Anda di halaman 1dari 8

A.

Pendahuluan
Buya HAMKA adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan
bervisi masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita melihat betapa banyak karya
dan buah pikiran HAMKA yang turut mewarnai dunia, khususnya Islam. Keterlibatan
HAMKA di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas,
penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak generasi-
generasi masa depan seperti HAMKA.
Makalah yang secara spesifik membahas kajian tokoh ini berusaha memberikan gambaran
bagaimana biografi HAMKA, dan bagaimana pemikiran dan pengaruhnya terhadap
pendidikan Islam. Karena diakui atau tidak, pemikiran HAMKA masih kental kita rasakan
dewasa ini. Pemikiran-pemikiran HAMKA tersebut didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits
yang disertai dengan argumen-argumen yang mendukung hal tersebut. Karena pada
hakikatnya Al-Qur’an adalah kitab yang akan tetap mampu menjawab segala persoalan hidup
manusia.
B. Riwayat Hidup Buya HAMKA

Seorang ulama, pengarang terkemuka, HAMKA bernama Abdul Malik bin Haji Abdul Karim
bin Amrullah, nama-nama itu mungkin jarang kita dengar dan bahkan yang kerap terdengar
oleh kita adalah HAMKA. HAMKA sebenarnya adalah singkatan dari nama beliau pada saat
beliau telah kembali dari tanah suci untuk memunaikan ibadah haji, yang mana nama beliau
ditambah menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dari nama inilah kemudian
masyarakat dan orang sekitarnya memanggil beliau dengan HAMKA singkatan dari nama
yang panjang di atas. Buya Hamka terlahir dari seorang ibu yang bernama Siti Safiyah, istri
pertama Syekh Abdul Karim di desa kampung Molek, sungai Batang, Maninjau, Sumatra
Barat. Pada hari Senin tanggal 17 Februari 1908 M yang bertepatan pada 14 Muharam 1326
H. Dan pendapat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada hari Ahad 16 Februari 1908 M
yang bertepatan pada 13 Muharram 1326 H. Namun kebanyakan adalah pendapat yang
pertama.[1] Dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji
Rasul, dari keluarga seorang ulama terkenal dan seorang pelapor gerakan
pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Ia lahir sebagai anak
pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan
ajaran agama Islam.Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang
Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau
seseorang yang dihormati.[2] HAMKA adalah pujangga, ulama, pengarang dan politikus. Ia
banyak bengubah syair dan sajak, menulis karya sastra, dan mengarang buku-buku yang
bernafaskan keagamaan. Ia menjadi tempat bertanya dan rujukan berbagai masalah
keagamaan. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya
Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011. HAMKA merupakan salah
satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia
dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.[3]

Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah


rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke
Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil
ia belajar mengaji dan tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki-
laki Minang memang tak punya tempat di rumah. Di surau, ia belajar mengaji dan silek,
sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-
alat musik tradisional Minangkabau. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba,
memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui
novel-novelnya, HAMKA sering mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau.
Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah menjadi bumbu
dalam karya-karyanya.

Mengenyam pendidikan pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan
ke sebuah Sekolah Desa dan belajar ilmu pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca
di sekolah tersebut. Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh HAMKA, merupakan
zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat
bermain sebelum pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi, bercari-
carian, bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya bermain. Dua
tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga belajar di Diniyah
School setiap sore. Namun sejak dimasukkan ke Sumatra Thawalib oleh ayahnya pada tahun
1918, Disitulah ia mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Kesukaannya di bidang
bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Sejak saat itu ia tidak dapat lagi
mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat kelas tiga. Setelah itu, ia
belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Sumatra Thawalib dan
malamnya kembali ke surau. Demikian kegiatan HAMKA kecil setiap hari, sesuatu yang
sebagaimana diakuinya tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa kanak-
kanaknya.

Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro,
bersama dengan Engku Zainuddin, HAMKA diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada
diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra. Beliau juga mengikuti pelajaran
agama di surau dan masjid yang diberikan Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid,
Sutan Mansur, R.M Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo. Karya para pemikir Barat ia
dapatkan dari hasil terjemahan ke bahasa Arab. Lewat bahasa pula HAMKA kecil suka
menulis dalam bentuk apa saja, ada puisi, cerpen, novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang
dakwah. Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melalangbuana, pada tahun 1924 tatkala
usianya masih 16 tahun, ia sudah meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa. Di Yogyakarta,
ia berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivisnya seperti Haji
Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Fakhruddin, dan R.M.
Soerjopranoto.

Pada tanggal 5 April 1929, HAMKA dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang
merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti
Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri,
Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia,
satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi dengan seorang
perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir hayatnya ia mengangkat Jusuf
Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.
HAMKA mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian
dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang
Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor
Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. HAMKA aktif
dalam pergerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Mulai tahun 1928, HAMKA
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau
menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua
Majelis Pimpinan Muhammadiyah, menggantikan S.Y Sultan Mangkuto pada tahun 1946. Ia
menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 Yogyakarta pada
tahun 1950.

Pada Kongres Muhammadiyah ke 32 di Purwokerto 1953 turutlah dia terpilih menjadi


Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Maka tiap-tiap diterimanya pencalonan pada
Kongres-Kongres sesudah Purwokerto itu (Palembang, Yogyakarta, Makassar dan Padang)
selalu dia dicalonkan untuk duduk tetap dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tetapi oleh
karena mengingat kesanggupan sudah berkurang, maka mulai Kongres di Makassar 1971,
HAMKA memohon agar kalau ada lagi yang mencalonkan namanya, dia tidak bersedia lagi
buat duduk jadi Anggota Pusat Muhammadiyah, karena kesehatannya yang sudah berkurang.
Kemudian pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik
HAMKA sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian
mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasehatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah
Indonesia.

Selain aktif dalam kegiatan keagamaan dan politik, HAMKA juga merupakan seorang
wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Bakat tulis menulis tampaknya telah dibawanya sejak
kecil, yang diwarisinya dari ayahnya, yang selain tokoh ulama, juga penulis. Pada usia 17
tahun sekitar tahun 1925, ia telah menerbitkan bukunya yang pertama, Khatimul Ummah.[4]
Kisah perjalanan naik haji ke tanah suci ditulisnya dalam surat kabar Pelita Andalas. Tahun
1928, ia menerbitkan majalah Kemajuan Zaman, dan pada tahun 1932, ia menerbitkan
majalah al-Mahdi di Makassar. Kedua majalah tersebut bercorak kesustraan dan keagamaan.
HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan
Gema Islam. Ia juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan
cerpen. Karya ilmiahnya yang terkenal ialahTafsir al-Azhar (5 jilid)[5] dan antara novel-
novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan
Singapura termasuklahTenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah
dan Merantau ke Deli. Dengan karya-karyanya yang monumental itu Buya HAMKA
merupakan tokoh Islam terdepan dalam sejarah perkembangan Islam abad modern di
Indonesia.

HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa
seperti:
- Anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958;
- Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974;
- Gelaran Datuk Indono, dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia, sebagai
tanda jasa atas kontribusinya yang begitu besar dalam penyiaran agama Islam di Indonesia.
Buya HAMKA merupakan tokoh dan ulama yang dikenal cukup luas, bukan hanya di
Indonesia tetapi di mancanegara. Buya begitu biasa dipanggil merupakan sosok yang lembut,
halus dan penyabar. Namun dalam sikap lembut itu tertanam sikap yang tegas manakala
untuk menegakkan kebenaran. Kegigihan dan ketegasan Buya HAMKA untuk
memperjuangkan yang haq (benar) selalu dipegang teguh terhadap berbagai persoalan
bangsa. Salah satu contohnya, meski Buya HAMKA termasuk dekat dengan Bang Ali (Ali
Sadikin Gubernur DKI tahun 1970-an), tetapi dengan tegas ia tak setuju dengan gagasan
Bang Ali yang menyatakan agar jenazah dikremasi saja karena minim dan sulitnya tanah
untuk pemakaman umum. Buya dengan tegas menyatakan Islam dengan tegas melarang dan
tidak membenarkan cara-cara seperti itu. Lalu, Bang Ali pun mendengarkan keberatan Buya
HAMKA.

C. Pendidikan Menurut Buya HAMKA

Sosok HAMKA multiperan. Selain sebagai ulama dan pujangga, ia juga seorang pemikir.
Diantara buah pikirannya adalah gagasan tentang pendidikan. Pentingnya manusia mencari
ilmu pengetahuan, menurut HAMKA, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh
penghidupan yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu
mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan
Allah. HAMKA membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan
Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk
watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi
intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[6]

Dalam mendefinisikan pendidikan dan pengajaran, ia hanya membedakan makna pengajaran


dan pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi secara esensial ia tidak membedakannya.
Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling
melengkapi antara satu dengan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Tujuan
dan misi pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya,
proses pengajaran tidak akan banyak berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di
dunia maupun di akhirat.

Adapun tujuan pendidikan, menurut HAMKA, memiliki dua dimensi, yakni bahagia di dunia
dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan
baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar
dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah. Dengan demikian, tujuan
pendidikan Islam, menurut HAMKA, sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri,
yakni untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah.

Komponen lain selain tujuan dalam pendidikan adalah bahan ajaran atau materi pelajaran
(subject content). Untuk merealisasikam tujuan pendidikan, maka perlu adanya seperangkat
materi yang perlu diberikan kepada anak didik untuk kemudian diinternalisasikan dalam
kehidupan rill anak. Materi-materi keimanan Islam harus benar-benar tertanam dalam diri
anak didik sejak sedini mungkin sehingga potensi keagamaan akan dapat tumbuh dan
berkembang secara baik dan dapat menghasilkan suatu pandangan sikap hidup yang
bertendensi pada nilai-nilai religi. Sebaliknya, bila potensi keagamaan ini dibiarkan begitu
saja tidak dipupuk, tidaklah mustahil akan timbul sikap ateis. Hal ini sesuai dengan konsep
Islam bahwasanya iman itu bisa bertambah dan berkurang tergantung pada pemeliharaannya.
Sebagaiman firman Allah: “…Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan
mereka (yang telah ada) dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan Allah Maha
Mengetahi dan Maha Bijaksana” (QS Al-Fath [48]: 4).

Buya HAMKA dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia patut dihargai, karena
pemikirannya yang kemudian diwujudkan dengan membangun lembaga pendidikan Yayasan
Pesantren Islam di Al Azhar. Itulah lembaga pendidikan Islam dapat menyaingi pendidikan
umum dan Kristen yang sudah lebih dulu ada.
Sekolah atau lembaga pendidikan sebagai ujung tombak kristenisasi. Karena itu Buya Hamka
mendirikan sekolah Islam untuk menyaingi sekolah Kristen yang membawa generasi muda
kepada mental pemurtadan. Selain itu, pendirian sekolah Islam dalam hal ini Yayasan
Pesantren Islam Al Azhar untuk menghilangkan dikotomi terhadap Islam”. Menurut konsep
pendidikan yang ditetapkan oleh ulama yang banyak menciptakan karya sastra itu mencontoh
zaman Rosulullah yang menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, salah satunya sekolah.
Kelahiran pesantren di tengah kota yang dirintisnya telah mampu menghilangkan anggapan
bahwa pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan formal pinggiran yang kondisinya serba
memprihatinkan. Tetapi beliau mendirikan pesantren di tengah kota. Pesantren yang maju
yang bisa diterima oleh berbagai kalangan masyarakat.[7]

Bagi HAMKA, pendidikan adalah sarana untuk mendidik watak pribadi. Kelahiran manusia
di dunia ini tak hanya untuk mengenal apa yang dimaksud dengan baik dan buruk, tapi juga,
selain beribadah kepada Allah, juga berguna bagi sesama dan alam lingkungannya.[8]
Karena itu, bagaimana pun kehebatan sistem pendidikan modern, menurut HAMKA, tak bisa
dilepas begitu saja tanpa diimbangi dengan pendidikan agama. Ia adalah salah satu dari
pemikir pendidikan yang mendorong pendidikan agama agar masuk dalam kurikulum
sekolah. Bahkan, HAMKA lebih maju lagi, ia menyarankan agar ada asrama-asrama yang
menampung anak-anak sekolah. Dalam asrama tersebut anak-anak tak hanya mendapat
pemondokan dan logistik, tapi juga penuh dengan muatan rohani dan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari.

Dalam pandangan HAMKA, pendidikan di sekolah tak bisa lepas dari pendidikan di rumah.
Karena menurutnya, mesti ada komunikasi antara sekolah dengan rumah, antara orangtua
murid dengan guru. Secara konvensional, antara orangtua murid dengan guru saling
bersilaturahim, sekaligus mendiskusikan tentang perkembangan anak didiknya. Dan masjid
adalah sarana untuk pertemuan tersebut. Dengan adanya shalat berjamaah di masjid, antara
guru, orangtua, dan murid bisa saling berkomunikasi secara langsung. “Kalau rumahnya
berjauhan, akan bertemu pada hari jumat,” begitu tutur HAMKA. Pemikiran HAMKA diatas
akan bisa berjalan secara efektif di daerah-daerah pedesaan dimana mobilitas warganya yang
begitu tinggi.
Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau,
mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas,
berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. untuk melaksanakan hal ini,
ada tiga institusi yang bertugas dan bertanggung jawab, yaitu:

Pertama, lembaga pendidikan informal (keluarga). Lembaga pendidikan informal merupakan


lembaga pendidikan pertama dan utama, sebagai jembatan dan penunjang bagi pelaksanaan
pendidikan selanjutnya (formal dan nonformal). Lingkungan keluarga adalah lingkungan
yang pertama menyentuh anak sehingga besar peranannya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak dalam rangka membentuk pribadi yang matang baik lahir maupun batin.
Di dalam keluarga, baik disadari atau tidak, anak telah dilibatkan dalam suatu proses
pendidikan, yaitu pendidikan keluarga. Pendidikan semacam ini lebih bersifat kodrat dan
alami. Artinya, pendidikan keluarga lebih didasarkan pada sentuhan cinta dan kasih sayang
orang tua kepada anak-anaknya. Anak dari kecil hendaklah sudah diperkenalkan kepada
Tuhan agar tercipta sikap cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana dikatakan Drs.
R.I. Suhartin Citrobroto bahwa “Anak-anak kecil harus diajari untuk mencintai,
menghormati, dan menyembah Tuhan (Allah)”. Tentu dengan cara yang sederhana, misalnya
mengajaknya ke tempat-tempat ibadah, menyaksikan keindahan alam dengan disertai
hikmah. Sebaliknya, jika hal tersebut tidak dilakukan maka saat dewasa nanti ia tidak
merasakan pentingnya Tuhan dalam hidupnya. Menurut HAMKA, tanggung jawab
pendidikan dalam keluarga diemban oleh orangtua. Tingkah laku orangtua didalam keluarga
merupakan bentuk pendidikan pada anaknya, baik yang disengaja maupun yang tidak.
Orangtua adalah teladan bagi anak-anaknya. Karena perlunya pendidikan anak di dalam
keluarga, Islam mengajarkan bahwa pendidikan agama harus diajarkan sedini mungkin.
Begitu anak dilahirkan disitulah proses pendidikan dimulai, yaitu dengan cara mengadzani
dan iqamah.

Kedua, lembaga pendidikan formal (sekolah). Sebagaimana kita ketahui bahwa tidaklah
mungkin pendidikan akan dapat terpenuhi hanya dengan pendidikan informal saja. Oleh
karena itu, muncul institusi-institusi yang menjalankan fungsinya sebagai tindak lanjut dari
pendidikan keluarga. Sekolah adalah institusi khusus yang menjalankan pendidikan setelah
pendidikan keluarga. Melalui sekolah anak mengenal dunia secara lebih luas. Kalau dalam
lingkungan keluarga anak mengenal ayah, ibu, adik, kakak, dan familinya, dalam sekolah,
kini anak mengenal sosok guru mereka, bermain bersama teman-teman dari berbagai
kelompok masyarakat. Di sini suasana pendidikan tetap diciptakan dengan sengaja, dengan
demikian, pendidikan lebih bersifat khusus dan terencana. Sekolah lebih dikatakan sebagai
lingkungan pendidikan kedua bagi anak, setelah pendidikan keluarga. Sekolah sebagai intitusi
sosial yang menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang diserahi pelimpahan tanggung
jawab anak. Sebab, tidaklah mungkin setiap orangtua dapat memberikan pendidikan kepada
anak secara optimal dan menyeluruh hanya dengan mengandalkan pendidikan keluarga.
Bagaimanapun kemampuan orangtua masih tetap terbatas. Mungkin mereka memiliki
pengetahuan serta keterampilan yang cukup untuk mendidik anaknya, akan tetapi mereka
tidak banyak memiliki waktu. Untuk itulah para orangtua mempercayakan pelimpahan
sekaligus tugas dan tanggung jawab kepada pihak sekolah.

Ketiga, lembaga pendidikan nonformal (masyarakat). Manusia tidak akan bisa lepas dari
lingkungannya. Ia senantiasa membutuhkan pertolongan orang lain. Atas dasar saling
ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut, maka menimbulkan kecenderungan
berkelompok dan bersatu. Dalam kehidupan berkelompok tersebut, mereka bisa saling take
and give dalam rangka mempertahankan kehidupan. Setiap masyarakat memiliki aturan-
aturan, sistem nilai, ideologi, cita-cita dan sistem pemerintahan atau kekuasaan tertentu.
Mereka berusaha untuk melestarikannya dalam rangka kelangsungan masyarakat tersebut
agar tetap eksis di tengah kehidupan masyarakat lain. Salah satu bentuk pelestarian budaya,
sistem nilai tersebut adalah melalui pendididikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah
pemberian muatan-muatan pada anak didik untuk dapat melestarikan sebagian budaya
masyarakat dan sebagian lagi untuk dikembangkan demi kemajuan masyarakat. Masyarakat
langsung maupun tidak langsung, ikut serta memegang tanggung jawab pendidikan bagi
anggota masyarakatnya. Masyarakat terutama setiap pemimpin Muslim tentu menghendaki
masyarakatnya menjadi seorang Muslim yang baik, yang taat beribadah dalam segala
aspeknya. Dalam hal ini, masyarakat secara keseluruhan harus dapat melaksanakan misinya,
yaitu amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya Islam dan masyarakat tersebut.

HAMKA memaknai manusia sebagai khalifah fil-ardh, sebagai makhluk yang telah diberikan
Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengetahui hukum-Nya.
Menyingkap rahasia alam dan memanfaatkannya bagi kemaslahatan umat manusia. Menurut
HAMKA, melalui akalnya manusia dapat menciptakan peradabannya dengan lebih baik.
Fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Sebagaimana firman Allah:
“Hadapkan dengan seluruh dirimu itu kepada Agama (islam) sebagaimana engkau adalah
hanif (secara kodrat memihak pada kebenaran): itulah fitroh Tuhan yang telah memfitrohkan
(mempotensikan) manusia padanya.” (QS Ar-Ruum: 30)
Di samping itu, fungsi pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan
kepribadian peserta didik, akan tetapi juga proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan
di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai
kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik untuk menyatakan pikiran serta
mengembangkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses
transmisi ajaran Islam dari generasi ke generasi berikutnya. Proses tersebut melibatkan tidak
saja aspek kognitif pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi juga aspek afektif dan
psikomotorik (menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah).
HAMKA juga menekankan pentingnya pendidikan jasmani dan rohani (jiwa yang diwarnai
oleh roh agama dan dinamika intelektual) yang seimbang. Integralitas kedua aspek tersebut
akan membantu keseimbangan dan kesempurnaan fitrah peserta didik. Hal ini disebabkan
karena esensi pendidikan Islam berupaya melatih perasaan peserta didik sesuai dengan fitrah-
Nya yang dianugrehkan kepada setiap manusia, sehingga akan tercermin dalam sikap hidup,
tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap semua jenis dan bentuk pengetahuan
dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam. Menurut HAMKA, untuk membentuk peserta didik yang
memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah
kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dalam
dataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatastransfer of knowledge, akan
tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan
suatu sikap yang baik (akhlak al-karimah), sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.
Lembaga pendidikan agama yang tidak mampu membina dan membentuk peserta didik
berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dengan lembaga pendidikan umum yang
sama sekali tidak mengajarkan agama, sebagaimana yang dikembangkan pada lembaga
pendidikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena secara epistemologi, pada dasarnya ilmu
pengetahuan memiliki nilai murni yang bermuara kepada ajaran Islam yang hanif.
Pandangannya di atas merupakan kritik terhadap proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di
mana banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan agama, akan tetapi tidak mampu
‘mendidikkan’ agama pada pribadi peserta didiknya. Akibat proses yang demikian, mereka
memang berhasil melahirkan out put yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, dan fasih
berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yang masih rendah.
D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Buya HAMKA dalam Konteks Kekinian Pembaharuan
Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya
mencerdaskan dan mendewasakan peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik
sebagai makhluk Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh
dan terbaik diantara makhluk lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar
berbeda susunan fisik, tetapi lebih jauh dari itu, manusia memilki kelebihan pada aspek
psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut memiliki potensinya masing-masing yang sangat
mendukung bagi proses aktualisasi diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan
potensi fisik dan psikis, atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut
menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.[9]
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 15 dijelaskan bahwa pendidikan umum merupakan
pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan
oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan dijelaskan
pula bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah,dan tinggi yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan menjadi ahli agama. Jelaslah bahwa pendidikan yang
dikemukakan oleh Hamka sangat dapat diterapkan di zaman sekarang ini, yakni pendidikan
agama dan pendidikan umum saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dari mulai tingkat
Pendidikan Dasar hingga ke tingkat Pendidikan Tinggi

Anda mungkin juga menyukai