Bekal Ramadhan
Bekal Ramadhan
4. T : Lantas bagaimana dengan Hadits ini : Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian kami berdiri untuk shalat. Maka saya (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan
makan sahur?”. Ia (Zaid) menjawab : kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097]?
J : Yang dimaksud degan hadits ini adalah :
- dua Adzan itu, adalah Adzan Subuh & Iqomah sebagaimana yang dikatakan Oleh Asy-Syaikh
Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassam dalam Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam (1/569-570 no.
177) bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah iqamat. karena Iqamat disebut juga
dengan adzan sebagaimana hadits :Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Al-Muzanniy : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Diantara dua adzan ada shalat – beliau
mengatakannya tiga kali – bagi siapa saja yang ingin melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 624, Muslim no. 838, Ad-Daarimiy no. 1480, dan Ibnu Hibbaan no. 1559-1561].
- meskipun jika memang hadits itu bermakna jarak antara sahurnya para sahabat dan waktu Subuh,
maka ini tidak berarti menjadi kewajiban ada jeda diantara sahur dan subuh, tetapi terkadang ada jeda
antara sahur mereka dengan Adzan subuh, terkadang mereka mengakhirannya ( sehigga tidak ada jeda
), tergantung keadaan mereka. sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Al-hafidz Ibnu Hajar dalam
kitabnya Fathul Bari Juz 5/hal 268 :” Hadits ini dipahami, bahwa sahur para sahabat berbeda-beda
waktu tergantug keadaan”
5. T : Jika kita sedang Makan, lantas Fajar Shodiq menyingsing dengan Adzan Subuh. Lantas apa yang
kita lakukan ?
J : Menghentikan Makannya. Bahkan jika Makanan ada dimulut. Hendaklah Kita muntahkan. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Anawawy dalam Al-Majmu’ :
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah
dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk
fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para
ulama. ( Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab : 6/312.
6. T : Lantas Bagimana dengan Hadits ini : Rosululloh bersabda : “Jika salah seorang kalian mendengar
panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya
hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 10637 dan Abu
Dawud no. 2350 dengan sanad hasan; sebagaimana di hasankan oleh oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam
Al-Jaami’ush-Shahiih 2/418-419]?
J : Maksud dari Adzan dalam Hadits tersebut adalah Adzan Awal yang dikumandangkan Bilal untuk
sahur. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Baihaqy : adzan yang dimaksud dalam hadits
tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum
karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh ( Assunan Al-Kubro 4/218 )
7. T : Saat Bangun setelah Adzan Subuh, dan dalam keadaan berjunub dan belum sempat Mandi Janabat,
apakah harus berpuasa, Padahal sudah niat malamnya?
J : Wajib berpuasa. Karena Nabi pernah demikian. Dalilnya adalah : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya.
Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (H.R. Bukhari dan Turmudzi)
8. T : Jika Makan sahur dan Ragu-ragu sudah masuk fajar atau belum. Dan ternyata sudah melewati. Apa
yang harus dilakukan ?
J : “Apabila seseorang makan Sahur karena Ragu-ragu waktu terbit matahari maka puasanya sah.
Karena asalnya waktu tersebut masih dihitung malam sampai dia yakin bahwa sudah masuk waktu fajar
( Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )
9. T : Jika berbuka sebelum waktunya karena ragu-ragu , apa yang harus dilakukan ?
J : Dalam Hal ini ulama berbeda pendapat, namun Mayoritas ulama mengatakan bahwa puasanya batal
& dia wajib Qodho ( lihat di Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )
10. T : Lantas jika berbuka puasa disebelum waktunya karena ketidak tahuan, kesalahan Jadwal dan lain-
lain?
J : Puasanya tetap sah, karena ketidak tahuan, dan ini adalah pendapat yang terkuat ( lihat di Shohih
Fiqh Sunnah 2/105 )
11. T : Apa yang harus kami dahulukan saat berbuka. Berbuka dahulu atau Sholat Magrib dahulu ?
J : Dalam hal ini, lihat kondisi & situasi. Contohnya Saat kita sangat menginginkan Makan, maka yang
terbaik adalah makan terlebih dahulu. Dalam riwayat dikatakan : Suatu ketika dihidangkan makanan
kepada Ibnu Umar, sementara iqamah sudah dikumandangkan. Namun beliau tidak datang ke masjid,
hingga menyelesaikan makannya. Dan ketika makan, beliau mendengar bacaan imam. (Bukhari secara
Muallaq, 673).
13. T : Apa yang terjadi jika melakukan hal yang membatalkan Puasa tersebut ?
J : Puasanya Batal dan dia wajib men-qadha’ (mengganti) puasanya di luar bulan Ramadhan. Kecuali
jima’, Maka dalam Jima’ disiang bulan Ramadhan ini ada ketentuannya, yaitu :
1. Dia wajib membayar kaffaroh berupa memerdekakan budak, bila tidak mampu maka dengan puasa
dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu maka dengan memberi makan 60 fakir miskin, dan Ibnu
Hazm berpendapat dia tidak wajib mengganti puasanya. (Shahih Fiqh Sunnah 2/107-108)
2. Kaffaroh jima’ harus ditunaikan oleh suami dan istri, kecuali apabila istri dipaksa atau dia dalam
keadaan tidak berpuasa karena sakit atau hal lain.
3. Bila jima’ di siang hari bulan Ramadhan dilakukan berkali-kali di hari yang berbeda maka cukup
membayar satu kaffaroh saja. (Shahih Fiqh Sunnah 2/110)
14. T : Lantas bagaimana Orang yang diperbolehkan tidak berpuasa, seperti Musafir Apakah boleh
Berhubungan dengan Istrinya ?
J : Boleh, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama, diantaranya adalah : Al-Imam Asyafi’I dalam Al-
Umm ( 2/62), Al-Imam Malik dalam Al-Mudawanah 1/183 )
15. T : Siapa saja orang yang diperbolehkan tidak berpuasa ?
J : Orang tua renta, orang yang sakit yang sulit untuk sembuh. Maka baginya adalah : Fidyah. Tanpa
perlu mengqodho. Dan ini adalah pendapat jumhur ‘Ulama. Adapun Dalilnya surat Al-Baqoroh : 184
16. T : Lantas bagaimana dengan Wanita hamil & menyusui ? Apakah Wajib Qodho & Fidyah ?
J : Para Ulama berselisih pendapat, Namun yang Rojih ( kuat ) menurut kami -Wallohu a’lam- adalah
bagi mereka tetap Mengqodho puasanya, karena mereka termasuk mampu mengqodhonya. kecuali jika
mereka berat melakukan itu karena siklus setelah hamil lantas menyusui dan berat sekali untuk
mengqodhonya, maka mereka membayar Fidyah saja, tanpa Qodho. Adapun dalilnya adalah :
Perkataan Ibnu Abbas kepada seorang Ibu yang tengah mengandung :
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada
orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur
Razaq no 7567, Adaruquthny 2/207, dengan sanad yang shahih sebagaimana yang beliau katakan)
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan
Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untu k
berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (HR Adaruquthny
2/207. Dishohihkan Al-Albany dalam Irwa’ul Gholil, 4/20.)
23. T : Bolehkan jika Imam Sholat 23 Rokaat, kita hanya sholat 11 rokaat ?
J : Boleh, namun yang lebih Afdhol Sholat bersama imam sampai selesai, sebagaimana Sabda Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wasallam Muhammad : “Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai,
ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317,
Ahmad, no. 20450)
26. T : Lantas bagaimana dengan Hadits : “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat
witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)?
J : Menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan
bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam
shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).