Anda di halaman 1dari 23

I.

Pendahuluan
Fraktur tulang wajah sering dijumpai terutama pada cedera olahraga,
kecelakaan lalu lintas ataupun berkelahi. Pada kecelakaan lalu lintas, tujuh dari
sepuluh penderita mengalami cedera wajah, kebanyakan berupa luka tajam dan
memar. Fraktur terutama mengenai mandibula, 1/3 medial tulang wajah, tulang
hidung, orbita dan zygoma. Fraktur tulang wajah jarang menimbulkan masalah
kecuali pada fraktur sepertiga medial wajah dimana rahang bagian atas terpisah
dengan tulang tengkorak dan fraktur mandibular multipel. Kedua fraktur ini dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas atas, kadangkala diperlukan intubasi endotrakeal
ataupun krikotiroidotomi untuk melancarkan jalan nafas. Pada banyak kasus,
penundaan penanganan selama beberapa hari tidak menyebabkan efek samping yang
berbahaya.1

II. Tinjauan Pustaka


Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh adanya rudapaksa.3

Anatomi Tulang Wajah

1
Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang
tidak bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena
menyatu dengan kranium melalui artikulasio temporomandibularis yang mobil.
Tulang wajah terdiri atas:
- os zygomaticum (2 buah)
- maksila (2 buah)
- os nasale (2 buah)
- os lacrimale (2 buah)
- os vomer (1 buah)
- os palatinum (2 buah)
- konka nasalis inferior (2 buah)
- os mandibula (1 buah)

Os frontale melengkung ke bawah, membentuk margo superior orbita. Di


bagian medial, os frontale berartikulasi dengan procesus frontalis maksila dan os
nasale. Di bagian lateral, berartikulasi dengan os zygomatikum. Margo orbitalis

2
superior dibentuk oleh os frontale, lateral oleh os zygomatikum, inferior oleh maksila
dan medila oleh procesus maksilaris dan os frontale.
Kedua os nasales membentuk batang hidung. Tepi bawahnya bersama
maksila membentuk apertura nasalis anterior. Cavum nasi dibagi dibagi dua oleh
septum nasale bertulang yang sebagian besar dibentuk oleh vomer. Konka superior
dan media dari os ethmoidale pada setiap sisi, menonjol ke dalam cavum nasi;
sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri.
Kedua maksila membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum,
sebagian dinding lateral rongga hidung dan sebagian dasar orbita. Os zygomatikum
membentuk tonjolan pipi dan bagian dari dinding lateral serta dasar orbita. Di
medial, berartikulasi dengan maksila dan di lateral dengan prosesus zygomatikus
ossis temporalis membentuk arkus zygomatikus. Os zygomatikum ditembus oleh dua
foramen untuk n. Zygomatikofasialis dan zygomatikotemporalis. Mandibula terdiri
atas, corpus horisontal dan dua ramus vertikal. Korpus menyatu dengan ramus pada
angulus mandibula. Foramen mentale bermuara pada permukaan anterior korpus
mandibula, di bawah gigi premolar kedua.

Klasifikasi7
Secara garis besar, fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan garis
frakturnya, hubungan antar fragmen tulang, jumlah fragmennya dan hubungan
dengan dunia luar.
Berdasarkan garis frakturnya, dibagi menjadi:
 Transversal; tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Disebabkan oleh
tekanan tegak lurus pada tulang
 Diagonal/ oblik; disebabkan tekanan dengan arah sejajar sumbu panjang tulang
 Longitudinal; bentuknya sesuai dengan sumbu panjang tulang
 Spiral; disebabkan tenaga yang berputar

Berdasarkan hubungan satu fragmen patahan dengan yang lain dibedakan menjadi:
 Dislokasi; berpindahnya ujung tulang yang patah sehingga tidak sejajar sumbu
panjang tulang

3
 Angulasi; fragmen distal membentuk sudut terhadap fragmen proksimal
 Pemendekan; adanya tumpang tindih dari ujung fragmen tulang
 Rotasi

Berdasarkan jumlah fragmen tulangnya, dibedakan menjadi:


 Simpel; bila tulang terpisah menjadi dua segmen
 Kominutif; bila tulang terpisah menjadi lebih dari dua fragmen

Berdasarkan hubungan dengan dunia luar, dibedakan menjadi:


 Fraktur tertutup; bila tidak ada hubungan dengan dunia luar/ kulit utuh
 Fraktur terbuka; bila ada hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit.
Fraktur terbuka memerlukan penanganan segera karena sangat potensial untuk
mengalami infeksi.

Trauma muka dibagi atas fraktur pada organ berikut:


1. Fraktur tulang hidung
2. Fraktur tulang zygoma dan arkus zygoma
3. Fraktur tulang orbita
4. Fraktur tulang maksila (mid facial)
5. Fraktur tulang mandibula

I. Fraktur Tulang Hidung


Di antara trauma muka yang timbul, fraktur tulang hidung paling sering terjadi,
biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Fraktur tulang hidung dibuktikan
dengan pemeriksaan foto rontgen menggunakan proyeksi water, foto os nasal dan
juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto rontgen dengan proyeksi dari atas
hidung untuk mengetahui kelainan oklusi dari rongga mulut.4
a. Fraktur Hidung Sederhana
Fraktur dari tulang hidung saja dapat diperbaiki dengan anestesi lokal. Pada
anak-anak atau orang dewasa yang tidak koperatif dilakukan dengan anestesi
umum. Anestesi lokal dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2 %

4
yang dicampur dengan epinefrin 1:1000. Tampon kapas yang berisi obat
anestesi lokal dipasang masing-masing 3 buah pada setiap lubang hidung.
Tampon pertama diletakkan pada meatus superior persis di bawah tulang
hidung, tampon kedua diletakkan diantara konka media dan septum dan
bagian distal dari tampon terletak dekat foramen sfenopalatina. Tampon
ketiga diletakkan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon
dipertahankan selama 10 menit.

Teknik reduksi fraktur tulang hidung:


Tindakan reduksi dikerjakan 1-2 jam setelah trauma dengan pertimbangan
edema yang timbul sudah sangat sedikit. Bisa juga dilakukan paling lama
setelah 14 hari post trauma. Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi
mungkin sudah sulit dikerjakan. Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi:
elevator tumpul yang lurus, cunam Ash, cunam Walsham, spekulum hidung
pendek dan panjang (Kilian), pinset hidung yang panjang.
Jika fraktur tulang hidung disertai pergeseran tulang hidung dipakai cunam
Walsham untuk reduksi tertutup. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena
dislokasi tulang hidung, cunam Ash digunakan dengan cara memasukkan
masing-masing sisi ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum
dengan forsep. Sesudah tindakan reposisi, dilakukan pemasangan tampon
pada kedua rongga hidung dan dipertahankan selama 3 sampai 4 hari.
Kadangkala diperlukan pemasangan fiksasi luar (gips), selama satu hingga
dua minggu.

b. Fraktur Tulang Hidung Terbuka


Fraktur ini menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung disertai
laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau
kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki pada saat
tindakan.

5
c. Fraktur Tulang Nasoetmoid
Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat
akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, prosessus maksila dan
prosessus nasalis frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua
bola mata akan terdorong ke belakang menyebabkan terjadinya fraktur
nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan nasoorbita. Fraktur ini dapat
menimbulkan sekuele di belakang hari.
Komplikasi neurologik: - robeknya duramater
- keluarnya cairan serebrospinal
- pneumosefalus
- laserasi otak
- avulsi dari nervus olfaktorius
- hematoma epidural atau subdural
- kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
Komplikasi pada mata: - telekantus traumatika
- hematoma pada mata
- kerusakan nervus optikus
- epifora, ptosis
- kerusakan bola mata
Komplikasi pada hidung:
- perubahan bentuk hidung
- obstruksi rongga hidung yang disebabkan fraktur dislokasi atau hematoma
pada septum
- gangguan penciuman (hipoosmia atau anosmia)
- epistaksis posterior yang hebat disebabkan robeknya arteri ethmoidalis
- kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis
atau mukokel

6
Fraktur nasoethmoid seringkali tidak dapat diperbaiki hanya dengan reduksi
sederhana secara terbuka disertai pemasangan tampon hidung atau fiksasi dari
luar. Tindakan reduksi pada kondisi seperti ini memerlukan penanganan yang
lebih hati-hati dan teliti untuk mengembalikan tulang-tulang yang patah pada
posisi semula dan mengikatnya dengan kawat baja.

II. Fraktur Tulang Zygoma dan Arkus Zygoma


a. Fraktur Zygoma
Kira-kira 6 % dari fraktur tulang zygoma tidak menunjukkan kelainan.
Trauma dari depan yang langsung merusak pipi menyebabkan perubahan
tempat dari tulang zygoma itu ke arah posterior, ke arah medial atau ke arah
lateral sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata menyebabkan
terjadinya diplopia. Fraktur ini tidak mengubah posisi dari rima orbita inferior
ke arah atas atau ke arah bawah. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan
foto rontgen menurut Waters yaitu posisi temporooksipital. Tulang zygoma
dibentuk oleh tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang

7
maksila yang membentuk penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah
lateral.

Gejala fraktur zygoma antara lain:


- pipi menjadi lebih rata (dibandingkan dengan sisi kontralateral atau
sebelum trauma)
- diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
- edema periorbita dan ekimosis
- perdarahan subkonjungtiva, ptosis
- enophtalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
- terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infra-
orbitalis
- terbatasnya gerakan mandibula
- emfisema subkutis
- epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

8
Penanggulangan Fraktur Zygoma:
 Reduksi tidak langsung (Keen dan Goldwaite)
Reduksi tidak langsung melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan
kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator
dimasukkan di belakang tuberositas dan fraktur dikembalikan kepada
tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil
baik.
 Reduksi terbuka
Tulang zygoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari
Kirschner, harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka menggunakan
kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zygoma dapat dipakai
sebagai tanda untuk melakukan insisi. Adanya fraktur pada rima orbita
inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di
bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur dis ekitar tulang orbita
tersebut. Tindakan ini harus dikerjakan hati-hati karena dapat merusak
bola mata.

b. Fraktur Arkus Zygoma


Ditandai dengan adanya rasa sakit pada waktu bicara atau mengunyah,
kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya
perubahan letak dari arkus zygoma terhadap prosessus koronoid dan otot
temporal. Fraktur arkus zygoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan
mudah dikenal dengan palpasi. Tindakan reduksi kadang-kadang diperlukan
reduksi terbuka selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus
zygoma yang patah. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus
zygoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zygoma di preaurikuler.

III. Fraktur Tulang Orbita


Fraktur maksila sangat erat hubungannya timbulnya fraktur orbita terutama pada
pengguna kenderaan bermotor. Fraktur ini terjadi akibat trauma langsung pada
tepi tulangnya atau pada tulang zygomatikus.

9
Gejala-gejala:
1. enophtalmus/ exophtalmus
2. hematoma
3. diplopia
4. asimetri muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow-out fracture dari dasar orbita.
Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir
orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zygoma.
5. gangguan saraf sensoris
Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan
erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul
kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis, berupa
anestesia pipi karena cedera n.infraorbitalis atau anestesia dahi karena cedera
n.supraorbitalis. Bila timbul anestesia dalam waktu lama harus dilakukan
eksplorasi dan dekompresi nervus infraorbitalis.

10
IV. Fraktur Tulang Maksila ( Mid facial fracture)
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuannya untuk
memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan
memperoleh kontur muka yang cocok. Fraktur maksila pada umumnya bilateral.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan jalan nafas sehingga mungkin
dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur
maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri
maksilari interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.
Gejala klinis pada fraktur maksila:
- Perdarahan yang keluar dari telinga, terutama pada fraktur condilus atau basis
kranii
- Perdarahan yang keluar dari hidung atau dari mulut, terutama pada middle
third fracture
- Gejala neurologis berupa pasien menjadi apatis, sakit kepala yang hebat,
ingin muntah-muntah
- Pupil melebar dengan refleks cahaya negatif
- Mata tertutup karena hematom
Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan bila terlambat penanganan atau
kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus
diperiksa dan dilakukan fiksasi. Fiksasi dan imobilisasi berlangsung selama enam
hingga delapan minggu. Imobilisasi dilakukan pada kranium atau kepala (cranio
maxilla fixation), atau bisa juga pada arkus zygomatikus, dasar tulang mata,
dasar tulang hidung, atau pinggir hidung.
Fiksasi pada fraktur maksila:
1. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi
2. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate
3. Fiksasi dengan pin

11
Waktu yang diperlukan untuk proses penyembuhan kira-kira 4 minggu. Setelah
itu dilakukan latihan otot-otot mulut untuk gerakan membuka dan menutup
mulut.

Klasifikasi Fraktur Maksila


Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat
klasifikasi.
1. Fraktur Maksila Le Fort I
Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Fraktur ini
bisa unilateral atau bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian
bawah sampai bagian bawah rongga hidung. Seluruh rahang atas dapat
bergerak dan hanya tertahan oleh jaringan lunak mulut, antrum dan hidung.
Kerusakan yang mungkin terjadi pada fraktur ini berupa kerusakan pada
prosesus arteroralis, bagian dari sinus maksilaris, palatum durum, bagian
bawah lamina pterigoid. Gerakan tidak normal pada fraktur ini dapat

12
dirasakan dengan palpasi. Garis fraktur yang mengarah vertikal, membagi
muka menjadi dua bagian.
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
 Pembengkakan pada muka dan bibir atas
 Ekimosis
 Mukosa bibir, mulut dan hidung rusak
 Oklusi gigi terganggu dan pasien tidak dapat mengunyah
 Bila rahang atas tergeser ke belakang dapat terjadi gigitan terbalik
 Bila rahang atas tergeser ke atas tampak muka menjadi pendek dan terjadi
open bite
 Ada perdarahan pada sinus maksilaris dan keluar melalui hidung, dapat
menyumbat jalan pernapasan

2. Fraktur Maksila Le Fort II


Disebut juga floating maksila karena fraktur ini sangat mudah digerakkan.
Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan
diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan
menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina
pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina cribiformis
dan atap sel ethmoid dapat merusak sistim lakrimalis.

13
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
o Tampak hidung masuk atau melesak ke dalam
o Perdarahan melalui hidung lebih banyak karena foramen infraorbitalis
terlibat dan arteri infraorbitalis terluka
o Keluarnya cairan serebrospinal bila lamina cribiformis patah

3. Fraktur Maksila Le Fort III


Disebut juga craniofacial dysjunction, merupakan fraktur yang memisahkan
secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui
sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fisura
orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura
zygomatiko frontal dan sutura temporozigomatik. Fraktur Le Fort III ini
biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan Dishface. Komplikasi yang
sering timbul yaitu pengeluaran cairan serebrospinal melalui atap sel ethmoid
dan lamina cribiformis. Penanggulangan dengan menggunakan fiksasi
intermaksiler sehingga oklusi gigi menjadi sempurna dengan menggunakan
kawat baja atau mini plate sesuai garis fraktur.
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
o Seluruh bagian middle third dari muka terdorong ke belakang sehingga
muka menjadi melesak (dish-shaped)

14
o Perdarahan mengalir ke palatum, faring dan hidung.
o Hematoma kacamata (brill hematoma) karena konjungtiva terisi darah
dan pembengkakan bola mata karena ekimosis
o Bila n. Facialis kena, timbul facial paralysis
o Akibat dari brill’s hematoma dapat terjadi penekanan saraf-saraf optik
dan motorik dari mata dapat mengakibatkan kebutaan, diplopia dan
paralisa bola mata.

V. Fraktur Tulang Mandibula


Fraktur mandibula paling sering terjadi karena kondisi mandibula yang terpisah
dari kranium, umunya disebabkan oleh trauma langsung. Tempat-tempat yang
sering menderita fraktur adalah angulus mandibulae, condyle regio molar, regio
mentalis, simfisis, regio cuspid, ramus dan prosesus coronoideus. Penanganan
fraktur ini terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi
gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Fraktur
mandibula pada umumnya disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus
otot yang berinsersi di tempat tersebut. Otot tersebut adalah otot elevator (m.
Temporalis, m. Pterigoideus internus, m. Masseter), otot depresor (m.
Digastricus, m. Geniohyoideus, m. Geniohyoiglossus, m. Mylohyoid, m.
Platysma, m. Pterygoideus externa) dan otot protrusor. Pada fraktur daerah dagu,

15
otot akan menarik fragmen tulang ke arah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur
bagian lateral tulang akan tertarik ke arah kranial.
Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan riwayat
kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan adanya gejala:
1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi
mandibula
2. Rasa sakit yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior
3. Anestesia pada satu garis bibir bawah, pada gusi atau pada gigi akibat
kerusakan n. mandibularis
4. Maloklusi
5. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
6. Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah. Dll
7. Gangguan jalan nafas

Perakitan pin skeletal


Fraktur condyle
Fraktur condyle sering terjadi karena trauma tidak langsung. Fraktur ini dapat
menyebabkan terjadinya malunion pada sendi Temporomandibular (TMJ) yang
akan berakibat terjadinya artrosis bila terdapat proses penyembuhan dengan
posisi yang salah. Bila berlanjut dapat mengakibatkan terjadinya ankylosis yaitu
penyatuan condyle dengan fossanya sehingga pasien tidak bisa membuka
mulutnya. Disebut methartrosis bila penyambungan yang salah tersebut tidak
menyebabkan kelainan oklusi dan artikulasi.

16
Bila gangguan ini terjadi pada anak-anak dapat menimbulkan cacat pada muka
yang disebut bird-face, dimana pertumbuhan tulang rahang bawah jauh tertinggal
dibandingkan tulang rahang atas.
Gejala fraktur condyle:
 Sakit pada tragus atau di depan tragus terutama pada waktu membuka dan
atau menutup mulut
 Sering timbul trismus
 Gejala khasnya “open bite” (gigitan terbuka) disebabkan bagian tulang
rahang bawah yang fraktur bergeser ke depan.
 Pada fraktur unilateral, saat membuka mulut ada deviasi atau pergeseran ke
arah yang fraktur
 Pada fraktur bilateral, tidak ada deviasi tetapi ditemukan open bite frontal dan
cross bite pada daerah gigi molar

Diagnosa ditegakkan melalui gejala klinis dan foto rontgen AP dan lateral.
Terapi fraktur condyle:
a) Fraktur condyle intracapsuler; dengan Inter-maxillary wiring
b) Fraktur condyle extracapsuler; dengan open reduction, insisi di depan
tragus
c) Bila condyle lepas, lakukan interosseus wiring
d) Bila condyle hancur, diganti dengan prothesa condyle dari metal

17
Dingman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara simpel dan praktis
menjadi tujuh regio yaitu: badan mandibula, simfisis, angulus mandibula, ramus
mandibula, prosesus koronoid, prosesus kondilus, dan prosesus alveolaris.
Penanggulangan fraktur ini tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur dan
keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan foto polos posisi anteroposterior, lateral,
Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Fraktur pada bagian tulang yang menyangga
gigi dapat difiksasi dengan kawat interdental untuk menjamin pulihnya oklusi
dengan baik.

Metode Eyelet. Langkah-langkah pemasangan eyelet dan fiksasi intermaksiler

Penggunaan mini atau mikroplate semakin populer sejak tahun 1970 an karena
tidak menimbulkan kalus. Mini plate dipasang dengan menggunakan skrup,
bersifat lebih stabil, tidak memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu
lama, mudah dikerjakan. Kekurangannya sulit didapat dan harganya mahal.

Gejala Klinis
Secara garis besar, patah tulang wajah akan menimbulkan gejala:
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas n. Supraorbitalis, n. Infraorbitalis, n. Mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung

18
Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa pada fraktur tulang wajah, diperlukan:
1. Anamnesis
Anamnesis penting artinya untuk mengetahui riwayat kelainan atau trauma
sebelumnya. Mekanisme trauma perlu diketahui untuk mengetahui bagian tubuh
yang kemungkinan mengalami perlukaan. Lokasi nyeri untuk mencari
kemungkinan adanya kerusakan pada organ bagian dalam.
2. Pemeriksaan klinik
Jika ada trauma wajah, kontur dari tulang wajah harus dipalpasi dengan hati-hati
sebelum terjadi edema. Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri
bersama-sama), seksama (hati-hati), dan sistematis. Perlekatan otot ekstraokular
bisa terlepas oleh fraktur dinding orbital, oleh karena itu gerakan mata harus
diperiksa dan tanyakan bila timbul diplopia. Juga ditanyakan apakah pasien
merasa gigitannya normal dan mulut harus diperiksa untuk melihat gigi yang
lepas atau oklusi gigi. Gangguan oklusi merupakan tanda yang umum dan sensitif
dari fraktur rahang. Gerakan mandibular harus diperiksa untuk menyingkirkan
fraktur atau dislokasi condilus mandibula.

19
3. Plain Radiografi
Jika diduga ada fraktur wajah, X-Ray dilakukan dengan membandingkan kontur
sisi sebelahnya. Opasitas dan level cairan pada sinus maksilaris menunjukkan
adanya hematoma. Foto rontgen yang sering digunakan adalah proyeksi Waters
sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan oleh struktur
tulang dasar tengkorak dan tulang servikal.
Pemeriksaan penunjang
Selain plain radiografi, pemeriksaan yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis adalah:2
1) CT Scan
Dapat melihat fragmen tulang yang terpisah, adanya perdarahan dan fraktur basis
kranii dengan lebih jelas.
2) MRI
Tidak digunakan sebagai alat primer untuk mendeteksi fraktur fasial.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi:
- Perdarahan sekunder; karena pengikatan atau penjahitan vena/ arteri yang putus
tidak baik
- Infeksi; karena kurang steril dalam bekerja atau adanya gigi gangren pada garis
fraktur atau oral higiene penderita yang buruk
- Trismus; karena fiksasi dan imobilisasi menyebabkan otot mulut menjadi kaku
- Malunion; waktu dilakukan reposisi, oklusi gigi tidak diperhatikan atau penderita
banyak bergerak, alat fiksasi dan imobilisasi kendor
- Delayed union; penyebabnya reposisi, fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik,
daya penyembuhan penderita yang tidak baik, dan kondisi penderita tidak baik/
menderita penyakit kronis
- Ununion; penyebabnya reposisi tidak baik, fiksasi dan imobilisasi tidak baik,
kondisi penderita tidak baik, ada oto atau fragmen tulang yang terjepit di antara
dua fragmen fraktur tulang, space atau jarak terlalu jauh antara dua fragmen
tulang, atau perawatan fraktur tulang terlalu lama ditangguhkan.

20
Penatalaksanaan8
 Pertama-tama perhatikan A (Airway), B (Breathing), C (Circulation), D
(Disability), E (Exposure), F (Facility). Jika terdapat patah tulang dengan atau
tanpa perdarahan, jalan nafas bagian atas mudah tersumbat akibat dislokasi,
udem, atau perdarahan. Harus selalu diingat bahaya aspirasi atau regurgitasi
lambung.
 Periksa ada/ tidak cedera pada saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan
saluran liur.
 Kontrol fraktur atau fragmen fraktur dengan tindakan reposisi atau reduksi,
fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Reposisi bisa secara tertutup, pada fraktur
rahang yang baru terjadi dan tidak ada interlocking dari bagian-bagian tulang
yang patah. Sedangkan reposisi terbuka dilakukan bila ada interlock yang hebat
pada bagian-bagian tulang yang patah. Imobilisasi dengan menggunakan fiksasi
ekstraoral (head bandage, head cap, pin), intraoral (wiring, splint, arch bar)
ataupun fiksasi internal (wiring, plat dan sekrup). Yang sering digunakan adalah
mini plate.

Head Cap

21
 Bila fraktur rahang dilakukan preliminary Measures yaitu:
- Pada gigi patah atau rusak, sisa akar harus dicabut
- Pengambilan patahan tulang-tulang kecil yang lepas atau berserakan
- Kebersihan mulut penderita harus diperhatikan
- Pencabutan gigi yang berada pada garis fraktur
- Jaringan yang luka didesinfeksi dulu dengan larutan antiseptik
- Penjahitan jaringan lunak yang rusak

 Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan setelah fiksasi dan imobilisasi:


- Memelihara oral higiene yang baik
- Meningkatkan kesehatan umum
- Mengontrol alat-alat fiksasi dan imobilisasi

VI. Diskusi

Penelitian selama 18 bulan dari Januari 1993 – Juni 1994 di RS Lewanika


Propinsi Barat Zambia didapatkan 37 kasus dengan umur terbanyak antara 20 -39
tahun baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki 56,7% dan pada wanita
21,6%, hanya sedikit yang berumur diatas 40 tahun. Fraktur mandibula menempati
urutan pertama dari fraktur tulang wajah (67,6%), tulang alveolar (21,6%), maksila
(5,4%), maksila dan mandibula (2,7%), os zygoma (2,7%). Kasus ini disebabkan
oleh karena perkelahian dari para peminum alkohol.

VII. Kesimpulan
Insiden fraktur tulang wajah paling banyak terjadi antara usia 19 – 39 tahun.
Angka kejadian pada laki-laki daripada perempuan oleh karena kecelakaan,
minuman keras dan perkelahian. Fraktur mandibula menempati urutan pertama
dari seluruh fraktur tulang wajah (44,2 – 67,6 %). Diikuti berturut-turut oleh
fraktur zygoma dan maksila.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Burkitt HG, Quick CRG. Head and Maxillofacial Injuries. Dalam Essential
Surgery Problems, Diagnosis and Management. Spanyol: Churchill
Livingstone, 2002
2. Snell RS. Kepala dan Leher. Dalam Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Bagian 3. Edisi 3. Jakarta: EGC, 1997: 83-89
3. De Palma, AF. Fractures and Dislocations of the Ribs. Dalam The
management of fractures and dislocations an atlas. Volume 1, 2nd edition.
USA: WB Saunders, 1970: 460-470
4. Munir M, Widiarni D, M. Thamrin. Trauma Muka dan Leher. Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima.
Jakarta: FKUI, 2001:161-169
5. Sjamjuhidajat R, de Jong W. Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC,1997
6. Sjamjuhidajat R, de Jong W. Kepala dan Leher. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC,1997
7. www. Learningradiology. com
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Fraktur. Dalam Kapita
Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius, 2000
9. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal
System. Third edition. USA: Williams & Wilkins, 1999: 608
10. N. Tanaka et al 1994, Hill et al 1984, Shepard 1989, Thorn et al 1986

23

Anda mungkin juga menyukai