 dalam Gladding menyatakan
dalam banyak kasus, hukum ”biasanya membantu atau netral”
28 Remley, Herlihy & Herlihy, 1997 dalam Gladding, 2012, h.83.
29 Werth & Gordon, 2002 dalam Gladding, 2012. H. 83.

15
terhadap kode etik profesional dan konseling secara umum.
Hukum mendukung lisensi atau sertifikasi untuk konselor
sebagai piranti yang menjamin bahwa orang yang memasuki
profesi tersebut sudah mencapai sekurang-kurangnya standar
minimal. Selain itu juga mendukung ”kerahasiaan pernyataan
dan rekaman yang diberikan oleh konseli selama terapi”30.
Pada pertemuan tentang masalah (issue) etik dan legal dalam
konseling akhir-akhir ini diungkapkan ketertarikan sekaligus
kecemasan yang besar sekitar isu-isu yang berhubungan dengan
gangguan konseli secara potensial. Kebanyakan konselor
mengekpresikan ketakutan akan perkara hukum dan sangat
peduli tentang apa arti sebenarnya dalam pembahasan tentang
“exercising sound professional judgment”. Tiga dari peserta
konferensi menjadi peduli dan beberapa konselor lain sangat
khawatir tentang perlindungan diri mereka dan bukan tentang
kesejahteraan konselinya. Meskipun para konselor benar-benar
ingin melindungi diri mereka sendiri secara resmi, kita berharap
bahwa mereka tidak membiarkan masalah ini melemahkan
mereka dan menganggap mereka tidak berguna. Idealnya,
konselor secara sinergi melakukan upaya melindungi diri dengan
menjaga integritas kinerja profesi di satu sisi dan menjaga
kesejahteraan konseli di sisi yang lain, tentu bukan hal mudah.
Upaya demikian, akan meminimalisir resiko-resiko yang tidak
diinginkan.
Sementara upaya meminimalisir resiko, para profesional
hendaknya menyadari bahwa konseling merupakan perbuatan
yang mengandung resiko. Caranya mereka harus memahami
peraturan tentang komunikasi khusus serta harus mengetahui
apa yang mereka bisa dan tidak bisa lakukan secara legal dan
etis.

30 Op.Cit., Gladding, h. 83

16
Bahan diskusi : Mitos atau Ilmu

”Orang-orang yang Etis Jangan melakukan


Hal-hal yang Tidak Etis”
Pernyataan ini adalah yang paling benar. Orang dengan
standar etika yang tinggi mungkin kurang terlibat dalam
praktik-praktik tidak etis, bahkan dalam organisasi-organisasi
atau situasi-situasi di mana ada tekanan yang kuat untuk
menyepakati.
Isu penting yang dikemukakan dalam pernyataan ini
adalah apakah perilaku etis lebih merupakan fungsi dari konteks
individual atau situasional. Bukti menunjukkan bahwa orang
dengan prinsip-prinsip etis yang tinggi akan mengikuti mereka
lepas dari apa yang orang lain lakukan atau nyatakan tentang
norma-norma organisasi.31 Namun bila pengembangan moral
dan etis seseorang tidak pada level tertinggi, dia lebih mungkin
untuk dipengaruhi oleh budaya yang kuat. Hal ini benar bahkan
ketika budaya-budaya tersebut mendorong praktik-praktik yang
dapat dipertanyakan.32
Mengingat orang-orang etis pada dasarnya mencegah
praktik-praktik yang tidak etis, maka pimpinan lembaga/biro
layanan konseling hendaknya selektif dalam merekrut calon-
calon konselor dengan memperhatikan standar etis mereka.
Dengan mencari calon konselor yang memiliki integritas dan
prinsip-prinsip etis yang kuat, maka kemungkinan-
kemungkinan konselor melakukan tindakan tidak etis dapat
diminimalisir. Selain itu, praktik-praktik tidak etis dapat
diminimalisir lebih lanjut dengan menciptakan satu iklim
kerja yang mendukung.33

31 L. kohlberg, “Stage and Sequence: The Cognitive-Developmental Approach to


Socialization,” in D.A. Goslin (ed.), Handbook of Socialization Theory and
Research. Chicago:Rand McNally, 1969, pp.347-480.
32 Robbins, P. Stephen, Organizational Behavior. New Jersey:Printice-Hall, Inc. 2001
33 B. Victor and J.B. Cullen, “The Organizational Bases of Ethical Work Climates,”
Administrative Science Quarterly, March 1988, pp.101-125

17
BAB III

MENGAMBIL KEPUTUSAN ETIK


DALAM KONSELING

A. Isu-Isu Etik dalam Konseling


Beberapa isu etik dalam konseling telah lama dibicarakan
para pakar konseling seperti Cavanagh (1982), Gerald Corey
(1988), Tim Bond (2000), Geldard & Geldard (2005), Gibson
& Mitchell (2008), Gladding (2009).Cavanagh menuliskan ada
empat isu etik yang harus diperhatikan konselor yaitu
(1) tanggungjawab etik profesional (the ethics of professional
responsibility); (2) kerahasiaan (confidentiality); (3) memberi
informasi (imparting information); dan (4) pengaruh konselor (the
influence of the counselor)34.Tiga masalah etik yang hampir sama
dikemukakan oleh Gerald Corey, yaitu (1) tanggung jawab
terapis, (2) kerahasiaan, (3) pengaruh kepribadian dan
kebutuhan-kebutuhan terapis/konselor. Corey, menuliskan
tiga masalah etik lainnya yang berbeda dengan Cavanagh yaitu
(1) kompetensi terapis, (2) hubungan terapis, (3) nilai-nilai dan
filsafat hidup terapis/konselor.35
Sementara Tim Bond menuliskan lima dilema legal dan
etik dalam konseling, yaitu: (1) kemampuan, pengawasan dan
kepercayaan (power, control and trust); (2) perjanjian antara
konselor dan konseli (contracting); (3)kerahasiaan informasi dan
data konseli(confidentiality), (4) konseli niat bunuh diri (suicidal
intent) dan (5) bahaya atau mengancam jiwa orang lain (danger
to others)36.

34 Cavanagh, E. Michael. (1982). The Counseling Experience: A Theoretical and


Practical Approach. California : Wodsworth, Inc.h. 343
35 Corey, Geral., (1988) Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, judul asli
Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, penerjemah E. Koeswara.
Badung: PT Refika aditama. H. 366-394.
36 Tim Bond. (2000). Handbook of Counselling ang Psychotherapy, edited by Colin
Feltman and Lan Horton, London : Sage Publications. h : 235-241

18
Nampak bahwa isu-isu etik dalam konseling ini makin lama
makin kompleks. Seperti yang dikemukakan Geldard & Geldard
ada delapan isu etik bagi konselor yaitu : (1) penghargaan
terhadap konseli, (2) batasan-batasan dalam hubungan konselor
dan konseli, (3) tanggung jawab konselor, (4) kompetensi
konselor, (5) rujukan, (6) penghentian konseling, (7) kewajiban-
kewajiban hukum, dan (8) promosi diri.37 Sedangkan Gibson &
Mitchell menuliskan isu-isu etik dalam konseling dalam tiga hal
yaitu: (1) kompetensi, (2) kerahasiaan dan komunikasi pribadi,
(3) hubungan pribadi dengan konseli38. Isu etik paling mutahir
ditulis Gladding. Ia menuliskan sebelas tingkah laku tidak etis
yang paling sering terjadi dalam konseling (ACA, 2005; Herlihy
& Corey, 2006):
1. Pelanggaran kepercayaan
2. Melampaui tingkat kompetensi profesional
3. Kelalaian dalam praktik
4. Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki
5. Memaksakan nilai-nilai konselor pada konseli
6. Membuat konseli bergantung
7. Melakukan aktivitas seksual dengan konseli
8. Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran
konselor bercampur dengan hubungan lainnya, baik
hubungan pribadi atau hubungan profesional (Moleski &
Kiselica, 2005)
9. Persetujuan finansial yang kurang jelas seperti mengenakan
bayaran tambahan
10. Pengiklanan yang tidak pantas
11. Plagiarisme39

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan ada


tujuh kesamaan isu etik yang dikemukakan para pakar
37 Geldard, Kathryn & Geldard, David. (2005). Keterampilan Praktik Konseling
: Pendekatan Integratif, judul asli Practical Counselling Skills : An Integrative
Approach. Alih bahasa Eva Hamidah, S.S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h : 385
38 Gibson & Mitchell. (2008). Introduction to Counseling and Guidance. New Jersey:
Pearson Prentice Hall.
39 Op. Cit., Gladding. h. 67

19
tersebut, yakni isu (1) tanggung jawab profesional konselor,
(2) kerahasiaan, (3) kemampuan atau kompetensi konselor, (4)
batas hubungan konselor dan konseli, (5) pengaruh konselor
(6) perjanjian konselor dan konseli, serta (7) promosi diri.
Untuk melihat persamaan dan perbedaan isu-isu etik yang
dikemukakan para ahli di atas, baca tabel lampiran 1.
Hemat penulis, isu utama dari isu etik ini yaitu rendahnya
tangung jawab profesional konselor. Isu-isu lainnya hanya
merupakan akibat dari isu utama tersebut. Isu kerahasiaan
seperti memberi informasi pada pihak yang tidak berkompeten
dapat dicegah jika konselor memiliki tanggung jawab profesi
yang tinggi. Begitupun isu kemampuan atau kompetensi
konselor seperti memberi layanan konseling di luar bidang
keahlian, ia akan melimpahkan konseli pada pihak yang lebih
berkompeten, dan seterusnya. Penulis juga menduga ke tujuh
isu tersebut paling sering dihadapi konselor dalam praktik
konseling atau boleh jadi paling sering dilanggar seperti yang
dikemukakan Gladding di atas.
Dalam buku ini, penulis mencoba menguraikan empat isu
etik yang paling sering terjadi, yaitu:

1. Tanggung jawab Profesional


Sebagai profesional, konselor mempunyai sekurang-
kurangnya tujuh tanggung jawab yaitu (1) tanggung jawab
terhadap konseli, (2) atasan atau pimpinan tempat konselor
bekerja, (3) organisasi profesinya, (4) masyarakat, (5) orang
tua/ keluarga konseli, (6) diri sendiri dan (7) Tuhan. Dalam
memenuhi ke tujuh tanggung jawab tersebut, konselor sering
mengalami konflik. Akibatnya, konselor menjadi ragu dalam
mengambil sebuah keputusan. Jika hal itu terjadi, konselor
dapat berkonsultasi pada teman sejawat (konselor) yang lebih
berpengalaman.
Dari tujuh tanggung jawab profesional konselor, mana yang
paling utama harus dipenuhi konselor? Menjawab pertanyaan ini
tentu tidak mudah, sebab ke lima tanggung jawab tersebut harus
dipenuhi secara simultan, artinya pada saat yang sama ke

20
tujuh tanggung jawab tersebut menjadi dasar pertimbangan
etik konselor dalam membuat keputusan.
Konselor harus berhati-hati dalam mengemban ke tujuh
tanggung jawab tersebut. Sebab sering kali keputusan-
keputusan tersebut tidak seperti memilih antara hitam dan
putih, tetapi antara beragam tingkatan warna kelabu yang
kadang-kadang konselor menemui kesulitan dalam
menentukan pilihan terbaik untuk jangka panjang. Untuk itu,
dianjurkan sebelum memulai konseling, hendaknya konselor
menjelaskan beberapa pertimbangan etik dan batas-batas
dalam layanan konseling. Seperti yang dikemukakan Gerdard
& Geldard tentang rambu-rambu dalam memenuhi kebutuhan
konseli agar konseling sesuai dengan standar kode etik, yakni:
1) Tidak bertentangan dengan kebijakan-kebijakan organisasi
tempat konselor bekerja;
2) Tidak melanggar hukum;
3) Tidak membahayakan anggota masyarakat lainnya; atau
4) Tidak mungkin bagi konselor sendiri40.

2. Kompetensi
J.P. Chaplin mengartikan kompetensi, kecakapan,
kemampuan, wewenang terjemah dari kata competence yang
artinya kelayakan kemampuan atau pelatihan untuk melakukan
satu tugas41. Dari pengertian di atas, terdapat dua makna yaitu
(1) kecakapan atau kemampuan dan (2) wewenang. Makna
pertama merujuk pada ’pra syarat’ atau memenuhi syarat
(qualify), sedangkan makna kedua yaitu (1) hak dan kekuasaan
untuk bertindak; kewenangan dan (2) kekuasaan membuat
keputusan dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.42
Dengan demikian, kompetensi mempunyai dua arti yang berbeda
namun saling terkait. Artinya, sebelum mengemban tugas
konselor hendaknya telah mememuhi kualifikasi akademik
40 Op.Cit Geldard& Geldard, h. 389.
41 Chaplin, J.P., (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Judul asli Dictionary of Psychology
diterjemahkan Kartini Kartono, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 99
42 (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, h.1272

21
dan profesional dan ketika mengemban tugas, seorang konselor
hendaknya bekerja sesuai dengan kualifikasi tersebut.
Isu etik kompetensi muncul ketika konselor menerima
sebuah posisi sebagai konselor profesional, apakah ia
mempunyai kualifikasi sesuai dengan pendidikan, pelatihan
dan pengalaman untuk mengemban posisi tersebut. Untukitu,
sejak awal konselor tidak boleh memaksakan dirinya
menempati posisi tersebut jika ia tidak berminat atau tidak
mempunyai kualifikasi.43 Contoh, bagi konselor pemula yang
belum berpengalaman dan atau tidak berminat memberi
layanan konseling perkawinan hendaknya mempertimbangkan
secara matang ketika mendapat tugas tersebut. Dalam hal ini
sangat penting, konselor berterus terang kepada konseli dan
menawarkan layanan rujukan kepada konselor lain yang
berpengalaman dalam bidang konseling perkawinan.
Bersikap terus terang terhadap keterbatasan profesional dan
pribadi bukan perkara mudah. Sikap tersebut hanya muncul pada
konselor yang mempunyai tanggung jawab profesional yang
tinggi dan komitmen yang kuat untuk menempatkan
kesejahteraan konseli di atas kepentingan lembaga dan pribadi.
Imbalan materi seperti menerima pembayaran atas jasa layanan
konseling bagi lembaga dan atau pribadi konselor hendaknya
tidak mengabaikan kesejahteraan konseli.Pertimbangan etik ini
penting, seiring dengan berkembang pesat kebutuhan layanan
konseling seting kemasyarakatan saat ini yang memungkinkan
munculnya beragam layanan konseling di satu sisi, dan masih
minimnya ketersediaan konselor profesional yang memiliki
banyak keahlian atau konselor spesialis.
Lebih lanjut Gibson dan Mitchell menjelaskan bahwa dalam
kerjanya, konselor bertanggungjawab secara profesional untuk
berpraktik dalam batas-batas kemampuannya. Memang tidak
mudah menentukan batas-batas kompetensi konselor, namun
pelatihan dan pengalaman dapat menyediakan sebuah garis
pedoman yang bermanfaat untuk mengindikasikan apakah

43 Op. Cit., Gibson & Mitchell. (2008), h. 624

22
konselor mempunyai kualifikasi atau tidak. Berkonsultasi pada
superviser dan atau kolega profesional yang lebih
berpengalaman dapat membantu konselor mengidentifikasikan
batas-batas kompetensi profesionalnya.44
Gelar, lisensi dan sertifikat memang dapat memberi tahu
taraf kompetensi konselor pada publik, namun dalam praktik
aktualnya, konselor harus menyadari variasi dalam kompetensi di
antara praktisi dengan kredensial yang sama. Seperti biasanya,
menjadi tanggungjawab konselor profesional untuk terus
memperbaharui kompetensinya lewat partisipasi di berbagai
kesempatan pendidikan profesional, membaca literatur
profesional dan menghadiri pertemuan-pertemuan profesional.

3. Kerahasiaan
Dari empat pakar konseling yang ada dalam buku ini,
Cavanagh(1982) merupakan orang pertama yang membahas
kerahasiaan sebagai salah satu isu etik dalam konseling. Ia
menyatakan kerahasiaan atau confidentiality merupakan sebuah
isu etik yang sangat kompleks bagi konselor45. Pakar berikutnya
Corey (1988), Tim Bond (2000), dan Gibson & Mitchell (2008)
membahas isu ini. Nampak jelas bahwa isu kerahasiaan telah
menjadi isu etik yang krusial dalam konseling lebih dari
seperempat abad terakhir.
Pertanyaannya, apa itu kerahasiaan? Siegel (1979)
mendefinisikan sebagai berikut: “Kerahasiaan melibatkan etika
profesional daripada keabsahan dan menunjukkan janji atau
kontrak tersirat untuk tidak menampakkan apapun tentang
pengecualian individu di bawah kondisi yang disepakati dengan
sumber atau subjek “ (p.251). Sementara menurut Ruebhasen dan
Brim (Caroll,1985) konfidensial berhubungan dengan
pengendalian informasi yang diterima dari seseorang. Sebuah
informasi dikatakan konfidential jika dianggap tidak perlu dan
seharusnya tidak disampaikan ke pihak lain atau publik.

44 Ibid
45 Loc. Cit., Cavanagh, h. 346

23
Sebagaimana definisi di atas, maka ada pengecualian atau
batasan-batasan kerahasiaan. Schneiders dalam Latipun berpendapat
bahwa kewajiban konfidensial itu relatif karena di antaranya faktor
bahan yang dibicarakan ada beberapa keadaan. Pertama, di antara
informasi-informasi yang diungkapkan oleh klien itu ada yang telah
menjadi informasi publik atau dapat secara mudah menjadi
informasi publik. Untuk bahan yang seperti inikonselor tidak
mungkin menghentikan informasi-informasi itu, meskipun dia
sendiri tidak terlibat dalam menyebarluaskan informasi itu. Kedua,
bahan informasi yang dianggap konfidensial itu mungkin diperlukan
bagi petugas profesional yang lain yang menerima klien karena
direferal dari konselor.46
Begitu krusialnya isu kerahasiaan dalam konseling,
sehingga isu ini mendapat perhatian serius para pakar dan
praktisi bimbingan dan konseling di Indonesia dengan
menjadikannya sebagai asas utama dan pertama dalam layanan
bimbingan dan konseling.47 Pertanyaan selanjutnya, apakah
kerahasiaan ini berlaku mutlak? Gibson dan Mitchell menjawab
berikut: ”Kepercayaan adalah pondasi esensial dalam hubungan
konseling, dan yang menjadi pusat bagi pengembangan dan
pemeliharaan kepercayaan ini adalah prinsip kerahasiaan.
Namun, kewajiban konselor mempertahankan kerahasiaan dalam
hubungan mereka dengan konseli tidak mutlak, karena itu
konselor perlu menyadari garis pedoman etik dan hukum yang
berlaku.48 Pendapat yang sama dikemukakan Shah (1969, 1970), ia
menyatakan bahwa para terapis memiliki kewajiban moral, etika
dan profesional untuk tidak memberitahukan informasi tanpa
sepengetahuan & kewenangan klien.
Kode etik American Counseling Association (ACA) dan
46 Latipun (2001). Psikologi Konseling. malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, h. 215
47 (2004). Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan Konseling, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional-Direktorat Pendidikan lanjutan Pertama dan
Menengah , h. 9; dan pada Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007). Jakarta: Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan- Departemen
Pendidikan Nasional h.204
48 Loc. Cit Gibson & Mitchell, h. 625

24
American Psychological Association (APA) mengizinkan
konselor melanggar kerahasiaan jika dibutuhkan untuk
melindungi hidup konseli yang ingin bunuh diri49. Gibson &
Mitchell telah menghimpun banyak pengecualian kerahasiaan
yang dikutip dari beberapa ahli berikut. Arthur dan Swanson
(1993, hlm.20-21) mengembangkan sejumlah pengecualian yang
diuraikan Bissel dan Royce (1992) sebagai prinsip etik
kerahasiaan berikut:50
1. Konseli berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Hukum meletakan keamanan fisik diatas aturan
kerahasiaan atau hak privasi apa pun. Perlindungan
individu memerlukan sejumlah preseden dan mengandung
kewajiban untuk memberikan pengertian.
2. Konseli meminta pelepasan informasi.
Privasi milik klien, namun bisa dilepaskan. Konselor harus
melepaskan informasi kalau klien meminta.
3. Perintah pengadilan untuk melepaskan informasi.
Tanggung jawab di dalam hukum bagi konselor untuk
mempertahankan kerahasiaan ketika diketahui kalau materi
sesi akan digunakan selama supervisi.
4. Konselor menerima supervisi klinis dan sistematis.
Klien harus menyerahkan haknya akan kerahasiaan kalau
diketahui materi sesi konselingnya akan digunakan sebagai
bahan kajian supervisi.
5. Bantuan administrasi untuk memproses informasi dan
berkas-berkas yang terkait dengan konseli.
Klien mustinya diberitahu kalau personil administrasi
memiliki akses untuk merekam semua problem rutin seperti
tagihan pembayaran dan pemberkasan rekaman konseling.
6. Konsultasi legal dan klinis yang dibutuhkan.
Sekali lagi klien mustinya diberitahu tentang hak-haknya
(etik) untuk memperoleh opini profesional yang lain tentang
kemajuan dan nama-nama yang digunakan sebagai
konsultan.
49 Ibid
50 ibid

25
7. Konseli memiliki sejumlah problem dalam kesehatan mental
mereka terkait hukum.
Dalam hak pengasuhan contohnya, kondisi mental suami
istri mesti diberitahu untuk membantu pengadilan
memutuskan siapa dari mereka yang berhak atasnya.
8. Pihak ketiga hadir di sesi konseling.
Klien mesti menyadari ada orang ketiga selain konselor
yang hadir karena itu melepaskan hak privasi mereka
dengan mengizinkan pihak tersebut hadir.
9. Konseli di bawah usia 18 tahun.
Orang tua atau wali memliki hak hukum untuk
berkomunikasi dengan dan mendengarkan informasi
rahasia yang dikomunikasikan antara klien dan konselor.
10. Berbagi informasi intra-lembaga atau intra-institusi sebagai
bagian proses penanganan.
Materi rahasia bisa dibagikan kepada profesional lain yang
ikut bertugas menangani klien, namun klien harus tahu
siapa mereka, apa tugasnya, apa batas wewenangnya dan
apa tujuan atau hasil yang akan dicapai dengan pembagian
informasi tersebut.
11. Berbagi informasi dengan sistem pengadilan terkait putusan
hukuman.
Informasi yang diperoleh dari narapidana yang dianggap
rahasia boleh dibuka berdasarkan pengoperasian sistem
peradilan dan disposisi kasus yang lebih tepat.
12. Tujuan konseli membuka informasi adalah mencari nasihat
lebih jauh terkait kasus kriminal.
Kewajiban ini terkait dengan perlindungan masyarakat dari
aktivitas kriminalitas apapun yang aktual atau masih
dugaan akan beroperasi demikian.
13. Konselor menduga akan terjadi tindak penganiayaan
terhadap anak, wanita, lansia, individu cacat, minoritas atau
pihak lain yang lemah.
Semua negara bagian sekarang mendukung semua
pelaporan terhadap dugaan semacam itu.

26
Remley dan Herlihy dalam Gibson & Mitchell
menyebutkan sejumlah pengecualian bagi kerahasiaan dan
keprivasian komunikasi, seperti berikut:51
1. Berbagi informasi dengan bawahan atau rekan profesinal
diizinkan di dalam situasi-situasi berikut:
• Bantuan administratif atau yang lain untuk menangani
informasi rahasia.
• Konselor berkonsultasi dengan kolega, supervisor atau
profesional ahli.
• Konselor bekerja dibawah supervisi atau penelitian.
• Profesional lain turut terlibat dalam pengoorganisasian
penanganan klien.
2. Melindungi seseorang yang berada dalam bahaya
memerlukan pembukaan informasi rahasia ketika situasi
berikut :
• Konselor menduga terjadi atau akan terjadi tindak
kekerasan, aniaya atau pengabaian terhadap anak atau
individu lain yang berada di bawah pengasuhanya.
• Klien memiliki potensi sikap atau tindakan yang
membahayakan orang lain.
• Klien memiliki potensi sikap atau tindakan yang
membahayakan dirinya sendiri.
• Klien memiliki penyakit menular atau mematikan, dan
sikap, tindakan atau perilaku klien dapat
membahayakan kesehatan orang lain.
3. Kerahasiaan terpaksa dikompromikan ketika melakukan
konseling dengan banyak klien seperti:
• Konseling kelompok kelompok.
• Konseling pasangan.
• Konseling keluarga.
4. Ada kerahasiaan dan komunikasi pribadi yang unik ketika
bekerja dengan klien minoritas, yaitu.
• Penggunaan terjemah profesional untuk membantu
komunikasi.

51 Loc. Cit., Gibson & Mitchell,h. 387

27
•Meminta staf profesional terkait keunikan budaya,
bahasa dan sistem nilai populasi minoritas.
• Penggunaan bantuan hukum yang mungkin dibutuhkan
klien minoritas.
5. Beberapa pengecualian yang dimandatkan hukum seperti:
• Pembukaan informasi berdasarkan perintah pengadilan.
• Klien mengeluh tentang sikap atau tindakan tidak etis
konseling.
• Klien mengalami kerugian emosi atau yang lain dari
proses konseling.
• Komitmen klien untuk melanjutkan konseling dicabut.
Sedangkan Cottone dan Tarvydas ( 2007- hal. 59) dalam
Gibson & Mitchell juga membahas pengecualian bagi
kerahasiaan sebagai berikut:52
Kewajiban etik konselor untuk memastikan klien akan
kerahasiaan dan hak hukumnya adalah dasar bagi praktik
konseling. Beragamnya kondisi konseling di wilayah khusus
praktik membuat problem kerahasiaan dan privasi
mengekpresikan taraf yang berbeda beeda di situasi-situasi
tersebut.Kondisikhususyangberkaitandengankerahasiaan
dan privilese ini mencakup konseling bagi individu yang
terkena HIV atau AIDS, problem-problem keluarga atau
pasangan, individu cacat, problem kelompok, dan klien di
fasilitas penanganan narkoba dan alkohol. Peningkatan yang
cepat dan penggunaan yang luas piranti elektronik dan
teknologi lainnya dalam konseling juga menciptakan
problem yang menantang bagi upaya mempertahankan
kerahasiaan klien.
Beberapa batasan kerahasiaan hubungan konseling harus
dijelaskan di awal. Hal ini akan lebih baik khususnya bagi konseli,
konselor, dan lembaga penyedia jasa layanan konseling. Jika
konseli diinformasikan tentang kondisi-kondisi yang mana
kerahasiaan bisa dikompromikan, mereka berada di posisi yang
lebih baik untuk memutuskan sebelum memasuki konseling.
52 Ibid

28
Selain beberapa pengecualian kerahasiaan di atas, masih
ada isu etik kerahasiaan lain terkait dengan situasi konseling
khusus seperti dilema etik konseling di sekolah, konseling dengan
menggunakan komputer untuk mentransmisikan informasi antar
konselor profesional, konseling perkawinan/keluarga dan
konseling lansia, hubungan multipel, bekerja dengan konselor
yang tidak etis53. Dalam seting konseling khusus tersebut, masalah
kerahasiaan juga masuk dalam pengecualian.

4. Batasan dalam Hubungan antara Konselor dan Konseli


Dalam Kode Etik ACA (2005) hubungan konseling
ditempatkan pada bagian pertama dari delapan bagian isi Kode
Etik. Penulis berpendapat, penempatan posisi urutan tersebut
tentu bukan sebuah kebetulan tetapi hasil pertimbangan
sekurang-kurangnya dua hal berikut. Pertama, hubungan
antara konselor dan konseli memberi kontribusi langsung pada
keberhasilan layanan konseling. Kedua, dalam prakteknya
ditemukan banyak masalah, misalnya kecenderungan sering
terjadi kasus hubungan seksual atau romantis antara konselor
dan konseli, khususnya yang terjadi di Amerika (Kode Etik
ACA, 2005; Gibson & Mitchell, 2008; Gladding, 2009).
Dalam Kode Etik Bimbingan dan Konseling, baik Kode Etik
ACA maupun ABKIN secara jelas telah berusaha memberikan
batas-batas etis hubungan profesional. Sependapat dengan
Geldard & Geldard bahwa dalam hubungan apapun yang kita
jalani, kita selalu menentukan batasan-batasan. Kita masing-
masing memiliki garis batas di sekitar diri kita untuk melindungi
identitas kita sebagai seorang individu. Kekuatan dari batas
tersebut dan karakteristiknya bergantung pada dengan siapa kita
menjalin hubungan dan konteks hubungan tersebut. Hubungan
konseli dan konselor adalah tipe hubungan yang istimewa, yang
dibangun oleh konseli untuk satu tujuan. Konseli melibatkan diri
dalam sebuah hubungan di mana ia memberi kepercayaan kepada
konselor mereka dan dalam perjalanan hubungan

53 Loc. Cit., Gladding. h. 78-82

29
tersebut, konseli berharap pada konselor dapat membantu
menyelesaikan permasalahannya.54
Banyak negara bagian di Amerika memperkenalkan dan
melindungi komunikasi istemewa dalam hubungan konselor-
konseli (Glosoff, Herlihy, & Spence, 2000). Namun, ada
sembilan pengecualian, yaitu:
a. Dalam kasus pertentangan antara konselor dan konseli;
b. Ketika konseli memunculkan masalah mengenai kondisi
mental dan tuntutan legal;
c. Ketika kondisi konseli dalam bahaya baik untuk dirinya
maupun orang lain;
d. Dalam kasus pelecehan anak atau penelantaran;
e. Ketika konselor memiliki informasi bahwa konseli berniat
untuk melakukan kejahatan;
f. Selama pengadilan meminta evaluasi psikologis;
g. Untuk tujuan pertolongan spontan;
h. Ketika konselor memiliki informasi bahwa konseli telah
menjadi korban kejahatan; dan
i. Dalam kasus kekerasan pada orang yang rentan55
Batas-batas hubungan konselor dan konseli penting
diperhatikan selain karena hubungan pribadi yang terlalu
dekat dapat merusak penilaian profesional konselor. Ini artinya
menghindari hubungan konseling dengan kerabat, teman dekat
dan majikan konseli. Konselor juga harus berupaya
menghindari eksploitasi konseli untuk perolehan finansial,
status sosial, data riset atau motif lain di luar konseling.

B. Sumber Etika Bimbingan dan Konseling


Bond (2000) dalam Nelson-Jones mengusulkan enam sumber
etika bimbingan dan konseling yaitu : (1) etika personal,
(2) etika dan nilai-nilai yang implisit di dalam model-model
terapeutik, (3) kebijakan agency, (4) kode dan pedoman
profesional, (5) filosofi moral dan (6) hukum. 56 Selain itu, penulis

54 Geldard & Geldard, h. 387


55 Op. Cit., Gladding, h.85
56 Nelson-Jones, (2012) Pengantar Keterampilan Konseling. Penyunting : Mas’ud

30
menambahkan sumber etika yang berasal dari ajaran agama yang
dianut konselor dan konseli yang terdapat pada kitab suci masing-
masing. Kedudukan ajaran agama sebagai sumber etika
bimbingan konseling hendaknya di atas sumber etika lainnya.
Dengan kata lain, ajaran agama menjadi rujukan utama dan
pertama sumber etika lain yang telah dikemukakan Bond di atas.
Alasannya, yaitu : Pertama, kebenaran ajaran agama bersifat
mutlak karena bersumber dari firman Allah. Kedua, dari ke enam
sumber etika dimungkinkan terjadi benturan nilai antara satu
dengan yang lainnya. Contoh etika personal yang bersifat sangat
subyektif tentu akan ideal jika diinspirasi oleh ke enam sumber
etika lain. Namun, untuk menyelaraskan ke tujuh sumber etik
tersebut memang tidak mudah. Di saat seperti ini, dibutuhkan
komitmen dan integritas pribadi konselor.

C. Panduan untuk Bertindak Secara Etik


Bertindak secara etik dalam mengemban profesi tidak
mudah terutama bagi konselor pemula yang belum
berpengalaman. Kesulitan tersebut dimaklumi, mengingat
konselor pemula belum punya pengalaman mengahadapi dilema
etis, yaitu situasi di mana mereka dituntut untuk menetapkan
tingkah laku yang benar atau yang salah.57 Tidak hanya itu,
kesulitan juga disebabkan oleh belum adanya definisi yang jelas
mengenai perilaku etis yang baik.58 Lebih lanjut Robbins
menyatakan bahwa akhir-akhir ini garis yang membedakan antara
benar dan salah telah menjadi kabur. Nampaknya sinyalemen
Robbins sulit dibantah. Di era keterbukaan saat ini, kita sering
menyaksikan berita di media cetak-elektronik tentang para
profesional seperti dokter, pengacara, polisi yang melakukan
tindakan dalam ’wilayah abu-abu’, ambivalen, kabur antara
benar-salah yang terkadang ’dipertanyakan’ oleh orang awam.

Khasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 355.


57 E. J. Ottensmeyer and G. McCarthy, Ethics in the Work Place. New York:McGraw
Hill, 1996.
58 Op.cit., Robbins, P.Stephen, 2001.h.191.

31
Mengingat sulitnya bertindak secara etik, maka dipandang
perlu adanya perangkat seperti panduan untuk bertindak secara
etis yang jelas, terukur dan operasional. Di samping itu perlu juga
dilakukan sosialisasi kode etik profesi, menyediakan jasa
’penasehat’ untuk membantu menangani isu-isu etis dan men-
ciptakan mekanisme perlindungan bagi mereka yang mengung-
kapkan praktik-praktik tidak etis di dalam dan di luar organisasi.
Swanson (1983a) dalam Galdding59 memberikan empat
pedoman untuk menilai, apakah konselor bertindak dalam
tanggung jawab etika, yaitu (1) kejujuran pribadi dan profesional
konselor; (2) konselor bertindak untuk kepentingan terbaik konseli;
(3) konselor bertindak tanpa tujuan keuntungan pribadi;
(4) tindakan konselor hendaknya dilakukan berdasarkan
peraturan profesi yang berlaku. Keempat pedoman tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, kejujuran pribadi dan profesional. Kejujuran
pribadi artinya dalam menjalankan tugas profesi sebagai
konselor ia harus terbuka dengan diri sendiri. Sebagai contoh,
ketika kondisi fisik, psikis, waktu, tempat tidak memungkinkan
proses pemberian layanan bantuan berlangsung, konselor
harus secara jujur menyatakannya pada konseli. Kondisi fisik
yang lelah karena banyak pekerjaan atau karena sakit, psikis
(pikiran dan emosi) yang kalut, waktu yang sempit dan tempat
yang berisik menjadi faktor penghambat rendahnya mutu
layanan konseling. Begitupun kejujuran profesional sangat
diperlukan dalam mewujudkan efektivitas layanan konseling.
Konselor yang memiliki kejujuran profesional, tentu ia akan
memberi layanan sesuai dengan komptensinya. Ketika
menemui kasus di luar kewenangannya, ia langsung merujuk
kasus tersebut pada ahli lain yang berkompeten.
Kedua, konselor bertindak untuk kepentingan terbaik
konseli. Tentu tidak mudah untuk mengikuti pedoman ke dua
ini. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan konselor dalam
mengenali karakter, motif dan kebutuhan konseli yang

59 Op.cit., Gladding, h. 73

32
sesungguhnya atau disebabkan oleh ketidaksadaran konselor
dalam menerapkan nilai-nilai pribadinya pada konseli tanpa
menggali dan mengelaborasi nilai-nilai konseli sendiri.
Ketiga, konselor bertindak tanpa tujuan keuntungan pribadi.
Ketika menemui konseli yang sulit ditangani atau konseli yang
disukai , konselor harus hati-hati untuk menghindari hubungan
pribadi maupun profesional yang mengarah pada eksploitasi
konseli. Pada konseli yang sulit ditangani berpotensi pada
orientasi ”keuntungan materi” , sementara untuk konseli yang
disukai dapat mengarah pada hubungan intim yang tidak legal.
Keempat, tindakan konselor hendaknya dilakukan
berdasarkan peraturan profesi yang berlaku. Untuk membuat
keputusan yang demikian, konselor tidak cukup hanya
berpedoman pada kode etik yang ada akan tetapi harus aktif
membaca literatur terkini, mengikuti workshop, pelatihan, dan
pertemuan-pertemuan profesi baik lokal, nasional maupun
internasional.
Sementara Cavanagh berpendapat individu dapat
menggunakan tiga kriteria yang berlainan dalam mengambil
pilihan yang etis60. Pertama, adalah kriteria utilitarian, di mana
keputusan-keputusan diambil semata-mata atas dasar hasil atau
konsekuensi mereka. Tujuan utilitarianisme adalah memberikan
kebaikan yang terbesar untuk jumlah yang terbesar. Pandangan
ini cenderung mendominasi pengambilan keputusan bisnis.
Kriteria etis kedua, adalah menekankan pada hak. Kriteria
ini mempersilakan individu untuk mengambil keputusan yang
konsisten dengan kebebasan dan keistimewaan mendasar
seperti dikemukakan dalam dokumen-dokumen Piagam Hak
Asasi. Suatu tekanan pada hak dalam pengambilan keputusan
berarti menghormati dan melindungi hak dasar dari para
individu, seperti hak keleluasaan pribadi (privacy), kebebasan
berbicara dan proses hak perlindungan. Misalnya, penggunaan
kriteria ini untuk melindungi segala informasi, data konseli
selama sesi konseling berlangsung.
60 G.F. Cavanagh, D.J. Moberg, and M. Valasquez, The Eticts Of Organization
Politict, “Academy of management journal, June 1981, pp.363-374.

33
Kriteria ketiga adalah menekankan pada keadilan. Ini
mensyaratkan individu untuk mengenakan dan memperkuat
aturan-aturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga ada
pembagian manfaat dan biaya yang pantas. Lazimnya anggota
serikat buruh menyukai pandangan ini. Kriteria ini
membenarkan pembayaran upah sebagai bentuk menghargai
jasa atau tenaga yang telah diberikan. Kriteria ini juga dapat
diterapkan oleh organisasi profesi konselor, karena Kode Etik
American Counseling Association (ACA) telah mengatur hal
tersebut.

D. Praktek Pengambilan Keputusan Etik dalam Konseling


Berikut ilustrasi contoh pengambilan keputusan etik
dalam konseling seting sekolah. Apa yang harus dilakukan
konselor sekolah jika mendapati siswanya membawa daun
ganja segar dalam tas sekolahnya? Apakah akan langsung lapor
dan menyerahkan kasus tersebut ke polisi? Ataukah konselor
berkoordinasi dengan kepala sekolah dan orang tua siswa
untuk menangani kasus tersebut? Atau melimpahkan siswa
tersebut ke panti rehabilitasi pecandu zat adiktif dan
mengeluarkannya dari sekolah tersebut?
Jawabanya tentu bervariasi tergantung pada pertimbangan
konselor. Konselor A memilih langsung lapor dan menyerahkan
kasus tersebut pada polisi dengan pertimbangan jika kasus
tersebut tidak segera dilaporkan ke penegak hukum, maka
konselor A akan terjerat pasal ”menyembunyikan tindak
kejahatan/kriminalitas”. Konselor B memilih berkoordinasi
dengan pihak sekolah lainnya (kepala sekolah, pembina
kesiswaan, wali kelas) dan orang tua siswa. Pilihan tersebut
didasarkan pada pertimbangan karena ingin melakukan
penelusuran kasus tersebut secara mendalam supaya konselor
memperoleh data yang lengkap apakah siswa tersebut benar-
benar sebagai ”pemakai/pecandu” atau sekedar ”coba-coba”
untuk cari identitas. Konselor C pilih melimpahkan siswa tersebut
ke panti rehabilitasi dan mengeluarkan dari sekolah dengan
alasan akan membawa ’virus’ candu pada siswa lainnya.

34
Ke tiga alasan tersebut nampaknya secara nalar dapat diterima.
Jika demikian, apa yang menjadi standar etik dalam mengambil
tindakan tersebut?
Untuk membantu anda berlatih dalam mempertimbangkan
issu-issu praktis berkaitan dengan masalah etik, berikut ini
penulis sajikan beberapa kasus. Penulis minta saudara menjawab
dan menjelaskan tindakan-tindakan konselor serta mengevaluasi
penanganannya dari situasi tersebut.

Kasus 1
Hanna adalah seorang konselor yang telah menjalani
profesinya lebih dari 15 tahun. Di tengah jadwalnya yang padat, ia
menerima telpon dari orang tua dan meminta agar ia memberi
bantuan terapi bagi puterinya yang duduk di kelas 3 SMA, yang
telah satu minggu tidak masuk sekolah dan ‘berperilaku aneh’.
Hanna segera menyempatkan diri mendatangi kediaman orang
tua dan puteri tersebut. Dalam sesi pertemuan pertama, awalnya
Hanna mendengarkan penjelasan perilaku aneh puteri dari ke dua
orang tuanya. Menurut ke dua orang tuanya, puteri sudah hampir
satu minggu tidak masuk sekolah. Selama di rumah, ia tidak mau
makan, tidak mau mandi, tidak menjalankan sholat, tidak mau
tidur, berbicara sendiri dan kadang berteriak, menyanyi dan
berjoget. Jika ibunya mendekati, ia bertindak kasar seolah ia
memusuhinya. Jika orang lain menghampiri dan mengajak bicara,
ia tidak merespon melainkan meniru ucapan orang-orang yang
mengajak bicara padanya.
Untuk meyakinkan keterangan ke dua orang tua puteri,
Hanna minta ijin menemui puteri. Hasilnya pengamatan saat itu,
puteri berbicara sendiri dan kadang berteriak, menyanyi dan
berjoget tidak bisa dihentikan, mukanya pucat dan tidak bisa
diajak berkomunikasi. Hanna menyarankan agar puteri mendapat
bantuan medis dari dokter terlebih dahulu, supaya fisiknya tidak
terus melemah. Hanna memutuskan akan memberi bantuan
psikologis jika kondisi fisik puteri sudah membaik.

35
Pertanyaan:
1. Apakah saudara setuju/tidak terhadap keputusan Hanna?
Berikan alasan!
2. Jika saudara sebagai Hanna, apa tindakan yang akan saudara
lakukan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis puteri?

Kasus 2
Ketika Larry berusia 14 tahun dibawa ke suatu klinik
konseling keluarga oleh orang tuanya. Dia ditemui oleh seorang
konselor yang berpengalaman 9 tahun dalam konseling. Di sesi
pertama, konselor tersebut menemui Larry bersama-sama dengan
orang tuanya. Konselor mengatakan kepada orang tuanya bahwa
apa yang dia dan Larry diskusikan akan dirahasiakan dan bahwa
dia tidak akan merasa bebas untuk mengungkap informasi yang
diperlukan selama sesi tanpa izin Larry. Orang tuanya tampak
mengerti bahwa kerahasiaan itu perlu untuk kemajuan hubungan
puteranya dengan konselor.
Pada awal konseling Larry ragu tetapi akhirnya dia
mulai terbuka. Sewaktu sesi-sesi berjalan, Larry mengatakan
kepada konselor bahwa dia “kecanduan obat”. Orang tua Larry
tahu bahwa Larry sudah menggunakan obat pada suatu waktu,
tatapi Larry mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa
dirinya tidak memggunakan obat lagi. Konselor menggunakan
anekdot tentang penggunaan obat berbahaya oleh Larry, juga
tentang bagaimana “got loaded” dan “a few brushes with death”
ketika Larry berada di bawah pengaruh obat.
Akhirnya, konselor mengatakan kepada Larry bahwa
dia tidak mau bertanggungjawab jika Larry mencoba
mengkonsumsi obat-obat terlarang dan konselorpun tidak
menyetujui untuk melanjutkan hubungan konseling jika Larry
tidak berhenti menggunakan obat. Pada tahapan ini, konselor
masih setuju untuk tidak memberitahukan kepada orang
tuanya, tetapi konselor akan membicarakan kasus Larry
dengan salah satu koleganya tanpa diketahui Larry.
Rupanya Larry berhenti menggunakan obat selama
beberapa minggu. Suatu malam ketika dia di bawah pengaruh

36
obat, dia mengalami kecelakaan mobil. Sebagai akibatnya, dia
menjadi lumpuh. Orang tua Larry marah, karena mereka
merasa berhak untuk diberi tahu tentang kondisi emosi Larry
yang tidak stabil. Orang tua Larry mengajukan gugatan kepada
konselor dan klinik konseling tersebut.
1. Apa kesan umum anda tentang cara konselor Larry dalam
mengatasi kasus tersebut?
2. Apakah anda berpikir tindakan konselor merupakan cara
yang bertanggungjawab terhadap: a) dirinya sendiri; b)
Larry sebagai konseli; c) Orang tua Larry; dan d) Pimpinan
klinik konseling?
3. Seandainya anda menjadi konselor larry dan diyakini bahwa
dia suka melukai dirinya atau orang lain karena penggunaan
obat dan kondisi emosinya tidak stabil. Maukah anda memberi
tahu orang tua meskipun melakukan demikian akan mungkin
mengakhiri hubungan konseling dengan
Larry? Kenapa ya? Atau kenapa tidak?
4. Wacana mana dari tindakan berikut ini yang mungkin anda
ambil jika anda menjadi konselor Larry? Cocokkan
sebanyak mungkin yang menurut anda cocok atau tepat!
a. Menyatakan batasan-batasan resmi di sesi awal
sebagaimana seorang terapis
b. Konsultasi dengan direktur klinik konseling
c. Mengajukan Larry untuk tes psikologi untuk
menentukan tingkat gangguan emosinya
d. Mengajukan dia ke psikiater untuk diobati
e. Melanjutkan untuk menemuinya tanpa syarat
f. Memasuki sesi dengan orang tuanya sebagai sebuah
upaya tindak lanjut konseling
g. Menghubungi polisi dan pihak berwenang lainnya
h. Membuktikan bahwa keputusan anda dengan survey
(penelitian) yang berkaitan dengan itu.

Kasus 3
Faiz adalah mahasiswa semester 1 program studi
Bimbingan dan Konseling Islam. Awalnya ia bersemangat

37
untuk bergabung pada salah satu organisasi yang bernama
Asosiasi Konselor Muda Indonesia di Provinsinya. Namun
setelah ia mengenal latar belakang pendidikan teman-teman di
organisasi tersebut, ternyata mayoritas bukan berlatarbelakang
pendidikang konseling. Suatu hari, Faiz diminta menemui
Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
setempat untuk diminta keterangan tentang legilitas organisasi
yang diikutinya.
Dalam sesi pembicaraan diperoleh keterangan (1) sebagian
besar pengurus organisasi yang diikuti Faiz tidak memiliki latar
belakang pendidikan konseling, (2) SK kepengurusan dikeluarkan
Dinas Pemuda dan Olah Raga, (3) Faiz belum memahami aturan
organisasi seperti AD/ART, (4) Faiz belum mengetahui program
kerja organisasi yang diikutinya. Setelah menyimak keterangan
Faiz, konselor menyarankan hal-hal berikut: (1) Faiz hendaknya
memahami aturan organisasi yang akan diikutinya,
(2) Jika ia belum memiliki aturan organisasi, segera menemui
pimpinan organisasi untuk memintanya, (3) Faiz, hendaknya
membuat usulan tentang pentingnya kesesuaian latar belakang
pendidikan dan keahlian para pengurus organisasi tersebut, (4)
Faiz, hendaknya proaktif membuat dan mengusulkan program
kerja untuk organisasi yang diikutinya.
Pertnyaan :
1. Bagaimana pendapat saudara terhadap keempat saran yang
diberikan Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling kepada
Faiz?
2. Menurut saudara, apa yang melatarbelakangi Ketua Asosiasi
Bimbingan dan Konseling memberi ke empat saran pada
Faiz?
3. Jika saudara dalam posisi Faiz, apa yang akan dilakukan?
Mengapa?

Kasus 4 :
Pada Agustus 2012 Maya secara suka rela bergabung
sebagai konselor sebaya di UPT Konseling di kampusnya. Ia
bekerja bersama psikolog dan konselor kampusnya. Suatu hari,

38
maya bertemu dengan konselor sebaya lainnya yang sedang
makan siang di kantin kampus. Keduanya mulai membahas kasus
yang sedang ditangai secara detail, bahkan menyebutkan nama-
nama konselinya. Maya bersama rekan konselor sebayanya
membicarakan konseli-konselinyayang mereka temui sementara
didekatnya ada orang lainyang mungkin mendengar percakapan
tersebut. Apa yang akan saudara lakukan dalam situasi ini?
Saudara akan memberitahu Maya untuk menghentikan
pembicaraan tentang konselimereka karena mahasiswa/orang
lainbisa mendengarkan mereka dan mengingatkan Maya
bahwa tindakannya tidak etis.
1. Saudara akan membawa masalah itu dan membahasnya
pada praktikum mata kuliah Kode Etik Profesi Konselor.
2. Saudara tidak akan melakukan apa-apa karena para
mahasiswa yang mendengar percakapan tersebut tidak akan
begitu tertarik dengan apa yang dikatakan Maya dan
temannya.
3. Saudara tidak akan melakukan apapun karena menganggap
wajar membahas kasus-kasus dan membuat candaan untuk
mengurangi tekanan seseorang.
4. Saudara akan mencoba menghentikan perbincangan
Maya dan temannya serta mendorong keduanya untuk
melanjutkan pembicaraan di tempat yang menjamin terjaga
kerahasiaannya.

Kasus 5
Saudara sedang memimpin kelompok konseling di
sebuah kampus. Para anggota suka rela bergabung dengan
kelompok tersebut. Dalam sebuah sessi beberapa mahasiswa
membahas jual beli obat di kampusnya, dan dua dari mereka
menyatakan bahwa mereka menjual ganja dan bermacam
pilkepada teman-temannya. Saudara juga turut mendiskusikan
masalah ini dengan mereka dan mereka mengklaim bahwa
kebanyakan mahasiswa di kampus mengkonsumsi obat,
sehingga tidak ada orang yang dirugikan.

39
1. Apa yang akan saudara lakukan dalam situasi ini?
2. Apakah saudara tidak akan melakukan apapun karena
saudara tidak ingin merusak kepercayaan dan pertemanan
saudara?
3. Tanpa sepengetahuan teman-teman, saudara akan
melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak yang punya
otoritas baik di dalam maupun di luar kampus dan menjaga
identitas kerahasiaan teman saudara.
4. Saudara membiarkan teman-teman tahu bahwa saudara
berencana memberitahukan kepada pihak yang punya
otoritas di kampus tentang tindakan dan nama teman-teman
saudara.

40
BAB IV

KODE ETIK PROFESI KONSELOR

A. Subyek Kode Etik Profesi


Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan
landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang
dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.61 Pertanyaannya,
apakah orang yang bertugas memberi layanan bimbingan dan
konseling namun belum atau tidak menjadi anggota ABKIN
berarti tidak perlu mengamalkan kode etik? Apakah kode etik
hanya wajib dipatuhi oleh anggota dan pengurus organisasi
profesi bimbingan dan konseling (ABKIN) saja? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut harus dimulai dari penjelasan kata ”anggota”
ABKIN. Dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN Bab III diatur
tentang keanggotaan. Ada tiga keanggotaan ABKIN yaitu anggota
biasa (bab III Pasal 4); anggota luar biasa (Bab III pasal 5); dan
anggota kehormatan (Bab III pasal 5). Jika dicermati penjelasan
ketiga keanggotaan ABKIN tersebut dapat disimpulkan bahwa
setiap individu yang mempunyai ijazah di bidang bimbingan dan
konseling dan atau sedang mengikuti pendidikan bidang
bimbingan dan konseling, serta menjalankan tugas/jabatan yang
berhubungan dengan bimbingan dan konseling baik dalam seting
pendidikan maupun seting masyarakat wajib mematuhi kode etik
profesi bimbingan dan konseling.

Pertanyaan selanjutnya, apa sanksi bagi mereka yang tidak


mematuhi kode etik profesi bimbingan dan konseling tersebut?
dan siapa yang berwewenang memberi sanksi terhadap konselor
yang melanggar kode etik? Dalam kode etik BK dinyatakan
bahwa “Pelanggaran terhadap kode etikakan mendapatkan sanksi
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Asosiasi
61 Anggaran Rumah Tangga ABKIN BAB II pasal 2 ayat (1)

41
Bimbingan dan Konseling Indonesia. Bentuk-bentuk sanksi
sebagaimana yang disebutkan di atas dalam pelaksanaanya
tidak selalu berjalan mulus. Hal itu disebabkan (1) adanya rasa
solidaritas yang tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi.
Seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman
sejawat yang melakukan pelanggaran.

B. Dasar Kode Etik Profesi Konselor


Dasar kode etik profesi bimbingan dan konseling Indonesia
yaitu panca sila dan tuntutan profesi. Panca sila dijadikan dasar
kode etik mengingat bahwa profesi bimbingan dan konseling
merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam
rangka ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung
jawab. Hal itu selaras dengan pengertian Bimbingan dan
konseling merupakan proses bantuan psikologis dan kemanusiaan
kepada yang dibimbing (konseli) agar ia dapat berkembang secara
optimal, yaitu mampu memahami diri, mengarahkan diri, dan
mengaktualisasikan diri sesuai tahap perkembangan, sifat-sifat,
potensi yang dimiliki dan latar belakang kehidupan serta
lingkungannya sehingga tercapai kebahagian dalam
kehidupannya.62 Sedangkan tuntutan profesi dijadikan dasar kode
etik karena layanan profesi bimbingan dan konseling mengacu
pada kebutuhan dan kebahagiaan konseli sesuai dengan norma-
norma yang berlaku.
Kode etik profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia
terdiri dari lima bab yaitu bab satu pendahuluan, bab dua
tentang Kualifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor, bab tiga
tentang Hubungan Kelembagaan, bab empat tentang Praktek
Mandiri dan Laporan Kepada Pihak Lain dan bab lima tentang
Ketaatan Profesi. Naskah lengkap kode etik profesi Bimbingan
dan Konseling lihat lampiran 1.

62 Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan Konseling, Departemen


Pendidikan Nasional tahun 2004, h.4.

42
C. Keterbatasan dan Pengembangan Kode Etik
Kode etik konseling yang pertama dibuat oleh American
Counseling Association (ACA) (selanjutnya, American
Personnel and Guidance Association, atau APGA) berdasarkan
kode etik American Counseling Association yang asli (Allen,
1986). Kode etik awal dari ACA ini digagas oleh Donald Super
dan disetujui pada tahun 1961 (Herlihy & Corey, 2006). Sejak
saat itu, peraturan ini direvisi secara periodik (tahun 1974, 1981,
1988, 1995, dan 2005).
Kode etik ACA yang terakhir lebih komprehensif dari hasil
sebelumnya. Hasil revisi kode etik ACA terakhir ini menunjukkan
bahwa konseling telah berkembang menjadi sebuah ilmu yang
matang. Dalam kode etik ACA ada delapan bagian judul topik.
Semuanya mengandung materi yang hampir sama dengan yang
terdapat dalam banyak kode etik lainnya (Merrill Education,
2007), tetapi ditujukan untuk profesi konseling. Bagian pertama
berisi hubungan konseling termasuk tanggung jawab konselor
profesional pada konseli dan kesejahteraan mereka seperti
peranan dan hubungan dengan konseli dan penggunaan teknologi
dalam konseling. Bagian ini juga mendiskusikan cara-cara untuk
mengatasi beberapa subyek bermasalah seperti upah, pertukaran,
pelimpahan dan pemutusan. Sebagai contoh, dalam bagian ini,
ACA menjelaskan bahwa sebelum memulai konseling (pelayanan)
harus dilakukan pemeriksaan secara seksama tentang hubungan
seksual atau romantis antara konselor dan mantan konselinya;
dan hubungan semacam ini dilarang untuk lima tahun ke depan
sejak kontak profesional terakhir.
Bagian kedua mencakup kepercayaan, komunikasi
istimewa dan privasi dalam konseling termasuk pengecualian
untuk hak privasi, merekam, konsultasi, penelitian dan
pelatihan. Bagian tiga berfokus pada isu yang berkaitan dengan
tanggung jawab profesional seperti kompetensi profesional,
periklanan dan penawaran, kualifikasi dan tanggung jawab
publik. Bagian keempat mencakup hubungan dengan tenaga
profesional lainnya termasuk rekan kerja, atasan dan pegawai.

43
Bagian kelima menyangkut evaluasi, penilaian dan
interpretasi. Selain informasi umum, bagian ini mengandung
materi tentang kompetensi untuk menggunakan dan
menginterpretasikan instrumen penilaian, persetujuan tertulis
dalam penilaian, penyerahan data kepada profesional yang
berkualifikasi, diagnosis penyimpangan mental, pemilihan
instrumen, kondisi pelaksanaan penilaian, isu multikultural/
perbedaan dalam penilaian, pemberian skor dan interpretasi
penilaian, keamanan penilian, menjaga data hasil penilaian
yang tidak lagi dipakai dan hasil yang kadaluwarsa, konsultasi
penilaian, evaluasi forensik:evaluasi untuk proses hukum.
Bagian ke enam tentang supervisi, pelatihan dan pengajaran.
Sub bagian ini meliputi kompetensi supervisi konselor, hubungan
supervisi, tanggung jawab supervisor, evaluasi supervisi
konseling, remediasi dan dukungan, tanggung jawab pendidik
konselor, kesejahteraan konseli. Bagian ketujuh berhubungan
dengan penelitian dan publikasi. Di dalamnya dijelaskan tentang
tanggung jawab penelitian, hak partisipan penelitian, hubungan
dengan partisipan penelitian (jika penelitian melibatkan interaksi
intensif atau berkepanjangan, pelaporan hasil dan publikasi.
Bagian ke delapan membahas pemecahan masalah etika meliputi
konflik antara etika dan hukum, pelanggaran yang
dicurigai,bekerja sama dengan komite etik.
Kode etik ACA telah mengalami lima kali revisi dan lebih
komprehensif dibanding dengan kode etik Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia. Namun demikian, masih belum
dapat menjawab persoalan yang spesifik. Remeley (1985)
mencatat bahwa kode etik itu umum dan idealistis; jarang
menjawab pertanyaan yang spesifik63. Sebagai pedoman umum,
kode etik tentu tidak langsung mampu menjawab persoalan-
persoalan yang spesifik. Di sini pentingnya pengembangan
kode etik oleh konselor khususnya dalam menghadapi situasi
yang tidak jelas, ambivalen dan dilematis.

63 Remeley (1985) dalam Gladding, 2012, h. 70

44
Ada sejumlah batasan spesifik dalam kode etik. Di bawah
ini beberapa keterbatasan yang paling sering disebutkan64 :
1. Beberapa masalah tidak dapat diputuskan dengan kode etik.
2. Pelaksanaan kode etik merupakan hal yang sulit.
3. Standar-standar yang diuraikan dalam kode etik ada
kemungkinan saling bertentangan.
4. Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
5. Kode etik adalah dokumen sejarah, sehingga praktik yang
diterima pada suatu kurun waktu mungkin saja dianggap
tidak lagi etis di kemudian hari.
6. Terkadang muncul konflik antara peraturan etik dan
peraturan legal.
7. Kode etik tidak membahas masalah lintas budaya.
8. Tidak semua kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik.
9. Sering kali sulit menampung keinginan semua pihak yang
terlibat dalam perbincangan etik secara sistematis.
10. Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu
konselor dalam memutuskan apa yang harus dilakukan
dalam suatu situasi baru.
Jadi, kode etik sangat berguna dalam beberapa hal tetapi
juga memiliki keterbatasan. Konselor harus berhati-hati karena
tidak semua petunjuk yang mereka butuhkan dapat selalu
ditemukan dalam kode etik. Walaupun begitu, kapanpun
masalah etik timbul dalam konseling, yang pertama kali harus
dilakukan konselor adalah melakukan telaah kode etik untuk
melihat apakah ada pembahasan mengenai situasi tersebut.

D. Konflik di dalam dan di antara Kode Etik


Seperti yang telah diketahui bahwa ada banyak
keterbatasan kode etik yang dalam penerapannya berpotensi
mengundang konflik di dalam dan di antara kode etik itu
sendiri. Hal itu disebabkan oleh tiga alasan65. Pertama, untuk
bertindak sesuai etik, konselor harus memperhatikan kode etik

64 Beymer, 1971;Talbutt, 1981; Corey, Corey, & Callanan, 2007; dalam Gladding,
2012, h.70.
65 Op.Cit., Gladding, 2012. H.71.

45
dan mampu membedakan suatu dilema etik dari tipe-tipe
dilema lainnya; proses ini tidak selalu dapat dilakukan dengan
mudah. Sebagai contoh, seseorang mungkin bisa menerima
masalah kontroversial seperti operasi penegasan kelamin yang
didukung dengan prinsip etik.
Kedua, terkadang prinsip-prinsip etik yang berbeda dalam
peraturan tersebut menghasilkan pedoman yang saling
bertentangan mengenai apa yang perlu dilakukan dalam situasi
tertentu. Contohnya, potensi konflik antara kerahasiaan dengan
bertindak demi kepentingan konseli, ketika seorang konseli
menceritakan bahwa ia akan melakukan bunuh diri. Dalam situasi
tersebut, konselor yang merahasiakan informasi itu dapat
dianggap melanggar kepentingan konseli dan keluarganya.
Ketiga, konflik dapat terjadi jika konselor bergabung dalam
dua atau lebih organisasi profesional yang memiliki kode etik
berbeda seperti kode etik konselor (ACA) dan kode etik psikolog-
American Psychological Association (APA). Sebagai contoh,
dalam kode etik APA disebutkan bahwa psikolog tidak boleh
mempunyai hubungan seksual dengan mantan kliennya untuk
sekurang-kurangnya dua tahun setelah penghentian perawatan,
sementara dalam kode etik ACA disebutkan minimum lima
tahun. Jika seorang konselor profesional menjadi anggota kedua
organisasi tersebut maka dia dihadapkan pada dilema, kode etik
mana yang akan dia ikuti?

46
BAB V

PROBLEM PELAKSANAAN KODE ETIK

A. Bentuk Pelanggaran Kode Etik


Secara umum bentuk pelanggaran kode etik dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Bentuk Pelanggaran terhadap Konseli, misalnya:
a. Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang
yang tidak terkait dengan kepentingan konseli.
b. Melakukan perbuatan amoral seperti pelecehan seksual,
mengkonsumsi barang haram (minuman keras, napza).
c. Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis)
terhadap konseli.
d. Kesalahan dalam melakukan pratek profesional
(prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut).
2. Bentuk Pelanggaran terhadap Organisasi Profesi, misalnya:
a. Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah
ditetapkan oleh organisasi profesi.
b. Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organi-- sasi
profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelom-pok).
3. Bentuk Pelanggaran terhadap Rekan Sejawat dan Profesi
Lain yang Terkait
a. Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik
(penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan)
b. Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki
keahlian sesuai dengan masalah konseli atau sebaliknya
tidak melakukan referal meskipun kasus klien di luar
kewenangannya.

B. Sebab Pelanggaran Kode Etik


Sistem nilai, norma, aturan yang ditulis secara jelas, tegas
dan terperinci dalam kode etik profesi terkadang tidak selalu
dapat diterapkan secara mulus oleh anggota profesi sehingga

47
banyak terjadi pelanggaran. Beberapa sebab terjadi
pelanggaran kode etik antara lain66 :
1. Tidak adanya sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk
menyampaikan keluhan adanya pelanggaran sehingga kontrol
dan pengawasan dari masyarakat tidak berjalan
2. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang substansi kode
etik profesi karena buruknya pelayanan sosialisasi dari
pihak profesi itu sendiri
3. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran etis dari para
pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya.
4. Pengaruh hubungan kekeluargaan/kekerabatan antara
pihak berwenang dengan pelanggar kode etik.
5. Masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia sehingga
pelaku pelanggaran kode etik profesi tidak merasa khawatir
atau takut melakukan pelanggaran.
Selain itu pelanggaran kode etik juga disebabkan masih
lemahnya kemampuan menerapkan self-regulation sebagaian anggota
profesi. Idealnya, teman sejawat mestinya berada di garda terdepan
dalam mengontrol dan atau melaporkan adanya pelanggaran kode
etik. Namun dalam praktik sehari-hari kontrol ini tidak berjalan
dengan mulus karena rasa solidaritas yang tertanam kuat dalam diri
anggota-anggota profesi, seorang professional mudah merasa segan
melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran.67 Jika
penerapan self-regulatian di antara sesama teman sejawat saja sulit
diterapkan, apakah mungkin hal itu dapat dilakukan kepada atasan
atau pimpinan organisasi profesi yang mempunyai pengaruh
terhadap kelancaran karir profesinya.
Seorang profesional sejatinya akan teruji manakala ia
mampu menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-
pertimbangan lain seperti pengaruh jabatan, kekeluargaan/
kekerabatan, pertemanan, hubungan yang bersifat simbiosis-
mutualism (timbal balik yang saling-menguntungkan),
keuntungan finansial dan sebagainya.

66 Pelanggaran Kode Etik Profesi IT dan Peraturan Perundangan, Sheetdicx.


wordpress.com/2010/01/13, h.3-4.
67 Op.cit, Ondi Saondi & Aris Suherman, h.96.

48
C. Bentuk Sanksi bagi Pelanggar Kode Etik
Secara umum sanksi pelanggar kode etik diklasifikasikan
menjadi dua yaitu sanksi moral dan sanksi dikeluarkan dari
organisasi.68 Sanksi moral misalnya merasa bersalah, krisis atau
hilang rasa percaya diri, tidak berani tampil di publik, pudarnya
reputasi dan kredibilitas (kepercayaan publik), rendahnya
permintaan jasa layanan konseling, dikucilkan oleh komunitas
profesi dan sebagainya. Sanksi moral demikian berlaku relatif,
artinya tidak semua pelanggar kode etik akan merasakan adanya
sanksi moral tersebut. Sanksi moral hanya berlaku bagi orang yang
mempunyai hati yang bening atau Qolbun salim. Bagi orang yang
‘hatinya telah tertutup noda’ sulit merasakan adanya sanksi moral.
Berbeda dengan sanksi organisasi yang sifatnya formal, kasat
mata dan pasti sehingga bentuk sanksi ini lebih efektif dan mudah
dikontrol. Oleh karena itu, yang dimaksud bentuk sanksi
pelanggaran kode etik di sini adalah sanksi organisasi. Sanksi
organisasi ini diatur dalam beberapa tingkatan, mulai tingkat ringan,
sedang sampai berat. Dengan demikian, pemberian bentuk sanksi
akan bergantung pada tingkat pelanggarannya. Sesuai dengan
hakekat pemberian sanksi yaitu untuk memberikan efek jera agar
tidak mengulang tindak pelanggaran kode etik maka pem- berian
sanksi harus didasarkan pada pertimbangan rasa keadilan.
Sekurang-kurangnya ada lima bentuk sanksi bagi
pelanggara kode etik profesi konselor yaitu:
a. Memberikan teguran secara lisan
b. Memberikan surat peringatan (SP 1,2, dan 3) secara tertulis
c. Pencabutan keanggotan ABKIN dengan tidak hormat
d. Pencabutan lisensi bagi yang berpraktik mandiri atau
dikeluarkan dari lembaga tempat ia bekerja.
e. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal
maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.

D. Pihak yang Berwenang Menindak Pelanggar Kode Etik


Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan dinilai dan
ditindak oleh Dewan Pertimbangan Kode Etik. Dewan

68 Ibid, h. 98.

49
Pertimbangan Kode Etik profesi konselor berkedudukan pada
organisasi tingkat nasional dan tingkat provinsi.69 Susunan Dewan
Pertimbangan Kode Etik baik ditingkat Pengurus Besar maupun
di tingkat Pengurus Daerah sebanyak-banyaknya terdiri dari 1
orang ketua, 1 orang sekretaris dan 3 orang anggota.70 Personalia
Dewan Pertimbangan Kode Etik dijabat oleh para ahli bimbingan
dan konseling, dan khusus untuk Ketua dan Sekretaris harus
dijabat oleh mereka yang mempunyai kualifikasi pendidikan
minimal S2 (Master/Magister).71 Apabila di suatu propinsi tidak
ada tenaga yang memenuhi ketentuan maka Dewan
Pertimbangan Kode Etik dapat dirangkap oleh Dewan
Pertimbangan Kode Etik di daerah lain yang terdekat.72 Dengan
demikian, Dewan Pertimbangan Kode Etik profesi konselor di
tingkat daerah (Provinsi) harus ada meskipun dijabat rangkap
oleh personil dari daerah lain yang terdekat. Keberadaan Dewan
Pertimbangan Kode Etik di tingkat provinsi sangat penting untuk
mempermudah akses layanan pengaduan tindak pelanggaran
kode etik di tingkat cabang (kabupaten/kota).
Dewan Pertimbangan Kode Etik mempunyai tiga fungsi
pokok. Pertama, menegakkan penghayatan dan pengamalan Kode
Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kedua, mem- berikan
pertimbangan kepada Pengurus Besar dan Pengurus Daerah
ABKIN atas adanya perbuatan melanggar Kode Etik oleh anggota
melalui penyelidikan yang seksama dan bertanggung jawab.
Ketiga, bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara
berkaitan dengan permasalahan kode etik profesi.73

E. Mekanisme Pemberian Sanksi Pelanggar Kode Etik


Pihak yang berwewenang menangani pelanggaran kode etik
adalah Dewan Kode Etik Pengurus Daerah ABKIN setempat
dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan Dewan Kode
Etik Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
69 AD &ART ABKIN Tahun 2010, Bab x pasal 27 ayat (1)
70 Ibid. pasal 28 ayat (1)
71 Ibid. ayat (2)
72 Ibid. ayat (3)
73 Ibid. Pasal 27 ayat (2).

50
Apabila seorang konselor diduga melakukan pelanggaran
kode etik, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
1. Menyampaikan atau mengadukan adanya pelanggaran
kode etik oleh rekan profesi yang mengetahui atau konseli
yang merasa diperlakukan tidak etis.
2. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik ABKIN di
tingkat daerah.
3. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan
maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di
tingkat daerah.
4. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi
data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat.
5. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh
dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka
pemberian sanksi ditetapkan. Jika yang bersangkutan
mendapat lisensi, maka keputusan sanksi disampaikan
tembusannya kepada lembaga pemberi lisensi atau sertifikasi.
Pemberian sanksi ringan yaitu teguran lisan dan teguran
tertulis (SP 1, 2 dan 3) dapat dilakukan oleh dewan Kode Etik
Pengurus Daerah ABKIN (PD ABKIN). Jika pemberian ke dua
sanksi tersebut tidak efektif dalam upaya penyadaran dan
ketaatan konselor pada kode etik, maka dilakukan langkah
selanjutnya yaitu melaporkan ke Dewan Kode Etik Pengurus
Besar ABKIN (PB ABKIN) disertai langkah-langkah yang sudah
ditempuh. Dewan Kode etik PB ABKIN melapor ke PB ABKIN
baru langkah ke 3 dan 4 ditempuh. Jika ada pelanggaran
pidana dan atau perdata, dapat dikaitkan dengan status
kepegawaian yang bersangkutan. Jika ia sebagai Pegawai
Negeri Sipil akan dikeluarkan, dan bagi non PNS tentu dapat
mengacu pada aturan setempat.74.

74 Hasil wawancara dengan Prof. Ahman, M.Pd, Anggota Dewan Kode Etik PB
ABKIN periode 2009-2013, disampaikan tanggal 9 januari 2013.

51
BAB VI

UPAYA PENEGAKAN KODE ETIK


Jika semua konselor memenuhi standar kualifikasi akademik
dan kompetensi konselor maka sekilas ‘sangat mustahil’ konselor
melakukan perbuatan melanggar kode etik. Konselor adalah
pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang
mempunyai tugas membantu mengembangkan potensi dan
memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan
untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera dan
peduli kemaslahatan umum.75 Konselor sebagai salah satu
kualifikasi pendidik sejajar dengan kualifikasi guru, dosen,…76
dituntut memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Pemenuhan kualifikasi tersebut dimaksudkan untuk
menjamin sosok utuh kualitas konselor. Kualitas konselor
adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi,
pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang
dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan
proses konseling sehingga mencapai tujuan.77 Dengan kata lain,
pemenuhan standar kualifikasi konselor juga dimaksudkan
sebagai upaya penegakan kode etik. Sebab konselor yang
memiliki standar kualifikasi yang tinggi diharapkan akan
memiliki prinsip-prinsip etis yang tinggi pula.
Seperti dikemukakan Victor dan Cullen bahwa orang-orang
etis pada dasarnya mencegah praktik-praktik yang tidak etis.
Untuk itu, maka para pimpinan organisasi/lembaga hendaknya
didorong untuk menyaring calon-calon karyawan (melalui testing
dan penyelidikan latar belakang) untuk menentukan standar etis
mereka. Dengan mencari orang dengan
75 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 27 tahun 2008
76 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6
77 Sofyan Willis, konseling Individual teori dan Praktek, Alfabeta, Bandung, 2004,
h.79.

52
integritas dan prinsip-prinsip etis yang kuat, organisasi dapat
meningkatkan kemungkinan karyawan akan bertindak etis.
Tentu saja, praktik-praktik tidak etis dapat diminimalisir lebih
lanjut dengan memberikan individu-individu satu iklim kerja
yang mendukung.78
Upaya pemenuhan standar kualifikasi konselor merupakan
upaya pertama dan utama ini hendaknya diikuti dengan upaya
selanjutnya baik yang bersifat pemeliharaan (preservative) seperti
menciptakan iklim kerja yang mendukung. Untuk itu Robbins
menuliskan perlu adanya uraian jabatan yang lebih jelas, kode etik
tertulis, model peran manajemen yang positif, mengevaluasi dan
menghargai sarana dan juga tujuan serta satu kultur yang
mendorong individu untuk secara terbuka melawan/memerangi
praktik-praktik tidak etis.79
Penegakan Kode Etik merupakan upaya/kegiatan yang
meliputi pemantauan pelaksanaan Kode Etik, pemberian
penghargaan dan sanksi oleh Dewan Etik.80 Jika dicermati ketiga
upaya penegakan kode etik tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa ketiganya bersifat memelihara (preservative), peningkatan
(promotive) dan atau perbaikan/penyembuhan (corrective/ curative).
Semua upaya penegakan kode etik hendaknya dilakukan seiring,
sejalan dan simultan.
Upaya pertama, yaitu pemantauan pelaksanaan kode etik
konselor. Upaya ini idealnya tidak diserahkan sepenuhnya
kepada Dewan Pertimbangan Kode Etik Asosiasi Bimbingan
dan Konseling (ABKIN) tetapi menjadi tanggung jawab semua
pihak (konselor sebgai pengampu profesi), konseli sebagai
pengguna jasa layanan, masyarakat, pemerintah. Keberadaan
Dewan Pertimbangan Kode Etik dibanding dengan luas
wilayah kerja dan jumlah personalia yang ada baik di tingkat
Provinsi maupun di tingkat Pusat sangat terbatas sehingga
pemantauan tidak akan efektif.

78 B.Victor and J.B.Cullen, “The Organizational Bases of Ethical Work Climates,”


Administrative Science Quarterly, March 1988,pp.101-125.
79 Op.cit Robbins, h. 191
80 ____, Penjabaran Kode Etik Konsil LSM Indonesia, bab I.

53
Jika konselor menyadari bahwa kode etik sejatinya
merupakan self regulation, mestinya konselor bersama
organisasi profesinya seperti ABKIN atau Musyawarah Guru
Bimbingan dan Konseling (MGBK) berada di garda terdepan
dalam mengawal pemantauan pelaksanaan kode etik ini.
Namun menjalankan hal itu tidak mudah karena rasa
solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi
sehingga seorang profesional mudah merasa segan melaporkan
teman sejawat yang melakukan pelanggaran.81 Dalam kondisi
seperti ini, maka peran serta pihak lain (masyarakat,
pemerintah dan konseli) menjadi sangat penting.
Upaya kedua dan ketiga yaitu pemberian penghargaan
dan pemberian sanksi. Seperti halnya upaya yang pertama,
maka upaya ke dua dan ketiga dalam pelaksanaannya juga
perlu ada kerja sama pihak-pihak yang telah disebutkan di atas.
Terutama dalam tahap pengumpulan informasi, data dan fakta
yang diperlukan sebagai bahan kajian dan pertimbangan dalam
melakukan upaya tersebut. Secara legal Dewan Pertimbangan
Kode Etik mempunyai otoritas dalam melakukan ketiga upaya
tersebut namun otoritas tersebut tidak akan berjalan dengan
baik tanpa dukungan dan kerja sama semua pihak.

81 Op. Cit, Ondi Saondi dan Aris Suherman, h. 98.

54
Lampiran 1:

KODE ETIK
BIMBINGAN DAN KONSELING82

BAB I
PENDAHULUAN
Dasar
Dasar Kode Etik Profes Bimbingan dan Konseling di
Indonesia adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi
bimbingan dan konseling merupakan usaha pelayanan
terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga
negara Indonesia yang bertanggung jawab, dan (b) tuntutan
profesi, yang mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan
klien sesuai dengan norma-norma yang berlaku

BAB II
KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL
KONSELOR

A. Kualifikasi
Konselor wajib (1) memiliki nilai, sikap, keterampilan,
pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan
dan konseling, dan (2) memperoleh pengakuan atas
kemampuan dan kewenangan sebagai konselor.

1. Nilai, Sikap, Keterampilan, Pengetahuan dan Wawasan


a. Konselor wajib terus-menerus berusaha mengembangkan
dan menguasai dirinya. Ia wajib mengerti kekurangan-
kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri,
yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang
lain dan mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan
professional serta merugikan klien.

82 Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Periode 2005-2010.

55
b. Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana,
rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur,
tertib dan hormat.
c. Konselor wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap
saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya,
khususnya dari rekan-rekan seprofesi yang
berhubungannya dengan pelaksanaan ketentuan tingkah
laku profesional sebagaimana yang diatur dalam Kode
Etik ini.
d. Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang setinggi
mungkin dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi
termasuk material, finansial dan popularitas.
e. Konselor wajib memiliki keterampilan dalam
menggunakan teknik dan prosedur khusus dengan
wawasan luas dan kaidah-kaidah ilmiah.

2. Pengakuan Kewenangan
Untuk dapat bekerja sebagai konselor diperlukan
pengakuan keahlian dan kewenangan oleh organisasi profesi
atas dasar wewenang yg diberikan kepadanya.

B. Informasi, Testing dan Riset


1. Penyimpanan dan Penggunaan Informasi
a. Catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil
wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman dan data
lain, semuanya merupakan informasi yg bersifat rahasia
dan hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan klien.
Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau
pendidikan calon konselor dimungkinkan, sepanjang
identitas klien dirahasiakan.
b. Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga
atau anggota profesi lain membutuhkan persetujuan klien.
c. Penggunaan informasi tentang klien dalam rangka
konsultasi dengan anggota profesi yang sama atau yang
lain dapat dibenarkan, asalkan untuk kepentingan klien
dan tidak merugikan klien.

56
d. Keterangan mengenai informasi profesional hanya boleh
diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan
dan menggunakannya.

2. Testing
Suatu jenis tes hanya diberikan oleh konselor yang
berwewenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.
Konseor wajib selalu memeriksa dirinya apakah mempunyai
wewenang yang dimaksud.
a. Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas
tentang sifat atau ciri kepribadian subyek untuk
kepentingan pelayanan.
b. Konselor wajib memberikan orientasi yang tepat kepada
klien dan orang tua mengenai alasan digunakannya tes di
samping arti dan kegunaannya.
c. Penggunaan satu jenis tes wajib mengikuti secara ketat
pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes tersebut.
d. Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi
lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau sumber lain.
Dalam hal ini data hasil testing wajib diperlakukan setara
dengan data dan informasi lain tentang klien.
e. Hasil testing hanya dapat diberitahukan pada pihak lain
sejauh ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada
klien.

3. Riset
a. Dalam melakukan riset dengan menggunakan manusia
sebagai subyek, wajib dihindari hal yang merugikan
subyek
b. Dalam melaporkan hasil riset, klien sebagai subyek
identitasnya harus dijaga kerahasiannya.

C. Proses Pelayanan
1. Hubungan dalam Pemberian pada Pelayanan
a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan
dalam hubungan antara klien dengan konselor.

57
b. Klien sepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan
konselor, meskipun proses konseling belum mencapai
suatu hasil yang konkrit. Sebaliknya konselor tidak akan
melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak
memperoleh manfaat dari hubungan itu.

2. Hubungan dengan Klien


a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas
dan keyakinan klien.
b. Konselor wajib menempatkan kepentingan kliennya di
atas kepentingan pribadinya.
c. Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak
diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku,
bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial ekonomi.
d. Konselor tidak akan memaksa untuk memberi bantuan
pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
e. Konselor wajib memberi pelayanan kepada siapapun
terlebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak
orang menghendakinya.
f. Konselor wajib memberikan pelayan hingga tuntas
sepanjang dikehendaki klien.
g. Konselor wajib menjelaskan kepada klien sifat hubungan
yg sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab
masing-masing dalam hubungan profesional.
h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap klien,
apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan, maka wajib
diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan
juga tuntutan profesi sebagai konselor.
i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan profesional
kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya sepanjang
hubunganya profesional.

D. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan


Sejawat 1. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Dalam rangka pemberian pelayanan kepada seorang klien,
kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka

58
ia wajib berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se
lingkungan profesi. Untuk itu ia wajib mendapat izin
terlebih dahulu dari kliennya.

2. Alih Tangan Kasus


a. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan
seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak
dapat memberikan bantuan pada klien tersebut.
b. Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi
tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien
dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada
orang atau badan yang punya keahlian yg relevan.
c. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke
ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli
yang disarankan oleh konselor, maka konselor
mempertimbangkan apa baik dan buruknya.

BAB III
HUBUNGAN KELEMBAGAAN

A. Prinsip Umum
1. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam pelayanan individual,
khususnya mengenai penyimpanan serta penyebaran
informasi klien dan hubungan konfidensial (kerahasiaan)
antara konselor dengan klien, berlaku juga bila konselor
bekerja dalam hubungan kelembagaan
2. Jika konselor bertindak sebagai konsultan di suatu lembaga,
maka ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara dia
dengan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi
konselor di tempat lembaga tersebut. Sebagai seorang
konsultan, konselor wajib tetap mengikuti dasar-dasar
pokok profesi Bimbingan dan konselor tidak bekerja atas
dasar komersial.

59
B. Keterkaitan Kelembagaan
1. Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan
turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan
kerja sama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama
dalam rangka pelayanan konseling dengan menjaga rahasia
pribadi yang dipercayakan kepadanya.
2. Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua
petugas dan lembaga wajib dianggap mencerminkan
kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan
pribadi. Konselor wajib mempertanggungjawabkan
pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya dia berhak
mendapat perlindungan dari lembaga itu dalam
menjalankan profesinya.
3. Setiap konselor yang menjadi staf suatu lembaga wajib
mengetahui program kegiatan lembaga tersebut, dan
pekerjaan konselor wajib dianggap sebagai sumbangan
khas dalam mencapai tujuan lembaga tersebut.
4. Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga,
konselor tidak cocok denganng berlaku di lembaga itu,
maka ia wajib mengundurkan diri dari lembaga tersebut.

BAB IV
PRAKTEK MANDIRI DAN
LAPORAN KEPADA PIHAK LAIN

A. Konselor Praktik Mandiri


1. Konselor yang berpraktik mandiri (privat) dan tidak
bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap
mentaati kode etik jabatan sebagai konselor dan berhak
mendapat perlindungan dari rekan-rekan seprofesi.
2. Konselor yang berpraktik mandiri wajib memperoleh
izin praktik dari organisasi profesi yaitu Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).

60
B. Laporan kepada Pihak Lain
Jika Konselor perlu melaporkan sesuatu hal tentang klien
pada pihak lain (misalnya pimpinan tempat ia bekerja), atau
kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas
suatu badan di luar profesinya, dan ia wajib juga
memberikan informasi itu, maka dalam memberikan
informasi ia wajib sebijaksana mungkin dengan
berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu
klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.

BAB V
KETAATAN PADA PROFESI

A. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban


1. Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai
konselor, konselor wajib mengaitkannya dengan tugas
dan kewajibannya terhadap klien dan profesi sesuai kode
etik ini, dan semuanya itu sepenuhnya untuk
kepentingan dan kebahagiaan klien.
2. Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya
sebagai konselor untuk maksud mencari keuntungan
pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan
klien, atau pun menerima komisi atau balas jasa dalam
bentuk yg tidak wajar.

B. Pelanggaran terhadap Kode Etik


1. Konselor wajib selalu mengkaji secara sadar tingkah laku
dan perbuatannya bahwa ia mentaati kode etik.
2. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwa
pelanggaran terhadap kode etik akan merugikan diri
sendiri, klien, lembaga dan pihak lain yang terkait.
3. Pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan
sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.

61
Lampiran 2

Kode Etik
American Counseling Association (ACA) 2005

Pendahuluan
American counseling association adalah organisasi
pendidikan, ilmiah dan profesional yang anggota-anggotanya
bekerja dalam berbagai lingkungan dan melayani di berbagai
bidang. Anggota-anggota ACA berdedikasi pada peningkatan
perkembangan manusia sepanjang hayat. Anggota-anggota
asosiasi tersebut mengakui adanya keragaman dan mendukung
pendekatan multikultural dalam mendukung kebanggaan,
harga-diri, potensi, dan keunikan masing-masing orang dalam
konteks kultural dan sosial mereka.
Nilai-nilai profesional adalah hal yang penting dalam
menjalankan komitmen prinsip dasar. Nilai yag dipegang teguh
yang memandu cara kita berperilaku tertanam mendalam dalam
diri konselor dan berkembang dari dedikasi pribadi bukan karena
keawjiban yang dipersyaratkan oleh organisasi eksternal.

Tujuan Kode Etik ACA


Kode Etik ACA mempunyai lima tujuan :
1. Kode tersebut membolehkan asosiasi untuk menjelaskan
kepada anggota-anggota yang ada saat ini, calon anggota
masa depan, dan mereka yang mendapat layanan dari
anggota, sifat dari tanggung jawab etika yang secara umum
dianut oleh anggota-anggota ACA.
2. Kode tersebut membantu mendukung misi asosiasi.
3. Kode tersebut mendirikan prinsip yan mendefinisikan
perilaku etika dan penerapan terbaiknya oleh anggota-
anggota asosiasi.
4. Kode tersebut berfungsi sebagai panduan etika yang didesain
untuk membantu para anggota asosiasi dalam membangun
jalur tindakan profesional yang paling cocok bagi pengguna
layanan konseling dan paling baik dalam meningkatkan

62
nilai-nilai dari profesi konseling.
5. Kode tersebut berfungsi sebagai dasar untuk memproses
keluhan tentang etika dan pertanyaan yang ditujukan
kepada anggota asosiasi.
Kodet Etik ACA terdiri atas delapan bagian/ seksi utama
yang membahas bidang-bidang berikut ini :
Seksi A : Hubungan konseling
Seksi B : Kerahasiaan, komunikasi pribadi dan privasi
Seksi C : Tanggung jawab profesional
Seksi D : Hubungan dengan profesional lain
Seksi E : Evaluasi, penilaian dan interpretasi
Seksi F : Pengawasan, pelatihan dan pengajaran
Seksi G : Penelitian dan publikasi
Seksi H : Pemecahan masalah etika
Masing-masing seksi dari kode etik ACA dimulai dengan
pengenalan. Pengenala pada masing-masing seksi membahas
apa yang menjadi aspirasi konselor dalam hal tangung jawab
dan perilaku etika. Pengenalan tersebut membantu
menetapkan nada bagi seksi tertentu dan memberi suatu titik
tolak yang mengundang perenungan mengenai etika yang ada
pada masing-masing bagian kode etik ACA.
Ketika konselor dihadapkan pada dilema etika yang sulit
untuk dipecahkan, mereka diharapkan untuk mengambil
keputusan terkait masalah etika dengan pertimbangan yang
seksama. Perbedaan opini yang beralasan dapat dan ada di
antara para konselor dalam kaitannya dengan cara nilai-nilai,
prinsi etika, dan standar etika diterapkan, saat hal tersebut
saling bertentangan. Meskipun tidak ada model pengambilan
keputusan etika yang spesifik yang paling efektif, konselor
diharapkan untuk lebih familiar dengan suatu model
pengambilan keputusan yang dapat diandalkan, yang dapat
mentoleransi pengamatan masyarakat dan penerapannya.
Melalui suatu proses pengambilan keputusan etika dan
evaluasi konteks situasi, konselor diberdayakan untuk
membuat keputusan yang dapat membantu memperluas
kapasitas manusia untuk bertumbuh dan berkembang.

63
Sebuah daftar istilah singkat dicantumkan untuk memberi
kepada pembaca suatu dekripsi ringkas mengenai beberapa
istilah yang digunakan dalam kode etik ACA.

Seksi A : Hubungan
Konseling Pengenalan
Konselor mendorong pertumbuhan dan perkembangan
klien melalui cara yang dapat meningkatkan minat dan
kesejahteraan klien serta meningkatkan pembentukan
hubungan yang sehat. Konselor berupaya secara aktif untuk
memahami perbedaan latar belakang kultural dari klien yang
mereka layani. Konselor juga mengeksplorasi identitas
kulturalnya sendiri dan bagaimana hal tersebut memengaruhi
nilai-nilai dan keyakinan mereka tentang proses konseilng.
Konselor didorong untuk berkontribusi kepada masyarakat
dengan mendedikasikan sebagaian aktivitas profesional mereka
ke dalam layanan yang hanya memberi sedikti atau tidak
memberi imbalan finansial (pro bono publico).

A.1. Kesejahteraan dari Mereka yang Dilyani oleh Konselor


A.1.a Tanggung Jawab Utama
Tanggung jawab utama dari konselor adalah untuk
menghormati harga diri dan meningkatkan kesejahteraan klien.
Dikutip atas izin american counseling association, 5999
stevenson avenue, alexandria, VA 22304.

A.1.b. Catatan
Konselor menyimpan catatan atau rekaman yang diperlukan
untuk memberikan layanan profesional kepada klien-kliennya
dan sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum, pengaturan,
atau prosedur institusi atau lembaga. Konselor mencantumkan
dokumentasi yang mencukupi dan berkala dalam catatan klien
untuk memfasilitasi pelaksanaan dan kontinuitas layanan yang
diperlukan. Konselor mengambil langkah-langkah yang perlu
untuk memastikan bahwa dokumentasi dalam catatan tersebut
mencerminkan dengan akurat kemajuan klien dan layanan

64
yang diberikannya. Jika terjadi kesalahan dalam catatan klien,
konselor harus mengambil tindakan untuk membuat catatan
yang tepat sebagai koreksi atas kesalahan tersebut menurut
kebijakan badan-badan atau institusi. (lihat A.12g.7., B6., B.6.g.,
G.2.j.)

A.1.c. Rencana Konseling


Konselor dan kliennya bekerja sama dalam mengembangkan
rencana konseling yang terintegrasi, yang menawarkan janji
kesuksesan yang rasional dan konsisten dengan kemampuan dan
kondisi klien. Konselor dan klien secara berkala meninjau ulang
rencana konseling tersebut untuk menilai keberlangsungan
(viabilitas) dan efektivitasnya, dengan menghormati kebebasan
memilih dari klien. (lihat A.2.a., A.2.d., A.12.g.)

A.1.d. Keterlibatan Jaringan Pendukung


Konselor menyadari bahwa jaringan pendukung memegang
peranan penting dalam kehidupan klien dan
mempertimbangkan untuk melibatkan dukungan, pemahaman,
dan keterlibatan lainnya (misal, pemimpin
komunitas/agama/spiritual, anggota keluarga, teman) sebagai
sumber daya yang positif, jika perlu, dengan seizin klien.

A.1.e. Kebutuhan Kerja


Konselor bekerja bersama klien dalam mempertimbangkan
proses kerja di dalam suatu profesi, yang konsisten dengan
kemampuan keseluruhan, batasan profesi, keterbatasan fisik,
temperamen umum, minat dan pola kecakapan, keahlian sosial,
pendidikan, kualifikasi umum, karakteristik lainnya yang
relevan, dan kebutuhan klien. Jika perlu, konselor yang terlatih
dalam perkembangan karier akan dapat membantu dalam
penempatan klien pada suatu posisi yang konsisten dengan
minat, kultur, dan kesejahteraan klien, atasan, dan/ atau
masyarakat.

65
A.2. Persetujuan Tertulis dalam Hubungan Konseling
(lihat A.12.g., B.5., B.6.b., E.13.b., F.1.v., G.2.a.) A.2.a.
Persetujuan Tertulis
Klien mempunyai kebebasan untuk memilih apakah dia akan ikut
atau tetap berada dalam hubungan konseling dan membutuhkan
informasi yang memadai mengenai proses konseling dan
konselornya. Konselor mempunyai suatu kewajiban untuk
memberikan tinjuan dalam bentuk tulisan dan lisan, mengenai
hak-hak dan tanggung jawab baik dari konselor maupun klien.
Persetujuan tertulis adalah suatu bagian yang penting dalam
proses konseling, dan konselor harus mendokumentasikan diskusi
tentang persetujuan tertulis tersebut secara akurat selama
berlangsungnya hubungan konseling.

A.2.b. Tipe Informasi yang Dibutuhkan


Konselor secara eksplisit menjelaskan semua layanan yang
disediakan. Mereka memberikan informasi pada klien mengenai
berbagai hal namun tidak terbatas hanya mengenai hal-hal
tersebut saja, seperti misalnya: maksud, tujuan, teknik, prosedur,
batasan, risiko potensial, dan manfaat layanan; kualifikasi
konselor, pengharaan, dan pengalaman yang relevan; kontinuitas
layanan sepeninggal konselor baik karena ketidakmampuan atau
kematian dan informasi penting lainnya. Konselor mengambil
langkah-langkah guna memastikan bahwa klien memahami
implikasi dari diagnosis, maksud penggunaan tes dan laporan,
biaya dan persetujuan pembayaran. Klien mempunyai hak atas
kerahasiaan dan hak mendapatkan penjelasan tentang batasan
(termasuk bagaimana keterlibatan supervisor dan/ atau tim
profesional peraatan lainnya); untuk mendapat informasi yang
jelas mengenai catatan diri mereka; untuk berpartisipasi dalam
rencana konseling; modalitas apapun, serta untuk mendapatkan
saran tentang konsekuensi dari penolakan tersebut.

A.2.c. Kepekaan Kultural dan Perkembangan


Konselor memberikan informasi dengan cara yang tepat secara
kultural maupun perkembangan. Konselor menggunakan

66
bahasa yang mudah dipahami dan jelas saat mendiskusikan
masalah yang berhubungan dengan persetujuan tertulis. Jika klien
kesulitan dalam memahami bahasa yang digunakan oleh
konselor, konselor harus menyediakan layanan yang dibutuhkan
(misalnya, mempersiapkan seorang penerjemah yang
berkualifikas) untuk memastikan pemahaman klien. Dalam
berkolaborasi dengan klien, konselor harus mempertimbangkan
dampak kultural dari prosedur persetujuan tertulis dan jika me-
mungkinkan,- konselor menyesuaikan praktiknya secara akurat.

A.2.d. Ketidakmampuan untuk memberikan persetujuan


Jika konselor diberikan kepada orang yang tidak dapat memberi
persetujuan tertulis secara suka rela, konselor harus mencoba
mendapatkan persetujuan lisan klien untuk layanan yang dia
berikan dan melibatkan klien dalam pengambilan keputusan, jika
memungkinkan konselor menyadari pentingnya
menyeimbangkan hak klien untuk membuat keputusan, kapasitas
mereka untuk memberikan persetujuan tertulis untuk menyetujui
layanan yang diterimanya, dengan hak legal dan tanggung jawab
keluarga atau orang tua untuk melindungi klien tersebut dan
membuat keputusan atas nama mereka.

A.3. Klien yang dilayani oleh Orang Lain


Ketika konselor mengetahui bahwa klien mereka mempunyai
hubungan profesional dengan profesi kesehatan mental lainnya,
mereka bisa meminta surat izin dari klien untuk memberi
informasi ke profesional lain tersebut dan membangun hubungan
profesional yang positif dan kolaboratif.

A.4. Menghindari hal yang Membahayakan


dan Pemaksaan Nilai
A.4.a. Menghindari hal yang membahayakan
Konselor mengambil tindakan untuk tidak membahayakan
kliennya, peserta latihan, dan partisipan penelitian serta
meminimalkan atau meremediasi bahaya yang tidak dapat
dihindari atau tidak dapat diantisipasi.

67
A.4.b. Nilai-nilai Pribadi
Konselor memahami nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan perilakunya
serta menghindari pemaksaan nilai-nilai yang tidak konsisten
dengan tujuan konseling. Konselor harus menghormati
keragaman klien, peserta pelatihan, dan partisipasi penelitian.

A.5. Peranan dan Hubungan dengan


Klien (lihat F.3., F.10., g.3.)

A.5.a. Klien sekarang


Interaksi seksual atau romantis antara konselor klien atau
hubungan dengan klien terkini, pasangannya atau anggota
keluarganya, dilarang.

A.5.b. Mantan klien


Interaksi seksual atau romantis antara konselor klien atau
hubungan dengan mantan klien, pasangannya, atau anggota
keluarganya dilarang untuk setidaknya selama lima tahun
setelah kontak profesional terakhir. Konselor, sebelum masuk
ke dalam hubungan atau interaksi seksual atau romantis
dengan klien, pasangannya atau anggota keluarga klien setelah
lima tahun dari sejak kontak profesional terakhir, menunjukkan
pertimbangan yang cermat dan dokumen (dalam bentuk
formulir tertulis) apakan interaksi atau hubungan tersebu dapat
dipandang bersifat eksploitasi atau masih ada potensial untuk
membahayakan mantan klien; jika dalam kasus tersebut ada
potensi untuk terjadi eksploitasi dan/atau bahaya, konselor
harus menghindari hubungan atau interaksi tersebut.

A.5.c. Interaksi atau hubungan nonprofesional (selain


hubungan atau interaksi romantis atau seksual)
Hubungan konselor - klien yang nonprofesional baik dengan
klien, mantan klien, pasangan, atau anggota keluarga klien
harus dihindari kecuali jika interaksi tersebut berpotensi
memberikan manfaat bagi klien. (lihat A.5.d.)

68
A.5.d. Interaksi yang berpotensi memberikan manfaat
Jika interaksi konselor-klien yang bersifat non profesional dengan
seorang klien atau mantan klien berpotensi menguntungkan bagi
klien atau mantan klien, konselor harus mendokumentasikan
dalam catatan kasus, sebelum melakukan interaksi (jika
memungkinkan), alasan dari interaksi tersebut, keuntungan
potensial, dan perkiraan konseksuensinya terhadap klien atau
mantan klien dan individu lain yang terlibat secara signifikan
dengan klien atau mantan klien tersebut. Interaksi semacam itu
harus dimulai dengan persetujuan klien dan dilakukan dengan
tepat. Jika terjadi risiko yang tidak diduga pada klien atau mantan
klien atau pada individu yang terlibat secara signifikan dengan
klien atau mantan klien, akibat interaksi nonprofesional, konselor
harus menunjukkan bukti dari upaya memperbaiki risiko tersebut.
Contoh interaksi yang berpotensial menguntungkan adalah, tetapi
tidak terbatas pada, menghadiri upacara formal (misalnya,
pernikahan, pesta pertunangan atau upacara kelulusan); membeli
layanan atau produk yang dibuat oleh klien atau mantan klien
(terkecuali barter tanpa batas); kunjungan untuk menjenguk
anggota keluarga kilen yang sakit; keanggotaan mutual dalam
asosiasi profesional, organisasi, atau komunitas. (lihat A.5.c.)

A.5.e. Perubahan peran dalam hubungan konseling


Ketika seorang konselor mengubah suatu peran dari aslinya
atau hubungan kontrak yang paling akhir, dia harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari klien dan menjelaskan
hak kilen untuk menolak layanan yang berhubungan dengan
perubahan tersebut. Contoh perubahan peran termasuk :
1. berubah dari hubungan individual menjadi konseling
keluarga, atau sebaliknya;
2. berubah dari peran evaluatif non forensik menjadi peran
terapis, atau sebaliknya;
3. berubah dari peran konselor menjadi peneliti (misalnya,
mendaftarkan klien sebagai partisipan penelitian), atau
sebaliknya;

69
4. berubah dari peran konselor menjadi mediator, atau
sebaliknya.
Klien harus diberitahu secara lengkap tentang konsekuensi apa
yang bisa terjadi (misalnya, finansial, hukum, personal, atau
terapi) dari perubahan peranan konselor tersebut.

A.6. Peran dan Hubungan pada Tingkat Individual,


Kelompok, Institusional dan Masyarakat
A.6.a. Advokasi
Jika memungkinkan, konselor memberikan saran atau advokasi
di tingkat individual, kelompok, institusional dan masyarakat
untuk memeriksa penghambat dan rintangan potensial yang
menghambat askes dan/atau pertumbuhan dan perkembangan
klien.

A.6.b. Kerahasiaan dan Advokasi


Konselor harus mendapatkan persetujuan klien terlebih dahulu
sebelum melakukan upaya advokasi atas nama klien (klien
yang sudah pasti) untuk meningkatkan pemberian layanan dan
menghilangkan penghalang atau rintangan sistemik yang
menghambat askes, pertumbuhan, dan perkembangan klien.

A.7. Klien Multipel


Ketika konselor setuju untuk memberikan layanan konseling pada
2 orang atau lebih yang mempunyai hubungan, konselor harus
mengklarifikasi sejak awal siapa yang menjadi kliennya dan sifat
hubungan konseling yang dijalin konselor dengan masing-masing
pihak. Jika terlihat bahwa konselor kemungkinan akan masuk ke
dalam peran yang berpotensi menimbulkan konflik, konselor
dapat mengklarifikasi, menyesuaikan, atau mundur dari peran
tersebut, jika memungkinkan (lihat A.8.a., B.4.)

A.8. Kerja Kelompok


(lihat B.4.a.)

70
A.8.a. Penyaringan
Konselor menyaring peserta konseling/terapi kelompok yang
prospektif. Dalam kisaran yang paling memungkinkan, konselor
memilih anggota-anggota yang kebutuhan dan tujuannya
kompatibel dengan tujuan kelompok, yang tidak akan
menghambat proses kelompok, dan yang kesejahteraannya tidak
terganggu oleh pengalaman kelompok tersebut.

A.8.b. Melindungi Klien


Dalam sebuah kelompok, konselor mengambil langkah
kewaspadaan yang diperlukan untuk melindungi klien dari
trauma fisik, emosi, ataupun psikologis.

A.9. Perawatan Akhir Hayat untuk Klien Lanjut


Usia A.9.a. Kualitas Perawatan
Konselor berusaha melakukan tindakan yang memungkinkan
klien :
1. mendapatkan perawatan akhir hayat yang terbaik untuk
kebutuhan fisik, emosi, sosial, dan spiritualnya;
2. melatih tingkat keyakinan diri yang paling tertinggi yang
dapat dicapai;
3. memberikan setiap kesempatan yang ada untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan perihal perawatan akhir
hayat; dan
4. menerima penilaian yang lengkap dan mencukupi tentang
kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang
kompeten dan rasional demi diri mereka sendiri dari
profesional kesehatan mental yang berpengalaman dalam
praktik perawatan akhir hayat.

A.9.b. Kompetensi konselor, pilihan dan rujukan


Dengan mengetahui masalah personal, moral, dan kompetensi
terkait dengan keputusan akhir hayat, konselor dapat memilih
untuk menangani atau tidak menangani klien lanjut usia dengan
penyakit terminal yang ingin mengeksplorasi pilihan-pilihan di
akhir hayatnya. Konselor dapat menyediakan informasi rujukan

71
yang tepat untuk memastikan bahwa klien tersebut menerima
bantuan yang diperlukan.

A.9.c. Kerahasiaan
Konselor yang menyediakan layanan untuk lansia yang
berpenyakit terminal dan diperkirakan berusaha mempercepat
kematiannya sendiri, mempunyai pilihan untuk membuka atau
tidak membuka kerahasiaan, bergantung pada hukum yang
berlaku dan kondisi khusus dan setelah berkonsultasi atau
meminta arahan dari profesional dan badan hukum yang tepat.
(lihat B.5.c., B.7.c.)

A. 10. Biaya dan Barter


A. 10.a. Menerima pembayaran dari Agen Klien
Konselor menolak pembayaran pribadi atau pembayaran lain
untuk layanan yang diberikan kepada orang-orang yang
membutuhkan layanan tersebut melalui agen atau institusi
yang mempekerjakan konselor. Kebijakan dari agen-agen
tertentu secara eksplisit membolehkan klien dari agen-agen
tersebut untuk menerima layanan dari anggota-anggota staf
dalam praktik pribadi. Pada situasi tersebut, klien harus
diberitahu mengenai pilihan lain yang terbuka bagi mereka
yang ingin mencari layanan konseling pribadi.

A.10.b. Menetapkan Biaya


Dalam menetapkan biaya untuk layanan konseling profesional,
konselor harus mempertimbangkan status finansial klien dan
lokasi. Jika penetapan biaya tidak tepat bagi klien, konselor
harus membantu klien dalam upaya menemukan layanan yang
sebanding dengan biaya yang terjangkau.

A.10.c. Tidak Membayar Biaya


Jika konselor berniat untuk menggunakan kolektor atau
mengambil tindakan hukum guna mendapatkan pembayaran
dari klien yang tidak membayar layanan yang telah disetujui
bersama, pertama-tama dia harus memberitahu klien tersebut

72
mengenai tindakan yang dimaksudkan dan menawarkan
kesempatan pada klien untuk melakukan pembayaran.

A.10.d. Barter
Konselor dapat menggunakan barter hanya jika hubungan
tidak bersifat ekspoitatif atau membahayakan dan tidak
membuat konselor mendapatkan keuntungan yang tidak adil,
jika klien memintanya dan jika pengaturan tersebut telah
mejadi praktik yang diterima di kalangan para profesional
dalam komunitas tersebut. Konselor harus mempertimbangkan
dampak kultural dari barter dan mendiskusikan masalah yang
relevan dengan klien serta mendokumentasikan persetujuan
semacam itu dalam kontrak yang tertulis secara jelas.

A.10.e. Menerima Hadiah


Konselor harus memenuhi tantangan yang ada dalam
menerima hadiah dari klien dan menyadari bahwa pada
beberapa budaya, hadiah kecil adalah ekspresi rasa hormat dan
syukur. Saat menentukan apakah akan menerima hadiah
tersebut atau tidak, konselor harus mempertimbangkan
hubungan terapi, harga hadiah tersebut jika diuangkan,
motivasi klien dalam memberikan hadiah, dan motivasi
konselor saat menerima atau menolak hadiah tersebut.

A.11. Terminasi dan Rujukan


A.11.a. Penelantaran dilarang
Konselor tidak boleh menelantarkan klien dalam konseling.
Konselor membantu dalam membuat perjanjian yang tepat
untuk kontinuitas perawatan, jika perlu, selama masa interupsi
seperti liburan, sakit dan setelah pengakhiran.

A.11.b. Ketidakmampuan untuk Membantu Klien


Jika konselor memutuskan tidak mampu memberi bantuan
secara profesional kepada klien, dia tidak boleh memulai atau
meneruskan hubungan konseling. Konselor harus mengetahui
sumber-sumber rujukan yang tepat secara klinis dan budaya

73
dan harus menyarankan alternatif-alternatif tersebut. Jika klien
menolak rujukan yang disarankan, konselor harus
memutuskan hubungan tersebut.

A.11.c. Pengakhiran yang Tepat


Konselor mengakhiri hubungan konseling jika secara jelas
terlihat bahwa klien tidak lagi membutuhkan bantuan, tidak
lagi mendapatkan keuntungan, atau ada risiko jika konseling
dilanjutkan. Konselor dapat mengakhiri hubungan konseling
jika merasa terancam oleh klien, atau orang lain yang
mempunyai hubungan dengan klien, atau ketika klien tidak
membayar biaya yang telah disetujui. Konselor dapat
memberikan konseling pra pengakhiran dan
merekomendasikan penyedia layanan lain jika diperlukan.

A.11.d. Transfer Layanan yang Tepat


Ketika konselor melakukan pemindahan atau merujuk klien
kepada praktisi lain, dia harus memastikan bahwa proses
administratif dan klinis telah dilakukan dengan tepat dan tetap
membuka komunikasi dengan klien dan praktisi lain tersebut.

A.12 Penerapan Teknologi


A.12.a. Manfaat dan Batasan
Konselor memberi informasi kepada klien mengenai manfaat
dan batasan dari penerapan teknologi infomarsi dalam proses
konseling dan prosedur bisnis/finansial. Teknologi semacam
itu termasuk, tetapi tidak terbatas pada, perangkat keras dan
perangkat lunak komputer, telepon, world wide web, internet,
instrumen penilaian online dan perangkat komunikasi lainnya.

A.12.b. Layanan Berbasis Teknologi


Ketika memberikan layanan jarak jauh yang berbasis teknologi,
konselor harus menentukan bahwa klien baik secara intelektual,
emosional, dan fisik mampu menggunakan teknologi dan bahwa
penerapan teknologi tepat untuk kebutuhan klien.

74
A.12.c. Layanan yang Tidak Tepat
Jika layanan konseling jarak jauh berbasis teknologi dirasakan
tidak tepat oleh konselor maupun klien, konselor harus
mempertimbangkan untuk memberikan layanan tatap muka.

A.12.d. Akses
Konselor memberi akses ke penerapan komputer yang tepat saat
memberikan layanan konseling jarak jauh berbasis teknologi.

A.12.e. Hukum dan Aturan


Konselor harus memastikan bahwa penggunaan teknologi
tidak menyalahi hukum lokal, negara, ataupun internasional
dan memantau semua perundangan yang relevan.

A.12.f. Asistensi
Konselor harus mencari bantuan bisnis, hukum, dan teknis
ketika menggunakan penerapan teknologi, khususnya jika
penerapan tersebut antar propinsi atau lintas negara.

A.12.g. Persetujuan Tertulis dan Teknologi


Sebagai bagian dari proses membuat persetujuan tertulis,
konselor harus melakukan hal-hal berikut ini:
1. membahas masalah yang berkaitan dengan kesulitan untuk
mempertahankan kerahasiaan dalam mengirimkan
komunikasi melalui media elektronik.
2. memberikan informasi kepada klien mengenai semua kolega,
supervisor, dan bawahan, seperti misalnya administrator
Teknologi Informasi (TI), yang mempunyai izin atau tidak
mempunyai izin untuk mengakses transmisi elektronik.
3. mendorong klien untuk mengenal semua pengguna baik
yang mempunyai izin maupun tidak, termasuk anggota
keluarga dan bawahan, yang mempunyai akses ke teknologi
yang digunakan klien pada proses konseling.
4. memberikan informasi kepada klien mengenai hak-hak
hukum yang penting dan batasan-batasan yang mengatur
praktik suatu profesi lintas negara atau internasional.

75
5. menggunakan web site dan komunitas e-mail yang ter-
enkripsi untuk membantu dalam memastikan kerahasiaan
jika memungkinkan.
6. ketika pengguna web site yang ter-enkripsi tidak
dimungkinkan, konselor harus memberitahukan fakta ini
kepada klien dan membatasi transmisi elektronik hanya
untuk komunikasi umum yang tidak spesifik berkaitan
dengan klien.
7. memberikan informasi kepada klien jika dan berapa lama
penyimpanan arsip catatan transaksi akan disimpan/
dipertahankan.
8. mendiskusikan kemungkinan kegagalan teknologi dan
metode pengantaran layanan alternatif.
9. memberikan informasi kepada klien mengenai prosedur
gawat darurat, seperti menghubungi nomor panggilan
darurat atau hotline krisis lokal misalnya, saat konselor
tidak di tempat.
10. mendiskusikan perbedaan zona waktu, kebiasaan
masyarakat, dan perbedaan bahasa atau budaya yang dapat
memberikan dampak pada pengantaran layanan.
11. memberikan informasi kepada klien ketika layanan
konseling jarak jauh berbasis teknologi tidak termasuk
dalam penggantian asuransi. (lihat A.2.)

A.12.h. Situs-situs di World /Wide Web


Konselor yang mempertahankan situs-situs di world wide web
(internet) harus melakukan hal-hal berikut ini :
1. secara teratur memeriksa apakah link berjalan dengan tepat
dan profesional.
2. menetapkan bagaimana cara klien untuk menghubungi
konselor jika terjadi kegaglaan teknologi.
3. menyediakan link-link yang berhubungan dengan lisensi
negara dan dewan sertifikat profesional untuk melindungi hak
konsumen dan memfasilitasi pembahasan masalah etika.
4. menetapkan metode untuk memverifikasi identitas klien.

76
5. mendapatkan persetujuan tertulis dari wali yang sah atau
perwakilan lain yang sah dalam memberikan layanan jika
klien adalah anak-anak, orang dewasa yang secara hukum
tidak kompeten, atau orang dewasa yang tidak mampu
memberikan persetujuan tertulis.
6. berupaya untuk menyediakan situs yang dapat diakses oleh
penderita cacat.
7. berupaya untuk memberikan terjemahan bagi klien-klien
yag bahasa utamanya berbeda sambil menangani segi-segi
tidak sempurna dari terjemahan tersebut.
8. membantu klien dalam menentukan keabsahan dan keandalan
informasi yang ditemukan dalam world wide web
(internet) dan penerapan teknologi lainnya.

SEKSI B : KERAHASIAAN, KOMUNIKASI TERTUTUP,


DAN PRIVASI

Pengenalan
Konselor mengakui bahwa kepercayaan adalah batu fondasi
dalam hubungan konseling. Konselor berusaha mendapatkan
kepercayaan klien dengan menciptakan kemitraan yang
berkelanjutan, membangun dan mematuhi batasan-batasan
yang tepat, dan menjaga kerahasiaan. Konselor
mengomunikasikan parameter kerahasiaan dalam suatu pola
yang kompeten secara kultural.

B.1. Menghormati Hak-hak Klien


B.1.a. Pertimbangan Multikultural/Diversitas
Konselor harus menjaga kesadaran dan kepekaannya akan
kerahasiaan dan privasi secara kultural. Konselor harus
menghormati sudut pandang yang berbeda-beda dalam
penyampaian informasi. Konselor harus membangun diskusi
yang berkelanjutan dengan klien seperti misalnya bagaimana,
kapan dan dengan siapa informasi tersebut akan dibagi.

77
B.1.b. Menghormati Privasi
Konselor menghormati hak-hak klien mengenai privasi.
Konselor meminta informasi pribadi dari klien hanya jika hal
itu menguntungkan bagi proses konseling.

B.1.c. Menghormati Kerahasiaan


Konselor tidak boleh membagi informasi rahasia tanpa
persetujuan dari klien atau tanpa persetujuan hukum ataupun
etika.

B.1.d. Penjelasan tentang Batasan


Pada awal dan selama proses konseling, konselor memberikan
informasi kepada klien mengenai batasan kerahasiaan dan
mencoba mengidentifikasi situasi yang mengharuskan
pembocoran rahasia. (Lihat A.2.b.)

B.2. Pengecualian
B.2.a. Bahaya dan Persyaratan Hukum
Persyaratan umum yang mengatur bahwa konselor harus
menjaga kerahasiaan informasi tidak berlaku jika informasi
tersebut harus dibuka demi melindungi klien atau orang lain
dari bahaya yang serius dan dapat diprediksi atau jika
persyaratan hukum menuntut agar informasi rahasia harus
diungkapkan. Konselor berkonsultasi dengan profesional lain
saat mengalami keraguan mengenai keabsahan suatu
pengecualian. Pertimbangan tambahan berlaku saat membahas
masalah akhir hayat. (Lihat A.9.c.)

B.2.b. Penyakit Menular, Membahayakan Nyawa


Jika klien menyebutkan bahwa dia mempunyai penyakit yang
biasanya dikenal dapat menular dan fatal, konselor dibenarkan
jika dia menyebutkan informasi tersebut kepada pihak ketiga
yang dia kenal, jika pihak ketiga ini dapat dibuktikan berisiko
tinggi untuk tertular penyakit tersebut. Sebelum mengungkapkan
fakta tersebut, konselor memastikan bahwa diagnosis itu memang
benar, dan menilai niat dari klien untuk memberitahu

78
pihak ketiga mengenai penyakit atau perilaku lain yang dapat
menimbulkan bahaya bagi pihak ketiga tersebut.

B.2. c. Pengungkapan yang diperintahkan Pengadilan


Jika pengadilan memerintahkan untuk membuka informasi
rahasia atau informasi pribadi tanpa izin dari klien, konselor
harus meminta persetujuan tertulis dari klien atau mengambil
langkah yang tepat guna melarang pemberian informasi
rahasia atau membatasinya seminimal mungkin, mengingat
ada kemungkinan hal ini berisiko bagi klien maupun hubungan
konseling.

B.2. d. Pengungkapan Minimal


Sedapat mungkin, klien diberitahu sebelum informasi rahasia
dibuka dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan
mengenai pengungkapan informasi tersebut. Jika situasi
membutuhkan pengungkapan informasi rahasia, hanya
informasi yang dibutuhkan saja yang boleh dibuka.

B.3. Informasi yang Dibagi dengan Orang


Lain B.3.a. Bawahan
Konselor sedapat mungkin harus memastikan bahwa privasi dan
kerahasiaan klien dijaga oleh bawahan, termasuk karyawan,
supervisor, siswa, asisten, dan sukarelawan. (Lihat F.1.c)

B. 3.b. Tim Perawatan


Jika perawatan klien melibatkan tinjauan berkelanjutan atau
partisipasi tim perawatan, klien akan diberitahu mengenai
keberadaan tim tersebut beserta komposisinya, informasi yang
dibagi bersama, dan tujuan membagi informasi tersebut.

B.3.c. Pengaturan Kerahasiaan


Konselor mendiskusikan informasi rahasia dalam lingkungan
di mana konselor dapat menjamin privasi klien.

79
B.3.d. Pembayar Pihak Ketiga
Konselor mengungkapkan informasi ke pihak ketiga hanya jika
klien telah memberi izin.

B.3.e. Mengirimkan Informasi Rahasia


Konselor mengambil langkah antisipasi untuk memastikan
kerahasiaan informasi yang dikirimkan melalui komputer,
surat elektronik, mesin faks, telepon, voicemail, mesin
penjawab telepon, dan media elektronik atau teknologi
komputer lainnya. (Lihat A. 12.g.)

B.3.f. Klien yang Meninggal


Konselor melindungi kerahasiaan klien yang meninggal,
konsisten dengan persyaratan hukum dan kebijakan lembaga
atau lingkungan.

B.4. Kelompok dan Keluarga


B.4.a. Kerja Kelompok
Dalam kerja kelompok, konselor menjelaskan sejelas-jelasnya
mengenai pentingnya kerahasiaan dan parameter kerahasiaan
untuk kelompok tertentu yang terkait di sini.

B.4.b. Konseling Keluarga dan Pasangan


Dalam konseling keluarga dan pasangan, konselor harus
menentukan secara jelas siapa yang dipertimbangkan sebagai
“klien” dan membahas harapan-harapan serta batas
kerahasiaan. Konselor meminta persetujuan dan
mendokumentasikan secara tertulis perjanjian di antara semua
pihak yang terlibat, yang mempunyai kapasitas untuk
memberikan persetujuan berkaitan dengan hak kerahasiaan
masing-masing pihak dan kewajiban yang harus dilakukan
untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut.

80
B.5. Klien yang Kurang Mampu Memberikan Persetujuan Tertulis

B.5.a. Tanggung Jawab kepada Klien


Ketika memberi konseling pada klien anak atau klien dewasa
yang kurang mampu memberikan persetujuan secara sukarela,
konselor melindungi kerahasiaan informasi yang diterima dalam
hubungan konseling seperti diatur oleh hukum federal dan
negara, kebijakan tertulis, dan standar etika yang diterapkan.

B.5.b. Tanggung Jawab kepada Orang Tua dan Wali yang Disahkan
Konselor memberi informasi kepada orang tua dan wali yang
sah mengenai peranan konselor dan sifat kerahasiaan dari
hubungan konseling. Konselor harus peka terhadap perbedaan
kultural dari keluarga dan menghormati hak serta tanggung
jawab orangtua/ wali atas kesejahteraan anak-anak
mereka/perubahan menurut hukum. Konselor bekerja untuk
membangun hubungan yang kolaboratif dengan orangtua/wali
untuk memberi layanan terbaik kepada klien.

B. 5. c. Melepaskan Informasi Rahasia


Ketika memberikan konseling pada klien anak atau klien
dewasa yang tidak mampu memberikan persetujuan secara
sukarela untuk pelepasan informasi rahasia, konselor meminta
izin dari pihak ketiga yang tepat untuk pengungkapan
informasi tersebut kepada klien sesuai dengan tingkat
pemahamannya dan mengambil langkah yang tepat secara
kultural untuk melindungi kerahasiaan klien.

B.6 Catatan
B.6.a. Kerahasiaan Catatan
Konselor memastikan bahwa catatan tersimpan di tempat yang
aman dan hanya orang yang mempunyai izin yang dapat
mengakses catatan tersebut.

81
B.6.b. Izin untuk Mencatat
Konselor meminta izin dari klien sebelum sesi pencatatan/
perekaman melalui peralatan elektronik atau peralatan lainnya.

B.6.c. lzin untuk Mengamati


Konselor meminta izin dari klien sebelum mengamati sesi
konseling, meninjau ulang transkrip sesi, meninjau catatan dari
sesi, bersama dengan supervisor, rekan, kelompok, ataupun
orang lain di dalam lingkungan pelatihan.

B. 6. d. Akses Klien
Konselor memberikan akses yang memadai atas catatan dan
salinan catatan jika diminta oleh klien yang berkepentingan.
Konselor membatasi akses klien terhadap catatan, ataupun
sebagian dari catatan, hanya jika terdapat bukti yang
mendukung bahwa akses tersebut dapat membahayakan klien.
Konselor mendokumentasikan permintaan klien tersebut dan
alasannya untuk menahan beberapa atau semua catatan
tentang klien, ke dalam dokumen klien. Dalam situasi yang
melibatkan banyak klien, konselor memberikan kepada
masing-masing klien, bagian catatan yang berhubungan
langsung dengan setiap individu saja dan tidak termasuk
informasi rahasia yang berkaitan dengan klien lainnya.

B.6.e. Bantuan untuk Catatan


Jika klien meminta akses ke catatan mereka, konselor
memberikan bantuan dan konsultasi dalam menerjemahkan
catatan konseling.

B.6.f. Pengungkapan atau Transfer


Kecuali ada pengecualian mengenai kerahasiaan, konselor
meminta izin tertulis dari klien untuk mengungkapkan atau
mentransfer catatan ke pihak ketiga yang sah menurut hukum.
Akan diambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa
penerima catatan tersebut peka terhadap kerahasiaan. (lihat
A.3., E.4.)

82
B. 6. g. Penyimpanan dan Pemusnahan Setelah Pengakhiran
Konselor menyimpan catatan setelah pengakhiran layanan
untuk menjamin askes di kemudian hari, menjaga catatan
sesuai hukum negara dan aturan pemerintah federal perihal
catatan, dan memusnahkan catatan klien dan materi sensitif
lainnya dengan cara yang melindungi kerahasiaan klien. Jika
catatan mengandung nilai artistik, konselor meminta
persetujuan orang tua atau wali klien dalam kaitannya dengan
penanganan catatan atau dokumen seperti itu. (Lihat A.l.b.)

B. 6.h. Pencegahan Rasional


Konselor mengambil tindakan pencegahan yang rasional untuk
melindungi- kerahasiaan klien pada situasi konselor
melakukan pengakhiran- praktik, ketidakmampuan, atau
kematian. (Lihat C.2.b.)

B.7. Penelitian dan Pelatihan


B. 7.a Persetujuan Institusi
Jika persetujuan institusi dibutuhkan, konselor menyediakan
informasi.yang akurat tentang proposal penelitiannya dan
meminta persetujuan sebelum melakukan penelitian. Konselor
melakukan penelitian sesuai dengan proposal penelitian yang
telah disetujui.

B. 7.b. Kepatuhan terhadap Panduan


Konselor bertanggung jawab untuk memahami dan mematuhi
kebijakan negara, pemerintah, lembaga, atau institusi atau
menerapkan panduan dalam hal kerahasiaan dalam praktik
penelitian mereka.

B.7.c. Kerahasiaan lnformasi yang Didapatkan dalam Penelitian


Pelanggaran privasi partisipan dan kerahasiaan merupakan risiko
dari partisipasi dalam penelitian yang melibatkan manusia
sebagai partisipannya. Para penyelidik harus menjaga semua
catatan penelitian dengan aman. Mereka harus menjelaskan risiko
pelanggaran privasi dan kerahasiaan kepada partisipan,

83
dan menguraikan batasan kerahasiaan rasional yang dapat
diharapkan. Terlepas dari seberapa jauh tingkat kerahasiaan yang
akan dijaga, peneliti harus memberitahu partisipan menge- nai
batas-batas kerahasiaan yang dapat diharapkan. (Lihat G.2.e.)

B. 7. d. Pengungkapan Informasi Penelitian


Konselor tidak mengungkapkan informasi rahasia yang dapat
mengarah pada identifikasi seorang partisipan dalam
penelitian kecuali sudah mendapatkan persetujuan dari orang
tersebut. Penggunaan data yang berasal dari hubungan
konseling untuk tujuan pelatihan, penelitian, atau publikasi
dibatasi pada isi yang disamarkan untuk menjamin
keanoniman individu yang bersanghutan. (Lihat G.2.a., G.2.d.)

B. 7. e. Persetujuan untuk Identifikasi


Identifikasi klien, siswa, atau penyelia dalam suatu presentasi
atau publikasi hanya diizinkan jika mereka telah meninjau
materi dan setuju dengan presentasi atau publikasi tersebut.
(Lihat G.d.4.)

B.8. Konsultasi
B.8.a. Persetujuan
Ketika bertindak sebagai konsultan, konselor meminta
persetujuan dari semua pihak yang terlibat terkait hak
kerahasiaan masing-masing individu, kewajiban setiap
individu untuk menjaga informasi rahasia, dan batas
kerahasiaan informasi yang dibagi dengan orang lain.

B. 8. b. Menghormati Privasi
Informasi yang didapat dari hubungan konseling dibahas
untuk tujuan profesional hanya dengan orang yang langsung
terlibat dengan kasus tersebut. Laporan lisan dan tulisan hanya
memaparkan data yang relevan untuk tujuan konsultasi, dan
dilakukan upaya sedapat mungkin untuk melindungi identitas
klien dan mencegah invasi yang tidak diinginkan terhadap
privasi klien.

84
B.8.c. Pengungkapan Informasi Rahasia
Saat berkonsultasi dengan rekan, konselor tidak boleh
mengungkapkan informasi rahasia yang secara rasional dapat
mengarah pada identifikasi seorang klien atau orang lain atau
organisasi dengan siapa mereka mempunyai ikatan rahasia
kecuali konselor, telah mendapatkan persetujuan dari orang
atau organisasi tersebut atau pengungkapan tersebut tidak
dapat dihindarkan. Konselor hanya boleh mengungkapkan
informasi rahasia sebatas yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dari konsultasi tersebut. (Lihat D.2.d.)

SEKSI C: TANGGUNG JAWAB


PROFESIONAL Pengenalan
Konselor bermaksud melakukan komunikasi terbuka, jujur, dan
akurat dalarn berhadapan dengan masyarakat dan profesional
lain. Mereka berpraktik tanpa diskriminasi di dalam batas-batas
profesional dan kompetensi pribadi serta bertanggung jawab
untuk mematuhi Kode etik ACA. Konselor berpartisipasi aktif di
dalam asosiasi lokal, propinsi, dan nasional yang mendukung
perkembangan dan kemajuan konseling. Konselor memberi
advokasi untuk meningkatkan perubahan pada tingkat
individual, kelompok, institusional, dan masyarakat yang
memperbaiki kualitas hidup individu dan kelompok serta
menghilangkan penghalang potensial dalam memberikan atau
mengakses layanan yang ditawarkan. Konselor bertanggung
jawab kepada masyarakat untuk melakukan praktik konseling
yang didasarkan pada metodologi penelitian yang seksama.
Sebagai tumbahan, konselor berpartisipasi dalam aktivitas
perawatan diri untuk menjaga dan meningikatkan kesejahteraan
emosional, fisik, mental, dan spiritual agar dapat memenuhi
tanggung jawab profesiorial mereka sebaik mungkin.

C.1. Pengetahuan mengenai Standar


Konselor bertanggung jawab untuk membaca, memahami, dan
mengikuti Kode Etik ACA serta mematuhi hukum dan peraturan
yang berlaku.

85
C.2. Kompetensi Profesional
C.2.a. Batasan Kompetensi
Konselor hanya berpraktik di dalam batasan kompetensinya,
berdasarkan pada pendidikan, pelatihan, pengalaman selama
disupervisi, kredensial profesional kedaerahan dan nasional,
serta pengalaman profesionalnya. Konselor mendapatkan
pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keahlian yang
penting untuk menangani beraneka ragam populasi klien.
(Lihat A.9.b., C.4.e., E.2., F2., F.11.b.)

C.2.b. Praktik Bidang Spesialisasi Baru


Konselor berpraktik dalam bidang spesialisasi yang baru bagi
merekahanyasetelahmendapatpendidikanyangtepat,pelatihan,
dan pengalaman mensupervisi. Sambil mengembangkan
keahlian dalam bidang spesialisasi baru, konselor mengambil
langkah untuk menjamin kompetensi dari pekerjaan mereka
dan melindungi orang lain dari bahaya yang mungkin terjadi.
(Lihat F.6.f.)

C. 2. c. Kualifikasi untuk Dipekerjakan


Konselor menerima pekerjaan hanya untuk posisi yang sesuai
dengan kualifikasi mereka yang ditentukan oleh pendidikan,
pelatihan, pengalaman mensupervisi, kualifikasi profesional
daerah dan negara, dan pengalaman profesional. KonseIor
yang dipekerjakan untuk posisi konseling profesional hanyalah
yang berkualifikasi dan kompeten untuk bidang ini.

C.2. d. Pemantauan Keefektifan


Konselor secara berkelanjutan memantau keefektifannya
sebagai seorang profesional dan mengambil langkah-langkah
untuk memperbaiki diri jika perlu. konselor yang berpraktik
pribadi harus mengambil langkah rasional untuk mencari
rekan supervisor yang diperlukan guna mengevaluasi efisiensi
dirinya sebagai seorang konselor.

86
C.2.e. Konsultasi tentang Kewajiban Etika
Konselor mengambil langkah yang diperlukan untuk ber-
konsultasi dengan konselor lain atau profesional lain yang
berkaitan dengannya jika memiliki pertanyaan tentang
kewajiban etika atau praktik profesional mereka.

C.2. f. Melanjutkan Pendidikan


Konselor menyadari perlunya melanjutkan pendidikan untuk
mendapatkan dan menjaga tingkat kesadaran mereka akan
informasi ilmiah dan profesional terkini di dalam bidang yang
mereka geluti. Mereka mengambil langkah yang perlu untuk
mempertahankan kompetensi dalam keahlian yang mereka
gunakan, terbuka untuk prosedur baru, dan mengikuti
kemutakhiran dalam populasi yang beragam dan populasi
khusus tempat mereka bekerja.

C.2. g. Kemunduran
Konselor mewaspadai tanda-tanda kemunduran akibat dari
masalah fisik, mental, maupun emosional mereka sendiri dan
menghentikan penawaran atau pemberian layanan profesional
jika kemunduran itu dapat mencelakai klien atau orang lain.
Konselor harus mencari bantuan untuk masalah yang telah
mencapai tingkat kemunduran profesional, dan, jika perlu,
membatasi, menunda, atau mengakhiri tanggung jawab
profesional mereka sampai saat dinyatakan bahwa mereka
sudah aman untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. Konselor
membantu rekan atau supervisor dalam mengenali
kemunduran profesionalnya dan menyediakan konsultasi serta
bantuan jika diminta oleh supervisor maupun rekan yang
menunjukkan tanda-tanda kemunduran dan melakukan
intervensi dengan cara yang tepat untuk mencegah bahaya
yang mungkin mengancam klien. (Lihat A.11.b., F.B.)

C.2.h. Inkapasitas Konselor atau Pengakhiran Praktik


Jika konselor meninggalkan suatu praktik, mereka harus mengi-
kuti rencana yang telah dipersiapkan, dalam mentransfer klien

87
dan data-data. Konselor mempersiapkan dan mengumumkan
kepada rekannya atau “perwakilan pencatatan” rencana
perpindahan klien dan data terkait pada situasi di luar
kapasitas, kematian, atau pengakhiran praktik.

C.3. Pengiklanan dan Mencari


Klien C.3.a. Periklanan yang Akurat
Ketika beriklan atau memaparkan layanan kepada masyarakat,
konselor memperkenalkan kualifikasinya dengan cara yang
tepat, tidak memalsukan, merancukan, menipu, ataupun
berlaku tidak jujur.

C.3.b. Kesaksian
Konselor yang menggunakan kesaksian tidak boleh
mengambilnya dari klien terkini maupun mantan klien tidak
juga dari orang lain yang dapat dirugikan karena pengaruh
kesaksian tersebut.

C. 3. c. Pernyataan dari Orang Lain


Konselor berupaya untuk memastikan bahwa pernyataan yang
dibuat oleh orang lain mengenai diri konselor maupun profesi
konseling adalah pernyataan yang akurat.

C. 3. d. Merekrut Melalui Tempat Kerja


Konselor tidak boleh menggunakan tempat mereka bekerja
ataupun institusi untuk merekrut atau mencari klien,
supervisor, ataupun konsultan untuk praktik pribadinya.

C. 3. e. Periklanan Produk dan Pelatihan


Konselor yang mengembangkan produk yang berhubungan
dengan profesinya atau memberikan seminar maupun
pelatihan harus memastikan bahwa iklan yang terkait produk
atau peristiwa tersebut akurat dan berisikan cukup informasi
untuk para konsumen agar dapat membuat pilihan yang tepat.
(Lihat C.6.d.)

88
C. 3. f. Berpromosi kepada penerima Layanan
Konselor tidak menggunakan konseling, pengajaran, pelatihan,
atau hubungan yang bersifat supervisi untuk mempromosikan
produk atau pelatihan mereka dengan cara yang sifatnya menge-
labui atau menimbulkan pengaruh besar pada individu yang
mudah terpengaruh. Namun, konselor pendidik boleh meng-
gunakan buku-teks yang mereka tulis untuk tujuan instruksional.

C.4. Kualifikasi Profesional


C.4.a. Representasi Akurat
Konselor diperbolehkan mengklaim atau menyebutkan kualifikasi
profesionalnya yang benar-benar telah diselesaikan dan
mengoreksi kesalahan representasi orang lain tentang kualifikasi
yang dimilikinya. Konselor harus merepresentasikan kualifikasi
mereka dengan jujur kepada rekan-rekan profesionalnya.
Konselor harus dengan jelas membedakan antara pekerjaan yang
dibayar dan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela dan secara
tepat menggambarkan pendidikan lanjutan mereka dan pelatihan
spesialisasi yang diikutinya. (Lihat C.2.a.)

C.4. b. Kredensial
Konselor hanya mengklaim lisensi ataupun sertifikat yang
terkini dan yang terbaik.

C.4. c. Tingkat Pendidikan .


Konselor membedakan secara jelas antara pendidikan berbayar
dan pendidikan yang didapat sebagai penghormatan.

C.4.d. Mengklaim Kompetensi Tingkat-Doktoral


Konselor dengan jelas menyatakan pendidikan berbayar tertinggi
yang mereka raih di dalam bidang konseling atau pada bidang-
bidang terkait lainnya. Konselor tidak boleh mengklaim
kompetensi tingkat doktoral, jika hanya memiliki gelar master
dalam konseling atau bidang terkait, ataupun menyebut diri
mereka “Dr.” dalam konteks konseling jika gelar doktornya tidak
dalam bidang konseling atau bidang terkait konseling.

89
C. 4. e. Status Akreditasi Program
Konselor harus dengan jelas menyebutkan status akreditasi
dari tingkatan program pendidikannya pada saat tingkat
tersebut diraih.

C .4.f. Keanggotaan Profesional


Konselor dengan jelas membedakan antara keanggotaan
terkini; aktif, maupun mantan keanggotaan di dalam asosiasi.
Anggota American Counseling Association harus secara jelas
membedakan antara keanggotaan profesional, yang setidaknya
memiliki gelar pada tingkat master dalam konseling, dan
keanggotaan biasa, yang terbuka bagi individu yang tertarik
dan beraktivitas di sekitar program ACA tetapi tidak
mempunyai kualifikasi untuk keanggotaan profesional.

C.5. Nondiskriminasi
Konselor tidak menerima atau terlibat dalam pendiskriminasian
berdasarkan pada usia, budaya, ketidakmampuan, etnik, ras,
agama/spiritual, jenis kelamin, identitas jenis kelamin, orientasi
seksual, status perkawinan/pasangan, bahasa, status sosio-
ekonomi, atau dasar lain yang disebutkan oleh hukum. Konselor
tidak boleh mendiskriminasi klien, siswa, pekerja, supervisor,
ataupun partisipan penelitian dengan cara yang mempunyai
dampak negatif pada orang-orang tersebut.

C.6. Tanggung Jawab Masyarakat


C.6.a. Pelecehan Seksual
Konselor tidak boleh terlibat dalam intimidasi seksual.
Pelecehan seksual didefinisikan sebagai tuntutan seksual,
serangan fisik, atau perilaku verbal atau nonverbal yang terkait
masalah seksual, yang terjadi dalam hubungannya dengan
aktivitas ataupun peran profesional, dan
1. tidak menyenangkan, bersifat menyerang, atau menciptakan
tempat kerja atau lingkungan pembelajaran yang tidak
nyaman, dan diketahui oleh konselor atau diberitahukan
kepadanya, atau

90
2. cukup parah atau intens untuk digambarkan sebagai
pelecehan bagi orang yang rasional dalam konteks dimana
perilaku tersebut terjadi.
Pelecehan seksual dapat terdiri atas satu tindakan yang intens
atau sangat kasar atau beberapa tindakan yang persisten atau
pervasif.

C. 6.b. Laporan pada Pihak Ketiga


Konselor harus melaporkan aktivitas dan penilaian
profesionalnya dengan akurat, jujur, dan obyektif kepada pihak
ketiga yang tepat, termasuk pengadilan, perusahaan asuransi
kesehatan, penerima laporan evaluasi, dan lain-lain. (Lihat B.3.,
E.4.)

C. 6. c. Presentasi Media
Ketika konselor memberikan saran atau komentar melalui
sarana kuliah umum, demonstrasi, program-program televisi
atau radio, pita pra-rekaman, penerapan berdasar teknologi,
artikel tercetak, materi yang diposkan, atau media lainnya,
mereka harus mengambil langkah-langkah rasional untuk
memastikan bahwa
1. pernyataan yang dikeluarkannya berdasarkan pada literatur
dan praktik konseling yang profesional,
2. pernyataan tersebut harus konsisten dengan Kode etik ACA,
dan
3. penerima informasi tidak didorong untuk menyimpulkan
bahwa suatu hubungan konseling profesional telah terbina.

C. 6. d. Eksploitasi Orang Lain


Konselor tidak boleh mengeksploitasi orang lain dalam
hubungan profesional mereka. (Lihat C.3.e.)

C. 6.e. Dasar-Dasar llmiah untuk Modalitas Perawatan Konselor


menggunakan teknik/prosedur/modalitas yang berdasarkan
pada teori dan/atau mempunyai fondasi empiris atau ilmiah.
Konselor yang tidak melakukan hal itu harus mendefinisikan

91
teknik/prosedurnya sebagai sesuatu yang “tidak terbukti” atau
“sedang dikembangkan” dan menjelaskan risiko potensial serta
pertimbangan etika dalam menggunakan teknik/ prosedur
semacam itu dan mengambil langkah antisipasi untuk
melindungi klien dari bahaya yang mungkin terjadi. (Lihat
A.4.a., E.S.c., E.5.d.)

C.7. Tanggung Jawab kepada Profesional lainnya


C.7.a. Pernyataan Pribadi pada Masyarakat Umum
Ketika membuat suatu pernyataan pribadi dalam konteks
publik konselor harus menjelaskan bahwa mereka berbicara
dari sudut pandang pribadi dan tidak berbicara atas nama
seluruh konselor maupun profesi tersebut.

SEKSI D: HUBUNGAN DENGAN PROFESIONAL


LAIN Pengenalan
Konselor profesional mengakui bahwa kualitas interaksi dengan
kolega dapat memengaruhi kualitas layanan yang disediakan bagi
klien. Konselor berupaya agar mengetahui rekan-rekannya di
dalam dan di luar bidang konseling. Konselor mengembangkan
hubungan kerja yang positif dan sistem komunikasi dengan
rekan-rekannya untuk meningkatkan layanan terhadap klien.

D.1. Hubungan dengan Rekan, Atasan, dan


Pekerja D. 1.a. Pendekatan yang Berbeda
Konselor menghormati pendekatan layanan konseling yang
berbeda dengan pendekatan yang digunakannya. Konselor
harus menghormati tradisi dan praktik kelompok profesional
lain yang bekerja bersama dengannya.

D. 1.b. Membentuk Hubungan


Konselor berusaha mengembangkan dan memperkuat
hubungan antar-disiplin dengan rekan-rekannya dari bidang
lain untuk dapat melayani klien sebaik-baiknya.

92
D. 1. c. Kerja Tim Antardisiplin
Konselor yang menjadi anggota dari tim antar-disiplin
mengantarkan layanan multi-wajah kepada klien, dengan fokus
pada bagaimana melayani klien dengan sebaik-baiknya.
Konselor berpartisipasi dan berkontribusi dalam pengambilan
keputusan yang memengaruhi kesejahteraan klien melalui
perspektif, nilai-nilai, dan pengalaman dari profesi konseling
dan pengalaman rekan-rekan dari bidang lain: (Lihat A.1.a. )

D.1.d. Kerahasiaan
Ketika konselor diminta oleh hukum, kebijakan institusional,
atau kondisi luar biasa untuk menjalankan lebih dari satu peran
dalam proses hukum atau administratif, mereka harus
menjelaskan ekspektasi peran dan parameter kerahasiaan
kepada rekan-rekannya. (Lihat B.I.c., B.1.d., B.2.c., B.2.d., B.3.b.)

D.1.e. Menetapkan Kewajiban Etika dan Profesional


Konselor yang menjadi anggota tim antar-disiplin harus
menjelaskan kewajiban etika dan profesional baik dari masing-
masinganggotamaupundaritimtersebutsebagaisuatukeutuhan.
Ketika suatu keputusan tim menimbulkan pertimbangan etika,
upaya pertama konselor adalah menyelesaikan masalah
tersebut di dalam tim. Jika kesepakatan di antara para anggota
tim tidak dapat diperoleh, konselor dapat menempuh jalur lain
untuk menangani masalahnya demi kesejahteraan klien.

D.1. f. Pemilihan Personil dan Tugas


Konselor memilih staf yang kompeten dan memberikan
tanggung jawab yang kompatibel dengan keahlian dan
pengalaman mereka.

D.1.g. Kebijakan Atasan


Kesediaan untuk bekerja di dalam suatu lembaga atau institusi
menunjukkan bahwa konselor menyetujui kebijakan dan prinsip
umumnya. Konselor berusaha untuk mendapatkan persetujuan
dengan atasan seperti untuk standar tindakan yang diterima,

93
yang memungkinkan untuk melakukan perubahan dalam
kebijakan institusional, yang kondusif untuk pertumbuhan dan
perkembangan klien.

D.1.h. Kondisi Negatif


Konselor memperingatkan atasan akan kebijakan dan praktik
yang tidak tepat. Konselor berupaya menimbulkan perubahan
dalam kebijakan atau prosedur tersebut melalui tindakan
konstruktif di dalam organisasi. Ketika kebijakan semacam itu
berpotensi merusak atau membahayakan bagi klien atau
membatasi keefektifan layanan yang diberikan dan perubahan
tidak dapat diadakan, konselor mengarnbil tindak lanjut yang
tepat. Tindakan semacam itu dapat termasuk rujukan ke
organisasi-organisasi yang memiliki lisensi pemerintah,
akreditasi, sertifikasi yang tepat, atau secara sukarela
mengakhiri kedinasan tersebut.

D.1. i. Proteksi dari Tindakan Penghukuman


Konselor harus berhati-hati untuk tidak melecehkan atau
memberhentikan pekerja yang telah bertindak sesuai dengan
etika dan tanggung jawab untuk membuka kebijakan atau
praktik atasan yang tidak tepat.

D.2. Konsultasi
D.2.a. Kompetensi Konsultan
Konselor mengambil langkah yang rasional untuk memastikan
bahwa mereka mempunyai sumber daya yang tepat dan
kompetensi, ketika memberikan layanan konsultasi. Konselor
menyediakan sumber rujukan yang tepat ketika diminta atau
dibutuhkan. (Lihat C.2.a.)

D.2.b. Memahami Peserta Konsultasi


Ketika memberikan konsultasi, konselor bersama dengan peserta
konsultasi berusaha untuk mengembangkan suatu pemahaman
yang jelas tentang definisi masalah, tujuan perubahan, dan
konsekuensi yang diramalkan dari intervensi yang dipilih.

94
D.2. c. Tujuan Konsultan
Hubungan konsultasi adalah salah satu tempat dimana
adaptasi dan pertumbuhan diri dari peserta konsultasi
didorong dan ditumbuhkan secara konsisten.

D.2.d. Persetujuan Tertulis dalam Konsultasi


Ketika memberikan konsultasi, konselor mempunyai kewajiban
untuk meninjau ulang, dalarn tulisan dan lisan, hak-hak dan
tanggung jawab dari konselor maupun peserta konsultasi.
Konselor menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti
untuk memberikan informasi pada semua pihak yang terlibat
mengenai tujuan dari Iayanan yang akan. diberikan, biaya yang
relevan, risiko dan manfaat yang akan terjadi, dan batas-batas
kerahasiaan. Bekerja sama dengan peserta konsultasi, konsultan
berusaha untuk mengembangkan pemahaman yang jelas tentang
masalah, tujuan perubahan, dan konsekuensi yang diramalkan
dari intervensi yang tanggap kultural dan tepat untuk kebutuhan
peserta konsultasi. (Lihat A.2.a., A.2.b.)

SEKSI E: EVALUASI, PENILAIAN, DAN INTERPRETASI


Pengenalan
Konselor menggunakan instrumen penilaian sebagai salah satu
komponen dari proses konseling, mempertimbangkan konteks
budaya dan pribadi klien. Konselor meningkatkan
kesejahteraan klien individual atau sekelompok klien dengan
mengembangkan dan menggunakan instrumen penilaian
pendidikan, psikologis, dan karier yang tepat.

E.1. Umum
E.1.a. Penilaian
Tujuan utama dari penilaian pendidikan, psikologis, dan karier
adalah untuk menyediakan pengukuran yang absah dan dapat
diandalkan dalam pengertian komparatif maupun absolut. HaI ini
termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pengukuran kemampuan,
kepribadian, minat, kepandaian, prestasi, dan kinerja. Konselor
mengenali kebutuhan untuk menginterpretasikan pernyataan-

95
pernyataan di dalam seksi ini serta menerapkannya pada
penilaian kuantitatif dan kualitatif.

E.1.b. Kesejahteraan Klien


Konselor tidak boleh menyalahgunakan hasil penilaian dan
interpretasi, dan harus mengambil langkah yang perlu untuk
mencegah orang lain menyalahgunakan informasi yang
diberikan oleh teknik tersebut. Konselor menghargai hak klien
untuk mengetahui hasilnya, interpretasi yang dibuat, dan dasar
kesimpulan konselor serta rekomendasi-rekomendasinya.

E.2. Kompetensi untuk Menggunakan dan Menafsirkan


Instrumen Penilaian
E.2.a. Batas Kompetensi
Konselor menggunakan hanya layanan penilaian dan
pengetesan yang telah dilatihkan kepadanya dan dikuasainya.
Konselor yang memakai interpretasi tes berbantu teknologi
mendapat pelatihan tentang piramid yang akan diukur dan
piranti khusus yang akan digunakan, sebelum menggunakan
penerapan berbasis teknologi ini. Konselor mengambil harus
tindakan yang perlu untuk memastikan bahwa teknik penilaian
psikologis dan karier digunakan secara tepat oleh orang-orang
yang berada di bawah penyeliaan mereka. (Lihat A,12.)

E.2.b. Tepat Guna


Konselor bertanggung jawab atas penerapan yang tepat,
pemberian skor, interpretasi, dan penggunaan instrumen
penilaian yang relevan dengan kebutuhan klien, baik mereka
memberikan skor dan menafsirkan penilaian semacam itu
sendiri, atau menggunakan teknologi atau layanan lainnya.

E.2. c. Keputusan Berdasarkan Hasil


Konselor bertanggung jawab atas keputusan yang melibatkan
individu atau kebijakan yang didasarkan pada hasil penilaian
yang mempunyai suatu pemahaman yang mendalam akan
pendidikan, psikologis, dan pengukuran karier, termasuk kriteria

96
keabsahan, riset penilaian, dan panduan untuk pengembangan
penilaian dan penggunaannya.

E.3. Persetujuan Tertulis dalam Penilaian


E.3.a. Penjelasan kepada Klien
Sebelum penilaian, konselor menjelaskan sifat dan tujuan dari
penilaian serta penggunaan khusus dari hasil penilaian untuk
si calon penerima. Penjelasan tersebut akan diberikan dalam
bahasa klien (atau orang lain yang diberi izin secara legal
sebagai wakil dari klien), kecuali ada pengecualian eksplisit
yang telah disepakai sebelumnya. Konselor harus
mempertimbangkan konteks budaya atau pribadi klien, tingkat
pemahaman klien mengenai hasil, dan dampak dari hasil
tersebut kepada klien. (Lihat A.2., A.12.g., F.1:c.)

E.3.b. Penerima Hasil


Konselor harus mempertimbangkan kesejahteraan orang yang
diteliti, pemahaman eksplisit, dan persetujuan yang sudah ada
dalam meneritukan siapa yang menerima hasil penilaian.
Konselor memasukkan interpretasi yang tepat dan akurat
dalam setiap hasil penilaian individual maupun kelompok
yang dikeluarkannya. (Lihat B.2.c., B.5.)

E.4. Penyerahan Data kepada Profesional yang Berkualifikasi


Konselor menyerahkan data penilaian di mana klien
diidentifikasi hanya dengan persetujuan tertulis dari klien
ataupun wakil klien yang legal. Data semacam itu dilepas
hanya kepada orang yang dikenal oleh konselor sebagai ahli
penafsir data. (Lihat B.1., B.3., B.6.b.)

E.5. Diagnosis Penyimpangan


Mental E.5.a. Diagnosis yang Tepat
Konselor harus benar-benar berhati-hati dalam memberikan
diagnosis kelainan mental yang tepat. Teknik penilaian (termasuk
wawancara pribadi) yang digunakan untuk menentukan
perawatan klien (misalnya, tempat perawatan, jenis perawatan,

97
atau tindak lanjut yang direkomendasikan) dipilih dengan
seksama dan digunakan dengan akurat.

E.5.b. Kepekaan Budaya


Konselor harus memahami bahwa budaya memengaruhi sifat
dalam mendefinisikan permasalahan klien. Kondisi sosio-
ekonomi dan pengalaman budaya dari klien dipertimbangkan
saat melakukan diagnosa kelainan mental. (Lihat A.2.c.)

E.5.c. Diskriminasi Sosial dan Historikal dalam Diagnosis


Patologi
Konselor harus mengenali diskriminasi sosial dan historis
dalam diagnosa yang keliru dan tuduhan kelainan yang
dikenakan kepada individu dan kelompok tertentu serta
peranan profesional kesehatan mental dalam melanjutkan
diskriminasi tersebut melalui diagnosis dan perawatan.

E. 5. d. Abstain dari Diagnosa


Konselor dapat abstain dari pembuatan dan/atau pelaporan
suatu diagnosis jika mereka percaya hal itu akan
membahayakan klien atau orang lain.

E.6. Pemilihan Instruman


E.6.a. Ketepatan Istrumen
Konselor harus mempertimbangkan secara hati-hati keabsahan,
keandalan, batasan psikometrik, dan ketepatan instrumen saat
memilih penilaian.

E.6.b. Informasi Rujukan


Jika seorang klien dirujuk ke pihak ketiga untuk penilaian,
konselor harus memberikan pertanyaan rujukan khusus dan
data objektif yang memadai mengenai klien tersebut untuk
memastikan digunakannya instrumen penilaian yang tepat
(Lihat A.9.b., B.3.)

98
E.6.c. Populasi dengan Budaya yang Beragam. Konselor harus
berhati-hati saat memilih instrumen penilaian untuk populasi
yang mempunyai budaya beragam guna menghindari
penggunaan instrumen yang kurang memiliki sifat psikometrik
yang tepat untuk populasi klien. (Lihat A.2.c., E.5.b)

E.7. Kondisi Pelaksanaan Penilaian


(Lihat A.12.b., A.12.d.)
E. 7. a. Kondisi Pelaksanaan
Konselor melaksanakan penilaian di bawah kondisi yang sama
seperti telah ditetapkan di dalam standarisasi mereka. Jika
penilaian tidak dilaksanakan pada kondisi standar, misalnya
keharusan mengakomodasi klien yang cacat, atau perilaku
yang tidak biasa atau ketidak-teraturan terjadi selama
pelaksanaan, kondisi tersebut harus dicatat di dalam
interpretasi, dan hasilnya dinyatakan sebagai tidak absah atau
keabsahannya dipertanyakan.

E.7.b. Pelaksanaan Teknologi


Konselor harus memastikan bahwa pelaksanaan program
berfungsi dengan benar dan memberikan hasil yang akurat
kepada klien, jika metode teknologi atau elektronik lainnya
digunakan untuk melaksanakan penilaian.

E.7.c. Penilaian Tanpa Pengawasan


Kecuali instrumen penilaian didesain, dimaksudkan, dan
diabsahkan untuk pelaksanaan mandiri/ pemberian skor
mandiri, konselor tidak mengizinkan penggunaan dengan
pengawasan yang tidak memadai.

E. 7. d. Penyebutan Kondisi yang Disukai


Sebelum pelaksanaan penilaian, kondisi yang memberi hasil
penilaian yang paling disukai harus diberitahukan pada orang
yang diteliti.

99
E.8. Isu Multikultural/Perbedaan di dalam Penilaian Konselor
menggunakan dengan hati-hati teknik penilaian yang
merupakan standar dalam masyarakat yang berbeda dengan
klien. Konselor harus mengenali pengaruh usia, warna kulit,
budaya, ketidakmampuan, kelompok etnik, jenis kelamin, ras,
bahasa, agama, spiritualitas, orientasi seksual, dan status sosio-
ekonomi pada pelaksanaan tes dan interpretasinya, serta
menempatkan hasil tes dalam perspektif yang tepat terhadap
faktor-faktor lain yang relevan. (Lihat A.2.c., E.5.b.)

E.9. Pemberian Skor dan Interpretasi


Penilaian E.9.a. Pelaporan
Dalam melaporkan hasil penilaian, konselor harus
menunjukkan kehati-hatian sehubungan dengan keandalan
atau keabsahan yang disebabkan oleh situasi penilaian atau
ketidaktepatan norma untuk orang yang dites.

E.9. b. Instrumen Penelitian


Konselor harus berhati-hati saat menginterpretasikan hasil dari
instrumen penelitian yang tidak memiliki data teknikal yang
memadai untuk mendukung hasil responden. Tujuan khusus
dari penggunaan instrumen tersebut harus dinyatakan secara
eksplisit kepada peserta pengamatan.

E.9.c. Layanan Penilaian


Konselor yang memberikan layanan pemberian skor dan,
interpretasi penilaian untuk mendukung proses penilaian harus
mengkonfirmasikan keabsahan interpretasi tersebut. Mereka
secara tepat menguraikan tujuan, norma-norma, keabsahan,
keandalan, dan penerapan dari prosedur dan semua kualifikasi
khusus yang penerapannya dapat mereka gunakan. Penawaran
layanan interpretasi tes otomatis ke masyarakat umum
dianggap sebagai konsultasi antara profesional dengan
profesional lain. Tanggung jawab formal dari konsultan adalah
kepada peserta konsultasi, tetapi tanggung jawab yang utama
dan lebih penting adalah kepada klien. (lihat D.2.)

100
E.10. Keamanan Penilaian
Konselor harus menjaga integritas dan keamanan tes serta
teknik penilaian lain, konsisten dengan hukum dan kewajiban
kontrak. Konselor tidak boleh mengambil, mereproduksi, atau
memecah-memecah tanpa sepengetahuan dan izin dari pihak
yang menerbitkannya.

E.11. Penilaian yang Tidak Lagi Dipakai dan Hasii yang


Kedaluwarsa
Konselor tidak menggunakan data atau hasil dari penilaian
yang sudah tidak lagi dipakai atau kedaluwarsa, untuk tujuan
terkini. Konselor berusaha sedapat mungkin untuk mencegah
agar data penilaian dan pengukuran yang sudah tidak lagi
dipakai tidak disalahgunakan oleh orang lain.

E.12. Konstruksi Penilaian


Konselor menggunakan prosedur ilmiah yang telah ditetapkan,
standar yang relevan, dan pengetahuan profesional mutakhir
untuk rancangan penilaian dalam pengembangan, publikasi, dan
penggunaan teknik-teknik penilaian psikologis dan pendidikan.

E.13. Evaluasi Forensik: Evaluasi untuk Proses Hukum


E. 13.a. Kewajiban Utama
Ketika memberikan evaluasi forensik, kewajiban utama konselor
adalah untuk memberikan temuan obyektif yang dapat
dibuktikan berdasarkan informasi dan teknik yang tepat untuk
evaluasi tersebut, yang mencakup pengamatan individual dan
atau peninjauan catatan. Konselor mendapat hak untuk
membentuk opini profesional berdasarkan pada pengetahuan
profesional dan keahlian mereka yang dapat didukung oleh data
yang dikumpulkan dari evaluasi. Konselor akan menentukan
batas laporan atau kesaksian mereka, khususnya jika pemeriksaan
terhadap individu belum dilakukan.

101
E. 13.b. Persetujuan untuk Evaluasi
Individu yang akan dievaluasi harus diberitahu secara tertulis
bahwa hubungan tersebut bertujuan untuk melakukan evaluasi
dan tidak bersifat konseling, dan entitas maupun individu yang
akan menerima laporan evaluasi tersebut, disebutkan.
Persetujuan tertulis untuk evaluasi harus dimintakan dari
mereka yang dievaluasi kecuali jika pengadilan mengeluarkan
surat perintah evaluasi tanpa perlu meminta persetujuan
tertulis dari orang-orang yang akan dievaluasi. Untuk evaluasi
pada anak-anak atau orang dewasa yang lemah, persetujuan
tertulis harus dimintakan dari orang tua atau wali.

E.13. c. Evaluasi Klien yang Dilarang


Konselor tidak boleh melakukan evaluasi untuk tujuan forensik
terhadap individu yang sedang mereka berikan konseling atau
individu yang telah mereka berikan konseling sebelumnya.
Konselor tidak menerima individu yang sedang dievaluasi atau
dahulu pernah dievaluasi olehnya untuk tujuan forensik,
sebagai klien konseling.

E.13.d. Menghindari Hubungan yang Berpotensi Membahayakan


Konselor yang memberikan evaluasi forensik harus
menghindari hubungan profesional ataupun pribadi yang
dapat membahayakan, baik dengan anggota keluarga,
pasangan, dan teman dekat dari individu yang sedang
dievaluasi atau telah dievaluasi di masa lalu.

SEKSI F: SUPERVISI, PELATIHAN, DAN


PENGAJARAN Pengenalan
Konselor harus mencoba untuk menumbuhkan hubungan
profesional yang berarti dan saling menghormati serta menjaga
batasan yang tepat dengan orang-orang penerima supervisi
dan siswa. Konselor mempunyai dasar teori dan pendidikan
untuk melaksanakan pekerjaannya dan harus berusaha untuk
bertindak adil, akurat, dan jujur dalam menilai konselor-
konselor yang sedang dalam masa pelatihan.

102
F.1. Supervisi Konselor dan Kesejahteraan
Klien F.1.a. Kesejahteraan Klien
Kewajiban utama dari supervisor konseling adalah memonitor
layanan yang diberikan oleh konselor lain atau konselor yang
sedang dalam masa pelatihan. Supervisor konseling memonitor
kesejahteraan klien dan mengawasi kinerja klinis dan
perkembangan profesional. Untuk dapat memenuhi kewajiban
ini, supervisor harus bertemu secara rutin dengan penerima
supervisi untuk meninjau ulang catatan-catatan kasus, contoh
pekerjaan klinis, atau pengamatan secara langsung. Penerima
supervisi mempunyai tanggung jawab untuk memahami dan
mengikuti Kode etik ACA.

F. 1. b. Kredensial Konselor
Supervisor konseling bekerja untuk memastikan bahwa klien
mengerti akan kualifikasi konselor penerima supervisi, yang
memberikan layanan kepada klien. (Lihat A.b.2.)

F.1. c. Persetujuan Tertulis dan Hak-Hak Klien


Supervisor membuat penerima supervisi memahami akan hak-
hak klien termasuk melindungi privasi klien dan kerahasiaan
dalam hubungan konseling. Penerima supervisi memberikan
kepada klien suatu informasi perkenalan profesional dan
memberitahukan bagaimana proses pengawasan tersebut
memengaruhi batas-batas kerahasiaan. Penerima supervisi harus
membuat klien menyadari siapa yang mempunyai akses terhadap
catatan dari hubungan konseling tersebut dan bagaimana catatan
tersebut akan digunakan. (Lihat A.2.b., B.1.d.)

F2. Kompetensi Supervisi Konselor


F.2.a. Persiapan Supervisor
Sebelum memberikan layanan supervisi klinis, konselor
mendapat pelatihan metode dan teknik penyeliaan (supervisi).
Kenselor yang memberi layanan supervisi klinis secara rutin
mengikuti aktivitas pendidikan yang berkelanjutan, termasuk
konseling dan topik serta keahlian supervisi. (Lihat C.2.a., C.2.f.)

103
F.2.b. lsu Multikultural/Keragaman dalam Supervisi Supervisor
konseling- harus menyadari dan menangani peranan multi-
kulturisme/keragaman dalam hubungan supervisi.

F.3. Hubungan Supervisi


F.3.a. Batasan Hubungan dengan Penerima Supervisi
Supervisor konseling secara jelas menentukan dan
mempertahankan etika profesional, pribadi, dan hubungan
sosialnya dengan penerima supervisi. Supervisor konseling
harus menghindari hubungan nonprofesional dengan mereka
yang sekarang ini sedang disupervisi. jika supervisor harus
memainkan peran profesional yang lain (misalnya, supervisi
klinis dan administratif, instruktor) dengan pihak penerima
supervisi, supervisor harus berupaya meminimalkan konflik
dan menjelaskan kepada penerima supervisi tentang ekspektasi
dan tanggung jawab yang berkaitan dengan masing-masing
peran. Supervisor tidak boleh terlibat dalam setiap interaksi
nonprofesional yang bisa mengganggu hubungan supervisi.

F. 3. b. Hubungan Seksual
Interaksi atau hubungan seksual atau romantis dengan
penerima supervisi tidak diizinkan.

F. 3. c. Pelecehan Seksual
Supervisor konseling tidak boleh menyetujui atau melakukan
pelecehan seksual terhadap penerima supervisi.

F. 3. d. Kerabat Dekat dan Teman


Supervisor konseling tidak boleh menerima kerabat dekat,
pasangan, atau teman sebagai pihak penerima supervisi.

F.3. e. Hubungan yang Berpotensi Menguntungkan


Supervisor konseling harus menyadari perbedaan kekuatan dalam
hubungannya dengan penerima supervisi. Jika supervisor percaya
bahwa hubungan nonprofesional dengan penerima supervisi
dapat memberikan keuntungan bagi penerima supervisi, mereka

104
harus mengambii langkah pengamanan seperti yang diambil oleh
konselor dalam bekerja dengan klien. Contoh interaksi atau
hubungan yang dapat memberi keuntungan adalah mengikuti
upacara formal; kunjungan ke rumah sakit; memberikan
dukungan selama masamasa sulit; atau keanggotaan bersama
dalam suatu asosiasi profesional, organisasi, ataupun komunitas.
Supervisor konseling harus berdiskusi secara terbuka dengan
penerima supervisi jika akan menjalin hubungan di luar perannya
sebagai supervisor klinis dan/ atau administratif. Sebelum
melibatkan diri dalam hubungan nonprofesional, supervisor
berdiskusi dengan penerima supervisi dan mendokumentasikan
alasan dari interaksi tersebut, keuntungan atau kerugian yang
mungkin terjadi, dan antisipasi akibatnya untuk penerima
supervisi. Supervisor menjelaskan sifat khusus dan batasan dari
peran tambahan kepada penerima supervisi ini.

F4. Tanggung Jawab Supervisor F.4.a.


Persetujuan Tertulis utuk Supervisi
Supervisor bertanggung jawab untuk memasukkan ke dalam
penyeliaannya, prinsip persetujuan tertulis dan partisipasi.
Supervisor menginformasikan kepada penerima supervisi
tentang kebijakan dan prosedur yang harus mereka taati, dan
mekanisme untuk meminta perlakuan yang adil terhadap
tindakan supervisi individual.

F.4.b. Darurat dan Absen


Supervisor menetapkan dan mengkomunikasikan ke pihak
penerima supervisi mengenai prosedur untuk menghubungi
dirinya, atau saat supervisor absen, supervisor pengganti yang
dapat dihubungi pada keadaan darurat.

F.4. c. Standar bagi Penerima supervisi


Supervisor membuat pihak penerima supervisi menyadari standar
profesional dan etika serta tanggung jawab hukum. Supervisor
dari konselor pascasarjana harus mendorong konselor tersebut
untuk mentaati standar praktik profesional. (Lihat C.1.)

105
F.4. d. Pengakhiran Hubungan Supervisi
Supervisor maupun penerima supervisi mempunyai hak untuk
mengakhiri hubungan supenisi dengan pemberitahuan yang
tepat. Alasan pengunduran diri harus diberikan ke pihak lain.
Jika. ada masalah budaya, klinis, ataupun profesional yang
penting untuk kelangsungan hubungan supervisi tersebut,
kedua belah pihak harus berupaya untuk memecahkan
perbedaan tersebut. Jika pengakhiran tidak dapat dihindarkan,
supervisor harus membuat rujukan yangtepat kepada
supervisor lain yang memungkinkan.

F.5. Evaluasi Supervisi Konseling, Remediasi, dan


Dukungan. F.5. a. Evaluasi
Supervisor mendokumentasikan dan menyediakan kepada
penerima supervisi, pengukuran kinerja yang berkelanjutan,
umpan balik evaluasi, dan jadwal sesi evaluatif periodik formal
selama hubungan supervisi tersebut berlangsung.

F.5.b. Keterbatasan
Sepanjang evaluasi dan pengukuran, supervisor harus menyadari
keterbatasan pihak penerima supervisi, yang dapat menghambat
kinerja. Supervisor membantu penerima supervisi dalam meminta
bantuan remediasi jika dibutuhkan. Supervisor menyarankan
pembebasan atau pengeluaran dari program pelatihan,
lingkungan konseling terapan, atau proses kredensial profesional
nasional atau sukarela, jika penerima supervisi tidak mampu
memberikan layanan profesional yang kompeten. Supervisor akan
mengonsultasikan dan mendokumentasikan keputusannya untuk
mengeluarkan atau merujuk penerima supervisi guna mendapat
bantuan. Mereka harus memastikan bahwa pihak penerima
supervisi menyadari pilihan-pilihan yang tersedia untuk
menanggapi keputusan semacam itu. (Lihat C.2.g.)

F. 5. c. Konseling bagi Penerima Supervisi


Jika penerima supervisi meminta konseling, supervisor harus
memberikan rujukan yang dapat diterima. Konselor tidak

106
memberikan layanan konseling kepada mereka yang sedang
disupervisi. Supervisor menyebutkan kompetensi antar-pribadi
dalam bentuk dampak isu ini terhadap klien, hubungan
supervisi, dan fungsi profesional (Lihat F.3.a).

F.5. d. Sokongan
Supervisor menyokong penerima supervisi untuk memperoleh
sertifikasi, lisensi, pekerjaan, ataupun penyelesaian suatu
program akademis atau pelatihan hanya jika benar-benar yakin
bahwa penerima supervisi tersebut berkualifikasi tmtuk
sokongan itu. Apapun kualifikasinya, supervisor tidak
memberi sokongan kepada penerima supervisi yang dianggap
mempunyai gangguan dalam bentuk apapun, yang dapat
mengganggu kinerjanya dalam melakukan tugas-tugas yang
berhubungan dengan sokongan tersebut.

F. 6. Tanggung Jawab Pendidik


Konselor F.6. a. Pendidik Konselor
Pendidik konselor yang bertanggung jawab untuk
mengembangkan, menerapkan, dan mengawasi program
pendidikan supervisi memiliki keahlian layaknya guru dan
praktisi. Mereka harus mempunyai pengetahuan mengenai
aspek-aspek etika, hukum, dan peraturan dari profesi tersebut,
serta memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan
tersebut dan membuat siswa seria penerima supervisi
menyadari tanggung jawabnya. Pendidik konselor
melaksanakan pendidikan untuk konselor dan program
pelatihan dengan cara yang etis dan berfungsi sebagai model
peran dari perilaku profesional. (Lihat C.1., C.2.a., C.2.c.)

F.6.b. Memasukkan Masalah Multikultural/Keragaman


Pendidik konselor harus memasukkan materi terkait
multikultural/keragaman ke dalam semua pengajaran dan
seminar untuk perkembangan konselor profesional.

107
F. 6. c. Integrasi Studi dan Praktik
Pendidik konselor harus menetapkan program pen didikan dan
pelatihan yang mengintegrasikan studi akademis dan praktik
tersupervisi.

F. 6. d. Etika Mengajar
Pendidik konselor harus membuat para siswa dan penerima
supervisi menyadari tanggung jawab etika dan standar profesi
serta tanggung jawab etika siswa pada profesi tersebut.
Pendidik konselor harus memperkenalkan pertimbangan etika
selama kurikulum berlangsung. (Lihat C.1.)

F. 6. e. Hubungan yang Buruk


Pendidik konselor harus berupaya sedapat mungkin untuk
memastikan bahwa hak-hak sesama rekan tidak dirugikan, ketika
siswa atau penerima supervisi memimpin konseling kelompok
atau memberikan supervisi klinis. Pendidik konselor mengambil
langkah untuk memastikan bahwa siswa dan penerima supervisi
mengerti bahwa mereka mempunyai tanggung jawab etika yang
sama seperti pendidik konselor, pelatih, dan supervisor.

F. 6.f. Teori dan Teknik Inovatif


Jika pendidik konselor mengajarkan teknik/prosedur konseling
yang inovatif, tanpa fondasi empiris atau tanpa fondasi teoretis
yang baik, mereka harus mendefinisikan teknik/prosedur
konseling tersebut sebagai “belum terbukti” atau “sedang
dikembangkan” dan menjelaskan kepada siswa, risiko
potensial dan pertimbangan etik dari pemakaian
prosedur/teknik semacam itu.

F.6.g. Penempatan Lingkungan


Pendidik konselor mengembangkan kebijakan yang jelas dalam
program pelatihannya perihal penempatan lapangan dan
pengalaman klinis lainnya. Pendidik konselor memberikan
peran dan tanggungjawab yang dinyatakan secara jelas untuk
siswa atau penerima supervisi, supervisor lapangan, dan

108
supervisor program. Mereka mengkonfirmasi bahwa supervisor
lapangan berkualifikasi untuk memberikan supervisi dan
menginformasikan kepada supervisor lapangan, tentang
tanggung jawab profesional dan etika dari peranan tersebut.

F.6.h. Pemaparan Profesional


Sebelum memulai layanan konseling, konselor yang sedang
dalam pelatihan harus memaparkan statusnya sebagai siswa
dan menjelaskan bagaimana status ini memengaruhi batas
kerahasiaan. Pendidik konselor harus memastikan bahwa klien
di tempat penempatan menyadari layanan yang diberikan dan
kualifikasi dari siswa dan penerima supervisi yang
melaksanakan layanan tersebut. Siswa dan penerima supervisi
harus meminta izin dari klien sebelum menggunakan informasi
apapun yang berhubungan dengan hubungan konseling dalam
proses pelatihan. (lihat A.2.b.)

F.7. Kesejahteraan Siswa


F.7.a. Orientasi
pendidik konselor mengenali bahwa orientasi adalah proses
perkembangan yang berkelanjutan sepanjang pendidikan dan
pelatihan klinis dari siswa. Otoritas konseling memberikan
kepada siswa-siswi potensial informasi tentang ekspektasi yang
bisa didapat dari program pendidikan konselor.
1. jenis dan tingkat keahlian dan pengetahuan yang perlu diakui
sisi untuk dapat menyelesaikan pelatihan dengna sukses;
2. tujuan program pelatihan, sasaran, dan misi serta subjek
yang tercakup di dalamnya;
3. dasar evaluasi;
4. komponen pelatihan yang mendorong pertumbuhan diri atau
pengungkapan diri sebagai bagian dari proses pelatihan;
5. jenis lingkungan supervisi dan persyaratan lapangan untuk
pengalaman lapangan klinis yang dibutuhkan;
6. kebijakan dan prosedur evaluasi serta pembebasan atau
pengeluaran siswa dan penerima suprvisi; dan
7. prospek lowongan kerja mutakhir untuk siswa yang sudah lulus.

109
F.7.b. Pengalaman pertumbuhan diri
Program pendidikan konselor menguraikan kebutuhan akan
pengungkapan diri dan pengalaman pertumbuhan diri dalam
penerimaan dan materi program. Pendidik konselor menggunakan
penilaian profesional dalam mendesain pengalaman pelatihan yang
mereka laksanakan, yang mengharuskan siswa dan penerima
supervisi bertumbuh mandiri atau mengungkapkan diri. Siswa dan
penerima supervisi dibuat agar menyadari adanya percabangan
(ramifikasi) dalam pengungkapkan diri ketika konselor yang peran
utamanya sebagai guru, pelatih, atau supervisor diharuskan
menerapkan kewajiban etika pada profesi ini. Komponen evaluatif
dari pengalaman pelatihan eksperimensial secara eksplisit
menguraikan standar akademis yang sudah ditentukan, yang
terpisah dan tidak bergantung pada tingkat pengungkapan diri dari
siswa. Pendidik konselor dapat meminta peserta latihan mencari
bantuan profesional, untuk mengatasi masalah pribadi yang
memengaruhi kompetensinya.

F.8. Tanggung Jawab Siswa


F.8.a. Standar untuk siswa
Konselor yang sedang dalam pelatihan bertanggung jawab
untuk memahami dan mengikuti kode etik ACA serta menaati
hukum yang berlaku, kebijakan perundangan, aturan, dan
kebijakan yang mengatur perilaku staf profesional di lembaga
atau lingkungan penempatan. Siswa memiliki kewajiban yang
sama terhadap klien seperti dibutuhkan dari konselor
profesional (lihat C.1.H.i).

F.8.b. Gangguan
Konselor yang sedang dalam pelatihan dilarang memberikan atau
menawarkan layanan konseling jika mereka memiliki masalah
fisik, mental, atau emosional yang cenderung membahayakan
klien atau orang lain. Mereka harus awas akan gejala-gejala
gangguan, mencari bantuan untuk masalah tersebut, dan
memberitahu supervisor program jika mereka menyadari tidak
dapat memberikan layanan yang efektif. Sebagai

110
tambahan, mereka harusa mencari layanan profesional yang
tepat untuk dirinya guna mengobati masalah yang
mengganggu kemampuannya untuk memberikan layanan
kepada orang lain (lihat A.1., C.2..d., C.2.g)

F.9. Evaluasi dan Remediasi


Siswa F.9.a. Evaluasi
Konselor menyatakan dengan jelas kepada siswa, sebelum dan
selama program pelatihan, tingkat komptensi yang diperlukan,
metode pemeriksaan, dan waktu evaluasi baik untuk
kompetensi didaktik maupun klinis. Pendidik konselor
memberikan kepada siswa, pemeriksaan kinerja berkelanjutan
dan umpan balik evaluasi sepanjang program pelatihan.

F.9.b. Keterbatasan
Pendidik konselor, selama evaluasi yang kontinu dan
pemeriksaan, menyadari dan menangani ketidakmampuan dari
beberapa siswa dalam memperoleh kompetensi konseling yang
dapat menghambat kinerja. Pendidik konselor:
1. membantu siswa dalam mendapatkan bantuan remedial,
jika diperlukan;
2. mencari konsultasi profesional dan mendokumentasikan
keputusannya untuk mengeluarkan atau merujuk siswa
agar mendapat bantuan; dan
3. memastikan bahwa siswa memiliki sumber daya pada waktu
yang tepat untuk menghadapi keputusan yang mengharuskan
mereka mencari bantuan atau mengeluarkan mereka dan
memberikan kepada siswa perlakukan yang adil sesuai dengan
kebijakan dan prosedur institusi (lihat C.2.g.)

F.9.c. Konseling untuk siswa


Jika siswa membutuhkan konseling atau jika layanan konseling
diperlukan sebagai bagian dari proses remediasi, pendidik
konselor harus memberi rujukan yang tepat.

111
F.10. Peran dan Hubungan antara Pendidik Konselor dengan
Siswa
F.10.a. Hubungan seksual atau Romantis
Interaksi atau hubungan seksual atau romantis dengan siswa
yang sedang dalam pelatihan, tidak diperbolehkan.

F.10.b. Pelecehan Seksual


Pendidik konselor tidak boleh menyetujui atau membuat siswa
menjadi subjek pelecehan seksual (lihat C.6.a.)

F.10.c. Hubungan dengan mantan siswa


Pendidik konselor menyadari perbedaan kekuatan dalam
hubungan antara fakultas dengan siswa. Anggota fakultas akan
mendukung diskusi terbuka dengan “mantan” siswa jika
diperkirakan akan ada keterlibatan dalam hubungan sosial,
seksual, atau intim lainnya. Anggota fakultas akan mendiskusikan
dengan “mantan” siswa, bagaimana hubungan mereka di masa
lalu dapat memengaruhi perubahan dalam hubungan.

F.10.d. Layanan Konseling


Pendidik konselor tidak berfungsi sebagai konselor kepada
siswa yang sedang dalam bimbingannya, kecuali berupa peran
singkat yang berhubungan dengan pengalaman pelatihan.

F.10.e. Hubungan yang Berpotensi Menguntungkan


Pendidik konseling harus menyadari perbedaan kekuatan dalam
hubungan antara fakultas dan siswa. Jika pendidik percaya bahwa
hubungan non profesional dengan siswa dapat memberikan
keuntungan kepada siswa, mereka harus mengambil langkah
pengamanan seperti yang diambil oleh konselor dalam bekerja
dengan klien. Contoh interaksi atau hubungan yang dapat
memberi keuntungan, tetapi tidak terbatas pada itu, adalah
mengikuti upacara formal; kunjungan ke rumah sakit;
memberikan dukungan selama masa-masa sulit; atau keanggotaan
bersama dalam suatu asosiasi profesional, organisasi, ataupun
komunitas. Pendidik konselor harus

112
berdiskusi secara terbuka dengan siswa jika akan menjalin
hubungan di luar perannya sebagai guru dan supervisor
mereka mendiskusikan dengan siswa, alsan dari interaksi
tersebut, keuntungan atau kerugian yang mungkin terjadi, dan
antisipasi akibatnya untuk siswa. Pendidik menjelaskan sifat
khusus dan batasan dari peran tambahan yang akan mereka
miliki sebelum melibatkan diri dalam hubungan non
profesional. Hubungan nonprofesional dengan siswa harus
memiliki batasan waktu dan dimulai dengan izin siswa.

F.11. Multikultural/Perbedaan Kompetensi dalam Program


Pendidikan dan Pelatihan Konselor
F.11.a. Perbedaan Kecakapan
Pendidik konselor berkomitmen untuk merekrut dan
mempertahankan kecakapan yang berbeda-beda.

F.11.b. Perbedaan siswa


Pendidik konselor secara aktif berusaha merekrut dan
mempertahankan siswa yang berbeda-beda. Pendidik konselor
menunjukkan komitmen terhadap multikultural/ perbedaan
kompetensi dengan mengakui dan menghargai perbedaan
budaya dan tipe kemampuan para siswa dalam pelatihan.
Pendidik konselor memberikan akomodasi yang tepat yang
meningkatkan dan mendukung kesejahteraan sisaw yang
berbeda-beda dan kinerja akademis.

F.11.c. Multikultural/ Perbedaan Kompetensi


Pendidik konselor secara aktif memasukkan multikultural/
perbedaan kompetensi ke dalam pelatihan dan praktik
supervisinya. Mereka secara aktif melatih siswa untuk
menyadari, mengetahui, dan terampil dalam kompetensi
praktik multikultur. Pendidik konselor memasukkan contoh
kasus, permainan peran, pertanyaan diskusi, dan aktivitas
ruang kelas lainnya yang mempromosikan dan mewakili
berbagai perspektif budaya.

113
SEKSI G : PENELITIAN DAN
PUBLIKASI Pengenalan
Konselor yang melakukan penelitian harus berkontribusi pada
pengetahuan yang menjadi dasar dari profesi dan meningkatkan
pemahaman yang lebih jelas dari kondisi yang mengarah ke
keadaan sehat dan lebih dari sekedar lingkungan masyarakat.
Konselor mendukung upaya peneliti dengan berpartisipasi secara
penuh dan sukarela, jika memungkinkan. Konselor harus
meminimalkan bias dan menghormati keragaman dalam
mendesain dan menerapkan program-program penelitian.

G.1. Tanggung Jawab Penelitian


G.1.a. Penggunaan manusia sebagai partisipan penelitian
Konselor merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan
penelitian dalam cara yang tepat, yang konsisten dengan prinsip
etika yang penting, hukum federal dan negara, peraturan institusi
yang mengadakan riset, serta standar ilmiah yang mengatur
mengenai penelitian dengan partisipan manusia.

G.1.b. Penyimpangan dari Praktik Standar


Konselor akan melakukan konsultasi dan pengawasan
penjagaan yang ketat guna melindungi hak-hak partisipan
penelitian jika masalah yang terjadi dalam penelitian
menunjukkan adanaya penyimpangan standar atau
penyimpangan dari praktik yang lazim.

G.1.c.Peneliti Independen
Jika peneliti independen tidak mempunyai akses ke
Institutional Review Board (IRB), mereka harus berkonsultasi
dengan peneliti yang terbiasa dengan prosedur IRB untuk bisa
memberikan penjagaan yang tepat.

G.1.d. Kehati-hatian untuk menghindari cedera


Konselor yang melakukan penelitian dengan partisipan manusia
bertanggung jawab atas kesejahteraan partisipan sepanjang proses
penelitian dan harus mengambil langkah-langkah

114
penjagaan untuk menghindari terjadinya efek psikologis,
emosional, fisik, atau sosial terhadap partisipan.

G.1.e. Tanggung jawab kepala peneliti


Tanggung jawab utama mengenai etika praktik penelitian
terletak pada kepala peneliti. Semua orang yang terlibat dalam
aktivitas penelitian memiliki kewajiban dan tanggung jawab
etika yang sama atas tindakan mereka.

G.1.f. Gangguan minimal


Konselor harus mengambil langkah kewaspadaan yang
rasional untuk menghindari terganggunya kehidupan
partisipan penelitian yang diakibatkan oleh keterlibatan
mereka dalam penelitian tersebut.

G.1.g. Pertimbangan multikultural/ keragaman dalam penelitian


Jika sesuai dengan tujuan penelitian, konselor harus peka
untuk melibatkan prosedur penelitian yang memasukkan
pertimbangan kultural. Mereka harus meminta konsultasi, jika
perlu.

G.2. Hak Partisipan Penelitian


(lihat A.2., A.7)
G.2.a. Persetujuan tertulis dalam penelitian
Individu mempunyai hak dalam memberi persetujuan untuk
menjadi partisipan penelitian. Dalam meminta persetujuan,
konselor menggunakan bahasa yang :
1. menjelaskan dengan akurat utjuan dan prosedur yang akan
diikuti;
2. mengidentifikasi setiap prosedur yang bersifat eksperimen
atau relatif belum pernah dicoba;
3. menguraikan setiap ketidaknyamanan dan risiko bagi peserta;
4. menguraikan setiap manfaat atau perubahan yang secara
rasional dapat diharapkan untuk individu atau organisasi;
5. menyebutkan prosedur alternatif yang tepat, yang dapat
bermanfaat bagi partisipan;

115
6. menwarkan jawaban untuk setiap pertanyaan yang
berkaitan dengan prosedur;
7. menguraikan keterbatasan perihal kerahasiaan;
8. menguraikan format dan target peserta potensial dalam
penyebaran hasil temuan penelitian; dan
9. menginstruksikan kepada partisipan bahwa mereka bebas
untuk menarik persetujuannya dan tidak melanjutkan
partisipasinya dalam proyek tersebut kapanpun juga, tanpa
dikenal penalti.

G.2.b. Kebohongan
Konselor tidak boleh melakukan penelitian yang berdasarkan
pada kebohongan, kecuali jika prosedur alternatif tidak
memungkinkan dan nilai prospektif dari penelitian dapat
membenarkan kebohongan tersebut. Jika kebohongan semacam
itu berpotensi menyebabkan bahaya secara fisik maupun
emosional kepada para partisipan penelitian, penelitian tersebut
tidak boleh dilaksanakan, meskipun nilai prospektifnya tinggi.
Jika persyaratan metodologi dari penelitian mengharuskan
konselor menyembunyikan sesuatu atau melakukan kebohongan,
peneliti harus menejelaskan alasan dari tindakan ini sesegera
mungkin, selama pertemuan ulang.

G.2.c. Partisipasi siswa/ penerima supervisi


Peneliti yang melibatkan siswa atau penerima supervisi dalam
penelitian harus menjelaskan kepada mereka bahwa keputusan
untuk ikut atau tidak ikut dalam aktivitas penelitian tidak
mempengaruhi prestasi akademik atau hubungan supervisi
sseorang. Siswa atau penerima supervisi yang memilih untuk
tidak berpartisipasi dalam penelitian pendidikan harus diberi
alternatif yang tepat dalam memenuhi persyaratan akademis
atau klinisnya.

G.2.d. Partisipan klien


Konselor yang melakukan penelitian dengan melibatkan klien
harus mencantumkan dengan jelas dalam proses persetujuan

116
tertulis bahwa klien bebas memilih apakah ingin atau tidak
ingin berpartisipasi dalam aktivitas penelitian. Konselor harus
mengambil langkah pencegahan untuk melindungi klien dari
konsekuensi yang merugikan akibat menolak atau menarik diri
dari keikutsertaan.

G.2.e. Kerahasiaan informasi


Informasi yang didapat tentang partisipan penelitian selama
dilakukannya investigasi bersifat rahasia. Jika ada
kemungkinan orang lain mendapatkan akses ke informasi
tersebut, etika praktik penelitian mengharuskan bahwa
kemungkinan tersebut, bersama dengan rencana untuk
melindungi kerahasiaan, dijelaskan kepada partisipan sebagai
bagian dari prosedur untuk mendapatkan persetujan tertulis.

G.2.fIndividu yang Tidak Mampu Memberi Persetujuan Tertulis Jika


individu tidak mampu memberi persetujuan tertulis, konselor
memberikan penjelasan yang akurat kepada, mendapatkan
perjanjian partisipasi dari, dan mendapatkan persetujuan yang
akurat dari individu yang memiliki kewenangan hukum.

G.2.g. Komitmen terhadap Partisipasi


Konselor mengambil langkah-langkah rasional untuk
menghormati semua komitmen terhadap partisipan penelitian
(lihat .2.c)

G.2.g. Komitmen terhadap Partisipan


Konselor mengambil langkah-langkah rasional untuk meng-
hormati semua komitmen terhadap partisipan penelitian (lihat
.2.c)

G.2.h. Penjelasan Setelah Pengumpulan Data


Setelah semua data terkumpul, konselor harus memberikan
pada semua partisipan, klasifikasi penuh atas penelitian
tersebut untuk menghilangkan kesalahpahaman di kalangan
partisipan mengenai penelitian itu. Jika norma-norma ilmiah

117
atau kemanusiaan mengharuskan penundaan atau penahanan
informasi, konselor harus mengambil tindakan rasional untuk
menghindari agar hal tersebut tidak menimbulkan bahaya.

G.2.i. Informasi ke Pihak Sponsor


Konselor menginformasikan kepada sponsor, institusi, dan
saluran publikasi tentang prosedur dan hasil penelitian. Konselor
harus memastikan bahwa badan-badan dan otoritas yang tepat
mendapatkan informasi dan pernyataan yang penting.

G.2.j. Pemusnahan Dokumen Penelitian dan Catatan


Dalam priode waktu yang rasional setelah tuntasnya proyek
riset atau penelitian, konselor harus mengambil langkah untuk
memusnahkan catatan atau dokumen (audio, video, digital,
dan tertulis) yang mengandung data rahasia atau informasi
yang mengidentifikasi partisipan penelitian. Jika catatan
memiliki unsur artistik, peneliti harus meminta persetujuan
partisipan dalam kaitannya dengan penangan rekaman atau
dokumen tersebut (lihat B.4.a., B.4g)

G.3. Hubungan dengan Partisipan Penelitian (Jika Penelitian


Melibatkan Interaksi Intensif Atau Berkepanjangan)
G.3.a. Hubungan Nonprofesional
Hubungan nonprofesional dengan partisipan penelitian harus
dihindarkan.

G.3.b. Hubungan dengan Partisipan Penelitian


Interaksi atau hubungan seksual atau romantis antara konselor
partisipan penelitian dengan partisipan yang baru saja
ditangani tidak diizinkan.

G.3.c. Pelecehan Seksual dan Partisipan Penelitian


Peneliti tidak boleh menyetujui atau menjadikan partisipan
penelitian sebagai subjek pelecehan seksual.

118
G.3.d. Hubungan yang Berpotensi Menguntungkan
Jika interaksi nonprofesional antara peneliti dan partisipan
penelitian berpotensi memberi keuntungan, peneliti haru
mendokumentasikan, sebelum terjadinya interaksi (jika
memungkinkan), alasan dari interaksi, keuntungan potensial,
dan konseksuensi yang dapat terjadi untuk partisipan
penelitian. Interaksi semacam itu harus diawali dengan
persetujuan dari partisipan penelitian. Jika terjadi risiko yang
tidak disengaja pada partisipan penelitian akibat interaksi
nonprofesional, peneliti harus menunjukkan bukti dari usaha
meremediasi risiko tersebut.

G.4. Pelaporan Hasil


G.4.a. Hasil yang Akurat
Konselor merencanakan, melaksanakan dan melaporkan
penelitian dengan akurat. Mereka memberikan diskusi
menyeluruh tentang keterbatasan datanya dan hipotesa alternatif.
Konselor tidak boleh terlibat dalam penelitian yang memberi
kesan keliru atau menipu, data yang terdistorsi, data yang
ditafsirkan secara keliru, atau hasil yang sengaja dibuat bias.
Mereka secara eksplisit menyebutkan semua variabel dan kondisi
yang diketahui investigator dapat memengaruhi hasil penelitian
atau interpretasi data. Mereka menguraikan seberapa luas hasil
tersebut diterapkan untuk beragam populasi.

G.4.b. Kewajiban untuk Melaporkan Hasil yang Tidak Menguntungkan


Konselor melaporkan hasil setiap penelitian yang bernilai
profesional. Hasil yang tidak menguntungkan institusi, program,
layanan, pendapat umum atau kepentingan tidak ditahan.

G.4.c. Pelaporan Kesalahan


Jika konselor menemukan kesalahan yang signifikan dalam
publikasi penelitian, mereka harus mengambil langkah-langkah
rasional untuk mengoreksi kesalahan baik melalui ralat atau
cara-cara publikasi lain yang tepat.

119
G.4.d. Identitas Partisipan
Konselor yang memasok data, membantu penelitian dari orang
lain, melaporkan hasil penelitian, atau menyediakan data
orisinal harus menyembunyikan identitas partisipan
bersangkutan jika tidak ada otoritasi khusus dari partisipan
untuk membuka identitas tersebut. Dalam situasi partisipan
mengidentifikasi sendiri keterlibatannya dalam studi
penelitian, peneliti mengambil langkah aktif untuk memastikan
bahwa data disesuaikan/diubah untuk melindungi identitas
dan kesejahteraan semua pihak dan bahwa diskusi hasil tidak
menimbulkan bahaya untuk partisipan.

G.4.e. Pengutipan Hasil


Konselor berkewajiban untuk menyediakan data penelitian
orisinal bagi profesional yang berkualifikasi, yang ingin
mengutip penelitian tersebut.

G.5. Publikasi
G.5.a. Mengakui Kontribusi
Ketika melaksanakan dan melaporkan penelitian konselor
harus memahami dan memberikan pengakuan kepada
penelitian dengan topik tersebut yang pernah diadakan
sebelumnya, memantau undang-undang hak cipta, dan
memberikan penghargaan sepenuhnya kepada semua yang
pantas mendapat penghargaan tersebut.

G.5.b. Plagiat
Konselor tidak boleh memplagiat (menjiplak) yaitu mereka tidak
boleh menyajikan pekerjaan orang lain sebagai pekerjaannya.

G.5.c. Tinjauan Ulang/Publikasi Ulang dari Data atau Gagasan


Konselor mengakui sepenuhnya dan membuat editorial peninjau
menyadari terbitan data atau gagasan sebelumnya, jika data atau
gagasan tersebut diajukan untuk ditinjau atau dipublikasikan.

120
G.5.d. Kontributor
Konselor memberikan penghargaan melalui penulisan bersama,
ucapan terima kasih, pernyataan catatan kaki, atau cara-cara lain
yang tepat kepada mereka yang memberi kontribusi signifikan
pada penelitian atau pengembangan konsep sesuai dengan
kontribusinya. Kontributor utama ditulis pertama di daftar
sementara kontributor teknis atau profesional minor, disebutkan
dalam catatan atau pernyataan pendahuluan.

G.5.e. Perjanjian Kontributor


Konselor yang melaksanakan penelitian bersama dengan rekan
atau siswa/ penerima supervisi membuat perjanjian sebelumnya
tentang alokasi tugas, pemublikasikan penghargaan dan jenis
ucapan terima kasih yang akan diterima.

G.5.f. Penelitian Siswa


Untuk artikel yang banyak didasarkan pada kertas kerja,
proyek, disertasi, atau tesis siswa dan pada tulisan dimana
siswa adalah kontributor utama, nama siswa ini akan ditulis
sebaga penulis utama.

G.5.g. Penerimaan Duplikasi


Konselor menerima manuskrip untuk dipertimbangkan, hanya
untuk satu jurnal saja satiap kali. Manuskrip yang diterbitkan
baik utuh atau sebagian dalam jurnal atau terbitan lain tidak
boleh diterima untuk diterbitkan tanpa pengetahuan atau izin
dari terbitan terdahulu.

G.5.b. Tinjauan Profesional


Konselor yang meninjau materi yang dikumpulkan untuk
publikasi, penelitian, atau tujuan pendidikan lainnya harus
menghormati kerahasiaan dan hak pribadi dari orang-orang yang
mengumpulkannya. Konselor harus berhati-hati dalam membuat
keputusan publikasi berdasarkan pada standar yang absah dan
dapat dipertahankan. Konselor meninjau artikel yang di terima
secara tepat waktu dan didasarkan pada lingkup

121
serta kompetensi dalam metodologi penelitian. Konselor yang
bertugas sebagai peninjau atas permintaan editor atau penerbit
harus berusaha sedapat mungkin untuk hanya meninjau materi
yang masuk dalam lingkup kompetensinya dan berhati-hati
menghindari bias pribadi.

SEKSI H : MEMECAHKAN MASALAH


ETIKA Pengenalan
Konselor bertindak di dalam cara yang benar sesuai hukum, etika
dan moral saat melakukan pekerjaan profesional mereka. Mereka
harus menyadari bahwa perlindungan klien dan kepercayaan di
dalam profesi tersebut bergantung pada tindak-tanduk
profesional yang tinggi. Mereka memperlakukan konselor lain
dengan standar yang sama dan bersedia mengambil tindakan
yang tepat untuk memastikan bahwa standar ini ditegakkan.
Konselor berupaya untuk memecahkan dilema etika dengan
komunikasi langsung dan terbuka diantara semua pihak yang
terlibat di dalamnya dan berkonsultasi dengan rekan serta
supervisor, jika perlu. Konselor harus menerapkan etika
praktik dalam pekerjaan profesional mereka sehari-hari.
Mereka bersinggungan dengan perkembangan profesional
berkelanjutan dalam topik terkini mengenai etika dan masalah-
masalah hukum di dalam konseling.

H.1. Standar dan Hukum


(lihat F.9.a)
H.1.a. Pengetahuan
Konselor harus memahami kode etik ACA dan kode etik
terapan lainnya dari organisasi profesional atau badan-badan
sertifikasi dan lisensi lainnya, yang mereka ikuti. Kurangnya
pengetahuan atau salah pemahaman tentang tanggung jawab
etika ini bukan alasan untuk mempertahankan diri dari sangsi
perbuatan non etis.

122
H.1.b. Konflik antara Etika dan Hukum
Jika tanggung jawab etika bertabrakan dengan hukum
peraturan, ataupun otoritas hukum lainnya, konselor harus
memperlihatkan komitmen mereka pada kode etik ACA dan
mengabil langkah yang diperlukan untuk memecahkan konflik
tersebut. Jika konflik tidak bisa dipecahkan dengan cara
tersebut, konselor dapat menaati persyaratan dari hukum,
peraturan atau otoritas hukum lainnya.

H.2. Pelanggaran yang Dicurigai


H.2.a. Perilaku Etika yang Diharapkan
Konselor mengharapkan rekannya mematuhi kode etik ACA.
Jika konselor memiliki pengetahuan yang dapat memunculkan
keraguan perihal apakah konselor lain bertindak dengan cara
yang etis, mereka akan mengambil langkah-langkah yang
sesuai. (lihat H.2.b., H.2.c)

H.2.b. Resolusi Informal


Jika konselor mempunyai alasan untuk mempercayai bahwa
konselor lain sedang atau telah melanggar standar etika,
mereka akan pertama-tama berupaya memecahkan masalah
tersebut secara informal dengan konselor lain, jika
memungkinkan, asalah tindakan semacam itu tidak melanggar
hak kerahasiaan yang mungkin ada.

H.2.c. Melaporkan Pelanggaran Etika


Jika pelanggaran yang jelas telah menyebabkan atau
kemungkinan membahayakan bagi seseorang atau organisasi, dan
tidak tepat untuk diberikan resolusi informal, atau tidak
terpecahkan dengan tepat, konselor mengambil langkah
selanjutnya terhadap situasi itu. Tindakan itu bisa mencakup
melaporkan pelanggaran tersebut ke komite etika profesionasional
atau daerah, dewan lisensi negara, atau otoritas institusional yang
tepat. Standar ini tidak berlaku jika intervensi tersebut dapat
melanggar hak kerahasiaan atau jika konselor tidak diperbolehkan

123
meninjau pekerjaan konselor lain yang perilaku profesionalnya
dipertanyakan.

H.2.d. Konsultasi
Jika tidak yakin apakah situasi tertentu atau aksi melanggar
kode etik ACA, konselor berkonsultasi dengan konselor lain
yang mengetahui tentang etika dan kode etik ACA dengan
rekan, dengan otoritas yang tepat.

H.2.e. Konflik Organisasi


Jika tuntutan organisasi tempat konselor berafiliasi berbenturan
dengan kode etik ACA, konselor harus memspesifikasikan
kepada suprvisor atau petugas yang bertanggung jawb lainnya,
komitmen mereka terhadap kode etik ACA. Jika mungkin,
konselor berusaha untuk mengubah tuntutan organisasi agar
dapat sepenuhnya mematuhi kode etik ACA. Dengan
melakukan hal ini, mereka menangani masalah kerahasiaan.

H.2.f. Keluhan yang Tidak Dibenarkan


Konselor tidak memulai berpartisipasi dalam, atau mendorong
pengisian keluhan etika yang dibuat dengan dibuat dengan
kecerobohan atau mengabaikan dengan sengaja fakta-fakta
yang menyangkal klaim tersebut.

H.2.g. Diskriminasi tidak adil terhadap pengaju keluhan dan pemberi


respons
Konselor tidak menolak pemekerjaan individu, kemajuan,
penerimaan dalam program akademi atau program lain,
jabatan tetap, atau promosi hanya berdasarkan pada apa yang
telah mereka lakukan atau karan mereka menjadi subjek
keluhan etik. Hal ini tidak mencegah pengambilan tindakan
berdasarkan hasil kejadian tersebut atau pertimbangan
informasi yang tepat lainnya.

124
H.3. Kerjasama dengan Komite Etik
Konselor harus membantu dalam proses penegasan kode etik
ACA. Konselor bekerja sama dengan komite investigasi, prosedur,
dan persyaratan dari etika ACA ataupun komite etik dari asosiasi
atau dewan lain semacam itu yang mempunyai juridiksi atas
mereka yang dikenal tuduhan pelanggaran. Konselor harus
familiar dengan kebijakan ACA dan prosedur untuk memproses
keluhan pelanggaran etika dan mengguakannya sebagai acuan
dalam menyokong kode etik ACA.

125
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Imas Diana, “ Hubungan Konseling dan Batas-batas


Pelaksana Profesional Konselor”, Makalah Sekolah
Pascasarjana Program Studi Bimbingan & Konseling, UPI
Bandung, 2005, tidak diterbitkan.
Asmaran A.S., Pengantar Studi Ahlak, Jakarta: Rajawali Press,
1992.
B. Victor and J.B. Cullen, “The Organizational Bases of Ethical
Work Climates”, Administrative Science Quarterly, March 1998.
Cavanagh, E. Michael, The Counseling Experience: A Theoretical
and Practical Approach. California : Wodsworth, Inc. 1982.
Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi. Judul asli Dictionary of
Psychology diterjemahkan Kartini Kartono, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2004.
Corey, Geral., Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, judul asli
Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
penerjemah E. Koeswara. Bandung: PT Refika aditama. 1988.
Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Yogyakarta: Kanisius
Medika. 2008.
Efendy, Ferry dan Makhfudli, Keperawatan Kesehatan Komunitas,
Teori dan Praktis dalam Keperawatan, Jakarta: Salemba
Medika, 2009.
E.J. Ottensmeyer and G. Mc Carthy, Ethics in the Work Place,
New York: McGraw Hill, 1996.
Franz Mgnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral, Kanisius: Yogyakarta, 1987.
Geldard, Kathryn & Geldard, David, Keterampilan Praktik Konseling
: Pendekatan Integratif, judul asli Practical Counselling Skills
: An Integrative Approach. Alih bahasa Eva Hamidah, S.S.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
G. F Cavanagh, D. J. Moberg, and M. Valasquez, “The Ethics of
Organization Politics”, Academy of Management Journal, June
1981.
Gibson & Mitchell, Introduction to Counseling and Guidance. New

126
Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008.
Gladding, T. Samuel, Counseling: a Comprehensive Profession,
sixth edition, alih bahasa P. M. Winarno & Lilian Yuwono,
Jakarta: PT. Indeks, 2012.
Hornby & Parnwell, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.
Pustaka Ilmu, 1992.
Latipun, Psikologi Konseling. malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2001.
L. Kohlberg, “Stage and Sequence: The Cognitive-
Developmental Approach to Socialization”, in D. A. Goslin
(ed), Handbook of Socialization Theory and Research, Chicago:
Rand McNally, 1969.
Ondi Saondi & Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, Bandung:
Refika Aditama, 2010.
Robbins, P. Stephen, Organizational Behavior, New Jersey: Printice
Hall, Inc. 2001.
Sastrapraja, M., Kamus Istilah Pendidikan Umum, Surabaya: Usaha
Nasional, 1981.
Schoener, R. Garry, “Boundaries in Professional Relationship”,
Makalah pada Konferensi Norwegian Psychological Association,
1997, tidak diterbitkan.
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung
Jati, 1981.
Sofyan Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung:
Alfabeta, 2004.
Tim Bond, Handbook of Counselling and Psychotherapy, edited by
Colin Feltman and Lan Horton, London : Sage Publications,
2000.
Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, Bandung : CV. Diponegoro, 1983.
_______, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, Surabaya: PB
ABKIN, 2009.
_______, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2003.
________, Kode Etik Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia, Bandung: PB ABKIN, periode 2005-2010.

127
________, Kode Etik American Counseling Association, tahun
2005.
_______, Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan
Konseling, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004.
_______, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 27 tahun
2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
_______, Pelanggaran Kode Etik Profesi IT dan Peraturan
Perundangan, Sheetdicx.wordpress.com/2010/01/13, h.3-4.

128

Anda mungkin juga menyukai