Akad Dalam Muamalah
Akad Dalam Muamalah
I. PENDAHULUAN
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti al-rabth
(ikatan, mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad berarti pertalian antara ijab dan qabul yang
dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.[1]
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima). Semua perikatan
(transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus
sejalan denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain,
transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.
[1] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M. Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002, hal 76
Artinya : “ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara
maknawi, dari satu segi maupun dua segi”.
[1] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan Qabul.
Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad
tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu :
[2] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43
Shigat adalah sesuatu yang disadarkan dari dua pihak yang berakad yang
menunjukkan atas apa yag ada di hati keduanya tentag terjadinya akad. Hal itu dapat
diketahui denga ucapan perbuatan, isyarat, da tulisan. Shigat tersebut biasa disebut
ijab dan qabul.[3]
[3] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43
Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan
pada bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu
syarat-syarat jual-beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketepatan
syara’, bak secara asli,yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian
(menjadi wakil seseorang ).
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
[4] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43.
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah
terhiindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain.
Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah
terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat,khiyar aib, dikembalikan.
Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam hal hal ini
kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Sehingga akad
dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak shahih.
1. Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Ulama’ Madhab
Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua macam ;[4]
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan
tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas
kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan
melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia
harus mendapat izin dari wali anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang
mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau tidak.
a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh
membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa.
b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam meminjam.
2. Akad yang tidak Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan
akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang tidak shahih ini ke dalam dua macam.[3]
Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun akad yang
biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi dalam perbankan
syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya dalam operasional
perbankan syari’ah.
1.5 Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau bisa
dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila :
Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani
melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya
berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki
pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.
Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan menjadi dua
kelompok.
1) Akad tabarru’ (kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ merupakan perjanjian atau kontrak yang tidak mencari keuntungan
materiil. Akad ini bertujuan untuk tolong menolong dan pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk mencari keuntungan komersil (tabarru’=bir dalam bahasa arab berarti
kebaikan). Akan tetapi dalam transaksi ini diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi
yang akan habis digunakan dalam transaksi tabarru’ tersebut.[6] Maksudnya, pihak yang
berbuat kebaikan terebut boleh meminta kepada counter partnya untuk sekedar menutupi
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani,
2001, hal 30
[6] http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html
[7] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 58
[9] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., op. cit., hal 61
Akad transaksi pada era masa kini tentunya mengalami perubahan karena harus
menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Konsekuensinya, tak jarang
beberapa jenis transaksi hukumnya dipertanyakan lagi, apakah jenis transaksi ini sesuai
dengan syari’at atau tidak. Karena pada dasarnya, akad memiliki rukun dan syarat yang harus
terpenuhi. Rukun itu antara lain : pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd), pihak-
pihak yang berakad, dan obyek akad.[11] Namun menurut Ulama’ Madhab Hanafi, rukun
akad itu cukup satu yaitu sighah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad
masuk pada syarat akad.
[14] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43
V. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan :
1. Akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
2. Secara garis besar, akad itu ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih.
3. Perbankan Syari’ah pada prinsipnya menggunakan akad-akad yang telah diajarkan oleh
Islam, seperti mudharabah, murabahah, Pembiayaan, dll.
4. Para ulama’ membenarkan akad-akad yang sesuai dengan sayari’at agama dan mengandung
kemaslahatan bukan kemadlaratan.
VI. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Saya yakin dalam penulisan
makalah ini masih banyak kessalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita semua. Amin.
Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani, 2001
Hasan M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakrta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2004
Mas’adi Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002