Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Umat muslim, dalam hidupnyaberpegang teguh pada Al Qur’an dan Al Hadist sebagai
pedoman hidupnya. Darikedua pedoman tersebut, umat muslim tidak perlu khawatir dalam
menjalanipersoalan hidup. Segala apa yang menjadi persoalan, solusi, peringatan,kebaikan
dan ancaan termuat di dalam pedoman tersebut. Bahkan dalam Al Qur’andan Al Hadist
permasalahan politik juga tertuang didalamnya. Diantaranyamembahas: prinsip politik islam,
prinsip politik luar negeri islam. Baikpolitik luar negeri dalam keadaan damai maupun dalam
keadaan perang.
Prinsip-prinsip politik yangtertuang dalam Al Qur’an dan Al Hadist merupakan dasar
politik islam yang harusdiaplikasikan kedalam system yang ada. Diantaranya prinsip-prinsip
politikislam tersebut:

Keharusam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Al Mu’min:52).


Keharusan menyelesaikan masalah ijtihadnya dengan damai (AlSyura:38 dan Ali
Imran:159)
Ketetapan menunaikan amanat dan melaksanakanhukum secara adil (Al Nisa:58)
Kewajiban menaati Allah dan Rosulullah sertaulil amr (Al Nisa:59)
Kewajiban mendamaikan konflik dalam masyarakat islam (Al Hujarat:9)
Kewajiban mempertahankan kedaulatan negara danlarangan agresi (Al Baqarah:190)
Kewajiban mementingkan perdamain dari padapermusuhan (Al Anfal:61)
Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalampertahanan dan keamanan (Al Anfal:60)
Keharusan menepati janji (An Nahl:91)
Keharusan mengutamakan perdamaian diantarabangsa-bangsa (Al Hujarat:13)
Keharusan peredaran harta keseluruh masyarakat(Al Hasyr:7)
Keharusan mengikuti pelaksanaan hukum

Menurut AbdulHalim Mahmud (1998) bahwa islam juga memiliki politik luar negeri.
Tujuan daripolitik luar negeri tersebut adalah penyebaran dakwah kepada manusia di
penjurudunia, mengamankan batas territorial umat islam dari fitnah agama, dan systemjihad
fisabilillah untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Jadi politik bermaknainstansi dari negara
untuk keamanan kedaulatan negara dan ekonomi.

1
2. RUMUSAN MASALAH
2.1 Bagaimana Negara dalam pandangan islam?
2.2 Apa sja hak dan kewajiban warga Negara dalam islam?
2.3 Bagaimana persatuan dannkesatuan dalam Negara di pandangan islam?

3. TUJUAN MASALAH
3.1 menjalaskan Negara dalam pandangan islam.
3.2 Menjelaskan hak dan kewajiban warga Negara dalam islam
3.3 Menjelaskan persatuan dan kesatuan dalam Negara di pandangan islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM

Negara dalam pandangan islam menurut para ahli:

Herbert Spencer dalam bukunya First Principles mengutarakan bahwa pada dasarnya
agama berisi “keyakinan akan adanya sesuatu yang mahakekal yang berada di luar intelek”.
Senada dengan hal tersebut, Max Muller dalam Introduction to Science of Religions yang
diterbitkan di London, melihat semua agama sebagai “usaha untuk memahami apa yang tak
dapat dipahami dan untuk mengungkapkan apa yang tak dapat diungkapkan, sebuah
keinginan kepada sesuatu yang tidak terbatas”.

2
Menurut Hasan al-Banna, orang yang beranggapan bahwa Islam tidak berurusan sama
sekali dengan politik, atau sebaliknya politik tidak ada sangkut pautnya dengan agama,
adalah suatu gagasan yang keliru. Demikian halnya dengan Ahmad Amin (1886-1956) dalam
Yaum Al-Islam, menulis bahwa Islam tidak menginginkan antara agama dengan politik itu
terpisah karena fungsi dari agama untuk memperbaiki sistem politik yang ada dan
membimbing para pemimpin menuju kemaslahatan masyarakat.

B. Hubungan dan pandangan Negara dalam islam:

Hubungan Islam dengan Negara telah terjadi sejak lama. Dalam Islam sudah sejak abad 7
muncul melalui gagasan Rosulullah SAW yang melahirkan Piagam Madinah sehingga
banyak tokoh atau ilmuwan barat yang mengapresasi kepemimpinan dan keteladanan Rasul
dalam mengurus kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ia sebagai negarawan tidak pernah
memunculkan kata Islam.

Satu bukti nyata dari sikap kenegaraan sejati kenegarawannya Rasulullah dalam Piagam
Madinah yang 46 pasal itu kita tidak akan menemenukan kata-kata Islam, bahkan jika kita
melihat dari segi hukum Piagam Madinah ini masuk ke dalam syariah, bukan fiqh.

Konsitusi Madinah merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan untuk


membangun masyarakat yang bercorak majemuk. Ini tidak hanya sekedar dialektika yang
terobsesi dalam pikirna nabi, tatapi juga tampak dalam prakteknya ketika memimpin
masyarakat Madinah.

Di Indonesia, hukum Islam tidak bisa dimatikan dalam sistem hukum kenegaraan
kita.”kita akan kaji bahwa Islam tidak pernah meninggalkan negara. Dalam konteksnya,
terdapat 3 pandangan posisi agama dan negara yaitu;

Pertama, agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Agama
dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama
dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan
penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih mudah
ditindas dieksploitir dan. Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan hal-hal
ghaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah benda
(materi) belaka. Inilah pandangan ideologi Komunisme-Sosialisme, yang menganut ideologi
serupa- sudah bermetamorfosis menjadi kapitalisme.

3
Kedua, Agama Terpisah dari Negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya
menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara
manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi individu, tetapi
tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti peraturan
untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya.

Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme yang
dianut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain
pengikut mereka.

Ketiga, Agama Tidak Terpisah dari Negara, sebab agama mengatur segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar
urusan pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi
seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia
dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan manusia
yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandanng sebagai syarat mutlak agar seluruh
peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah diterapkan
sejak Rasulullah Saw. berhijrah dan menjadi kepala negara Islam dimadinah

Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing
rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang
kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat
kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-
dunya.

Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut. Kekuasaan tertinggi


ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan bersama. Jika kekuasaan ini
diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah berbagai kerusakan. Betapa vitalnya
posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan
oleh dua golongan : ‘umara (pemimpin) dan ulama.

C. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA DALAM ISLAM

Hak-hak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas Hak-hak Politik dan Hak-
hak Umum.

1. Hak-hak Politik Warganegara


1.1 Hak Memilih (Haqq al-Intikhab)

4
1.1.1 Hak untuk Diajak Bermusyawarah (Haqq al-Musyawarat)

Bagaimana jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih harus
bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawabnya adalah ya, dengan beberapa alasan berikut :

Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara sengaja atau tidak
mungkin saja menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Apabila kebijakan sudah
ditetapkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk menghalau kerugian yang
ditimbulkan (karena sudah terlanjur).

Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat merupakan perwakilan


yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat). Diantara pengikat-pengikatnya adalah kewajiban
kepala negara untuk bermusyawarah dengan rakyat. Hal ini telah dinashkan dengan jelas
dalam Al-Qur’an : “... Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ...” (QS.
Alu Imran: 159)

1.1.2 Hak Mengawasi / Mengontrol (Haqq al-Muraqabat)

Karena khilafah menyerupai wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa


sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa. Bahkan, pada dasarnya
pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa bukan saja hak akan tetapi kewajiban. Imam
Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,”Agama itu nasihat”. Para sahabat pun
bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?”Maka beliau menjawab,”Untuk Allah, Kitab-
Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat pada umumnya”.

Pengawasan / pengontrolan rakyat atas penguasa merupakan bagian dari amar makruf
nahi munkar yang harus dilaksanakan dengan adab-adab tertentu. Diantara adab-adabnya
ialah :

Harus dimulai dengan cara yang lemah lembut. Ingatlah bagaimana Musa
diperintahkan untuk datang memperingatkan Fir’aun dengan lemah lembut (layyin), padahal
Fir’aun sudah amat melampaui batas. Apabila cara yang lemah lembut tidak bermanfaat maka
hendaknya diambil cara-cara yang lebih tegas. Demikian seterusnya, sampai kebenaran dan
keadilan bisa ditegakkan.

1.1.3 Hak Menurunkan Khalifah (apabila keadaan mengharuskan) (Haqq


al-‘Azl)

Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-sebab syar’i yang


mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah melalui kekuasaan ahlul hall wal

5
‘aqd. Namun apabila ahlul hall wal ‘aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila
khalifah tidak mengindahkan ahlul hall wal ‘aqd, maka rakyat bisa langsung turun tangan
dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah. Kekuatan ini harus dipastikan
mampu menurunkan khalifah. Jika tidak, maka penggunaan kekuatan tidak diperbolehkan
karena hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Abu Hanifah pernah dua kali ditawari untuk
berpartisipasi dalam pemberontakan terhadap khilafah Umawiyah yang lalim. Pada kali
pertama beliau menolak karena kekuatan rakyat saat itu belum memadahi. Namun pada kali
kedua beliau menerima karena kekuatan rakyat sudah memadahi, sehingga tumbanglah
Umawiyah digantikan oleh Abbasiyyah.

1.1.4 Hak untuk Mencalonkan (Haqq al-Tarsyih)

Seorang warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki


jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis)
untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika
keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki
keahlian saling berebut jabatan politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan
memenuhi syarat-syaratnya. Allah telah mencontohkan fenomena ini dalam kasus Yusuf as.

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencalonan diri ialah bahwa yang
bersangkutan tidak boleh mencela sesamanya tanpa alasan yang benar (secra syar’i) demi
meraih jabatannya. Ia hanya boleh menunjukkan visi, misi, dan pemikiran-pemikirannya, dan
tidak lebih dari itu. Politik Islam adalah politik yang penuh etika. Berpolitik, dalam Islam,
senantiasa dibingkai oleh kerangka akhlaq yang mulia.

1.1.5 Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan Umum (Haqq


Tawalliy al-Wazha-if al-‘Ammat)

Sebetulnya, memangku jabatan politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan
amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan jabatan kepada orang yang
memintanya (karena ambisi). [Taisir al-Wushul Juz I hal. 18]

Apabila menuntut jabatan politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah seharusnya?


Jawabnya, hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para penguasa yang telah
ada hendaknya mengangkat para pejabat dari orang-orang yang terbaik (al-ashlah). Nabi
bersabda,”Barangsiapa memegang satu urusan kaum muslimin (maksudnya menjadi
penguasa) kemudian ia mengangkat seseorang menjadi pejabat padahal ia mengetahui ada

6
orang lain yang lebih baik bagi (kemaslahatan) kaum muslimin, maka sungguh ia telah
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”. [Al-Siyasat al-Syar’iyyat oleh Ibn Taimiyyah, hal. 4]

Nabi juga bersabda,”Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah Saat Kehancuran


(al-sa’at)”. Rasulullah ditanya,”Bagaimanakah menyia-nyiakannya?” Rasulullah
menjawab,”Yakni apabila suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya”.

Di zaman ini, penguasa bisa menetapkan persyaratan-persyaratan dalam rekrutmen


para pejabat. Persyaratan-persyaratan inilah yang diharapkan akan bisa mengantisipasi
jatuhnya jabatan-jabatan pada orang-orang yang tidak berhak.

2. Hak-hak Umum Warganegara


2.1 Hak Persamaan (Al-Musawat)

Allah Ta’ala berfirman,”Wahai manusia! Sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Aku menjadikan kalian berkelompok-
kelompok dan bersuku-suku adalah agar kalian saling mengenal (al-ta’aruf). Sesungguhnya
yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa”.

Allah juga berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi


orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabkan kalian tidak
bersikap adil kepada mereka. Bersikaplah adil karena itu lebih dekat kepada taqwa” (QS
Al-Ma-idah: 8)

2.2 Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)


2.2.1 Kebebasan Individu (Al-Hurriyyat Al-Syakhshiyyat)

Dalam Islam terdapat prinsip Bara’at Al-Dzimmat, yakni suatu ketetapan bahwa
setiap individu pada asalnya adalah bebas (dari segala beban dan tuntutan). Berangkat dari
sini, setiap warganegara adalah terbebas dari segala bentuk hukuman selama belum ada bukti
yang menunjukkan sebalikny

2.2.2 Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah.

Allah Ta’ala berfirman,”Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas antara
petunjuk dan kesesatan” (QS Al-Baqarah: 256). Sebagaimana telah dijelaskan didepan,
manusia bebas memilih agamanya (aqidahnya). Kebebasan memilih inilah yang justru
menjadi hal yang tidak boleh hilang. Jika ini hilang, maka manusia tidak lagi berbeda dengan
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati lainnya.

7
2.3 Kebebasan Bertempat Tinggal

Setiap warganegara dalam negara Islam bebas bertempat tinggal dan menjadikan tempat
tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya. Allah Ta’ala berfirman,”Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sehingga kalian minta
ijin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian
agar kalian menjadi ingat. Apabila kalian tidak mendapatkan satu orang pun didalam rumah
itu, maka janganlah kalian memasukinya sampai kalian diijinkan. Dan apabila dikatakan
kepada kalian,’Kembalilah!’ maka kembalilah kalian. Yang demikian itu lebih suci bagi
kalian. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala yang kalian perbuat”(QS. Al-Nur: 27-28).

2.4 Kebebasan Bekerja


2.5 Kebebasan Pemilikan
2.6 Kebebasan Berpikir dan Berpendapat

Setiap warganegara berhak untuk berpendapat (mengeluarkan pikiran) dalam rangka


mencapai kemaslahatan. Bahkan, berpendapat dalam rangka amar makruf nahi munkar
bukan lagi hak, akan tetapi sudah menjadi kewajiban.

3. Persatuan dan Kesatuan Dalam Negara

Persatuan adalah ajaran agama Islam yang wajib disampaikan para ulama di bumi
Indonesia. Baik pada era penjajahan, kemerdekaan, dan milenial sekarang ini, persatuan
harus terus digaungkan para ulama demi mengusir berbagai paham jahat dan kekerasan
yang ingin merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Persatuan dalam konsepsi para ulama merupakan perintah Allah dalam


Alquran wala tafarroqu yang artinya jangan terpecah belah. Bersatu adalah rahmat,
bercerai-berai adalah adzab. Ini adalah landasan keagamaan para ulama. Jadi, persatuan
adalah ajaran agama Islam yang harus disampaikan oleh para ulama kepada umatnya.” ujar
Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud di Jakarta, Selasa (20/3).

8
Persatuan juga diartikan sebagai perserikatan, ikatan atau gabungan beberapa bagian
yang sudah bersatu. Persatuan dan kesatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh dan tidak
terpecah belah. Persatuan mengandung makna terikatnya beberapa bagian menjadi satu
kesatuan, sedangkan kesatuan berarti keadaan yang merupakan satu keutuhan. Persatuan dan
kesatuan Indonesia diartikan sebagai suatu keutuhan bangsa indonesia yang terdiri dari
berbagai macam suku, ras dan kepercayaan menjadi bangsa yang satu yang tidak dapat
terpecah belah.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.Pemikiran tersebut


berupa pedoman, keyakinan hokumatau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik
islam berisi:mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankanamanah dan
menetapkan hokum secara adil atau dapat dikatakanbertanggung jawab, mentaati Allah,
Rasulullahdan Ulill Amr(pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian
politikislam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua halyang sangat
bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenaipolitik yang menghalalkan segala
cara.Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang menekan danmemaksakan
kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harusdapat melindungi, mengayomi
masyarakat.Sedangkan penyimpanganyang terjadi adalah pemerintahan yang tidak mengabdi

9
padarakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan yang terjadiadalah otoriter. Yaitu
bentuk pemerintahan yang menyimpang dariprinsip-prinsip islam.Tujuan politik islam pada
hakikatnya menujukemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/30242791/POLITIK_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM

http://menaraislam.com/fiqih-siyasah/hak-dan-kewajiban-warganegara-dalam-islam

Hasby, Subky, dkk.2007. BUKU DARAS.PPA Universitas Bramijaya ; Malang


RisalahUsrah 3 – Sistem-sistem Islam, Abu Urwah

SUMBER : http://khamriadhye.blogspot.com/

10

Anda mungkin juga menyukai