Jurnalis -
JAKARTA - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang sedang memeroses sengketa TPI antara PT
Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) akan segera memberi putusan atas
kasus ini. Putusannya akan menegasikan putusan MA yang memenangkan Tutut.
“Apapun keputusan BANI akan menegasikan putusan pengadilan, dalam hal ini MA,” kata pengamat
hukum dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, Rabu (19/11/2014).
Baca juga :
Hal ini karena pada tahun 2005 kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan . Menurut Fickar, dalam
hukum perdata dan bisnis, kesepakatan adalah hal tertinggi.
“Kesepakatan atau disebut Pacta Sun Servanda adalah hal tertinggi dalam hukum perdata, karena itu jika
sudah masuk ke BANI artinya sepakat untuk bersepakat dan pengadilan tidak boleh mengintervensi,”
kata Fickar.
Situasi ini berbeda dengan hukum pidana dimana mekanismenya diatur Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Semua pihak paham bahwa selama dalam proses arbitrase, tidak boleh ada pihak lain
semisal pengadilan yang melakukan intervensi atas kasus tersebut.
Jika salah satu pihak yang bersengketa memasukkan kasus ke pengadilan sementara arbitrase sedang
berjalan, majelis hakim yang menangani kasus ini harusnya menyatakan diri tidak berwenang.
“Hakim harusnya menolak jika kasus sudah ditangani arbitrase dan semua pihak harus menghargai
proses dan apapun keputusan arbitrase,” kata Fickar.
Fickar memberi gambaran bahwa banyak kasus menyangkut bisnis diselesaikan dengan cara arbitrase,
terutama yang menyangkut investasi dengan pihak luar negeri. Sifat arbitrase relatif obyektif karena dua
pihak yang bersengketa sama-sama mencari hakim arbiter yang menjadi penengah sengketa.
“Beberapa masalah arbitrase Indonesia yang diselesaikan di arbitrase Singapura dan Hong Kong karena
di dua negara itu kerap terjadi sengketa bisnis,” kata Fickar. (Danti Daniel)
Berita terkait
Bupati Cianjur Kepala Daerah Ke-38 yang Ditangkap KPK Sejak 2012, Ini Rinciannya
Home
News
Finance
Lifestyle
Celebrity
Bola
Sports
Autos
Tv
Metube
Infografis
Foto
Video
About Us
Redaksi
Kotak Pos
Karier
Info Iklan
Disclamer
detiknews
Home Berita Daerah Jawa Timur Internasional Kolom Blak blakan Fokus Hoax Or Not Foto Most Popular
Pro Kontra Suara Pembaca Infografis Video detikPemilu Indeks
- detikNews
Pollycarpus (ari/detikcom)
Jakarta - Sembilan tahun berlalu, meninggalnya aktivis HAM Munir masih menyisakan tanda tanya besar:
siapa otak pembunuhan Munir. Fakta baru kembali ditorehkan Mahkamah Agung (MA) dengan
mengurangi Pollycarpus dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara.
Berikut kronologi panjang kasus Munir seperti tercatat detikcom, Senin (7\/10\/2013):
7 September 2004<\/strong>
Munir meninggal dalam usai 39 tahun di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang
menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana.
12 September 2004<\/strong>
Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis
yang fatal.
18 Maret 2005<\/strong>
Pollycarpus resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Mabes Polri.
5 April 2005<\/strong>
Polri menetapkan dua kru Garuda yaitu kru pentry Oedi Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti menjadi
tersangka kasus Munir.
23 Juni 2005<\/strong>
29 Juli 2005<\/strong>
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan berkas perkara ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Lantas PN Jakpus menetapkan 5 anggota majelis hakim
untuk menangani kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka adalah Cicut Sutiyarso (ketua),
Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto dan Ridwan Mansyur.
9 Agustus 2005<\/strong>
Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan berencana dan diancam hukuman mati. Motif Pollycarpus
dalam membunuh Munir adalah demi menegakkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) karena
Munir banyak mengkritik pemerintah.
1 Desember 2005<\/strong>
PN Jakpus menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Ia dinyatakan terbukti melakukan
pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie goreng
yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura.
27 Maret 2006<\/strong>
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tetap
menghukum 14 tahun penjara.
3 Oktober 2006<\/strong>
MA mengeluarkan keputusan kasasi yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan tindak
pidana pembunuhan berencana terhadap Munir. Polly hanya terbukti bersalah menggunakan surat
dokumen palsu untuk perjalanan. Polly lantas hanya divonis 2 tahun penjara.
3 November 2006<\/strong>
25 Desember 2006<\/strong>
Pollycarpus bebas dari LP Cipinang setelah mendapat remisi susulan 2 bulan dan remisi khusus satu
bulan.
25 Januari 2007<\/strong>
MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan kejaksaan terkait pembunuhan aktivis HAM Munir. Polly
divonis 20 tahun penjara. Ia menyatakan akan mengajukan PK atas putusan PK tersebut.
2 Oktober 2013<\/strong>
Giliran Polly yang mengajukan PK dan MA mengabulkannya dengan mengurangi Pollycarpus dari 20
tahun menjadi 14 tahun penjara. Hingga berita ini diturunkan, pihak berwenang MA belum
membeberkan alasan pengurangan hukuman itu.
ADVERTISEMENT
(asp/rmd)
Share:
0 komentar
Berita Terkait
News Feed
Meski Tak Ada Kerusakan, Gempa 3,5 M di Kediri Bikin Warga Cemas
Meski Tak Ada Kerusakan, Gempa 3,5 M di Kediri Bikin Warga Cemas
Redaksi: redaksi[at]detik.com
Iklan: sales[at]detik.com
Navigasi detiknews
Back To Top