BIDANG MIRING
(Laporan Praktikum Fisika Dasar I)
Oleh
Nama : Dea Ananda
NIM : 11116061
3 cm
4 cm Kelompok : 3
TPB :20A
Asisten : Mahmud (Fisika)
*Ctatan : sampul ini diprint saja keterangan dimensi logo tinggi 2,5 cm, lebar 2,1 cm]
3 cm
Judul Percobaan : Bidang Miring
NIM : 1116061
Prodi : Fisika
Jurusan : Sains
Kelompok :3
Tanda tangan
Nama Asisten
NIM. xxxxxxxx
BIDANG MIRING
Dea Ananda
Prodi Fisika, Jurusan Sains, Institut Teknologi Sumatera
deaanan@student.itera.ac.id
ABSTRAK
20o (waktu meluncur 0,78 s), 30o (waktu meluncur 0,62 s), 40o (waktu meluncur
0,44 s), 50o (waktu meluncur 0,22 s), 60o (waktu meluncur 0,19 s).
BAB I
[Berisi tentang latar belakang PENDAHULUAN
praktikum (dilengkapi dengan
pustaka yang menunjang)]
A. Latar Belakang
Pada zaman modern ini kehidupan manusia yang begitu berkembang pesat
menurut manusia itu tersendiri untuk menciptakan alat alat kebutuhan sehari hari
yang dapat membantu dalam melakukan suatu pekerjaan.
Dalam pengklasifikasiannya, pesawat terbagi menjadi 2 jenis yaitu
pesawat sederhana dan pesawat rumit. Pesawat sederhana adalah alat mekanik
yang dapat mengubah arah atau besaran dari suatu gaya kerja yang timbul atas
hasil gaya dan jarak. Secara tradisional pesawat sederhana terdiri atas bidang
miring, roda dan gandar, kuas, katrol, baji, sekrup, berporos dan kerekan (Ishaq,
2007).
Sedangkan pesawat rumit yaitu alat yang dapat membantuh pekerjaan
A. Tujuan
Tujuan dari praktikum tentang bidang miring ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh sudut terhadap kecepatan.
2. Mengetahui massa atom gaya berat dengan pertambahan panjang bidang
miring.
3. Menentukan percepatan benda yang bergerak pada bidang miring.
3 cm
[Berisi tentang materi praktikum
6 cm
yang dipelajari, sumber dapat dari
buku dan jurnal. Minimal dari 4
sumber. Tidak diperkenankan
BAB II mengambil materi yang bersumber
3 cm
3 cm
B. Hukum Newton I
“Jika resultan gaya (jumlah seluruh gaya) pada sebuah benda nol, maka
kecepatan benda tidak berubah (tetap)” (Ishaq, 2007).
Hukum newton pertama berbunyi” setiap benda akan tetap berada dalam
keadaan diam atau bergerak lurus beraturan kecuali jika ia dipaksa untuk
mengubah keadaan itu boleh gaya-gaya yang berpengaruh padanya” (Halliday,
1985).
Hukum newton yang pertama ini memiliki kecenderungan yaitu
kelembaman, sehingga sering juga disebut hukum kelembaman (Tipler, 1998).
Bagi hukum newton yang pertama tidak ada pengaruhnya bagi benda
maupun yang bergerak dengan kecepatan konstan. Pada dasarnya Hukum Newton
menyatakan bahwa sebuah benda secara alami cenderung mempertahankan
keadaannya, kecuali ada gaya yang “mengganggu” keadaan ini. Artinya jika
benda mula-mula diam, maka ia akan tetap diam. Tapi jika semula benda bergerak
dengan kecepatan tetap v, maka akan tetap bergerak dengan kecepatan v juga
(Ishaq, 2007).
Hukum Newton 1 dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :
∑F=0
Maksud dari persamaan di atas yaitu seberapa besar gaya yang bekerja
akan tetap bernilai 0 jika tidak ada pengaruh/ gaya dari luar (Ishaq, 2007).
C. Hukum Newton II
Hukum pertama dan kedua newton juga disebut sebagai definisi gaya,
yaitu pengaruh suatu benda yang menyebabkan benda mengubah kecepatannya.
Arah gaya pun merupakan arah percepatan yang disebabkan jika gaya itu
merupakan satu-satunya gaya yang bekerja pada benda tersebut (Tipler, 1998).
“Jika resultan gaya pada suatu benda tidak nol, maka benda akan
mengalami perubahan kecepatan”. Makna dari hukum kedua newton adalah jika
ada gaya yang tidak berimbang terjadi pada suatu benda (ada gaya netto), maka
benda yang mula-mula diam akan bergerak dengan kecepatan tertentu atau bisa
juga disebut kecepatan nol, bertambah kecepatan atau melambat karena
3 cm
2
3 cm
dipengaruhi gaya luar tadi yang secara matematis dapat ditunjukkan dengan
persamaan :
∑F = m.a
Atau dalam bentuk diferensial
F = m dv/dtm = m d2r/dt2
Perhatikan persamaan di atas, bahwa jika ∑F nol, maka a harus bernilai
nol, karena m tidak mungkin nol. Artinnya jika “tidak ada gaya” maka tidak ada
perubahan kecepatan, dengan kata lain kecepatannya tetap. Jika perhatikan baik-
baik, hukum newton kedua merupakan hukum dinamika yang sangat penting
karena menghubungkan besaran dinamika gaya F dengan besaran kinematika
percepatan a melalui sebuah besaran dinamika lain (Ishaq, 2007).
Hukum kedua newton menetapkan antara besaran dinamika gaya dan
massa dan besaran kinematika percepatan, kecepatan, dan perpindahan. Hal ini
sanagat bermanfaat karena memungkinkan kita menggambarkan aneka gejala
fisika yang relative mudah (Tipler, 1998).
Dari persamaan ∑ F = m.a, maka Hukum Newton II juga berlaku jika a
merupakan percepatan gravitasi bumi (g) dapat diperoleh :
W = m.g
Gaya berat (W) merupakan bentuk dari gaya juga, hal ini berarti ketika
percepatan gravitasi nol, maka benda bermassa tidak memiliki gaya berat (W=0),
kita bisa melihat bahwa astronot dalam ruang hampa udara melayang-layang
tanpa bobot (Ishaq, 2007).
3 cm
3
3 cm
.Setiap gaya (gaya aksi) yang mengenai sebuah benda kedua, maka benda
kedua tersebut akan menghasilkan gaya (gaya reaksi) yang sama besar dan
berlawanan arah pada arah padsa benda pertama.
Sifat pasangan gaya aksi-reaksi adalah sebagai berikut :
1. Besar dari kedua gaya adalah sama,
2. Arah dari gaya aksi dengan reaksi berlawanan,
3. Kedua gaya bekerja pada benda yang berlainan (satu bekerja pada benda
A, yang lain bekerja pada benda B),
4. Kedua gaya terletak dalam satu garis lurus (Ishaq, 2007).
3 cm
4
6 cm
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
C. Cara Kerja
3 cm
6 cm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
2. 10 1 1
3. 10 1 1
4. 10 1,2 1,44
5. 10 1 1
6. 10 1 1
7. 10 1 1
8. 10 1 1
9. 10 1 1
3 cm 6
3 cm
θ=10˚
s = 0,5 m
t=1s
V= = = 0,5 m/s
t= = = 1,04 s
∆t =
∆t =
∆t = = = 0,026 s
2. 20 0,6 0,36
3. 20 0,8 0,64
4. 20 0,8 0,64
5. 20 0,8 0,64
6. 20 1 1
7. 20 0,8 0,64
8. 20 0,6 0,36
9. 20 0,8 0,64
θ=20˚
3 cm
7
3 cm
s = 0,5 m
t = 0,8 s
V= = = 0,625 m/s
t= = = 0,62 s
∆t =
t=
Δt =
Δt = = 0,0361 s
2. 30 0,6 0,36
3. 30 0,6 0,36
4. 30 0,6 0,36
5. 30 0,8 0,64
6. 30 0,6 0,36
7. 30 0,6 0,36
8. 30 0,6 0,36
9. 30 0,6 0,36
3 cm
8
3 cm
θ=30˚
s = 0,5 m
t = 0,6 s
V= = = 0,83 m/s
t= = = 0,62 s
∆t =
∆t =
∆t =
∆t =
∆t = 0,02 s
2. 40 0,4 0,16
3. 40 0,6 0,36
4. 40 0,4 0,16
5. 40 0,4 0,16
6. 40 0,4 0,16
7. 40 0,4 0,16
8. 40 0,4 0,16
9. 40 0,6 0,36
9
3 cm
3 cm
θ=40˚
s = 0,5 m
t = 0,4 s
V= = = 1,25 m/s
t= = = 0,44 s
∆t =
∆t =
∆t =
∆t =
∆t = 0,026 s
2. 50 0,2 0,04
3. 50 0,4 0,16
4. 50 0,2 0,04
5. 50 0,2 0,04
6. 50 0,2 0,04
7. 50 0,2 0,04
8. 50 0,2 0,04
9. 50 0,2 0,04
3 cm 10
s = 0,5 m
t = 0,2 s
V= = = 2,5 m/s
t= = = 0,22 s
∆t =
∆t =
∆t =
∆t =
∆t = 0,02s
2. 60 0,2 0,04
3. 60 0,2 0,04
4. 60 0,2 0,04
5. 60 0,2 0,04
6. 60 0,2 0,04
7. 60 0,2 0,04
8. 60 0,1 0,01
9. 60 0,2 0,04
10
s = 0,5 m
t = 0,2 s
V= = = 2,5 m/s
t= = = 0,19 s
∆t =
∆t =
∆t =
∆t =
∆t = 0,01s
B. Pembahasan
Sebuah pesawat bidang miring pada dasarnya memiliki kecenderungan
[Bahas secara spesifik untuk menurunkan gaya dan menaikan benda ke tempat yang lebih tinggi dan
kemudian diperluas menambah jarak pada gaya yang diberikan pada suatu posisi tujuan. Bidang
sesuai dengan topik miring biasanya digunakan pada alat-alat kehidupan sehari-hari seperti sekrup dan
dari praktikum.
baji. Pada sebuah sekrup, pada dasarnya adalah sebuah bidang miring yang
Pembahasan harus
dibungkus di sekitar tabung. Gaya lurus pada bidang horizontal diubah menjadi
disertai dengan
pustaka yang gaya vertikal. Ketika sekrup kayu diputar, ulir sekrup mendorong kayu. Sebuah
menunjang.] gaya reaksi dari kayu mendorong kembali ulir sekrup dengan cara ini sekrup
bergerak turun meskipun kekuatan memutar sekrup ada pada bidang horizontal.
Pada pesawat sederhana bidang miring ini, bila permukaan sebuah
meluncur di atas permukaan benda lain, masing-masing benda akan saling
melakukan gaya gesekan, sejajar dengan permukaan-permukaan itu. Gaya
gesekan terhadap tiap benda berlawanan arahnya dengan arah geraknya, relatif
terhadap benda “lawan” nya.
Berdasarkan hasil pratikum pada bidang miring yang menghubungkan
antar sudut dengan kecepatan laju gerak benda terletak pada sudut yang
3 cm 11
ditentukan. Semakin b esar suatu sudut yang diberikan, kecepatan benda akan
semakin cepat, dan waktu yang ditempuh akan semakin kecil. Karena pada sudut
yang besar maka bidang miring akan semakin tinggi.
Dari tabel hasil praktikum di atas pada sudut 10º terjadi perbedaan
kecepatan yang seharusnya memiliki kecepatan yang sama. Hal ini dapat terjadi
karena adanya kesalahan saat melakukan pratikum. Apakah hal itu terjadi karena
terlambat menekan stopwatch, terlambat meluncurkan kereta luncur, atau tidak
tepat mengukur sudut atau bahkan karena ketiga hal tersebut.
Pada sudut 20º percepatan yang terjadi semakin cepat karena sudut yang
diberikan semakin besar dari pada sudut sebelumnya dan waktuyang dihasilkan
pun mengalami perbedaan yang sangat siknifikan karena adanya kesalahan yang
sama pada saat melakukan pratikum pada sudut 10º.
Pada sudut 30º percepatan terjadi semakin cepat, waktu yang dihasilkan
pun semakin cepat. Perbedaan waktu tidak mengalami banyak perbedaan.
Pada sudut 40º percepatan semakin cepat, waktu yang ditempuh semakin
cepat, dan rata-rata waktu yang dihasilkan sangat berbeda dengan praktikum
sebelumnya pada sudut 30º.
Pada sudut 50º percepatan yang terjadi semakin cepat, tetapi waktu yang
dihasilkan berbeda karena keterlambatan dalam menekan stopwatch.
Pada sudut 60º percepatan semakin cepat, tetapi waktu yang dihasilkan
berbeda karena adanya kesalahan dalam menekan stopwatch. .
6 cm
12
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum mengenai bidang miring dapat disimpulkan
[ditulis per bahwa :
point (1,2,3)
1. Semakin kecil sudut yang digunakan pada bidang miring, maka semakin
bukan per
paragraf)]
lambat pula kereta luncur itu mencapai titik akhirnya dari bidang miring
tersebut.
2. Sebaliknya semakin besar sudut pada kemiringan yang digunakan, maka
semakin cepat kereta luncur akan mencapai tumbukan titik akhirnya bidang
miring tersebut.
3. Besar kecil sudut dapat mempengaruhi kecepatan luncuran dan juga
mempengaruhi tingga pada bidang miring tersebut.
B. Saran
1. Untuk praktikum berikutnya perlu dilakukan percobaan bidang
miring dengan sudut yang lebih banyak variasinya.
[berisikan
saran yang 2. Perlu dilakukan percobaan dengan jarak yang lebih bervariasi agar
berkaitan dapat membedakan pengaruh jarak terhadap bidang miring.
dengan
prosedur dan
hasil
percobaan]
6 cm
DAFTAR PUSTAKA
Tipler, Paul A. 1998. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Erlangga. Jakarta.
Nama. Tahun cetak/terbit. Judul Buku ditulis miring. Kota tempat dicetak/terbit.
Jilid. Edisi. Nama Penerbit.
Contoh penulisan :
Timoshenko, Stephen, P., Gere, James M. 1997. Mekanika Bahan. Jakarta. Jilid 1.
Edisi ke Empat. Penerbit Erlangga.
Nama. Tahun terbit jurnal. Judul tulisan. Nama jurnal (italic style). Edisi/volume.
Nomor halaman.
Contoh :
Supriadi, Dedi. March 1,1999. Restructuring The School Book Pravision System
in Indonesia: Some Recent Intratives. Junal EPAA.(Online).
(http://www.Epaa.asu.edu/educationpolicyachieves)
Yang L. Azzopardi B,J. 2007. Phase Split Of Liquid-liquid Two Phase Flow at A
Horisontal T-Junction. International Journal of Multiphase Flow. Vol.33. Page
207-216.
Catatan :