Anda di halaman 1dari 18

BAB I

I. PENDAHULUAN
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti al-rabth
(ikatan, mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan
salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad berarti pertalian antara ijab dan qabul yang
dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.[1]
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima). Semua perikatan
(transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus
sejalan denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain,
transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.

II. RUMUSAN MASALAH


Akad atau ijab qabul merupakan salah satu dari rukun berbagai jenis muamalah,
seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Seiring perkembangan zaman, akad atau
yang sering kita kenal dengan transaksi, tentunya mengalami evolusi atau telah berubah
mengikuti perkembangannya, khususnya dalam sistem ekonomi syari’ah. Dari perubahan itu,
muncul berbagai sistem-sistem akad yang terkadang sulit kita pahami. Untuk itu, kami
mencoba memaparkan dan menganalisa terkait masalah akad yang biasa dipakai dalam sitem
ekonomi syari’ah kita.

[1] Drs. Ghufron A. Mas’adi, M. Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002, hal 76

Page | 1| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


III. TUJUAN
a. untuk mengetahui akad secara fiqih mualamah
b. untuk menambah ilmu dan wawasan kepada para mahasiswa/mahasiswi tentang
bermualamah secara konsep islam
c. mengenal akad dalam transaksi hukum mualamalah
d. mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang akad.

IV. Pokok Pembahasan


Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Akad Transaksi Dalam Hukum
Muamalah melalui pokok pembahasan sebagai berikut :
A. pengertian Akad
B. Syarat dan rukun akad
C. Macam-macam transaksi (akad)
D. Hal-hal yang membatalkan akad
E. Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah
F. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi.
G. Berakhirnya akad

Page | 2| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Akad


Menurut segi etimologi, akad antara lain berarti :

.‫ب أ َ ْو مِ ْن جا َ نِبَي ِْن‬


ٍ ِ‫س َو ٌء أ َ كا َ نَ َر بْطا ً حِ سِيا ًّ أ َ ْم َم ْعنَ ِو يا ًّ مِ ْن جا َ ن‬ ِ ‫ط بَ ْينَ أ َ ْط َر‬
َ ِ‫ف الشَّى ء‬ ُ ‫الر ْب‬
َّ

Artinya : “ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara
maknawi, dari satu segi maupun dua segi”.

Bisa juga berarti ‫( العقد ة‬sambungan), ‫ العهد‬dan (janji)


Menurut terminologi ulama , akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu sedcara
umum maupun secara khusus:
1. Pengertian Umum:
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian
akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah, malikiyah, dan
hanabilah, yaitu:
Artinya : “ segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan , atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginanya dua orang seperti jua-beli,
perwakilan, dan gadai.”
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara lain:

Artinya : “perikatan yang ditetapkan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang


berdampak pada objeknya.”
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,”Saya telah menjual barang ini
kepadamu “ atau “Saya serahkan barang ini kepadamu”contoh qabul ,”Saya beli
barangmu .” atau “Saya terima barangmu.”
Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatanatau pernyataan untuk
menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara du orang atau lebih, sehingga
terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena
itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat
dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada
keridaan dan syariat Islam.[1]

[1] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43

Page | 3| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


1.2 Pembentukkan Akad
1. Rukun Akad

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan Qabul.
Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad
tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.

Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu :

a. Orang yang akad (aqid), contoh penjual dan pembeli.


b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh:harga atau yang dihargakan.
c. Shigat,yaitu ijab dan qabul.

Definisi Ijab dan Qabul

Defenisi ijab menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu


yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang
menyerahkan maupun yag menerima, sedangkan qabul adalah orang yag berkata
setelah orang yang mengucapkan ijab, yag menunjukkan keridaan atasan ucapan
orang pertama.

Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa


ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik
dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan qabul adalah pernyataan dari
orang yang menerima barang. Pendapat ini merupakan pengertian umum dpahami
orang bahwa ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam
jual beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.[2]

[2] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43

Page | 4| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


2. Unsur-Unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yag merupakan pembentukka adanya akad,
yaitu berikut ini.
a. Shigat Akad

Shigat adalah sesuatu yang disadarkan dari dua pihak yang berakad yang
menunjukkan atas apa yag ada di hati keduanya tentag terjadinya akad. Hal itu dapat
diketahui denga ucapan perbuatan, isyarat, da tulisan. Shigat tersebut biasa disebut
ijab dan qabul.[3]

1. Metode (uslub) Shigat Ijab dan Qabul

Uslub-uslub shigat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa


cara berikut ini.

a. Akad dengan Lafazh (ucapan)


Shigat dengan ucapan adalah shigat akad yag paling banyak digunakan
orang sebab paling mudah digunakan dan cepat dipahami. Tentu saja,
kedua pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukka
keridaannya.
1. Isi Lafazh
Shigat akad denga ucapan tidak diisyaratkan untuk menyebutkan
barang yang dijadikan objek-objek akad, baik dalam jual-beli, hibah, sewa-
menyewa, dan lain-lain. Hal itu disepakati jumhur ulama, kecuali dalam
akad pernikahan. Diantara para ulama terdapat perbedaan dalam shigat
akad pernikahan sebab pernikahan diaggap sangat suci dan penting.

[3] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43

Page | 5| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa shigat akad dalam
pernikahan dibolehkan dengan shigat apa saja, seperti menikahkan,
menjadikan, mengibahkan, dan lain-lain dengan syarat setiap
mengucapkan kalimat tersebut diikutidalam hati bahwa maksudnya adalah
pernikahan. Golongan ini mendasarka pendapat mereka pada firman Allah
SWT. Surat Al-Ahzab ayat 50 yag didalamnya terdapat kata wahabat
(mengibahkan):

‫ي أ َ ْن يَ ْستَ ْن ِك َها‬ ْ َ‫َو ْام َر أ َ ة ً ُمؤْ ِمنَةً ِا ْن َو َهب‬


َ ‫ت نَ ْف‬
َّ ِ‫سها َ ِللنَّ ِب ْى ِا ْن ا َ را َ دَ النَّب‬
. َ‫صةً َل َك ِم ْن د ُْو ِن ْالمؤْ ِم ِنيْن‬ َ ‫حا َ ِل‬
Artinya :
“…… dan perempuan mukmin yag menyerahkan dirinya kepada Nabi
kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu buka untuk
semua orang mukmin…”
2. Lafazh Shighat dan kata kerja dalam shighat
Para ulama sepakat bahwa fi’il madi (kata kerja yang
menunjukka waktu lewat) boleh digunakan dalam akad karena
merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud akad.
Mereka pun sepakat membolehkan menggunakkan fi’il
mudahri (kata kerja yang menunjukkan menunjukkan waktu sedang
atau aka datang). Tentu saja, dalam hati harus diringi niat bahwa akad
tersebut dilakukan ketika itu. Oleh karena itu, akad diaggap tidak sah
jika menggunakkan fi’il mudhari yag ditujuka untuk masa yang akan
datang
Selain itu, mereka juga membolehkan penggunaan jumlah
ismiyah (kalimat yag di dalamnya terdiri atasisim atau kata benda,
seperti mub’tada dan khabar) dalam shighat akad.

Page | 6| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


b. Akad dengan. perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunaka ucapan, tetapi cukup dengan
perbuatan yang menunjukkan saling meridhai, misalnya penjual
memberikan barang dan pembeli memberikan uang.
Dalam menanggapi persoalan ini, diatara para ulama berbeda
pendapat, yaitu:
1. Ulama Hanafiyah Dan Hanabilah membolehka akad dengan
terhadap barang-barang yag sudah sangat diketahui secara umum
oleh manusia. Jika belum diketahui secara umum, akad sepert itu
diaggap halal.
2. Mazhab Imam Maliki da pendapat awal Imam Ahmad
membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan
kerelaan, baik barang tersebut diketahui secara umum atau tidak,
kecuali dalam pernikahan.
3. Ulama Syafi’iyah, Syi’ah, dan Zhahiriyyah berpendapat bahwa
akad dengan perbuatan tidak dibenarka karena tidak ada petunjuk
yang kuat terhadap akad tersebut. Selain itu, keridaan adalah
sesuatu yang samar, yang tidak dapat diketahui, kecuali dengan
ucapan. Hanya saja, golongan ini membolehkan ucapan, baik
secara sharih dan kinayah. Jika terpaksa boleh saja dengan isyarat
dan tulisan.

Page | 7| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


c. Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarka denga isyarat,
melainkan harus mengunakkan tulisan atau lisan. Adapun bagi mereka
yang tidak dapat berbicara, boleh mengunakkan isyarat, tetapi jika
tulisannya bagus diajurkan menggunakka tulisan. Hal itu dibolehkan
apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus
berusaha untuk tidak mengunakkan isyarat.
d. Akad dengan Tulisan
Dibolehka akad dengan tulisan, baik bagi orang yag mampu berbicara
ataupun tidak, dengan syarat tulisa tersebut harus jelas, tampak, dan
dapat dipahami oleh keduanya.
Namun demikian akad nikah tidak boleh menggunakkan tulisa
jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal ini Karen akadharus
dihadirioleh saksi, yag harus mendengar ucapan orang yag akad,
kecuali bagi orang yag tidak dapat berbicara.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad
dengan tulisan adalah sah jika dua orang yang tidak hadir. Akan tetapi,
jika yag akad itu hadir, tidak dibolehka memakai tulisan sebab tulisan
tidak dibutuhkan.

Page | 8| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


1.3 Syarat-syarat Akad

ada berberapa macam syarat akad yaitu syarat terjadinya akad,


syarat sah,, syarat memberikan, dan syarat keharusan (luzum).

1. Syarat Terjadinya Akad


Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya
akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal.syarat ini
terbagi menjadi dua bagian:

Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.

Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan
pada bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin
dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah
mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu
syarat-syarat jual-beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelaksanaan Akad

Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan.
Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun
kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketepatan
syara’, bak secara asli,yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian
(menjadi wakil seseorang ).

Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:

a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.

b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.[4]

[4] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43.

Page | 9| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


4. Syarat Kepastian Hukum (luzum)

Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah
terhiindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain.
Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan

Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah
terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat,khiyar aib, dikembalikan.

1.4 Macam-macam Akad Transaksi

Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam hal hal ini
kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Sehingga akad
dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak shahih.

1. Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Ulama’ Madhab
Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua macam ;[4]
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan
tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas
kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan
melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia
harus mendapat izin dari wali anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang
mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau tidak.
a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh
membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa.
b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam meminjam.
2. Akad yang tidak Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan
akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang tidak shahih ini ke dalam dua macam.[3]

[3] Ibid, hal 111

Page | 10| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


a) Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari
syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas seperti
menjula mobil tidak disebitkan merknya, tahunnya, dan sebagainya.

Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun akad yang
biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi dalam perbankan
syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya dalam operasional
perbankan syari’ah.
1.5 Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau bisa
dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila :

a. Akad itu fasid


b. Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.

4) Wafat salah satu pihak yang berakad


Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang berjudul Berbagai Macam Transaksi
dalam Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya bila pewaris itu meninggal.[4]

2.1 Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah

Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani
melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya
berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjinan tersebut memiliki
pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.

[4] M. Ali Hasan, op., cit., hal 112

Page | 11| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Seperti akad dalam perbankan syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi,
maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti :
1. Rukun, seperti ;
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang
d. Harga
e. Akad/ijab qabul
2. Syarat, seperti ;
a) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi
batal demi jukum syari’ah.
b) Harga barang dan jasa harus jelas.
c) Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
d) Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilika. Tidak boleh menjual
sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale pada
pasar modal.[5]

Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan menjadi dua
kelompok.
1) Akad tabarru’ (kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ merupakan perjanjian atau kontrak yang tidak mencari keuntungan
materiil. Akad ini bertujuan untuk tolong menolong dan pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk mencari keuntungan komersil (tabarru’=bir dalam bahasa arab berarti
kebaikan). Akan tetapi dalam transaksi ini diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi
yang akan habis digunakan dalam transaksi tabarru’ tersebut.[6] Maksudnya, pihak yang
berbuat kebaikan terebut boleh meminta kepada counter partnya untuk sekedar menutupi

[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani,
2001, hal 30

[6] http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html

Page | 12| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.[7] Contoh dari
akad/transaksi tabarru’ adalah sebagai berikut :[8]
a. Qard
Yaitu pemberian harta jepada orang lain yang dapat ditagih kembali atau dengan kata
lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan
b. Rahn
Yaitu menahan salah satu harta milik si penminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
c. Hawalah
Merupakan suatu pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang
wajib mennggungnya. Dan masih banyak lagi akas-akad yang tergolong dalam jenis tabarru’
ini.
Lalu dalam praktek perbankan syari’ah, transaksi tabarru’ ini dapat kita lihat dalam
transaksi meminjamkan sesuatu. Yang mana objek pinjamannya dapat berupa uang (lending)
atau jasa (lending yourself). Sehingga ada 3 macam akad transaksi dalam tabarru’ ini
a) Meminjamkan uang
Dalam hal meminjamkan uang ini, ada tiga bentuk akad yang telah dijelaskan di atas,
yaitu qard, rahn, dan hiwalah.
b) Meminjamkan jasa
Dalam hal meminjamkan jasa, ada kalanya melakukan sesuatu atas nama orang lain,
yang disebut dengan wakalah. Lalu, bila wakalah itu dirinci tugasnya yaitu kita menawarkan
jasa kita menjadi wakil seseorang dengan tugas menyediakan jasa (penitipan, pemeliharaan)
maka ini desebut wadi’ah yang. Kemudian ada juga istilah wakalah bersyarat yang disebut
dengan kafalah.
c) Memberikan sesuatu
Akad yang termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad seperti : hibah, waqf,
shadaqah, hadiah, dan lain-lain.[9]
2) Akad tijarah (kontrak untuk transaksi yang berorientasi laba)

[7] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 58

[8] http://punyahari.blogspot.com,. op., cit.

[9] Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., op. cit., hal 61

Page | 13| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Telah dijelaskan pada awal tadi, berbeda dengan akad tabarru’, akad tijarah adalah
segala macam perjanjian yang menyangkut for profit sharing yang mana akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan. Contohnya akad investasi, jual beli, sewa
menyewa, dan lain sebaginya.
Sedangkan dalam sistem operasional perbankan syari’ah yang menjadi karakteristik
dasar adalah profit sharing atau yang lebih kita kenal dengan sistem bagi hasil. Salah satunya
adalah mudharabah, di mana bank sebagai mudhorib (pengelola) sedangkan penabung
bertindak sebagai shahibul mal (penyandang dana). Itulah salah satu transaksi perbankan
syari’ah dalam hal penghimpunan dana.
Yang kedua, transaksi dalam hal pembiayaan, merupakan pemberian fasilitas
penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.[10]
Pembiayaan dalam bank konvensional lebih kita kenal dengan kredit. Namun berbeda dengan
bank syari’ah, pembiayaan tidak menggunakan konsep prosentasi dan berpedoman pada
profit sharing saja tetapi lose profit sharing karena dalam sistem bagi hasil, belum tentu kita
akan mendapatkan keuntungan, bisa jadi sewaktu-waktu kita mengalami kerugian.
Jadi, pada dasarnya sistem operasional perbankan syari’ah menggunakan konsep akad
transaksi yang telah diajarkan oleh Islam. Implikasinya, produk-produk yang ditawarkan oleh
perbankan syari’ah merupakan produk yang jauh dari unsur riba. Karena perbankan syari’ah
berperan sebagai solusi yang menjawab kekhawatiran masyarakat terkait bunga bank.

2.2 Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi

Akad transaksi pada era masa kini tentunya mengalami perubahan karena harus
menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Konsekuensinya, tak jarang
beberapa jenis transaksi hukumnya dipertanyakan lagi, apakah jenis transaksi ini sesuai
dengan syari’at atau tidak. Karena pada dasarnya, akad memiliki rukun dan syarat yang harus
terpenuhi. Rukun itu antara lain : pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd), pihak-
pihak yang berakad, dan obyek akad.[11] Namun menurut Ulama’ Madhab Hanafi, rukun
akad itu cukup satu yaitu sighah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad
masuk pada syarat akad.

[10] Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 160

[11] M. Ali Hasan, op., cit., hal 103

Page | 14| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


Contoh akad transaksi pada era sekarang yang keabsahan hukumnya masih perlu
ditelaah lebih lanjut. Seperti akad yang terjadi di pasar swalayan,seseorang mengambil
barang kemudian membayar kepada kasir sesuai dengan harga barang ynag tercatum pada
barang tersebut. Di dalam fiqh, jual beli seperti ini di sebut bai’ al-mu’atoh (jual beli dengan
saling memberi).
Ulama’ Madhab Syafi’i dalam qaul qadim tidak membenarkan akad seperti ini,
karena kedua belah pihak harus menyatakan secara jelas mengenai ijab dan qabul itu.
Demikian juga madhab Az-Zahiri dan Syiah pun tidak membenarkannya. Tetapi Jumhur
Ulama’ Fiqh termasuk Madhab Syafi'i generasi belakangan seperti Imam Nawawi
membolehkan jual beli seperti ini, karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat
sebagian besar umat Islam. Dengan demikian, aat kebiasaan yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang membawa maslahat dapat dibenarkan sebagai landasan dalam menetapkan
suatu hukum.
Menurut Mustafa Az-Zarqa’ suatu akad dipandang sempurna apabila telah
memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Namun ada akad-akad yang baru dipandang
sempurna apabila telah dilakukan timbangan terima dan tidak memadai hanya dengan ijab
dan qabul saja, yang disebut dengan al-uqud al-ainiyyah. Akad semacam ini ada lima macam,
yaitu hubah, pinjam meminjam, barang titipan, perseriaktan dalam modal, dan jaminan.
Menurut ulama’ fiqh, kelima macam akad (transaksi) tersebut harus diserahkan kepada
yangberhak dan dikuasai sepenuhnya, dan tidak boleh terlepas dari tanggung jawab.[12]
Dalam perbankan dikenal dengan mudharabah yaitu akad kerja sama usaha antar
pihak di mana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan. Menurut
Imam Zailai, ia menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi
pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan
spirit hadits yan dikutip Abu Ubaid.[13]

[12] Ibid., hal 105

[13] Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 96

Page | 15| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


2.3 Akhir Akad
Akad dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad
mauqud (ditangguhkan)[14]
Akad Habis dengan Pembatalan
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada
masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan
dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan,
tetapi sebelum sampai lima bulan, telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad,
pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan dan lain-lain,
atau yang ghair lazim padasatu pihak dan lazim pada pihak lainnya, sedperti gadai.
Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa
sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, twrdapat dalam beberapa hal berikut:
a. ketika akad rusak,
b. adanya khiyar,
c. pembatalan akad,
d. tidak mungkin melaksanakan akad,
e. masa akad berakhir.

[14] Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001,
hal 43

Page | 16| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


BAB III
PENUTUP

V. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan :
1. Akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
2. Secara garis besar, akad itu ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih.
3. Perbankan Syari’ah pada prinsipnya menggunakan akad-akad yang telah diajarkan oleh
Islam, seperti mudharabah, murabahah, Pembiayaan, dll.
4. Para ulama’ membenarkan akad-akad yang sesuai dengan sayari’at agama dan mengandung
kemaslahatan bukan kemadlaratan.

VI. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Saya yakin dalam penulisan
makalah ini masih banyak kessalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita semua. Amin.

Page | 17| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah


DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani, 2001
Hasan M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakrta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2004
Mas’adi Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002

Page | 18| Mata Kuliah Pendidikan Fiqih Mualamalah

Anda mungkin juga menyukai