Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati. Hamper semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima
jenis virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis
C (HCV), virus hepatitis D (HDV), virus hepatitis E (HEV). Semua jenis
hepatitis virus yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus
hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus tersebut berbeda dalam
sifat molekuler dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut menunjukkan
kesamaan dalam perjalanan penyakitnya.(1)
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari
2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk negara
endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara asia diperkirakan bahwa
penyebaran perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas
prevalensi infeksi HBV yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan HbeAg positif akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga
kehidupannya. Adanya HbeAg pada ibu sangat berperan penting untuk penularan.
Walaupun ibu mengandung HbsAg positif namun HbeAg negatif, maka daya
tularnya rendah.(1)
Infeksi virus Hepatitis B merupakan masalah kesehatan dunia. Sebanyak 2
juta orang diseluuruh dunia terinfeksi virus ini dengan 450 juta mengalami infeksi
kronik. Sebanyak 500 hingga 1 juta pasien dengan hepatitis B meninggal setiap
tahunnya. Hepatitis B menyumbang 80% penyebab terjadinya karsinoma
hepatoselular primer dan menduduki peringkat kedua setelah rokok sebagai
penyebab kanker.(2)
Sebanyak 15 – 25% pasien dengan infeksi kronik hepatitis B meninggal.
Pasien yang terinfeksi virus hepatitis B pada awal kehidupan memiliki
kecenderungan besar untuk mengalami infeksi kronik virus hepatitis B

1
dibandingkan dengan pasien yang terinfeksi pada saat anak-anak ataupun dewasa
muda.(2)
Virus hepatitis B merupakan virus DNA yang termasuk golongan
Hepadnaviridae, yang mempunyai empat buah open reading frame: inti kapsul,
polymerase dan X. Gen inti mengkode protein, nukleokaspid yang penting dalam
membungkus virus dan HbeAg. Gen permukaan mengkode protein pre-S1, pre-S2
dan protein S. Gen X mengkode protein X yang berperan penting dalam proses
karsiogenesis. Sampai saat ini terdapat delapan genotipe virus hepatitis B:
genotipe A, B, C, D, E, F, G, H. Genotipe B dan C paling banyak ditemukan di
Asia. (2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B,
suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut
atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B
akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis
bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau
pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.(1,2)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR


Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada
manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di
kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan.
Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah
diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen.
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh
peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava
inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding ant. abd dan
terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan
bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan
duodenum sblh prox ke hepar.Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica,

3
v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut
membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior ki–ka dan Lig coronaria posterior ki-ka
:Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis ki-ka : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria
anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan
epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum
toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada
pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dapat mencapai sela iga 4/ 5 tepat di
bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi hepar secara topografis bukan
scr anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.

Secara Mikroskopis
Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam
parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris.
Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam
lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh
kapiler yang disebut sinusoid.6

4
Sinusoid-sinusoid tersebut
berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian
tubuh yang lain, oleh karena lapisan
endotel yang meliputinya terediri dari
sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel
kupfer lebih permeabel yang artinya
mudah dilalui oleh sel-sel makro
dibandingkan kapiler-kapiler yang lain.
Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan
sinusoid. Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-
lobuli Di tengah-tengah lobuli tdp 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari
vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar).Di bagian
tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus
portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang v.porta,
A.hepatika, ductus biliaris.
Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan mengeluarkan isinya
langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan Sistem bilier dimulai dari
canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut
membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam
intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar , air keluar dari saluran
empedu menuju kandung empedu.(1)

C. ETIOLOGI
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali
ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen
Australia. Virus ini termasuk DNA virus.(3)
Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam
family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena
virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk
dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika
Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis

5
B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak
bersifat sitopatik.(4,5)

Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi
alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan
penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran
42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis
ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.
Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang
sebagian berantai ganda (partially double stranded) dengan bentuk sirkular.
Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah
yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus yang
kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong berukuran 22 nm, dapat berbentuk
seperti bola atau filament.

6
Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui
adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan.
Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C
(core), X untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan
ORF6) telah dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.
Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan
pre-C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri
dari 87 nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C
mengkode 212 asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian
pre-S2, pre-S2, dan S, mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226
asam amino.
Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen
ini juga berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang
bekerja sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi virus.
Gen ini merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan
protein X VHB (HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga
berperan pada pathogenesis karsinoma hepatoselualar (KHS).
Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai
aktivitas replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi
atau dengan metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction

7
(PRC). DNA-VHB kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons
penyakit terhadap terapi.

Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu


dari beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai
sebuah bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel
dengan cara membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan
masuk ke sel tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus
kemudian membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam
covalently menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu
cetakan (template) untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar,
(adalah lebih panjang dari genom virus), digunakan untuk membuat copy baru
dari genom dan untuk membuat inti capsid protein serta DNA virus polymerase.
Empat catatan virus Ini mengalami pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk
membentuk keturunan virions yang bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta
re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi mengcopy. MRNA lama kemudian
mengangkut kembali ke cytoplasm dimana virion P protein mensintesa DNA
melalui nya kebalikan aktivitas transcriptase. (4)(6)

8
D. PATOGENESIS
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatis
yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun.
Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV,
menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting
dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg,
pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan protein
histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk
melisis sel T sitotoksis. (4)
Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme sistem imun diaktivasi
untuk mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi
peningkatan serum transaminase, dan terbentuk antibody spesifik terhadap protein
HBV, yang terpenting adalah anti-HBs. Untuk dapat membersihkan HBV dari
tubuh seseorang dibutuhkan respons imun non-spesifik dan respons imun spesifik
yang bekerja dengan baik. Segera setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor
system imun non-spesifik diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini men
ingkatkan ekspresi HLA kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi
VHB, sehingga nantinya memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit
yang terinfeksi dan melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC)
seperti sel makrofag atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah VHB.
Sel APC ini kemudian akan mempresentasikan antigen VHB dengan bantuan
HLA kelas II pada sel CD4 (sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan
membentuk suatu kompleks. Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk
sitokin. Sel CD4 ini mulanya adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi
Th1 atau Th2. Diferensiasi ini tergantung pada adanya sitokin yang
mempengaruhinya. (4,5)
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan
IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel
hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga
melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi.

9
Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun yang
dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan
mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara
non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis
dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK
yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi
resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan
fungsi sel NK ini.(4,5)

E. SUMBER DAN CARA PENULARAN


Dalam kepustakaan disebutkan sumber penularan virus Hepatitis B berupa:(2)
a. Darah : penerima produk darah, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan,
pekerja yang terpapar darah
b. Transmisi seksual
c. Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum, penggunaan
ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau
cukur dan silet, tato, akunpuntur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama.
d. Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant
e. Tak ada bukti penyebaran fekal-oral (bab 98 hepatitis akut)
Cara penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu :
a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan
pembuatan tattoo
b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang
tercemar virus hepatitis B.
Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara
penting yaitu:
a. Penularan vertikal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu yang
HBsAg positif kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa

10
perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi
antar negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik.
b. Penularan horizontal; yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang
pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya:
melalui hubungan seksual.

F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-
rata 60-90 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum,
mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia.
Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan
menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengan
aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya < 1% yang
menjadi fulminan.(1)

11
G. DIAGNOSIS
Diagnosis hepatitis B ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium. Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1 – 4
bulan. Setelah masa inkubasi, pasien masuk ke dalam periode prodromal, dengan
gejala konstitusional berupa malaise, anoreksia, mual, muntah, mialgia dan mudah
lelah. Pasien dapat mengalami perubahan rasa pada indera pengecap dan
perubahan sensasi bau-bauan. Sebagian pasien dapat mengalami nyeri abdomen
kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium intermitten yang ringan sampai
moderat.(2)
Demam lebih jarang terjadi pada pasien dengan infeksi hepatitis B dan D, bila
dibandingkan dengan infeksi hepatitis A dan E, namun demam dapat terjadi pada
pasien dengan serum-sickness-like syndrome dengan gejala berupa demam,
kemerahan pada kulit, artralgia, dan artitritis. Serum-sickness-ike syndrome
terjadi pada 10-20%. Gejala diatas terjadi pada umumnya 1 – 2 minggu sebelum
terjadi ikterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis subklinis atau hepatitis
anikterik. Hanya 30% pasien yang mengalami hepatitis dengan ikterus. Pasien
dapat mengalami ensefalopati hepatikum dan kegagalan multiorgan bila terjadi
gagal hati fulminan.
Gejala klinis dan ikterus biasanya hilang setelah 1-3 bulan, tetapi sebagian
pasien dapat mengalami kelelahan persisten meskipun kadar transaminase serum
telah mencapai kadar normal. Kelainan fisik yang paling sering ditemui adalah
demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, ikterus dan hepatomegali ringan.
Splenomegali dapat dijumpai pada 5 – 15% kasus. Limfadenopati ringan dapat
terjadi. Selain itu, palmar eritema atau spider nervi dapat dijumpai meskipun
jarang. (2)
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya HbsAg. Adanya HbsAg
yang persisten lebih dari 6 bulan menunjukkan bahwa pasien menderita infeksi
hepatitis B kronik. HbsAg dan anti-HBs dapat dijumpai secara bersamaan pada
individu yang sama pada 10-25% kasus. Fenomena tersebut muncul lebih sering
pada pasien hepatitis B kronik dibandingkan pada pasien hepatitis B akut. Pada
keadaan ini biasanya titer antibodi rendah. Mekanisme yang menjelaskan

12
mekanisme tersebut masih belum sepenuhnya diketahui, tetapi mungkin
diakibatkan oleh infeksi hepatitis B lebih dari 1 serotipe. Pada pasien yang
terdapat HbsAg dan anti-HBs bersamaan, pasien tersebut dianggap menderita
infeksi virus hepatitis B,dan adanya anti-HBs tidak mempengaruhi aktifitas
penyakit dan hasil akhir penyakit tersebut. HbeAg yang persisten lebih dari 3
bulan setelah onset penyakit jarang terjadi dan menunjukkan progesivitas menjadi
hepatitis B kronik.
Pada hepatitis B akut, periode antara hilangnya HbsAg dan munculnya anti-
HBs dikenal dengan periode jendela (window periode). Pada periode ini, HbeAg
negatif dan HBV-DNA biasanya tidak terdeteksi. Penanda satu-satunya yang
positif ialah IgM anti-HBc, suatu antibodi terhadap antigen hepatitis B core.
Sehingga IgM anti HBc merupakan penanda serologis paling penting pada
hepatitis B akut. IgM-anti HBc biasanya bertahan 4-6 bulan selama hepatitis B
akut dan jarang persisten sampai 2 tahun. Meskipun IgM anti-HBc merupakan
penanda hepatitis B akut, penanda tersebut juga dapat positit selama hepatitis B
kronik yang mengalami eksaserbasi akut. IgG anti-HBc merupakan penanda
paparan hepatitis B. Penanda tersebut positif baik pada pasien hepatitis B kronik
dan pasien yang telah sembuh dari hepatitis B akut. Pada kasus pasien yang telah
sembuh dari hepatitis B akut, biasanya penanda tersebut disertai dengan adanya
anti-HBs yang positif.

Peningkatan ALT dan AST sampai 1000-2000 IU/L sering dijumpai


dimana ALT lebih tinggi daripada AST. Peningkatan kadar bilirubun biasanya
muncul setelah peningkatan ALT. Peningkatan kadarr ALT puncak tidak

13
berkorelasi dengan prognosis. Pada pasien yang sembuh, ALT biasanya kembali
normal setelah 1-4 bulan diikuti kadar bilirubin yang menjadi normal.(2,7)
Risiko perjalanan penyakit infeksi hepatitis B akut menjadi kronik
berbanding terbalik secara proposional terhadap usia terjadinya infeksi. Infeksi
kronik akan terjadi kurang dari 5% pada pasien dewasa yang imunokompeten
namun pada infeksi yang terjadi pada masa neonatus dan bayi, 95% kasus akan
menjadi infeksi kronik. Pasien hepatitis B akut yang mengalami hepatitis B
fulminan kurang dari 1%. Sebanyak 35 – 70% hepatitis virus fulminan berasal
dari infeksi hepatitis B akut. Angka ketahanan hidup spontan pada hepatitis B
fulminan berkisar 20% tanpa transplantasi hati. Transplantasi hati menghasilkan
angka ketahanan hidup 50 – 60%. Reinfeksi akibat transplantasi hati jarang terjadi
karena adanya profilaksis imunisasi hepatitis B dan agen virus. (2)
Diagnosis hepatitis virus sangat ditentukan oleh penanda serologi dari
bagian virus hepatitis. Penanda serlogis untuk hepatitis virus dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:(8)

Tes laboratorium yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah:(3)


1. Tes antigen-antibodi virus Hepatitis B:
a. HbsAg (antigen permukaan virus hepatatitis B)
Merupakan material permukaan/kulit VHB. HBsAg mengandung protein
yang dibuat oleh sel-sel hati yang terinfesksi VHB. Jika hasil tes HBsAg

14
positif, artinya individu tersebut terinfeksi VHB, karier VHB, menderita
hepatatitis B akut ataupun kronis. HBsAg bernilai positif setelah 6 minggu
infeksi VHB dan menghilang dalam 3 bulan. Bila hasil tetap setelah lebih
dari 6 bulan berarti hepatitis telah berkembang menjadi kronis atau pasien
menjadi karier VHB. HbsAg positif makapasien dapat menularkan VHB.
b. Anti-HBs (antibodi terhadap HBsAg)
Merupakan antibodi terhadap HbsAg. Keberadaan anti-HBsAg
menunjukan adanya antibodi terhadap VHB. Antibodi ini memberikan
perlindungan terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HbsAg bernilai
positif berarti seseorang pernah mendapat vaksin VHB ataupun
immunoglobulin. Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat
kekebalan dari ibunya. Anti-HbsAg posistif pada individu yang tidak
pernah mendapat imunisasi hepatitis B menunjukkan bahwa individu
tersebut pernah terinfeksi VHB.
c. HbeAg
Yaitu antigen envelope VHB yang berada di dalam darah. HbeAg bernilai
positif menunjukkan virus VHB sedang aktif bereplikasi atau
membelah/memperbayak diri. Dalam keadaan ini infeksi terus berlanjut.
Apabila hasil positif dialami hingga 10 minggu maka akan berlanjut
menjadi hepatitis B kronis. Individu yang memiliki HbeAg positif dalam
keadaan infeksius atau dapat menularkan penyakitnya baik kepada orang
lain maupun janinnya.
d. Anti-Hbe
Merupakan antibodi terhadap antigen HbeAg yang diproduksi oleh tubuh.
Anti-HbeAg yang bernilai positif berati VHB dalam keadaan fase non-
replikatif.
e. HbcAg (antigen core VHB)
Merupakan antigen core (inti) VHB, yaitu protein yang dibuat di dalam
inti sel hati yang terinfeksi VHB. HbcAg positif menunjukkan keberadaan
protein dari inti VHB.
f. Anti-Hbc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B)

15
Merupakan antibodi terhadap HbcAg. Antibodi ini terdiri dari dua tipe
yaitu IgM anti HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti HBc tinggi menunjukkan
infeksi akut. IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc negatif
menunjukkan infeksi kronis pada seseorang atau orang tersebut penah
terinfeksi VHB.
2. Viral load HBV-DNA. Apabila positif menandakan bahwa penyakitnya aktif
dan terjadi replikasi virus. Makin tinggi titer HBV-DNA kemungkinan
perburukan penyakit semakin besar.
3. Faal hati. SGOT dan SGPT dapat merupakan tanda bahwa penyakit hepatitis
B-nya aktif dan memerlukan pengobatan anti virus.
4. Alfa-fetoprotein (AFP), adalah tes untuk mengukur tingkat AFP,yaitu sebuah
protein yang dibuat oleh sel hati yang kanker.
5. USG (ultrasonografi), untuk mengetahui timbulnya kanker hati.
6. CT (computed tomography) scan ataupun MRI (magnetic resonance imaging),
untuk mengetahui timbulnya kanker hati.
7. Biopsi hati dapat dilakukan pada penderita untuk memonitor apakah pasien
calon yang baik untuk diterapi antivirus dan untuk menilai keberhasilan terapi.

H. PEMERIKSAAN FUNGSI HATI


Pemeriksaan fungsi hati diindikasikan untuk penapisan atau deteksi
adanya kelainan atau penyakit hati, membantu menengakkan diagnosis,
memperkirakan beratnya penyakit, membantu mencari etiologi suatu penyakit,
menilai hasil pengobatan, membantu mengarahkan upaya diagnostik selanjutnya
serta menilai prognosis penyakit dan disfungsi hati.(9)
1. Penilaian fungsi hati
 Albumin
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang dihasilkan oleh hati.
Fungsi albumin adalah mengatur tekanan onkotik, mengangkut nutrisi,
hormon, asam lemak, dan zat sampah dari tubuh.Apabila terdapat gangguan
fungsi sintesis sel hati maka kadar albumin serum akan menurun
(hipoalbumin) terutama apabila terjadi lesi sel hati yang luas dan kronik.

16
Penyebab lain hipoalbumin diantaranya terdapat kebocoran albumin di tempat
lain seperti ginjal pada kasus gagal ginjal, usus akibat malabsorbsi protein,
dan kebocoran melalui kulit pada kasus luka bakar yang luas. Hipoalbumin
juga dapat disebabkan intake kurang, peradangan, atau infeksi. Peningkatan
kadar albumin sangat jarang ditemukan kecuali pada keadaan dehidrasi.
 Globulin
Globulin merupakan unsur dari protein tubuh yang terdiri dari globulin alpha,
beta, dan gama. Globulin berfungsi sebagai pengangkut beberapa hormon,
lipid, logam, dan antibodi. Pada sirosis, sel hati mengalami kerusakan
arsitektur hati, penimbunan jaringan ikat, dan terdapat nodul pada jaringan
hati, dapat dijumpai rasio albumin : globulin terbalik. Peningkatan globulin
terutama gama dapat disebabkan peningkatan sintesis antibodi, sedangkan
penurunan kadar globulin dapat dijumpai pada penurunan imunitas tubuh,
malnutrisi, malababsorbsi, penyakit hati, atau penyakit ginjal.
 Elektroforesis protein
Pemeriksaan elektroforesis protein adalah uji untuk mengukur kadar protein
serum dengan cara memisahkan fraksi-fraksi protein menjadi 5 fraksi yang
berbeda, yaitu alpha 1, alpha 2, beta, dan gamma. Albumin merupakan fraksi
protein serum yang paling banyak sekitar 2/3 dari total protein. Perubahan
pola pada kurva albumin tersering adalah penurunan kadar albumin atau
hipoalbuminemia, karena albumin memiliki rentang nilai rujukan yang besar
maka penurunan ringan tidak akan terlihat.
Fraksi alpha 1 globlin hampir 90% terdiri dari alpha 1 antitrypsin sisanya
tersusun atas alpha 1 acid glycoprotein, alpha 1 antichymotrypsin, alpha
fetoprotein, dan protein pengangkut seperti cortisol binding protein dan
thyroxine-binding globulin.Alpha 1 globulin merupakan protein reaksi fase
akut sehingga kadarnya akan meningkat pada penyakit inflamasi, penyakit
degenerative, dan kehamilan. Alpha 2 globulin terdiri dari haptoglobulin,
seruloplasmin, alpha 2 makroglobulin, dan alpha lipoprotein. Peningkatan
kadar haptoglobin terjadi sebagai protein fase akut pada peradangan.
Penurunan kadar haptoglobulin dapat dijumpai pada penyakit hati berat,

17
anemia hemolitik intravaskular. Beta globulin terdiri beta 1 dan beta 2.Beta 1
terutama tersusun oleh transferrin, beta 2 tersusun oleh beta lipoprotein serta
beberapa komponen komplemen.Penurunan pita beta dapat diakibatkan
penyimpanan serum terlalu lama, karena hilangnya beta 2, sedangkan
peningkatan pita beta dapat disebabkan hiperkolesterolemia LDL dan
hipertransferinemia pada anemia.Peningkatan pada pita beta yang menyeluruh
dihubungkan dengan kejadian sirosis hati alkoholik.
Pada pita gamma globulin tersusun atas IgA, IgM (85%), IgG, hemopexin,
dan komplemen C3.Hipogamaglobulinemia fisiologis dapat dijumpai pada
neonates. Penurunan pita gamma globulin dapat disebabkan imunodefisiensi,
pengobatan immunosupresif, kortikosteroid, dan kemoterapi. Pada myeloma
tipe light chain dapat dijumpai hipogamaglo bulinemia yang harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein Bence Jones di urin.
Hipergamaglobulinemia dapat berupa penebalan pita yang difus atau
poliklonal atau penebalan setempat (monoclonal)
 Cholinesterase (che)
Pengukuran aktivitas enzim cholinesterase serum membantu menilai fungsi
sintesis hati. Aktivitas cholinesterase serum menurun pada gangguan fungsi
sintesis hati, penyakit hati kronik, dan hipoalbumin karena albumin berperan
sebagai protein pengangkut cholinesterase. Penurunan cholinesterase lebih
spesifik dibandingkan albumin untuk menilai fungsi sintesis hati karena
kurang dipengaruhi faktor-faktor di luar hati. Pada hepatitis akut dan kronik
cholinesterase menurun sekitar 30%- 50%.Penurunan cholinesterase 50%-
70% dapat dijumpai pada sirosis dan karsinoma yang metastasis ke hati.
Pengukuran cholinesterase serial dapat membantu untuk menilai prognosis
pasien penyakit hati dan monitoring fungsi hati setelah trasplantasi hati.
 Bilirubin
Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah merah
oleh sel retikuloendotel. Akumulasi bilirubin berlebihan di kulit, sklera, dan
membran mukosa menyebabkan warna kuning yang disebut ikterus. Kadar
bilirubin lebih dari 3 mg/dL biasanya baru dapat menyebabkan ikterus. Ikterus

18
mengindikasikan gangguan metabolisme bilirubin, gangguan fungsi hati,
penyakit bilier, atau gabungan ketiganya. Metabolisme bilirubin dimulai oleh
penghancuran eritrosit setelah usia 120 hari oleh sistem retikuloendotel
menjadi heme dan globin. Globin akan mengalami degradasi menjadi asam
amino dan digunakan sebagai pembentukan protein lain. Heme akan
mengalami oksidasi dengan melepaskan karbonmonoksida dan besi menjadi
biliverdin. Biliverdin reduktase akan mereduksi biliverdin menjadi bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Setelah dilepaskan ke plasma bilirubin
tidak terkonjugasi berikatan dengan albumin kemudian berdifusi ke dalam sel
hati. Pemeriksaan bilirubin untuk menilai fungsi eksresi hati di laboratorium
terdiri dari pemeriksaan bilirubin serum total, bilirubin serum direk, dan
bilirubin serum indirek, bilirubin urin dan produk turunannya seperti
urobilinogen dan urobilin di urin, serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja.
Apabila terdapat gangguan fungsi eksresi bilirubin maka kadar bilirubin serum
total meningkat. Kadar bilirubin serum yang meningkat dapat menyebabkan
ikterik. Penyebab ikterus berdasarkan tempat dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu prehepatik, hepatik dan pasca hepatik (kolestatik). Peningkatan
bilirubin prehepatik sering disebabkan karena penghancuran sel darah merah
berlebihan. Bilirubin tidak terkonjugasi di darah tinggi sedangkan serum
transaminase dan alkalin fosfatase normal, di urin tidak ditemukan bilirubin.
Peningkatan bilirubin akibat kelainan hepatik berkaitan dengan penurunan
kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati misalnya pada sindrom Gilbert,
gangguan konjugasi bilirubin karena kekurangan atau tidak ada enzim
glukoronil transferase misalnya karena obat-obatan atau sindrom Crigler-
Najjar. Enzim hati akan meningkat sesuai penyakit yang mendasarinya, ikterus
biasanya berlangsung cepat. Bilirubinpasca hepatik akibat kegagalan sel hati
mengeluarkan bilirubin terkonjugasi ke dalam saluran empedu karena
rusaknya sel hati atau terdapat obstruksi saluran empedu di dalam hati atau di
luar hati. Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai pada berbagai tipe
ikterus tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut:

19
2. Pengukuran aktivitas enzim
 Enzim transaminase
Enzim transaminase meliputi enzim alanine transaminase (ALT) atau serum
glutamate piruvattransferase (SGPT) dan aspartate transaminase (AST) atau
serum glutamate oxaloacetate transferase (SGOT). Pengukuran aktivitas
SGPT dan SGOT serum dapat menunjukkan adanya kelainan sel hati tertentu,
meskipun bukan merupakan uji fungsi hati sebenarnya pengukuran aktivitas
enzim ini tetap diakui sebagi uji fungsi hati. Enzim ALT/SGPT terdapat pada
sel hati, jantung, otot dan ginjal. Porsi terbesar ditemukan pada sel hati yang
terletak di sitoplasma sel hati. AST/SGOT terdapat di dalam sel jantung, hati,
otot rangka, ginjal, otak, pankreas, limpa dan paru. Kadar tertinggi terdapat
did alam sel jantung. AST 30% terdapat di dalam sitoplasma sel hati dan 70%
terdapat di dalam mitokondria sel hati. Tingginya kadar AST/SGOT
berhubungan langsung dengan jumlah kerusakan sel. Kerusakan sel akan
diikuti peningkatan kadar AST/SGOT dalam waktu 12 jam dan tetap bertahan
dalam darah selama 5 hari. Peningkatan SGPT atau SGOT disebabkan
perubahan permiabilitas atau kerusakan dinding sel hati sehingga digunakan
sebagai penanda gangguan integritas sel hati (hepatoseluler). Peningkatan
enzim ALT dan AST sampai 300 U/L tidak spesifik untuk kelainan hati saja,
tetapi jika didapatkan peningkatan lebih dari 1000 U/L dapat dijumpai pada
penyakit hati akibat virus, iskemik hati yang disebabkan hipotensi lama atau

20
gagal jantung akut, dan keruskan hati akibat obat atau zat toksin. AST/ALT
dapat digunakan untuk membantu melihat beratnya kerusakan sel hati. Pada
peradangan dan kerusakan awal (akut) hepatoseluler akan terjadi kebocoran
membran sel sehingga isi sitoplasma keluar menyebabkan ALT meningkat
lebih tinggi dibandingkan AST dengan rasio AST/ALT 0,8 yang menandakan
kerusakan hati berat atau kronis.
 Alkaline phosfatase (alp) dan gamma glutamyltransferase (ggt)
Aktivitas enzim ALP digunakan untuk menilai fungsi kolestasis. Enzim ini
terdapat di tulang, hati, dan plasenta. ALP di sel hati terdapat di sinusoid dan
memberan salauran empedu yang penglepasannya difasilitasi garam empedu,
selain itu ALP banyak dijumpai pada osteoblast. Kadar ALP tergantung umur
dan jenis kelamin. Aktivitas ALP lebih dari 4 kali batas atas nilai rujukan
mengarah kelainan ke arah hepatobilier dibandingkan hepatoseluler. Enzim
gamma GT terdapat di sel hati, ginjal, dan pankreas. Padasel hati gamma GT
terdapat di retikulum endoplasmik sedangkan di empedu terdapat di sel epitel.
Peningkatan aktivitas GGT dapat dijumpai pada icterus obstruktif, kolangitis,
dan kolestasis. Kolestasis adalah kegagalan aliran empedu mencapai
duodenum.
3. Menentukan etiologi penyakit hati
 Penyakit hati autoimun
Beberapa antibodi dan protein tertentu dapat digunakan sebagai penanda
eteiologi dari penyakit hati autoimun seperti antinuclear antibody (ANA)
untuk hepatitis autoimun kronis, anti-smooth muscle antibodies (SMA) dan
antimitochondrial antibody (AMA) untuk sirosis hati, hepatitis autoimum
kronis, dan sirosis.
 Keganasan sel hati
Pada keganasan sel hati dapat dipilih parameter alfafetoprotein (AFP) yaitu
suatu protein yang disintesis pada masa fetus, kadar puncak AFP adalah usia
janin 12-16 minggu dan menurun segera setelah bayi lahir. Peningkatan AFP
yang sangat tinggi mengarah pada keganasan sel hati, tumor embriogenik
ovarium, tumor embriogenik testis, hepatoblastoma embriogenik, dan kanker

21
gastrointestinal.Peningkatan ringan AFP dapat disebabkan oleh beberapa
keadaan seperti hepatitis akut dan kronis, serta kehamilan.
 Infeksi virus hepatitis
Hepatitis adalah inflamasi jaringan hati dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
protozoa, autoimun, obat-obatan, atau zat toksik. Diagnosis hepatitis virus
sangat ditentukan oleh penanda serologi dari bagian virus hepatitis. Penanda
serlogis untuk hepatitis virus dapat dilihat pada tabel dibawah ini:(7)

22
I. TATA LAKSANA INFEKSI HEPATITIS B AKUT
Infeksi virus hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi
yang diberikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar
infeksi hepatitis B akut pada dewasa dapat sembuh spontan. Terapi antiviral dini
hanya diperlukan pada kurang dari 1% kasus pada kasus hepatitis fulminan atau
pasien imunokompromais. Pencegahan terhadap infeksi virus hepatitis B
dilakukan melalui vaksinasi. Pencegahan infeksi menggunakan imunisasi pasif
yaitu pemberian imunoglobulin tidak mencegah infeksi, melainkan mengurangi
frekuensi penyakit klinis.
Vaksinasi hepatitis B terdiri atas partikel HbsAg yang tidak terglikosilasi
namun tetap tidak dapat dibedakan oleh tubuh dari HbsAg natural. Pemberian
vaksinasi dibedakan menjadi pencegahan sebelum pajanan dan setelah pajanan.
Profilaksis sebelum pajanan terhadap infeksi virus hepatitis B umumnya diberikan
kepada pekerja kesehatan, pasien hemodiálisis dan staf yang bertugas, pengguna
obat-obatan jarum suntik, pasien dengan patner seksual yang lebih dari satu,
pasien yang tinggal diarea yang sangat endemik, maupun anak-anak yang berumur
18 tahun yang belum mendapat vaksinasi.
Pemberian dilakukan secara intramuskular di daerah deltoid, sebanyak 3
kali, pada 0, 1, dan 6 bulan dengan dosis bervariasi tergantung jenis vaksinasi.
Pasien dengan kehamilan tidak menjadi kontraindikasi untuk vaksinasi ini.
Pemberian vaksinasi dimulai dari anak-anak pada daerah hiperendemis seperti
Asia, menurunkan 10 – 15 tahun infeksi hepatitis B dan komplikasinya. Vaksinasi
hepatitis B dapat melindungi 80 – 90% pasien selama sekurangnya 5 tahun dan 60
– 80% selama 10 tahun. Booster tidak direkomendasikan untuk diberikan secara
rutin kecuali pada pasien dengan sistem imunokompromais.
Vaksin hepatitis B tersedia dengan nama Recombicax-HB (Merck) dan
Engerix-B (GlaxoSmithKline). Selain itu, terdapat pula kombinasi dengan vaksin
lainnya seperti vaksin hepatitis B beserta haemophilus influenza type B dan
neisseria meningitides dengan nama Comvax, yang diproduksi oleh Merck dan
juga kombinasi dengan hepatitis A (Twinrix) dan difteria dan tetanus toxoid
(Pediatrix) yang diproduksi oleh GlaxoSmithKline.

23
Vaksinasi pasca pajanan terhadap hepatitis B merupakan kombinasi antara
HBIG (Hepatitis B Immunoglobulin G) dan vaksin hepatitis B. Keduanya
memiliki tujuan masing-masing yaitu HBIG untuk mencapai titer anti-HBs yang
tinggi dan vaksin hepatitis B untuk mencapai imunitas yang bertahan lama.
Pemberian HBIG diberikan single dose, 0,06 mL/kgBB diberikan secara
intramuskular, dalam waktu maksimal 14 hari setelah pajanan. Pemberian
vaksinasi dan HBIG dapat dilakukan bersamaan namun pada tempat yang
berbeda. (2)

J. PROGNOSIS
Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinik/perjalanan penyakit
bervariasi tergantung umur, virus, gizi dan penyakit lain yang menyertai. Hepatitis
B 90% dapat sembuh sempurna, 5 – 10% menjadi kronis, jangka panjang menjadi
sirosis atau kanker hati.(10)

24
BAB III
KESIMPULAN

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus


Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus. Hepatitis B akut jika perjalanan
penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap,
tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi
anatomi selama 6 bulan.Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang seperti uji
serologis memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis. Infeksi virus
hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang diberikan hanya
terapi suportif dan simptomatik karena sebagian besar infeksi hepatitis B akut
pada dewasa dapat sembuh spontan. Pencegahan terhadap infeksi virus hepatitis B
dilakukan melalui vaksinasi. Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi
klinik/perjalanan penyakit bervariasi tergantung umur, virus, gizi dan penyakit
lain yang menyertai. Hepatitis B 90% dapat sembuh sempurna, 5 – 10% menjadi
kronis, jangka panjang menjadi sirosis atau kanker hati.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Andri Sanityoso. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam tentang hepatitis viral
akut bab 98. Jakarta: Interna Publishing; p. 429 – 434.

2. Sanityosos AGC. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam tentang Infeksi Virus
Hepatitis B bab 24 hepatitis viral akut. 6th ed. siti setiati, editor. Jakarta:
Interna Publishing; 2015. p. 1947.

3. Soewignjo Soemaharjo. Hepatitis Virus B. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2008.

4. Juel D. Harrison’s Principles of Internal Medicine about acute viral


hepatitis chapter 360. 19th ed. Dan Longo, editor. EGC; 2015. p. 2007 –
2023.

5. Jake Liang. Hepatitis B : The Virus and Disease. J. Hepatol. [Internet].
2010;1 – 10. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov//

6. Nikolaus T. Hepatitis B. medscape J. [Internet]. 2017;1 – 10. Available


from: https://emedicine.medscape.com/article/17763-overvvoew#a2//

7. Chair P. Clinical Practice Guidelines on the management of hepatitis B


virus infection. J. Hepatol. 2017;1.

8. Donna Mesina. Patogenesis Virus Hepatitis B. J. FK Ukrida. 2015;1 – 10.

9. Azma Rosida. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. J. Patol. Klin.


RSUD Banjarmasin. 2015;1 – 4.

10. Iwan Nusi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR tentang Hepatitis
Virus Akut. Askandar T, editor. Surabaya: FK UNAIR; p. 119 – 124.

26

Anda mungkin juga menyukai