Anda di halaman 1dari 14

Guillain Barre Syndrom (GBS)

A. Pengertian
Guillain-Barre Syndrom (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan
kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Parry (1993) mengatakan bahwa, GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending
dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch
(1998), GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks,
dan nervus kranialis.
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan tubuh
seseorang merusak sel saraf mereka sehingga menyebabkan kelemahan otot dan dapat terjadi
kelumpuhan (CDC, 2017). Selain itu, GBS merupakan kumpulan gejala kelemahan pada
anggota gerak dan kadang-kadang dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai
menurunnya refleks. Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot penggerak bola mata
sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai gangguan koordinasi
anggota gerak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Berdasarkan gambaran klinis
dan elektrofisiologi, GBS dibagi dalam beberapa tipe seperti yang tertera pada Tabel 1.
B. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit GBS belum diketahui secara pasti, namun sekitar dua pertiga
orang yang mengalami gejala GBS mengalami beberapa hari atau minggu setelah mereka sakit
diare atau mengalami masalah pada area pernafasan. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni
merupakan salah satu faktor risiko GBS yang paling umum. Seseorang juga dapat mengalami
GBS setelah mengalami flu atau infeksi lainnya (seperti virus sitomegalovirus dan Epstein
Barr). Pada kesempatan yang sangat langka, beberapa orang yang mengalami GBS setelah
mendapatkan vaksinasi dalam hitungan hari hingga minggu. Setiap orang bisa terkena GBS
tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada orang tua. Orang berumur 50 tahun keatas
merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk mengalami GBS (CDC, 2017).
GBS ini tadinya dianggap sebagai neuroalergi yang menghasilkan berbagai bahan
berbahaya. Terdapat perkiraan bahwa kumpulan gejala ini terjadi karena menurunnya daya
kekebalan tubuh sendiri (auto imun), yang biasanya didahului oleh infeksi virus atau kuman-
kuman yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan atas dan diare yang melemahkan daya
tahan tubuh (kekebalan) sehingga mengalami beberapa keluhan. Sel sistem kekebalan
menyerang sarung saraf (mielin) yang mengelilingi serabut saraf di seluruh saraf tepi
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

C. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang
tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.
Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada
GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf
perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem
imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang
menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah
keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel
asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B
akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.
Pendapat lainnya mengungkapkan bahwa GBS adalah penyakit paska infeksi yang
dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh. Mekanisme imun seluler dan humoral berperan dalam
perkembangannya. Sebagian besar pasien melaporkan adanya penyakit menular pada minggu-
minggu sebelum terjadinya GBS. Banyak agen infeksi yang terindikasi sebagai perkiraan dari
produksi antibodi yang bereaksi dengan gangliosida dan glikolipid tertentu, seperti GM1 dan
GD1b, yang didistribusikan ke seluruh myelin dalam sistem saraf perifer. Mekanisme
patofisiologis penyakit anteseden dan GBS dapat ditandai oleh infeksi Campylobacter jejuni.
Virulensi Campylobacter jejuni didasarkan pada adanya antigen spesifik pada kapsulnya yang
dibagi dengan saraf. Respons imun diarahkan pada antigen lipopolisakarida di kapsul
Campylobacter jejuni yang menghasilkan antibodi yang bereaksi dengan GM1 gangliosida di
myelin, yang mengakibatkan kerusakan kekebalan pada sistem saraf perifer. Proses ini disebut
mimikri molekuler. Temuan patologis di GBS meliputi infiltrasi limfositik pada akar tulang
belakang dan saraf perifer (saraf kranial dapat dilibatkan), diikuti dengan makrofag yang
dimediasi, pelepasan myelin multifokal. Fenomena ini berakibat pada kecacatan dalam impuls
saraf listrik, dengan penundaan dalam pengaliran listrik saraf yang menyebabkan kelumpuhan.
Pada beberapa pasien dengan penyakit berat dari peradangan parah adalah gangguan dan
kehilangan saraf aksonal (Andary, 2017).
1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) disebabkan karena bakteri
atau infeksi virus biasanya disebabkan karena Campylobacter jejuni. Infiltrasi limfositik
dan demyelination perifer yang diperantarai oleh makrofag. Gejala umumnya diatasi
dengan remyelination.
2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) biasanya terjadi pada anak-anak ditandai
dengan kelemahan yang cepat dan bertahap dan kegagalan napas pada tahap
selanjutnya. Pada kasus AMAN disebabkan karena diare Campylobacter jejuni. Pasien
biasanya memiliki titer antibodi yang tinggi terhadap gangliosida (yaitu GM1, GD1a,
GD1b). Peradangan akar anterior spinal dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf
pusat (SSP). Prognosisnya cukup baik meskipun pemulihan yang cepat dan dapat sangat
cacat sehingga perlu perbaikan selama beberapa tahun.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) merupakan penyakit akut yang
parah dengan mempergaruhi sistem saraf sensorik dan akar. Biasanya seseorang yang
mengalami AMSAN pada pasien dewasa dengan kelemahan anggota gerak yang cepat
dan berat ditandai dengan kelemahan otot. AMSAN disebabkan oleh diare
Campylobacter jejuni. Temuan patologis menunjukkan degenerasi aksonal serabut saraf
motor dan sensorik dengan sedikit demielininasi.
4. Miller-Fisher syndrome (MFS) dikaitkan dengan kelemahan anggota badan, ptosis,
kelemahan pada otot wajah. Antibodi anti-GQ1b menonjol pada MFS, dan memiliki
spesifisitas dan kepekaan yang tinggi terhadap penyakit ini. Konsentrasi GQ1b
ganglioside yang padat ditemukan pada saraf oculomotor, trochlear, dan abducens, yang
dapat menjelaskan hubungan antara antibodi anti-GQ1b dan ophthalmoplegia. Pasien
dengan kelumpuhan orofaring akut membawa antibodi IgG anti-GQ1b / GT1a.
Pemulihan umumnya terjadi dalam 1-3 bulan.
5. Acute panautonomic neuropathy merupakan jenis GBS yang paling langka dengan
melibatkan sistem saraf simpatik dan parasimpatis. Biasanya pasien akan megalami
hipotensi postural, retensi usus dan kandung kemih, anhidrosis, penurunan salivasi dan
lakrimasi, dan kelainan pupil. Selain itu, adanya gangguan pada sistem jantung dengan
disritmia.
6. Pure sensory GBS ditandai dengan kehilangan respon sesorik, ataksia sensorik, dan
fibrosia. Pada pemeriksaan kmbal menunjukkan disosiasi albuminocitologik di cairan
serebrospinal (CSF) dan dari hasil elektromiografi (EMG) menunjukkan tanda khas dari
proses demielinasi pada sistem saraf perifer. Pengomatan yang dapat dilakukan dengan
imunoterpai seperti pertukaran plasma dengan pmberian IVIG.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif
dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat
serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang
sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju
fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus
pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan
tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki
fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta
status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah
dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri
ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan
myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari
sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya
tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
D. Tanda dan Gejala
Gejala awal yang dirasakan akan seperti ditusuk-tusuk jarum di ujung jari kaki atau tangan
atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku mengeras, lengan terasa
lemah dan telapak tangan tidak bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka
kunci, buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam waktu beberapa minggu.
Gejala tahap berikutnya yang dirasakan kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit dan lemah,
dan kemudian dari tim medis akan menemukan saraf refleks lengan telah hilang fungsinya
(Rahayu, 2013).
Gejala lainnya kelemahan atau rasa kesemutan pada kaki. Rasa itu dapat menjalar ke bagian
tubuh atas tubuh. Pada beberapa kasus bisa menjadi lumpuh, Hal ini bisamenyebabkan
kematian. Pasien kadang membutuhkan alat respirator untuk bernapas. Gejala biasanya
memburuk setelah beberapa minggu, kemudian stabil. Banyak orang bisa sembuh, namun
kesembuhan bisa didapatkan dalam minggu atau tahun (CDC, 2012; Marjo, 1978 ;Sidarta, 2004
; Walshe, 1978).
Pasien GBS, kebanyakan kasus akan menjadi polimadikuloneuropati pereda inflamasi akut/
acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), muncul 2-4 minggu setelah
penyakit pernafasan atau gastrointestinal dengan keluhan kelainan jari dan kelemahan otot
proksimal pada ekstremitas bawah. Kelemahannya bisa berlangsung berjam-jam sampai
berhari-hari melibatkan lengan, otot, saraf kranial, dan otot respirasi. Keluhan umum yang
biasanya terjadi pada bagian saraf kranial seperti facial droop (seperti Bell palsy), diplopia
(bayangan pada mata menjadi 2), dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, dan gangguan pupil.
Perubahan otonom yang terjadi meliputi takikardia, bradikardia, hipertensi paroksismal,
hipotensi ortostatik, anhidrosis dan/atau diaphoresis, dan retensi urin. Jika keluhan yang terjadi
pada daerah pernapasan meliputi dispnea saat beraktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan
ucapan menjadi samar atau tidak jelas (Andary, 2017).

Derajat penyakit GBS didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes (Tabel 2). Pada GBS
berat, pasien memiliki skala ≥ 4.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa GBS dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan saraf. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dari jantung dengan melihat
aritmia jantung, termasuk takikardia dan bradikardia, takipnea bisa menjadi tanda dispnea yang
sedang berlangsung dan gagal napas progresif. Kelemahan tekanan darah adalah ciri umum
lainnya, dengan perubahan antara hipertensi dan hipotensi. Suhu bisa tinggi atau rendah.
Pemeriksaan pernafasan untuk melihat usaha inspirasi yang buruk atau suara nafas yang
berkurang. Pada pemeriksaan abdomen, kekurangan atau tidak adanya suara bising usus yang
menunjukkan gerak peristaltik. Suprapubic yang membesar sebagai tanda retensi urin.
Pemeriksaan saraf dengan melihat pada kelemahan wajah (nervus kranial VII) paling sering
gejala yang muncul berhubungan dengan saraf kranial VI, III, XII, V, IX, dan X. Keterlibatan
otot wajah, orofaring, dan okular menyebabkan wajah terkulai, disfagia, disartria, dan temuan
terkait dengan gangguan mata. Ophthalmoparesis dapat diamati pada hingga 25% pasien
dengan GBS. Batasan pergerakan mata paling sering terjadi akibat kelumpuhan simetris yang
terkait dengan saraf kranial VI. Ptosis dari kranial nervus III (okulomotor) palsi juga sering
dikaitkan dengan pergerakan mata yang terbatas. Kelainan pupil, terutama yang menyertai
ophthalmoparesis. Papilledema sekunder akibat tekanan intrakranial tinggi hadir dalam kasus
yang jarang terjadi. Kelemahan ekstremitas bawah biasanya dimulai pertama kali dan naik
secara bertahap dan progresif selama beberapa hari pertama. Kelemahan ekstremitas atas,
muka, dan orofaringeal (Andary, 2017).
Diagnosa GBS ditegakkan berdasarkan riwayat dan hasil tes kesehatan baik secara fisik
maupun laboratorium. Berdasarkan riwayat penyakit didapatkan data tentang obat-obatan yang
biasa diminum, apakah ada riwayat konsumsi alkohol, infeksi-infeksi yang pernah diderita
sebelumnya, riwayat vaksinasi dan pembedahan yang dilakukan pada orang tersebut
sebelumnya. Selain itu, riwayat penyakit yang pernah diderita pasien maupun keluarga pasien
misalnya diabetes mellitus, diet yang dilakukan, dan lain-lain. Pemeriksaan yang harus
dilakukan seperti (Rahayu, 2013):
1. Darah lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara menyeluruh. Pemeriksaan darah,
pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk
yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase
lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala. Selain itu,
dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis
itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
2. Cairan serebrospinal (CSS), yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS
normal, setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya
pada 4-6 minggu setelah onset, derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein
dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.
3. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG), manifestasi
elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi
masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya
respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik,
serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari
60% normal.
4. EMG (electromyogram), untuk merekam kontraksi otot. EMG menunjukkan berkurangnya
rekruitmen motor unit. Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-
4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal.
Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak
sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

F. Pencegahan
Salah satu jalan untuk mencegah SGB adalah dengan mempertinggi daya tahan tubuh saat
tidak sakit dengan cara mengonsumsi protein hewani dari daging dan ikan, nabati dari tempe
dan tahu disertai sayur dan buah, sehingga diharapkan kita jarang sakit influenza, karena daya
tahan tubuh tinggi. Selain itu perlu juga menjaga kebersihan tubuh dengan mandi dan cuci
tangan bila mau makan untuk menghindari infeksi kuman, virus atau bakteri yang menyebabkan
diare (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
G. Pengobatan dan Perawatan
Angka kesembuhan dari GBS dapat mencapai 75-90% dengan cara pengobatan dan
fisioterapi. Bagi kasus tertentu dilakukan penggantian plasma dengan tujuan untuk
menghilangkan efek menurunnya sistem kekebalan tubuh (auto imun). Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian
plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek.
Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Terapi
ini akan dapat menyembuhkan penderita, selain itu dapat juga dilakukan infus imunoglobulin .
Pada sebagian kasus tidak jarang penderita secara bertahap dapat pulang setelah dirawat
beberapa lama. Sedangkan pada kasus-kasus tertentu, ada yang membutuhkan bantuan alat
nafas (respirator) dan pada kasus yang sangat berat dengan gangguan nafas ada yang tidak
tertolong. Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitasnya berhenti.
Meskipun kondisi pasien GBS dalam keadaan lemah sangat dianjurkan pasien untuk selalu
menggerakkan bagian-bagian tubuh yang terserang untuk menghindari kaku otot. Ahli
fisioterapi biasanya akan sangat dibutuhkan untuk melatih pasien dengan terapi-terapi khusus.
Pengarahan-pengarahan akan diberikan tim medis kepada keluarga dan teman pasien cara-cara
melatih pasien GBS. Pasien penyakit GBS juga biasanya merasakan sakit yang akut, terutama
pada daerah tulang belakang dan lengan dan kaki. Rasa sakit muncul dari pembengkakan dari
syaraf yang terserang, atau dari otot yang sementara kehilangan suplai energi, atau dari posisi
duduk atau tidur pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau memutar tubuhnya ke
posisi nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat penghilang rasa sakit
dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi bagian-bagian tubuh yang
terserang dengan terapi-terapi khusus. Pengobatan medis dan perawatan yang baik sangat
mempengaruhi hasilnya. Pada manula penyembuhan umumnya lebih lambat dibandingkan
anak-anak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
H. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan gangguan metabolisme sistem pernapasan.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas berhubungan dengan jalan napas buatan.
3. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan kelemahan.
4. Risiko Luka Tekan dengan faktor risiko imobilisasi fisik, dan tekanan pada tonjolan tulang.
5. Risiko Infeksi dengan faktor risiko prosedur invasif
I. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa NOC NIC
1. Gangguan Ventilasi Spontan Status Pernapsan: Ventilasi Manajemen Ventilasi Mekanik:
Domain 4. Aktivitas/Istirahat Definisi: Keluar masuknya udara dari dan kedalam Noninvasif
Kelas 4 Respons Kardiovasklar/Pulmonal paru. Definisi: Membantu klien yang
Definisi: Penurunan cadangan energi Setelah dilakukan asuhan keperawatan status mendapatkan pernapasan dengan alat bantu
yang mengakibatkan ketidakmampuan pernapasan pasien meningkat dengan indikator: napas tanpa insersi trakea
individu untuk mempertahankan Indikator Target Aktivitas:
pernapasan yang adekuat untuk Frekuensi pernapasan* 5 1. Tempatkan klien dengan posisi semi
menyokong kehidupan. Volume tidal* 5 fowler
Batasan Karakteristik: Penggunaan otot bantu napas^ 5 2. Monitor gejala-gejala yang
a. Gelisah Gangguan suara saat auskultasi^ 5 menunjukkan peningkatan pernapasan
b. Peningkatan frekuensi jantung (peningkatan denyut nadi, pernapasan
c. Peningkatan laju metabolisme Keterangan: tekanan darah, perubahan status mental)
d. Peningkatan PCO2 * ^ 3. Gunakan teknik aseptik yang sesuai
e. Penurunan PO2 1 Deviasi berat Sangat berat 4. Monitor suara napas klien
f. Penurunan SaO2 2 Deviasi cukup berat Berat 5. Monitor kerusakan membran mukosa
Faktor Risiko: 3 Deviasi sedang Cukup 6. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi
a. Gangguan metabolisme 4 Deviasi ringan Ringan 7. Berikan perawatan mulut secara rutin
b. Keletihan otot pernapasan 8. Monitor hemodinamik pasien
5 Tidak ada deviasi Tidak ada
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas Manajemen Jalan Napas
Domain 11. Keamanan/Perlindungan Definisi: Saluran trakeobronkial yang terbuka dan Definisi: Fasilitasi kepatenan jalan napas
Klas 2. Cedera Fisik lancar untuk pertukaran udara. Aktivitas:
Definisi: Ketidakmampuan untuk Setelah dilakukan asuhan keperawatan status 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
membersihkan sekret atau obstruksi dari pernapasan pasien meningkat dengan indikator: ventilasi
saluran nafas untuk mempertahankan Indikator Target 2. Masukkan alat nasopharingeal airway
bersihan jalan nafas. Frekuensi pernapasan* 5 (NPA) atau oropharingeal airway (OPA)
Batasan Karakteristik: Kemampuan mengeluarkan sekret* 5
a. Batuk tidak efektif 3. Buang sekret dengan memotivasi pasien
Suara napas tambahan^ 5
b. Penurunan bunyi napas Akumulasi sputum^ 5 untuk melakukan batuk atau menyedot
c. Perubahan frekuensi napas Keterangan: lendir
d. Perubahan pola napas * ^ 4. Lakukan penyedotan dengan suction,
e. Sputum dalam jumlah berlebihan 1 Deviasi berat Sangat berat kalau perlu
Faktor yang berhubungan 2 Deviasi cukup berat Berat 5. Kelola pemberian bronkodilator,
a. Adanya jalan napas buatan 3 Deviasi sedang Cukup sebagaimana mestinya
b. Mukus berlebih 4 Deviasi ringan Ringan
c. Sekresi tertahan 6. Kelola oksigen yang dilembabkan,
5 Tidak ada deviasi Tidak ada sebagaimana mestinya
7. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi
3. Defisit Perawatan Diri Perawatan Diri: Aktivitas Sehari-Hari Bantuan Perawatan Diri
Domain 4. Aktivitas/Istirahat Definisi: Tindakan seseorang untuk melakukan tugas Definisi: Membantu orang lain untuk
Kelas 5. Perawatan Diri fisik paling dasar dan aktivitas perawatan diri secara melakukan aktivitas hidup sehari-hari
Definisi: Hambatan kemampuan untuk mandiri tanpa bantuan orang atau alat. Aktivitas:
melaukan atau menyelesaikan aktivitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan perawatan diri 1. Pertimbangakan budaya pasien ketika
mandiri, berpakaian, dan makan secara pasien meningkat dengan indikator: meningkatkan aktivitas perawatan diri
mandiri Indikator Target 2. Pertimbangakan usia pasien ketika
Batasan karakteristik mandi: Makan 5 meningkatkan aktivitas perawatan diri
a. Ketidakmampuan membasuh tubuh Ke toilet 5 3. Monitor kemampuan perawatan diri
b. Ketidakmampuan mengakses kamar Mandi 5 secara mandiri
mandi Berpaikaian 5 4. Monitor kebutuhan pasien terkait
c. Ketidakmampuan mengeringkan Kebersihan mulut 5 dengan alat-alat kebersihan diri,
tubuh berpakaian, mandi, makan
d. Ketidakmampuan menjangkau Keterangan 5. Berikan lingkungan yang terapeutik
sumber air 1. Sangat terganggu 6. Berikan bantuan sampai pasien mampu
Batasan karakteristik berpakaian 2. Banyak terganggu melakukan perawatan diri mandiri
a. Hambatan mengenakan pakaian pada 3. Cukup terganggu 7. Bantu pasien menerima kebutuhan
bagian tubuh atas dan bawah 4. Sedikit terganggu terkait dengan kondisi ketergantungan
Batasan karakteristik makan 5. Tidak terganggu 8. Ciptakan rutinitas aktivitas perawatan
a. Ketidakmampuan memakan makanan diri
dalam cara yang dapat diterima
Faktor yang berhubungan
a. Gangguan neuromuskular
b. Kelemahan
4. Risiko Luka Tekan Intergritas Jaringan: Kulit dan Membran Pengecekan Kulit
Domain 11. Keamanan/Perlindungan Mukosa Definisi: Pengumpulan dan analisis daa
Kelas 2. Cedera Fisik Definisi: Keutuhan struktur dan fungsi fisiologis kulit psien untuk menjaga kulit dan integritas
dan selaput lendir secara normal. membran mukosa
Definisi: Rentan terhadap cedera lokal
Setelah dilakukan asuhan keperawatan integritas Aktivitas:
ada kulit dan/atau jaringan dibawahnya, 1. Periksa kulit dan selaput lendit terkait
jaringan kulit pasien meningkat dengan indikator:
biasanya diatas tonjolan tulang sebagai adanya kemerahan, kehangatan ekstrim,
akibat tekanan, atau tekanan sebagai edema
Indikator Target
kombinasi dengan gesekan (NPUAP, 2. Amati warna, kehangatan, pengkak,
Lesi pada kulit 5
2007) pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi
Lesi mukosa membran 5
Faktor Risiko pada ekstremitas
Eritema 5
a. Dewasa: nilai braden scale <18; 3. Gunakan alat pengkajian untuk
Pengelupasan kulit 5
Anak Braden Q scale <16 mengetahui risiko kerusakan kulit
Keterangan :
b. Imobilisasi fisik (braden scale)
1. Berat
c. Kurang nutrisi 4. Monitor warna dan suhu
2. Cukup berat
d. Kurang perawatan diri 5. Monitor tanda infeksi
3. Sedang
e. Penurunan mobilitas 6. Dokumentasikan perubahan membran
4. Ringan
f. Penurunan perfusi jaringan mukosa
5. Tidak ada
g. Penyakit kardiovaskular
h. Tekanan pada tonjolan tulang
5. Resiko infeksi Keparahan infeksi Proteksi Infeksi
Domain 11. Keamanan/Perlindungan Definisi: pencegahan dan deteksi dini resiko
Setelah dilakukan asuhan keperawatan keparahan
Kelas 1. Infeksi pasien terhadap infeksi
infeksi pasien berkurang dengan indikator:
Aktivitas:
Definisi: Resiko masuknya organisme
1. Memonitor tanda dan gejala infeksi
patogen. Indikator Target lokal maupun sistemik.
Faktor Risiko Peningkatan AL 5 2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
a. Kurangnya pengetahuan untuk Nyeri 5 3. Membatasi jumlah pengunjung
menghindari paparan terhadap Sputum purulen 5 4. Mempertahankan teknik aseptik teradap
patogen Demam 5 pasien
b. Ketidakadekuatan pertahanan primer 5. Inspeksi kulit dan mukosa ada atau
( peristaltik menurun, kerusakan Keterangan :
tidaknya kemerahan atau rasa panas
kulit, prosedur invasif, perubahan 6. Berat yang ekstrem
PH, cairan tubuh statis, trauma 7. Cukup berat 6. Dorong intake cairan yang adekuat
jaringan) 8. Sedang 7. Monitor adanya perubahan tingkat
c. Ketidakadekuatan pertahanan 9. Ringan energi klien
sekunder ( penurunan hemoglobin, 10. Tidak ada 8. Instruksikan pasien untuk mematuhi
imunosupresi, leukopenia) antibiotik yang telah diprogramkan
d. Ketidakadekuatan vaksinasi 9. Ajarkan pada pasien dan keluarga
e. Peningkatan paparan terhadap terkait pencegahan infeksi
patogen 10. Ajarkan pasien dan keluarga tentang
f. Malnutrisi cara mengenali tanda dan gejala infeksi
Daftar Pustaka

Andary, M. T. (2017, October 6). Guillain-Barre Syndrome Clinical Presentation. Retrieved from
Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/315632-clinical#b3
Bosch E.P. (1998). Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Intervention Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia Edisi Keenam. (I. Nurjannah, &
R. D. Tumanggor, Eds.) Indonesia: Elsevier.
CDC. (2017, November 2). Guillain-Barré syndrome and Flu Vaccine. Retrieved from Centers for
Disease Control and Prevention: https://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm
Center for disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome (GBS)
http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm.
Hughes RAC, Swan AV, Raphael J, Annane D, Van Koningsveld R, Van Doorn PA. (2007)
Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome: a systematic review. Brain;130:2245-57
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). GUIILLAIIN BARRE SIINDROM. Jakarta:
Depkes. Retrieved from www.depkes.go.id
Mardjo, M. (1978). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes Classification
(NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indonesia Edisi Kelima. (I.
Nurjannah, & R. D. Tumanggor, Eds.) Indonesia: Elsevier.
NANDA International. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10. (T. H. Herdman, S. Kamitsuru, Eds., B. Keliat, H. D. Windarwati, A. Pawirowiyono, &
M. A. Subu, Trans.) Jakarta: Buku Kedokteran ECG.
Parry G.J. (1993). Guillain-Barre Syndrome. New York : Theime Medical Publisher
Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS). Yogyakarta. Retrieved from
https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf
Sidarta,P. (2004). Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Walshe.T.M. (1978). Manual of Neurologic Therapetic. Boston:Little Brown.

Anda mungkin juga menyukai